BAB III INTERAKSI OBAT DENGAN RESEPTOR A

advertisement
BAB III
INTERAKSI OBAT DENGAN RESEPTOR
A. KONSEP RESEPTOR
Pada tahun 1970 farmakologi telah memasuki tahap baru yaitu penelitian
mengenai reseptor yang meliputi teori reseptor, mekanisme reseptor yang
melibatkan eksperimental labeling reseptor. Pendekatan pertama kali adalah
diterapkan pada penelitian reseptor asetilkolin nikotinik. Racun ular kobra
mengandung polipeptida yang berikatan sangat spesifik terhadap reseptor
asetilkolin. Senyawa yang dikenal sebagai a-toksin dapat dilabel dan digunakan
untuk assay reseptor pada jaringan atau ekstrak jaringan. Senyawa yang
termasuk golongan tersebut adalah α-bungarotoksin, merupakan komponen
utama dari racun Bungarus multicinctus. Penanganan otot atau jaringan elektrik
dengan suatu detergen non-ionik digunakan untuk membuat protein reseptor
terikat membran yang mudah larut. Dengan preparasi berikutnya menggunakan
kromatografi afinitas dapat mengisolasi reseptor asetilkolin nikotinik.
Hal di atas merupakan salah satu penelitian mengenai reseptor yaitu
menyelidiki spesifisitas reseptor. Dari berbagai penelitian mengenai reseptor,
terdapat tiga sifat kerja reseptor terhadap agonjs yaitu pertama adalah
mempunyai potensi tinggi (sensivitas tinggi). Pada umumnya, obat bekerja pada
reseptor spesifik dengan konsentrasi yang sangat kecil misalnya histamin
nerinteraksi dengan reseptor H-1 dan dapat menstimulasi kontraksi otot polos
trakea marmut pada konsentrasi 10-6 M. Sifat yang kedua adalah spesifisitas
kimiawi. Stereoisomer suatu obat dapat mepengaruhi aktivitas biologi dari obat
yang bersangkutan. Kloramfenikol yang mempunyai 4 isomer hanya mempunyai
aktivitas biologi pada struktur D(-) treo. Bahkan beberapa obat seperti sotalol,
warfarin dan siklofosfamid yang mempunyai stereoisomer tidak hanya berbeda
pada efek farmakologi tapi juga berbeda pada jalur metabolismenya. Sifat yang
ketiga adalah spesifitas biologi. Efek farmakologi dari suatu obat dapat berbeda
pada beberapa jaringan, misalnya efinefrin menunjukkan efek yang kuat pada
otot jantung tapi lemah pada otot lurik.
Telah disampaikan pada bab sebelumnya bahwa reseptor merupakan
suatu komponen spesifik sel yang berinteraksi dengan suatu agonis sehingga
menimbulkan peristiwa-peristiwa biokimia yang pada akhirnya menghasilkan
respon fisiologi. Reseptor merupakan suatu makromolekul yang berupa
lipoprotein, glikoprotein, lipid, protein atau asam nukleat. Sebagian besar dari
reseptor terdapat pada membran sel misalnya reseptor asetilkolin nikotinik,
reseptor insulin, dan sebagian kecil terdapat di dalam sel atau intisel misalnya
reseptor hormon steroid.
Fungsi dari reseptor adalah melalui perubahan permeabilitas membran
sel, pembentukan pembawa kedua (second messenger} misalnya cAMP,
diasilgliserol dan mempengaruhi transkripsi den atau DNA. Dari fungsi tersebut,
reseptor terlibat di dalam komunikasi antar sel. Reseptor menerima rangsang
dengan berikatan dengan pembawa pesan pertama (first messenger) yaitu
agonis yang kemudian menyampaikan informasi yang diterima ke dalam sel
dengan langsung menimbulkan efek seluler melalui perubahan permeabilitas
membran, pembentukan pembawa pesan kedua atau mempengaruhi transkripsi
gen.
B. KINETIKA INTERAKSI OBAT-RESEPTOR
Mengacu pada penelitian Langley dengan menggunakan alkaloid, Erlich
(1909) menduga bahwa aksi alkaloid pada reseptor adalah mudah lepas dan
reversibel, dan tidak melibatkan ikatan kimia yang kuat. Analog! aksi obat pada
reseptor adalah konsep kunci (obat) dengan gembok (reseptor).
Asumsi sederhana mengenai pembentukan kompiek obat dengan
reseptor diekspresikan sebagai reaksi kimia seperti berikut:
Obat + Reseptor
→ Kompiek obat-reseptor
←
Atau,
[D] + [R]
k1
→
← [DR]
k2
Dimana, k1 dan k2 merupakan konstanta kecepatan pembentukan dan peruraian
kompleks.
Berdasarkan hukum aksi massa, kecepatan pembentukan dan peruraian
yang direpresentasikan berturut-turut k1 [ D ] [ R ] dan k2 [ DR ]. Konsentrasi obat
atau [ D ] merupakan konsentrasi obat dalam biofase. Dalam percobaan
reseptor, biofase tersebut adalah medium dari organ atau jaringan terisolasi.
Pada ekuilibrium, kecepatan pembentukan dan peruraian kompiek adalah
seimbang :
K1 [D][R] = k2[DR]
(1)
Sehingga,
k2
—
[D][R]
=
KD =
————
K1
(2)
[DR]
Jumlah total reseptor (RT) adalah jumlah reseptor yang berikatan dengan
reseptor membentuk komplek [ DR ] ditambah dengan jumlah reseptor bebas [R].
[R] = [RT] - [DR]
(3)
Substitusi [ R ] dengan persamaan 1 akan menghasilkan persamaan
[DR]
———
[D]
=
r = ——————
[RT]
(4)
[D]+KD
dimana [ DR ] / [ RT ], proporsi reseptor yang diduduki obat yang
direpresentasikan r. Persamaan berikutnya adalah
r
[D] =
-—— [KD]
(5)
1 -r
persamaan yang sama diturunkan dari isoterm adsorpsi Langmuir dimana [ D ]
merupakan konsentrasi ligan dan r adalah proporsi sisi potensial dari
pembentukan komplek pada permukaan yang diduduki oleh ligan / agonis,
dimana hubungan antara sisi adsorpsi dengan ligan adalah one-to-one .
r
[D]2 = ———— [KD]
1–r
atau secara umum
r
[D]n = ———— [KD]
1 –r
(6)
dimana n adalah rasio molekular ligan (obat) per sisi adsorpsi (reseptor), dan K
merupakan suatu konstanta yang identik dengan KD.
Gambar 3. Tiga kurva yang menggambarkan hubungan antara pendudukan
reseptor dan konsentrasi obat dari persamaan 6 dengan KD = 1 dan nilai n
adalah bervariasi; r adalah proporsi sisi reseptor yang diduduki (Bowman
dan Rand, 1980).
Biofase
Telah
disinggung
sebelumnya
mengenai
istilah
biofase.
Biofase
merupakan suatu lingkungan dimana obat dalam kondisi berinteraksi dengan
ieseptornya tanpa adanya gangguan barter difusinya.
Pada preparat organ atau jaringan terisolasi, konsentrasi obat dalam
biofase merupakan obat dalam larutan garam fisiologi pada kondisi yang jenuh
(ekuilibrium). Pada percoban uji farmakologi dengan organ terisolasi, larutan
dapar Krebs atau Tyrode merupakan biofasenya. Ketika aksi obat dipelajari pada
sistem yang lebih komplek daripada organ terisolasi misalnya pada percobaan in
vivo, faktor absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi menjadi penentu
dalam aksi obat tersebut. Artinya bahwa respon fisiologi tidak secara langsung
dipengaruhi oleh kadar obat karena dipengaruhi oleh farmakokinetika obat
tersebut.
Agonis
Agonis merupakan obat beraksi pada reseptor sehingga menghasilkan
respon fisiologis yang meningkatkan atau menurunkan manifestasi tertentu dari
aktivitas sel atau sel itu sendiri dimana reseptor tersebut berinteraksi. Agonis
tersebut dapat berupa senyawa endogen atau eksogen. Senyawa endogen
adalah suatu senyawa yang dihasilkan oleh tubuh pada sistem homeostatis
tubuh misalnya insulin atau neurotransmiiter, sedangkan senyawa eksogen
adalah senyawa yang berasal dari luar tubuh misalnya parasetamol atau natrium
diklofenak.
Hubungan antara interaksi obat-reseptor dengan respon
Terdapat dua teori utama yang mengenai hubungan tersebut yaitu :
1. Teori pendudukan (occupation theory). Dalam teori tersebut, respon yang
ditimbulkan adalah fungsi dari pendudukan reseptor oleh agonis. Perlu
diingat bahwa jumlah reseptor di dalam tubuh adalah terbatas sehingga
apabila semua reseptor telah diduduki oleh agonis maka akan timbul
suatu respon maksimum (Emaks). Pada kondisi tersebut berapapun
penambahan agonis maka tidak lagi mempengaruhi atau menambah
respon fisiologis tadi.
2. Teori laju (Rafe theory). Respon yang dihasilkan merupakan fungsi dari
kecepatan pendudukan reseptor oleh agonis. Antara reseptor dan agonis
ibarat suatiu molekul yang berbenturan dan sebagai konsekuensi dari
benturan tersebut adalah timbulnya suatu respon fisiologi.
C. HUBUNGAN LINIER ANTARA PENDUDUKAN RESEPTOR DAN RESPON
Clark menyatakan bahwa efek yang diamati (E) adalah proposional linier
dengan pendudukan reseptor dan efek maksimum akan tercapai ketika jumlah
reseptor total telah diduduki semuanya.
[D]
r = ————
[D] +KD
E
= ————
Emaks
(7)
Dimana Emaks adalah efek maksimal
Asumsi-asumsi untuk persamaan 4 adalah
1. Interaksi antara molekul agonis dengan reseptor mengikuti konsep stimulus
all or none
2. Terdapat penjumlahan stimulus individu
3. Efek adalah proporsional linier dengan jumlah stimuli
4. Stimulus maksimum terjadi ketika semua sisi reseptor diduduki oleh molekul
agonis
5. Komplek obat-reseptor dibentuk secara cepat dan ikatan kimianya terurai
reversibel secara cepat
6. Pendudukan satu reseptor tidak mempengaruhi kecenderungan reseptor
yang lain untuk diduduki.
Dari persamaan 4 dan 7 maka
E
[D]
———— = ————
Emaks
[ D ] + KD
(8)
Dari persamaan 8 dapat diperkirakan bahwa plot hubungan respon terhadap
konsentrasi agonis adalah kurva hiperbolik yang berawal dari awal hingga
mencapai asimtoat (Emaks). Apabila dibuat suatu plot hubungan antara respon
dengan logaritma konsentrasi agonis akan menghasilkan suatu kurva sigmoid
dimana antara 20 % hingga 80 % kurva adalah mendekati linier. Kurva sigmoid
ini di dalam analisa farmakodinamika lebih menguntungkan. Kedua kurva
tersebut disajikan pada gambar4.
Konsentrasi agonis yang digunakan untuk mencapai respon maksimum
dinyatakan dengan KD. Apabila asumsi tersebut valid maka konstanta disosiasi
untuk interaksi obat-reseptor dapat diperoleh dari plot antara E / Emaks terhadap [
D ] atau E / Emaks terhadap log [ D ] seperti disajikan pada gambar 4. Konstanta
disosiasi untuk interaksi agonis dengan sisi reseptor merupakan konsentrasi
yang memproduksi separo dari respon maksimal ([ D ] maks I 2 ).
Gambar 4. Kurva respon-konsentrasi, plotting respon vs. konsentrasi atau
logaritma konsentrasi agonis [ D ] (Bowman dan Rand, 1980).
Afinitas
Afinitas
merupakan
reseptornya.Sejak nilai [ D ]
kemampuan
maks
obat
untuk
berinteraksi
dengan
/ 2 dalam satuan mol / liter jarang digunakan
dalam penelitian, dan cenderung menggunakan istilah pD2 yang diperkenalkan
oleh Ariens dkk seperti pada persamaan :
pD2 = log (1 / [ D ] maks/2) = - log ([ D ] maks/2)
(9)
Dari persaman 8, pD2 = log (I / KD ).
Nilai KD dibedakan dengan nilai K, nilai K adalah k, I k2 = 1/KD atau dinamakan
konstanta asosiasi / pembentukan.
Jika hubungan antara pendudukan reseptor dengan efek / respon adalah
linier maka KD = [ D ] maks/2 yaitu merupakan kadar obat yang menghasilkan 50 %
respon maksimum. Apabila nilai pD2 besar maka afinitas semakin besar dan
sensitivrtas reseptor terhadap obat juga semakin besar.
Harga pD2 merupakan suatu ukuran kemampuan agonis untuk berinterasi
membentuk komplek dengan suatu reseptor. Harga pD2 dapat diperoleh dengan
membuat plot hubungan antara respon dengan logaritma konsentrasi agonis.
Kurva tersebut yang berupa sigmoid dapat ditetapkan harga pD2-nya karena
bagian 20 hingga 80 % kurva mendekati linier.
Aktivitas intrinsik
Selain afinitas syarat agonis agar dapat menghasilkan efek adalah
aktivitas intrinsik. Aktivitas intrinsik adalah kemampuan suatu obat untuk
menghasilkan efek atau respon jaringan. Fungsi dari aktivitas intrinsik adalah
menentukan besarnya efek maksimum yang dicapai oleh suatu senyawa. Dalam
hal ini yang dimaksud dengan efek adalah dalam skala respon maksimum
jaringan.
Aktivitas intrinsik dinotasikan sebagai a yang merupakan besaran efek
per unit komplek obat-reseptor.
ED = α[DR] atau EDmaks = α[R]T
(10)
ED maks
α = —————
ET maks
(11)
ED maks adalah efek maksimum obat sedangkan ET maks adalah respon maksimum
jaringan
Hubungan antara dosis dengan respon adalah
αET maks[D]
ED = ——————————
(12)
[ D ] + KD
Pada penode 1954-1960 Ariens menyatakan bahwa terdapat suatu senyawa
yang mempunyai aktivitas agonistik dan juga mempunyai aktivitas antagonistik
dimana dapatmenurunkan respon kebanyakan agonis aktif. Senyawa tersebut
dengan dualist. Oleh Stephenson istilah tersebut adalah agonis parsial. Untuk
agonis aktif yang menghasilkan respon potensial maksimum nilai α = 1,
sedangkan untuk dualist nilai 1 > α > 0 dan untuk antagonis yang tanpa aktivitas
intrinsik nilai α = 0.
Gambar 5. Kurva hubungan respon - konsentrasi untuk agonis penuh dan
agonis parsial (Bowman dan Rand, 1980).
Efikasi
Pada tahun 1956, dari sejumlah penelitian Stephenson menyatakan
bahwa hubungan antara pendudukan reseptor dengan respon adalah non-linear.
Dia membenkan postulat bahwa:
1. Efek maksimum dapat diproduksi oleh agonis ketika jumlah kecil saja dari
reseptor yang diduduki oleh agonis.
2. Respon tidak proporsional tinier terhadap jumlah reseptor yang diduduki.
3. Obat yang berbeda kemungkinan mempunyai kapasitas yang berbeda
untuk menginisiasi respon dan menduduki
proporsi yang berbeda dari
reseptor ketika memproduksi respon yang seimbang.
Kemampuan obat untuk menginisiasi suatu respon dinamakan efikasi
(dinotasikan sebagai e). Nilai parameter dapat bervariasi antara not hingga harga
positif yang besar. Efikasi ini berbeda dengan aktivitas intrinsik. Efikasi lebih
cenderung pada kemampuan komplek agonis dan reseptor untuk menghasilkan
stimulus yang pada akhirnya akan menghasilkan respon atau efek, sedangkan
aktivitas intrinsik merupakan kemampuan komplek agonis dan reseptor untuk
menghasilkan respon fisiologi.
Stimulus dinotasikan sebagai S dan hubungan antara S ; e ; pendudukan
reseptor dan persamaan 4 adalah disajikan persamaan berikut:
e[DR]
e[D]
S = —————
= ——————
[RT]
(13)
[D] +KD
Stimulus berbanding langsung dengan fraksi reseptor yang diduduki oleh obat
sehingga efek yang dihasilkan merupakan fungsi dari stimulus. Hubungan antara
stimulus dengan efek tidak selau tinier seperti pa.da persamaan berikut:
[ D ] / KD
S = e.—————
dan
[ D ] / KD + 1
E = f(S)
(14)
Hubungan antara stimulus dengan efek / respon bukan merupakan sifat
dari agonis atau obat melainkan sifat dari jaringannya. Untuk agonis kuat
mempunyai nilai e yang besar, dan efek maksimum dapat dicapai tanpa harus
menduduki semua jumlah reseptor yang tersedia. Sisa reseptor tersebut tidak
diperlukan untuk mencapai efek masimum dinamakan spare reseptor atau
reseptor cadangan.
D. ANTAGONISME
Antagonisme
merupakan
suatu
peristiwa
pengurangan
atau
penghapusan efek suatu obat oleh obat lain. Penggolongan antagonisme adalah
sebagai berikut:
1.
Antagonisme fisiologis
2.
Antagonisme farmakokinetika
3.
Anatgonisme farmakologi
4.
Antagonisme kimiawi
Antagonisme fisiologi atau fungsional
Antagonisme ini merupakan peristiwa antagonisme akibat dua agonis
bekerja pada dua macam reseptor yang berbeda dan menghasilkan efek yang
saling berlawanan pada fungsi fisiologik yang sama. Antara antagonisme fisiologi
dan fungsional sebenarnya adalah berbeda. Perbedaannya bahwa pada
antagonisme fungsional, dua macam reseptor yang berbeda tersebut berada
dalam sistem sel yang sama sedangkan antagonisme fisiologi, dua macam
reseptor tersebut berada pada sistem yang berbeda. Contoh dari antagonisme
fungsional adalah antagonisme antara senyawa histamin dengan obat α1adrenergik (fenilefrin) pada pembuluh darah, sedangkan antagonisme fisiologi
adalah antagonisme glikosida jantung dengan dihidralazin. Glikosida jantung
dapat meningkatkan pompa jantung lebih lanjut meningkatkan tekanan darah,
sedangkan dihidralazin menghasilkan vasodilatasi perifer sehingga menurunkan
tekanan darah.
Antagonisme farmakokinetika
Antagonisme
farmakokinetika
disebut
juga
dengan
interaksi
farmakokinetika. Antagonisme atau interaksi tersebut dapat terjadi pada tahapan
proses farmakokinetika yaitu absorpsi, distribusi, metabolisme /biotransformasi,
atau ekskresi (ADME). Terdapat beberapa faktor yang yang mempengaruhi
proses antaraksi farmakokinetika yaitu : (1) pada tahap absorpsi yaitu stabilitas,
kompleksasi dan dissolusi obat, serta fisiologi tubuh, (2) pada proses distribusi,
ikatan obat dengan protein mengambil peran penting dalam suatu antaraksi, (3)
Pada proses metabolisme yaitu induksi atau inhibisi enzim, (4) Pada proses
ekskresi yaitu reabsorpsi tubular dan sekresi tubular.
Perubahan pada level ADME dari obat kedua karena pemberian obat
pertama secara bersamaan mengakibatkan perubahan konsentrasi obat kedua
yang akan berinteraksi dengan reseptornya, dan membawa akibat pada efek
klinik obat tersebut. Sebagai contoh adalah pengaruh fenobarbital yang dapat
meningkatkan metabolisme warfarin sehingga konsentrasinya yang digunakan
untuk
berinteraksi
dengan
reseptornya
berkurang,
dan
akhirnya
efek
antikoagulannya berkurang.
Antagomisme farmakologi
Antagonisms ini merupakan antagonisms yang melibatkan kerja atau efek
dari beberapa obat, yang timbul apabila obat dan antagonisnya bekerja pada
tempat kerja atau reseptor sama. Berbeda dengan antagonisms farmakokinetika,
antagonisme ini seringkali dapat diekstrapolasikan ke obat-obat lain yang
segolongan dengan obat yang berinteraksi, karena penggolongan obat
berdasarkan persamaan efek farmakodinamikanya. Berdasarkan sifatnya,
antagonisme farmakologi dibedakan menjadi dua yaitu (1) kompetitif dan (2) nonkompetitif.
Antagonisme bersifat kompetitif apabila antagonis mengikat tempat ikatan
agonis pada reseptornya secara reversibel, dan efek tersebut dapat digeser oleh
pemberian agonis pada dosis yang tinggi. Dalam hal ini, penambahan dosis
agonis dapat mengatasi efek penghambatan antagonis tersebut. Dengan kata
lain, diperlukan dosis agonis yang lebih tinggi untuk memperoleh efek yang
sama. Dari skema pada gambar 6, menunjukkan bahwa antagonis [A] dapat
menghambat efek farmakologi agonis [D] dengan berinteraksi secara reversibel
dengan reseptor agonis [R] membentuk komplek [AR]. Dalam hal ini, afinitas
agonis terhadap reseptornya menurun (gambar 7). Contoh dari antagonisme
kompetitif adalah asetilkolin dengan atropin yang bekerja pada reseptor
kolinergik muskarinik.
Dari skema pada gambar 6, dapat ditetapkan suatu konstanta disosiasi
komplek antagonis dengan reseptor yaitu
[A]
KA = ————
[A] [R]
(15)
Dari persamaan 15 dan gambar 6, keberadaan antagonis mengakibatkan
agonis yang berinteraksi dengan reseptor berkurang sehingga mengakibatkan
efeknya juga berkurang. Pada antagonisme ini, untuk mendapatkan efek
maksimum seperti pada kondisi sebelum ada antagonis adalah penambahan
dosis atau kadar agonis yang lebih besar. Pada kurva logaritma dosis vs. respon
(KLDR) adanya antagonis dapat menggeser kurva sejajar ke kanan dan
mengakibatkan harga pD2 agonis menjadi lebih kecil (gambar 7).
Parameter yang digunakan untuk antagonis adalah pA2 yaitu logaritma
negatif kadar molar antagonis yang mengakibatkan kadar agonis harus dilipatkan
menjadi dua kalinya untuk mendapatkan efek yang sama dengan efek pada
kondisi sebelum adanya antagonis. Nilai pA2 juga merupakan suatu afinitas
antagonis terhadap reseptornya. Nilai dapat ditetapkan dengan menggunakan
formula Schild seperti pada persamaan berikut:
pA2 = -log[A]2 = log(1/[A]2)
(16)
pA2 = -log[A]x + log(x-1 )
(17)
dimana x adalah rasio konsentrasi efektif agonis dengan antagonis terhadap
tanpa adanya antagonis, sedangkan [ A ] merupakan konsentrasi antagonis.
Antagonisme bersifat non kompetitif apabila penghambatan efek agonis
oleh antagonis tidak dapat diatasi dengan peningkatan kadar agonis. Sebagai
akibat, efek maksimal yang dicapai akan berkurang, akan tetapi afinitas agonis
terhadap reseptornya tidak berubah (gambar 8). Nampak pada gambar 9,
antagonis tidak mengubah kadar agonis yang terikat oleh reseptor ([DR] +
[DAR]), akan tetapi komplek [DAR] tersebut tidak dapat menimbulkan efek
farmakologi. Sebagai akibat, efek yang ditimbulkan agonis melalui komplek [DR]
akan
berkurang.
Contoh
dari
antagonisme
non
kompetitif
fenoksibenzamin mengikat reseptor a adrenergik secara irevesibel.
adalah
Parameter yang menerangkan antagonisme ini adalah pD '
2
yaitu
logaritma negatif kadar antagonis yang mengakibatkan pengurangan efek
maksimum agonis menjadi 50 % efek maksimum sebelum adanya antagonis
atau logaritma negatif tetapan disosiasi kompleks antagonis dengan reseptor.
pD'2 = -log[A']2 = logK'2
(18)
Pada KLRD, dengan adanya antagonis kurva sigmoid lebih melandai sebagai
konsekuensi adalah bahwa harga Emaks akan menurun akan tetapi nilai pD2nya cenderung untuk tetap.
Antagonisme kimiawi
Anatgonisme kimiawi terjadi manakala dua senyawa mengalami reaksi
kimia pada suatu larutan atau media sehingga mengakibatkan efek obat
berkurang. Sebagai contoh adalah penggunaan agen pengkelat dimerkaprol
yang mengikat pada logam-logam berat sehingga dapat menurunkan toksisitas
logam tersebut, dan penggunaan antibodi yang menetralisasi mediator protein
misalnya sitokin.
E. DESENSITISASI
Sering bahwa efek suatu obat mengalami penurunan ketika diberikan
jangka waktu yang lama dan berulang-ulang. Istilah desensitisasi disinonimkan
dengan takipilaksis. Mekanisme yang memperantarai peristiwa desensitisasi
adalah :
¾
Perubahan reseptor
¾
Kehilangan reseptor
¾
Penurunan Mediator
¾
Peningkatan degradasi metabolic
¾
Adaptasi fisiologi
Perubahan reseptor
Diantara
desensitisasi
reseptor
adalah
yang
sering
langsung
terjadi
berikatan
secara
cepat
dengan
dan
kanel
nyata.
ion,
Pada
neuromuscularjunction, terdapat kejadian bahwa desensitisasi disebabkan
karena perubahan lambat konformasi reseptor, menghasilkan ikatan yang kuat
atau rapat dari molekul agonis tanpa dapat membuka kanel ion. Perubahan yang
mirip adalah pada reseptor (β-adrenergik yang tidak dapat mengaktivasi adenilat
siklase. Desensitisasi tersebut diakibatkan karena fosforilasi residu spes'rfik
dalam protein reseptor.
Kehilangan reseptor
Penggunaan jangka panjang agonis sering manghasilkan penurunan
bertahap dalam jumlah reseptor. Pada penelitian menggunakan kultur sel, jumlah
(β-adrenergik berkurang hingga 10 % setelah 8 jam pemberian isoprenalin.
Namun, kehilangan reseptor tersebut adalah terbalikkan pada beberapa hari
selanjutnya. Peristiwa ini juga diakibatkan karena fosforilasi residu spesifik dalam
protein reseptor.
Penurunan Mediator
Amfetamin yang beraksi membebaskan noradrenalin maupun amin yang
lainnya dari ujung saraf autonom menunjukkan penekanan pada vesikel tempat
pelepasan noradrenalin untuk melepaskan senyawa tersebut.
Peningkatan degradasi metabolik
Peristiwa ini disebabkan peningkatan sistem metabolisme tubuh terhadap
suatu obat yang diberikan dalam jangka panjang. Sebagai contoh adalah
penggunaan barbiturat dan etanol yang jika digunakan dalam jangka waktu yang
lama akan mengalami pengurangan kadar obat dalam plasma akibat
peningkatan metabolismenya. Sebagai konsekuensi adalah penurunan efek dari
barbiturat dan etanol tersebut.
Adaptasi fisiologi
Peniadaan efek obat dapat terjadi akibat respon homeostatis tubuh. Efek
penurunan tekanan darah oleh diuretik tiazid menjadi terbatas akibat aktivasi
bertahap pada sistem renin-angiotensin.
Pertanyaan
1.
Jelaskan
perbedaan
teori
pendudukan
dan
teori
laju
dalam
menerangkan hubungan interaksi obat-reseptor dengan efek yang terjadi!
2.
Jelaskan
perbedaan
antara
stimulus
dengan
respon,
parameternya
dan hubungan antar keduanya!
3.
Apa yang disebut dengan antagonis surmountabel dan antagonis ireversibel
?
Download