1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Masyarakat mulai melakukan kegiatan pinjam meminjam uang sejak mengenal uang sebagai alat pembayaran. Kegiatan pinjam meminjam uang kini dianggap sesuatu yang sangat penting oleh sebagian masyarakat dengan tujuan untuk dapat meningkatkan taraf hidupnya serta dapat membantu kegiatan usaha yang sedang dijalankan oleh masyarakat. Memanfaatkan waktu yang relatif singkat untuk melakukan pencarian dana dengan cara menggali sendiri sangat tidak mudah. Keterbatasan kemampuan sebagian besar orang dalam menghadapi kesulitan dana menyebabkan orang melakukan peminjaman uang atau berhutang dengan pihak lain. Namun seiring berkembangnya jaman, peminjaman uang dengan pihak lain tidak lagi disebut hutang, melainkan kredit. Kredit yang dipinjam kepada pihak lain akan dikembalikan pada saat jatuh tempo pembayaran. Bank merupakan salah satu lembaga keuangan yang ditentukan oleh undang – undang dengan fungsinya sebagai penyalur kredit kepada masyarakat. Fasilitas kredit yang disalurkan oleh bank memang lebih dikenal secara umum oleh masyarakat. Sebagian besar orang yang menjalankan usaha di daerah perkotaan dapat dengan mudah memperoleh fasilitas kredit. Berbeda halnya dengan orang yang menjalankan usahanya di daerah pedesaan. Masyarakat yang menjalankan usahanya di daerah pedesaan mengalami kesulitan memperoleh fasilitas kredit 2 karena lembaga perbankan lebih memfokuskan memberikan fasilitas kredit di daerah perkotaan. Kesulitan yang dihadapi masyarakat pedesaan akan fasilitas kredit merupakan salah satu alasan yang melatarbelakangi diselenggarakannya suatu seminar kredit pedesaan pada tanggal 20 – 21 Februari 1984 di Semarang. Salah satu dari hasil seminar tersebut adalah pembentukan lembaga dana kredit pedesaan untuk memfasilitasi masyarakat pedesaan. Hasil seminar yang diprakarsai oleh Menteri Dalam Negeri tersebut menjadi titik terang bagi kehidupan perekonomian masyarakat di pedesaan1. Hasil dari seminar kredit pedesaan yang diselenggarakan di Semarang tersebut mendapat dukungan penuh dari pemerintah daerah Provinsi Bali. Dukungan ini terbukti dari adanya tindak lanjut dan inisiatif Pemerintah Daerah Provinsi Bali untuk kemudian Gubernur mengeluarkan Surat Keputusan No. 972 Tahun 1984 tentang Pendirian Lembaga Perkreditan Desa di Provinsi Daerah Tingkat I Bali2. Lembaga Perkreditan Desa, selanjutnya disebut LPD merupakan suatu bentuk lembaga ekonomi milik desa pakraman yang diatur dalam peraturan khusus. Peraturan tersebut adalah Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor. 8 Tahun 2002 tentang Lembaga Perkreditan Desa, Lembaran Daerah Provinsi Bali Nomor. 20 Tahun 2002, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Bali Nomor. 3 (selanjutnya disebut Perda LPD No. 8/2002), sebagaimana telah diubah sebanyak 2 (dua) kali 1 Ida Bagus Darsana, 2010, “Peranan dan Kedudukan LPD Dalam Sistem Perbankan di Indonesia”, Majalah Ilmu Hukum Kertha Wicaksana, Nomor 1, Januari 2010, hal. 12. 2 Ibid. 3 dengan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor. 3 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 8 Tahun 2002 tentang Lembaga Perkreditan Desa, Lembaran Daerah Provinsi Bali Tahun 2007 Nomor 3, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Bali Nomor 3 (selanjutnya disebut Perda LPD No. 3/2007) dan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 8 Tahun 2002 tentang Lembaga Perkreditan Desa, Lembaran Daerah Provinsi Bali Tahun 2012 Nomor 4, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Bali Nomor 4 (selanjutnya disebut Perda LPD No. 4/2012). Berdasarkan Pasal 2 angka 1 Perda LPD No. 8/2002, menyatakan bahwa: “LPD merupakan badan usaha keuangan milik desa yang melaksanakan kegiatan usaha di lingkungan desa dan untuk krama desa”. Ketentuan dalam Pasal 2 angka 1 Perda LPD No. 8/2002 menunjukkan bahwa LPD merupakan suatu bentuk lembaga ekonomi, yang oleh Perda diakui dan dikukuhkan dalam status hukum sebagai suatu bentuk badan usaha keuangan. Bentuk badan usaha keuangan LPD bersifat khusus karena hanya menyelenggarakan kegiatan usaha dalam wilayah desa pakraman3. Pasal 7 ayat (1) Perda LPD No. 8/2002 berkaitan dengan lapangan usaha yang dijalankan oleh LPD. Lapangan usaha LPD mencakup: a. Menerima dan menghimpun dana dari krama desa dalam bentuk keuangan dan deposito; b.Memberikan pinjaman hanya kepada krama desa; 3 I Nyoman Nurjaya et. al, 2011, Landasan Teoritik Pengaturan LPD (Sebagai Lembaga Keuangan Komunitas Masyarakat Hukum Adat Bali), Udayana University Press, Denpasar,hal. 36. 4 c. Menerima pinjaman dari lembaga–lembaga keuangan maksimum sebesar 100% dari jumlah modal, termasuk cadangan dan laba ditahan, kecuali batasan lainnya dalam jumlah pinjaman atau dukungan/bantuan dana; d.Menyimpan kelebihan likuiditasnya pada BPD dengan imbalan bunga bersaing dan pelayanan yang memadai. Berdasarkan substansi ketentuan Perda di atas, menunjukkan bahwa LPD merupakan suatu badan usaha keuangan khusus. Adapun ciri – ciri LPD sebagai lembaga keuangan khusus, yaitu sebagai berikut4: a. Merupakan milik desa pakraman b. Dibentuk dan dikelola oleh desa pakraman; c. Menyelenggarakan fungsi – fungsi kelembagaan keuangan komunitas desa pakraman, seperti menerima/menghimpun dana dari krama desa, memberikan pinjaman hanya kepada krama desa, dan mengelola keuangan lembaga tersebut, hanya pada lingkungan desa pakraman; dan d. Menyelenggarakan fungsi usaha sebagai lembaga usaha keuangan internal desa pakraman, atau sejauh jauhnya antardesa pakraman. Salah satu usaha yang dijalankan oleh LPD seperti tersebut di atas adalah memberikan kredit kepada masyarakat. Pemberian kredit merupakan kegiatan utama dari LPD yang mengandung resiko paling tinggi dan dapat mempengaruhi kesehatan dan kelangsungan dari LPD selaku kreditor. Setiap LPD yang melakukan kegiatan pemberian fasilitas kredit harus melaksanakan pengawasan kredit. Pengawasan dalam hal ini lebih dikhususkan pada siapa yang berhak mengawasi dan peran tim pengawas melakukan tugasnya. Pengawasan tidak hanya ditujukan terhadap nasabah sebagai pihak debitor namun 4 Ibid. 5 pengawasan juga penting dilakukan terhadap karyawan LPD yang berwenang dalam hal pemberian kredit. LPD merupakan salah satu aset dan sumber pendapatan desa adat sehingga memerlukan pengelolaan yang baik oleh pengurus dan badan pengawas. Pengawasan kredit yang memadai baik secara internal maupun eksternal perlu dimiliki oleh setiap LPD guna mencegah terjadinya penyalahgunaan wewenang oleh berbagai pihak dan praktek-praktek keuangan yang dapat mempengaruhi kesehatan LPD. Definisi kredit diatur dalam Pasal 1 angka 11 Undang - Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan dari Undang - Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3790), selanjutnya disebut UndangUndang Perbankan. Pasal 1 angka 11 Undang - Undang Perbankan menyatakan bahwa: “Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara Bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga”. Definisi kredit yang terkandung di dalam Undang-Undang Perbankan di atas terlalu sempit karena hanya membatasi kredit pada penyediaan dana oleh bank. Sesungguhnya definisi kredit lebih luas dari pada itu. Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/2/PBI/2005 (selanjutnya disebut PBI No. 7/2/2005). Pada Pasal 1 angka 5 PBI No. 7/2/PBI/2005 dijelaskan bahwa: Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank 6 dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga, termasuk5: a. Cerukan (overdraft), yaitu saldo negatif pada rekening giro nasabah yang tidak dapat dibayar lunas pada akhir hari; b. Pengambilalihan tagihan dalam rangka kegiatan anjak piutang; c. Pengambilalihan atau pembelian kredit dari pihak lain. Pemberian fasilitas kredit oleh LPD hendaknya harus dipertimbangkan terlebih dahulu seluk beluk tentang nasabahnya. Pertimbangan tersebut didasarkan atas penilaian yang dilakukan oleh LPD agar memperoleh kepercayaan tentang nasabahnya. Penilaian ini penting untuk dilakukan karena pemberian kredit merupakan salah satu kegiatan usaha yang memiliki tingkat resiko yang sangat tinggi terhadap kesehatan LPD. Pihak debitor yang mengajukan kredit kepada LPD, hendaknya menyiapkan benda yang akan dijadikan jaminan kredit. Selain sebagai pengaman kredit yang akan diberikan, barang yang akan digunakan sebagai jaminan kredit oleh pihak debitor akan dapat membantu LPD untuk menentukan besarnya kredit yang akan dikeluarkan oleh pihak LPD. Jaminan kredit yang disetujui dan diterima oleh LPD selanjutnya akan mempunyai beberapa fungsi dan salah satunya adalah untuk mengamankan pelunasan kredit bila pihak nasabah cidera janji. Jaminan kredit mempunyai peranan penting bagi pengamanan pengembalian dana LPD yang disalurkan kepada pihak peminjam melalui pemberian kredit. Pada dasarnya jenis jaminan dapat dibedakan menjadi 2 (dua) macam, yaitu jaminan materiil (kebendaan) dan jaminan immateriil (perorangan). Jaminan 5 Sentosa Sembiring, 2012, Hukum Perbankan, CV. Mandar Maju, Bandung, (selanjutnya disingkat Sentosa Sembiring I), hal. 149. 7 perorangan tidak memberikan hak mendahului atas benda-benda tertentu, tetapi hanya dijamin oleh harta kekayaan seseorang lewat orang yang menjamin pemenuhan perikatan yang bersangkutan. Jaminan kebendaan mempunyai ciri-ciri kebendaan dalam arti memberikan hak mendahului di atas benda-benda tertentu dan mempunyai sifat melekat dan mengikuti benda yang bersangkutan6. Sri Soedewi Masjchoen Sofwan juga memberikan definisi mengenai pengertian jaminan materiil (kebendaan) dan jaminan immateriil (perorangan). Kedua jaminan tersebut dijelaskan sebagai berikut7: Jaminan materiil adalah jaminan yang berupa hak mutlak atas suatu benda, yang mempunyai hubungan langsung atas benda tertentu, dapat dipertahankan terhadap siapa pun, selalu mengikuti bendanya dan dapat dialihkan. Jaminan immateriil (perorangan) adalah jaminan yang menimbulkan hubungan langsung pada perorangan tertentu, hanya dapat dipertahankan terhadap debitur tertentu, terhadap harta kekayaan debitur umumnya. Perangkat perundang – undangan yang memberikan dasar perlindungan penyaluran kredit melalui lembaga jaminan kebendaan yaitu Pasal 1131 dan 1132 Kitab Undang – Undang Hukum Perdata, selanjutnya dalam penulisan ini disebut KUHPerdata. Pasal 1131 KUHPerdata, menyatakan bahwa: “Segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang tak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang akan ada di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatannya perseorangan”. Berdasarkan rumusan Pasal 1131 KUHPerdata tersebut, menunjukkan bahwa objek yang dijadikan jaminan pelunasan utang tidak pasti. Komunikasi antara pihak debitor dan kreditor untuk mencapai kesepakatan dalam membuat 6 Salim HS, 2004, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, (selanjutnya disingkat Salim HS I), hal. 23. 7 Ibid. 8 perjanjian jaminan tidak diperlukan karena dalam hal ini kedua belah pihak tersebut bersifat pasif8. Dasar perlindungan pemberian kredit juga diatur di dalam Pasal 1132 KUHPerdata. Pasal 1132 KUHPerdata, menegaskan: Kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama - sama bagi semua orang yang mengutangkan padanya, pendapatan penjualan benda - benda itu dibagi-bagi menurut keseimbangan, yaitu menurut besar kecilnya piutang masing - masing, kecuali apabila diantara para kreditor itu ada alasan - alasan yang sah untuk didahulukan. Jaminan yang terkandung di dalam Pasal 1132 KUHPerdata di atas menimbulkan kekhawatiran dan dirasa kurang menjamin pelunasan piutang pihak kreditor. Hal ini dikarenakan pihak kreditor tidak mengetahui berapa jumlah harta kekayaan yang akan digunakan untuk membayar utang-utangnya kepada kreditor, serta tidak diketahui debitor memiliki utang dengan siapa saja9. Benda yang paling umum dipergunakan sebagai jaminan dalam pemberian fasilitas kredit oleh LPD adalah tanah yang sudah mempunyai alas hak, yaitu berupa sertifikat hak milik atas tanah. Jaminan kredit dengan sertifikat hak milik atas tanah dirasa lebih menguntungkan bagi pihak LPD karena secara ekonomis, harga jual tanah akan terus meningkat dari waktu ke waktu. Berbeda halnya dengan jaminan kredit menggunakan barang bergerak yang memiliki kemungkinan penurunan harga setiap waktu. LPD sebagai lembaga keuangan tentunya memerlukan suatu perlindungan hukum dalam memberikan kredit kepada debitor yang menggunakan jaminan 8 Gatot Supramono, 2009, Perbankan dan Masalah Kredit, Rineka Cipta, Jakarta, (selanjutnya disingkat Gatot Supramono I), hal. 198. 9 Rachmadi Usman, 2009, Hukum Jaminan Keperdataan, Sinar Grafika, Jakarta, (selanjutnya disingkat Rachmadi Usman I), hal. 75. 9 sertifikat hak milik atas tanah. Perlindungan hukum tersebut diimplementasikan dalam suatu lembaga jaminan khusus hak atas tanah, yaitu Hak Tanggungan. Lembaga jaminan hak atas tanah ini mampu memberikan kedudukan kedudukan yang diistimewakan bagi LPD selaku kreditor. Definisi Hak Tanggungan diatur dalam Pasal 1 angka 1 Undang - Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda - Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor. 42, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3632), selanjutnya disebut UUHT. Pasal 1 angka 1 UUHT, menyatakan bahwa: Hak tanggungan atas tanah beserta benda – benda yang berkaitan dengan tanah, yang selanjutnya disebut hak tanggungan, adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang – Undang Nomor. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok–Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda – benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor – kreditor lainnya. Sebagai lembaga jaminan hak kebendaan, Hak Tanggungan memiliki ciri dan sifat. Adapun yang menjadi ciri dan sifat dari Hak Tanggungan adalah sebagai berikut10: 1. Memberikan kedudukan yang diutamakan atau mendahului kepada pemegangnya atau yang dikenal dengan droit de preference; 2. Selalu mengikuti objek yang dijamin dalam tangan siapa pun benda itu berada atau disebut dengan droit de suit; 3. Memenuhi asas spesialitas dan publisitas sehingga dapat mengikat pihak ketiga dan memberikan kepastian hukum bagi pihak yang berkepentingan; dan 4. Mudah dan pasti dalam pelaksanaan eksekusinya. 10 M. Bahsan, 2010, Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal. 22. 10 Pasal 10 ayat (2) dan Pasal 13 ayat (1) dan (2) UUHT memberikan kepastian hukum kepada kreditor sebagai pemegang Hak Tanggunan. Pasal 10 ayat (2) UUHT, menyatakan bahwa: “Pemberian Hak Tanggungan dilakukan dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan oleh PPAT sesuai dengan peraturan perundang – undangan yang berlaku”. Selanjutnya Pasal 13 ayat (1) dan (2) UUHT merupakan ketentuan yang tidak dapat disimpangi. Pasal 13 ayat (1) dan (2) UUHT menyatakan bahwa: (1) Pemberian Hak Tanggungan wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan; (2) Selambat – lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah penandatanganan Akta Pemberian Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2), PPAT wajib mengirimkan Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan dan warkah lain yang diperlukan kepada Kantor Pertanahan. Substansi dari Pasal 10 ayat (2) UUHT menunjukkan pemberian Hak Tanggungan dilakukan dengan Akta Pemberian Hak Tanggungan, selanjutnya disebut APHT. Kewajiban pembuatan APHT berkonsekuensi terhadap keberadaan barang jaminan dikaitkan dengan Pasal 13 ayat (1) dan (2) UUHT yang mewajibkan pendaftaran pemberian Hak Tanggungan dilakukan selambatlambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah penandatanganan APHT. Jadi, dapat dikatakan bahwa pemberian Hak Tanggungan dengan menggunakan APHT merupakan suatu kewajiban yang harus dilakukan oleh LPD sebagai lembaga keuangan yang memberikan fasilitas kredit dengan jaminan sertifikat hak milik atas tanah. Kewajiban itu dilakukan agar pemberian Hak Tanggungan dapat didaftarkan. Pendaftaran Hak Tanggungan merupakan syarat mutlak untuk lahirnya Hak Tanggungan tersebut dan mengikatnya Hak Tanggungan terhadap pihak ketiga. 11 Berdasarkan hasil penjajakan tahap awal, dalam pemberian fasilitas kredit dengan jaminan sertifikat hak milik atas tanah pada LPD Desa Pakraman Sanur tidak dipenuhi dengan APHT. Hal ini berarti dijumpai LPD di Kota Denpasar dalam penyaluran kredit dengan jaminan sertifikat hak milik atas tanah hanya dilakukan dengan pembuatan perjanjian pokok, yaitu perjanjian utang piutang, tanpa diikuti dengan akta Pejabat Pembuat Akta Tanah, yaitu APHT sebagai perjanjian tambahan (accessoir) sehingga tidak dapat didaftarkan di Kantor Pertanahan. Pihak LPD Desa Pakraman Sanur selaku kreditor tidak melaksanakan ketentuan yang ditetapkan dalam Pasal 10 ayat (2) dan Pasal 13 ayat (1) dan (2) UUHT tersebut di atas. Penyertaan APHT yang tidak dilaksanakan pada saat pemberian kredit dengan jaminan sertifikat hak milik atas tanah menjadikan kedudukan LPD Desa Pakraman Sanur tersebut lemah jika debitor (nasabah) mengalami permasalahan dalam memenuhi kewajiban yang tertera di dalam perjanjian utang piutang. Pemberian Hak Tanggungan yang tidak diikuti dengan pembuatan APHT, sudah tentu tidak akan dapat didaftarkan sehingga sertifikat Hak Tanggungan yang mempunyai kekuatan eksekutorial tidak dapat diterbitkan. Sertifikat hak tanggungan memuat irah - irah dengan kata - kata “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”, yang merupakan hak dari pemegang Hak Tanggungan untuk menjual benda yang menjadi objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri. Berdasarkan uraian di atas, terlihat adanya kesenjangan antara pelaksanaan (das sein) dan pengaturan (das sollen), menarik untuk diteliti dan diangkat karya 12 ilmiah dalam bentuk tesis dengan judul: “PENGAWASAN PEMBERIAN KREDIT DENGAN JAMINAN SERTIFIKAT HAK MILIK ATAS TANAH TANPA AKTA PEMBERIAN HAK TANGGUNGAN PADA LEMBAGA PERKREDITAN DESA DI KOTA DENPASAR”. Dari penelusuran kepustakaan, ada beberapa penelitian yang berkaitan dengan jaminan Hak Tanggungan yang diatur di dalam UUHT, yaitu: Tesis dari I Nyoman Gede Mudita, SH, NIM 0620112024, alumni mahasiswa Program Magister Kenotariatan Universitas Brawijaya Tahun 2007, dengan judul tesis adalah Kedudukan Akta Pengikatan Jaminan Yang Dibuat Oleh Notaris/PPAT Dalam Pemberian Kredit Oleh Lembaga Perkreditan Desa (LPD). Adapun yang menjadi pokok permasalahan yang ditulis dalam tesis ini adalah bagaimanakah kedudukan akta pengikatan jaminan yang dibuat oleh Notaris/PPAT dalam pemberian kredit oleh Lembaga Perkreditan Desa (LPD), bagaimanakah tanggungjawab Notaris/PPAT terhadap akta pengikatan jaminan yang telah dibuat, dan bagaimanakah peranan Notaris/PPAT dalam hal terjadinya kredit macet di Lembaga Perkreditan Desa (LPD)11. LPD yang dipilih sebagai tempat penelitian dalam tesis ini adalah 4 (empat) LPD di Kabupaten Badung. Ketiga permasalahan yang dikemukakan oleh I Nyoman Gede Muditha dalam tesis yang ditulisnya menunjukkan bahwa LPD di Kabupaten Badung dalam pemberian fasilitas kredit dengan jaminan benda bergerak maupun tidak bergerak sudah menggunakan akta notaris/PPAT. 11 I Nyoman Gede Mudita, 2007, “Kedudukan Akta Pengikatan Jaminan Yang Dibuat Oleh Notaris/PPAT Dalam Pemberian Kredit Oleh Lembaga Perkreditan Desa (LPD)”, Tesis Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang, hal. 10. 13 Tesis dari Ni Nyoman Rumbiani, SH, NIM 1092461029, alumni mahasiswi Magister Kenotariatan Universitas Udayana, Tahun 2013, dengan judul tesis Perjanjian Kredit Dengan Jaminan Hak Atas Tanah Pada Lembaga Perkreditan Desa Di Kabupaten Gianyar. Adapun yang menjadi pokok permasalahan adalah persyaratan apakah yang harus dipenuhi oleh bukan krama desa (krama tamiu) dalam mengajukan permohonan kredit di LPD Kabupaten Gianyar dan bagaimanakah tanggung jawab serta upaya hukum yang dilakukan oleh LPD di Kabupaten Gianyar apabila debitor wanprestasi12. Tesis dari Haryati, SH, NIM B.002.95.0156, alumni mahasiswi Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro Tahun 1999, dengan judul tesis Proses Pembebanan Hak Tanggungan. Adapun yang menjadi pokok permasalahan adalah bagaimanakah proses pembebanan hak tanggungan setelah keluarnya hak tanggungan, sejauh manakah akta pemberian hak tanggungan dalam pembebanan hak tanggungan dapat memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum, dan bagaimanakah proses pendaftaran hak tanggungan menurut Undang-Undang Hak Tanggungan13. Berdasarkan penelusuran dari beberapa tesis dengan judul dan pokok permasalahan seperti yang dijelaskan tersebut di atas, menunjukkan bahwa penelitian dengan judul Pengawasan Pemberian Kredit Dengan Jaminan Sertifikat 12 Ni Nyoman Rumbiani, 2013, “Perjanjian Kredit Dengan Jaminan Hak Atas Tanah Pada Lembaga Perkreditan Desa Di Kabupaten Gianyar”, Tesis Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar, hal. 17. 13 Haryati, 1999, “Proses Pembebanan Hak Tanggungan”, Tesis Fakuktas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, hal. 6. Serial online (cited on 2000 jun 02), available from URL: http://eprints.undip.ac.id/12977/1/1999H438.pdf, diakses tanggal 3 Februari 2013. 14 Hak Milik Atas Tanah Tanpa Akta Pemberian Hak Tanggungan Pada Lembaga Perkreditan Desa Di Kota Denpasar belum ada yang membahasnya. Begitu juga dengan permasalahan yang dikaji memiliki perbedaan dengan permasalahan dalam tesis di atas, sehingga tesis ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah keorisinalannya dan keasliannya. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimanakah kedudukan LPD selaku kreditor dalam penyelesaian perjanjian kredit macet dengan jaminan sertifikat hak milik atas tanah yang tidak diikat dengan APHT? 2. Bagaimanakah pelaksanaan pengawasan dari badan pengawas internal dan eksternal terhadap praktek pemberian kredit oleh LPD dengan jaminan sertifikat hak milik atas tanah yang tidak diikat dengan APHT? 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini dapat dikualifikasikan atas tujuan yang bersifat umum dan tujuan yang bersifat khusus. Kedua tujuan penelitian tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: 1.3.1 Tujuan Umum Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk pengembangan ilmu hukum dalam bidang Hukum Jaminan mengenai pemahaman terhadap pengawasan pemberian kredit dengan jaminan sertifikat hak milik atas tanah tanpa APHT pada LPD di Kota Denpasar. 15 1.3.2 Tujuan Khusus Berdasarkan tujuan umum tersebut, penelitian ini dilaksanakan untuk mencapai tujuan yang bersifat khusus, yaitu: 1. Untuk mengkaji dan menganalisis kedudukan LPD selaku kreditor dalam penyelesaian perjanjian kredit macet dengan jaminan sertifikat hak milik atas tanah yang tidak diikat dengan APHT. 2. Untuk mengkaji dan menganalisis lebih mendalam mengenai pelaksanaan pengawasan dari badan pengawas internal dan eksternal terhadap praktek pemberian kredit oleh LPD dengan jaminan sertifikat hak milik atas tanah yang tidak diikat dengan APHT. 1.4 Manfaat Penelitian Setiap penelitian yang dilakukan pasti diharapkan agar dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun praktis bagi pengembangan ilmu pengetahuan. 1.4.1 Manfaat Teoritis Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah khazanah pengetahuan di bidang Ilmu Hukum Jaminan berkaitan dengan pengawasan pemberian kredit dengan jaminan sertifikat hak milik atas tanah tanpa APHT pada LPD di Kota Denpasar. 1.4.2 Manfaat Praktis Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada LPD, masyarakat, dan penulis sendiri. 16 1. Bagi LPD, hasil penelitian ini akan dapat memberikan pemahaman berkenaan pentingnya APHT dalam memberikan kepastian hukum untuk pemberian kredit dengan jaminan sertifikat hak milik atas tanah. 2. Bagi masyarakat, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan lebih luas mengenai pentingnya pembuatan APHT pada saat pembebanan Hak Tanggungan, serta dapat mengetahui pelaksanaan pengawasan dari badan pengawas internal dan eksternal terhadap praktek menyimpang terhadap UUHT yang dilakukan oleh LPD. 3. Bagi penulis sendiri, hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan di bidang Hukum Jaminan mengenai pelaksanaan pengawasan pemberian kredit dengan jaminan sertifikat hak milik atas tanah tanpa APHT pada LPD di Kota Denpasar. 1.5 Landasan Teoritis Teori adalah suatu prinsip atau ajaran pokok yang dianut untuk mengambil suatu tindakan atau memecahkan suatu masalah. Landasan teori merupakan ciri penting bagi penelitian ilmiah untuk mendapatkan data. Teori merupakan alur penalaran atau logika (flow of reasoning/logic), terdiri dari seperangkat konsep atau variable, definisi, dan proposisi yang disusun secara sistematis14. Teori adalah seperangkat gagasan yang berkembang di samping mencoba secara 14 J.Supranto, 2003, Metode Penelitian Hukum dan Statistik, Rineka Cipta, Jakarta, hal.194. 17 maksimal untuk memenuhi kriteria tertentu, meski mungkin saja hanya memberikan kontribusi parsial bagi keseluruhan teori yang lebih umum15. Teori dalam penelitian empiris selain berfungsi untuk menjelaskan fakta, juga harus mampu meramalkan atau membuktikan fakta-fakta atau kejadian-kejadian16. Landasan teori dalam penulisan tesis ini menggunakan beberapa teori dan konsep hukum, yaitu sebagai berikut: 1. Teori sistem hukum Teori tentang sistem hukum dikemukakan pertama kali oleh Lawrence M. Friedman yang membagi sistem hukum menjadi 3 (tiga) unsur, yaitu struktur hukum, substansi hukum, dan budaya hukum (kultur hukum). Tiga unsur dari sistem hukum ini diteorikan oleh Lawrence M.Friedman sebagai Three Elements of Legal System (tiga elemen dari sistem hukum). Menurut Lawrence M. Friedman dalam Achmad Ali yang dimaksud dengan unsur-unsur sistem hukum tersebut adalah17: a. Struktur hukum, yaitu keseluruhan institusi-institusi hukum yang ada beserta aparatnya, mencakup antara lain kepolisian, dengan para polisinya, kejaksaan dengan jaksanya, pengadilan dengan hakimnya, dan lain-lain; b. Substansi hukum, yaitu keseluruhan aturan hukum, norma hukum dan asas hukum, baik yang tertulis maupun tidak tertulis, termasuk putusan pengadilan; c. Kultur hukum, yaitu opini-opini, kepercayaan-kepercayaan (keyakinankeyakinan), kebiasaan-kebiasaan, cara berpikir, dan cara bertindak, baik dari penegak hukum maupun dari warga masyarakat, tentang hukum dan berbagai fenomena yang berkaitan dengan hukum. 15 H.R.Otje Salman dan Anton F.Susanto, 2005, Teori Hukum, Refika Aditama, Bandung, hal.21. 16 Bahder Johan Nasution, 2008, Metode Penelitian Ilmu Hukum, CV Mandar Maju, Bandung, hal. 141. 17 Achmad Ali, 2009, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicial Prudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence), Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hal. 204. 18 Friedman menggunakan cara lain untuk menggambarkan 3 (tiga) unsur sistem hukum. Jadi, ketiga unsur sistem hukum dapat digambarkan, seperti struktur hukum diibaratkan sebagai mesin, substansi hukum diibaratkan sebagai apa yang dikerjakan dan apa yang dihasilkan mesin tersebut, sedangkan kultur atau budaya hukum adalah apa saja atau siapa saja yang memutuskan untuk menghidupkan dan mematikan mesin itu serta memutuskan bagaimana mesin tersebut digunakan18. Selain ketiga unsur sistem hukum yang dikemukakan oleh Friedman, Achmad Ali menambahkan 2 (dua) unsur sistem hukum. Unsur tersebut antara lain, yaitu19: a. b. Profesionalisme, yang merupakan unsur kemampuan dan keterampilan secara person dari sosok-sosok penegak hukum; Kepemimpinan, juga merupakan unsur kemampuan dan keterampilan secara person dari sosok-sosok penegak hukum, utamanya kalangan petinggi hukum. Memahami hubungan antara kepemimpinan atau leadership, John Baldoni dalam kata pengantar bukunya yang berjudul “Great Comunnication Secrets of Great Leaders”, mengemukakan bahwa: “So in every real sense, leadership effectiviness, both for presidents and for anyone in a position of authority, depends to a high degree upon good comunnication”20. (Jadi, dalam segala pengertian nyata, keefektifan kepemimpinan baik bagi presiden maupun setiap pejabat bergantung pada seberapa tinggi tingkat kebaikan komunikasi). 18 Frans Hendra Winarta, 2012, “Membangun Profesionalisme Aparat PenegakHukum”,availablefrom:URL:http://www.franswinarta.com/EZPDF/Mem bangun%20Profesionalisme%20Aparat%20Penegak%20Hukum %2030.5.12.pdf, diakses tanggal 12 Agustus 2013. 19 Achmad Ali, loc.cit. 20 Achmad Ali, loc.cit. 19 Bagi Baldoni, faktor kepemimpinan sangat erat hubungannya dengan kemampuan pemimpin melakukan komunikasi yang optimal, sehingga dia mampu membangun trust atau kepercayaan. Komunikasi hukum dan sosialisasi hukum adalah sub elemen dari elemen kepemimpinan dalam suatu sistem hukum. Dengan kata lain, komunikasi hukum dan sosialisasi hukum merupakan faktor yang sangat essensial bagi efektivitas hukum. Melalui komunikasi, seorang pemimpin ataupun penegak hukum, membangun “trust” dari masyarakatnya21. Komunikasi dan efektifitas hukum memiliki suatu keterkaitan. Kaitan antara komunikasi dan efektivitas hukum adalah digambarkan sebagai berikut22: Komunikasi Hukum melahirkan Trust (Kepercayaan) mewujudkan Efektifitas Hukum Unsur – unsur sistem hukum dapat diimplementasikan ke dalam sistem kerja LPD. Dalam sistem kerja LPD, bagian-bagian yang dapat dikelompokkan dalam struktur, substansi, kultur hukum, profesionalisme, dan kepemimpinan adalah sebagai berikut: Struktur hukum yaitu institusi-institusi hukum yang berwenang untuk mengeluarkan suatu peraturan, membina, serta mengawasi sistem kerja di LPD, antara lain badan pengurus. Badan pengurus terdiri dari seorang kepala LPD, tata usaha, dan kasir; serta badan pengawas internal LPD yang terdiri dari ketua dan sekurang – kurangnya 2 (dua) orang anggota, serta badan pengawas eksternal LPD. 21 22 Achmad Ali, loc.cit. Achmad Ali, op.cit, hal. 206. 20 Ketentuan-ketentuan yang dikeluarkan oleh LPD sendiri, beserta ketentuan yang tercantum di dalam Undang-Undang dapat digolongkan sebagai elemen yang termuat di dalam substansi pada sistem kerja LPD. Ketentuan yang tercantum di dalam Undang –Undang tentunya terkait dengan cakupan usaha yang dijalankan oleh LPD. Kultur hukum yaitu cara - cara dalam melaksanakan ketentuan hukum yang berkaitan dengan usaha yang akan dijalankan oleh LPD. Cara-cara yang dilakukan oleh LPD juga dapat menjadi elemen dari kultur hukum yang membawa pengaruh terhadap kesehatan LPD karena kebiasaan LPD menjalankan usahanya menyimpang dari aturan hukum yang berlaku. Profesionalisme dan kepemimpinan dalam sistem kerja LPD meliputi kemampuan dan keterampilan dari tim badan pengawas internal dan eksternal LPD. Kedua tim pengawas berwenang mengawasi kinerja LPD agar tidak menyimpang dari ketentuan – ketentuan yang terkait terhadap pemberian kredit kepada pihak debitor. Teori sistem hukum ini digunakan sebagai pisau analisis terhadap permasalahan pertama dan kedua karena permasalahan yang dikaji beranjak dari adanya kesenjangan antara das sollen dengan das sein. Kesenjangan antara das sollen dengan das sein terjadi karena ketiga unsur sistem hukum di atas tidak berjalan dengan baik, terutama terhadap apa yang menyebabkan LPD memberikan fasilitas kredit dengan jaminan sertifikat hak milik atas tanah tanpa APHT. Untuk mengetahui apa yang menyebabkan LPD melakukan penyimpangan terhadap substansi dari UUHT dilakukan dengan cara menelaah struktur hukum, 21 substansi hukum, kultur hukum, profesionalisme dan kepemimpinan. Beberapa unsur dalam sistem hukum ini dapat mempengaruhi LPD dalam memberikan kredit dengan jaminan sertifikat hak milik atas tanah yang tidak diikat dengan APHT sehingga bertentangan dengan Pasal 10 ayat (2) UUHT. 2. Teori Kepastian Hukum Suatu aturan hukum, baik itu berupa undang-undang maupun hukum tidak tertulis, menjadi pedoman bagi individu bertingkah laku dalam hidup bermasyarakat, baik dalam hubungan dengan sesama individu maupun dalam hubungannya dengan masyarakat. Pelaksanaan dari undang-undang tersebut akan menimbulkan suatu kepastian hukum. Roscoe Pound menyebutkan bahwa kepastian hukum memungkinkan adanya predictability23. Kepastian hukum mengandung 2 (dua) pengertian, yaitu pertama, adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan; dan kedua, berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena adanya aturan yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh negara terhadap individu24. Teori kepastian hukum digunakan sebagai pisau analisis terhadap permasalahan pertama, yaitu mengenai kedudukan LPD selaku kreditor dalam penyelesaian kredit macet dengan jaminan sertifikat hak milik atas tanah yang tidak diikat dengan APHT. Pihak LPD selaku kreditor dalam memberikan kredit dengan jaminan sertifikat hak milik atas tanah wajib mematuhi substansi dari UUHT. UUHT 23 telah mengakomodasi kepentingan-kepentingan serta Peter Mahmud Marzuki, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, (selanjutnya disingkat Peter Mahmud Marzuki I), hal. 137. 24 Ibid. 22 perlindungan bagi LPD, sehingga pihak LPD selaku kreditor akan diberikan kepastian hukum mengenai kedudukannya sebagai pemegang Hak Tanggungan. 3. Teori Kewenangan Goorden memberikan pendapat bahwa wewenang itu terjadi pada saat pembuat undang-undang memberikan keseluruhan hak dan kewajiban secara eksplisit kepada subjek hukum publik25. Berbeda halnya dengan Stourt, Beliau mengungkapkan bahwa wewenang dapat dimaknai sebagai pengertian yang berasal dari hukum organisasi pemerintahan, yang dapat dijelaskan sebagai keseluruhan aturan-aturan yang berkenaan dengan perolehan dan penggunaan wewenang pemerintahan oleh subjek hukum publik di dalam hubungan hukum publik26. Bagir Manan27memberikan komentar mengenai wewenang. Beliau menyatakan bahwa wewenang memiliki perbedaan makna dengan kekuasaan (macht). Pengertian kekuasaan lebih menekankan pada hak untuk berbuat dan tidak berbuat, sedangkan wewenang lebih menekankan pada hak dan kewajiban (rechten en plichten). Mengenai sumber dan cara memperoleh wewenang organ pemerintahan sangat penting karena berhubungan dengan pertanggungjawaban hukum dan penggunaan wewenang tertentu. Pada hakikatnya, sumber kewenangan dapat diperoleh dari peraturan perundang-undangan, baik secara langsung (atribusi), 25 Ridwan HR, 2011, Hukum Administrasi Negara, PT.RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal. 98. 26 Ibid. 27 H.Murtir Jeddawi, 2012, Hukum Administrasi Negara, Total Media, Yogyakarta, hal. 74. 23 ataupun pelimpahan (delegasi dan sub delegasi), serta atas dasar penugasan (mandat)28. Ketiga jenis kewenangan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut29: a. Atribusi, yaitu pembuat undang-undang memberikan suatu wewenang pemerintahan kepada organ pemerintah. Bentuk tanggung jawab dan tanggung gugat terletak pada badan atau jabatan yang diberikan wewenang tersebut. Kewenangan hanya berhak digunakan oleh badan/jabatan yang bersangkutan; b. Delegasi, yaitu peralihan wewenang pemerintahan dari satu organ pemerintahan (pemberi delegasi) kepada organ pemerintahan lainnya (penerima delegasi). Peralihan wewenang tersebut harus berdasarkan peraturan perundang-undangan. Pemberi delegasi tidak boleh menggunakan kewenangan tersebut selama belum ada pencabutan atas kewenangan tersebut. c. Mandat, yaitu kewenangan organ pemerintah dijalankan oleh organ lain atas namanya dan seijinnya. Biasanya mandat ini sering terjadi dalam hubungan antara atasan dan bawahan. Pemberi maupun penerima mandat dapat menggunakan kewenangan tersebut, akan tetapi yang bertanggung jawab atas kewenangan tersebut hanyalah pemberi mandat. Pelimpahan wewenang pemerintahan melalui delegasi ini terdapat beberapa syarat di dalamnya. Adapun syarat – syarat tersebut, antara lain30: 28 Sjachran Basah, 2000, Perlindungan Hukum Terhadap Sikap Tindak Pidana Administrasi Negara, Penerbit Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, hal. 66. 29 Ibid. 30 H.Murtir Jeddawi, op.cit, hal. 75. 24 a. Wewenang yang dilimpahkan tidak dapat lagi digunakan oleh pemberi delegasi; b. Wewenang yang dilimpahkan hanya dimungkinkan apabila ditentukan dalam suatu peraturan perundang-undangan; c. Wewenang yang dilimpahkan tidak berlaku dalam hubungan rutin antara atasan dan bawahan; d. Penerima delegasi memiliki hak untuk meminta suatu penjelasan akan wewenang yang dilimpahkan tersebut kepada pemberi delegasi; e. Pemberi delegasi memberikan suatu petunjuk akan penggunaan atas wewenang yang dilimpahkan tersebut kepada penerima delegasi. Teori kewenangan memiliki relevansi dengan permasalahan mengenai pengawasan oleh badan pengawas internal dan eksternal terhadap praktek pemberian kredit dengan jaminan sertifikat hak milik atas tanah yang tidak diikat oleh APHT. Dalam hal ini, teori kewenangan digunakan untuk menganalisis mengenai apa dasar kewenangan badan pengawas eksternal dan internal untuk mengawasi jalannya kegiatan keuangan yang dilakukan oleh LPD. 4. Teori Good Corporate Governance (GCG) Perbankan Indonesia Tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance), selanjutnya disebut GCG merupakan struktur yang oleh stakeholder, pemegang saham, komisaris, dan manajer menyusun tujuan perusahaan dan sarana untuk mencapai tujuan tersebut dan mengawasi kinerja31. Adapun Center for European Policy 31 Moh Wahyudin Zarkasyi, 2008, Good Corporate Governance Pada Badan Usaha Manufaktur, Perbankan, dan Jasa Keuangan Lainnya, Alfabeta, Bandung, hal. 35. 25 Study (CEPS), memformulasikan GCG adalah seluruh sistem yang dibentuk mulai dari hak (right), proses dan pengendalian baik yang ada di dalam maupun di luar manajemen perusahaan. Hak yang dimaksud disini adalah hak dari seluruh stakeholders dan bukan hanya terbatas kepada satu stakeholders saja32. Menurut Noensi, seorang pakar GCG dari Indo Consult, mendefinisikan GCG adalah menjalankan dan mengembangkan perusahaan dengan bersih, patuh pada hukum yang berlaku, dan peduli terhadap lingkungan yang dilandasi dengan nilainilai sosial budaya yang tinggi33. Dalam rangka economy recovery, pemerintah Indonesia dan International Monetary Fund (IMF) memperkenalkan dan mengintroduksi konsep GCG sebagai tata cara kelola perusahaan yang sehat34. Pedoman GCG Perbankan Indonesia merupakan pelengkap dan bagian yang tak terpisahkan dari Pedoman Umum GCG yang dikeluarkan oleh Komite Nasional Kebijakan Corporate Governance dan dimaksudkan sebagai pedoman khusus bagi perbankan untuk memastikan terciptanya bank dan sistem perbankan yang sehat35. Sebagai lembaga intermediasi dan lembaga kepercayaan, dalam melaksanakan kegiatan usahanya bank harus menganut prinsip – prinsip, yaitu36: a. Keterbukaan (Transparency) Bank harus mengungkapkan informasi secara tepat waktu, memadai, jelas, akurat dan dapat diperbandingkan serta mudah diakses oleh stakeholders sesuai dengan haknya. Prinsip keterbukaan yang dianut oleh bank tidak 32 Adrian Sutedi, 2011, Good Corporate Governance, Sinar Grafika, Jakarta, (selanjutnya disebut Adrian Sutedi I), hal. 1 33 Ibid. 34 Ibid, hal. 2. 35 Moh Wahyudin Zarkasyi, op.cit, hal. 113 36 Moh Wahyudin Zarkasyi, loc.cit. 26 mengurangi kewajiban untuk memenuhi ketentuan rahasia bank sesuai dengan peraturan perundang – undangan yang berlaku, rahasia jabatan, dan hak – hak pribadi. Kebijakan bank harus tertulis dan dikomunikasikan kepada pihak yang berkepentingan (stakeholders) dan yang berhak memperoleh informasi tentang kebijakan tersebut; b. Akuntabilitas (Accountability) Bank harus menetapkan tanggung jawab yang jelas dari masing – masing organ organisasi yang selaras dengan visi, misi, sasaran usaha, dan strategi perusahaan. Bank harus meyakini bahwa semua organ organisasi bank mempunyai kompetensi sesuai dengan tanggung jawabnya dan memahami perannya dalam pelaksanaan GCG; c. Tanggung Jawab (Responsibility) Untuk menjaga kelangsungan usahanya, bank harus berpegangan pada 2 (dua) hal penting. Pertama, berpegang pada prinsip kehati – hatian (prudential banking practise) dan menjamin dilaksanakannya ketentuan yang berlaku. Kedua, Bank harus bertindak sebagai good corporate citizen (perusahaan yang baik) termasuk peduli terhadap lingkungan dan melaksanakan tanggung jawab sosial; d. Independensi (Independency) Bank harus menghindari terjadinya dominasi yang tidak wajar oleh stakeholder manapun dan tidak terpengaruh oleh kepentingan sepihak serta bebas dari benturan kepentingan (conflict of interest). Bank dalam mengambil keputusan harus obyektif dan bebas dari segala tekanan dari pihak manapun. 27 e. Kewajaran (Fairness) Bank harus senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh stakeholders berdasarkan asas kesetaraan dan kewajaran (equal treatment). Bank harus memberikan kesempatan kepada seluruh stakeholders untuk memberikan masukan dan menyampaikan pendapat bagi kepentingan bank serta mempunyai akses terhadap informasi sesuai dengan prinsip keterbukaan. Teori GCG digunakan sebagai pisau analisis terhadap permasalahan kedua, yaitu mengenai pengawasan dari badan pengawas internal dan eksternal terhadap praktek pemberian kredit dengan jaminan sertifikat hak milik atas tanah yang tidak diikat dengan APHT. GCG pada perbankan di Indonesia dapat diterapkan untuk menciptakan tata kelola LPD yang baik. Tata kelola LPD yang baik, salah satunya dapat diwujudkan dengan meningkatkan keaktifan dan keikutsertaan badan pengawas baik internal dan eksternal dalam mengawasi kinerja LPD. Pengawasan dari badan pengawas internal dan eksternal merupakan impelementasi dari prinsip akuntabilitas yang diisyaratkan dalam GCG. 5. Teori The Five Of Credit Analysis (5C’s) dan 7P Sebelum suatu fasilitas kredit diberikan, LPD harus merasa yakin bahwa kredit yang diberikan benar – benar akan kembali. Keyakinan tersebut diperoleh dari hasil penilaian kredit sebelum kredit tersebut disalurkan. Penilaian kredit oleh bank dapat dilakukan dengan berbagai cara untuk mendapatkan keyakinan tentang nasabahnya. Biasanya kriteria penilaian yang harus dilakukan oleh LPD untuk mendapatkan nasabah yang benar – benar menguntungkan dilakukan dengan 28 analisis 5C’s. Adapun penjelasan untuk analisis 5C’s kredit adalah sebagai berikut37: a. Character Suatu keyakinan bahwa sifat atau watak dari orang – orang yang akan diberikan kredit benar – benar dapat dipercaya. Hal ini tercermin dari latar belakang si nasabah baik yang bersifat latar belakang pekerjaan maupun yang bersifat pribadi. b. Capacity Untuk melihat nasabah dalam kemampuannya dalam bidang bisnis juga dihubungkan dengan pendidikannya, kemampuan bisnis juga diukur dengan kemampuannya dalam memahami ketentuan - ketentuan pemerintah. c. Capital Untuk melihat penggunaan modal apakah efektif, dilihat dari laporan keuangan (neraca dan laporan laba rugi) dengan melakukan pengukuran, seperti dari segi likuiditas, solvabilitas, rentabilitas, dan ukuran lainnya. Capital juga harus dilihat dari sumber mana saja modal yang ada sekarang ini. d. Collateral Jaminan yang diberikan calon nasabah baik yang bersifat fisik maupun non fisik. Jaminan hendaknya melebihi jumlah kredit yang diberikan. Jaminan juga harus diteliti keabsahannya dan dibuatkan suatu perjanjian pengikatan 37 Kasmir, 2011, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal. 109-110. 29 jaminan sehingga jika terjadi suatu masalah, maka jaminan yang dititipkan akan dapat dipergunakan secepat mungkin. e. Condition Menilai kredit hendaknya juga dinilai kondisi ekonomi dan politik sekarang dan di masa akan datang sesuai sektor masing – masing, serta prospek usaha dari sektor yang dijalankan oleh nasabah. Penilaian prospek bidang usaha yang dibiayai hendaknya benar – benar memiliki prospek yang baik sehingga kemungkinan kredit tersebut bermasalah relatif kecil. Penilaian kredit dengan metode analisis 7P juga dapat diterapkan dalam memberikan penilaian kepada debitor dalam mengajukan suatu permohonan kredit. Penilaian kredit dengan metode analisis 7P adalah sebagai berikut38: a. Personality, yaitu menilai nasabah dari segi kepribadiannya atau tingkah lakunya sehari - hari maupun masa lalunya. b. Party, yaitu mengklasifikasikan nasabah ke dalam klasifikasi tertentu atau golongan - golongan tertentu berdasarkan modal, loyalitas, serta karakternya. c. Perpose, yaitu mengetahui tujuan nasabah dalam mengambil kredit, termasuk jenis kredit yang diinginkan nasabah. d. Prospect, yaitu menilai usaha nasabah di masa yang akan datang menguntungkan atau tidak, atau dengan kata lain mempunyai prospek atau sebaliknya. e. Payment, yaitu ukuran bagaimana cara nasabah mengembalikan kredit yang telah diambil atau dari sumber mana saja dana untuk pengembalian kredit. 38 Ibid, hal. 110-111. 30 f. Profitability, yaitu untuk menganalisis bagaimana kemampuan nasabah dalam mencari laba. g. Protection, yaitu bagaimana menjaga agar usaha dan jaminan mendapatkan perlindungan. Pihak LPD selaku kreditor seharusnya secara profesional menerapkan prinsip kehati - hatian yang dikenal dengan prinsip 5C’s dan 7P dalam memberikan kredit kepada debitor. Prinsip 5C’s dan 7P ini dapat diterapkan sejalan dengan tahapan tahapan yang harus dilalui oleh pihak debitor pada saat mengajukan permohonan kredit di LPD. Sertifikat tanah yang diserahkan pihak debitor kepada LPD merupakan bagian dari unsur collateral yang disyaratkan dalam prinsip 5C’s dan 7P. Sertifikat yang akan dijadikan jaminan kredit tersebut harus dilakukan pengecekan terhadap keabsahannya serta dibuatkan perjanjian pengikatan jaminan dengan menggunakan APHT. 6. Konsep Pengawasan Schermerhorn mendefinisikan pengawasan sebagai pengambilan tindakan demi tercapainya hasil yang diharapkan sesuai dengan ukuran yang telah ditetapkan39. Henry Fayol mengungkapkan bahwa: “Control consist in verifying whetver everything occurs in comformity with the plan adopted, the instruction issued and principles established. It has objective to point out weakness and 39 Ernie Tisnawati Sule dan Kurniawan Saefullah, 2005, Pengantar Manajemen, Kencana, Jakarta, hal. 317. 31 errors in order to rectify then prefent recurrance”40. (Pengawasan mencakup upaya memeriksa apakah semua terjadi dengan rencana yang ditetapkan, perintah yang dikeluarkan, dan prinsip yang dianut. Juga dimaksudkan untuk mengetahui kelemahan dan kesalahan agar dapat dihindari kejadiannya di kemudian hari). Berdasarkan definisi para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa pengawasan merupakan tindakan untuk mengendalikan suatu kegiatan yang sudah direncanakan, apakah kegiatan tersebut sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan atau sebaliknya. Apabila terjadi pelanggaran, para pihak yang berwenang sebagai controlling (pengawasan) berkewajiban memberikan pengarahan agar sistem kerja tidak menyimpang dari ketentuan yang telah ditetapkan. Konsep pengawasan digunakan sebagai pisau analisis terhadap permasalahan kedua. Konsep pengawasan memberikan pemahaman bahwa badan pengawas LPD, baik internal maupun eksternal berkewajiban untuk melakukan suatu perbaikan dalam menyikapi praktek yang dilakukan oleh LPD, yaitu pemberian fasilitas kredit dengan jaminan sertifikat hak milik atas tanah tanpa diikat APHT. Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disusun bagan kerangka berpikir yang menghubungkan antara latar belakang permasalahan, judul, permasalahan yang dikaji, penggunaan teori, serta jawaban sementara dari permasalahan. Adapun kerangka berpikir yang dimaksud adalah sebagai berikut: 40 Sofyan Safri Harahap, 2001, System Pengawasan Manajemen, Penerbit Quantum, Jakarta, hal. 10. 32 BAGAN KERANGKA BERPIKIR PENGAWASAN PEMBERIAN KREDIT DENGAN JAMINAN SERTIFIKAT HAK MILIK ATAS TANAH TANPA AKTA PEMBERIAN HAK TANGGUNGAN PADA LEMBAGA PERKREDITAN DESA DI KOTA DENPASAR Pasal 10 ayat (2) UUHT, menyatakan bahwa: “Pemberian Hak Tanggungan dilakukan dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan oleh PPAT sesuai dengan peraturan perundang – undangan yang berlaku”. Namun, dalam kenyataannya terdapat LPD yang dalam proses pemberian kredit dengan jaminan sertifikat hak milik atas tanah yang tidak diikat dengan APHT, sehingga pemberian Hak Tanggungan tidak dapat didaftarkan. Teori Sistem Hukum Teori Kepastian Hukum Teori Sistem Hukum Bagaimanakah kedudukan LPD selaku kreditor dalam penyelesaian perjanjian kredit macet dengan jaminan sertifikat hak milik atas tanah yang tidak diikat dengan APHT? Teori The Five Of Credit Analysis dan 7P Jaminan hak atas tanah yang akan dibebani hak tanggungan tidak didaftarkan, maka kedudukan LPD dalam perjanjian tersebut sebagai kreditor konkuren (Pasal 1132 KUHPerdata). Bagaimanakah pelaksanaan pengawasan dari badan pengawas internal dan eksternal terhadap praktek pemberian kredit oleh LPD dengan jaminan sertifikat hak milik atas tanah yang tidak diikat dengan APHT? Badan pengawas internal dan eksternal berwenang untuk mengawasi baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap praktek menyimpang yang dilakukan oleh LPD, yaitu pemberian kredit dengan jaminan sertifikat hak milik atas tanah tanpa diikat APHT. Teori GCG Perbankan Indonesia Teori Kewenangan Konsep Pengawasan 33 Berdasarkan bagan di atas, dapat dijelaskan bahwa pemilihan judul penelitian Pengawasan Pemberian Kredit Dengan Jaminan Sertifikat Hak Milik Atas Tanah Tanpa Akta Pemberian Hak Tanggungan Pada Lembaga Perkreditan Desa Di Kota Denpasar dilatarbelakangi dengan adanya kesenjangan antara das sollen dan das sein. Das sollen dalam penelitian ini yaitu Pasal 10 ayat (2) UUHT dan das sein yaitu kenyataan yang terjadi di LPD. Pasal 10 ayat (2) UUHT, menyatakan bahwa: “Pemberian Hak Tanggungan dilakukan dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan oleh PPAT sesuai dengan peraturan perundang - undangan yang berlaku”. Namun, dalam prakteknya terdapat LPD dalam memberikan kredit dengan jaminan sertifikat jak milik atas tanah yang tidak diikat dengan APHT, sehingga pemberian Hak Tanggungan ini tidak dapat didaftarkan. Berdasarkan kesenjangan antara das sollen dengan das sein tersebut, maka dapat dirumuskan 2 (dua) permasalahan. Permasalahan pertama, yaitu bagaimanakah kedudukan LPD selaku kreditor dalam penyelesaian perjanjian kredit macet dengan jaminan sertifikat hak milik atas tanah yang tidak diikat dengan APHT. Permasalahan kedua, yaitu bagaimanakah pelaksanaan pengawasan dari badan pengawas internal dan eksternal terhadap praktek pemberian kredit oleh LPD dengan jaminan sertifikat hak milik atas tanah yang tidak diikat dengan APHT. Permasalahan pertama dianalisis dengan teori sistem hukum, teori kepastian hukum, dan teori the five of credit analysis (5C’s) dan 7P. Adapun hasil pembahasannya adalah jaminan hak atas tanah yang akan dibebani hak 34 tanggungan tidak didaftarkan, maka kedudukan LPD dalam perjanjian tersebut adalah sebagai kreditor konkuren (Pasal 1132 KUHPerdata). Permasalahan kedua dianalisis dengan teori kewenangan, teori sistem hukum, teori GCG perbankan Indonesia, dan konsep pengawasan. Adapun hasil pembahasannya adalah badan pengawas eksternal dan internal berwenang untuk mengawasi baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap praktek menyimpang yang dilakukan oleh LPD yaitu pemberian kredit dengan jaminan sertifikat hak milik atas tanah yang tidak diikat dengan APHT. 1.6 Metode Penelitian Dalam suatu penelitian, data merupakan faktor pendukung untuk mengkaji suatu permasalahan yang akan diteliti. Data – data yang akan digunakan dapat diperoleh dengan metode penelitian sebagai berikut: 1.6.1 Jenis Penelitian Jenis penelitian dalam penulisan tesis ini adalah penelitian hukum empiris karena beranjak dari adanya kesenjangan antara das sollen dengan das sein, yaitu dalam Pasal 10 ayat (2) UUHT menentukan bahwa: “Pemberian Hak Tanggungan dilakukan dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan oleh PPAT sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Namun dalam kenyataannya terdapat LPD yang dalam proses pemberian kredit dengan sertifikat hak milik atas tanah tidak menyertai APHT, sehingga pemberian Hak Tanggungan ini tidak didaftarkan. 35 1.6.2 Jenis Pendekatan Dalam suatu penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan. Informasi di dapat dari berbagai aspek melalui pendekatan guna menjawab isu hukum yang akan dikaji oleh peneliti. Pendekatan - pendekatan yang digunakan di dalam penelitian hukum adalah pendekatan undang-undang (statute approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan historis (historical approach), pendekatan komparatif (comparative approach), dan pendekatan konseptual (conceptual approach)41. Untuk membahas permasalahan yang dikemukakan dalam penelitian tesis ini, menggunakan beberapa pendekatan. Adapun pendekatan yang digunakan, yaitu: 1. Pendekatan perundang-undangan (statute approach), yaitu pendekatan yang dilakukan untuk meneliti ketentuan mengenai jaminan hak atas tanah, khususnya pemberian hak tanggungan yang dilakukan dengan pembuatan akta APHT, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 10 ayat (2) UUHT. 2. Pendekatan kasus (case approach), yaitu pendekatan yang dilakukan untuk meneliti pengawasan pemberian kredit dengan jaminan sertifikat hak milik atas tanah yang tidak diikat dengan APHT pada LPD di Kota Denpasar. 1.6.3 Sifat Penelitian Penelitian tesis ini bersifat deskriptif karena ingin menggambarkan kenyataan yang terjadi di LPD Kota Denpasar. Kenyataan tersebut mengenai pengawasan 41 Peter Mahmud Marzuki, 2009, Penelitian Hukum, Prenada Media Group, Jakarta, (selanjutnya disingkat Peter Mahmud Marzuki II), hal.93. 36 pemberian kredit dengan jaminan sertifikat hak milik atas tanah yang tidak diikat dengan APHT pada LPD di Kota Denpasar. Penelitian deskriptif bertujuan menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu individu, gejala, keadaan, atau kelompok tertentu, atau untuk menentukan ada tidaknya hubungan antara suatu gejala dengan gejala lain dalam masyarakat. Dalam penelitian ini teori – teori, ketentuan peraturan, norma-norma hukum, dan literatur sudah mulai ada dan bahkan jumlahnya cukup memadai sehingga dalam penelitian ini hipotesis boleh ada dan boleh juga tidak. 1.6.4 Lokasi Penelitian Lokasi penelitian ditentukan secara purposive, yaitu pada LPD di Kota Denpasar. Adapun yang menjadi pertimbangan bahwa terdapat LPD yang memberikan fasilitas kredit dengan jaminan sertifikat hak milik atas tanah yang tidak diikat dengan APHT. Di samping itu, faktor lokasi antara LPD dengan kantor-kantor PPAT yang cukup berdekatan juga menjadi pertimbangan pemilihan LPD di Kota Denpasar. 1.6.5 Data dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini bersumber dari 2 (dua) jenis data. Adapun 2 (dua) jenis data yang digunakan, yaitu: a. Data primer Data primer bersumber dari penelitian yang langsung dilaksanakan di LPD Kota Denpasar. Data yang didapat secara langsung merupakan informasi yang diberikan oleh para informan, yaitu Kepala LPD se-Kota Denpasar. 37 b. Data sekunder Data sekunder bersumber dari data – data yang sudah terdokumenkan dalam bentuk bahan – bahan hukum. Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu: 1. Bahan hukum primer Bahan hukum primer bersumber dari peraturan perundangundangan yang terkait dengan permasalahan yang dikaji. Peraturan perundang – undangan tersebut, antara lain: a. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek); b. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda – Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3632). c. Undang - Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan dari Undang – Undang No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor. 182, Tambahan Lembaran Negara Nomor. 3790). d. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843); 38 e. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 168, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3889); f. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4357); g. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 117, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4432); h. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); i. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Tahun Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3696); 39 j. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 52, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3746); k. Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 8 Tahun 2002 Tentang Lembaga Perkreditan Desa (Lembaran Daerah Provinsi Bali Nomor. 20 Tahun 2002, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Bali Nomor 3); l. Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2007 Tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 8 Tahun 2002 Tentang Lembaga Perkreditan Desa (Lembaran Daerah Provinsi Bali Tahun 2007 Nomor 3, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Bali Nomor 3); m. Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2012 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 8 Tahun 2002 Tentang Lembaga Perkreditan Desa (Lembaran Daerah Provinsi Bali Tahun 2012 Nomor 4, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Bali Nomor 4); n. Peraturan Gubernur Bali Nomor 16 Tahun 2008 Tentang Pengurus Dan Pengawas Internal Lembaga Perkreditan Desa (Berita Daerah Provinsi Bali Tahun 2008 Nomor 16); 40 o. Keputusan Gubernur Bali Nomor 95/01-C/HK/2003 Tentang Pelimpahan Wewenang Pengawasan Lembaga Perkreditan Desa Di Provinsi Bali Kepada Bank Pembangunan Daerah Bali; p. Peraturan Walikota Denpasar Nomor 40 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pembinaan Lembaga Perkreditan Desa (LPD) Di Kota Denpasar (Berita Daerah Kota Denpasar Tahun 2006 Nomor 37); q. Keputusan Walikota Denpasar Nomor 188.45/109/HK/2012 Tentang Monitoring Dan Evaluasi Lembaga Perkreditan Desa Kota Denpasar Tahun 2012; r. Keputusan Walikota Denpasar Nomor 188.45/689/HK/2012 Tentang Pembentukan Tim Pengawas Internal Lembaga Perkreditan Desa Kota Denpasar Tahun 2012. 2. Bahan hukum sekunder Bahan hukum sekunder bersumber dari literatur-literatur, makalahmakalah, atau hasil penelitian yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti. 1.6.6 Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data primer atau data lapangan dalam penelitian ini adalah menggunakan metode wawancara. Wawancara atau interview adalah situasi antara pribadi bertatap muka (face to face) ketika seseorang yakni pewawancara mengajukan pertanyaan yang dirancang untuk memperoleh jawaban 41 yang relevan dengan masalah penelitian42. Secara umum, wawancara dapat dibagi ke dalam 2 (dua) bagian, yaitu standardized interview (wawancara berencana) dan unstandardized interview (wawancara tidak berencana)43. Model wawancara berencana biasanya daftar pertanyaan (kuesioner) telah disiapkan sebelumnya dan disusun secara sistematis. Kuesioner yang terstruktur dan sistematis ini kemudian oleh pewawancara ditanyakan kepada responden dengan cara membacakannya kepada responden untuk dijawab. Semua responden yang terpilih diajukan kuesioner yang sama, kata-kata sama dengan pola dan sistematika yang seragam44. Sebaliknya, wawancara tidak berencana adalah wawancara yang sebelumnya tidak dibekali dengan persiapan penyusunan daftar pertanyaan secara terpola dan sistematis yang mengharuskan dipatuhi pewawancara. Namun demikian tidak berarti wawancara model ini dapat dilakukan asal-asalan, lebih mudah dilakukan, dan apalagi tidak berkualitas45. Dalam penelitian ini dipergunakan teknik wawancara berencana, pertanyaan yang diajukan dalam wawancara kemudian dikembangkan lagi dengan cara memperdalam keterangan yang diberikan oleh informan. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan data yang lebih kompleks dan mendetail mengenai permasalahan yang akan diteliti. Adapun yang diwawancarai dalam penelitian ini diantaranya adalah beberapa informan yaitu para Kepala LPD di Kota Denpasar.Untuk pengumpulan data 42 Amirudin dan Zainal Asikin, 2010, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 82. 43 Bagong Suyanto dan Sutinah, 2011, Metode Penelitian Sosial, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hal. 77. 44 Ibid. 45 Ibid. 42 sekunder atau data kepustakaan adalah digunakan teknik mencari dan mengumpulkan buku–buku literatur terkait permasalahan yang dikaji serta membaca dan memahami literatur tersebut. 1.6.7 Teknik Penentuan Sampel Penelitian Dalam penelitian ini akan menggunakan teknik pengambilan sampel dari sejumlah populasi. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh LPD di Kota Denpasar, yaitu berjumlah 35 (tiga puluh lima) LPD yang berlokasi di Kecamatan Denpasar Utara, Denpasar Timur, Denpasar Selatan, dan Denpasar Barat46. Di masing – masing kecamatan akan diambil sampel secara purposive dengan teknik snowball sampling, yaitu penelitian akan dihentikan apabila data dari ke- 35 (tigapuluh lima) populasi tersebut telah menunjukkan titik jenuh. 1.6.8 Teknik Pengolahan dan Analisis Data Dalam penelitian ini data dianalisis secara kualitatif atau juga sering dikenal dengan analisis deskriptif kualitatif. Keseluruhan data yang terkumpul baik dari data primer maupun data sekunder, diklasifikasikan sesuai dengan permasalahan, kemudian dianalisis dengan teori dan konsep yang relevan, sehingga dapat menjawab permasalahan yang akan diteliti dan akhirnya data tersebut disajikan secara deskriptif kualitatif dan sistematis. 46 http://bankdata.denpasarkota.go.id/bankdata/LPD_2010.pdf, diakses tanggal 4 Maret 2013. 43 BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Tinjauan Umum Tentang Perjanjian Kredit di LPD 2.1.1 Pengertian dan Dasar Hukum Perjanjian Kredit Perjanjian sebagaimana didefinisikan oleh ketentuan Pasal 1313 KUHPerdata berbunyi: “Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”. Perjanjian memiliki kekuatan mengikat bagi para pihak yang terlibat di dalamnya untuk dapat melaksanakan hak dan kewajiban. Perjanjian ditujukan untuk memperjelas hubungan hukum dan memberikan kepastian dalam penyelesaian suatu sengketa47. Handri Raharjo melakukan penyempurnaan terhadap definisi perjanjian dalam Pasal 1313 KUHPerdata tersebut di atas. Handri Raharjo mengungkapkan bahwa perjanjian sebagai berikut48: Suatu hubungan hukum di bidang harta kekayaan yang didasari kata sepakat antara subjek hukum yang satu dengan yang lain, di antara mereka (para pihak/subjek hukum) saling mengikatkan dirinya sehingga subjek hukum yang satu berhak atas prestasi dan begitu juga subjek hukum yang lain berkewajiban untuk melaksanakan prestasinya sesuai dengan kesepakatan yang telah disepakati para pihak tersebut serta menimbulkan akibat hukum. 47 I Ketut Artadi dan I Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, 2010, Implementasi Ketentuan-Ketentuan Hukum Perjanjian Ke Dalam Perancangan Kontrak, Udayana University Press, Denpasar, hal. 28. 48 Handri Raharjo, 2009, Hukum Perjanjian di Indonesia, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, hal. 42. 44 Van Dunne dalam teori barunya tidak hanya melihat perjanjian semata-mata, tetapi juga melihat perbuatan-perbuatan sebelumnya atau yang mendahuluinya. Pembuatan suatu perjanjian dapat dilakukan dengan 3 (tiga) tahap, yaitu49: a. Tahap pracontractual, yaitu adanya penawaran dan penerimaan; b. Tahap contractual, yaitu adanya persesuaian pernyataan kehendak antara para pihak; c. Tahap post contractual, yaitu pelaksanaan perjanjian. Linda A. Spagnola memberikan pendapatnya mengenai perjanjian. Linda A. Spagnola mengungkapkan bahwa: “A contract must be certain in its terms . It is generally accepted that there are four elements that must be certain in a contract in order for there to be a valid offer: parties, price, subject matter, and time for performance”50. (Persyaratan-persyaratan sebuah kontrak harus pasti. Agar sebuah kontrak dapat dikatakan sah, ada empat elemen yang pada umumnya diterima sebagai sesuatu yang harus pasti dalam sebuah kontrak, yaitu: para pihak, harga, permasalahan dan waktu pelaksanaannya). Istilah perjanjian atau kontrak dalam sistem hukum nasional memiliki pengertian yang sama. Roger Vickery dan Wayne Pendleton mengungkapkan pendapatnya mengenai kontrak, bahwa: A valid contract is an agreement made between two or more parties (including bussiness organisations) that creates rights and obligations that are enforceable by law. People may make hundreds of thousands of agreement in 49 Salim HS, 2002, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Sinar Grafika, Jakarta, (selanjutnya disingkat Salim. HS II), hal. 161. 50 Linda A. Spagnola, 2008, Contacts For Paralegals (Legal Principles and Practical Applications), McGraw-Hill Companies, United States, hal. 4. 45 their lifetime, but only some will be classified as contracts and not all of these will be valid and legally enforceable51. (Sebuah kontrak yang sah merupakan perjanjian yang dibuat diantara dua atau lebih pihak (termasuk badan usaha) yang menciptakan hak dan kewajiban yang dapat dilaksanakan menurut hukum yang berlaku. Orang dapat membuat ratusan ribu kesepakatan selama masa hidupnya, tetapi hanya beberapa yang dapat digolongkan sebagai kontrak atau tidak semua yang digolongkan sebagai kontrak ini resmi dan dapat dilaksanakan secara sah). H. Chairuman Pasaribu dan Suhrawadi K. Lubis mengungkapkan bahwa: “Perjanjian adalah suatu perbuatan kesepakatan antara seseorang atau beberapa orang dengan seseorang atau beberapa orang lainnya untuk melakukan sesuatu perbuatan tertentu. Di dalam hukum kalau perbuatan itu mempunyai akibat hukum maka perbuatan tersebut diistilahkan dengan perbuatan hukum”52. Pengertian perjanjian juga dikemukakan oleh pakar lainnya. Subekti mengatakan bahwa: “Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji terhadap seseorang lainnya lainnya atau dimana kedua orang tersebut saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal”53. Budiono Kusumohamidjojo menyatakan bahwa: “Dalam sistem common law, perjanjian dipahami sebagai perjumpaan nalar, yang lebih merupakan perjumpaan pendapat atau ketetapan maksud. Perjanjian adalah perjumpaan dari dua atau lebih nalar tentang suatu hal yang telah dilakukan atau yang akan dilakukan”54. 51 Roger Vickery and Wayne Pendleton, 2003, Australian Business Law Principles & Applications, Pearson Education Australia, New South Wales, hal. 186. 52 H. Chairuman Pasaribu dan Suhrawadi K. Lubis, 2004, Hukum Perjanjian Dalam Islam, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 1. 53 Subekti dalam Johannes Ibrahim dan Lindawaty Sewu, 2004, Hukum Bisnis Dalam Perspektif Manusia Modern, Refika Aditama, Bandung, hal. 41. 54 Budiono Kusumohamidjojo, 2001, Panduan Untuk Merancang Kontrak, Grasindo, Jakarta, hal. 6. 46 Dalam perkembangannya pengertian perjanjian banyak mengalami perubahan. Hal ini dapat dilihat dari definisi Hofmann yang menyatakan perikatan adalah: “Suatu hubungan hukum antara sejumlah terbatas subjek-subjek hukum sehubungan dengan itu seorang atau beberapa orang daripadanya (debitor atau para debitor) mengikatkan dirinya untuk bersikap menurut cara-cara tertentu terhadap pihak yang lain, yang berhak atas sikap yang demikian itu”55. Istilah perjanjian juga dapat disamakan dengan kontrak. Sehubungan dengan definisi kontrak, Catherine Elliott dan Frances Quinn berpendapat bahwa: Normally a contract is formed when an effective acceptance has been communicated to be offeree. A communication will be treated as an offer if it indicates the terms on which the offeror is prepared to make a contract (such as the price of the goods for sale), and gives a clear indication that the offeror intends to be bound by those terms if they are accepted by the offeree. Acceptance of an offer means unconditional agreement to all the terms of that offer56. (Biasanya sebuah kontrak terbentuk ketika penerimaan efektif telah dikomunikasikan kepada pihak penerima penawaran. Komunikasi akan dianggap sebagai penawaran apabila penawaran tersebut memuat persyaratanpersyaratan yang dibuat oleh pihak yang menawarkan untuk membuat sebuah kontrak (misalnya, harga barang yang akan dijual), dan memberikan pernyataan yang jelas bahwa pihak yang menawarkan bermaksud untuk terikat dengan persyaratan-persyaratan tersebut apabila persyaratan-persyaratan tersebut diterima oleh pihak penerima penawaran. Penerimaan suatu penawaran berarti kesepakatan tanpa syarat terhadap semua persyaratan yang ditawarkan tersebut). Pengertian kredit yang diatur dalam Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Perbankan. Pasal 1 angka 11 Undang – Undang Perbankan, menyatakan bahwa: “Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, 55 Hofmann dalam Herowati Poesoko, 2007, Parate Executie Obyek Hak Tanggungan (Inkonsistensi, Konflik Norma, dan Kesesatan Penalaran dalam UUHT), LaksBang PRESSindo, Yogyakarta, hal. 133. 56 Catherine Elliott and Frances Quinn, 2005, Contract Law, Perason Education Limited, England, hal.10. 47 berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga”. Definisi kredit yang tercantum dalam Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Perbankan tersebut di atas mencerminkan bahwa dasar dari perjanjian kredit adalah perjanjian pinjam meminjam di dalam KUHPerdata. Pasal 1754 KUHPerdata menyatakan bahwa: Perjanjian pinjam meminjam ialah perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang menghabis karena pemakaian dengan syarat bahwa pihak yang belakangan ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula. Marian Darus Badrulzaman menentang pernyataan yang dikemukan oleh Marhaenis Abdul Hay mengenai perjanjian kredit mendekati perjanjian pinjam meminjam yang termaktub di dalam Pasal 1754 KUHPerdata. Mariam Darus Badrulzaman mengungkapkan bahwa perjanjian kredit adalah kesepakatan antara pihak pemberi dan penerima kredit yang mendahului perjanjian penyerahan uang57. Winedsheid berpendapat bahwa perjanjian kredit adalah: “perjanjian dengan syarat tangguh (condition prestart) yang pemenuhannya bergantung pada peminjam yakni kalau penerima kredit menerima dan mengambil pinjaman itu”58. Pengertian perjanjian seperti yang dikemukakan oleh Winedsheid diatur dalam Pasal 1253 KUHPerdata. 57 Neni Sri Imaniyati, 2010, Pengantar Hukum Perbankan Indonesia, PT.Refika Aditama, Bandung, hal. 146. 58 Ibid, hal. 145. 48 Berbeda halnya dengan Goudekte yang mengungkapkan bahwa: “Perjanjian kredit yang di dalamnya terdapat perjanjian pinjam uang adalah perjanjian yang bersifat konsensual dan obligatoir. Perjanjiian ini mempunyai kekuatan mengikat sesuai dengan Pasal 1338 KUHPerdata”59. Munir Fuady juga memberikan kritik terhadap pernyataan yang dikemukakan oleh Marhaenis Abdul Hay mengenai perjanjian kredit mendekati perjanjian pinjam meminjam yang termaktub di dalam Pasal 1754 KUHPerdata. Munir Fuady menegaskan bahwa60: Sifat perjanjian kredit bukanlah perjanjian pinjam pakai habis yang tunduk pada Pasal 1754 KUHPerdata melainkan merupakan kelompok perjanjian umum (tidak bernama) yang tunduk pada ketentuan - ketentuan umum tentang perjanjian ditambah dengan ketentuan dalam pasal - pasal kontrak dan kebiasaan dalam praktek yurisprudensi. Secara sederhana dapat pula dikemukakan bahwa kredit adalah kepercayaan antara pihak kreditor dan pihak debitor. Jadi apa yang disepakati wajib untuk ditaati. Dari definisi tersebut tampak bahwa suatu hubungan hukum antara pihak kreditor dan pihak debitor berawal dari adanya suatu perjanjian yang dalam praktek lebih dikenal dengan sebutan perjanjian kredit bank61. Beranjak dari beberapa definisi di atas, dapat diuraikan bahwa kredit memiliki beberapa unsur. Adapun unsur – unsur tersebut, antara lain62: 59 Ibid. Ibid, hal. 146. 61 Sentosa Sembiring, 2008, Hukum Perbankan, Mandar Maju, Bandung, (selanjutnya disingkat Sentosa Sembiring II), hal. 51. 62 Nasroen Yasabari dan Nina Kurnia Dewi, 2007, Penjaminan Kredit, Mengantar UKMK Mengakses Pembiayaan, PT. Alumni, Bandung, hal. 8-9. 60 49 a. Kepercayaan adalah keyakinan dari pihak kreditor dalam hal pengembalian uang, barang, dan jasa yang akan dilakukan oleh pihak debitor berdasarkan atas jangka waktu yang telah disepakati oleh kedua belah pihak. b. Waktu merupakan unsur yang memberikan pemahaman bahwa nilai uang yang ada saat ini akan menjadi lebih tinggi di masa yang akan datang karena suatu masa yang mengakibatkan pemisahan antara pemberian prestasi dengan kontraprestasi. c. Resiko adalah suatu akibat yang ditimbulkan dari adanya waktu yang cukup lama dari prestasi dan kontraprestasi yang akan diterima di masa akan datang. Jadi, tingkat resiko sangat ditentukan oleh lamanya jangka waktu yang ditetapkan saat pemberian kredit. Timbulnya resiko yang tinggi menyebabkan adanya jaminan dalam pemberian kredit. d. Prestasi adalah suatu benda yang dijadikan objek transaksi kredit oleh pihak kreditor dan debitor. Uang merupakan obyek transaksi kredit yang paling umum digunakan oleh pihak kreditor dan debitor dalam praktek perkreditan. e. Bunga atau margin merupakan jumlah perhitungan dari beberapa elemen, meliputi biaya modal (cost of fund), biaya umum (overhead cost), serta biaya atau premi risiko yang berperan sebagai kompensasi bagi pemberi kredit. 2.1.2 Asas dan Syarat Sahnya Perjanjian Kredit Dalam hukum perjanjian dikenal ada beberapa macam asas. Adapun asasasas yang melatarbelakangi pembuatan perjanjian kredit, yaitu63: 63 Gatot Supramono I, op.cit, hal. 164-165. 50 a. Asas konsensualisme Konsensualisme merupakan kesepakatan. Perjanjian lahir atau terjadi dengan adanya kata sepakat dari para pihak yang akan mengadakan suatu perjanjian. Kesepakatan dimaksudkan untuk mewujudkan kemauan para pihak yang menjadikan perjanjian tersebut sah dan mengikat para pihak yang terlibat di dalamnya. Asas ini dijumpai dalam Pasal 1320 ayat (1) KUHPerdata. b. Asas kebebasan berkontrak Asas ini mengandung pengertian bahwa setiap orang yang akan membuat perjanjian mempunyai kebebasan untuk menentukan isi yang akan dituangkan dalam perjanjian yang akan dibuat asalkan tidak bertentangan dengan kepatutan, kebiasaan, dan undang-undang. Asas inilah yang menyebabkan suatu perjanjian bersifat terbuka. Asas ini termaktub dalam Pasal 1339 KUHPerdata. c. Asas kepribadian Pada umumnya seseorang hanya diperbolehkan mengikatkan dirinya sendiri dalam suatu perjanjian. Adapun konsekuensi dari diterapkannya asas ini adalah tidak dimungkinkannya pihak ketiga untuk turut serta dalam pembuatan perjanjian karena pihak tersebut berada di luar perjanjian. Asas ini tercantum di dalam Pasal 1315 KUHPerdata. d. Asas itikad baik Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Para pihak yang terlibat dalam suatu perjanjian harus melaksanakan substansi yang tercantum di dalam perjanjian yang telah mereka sepakati dengan penuh kejujuran agar sesuai dengan 51 maksud dan tujuan dari perjanjian tersebut. Asas itikad baik tercantum dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata. e. Asas keadilan Asas keadilan menekankan kepada substansi dalam perjanjian yang dibuat oleh kedua belah pihak harus mencerminkan adanya keseimbangan antara hak dan kewajiban sehingga perjanjian yang akan dibuat tidak menimbulkan kesan tumpang tindih yang dapat merugikan salah satu pihak. Asas ini diatur dalam Pasal 1320 ayat (2) KUHPerdata. f. Asas kepatutan Selain memperhatikan ketentuan dalam undang-undang, suatu perjanjian yang akan dibuat oleh para pihak hendaknya juga memperhatikan kebiasaan, kesopanan, dan kepantasan yang berlaku di dalam masyarakat sehingga perjanjian itu dibuat secara patut. Asas kepatutan diatur dalam Pasal 1337 KUHPerdata. g. Asas kepercayaan Asas kepercayaan juga penting untuk diimplementasikan dalam suatu perjanjian. Kepercayaan mengandung arti bahwa para pihak yang terlibat dalam suatu perjanjian harus saling percaya satu dengan yang lainnya dalam memenuhi kewajiban seperti yang tercantum di dalam perjanjian. Suatu perjanjian kredit disebut sah dan dapat dipertanggungjawabkan apabila telah memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan oleh Pasal 1320 KUHPerdata. Syarat-syarat tersebut terdapat 4 (empat) macam, yaitu: 52 1. Kesepakatan Menurut Riduan Syahrani, kesepakatan mengandung makna bahwa: “Para pihak yang membuat perjanjian telah sepakat atau ada persesuaian kemauan atau saling menyetujui kehendak masing-masing, yang dilahirkan oleh para pihak dengan tidak ada paksaan, kekeliruan, dan penipuan”64. Sahnya kata sepakat juga perlu dilihat dari segi proses pembentukan kehendak tersebut. Pasal 1321 KUHPerdata, menentukan bahwa: “Tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan atau diperolehnya dengan paksaan dan penipuan”. Adapun unsur kesepakatan terdiri dari offerte (penawaran) dan acceptasi (penerimaan)65. “Two essential elements of a contract are: (1) an offer, either expressed or implied; and (2) an acceptance, either expressed or implied66.Offer a definite promise to be bound provided that certain specified terms are accepted. An acceptance is a final and unqualified assent to all the terms are accepted67”. (Dua elemen penting dalam kontrak, yaitu: (1) penawaran yang dinyatakan secara tersurat atau tersirat; dan (2) penerimaan yang dinyatakan secara tersurat atau tersirat. Penawaran janji tertentu untuk terikat akan berlaku apabila persyaratanpersyaratan tertentu yang dinyatakan diterima. Penerimaan merupakan persetujuan final dan tanpa syarat terhadap semua persyaratan yang diterima). 64 Riduan Syahrani, 2006, Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, PT.Alumni, Bandung, hal. 205. 65 Handri Raharjo, op.cit, hal. 47. 66 John D. Ashcroft and Janet E. Ashcroft, 2008, Law Bussiness, Thomson Eiger Education, USA, hal. 55. 67 Cavendish, 2004, Contract Law, Cavendish Publishing Limited, Great Britain, hal. 2. 53 2. Kecakapan Kecakapan merupakan kemampuan para pihak untuk melakukan suatu perbuatan hukum. Untuk melakukan perbuatan hukum, para pihak tidak hanya memiliki hak dan kewajiban, tetapi juga harus didukung oleh kecakapan. Pentingnya arti kecakapan menurut hukum tentunya mempunyai 2 (dua) maksud, yaitu pertama, maksud yang dilihat dari sudut rasa keadilan, yaitu perlunya orang yang membuat perjanjian mempunyai cukup kemampuan untuk menginsyafi secara benar akan tanggung jawab yang dipikulnya dengan perbuatan tersebut. Dan kedua, maksud yang dilihat dari sudut ketertiban umum, yang berarti orang yang membuat perjanjian itu berarti mempertaruhkan kekayaannya. Artinya, orang tersebut harus seorang yang sungguh-sungguh berhak bebas berbuat atas harta kekayaannya68. Dalam KUHPerdata tidak menentukan orang yang cakap bertindak secara hukum, namun sebaliknya menentukan orang-orang yang tidak memiliki kecakapan. Pasal 1330 KUHPerdata menyebutkan bahwa: Tak cakap untuk membuat persetujuan-persetujuan adalah: a. Orang-orang yang belum dewasa; b. Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan; c. Orang-orang perempuan, dalam hal yang ditetapkan undang-undang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat persetujuan-persetujuan tertentu. Seseorang dapat melakukan suatu perbuatan hukum apabila ia sudah dewasa. Untuk mengetahui tingkat kedewasaan seseorang, terdapat beberapa peraturan yang dapat dijadikan acuan, yaitu69: a. Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan 68 Richard Burton Simatupang, 2007, Aspek Hukum Dalam Bisnis, Rineka Cipta, Jakarta, hal. 29. 69 Gatot Supramono I, op.cit, hal. 169. 54 Lembaran Negara Nomor 3019), selanjutnya disebut Undang-Undang Perkawinan menyebutkan bahwa: “Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua”. b. Pasal 1 angka (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1979 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3143), menyatakan bahwa: “Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 (duapuluh satu) tahun dan belum pernah kawin”. c. Pasal 330 KUHPerdata mengatur tingkat kedewasaan seseorang, yaitu: Belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap duapuluh satu tahun dan tidak lebih dahulu telah kawin. Apabila perkawinan itu dibubarkan sebelum umur mereka genap duapuluh satu tahun, maka mereka tidak kembali lagi dalam kedudukan belum dewasa. Mereka yang belum dewasa dan tidak berada di bawah kekuasaan orang tua, berada di bawah perwalian atas dasar dan dengan cara sebagaimana teratur dalam bagian ketiga, keempat, kelima dan keenam dalam bab ini. Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa seseorang yang berumur 21 (dua puluh satu) tahun ke atas disebut dewasa, kecuali di bawah umur tersebut yang bersangkutan pernah kawin. Orang yang belum berumur 21 (duapuluh satu) tahun dikatakan sudah dewasa, dengan perkawinan itu pasangan suami istri telah memiliki rumah tangga sendiri dan cakap bertindak sebagai orang dewasa70. Mengenai orang-orang yang ditaruh di bawah pengampuan diatur dalam Pasal 433 KUHPerdata. Pasal 433 KUHPerdata menyatakan bahwa: 70 Gatot Supramono I, loc.cit. 55 Setiap orang dewasa yang selalu berada dalam keadaan dungu, sakit otak, atau mata gelap harus ditaruh di bawah pengampuan, pun jika ia kadang-kadang cakap mempergunakan pikirannya. Seorang dewasa boleh juga ditaruh di bawah pengampuan karena keborosannya. Dalam KUHPerdata mengatur tentang orang perempuan tidak cakap melakukan perbuatan hukum. Namun, dalam perkembangan hukum keadaan telah mengubah kedudukan wanita menjadi sama dengan kedudukan kaum pria. Di negara Belanda sendiri sejak tahun 1958 telah memiliki KUHPerdata yang baru, wanita telah cakap melakukan perbuatan hukum71. Kedudukan antara kaum wanita dan pria diatur di dalam Pasal 31 Undang – Undang Perkawinan. Ketentuan dalam Pasal 31 Undang-Undang Perkawinan menetapkan bahwa: (1)Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat; (2)Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum; (3)Suami adalah kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga. Berdasarkan ketentuan Pasal 31 Undang-Undang Perkawinan tersebut di atas, maka suami istri berhak melakukan perbuatan hukum, sehingga sekarang wanita sudah cakap untuk membuat perjanjian. Hal ini juga dapat dijumpai dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1984 Nomor 29, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3277)72. 71 72 Gatot Supramono I, op.cit, hal. 170. Gatot Supramono I, loc.cit. 56 3. Suatu hal tertentu Syarat ketiga mengenai sahnya perjanjian adalah hal tertentu. Hal tertentu menyangkut objek perjanjian, baik berupa barang dan jasa yang dapat dinilai dengan uang. Pasal 1132 KUHPerdata menentukan bahwa: “Hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan saja dapat menjadi pokok persetujuan”. Hal itu berarti pokok perjanjian harus dapat dinilai dengan uang atau setidaknya sanksi atas pelanggaran perjanjian adalah ganti rugi uang atau benda yang bernilai uang73. Ketentuan Pasal 1333 KUHPerdata juga mengatur mengenai objek perjanjian harus tertentu. Pasal 1333 KUHPerdata, menentukan bahwa: “Suatu persetujuan harus mempunyai sebagai pokok suatu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya. Tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah barang tidak tentu, asal jumlah itu terkemudian dapat ditentukan atau dihitung”. Berdasarkan subtansi dari Pasal 1333 KUHPerdata tersebut di atas menunjukkan bahwa dalam perjanjian harus jelas apa yang menjadi objeknya dengan tujuan agar perjanjian dapat dilaksanakan dengan baik74. 4. Suatu sebab yang halal Sebab yang dimaksud disini adalah isi perjanjian itu sendiri atau tujuan dari para pihak yang mengadakan perjanjian75. Pasal 1337 KUHPerdata menyatakan bahwa: “Suatu sebab adalah terlarang apabila dilarang oleh undang-undang atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum”. 73 I Ketut Artadi dan I Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, op.cit, hal. 58. Gatot Supramono I, loc.cit. 75 I Ketut Artadi dan I Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, op.cit, hal. 57. 74 57 Apabila keempat syarat perjanjian tersebut tidak terpenuhi, maka akan menimbulkan akibat hukum bagi suatu perjanjian. Apabila para pihak tidak memenuhi syarat pertama dan kedua sahnya perjanjian, maka perjanjian yang dibuat dapat dibatalkan. Artinya, salah satu pihak dapat mengajukan kepada pengadilan untuk membatalkan perjanjian yang disepakatinya76. Begitu juga dengan tidak terpenuhinya syarat sahnya perjanjian yang ketiga dan keempat, maka perjanjian yang dibuat menjadi batal demi hukum. Artinya, dari semula perjanjian itu dianggap tidak ada77. Selain harus memenuhi keempat syarat sahnya perjanjian. Pembuatan perjanjian kredit juga harus memenuhi unsur-unsur perjanjian. Adapun unsurunsur perjanjian tersebut meliputi78: a. Unsur essensialia adalah unsur mutlak yang harus ada dalam pembuatan suatu perjanjian kredit. Misalnya, jumlah hutang pokok yang dipinjam oleh debitor. Jika jumlah hutang pokok tidak dicantumkan, maka perjanjian kredit ini tidak bermakna apa-apa. b. Unsur naturalia adalah unsur yang selalu dianggap ada dalam perjanjian walaupun para pihak tidak menuangkannya dalam perjanjian. Namun, unsur naturalia sudah diatur di dalam undang-undang. 76 H.Salim HS, H.Abdullah dan Wiwiek Wahyuningsih, 2008, Perancangan Kontrak & Memorandum of Understanding (MoU), Sinar Grafika, Jakarta, hal. 11. 77 Ibid. 78 R.Soeroso, 2010, Perjanjian di Bawah Tangan Pedoman Praktis Pembuatan dan Aplikasi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hal.16-17. 58 c. Unsur aksidentalia adalah unsur pelengkap yang dapat mengikat kedua belah pihak yang terlibat dalam perjanjian, jika kedua belah pihak menghendaki adanya unsur tersebut. 2.1.3 Bentuk Perjanjian Kredit Dalam praktek sehari-hari yang dilakukan oleh pihak kreditor dan debitor tentunya dihadapkan oleh bentuk-bentuk perjanjian kredit. Perjanjian kredit dapat digolongkan menjadi 2 (dua) bentuk, yaitu: a. Perjanjian kredit dengan akta otentik Dalam Black Law Dictionary, yang diartikan dengan akta otentik atau acte authentique adalah: “A deed executed with certain prescribed formalities, in the presence, of notary, mayor, greffer, or functionary qualified to act in the place in which it is drawn up”. (Akta yang dibuat dengan beberapa formalitas tertentu, dihadapan seorang notaris, walikota, panitera, atau pejabat yang memenuhi syarat sesuai dengan yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan)79. Definisi dari akta notariil diatur dalam Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 117, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4432), selanjutnya disebut UUJN. Pasal 1 angka 7 UUJN menyatakan bahwa: “Akta notaris adalah akta otentik yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam undangundang ini”. 79 H.Salim HS, H.Abdullah dan Wiwiek Wahyuningsih, op.cit, hal. 33. 59 Akta notaris sebagaimana diuraikan di dalam UUJN tersebut di atas mempunyai sifat otentik. Pasal 1870 KUHPerdata, menentukan bahwa: “Suatu akta otentik memberikan diantara para pihak beserta ahli waris-ahli warisnya atau orang-orang yang mendapat hak dari mereka, suatu bukti yang sempurna tentang apa yang dimuat di dalamnya”. Selain diatur dalam Pasal 1870 KUHPerdata, akta otentik juga diatur dalam Pasal 1868 KUHPerdata sehingga kedua pasal ini saling bertalian satu sama lain. Pasal 1868 KUHPerdata, menyatakan bahwa: “Suatu akta otentik ialah suatu akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu ditempat dimana akta dibuatnya”. Akta notaris selain sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya sesuai dengan bunyi Pasal 1337 Jo Pasal 1338 KUHPerdata, juga merupakan salah satu alat bukti tertulis sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 1866 KUHPerdata. Pasal 1866 tertulis sebagai berikut: “Alat-alat bukti terdiri atas: Bukti tulisan; bukti dengan saksi-saksi; persangkaan-persangkaan; pengakuan; sumpah. Segala sesuatu dengan mengindahkan aturan-aturan yang ditetapkan dalam bab-bab berikut”. Akta notaris adalah akta otentik yang memiliki kekuatan hukum dengan jaminan kepastian hukum sebagai alat bukti tulisan yang sempurna (volledig bewijs), tidak memerlukan tambahan alat pembuktian lain, dan hakim terikat karenanya. Grosse akta notaris kedudukannya sama dengan vonis keputusan 60 hakim yang tetap dan pasti (inkracht van gewijsde) dan mempunyai kekuatan eksekutorial80. K. Wantjik Saleh memberikan tanggapan mengenai akta otentik sebagai alat pembuktian yang sempurna. K. Wantjik Saleh mengungkapkan bahwa81: Menurut undang-undang suatu akta resmi mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna (volledig bewijs), artinya apabila suatu pihak memajukan suatu akta resmi, hakim harus menerimanya dan menganggap bahwa apa yang dituliskan di dalam akta itu sungguh-sungguh telah terjadi, sehingga hakim tidak boleh memerintahkan penambahan pembuktian lagi. Dikemukakan pula oleh Irawan Soerodjo, bahwa terdapat 3 (tiga) unsur esensialia agar terpenuhinya syarat formal suatu akta otentik. Ketiga unsur essensalia tersebut, yaitu82: 1. Di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang; 2. Dibuat oleh dan dihadapan Pejabat Umum; 3. Akta yang dibuat oleh atau dihadapan Pejabat Umum yang berwenang untuk itu dan di tempat dimana akta itu dibuat. Keotentikan suatu akta tidak cukup hanya dibuat oleh pejabat yang berwenang akan tetapi pembuatannya juga harus memenuhi syarat dan ketentuan yang ditetapkan oleh undang-undang. Suatu akta yang dibuat oleh notaris akan kehilangan otentisitasnya jika akta itu tidak memenuhi syarat bentuk (vormvoorschrift) sebagaimana ditentukan oleh undang-undang83. 80 Andi Prajitno, 2010, Pengetahuan Praktis tentang Apa dan Siapa Notaris di Indonesia, CV. Putra Media Nusantara, Surabaya, hal. 51. 81 Ibid. 82 Irawan Soerodjo, 2003, Kepastian Hukum Hak Atas Tanah Di Indonesia, Arloka, Surabaya, hal. 148. 83 H.Husni Tamrin, 2011, Pembuatan Akta Pertanahan Oleh Notaris, LaksBang PRESSindo, Yogyakarta, hal. 12. 61 Perjanjian kredit yang dibuat dalam bentuk akta otentik harus mengikuti syarat bentuk akta yang diatur di dalam Pasal 38 UUJN. Adapun syarat bentuk akta yang termuat di dalam Pasal 38 ayat (1, 2, 3, dan 4) UUJN, adalah sebagai berikut: (1)Setiap akta Notaris terdiri atas: a. awal akta atau kepala akta; b. badan akta; dan c. akhir atau penutup akta. (2)Awal akta atau kepala akta memuat: a. judul akta; b. nomor akta; c. jam, hari, tanggal, bulan dan tahun; dan d. nama lengkap dan tempat kedudukan notaris (3)Badan akta memuat: a. nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, kewarganegaraan, pekerjaan, jabatan, kedudukan, tempat tinggal para penghadap dan/atau orang yang mereka wakili; b. keterangan mengenai kedudukan bertindak penghadap; c. isi akta yang merupakan kehendak dan keinginan dari pihak yang berkepentingan; dan d. nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, serta pekerjaan serta jabatan, kedudukan dan tempat tinggal dari tiap-tiap saksi pengenal. (4)Akhir atau penutup akta memuat: a. uraian tentang pembacaan akta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf l atau pasal 16 ayat (7); b. uraian tentang penandatanganan dan tempat penandatanganan atau penerjemahan akta apabila ada; c. nama lengkap, tempat tanggal lahir, pekerjaan, jabatan, kedudukan, dan tempat tinggal dari tiap-tiap saksi akta; dan d. uraian tentang tidak adanya perubahan yang terjadi dalam pembuatan akta atau uraikan tentang adanya perubahan yang dapat berupa penambahan, pencoretan, atau penggantian. Jadi, perjanjian kredit yang dibuat oleh notaris harus mengikuti bentuk akta yang telah ditentukan dalam Pasal 38 UUJN. Hal ini bertujuan untuk memudahkan proses pembuktian apabila di kemudian hari terjadi perselisihan antara pihak debitor dengan kreditor karena perjanjian kredit dalam bentuk akta otentik memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna. 62 Otentisitas suatu akta dapat ditentang hanya berdasarkan alasan kepalsuan84. Hal ini tercantum di dalam Pasal 1872 KUHPerdata, menyatakan bahwa: “Jika suatu akta otentik, yang berupa apa saja, dipersangkakan palsu, maka pelaksanaannya dapat ditangguhkan menurut ketentuan-ketentuan Reglemen Acara Perdata”. Kepalsuan yang tercantum di dalam Pasal 1872 KUHPerdata dapat terjadi dalam 2 (dua) kemungkinan, yaitu kepalsuan yang dilakukan oleh pejabat pembuat akta dan kepalsuan yang dilakukan oleh pihak tertentu setelah akta dibuat. Kepalsuan yang pertama disebut sebagai kepalsuan intelektual karena dilakukan oleh orang (pejabat) yang mempunyai pengetahuan, sedangkan kepalsuan kedua merupakan kejahatan biasa (pemalsuan akta) yang dapat dilalukakan oleh siapa saja85. b. Perjanjian kredit di bawah tangan Pengertian akta di bawah tangan (onderhandse acte) adalah akta yang sengaja dibuat untuk pembuktian oleh para pihak tanpa bantuan dari pejabat umum yang berwenang. Akta demikian dibuat semata-mata oleh para pihak yang berkepentingan86. Akta di bawah tangan tersebut mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna layaknya akta otentik apabila para pihak mengakuinya dan tidak ada 84 Ibid. Ibid, hal. 15. 86 R. Soeroso, op. cit, hal.8. 85 63 penyangkalan dari salah satu pihak87. Hal ini dapat tercantum di dalam Pasal 1875 KUHPerdata. Pasal 1875 KUHPerdata, menyatakan bahwa: Suatu tulisan di bawah tangan yang diakui oleh orang terhadap siapa tulisan itu hendak dipakai, atau yang dengan cara menurut undang-undang dianggap sebagai diakui, memberikan terhadap orang-orang yang menandatanganinya serta para ahli warisnya dan orang-orang yang mendapat hak daripada mereka, bukti yang sempurna seperti suatu akta otentik dan demikian pula berlakulah ketentuan Pasal 1871 untuk tulisan itu. Perjanjian kredit pada umumnya dibuat di bawah tangan dengan bentuk perjanjian baku atau istilah dalam bahasa Inggrisnya disebut standard contract. Mariam Badrulzaman mengemukakan pendapatnya mengenai standard contract, yaitu: “Suatu kontrak yang isinya telah ditentukan oleh pihak kreditor kemudian diserahkan kepada pihak debitor”88. Sutan Remy Sjahdeini juga memberikan pengertian mengenai perjanjian baku. Perjanjian baku adalah perjanjian yang di dalamnya mengandung klausula – klausula yang telah ditetapkan oleh pihak pertama, sehingga pihak kedua atau pihak lainnya tidak memiliki kesempatan untuk melakukan suatu perubahan terhadap isi perjanjian tersebut, kecuali hal-hal yang menyangkut mengenai identitas dari objek perjanjian tersebut89. Perjanjian baku dibuat untuk menghemat waktu dan tidak memerlukan waktu yang lama untuk melakukan negosiasi antara pihak kreditor dan debitor. Jadi, 87 Habib Adjie, 2009, Sekilas Dunia Notaris & PPAT Di Indonesia, Mandar Maju, Bandung, hal. 33. 88 Gatot Supramono I, op.cit, hal. 174. 89 Sutan Remy Sjahdeini dalam Salim.HS, 2007, Perkembangan Hukum Kontrak Di Luar KUHPerdata, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, (selanjutnya disingkat Salim. HS III), hal. 146-147. 64 kontrak baku muncul dengan latar belakang sosial, ekonomi, dan praktis 90. Pada prakteknya, perjanjian kredit antara pihak kreditor dan debitor menerapkan penggunaan perjanjian baku (standard contract). Ketika pihak kreditor mengambil keputusan untuk menyetujui permohonan kredit yang diajukan oleh pihak debitor, maka pihak kreditor akan menyerahkan perjanjian kredit dalam bentuk formulir kepada pihak debitor. Perjanjian kredit dalam bentuk formulir yang diserahkan kepada pihak kreditor kepada debitor biasanya sudah dimuat mengenai ketentuan tentang pokok pinjaman, jangka waktu peminjaman kredit, bunga, serta barang yang digunakan sebagai jaminan dalam peminjaman kredit. Pihak debitor diminta untuk memberikan tanggapannya terhadap isi dari formulir tersebut, apakah pihak debitor menyetujui atau tidak. Pihak debitor biasanya menyetujui saja apa yang tercantum di dalam formulir tersebut karena apabila tidak disetujui maka kredit yang diajukan oleh debitor tidak akan dicairkan oleh pihak kreditor. Jadi, pihak debitor berada di posisi yang sangat sulit ketika dihadapkan dengan perjanjian kredit dalam bentuk perjanjian baku (standard contract). 2.1.4 Kedudukan LPD Dalam Sistem Perbankan Dasar pijakan konstitusional pembentukan LPD ditemukan dalam Bab VI Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1954 (selanjutnya 90 Gemala Dewi, 2007, Aspek-Aspek Hukum Dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah di Indonesia, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hal. 205. 65 disebut UUDNRI 1945), khususnya Pasal 18 dan Pasal 18B ayat (2). Pasal 18 UUDNRI 1945 menyatakan bahwa: (1) Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang; (2) Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan; (3) Pemerintah daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum; (4) Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis; (5) Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat; (6) Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturanperaturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan; (7) Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam undang-undang. Ketentuan konstitusi sebagai dasar pijakan pembentukan LPD juga diatur di dalam Pasal 18B ayat (2) UUDNRI 1945. Pasal 18B ayat (2) UUDNRI 1945, menentukan bahwa: “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”. Pemerintah Provinsi Bali menindaklanjuti ketentuan yang tercantum dalam Pasal 18 dan 18B ayat (2) UUDNRI 1945 dengan membentuk Perda LPD. Dibentuknya Perda LPD hingga saat ini berhasil membuat LPD menjadi lembaga keuangan kultural, yang dibentuk dalam visi dan misi kultural, dalam sifat yang 66 sangat khas, karena dibentuk oleh desa pakraman, beroperasi di dalam wilayah desa pakraman, dan terbatas melayani wilayah desa pakraman91. Pada tahun 2005, LPD mendapat sorotan dari banyak pihak, terutama lembaga-lembaga keuangan, termasuk Bank Indonesia. Melihat status dan cara kerja dari LPD, Bank Indonesia menuntut agar LPD mentaati ketentuan-ketentuan perbankan, sehingga pada tanggal 7 September 2009 Gubernur Bank Indonesia bersama-sama dengan 2 (dua) Menteri Dalam Negeri dan Menteri Koperasi dan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (selanjutnya disebut UMKM) menerbitkan Keputusan Bersama Nomor 351.1/KMK.010/2009, Nomor 900-639 A Tahun 2009, Nomor 01/SKB/M.KUKMK/IX/2009 dan Nomor 11/43A/KEPGB1/2009 tentang Strategi Pengembangan Lembaga Keuangan Mikro92. Pada diktum pertama keputusan tersebut mensyaratkan bahwa LPD harus masuk sebagai lembaga keuangan mikro, yang dengan demikian harus memenuhi diktum pertama Keputusan itu. Untuk pemenuhan terhadap diktum utama keputusan tersebut, maka LPD harus mengalihkan bentuk badan hukum keuangan tertentu, Bank Perkreditan Rakyat (selanjutnya disebut BPR) atau Koperasi atau Badan Usaha Milik Desa93. Surat Keputusan Bersama (selanjutnya disebut SKB) tersebut tidak berlaku terhadap LPD karena disebutkan bahwa SKB itu berlaku terhadap lembaga keuangan yang dibentuk pemerintah sedangkan LPD tidak. SKB itu dari segi tata urutan peraturan perundang-undangan berada di bawah Perda karena itu dapat 91 I Nyoman Nurjaya et. al, op. cit, hal.4 I Nyoman Nurjaya et.al, loc.cit. 93 I Nyoman Nurjaya et.al, loc.cit. 92 67 diabaikan, LPD tidak dapat dikualifikasikan sebagai lembaga keuangan mikro karena sifat khasnya , namun kehadiran SKB itu tetap menganggu rasa aman LPD untuk beroperasi seperti sedia kala94. SKB tersebut di atas merupakan kelanjutan dari kewenangan Gubernur Bank Indonesia sebagaimana ditentukan dalam Pasal 58 Undang-Undang Perbankan. Pasal 58 Undang-Undang Perbankan, menyatakan bahwa: Bank Desa, Lumbung Desa, Bank Pasar, Bank Pegawai, Lumbung Pitih Nagari (LPN), Lembaga Perkreditan Desa(LPD), Badan Kredit Desa (BKD), Badan Kredit Kecamatan (BKK), Kredit Usaha Rakyat Kecil (KURK), Lembaga Perkreditan Kecamatan (LPK), Bank Karya Produksi Desa (BKPD), dan/atau lembaga-lembaga lainnya yang dipersamakan dengan itu diberikan status sebagai Bank Perkreditan Rakyat berdasarkan Undang-Undang ini dengan memenuhi persyaratan tata cara yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Ketentuan yang tercantum di dalam Pasal 58 Undang-Undang Perbankan tidak memberikan penjelasan lanjutan apapun tentang LPD. Ida Bagus Wyasa Putra memberikan kritik terhadap ketentuan Pasal 58 Undang-Undang Perbankan tersebut. Beliau mengemukakan bahwa95: LPD Desa Pakraman tidak mungkin diberi perlakuan sama dengan lembagalembaga keuangan kerakyatan lainnya karena sifat khas dan sifat khususnya yang sangat berbeda dengan lembaga-lembaga keuangan kerakyatan lainnya. LPD Desa Pakraman memiliki latar belakang, alasan, motif, visi, misi pendirian, sistem kepemilikan, sistem kelembagaan, wilayah operasi, dan tujuan-tujuan yang sangat berbeda dengan lembaga-lembaga keuangan kerakyatan lainnya. Sukandia juga memberikan kritiknya terhadap Pasal 58 Undang-Undang Perbankan. Sukandia mengungkapkan bahwa96: LPD Desa Pakraman memiliki rumah konstitusi yang berbeda dengan rumah konstitusi lembaga keuangan kerakyatan lainnya. Setiap penyamaan perlakuan 94 I Nyoman Nurjaya et.al, loc.cit. I Nyoman Nurjaya et.al, op.cit,hal. 7. 96 I Nyoman Nurjaya et.al, op.cit, hal. 8. 95 68 terhadap LPD Desa Pakraman dengan lembaga keuangan lainnya, secara mengabaikan karakteristik Desa Pakraman, menimbulkan potensi pelanggaran terhadap hak-hak konstitusional terhadap lembaga keuangan komunitasnya. Pendapat pakar hukum di atas mengenai kedudukan LPD dalam sistem perbankan juga diperkuat dengan norma hukum yang terkandung di dalam Pasal 39 ayat (1), (2), dan (3) Undang – Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5394), selanjutnya disebut UULKM. Pasal 39 ayat (1), (2), dan (3) UULKM, menyatakan bahwa: (1)Pada saat Undang-Undang ini berlaku, Bank Desa, Lumbung Desa, Bank Pasar, Bank Pegawai, Bank Kredit Desa (BKD), Bank Kredit Kecamatan (BKK), Kredit Usaha Rakyat Kecil (KURK), Lembaga Perkreditan Kecamatan (LPK), Bank Karya Produksi Desa (BKPD), Badan Usaha Kredit Pedesaan (BUKP), Baitul Maal wa Tamwil (BMT), dan/atau lembaga-lembaga lainnya yang dipersamakan dengan itu tetap dapat beroperasi samapi dengan 1 (satu) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini berlaku. (2)Lembaga - lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memperoleh izin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini berlaku. (3)Lembaga Perkreditan Desa dan Lumbung Pinatih Nagari serta lembaga sejenis yang telah ada sebelum undang-undang ini berlaku, dinyatakan diakui keberadaannya berdasarkan hukum adat dan tidak tunduk pada Undang-Undang ini. Berdasarkan pendapat para pakar hukum di atas dan setelah mendapat penguatan dari Pasal 39 ayat (1), (2), dan (3) UULKM, dapat disimpulkan bahwa kedudukan LPD Desa Pakraman tidak dapat dipersamakan dengan lembaga keuangan lainnya. Hal ini disebabkan karena LPD Desa Pakraman memiliki sifat yang khas karena kepemilikan dan pengorganisasiannya dipengaruhi oleh adanya adat istiadat masyarakat Bali, serta memiliki rumah konstitusi yang berbeda dengan lembaga keuangan lainnya. 69 2.1.5 Kegiatan Usaha LPD Dalam menjalankan kegiatan usahanya, LPD harus berpedoman pada Pasal 7 Perda LPD No. 8/2002. Pasal 7 Perda LPD No. 8/2002, menyatakan bahwa: Lapangan usaha LPD mencakup: a. Menerima/menghimpun dana dari Krama Desa dalam bentuk tabungan dan deposito; b. Memberikan pinjaman hanya kepada Krama Desa; c. Menerima pinjaman dari lembaga-lembaga keuangan maksimum sebesar 100 % dari jumlah modal, termasuk cadangan dan laba di tahan, kecuali batasan lain dalam jumlah pinjaman atau dukungan/bantuan dana. d. Menyimpan kelebihan likuiditasnya pada BPD dengan imbalan bunga bersaing dan pelayanan yang memadai. Pada prinsipnya, kegiatan usaha LPD dapat digolongkan dalam 4 (empat) bagian. Adapun kegiatan usaha dari LPD, yaitu97: a. Mengolah pinjaman mulai dari permohonan, persetujuan, sampai pada penyiapan dan penandatanganan surat perjanjian pinjam meminjam; b. Menerima uang baik dari nasabah (penerimaan angsuran pokok, tabungan, bunga pinjaman, dan simpanan berjangka) maupun dari pihak lain (misalnya pinjaman dari LPD lain); c. Mengeluarkan uang untuk pemberian pinjaman pencairan tabungan dan simpanan berjangka, pelunasan pinjaman yang diterima, pembayaran biaya (misalnya bunga simpanan berjangka dan biaya sehari-hari). Pembayaran tabungan dari bunga simpanan berjangka dapat dilakukan di rumah nasabah oleh petugas keliling; 97 Pemerintah Kota Denpasar, 2006, Pedoman Pembinaan LPD di Kota Denpasar, Bagian Perekonomian Sekretariat Daerah, Kota Denpasar, (selanjutnya disebut Pemerintah Kota Denpasar I), hal. 4. 70 d. Memberikan jasa perbankan lain kepada nasabah, misalnya pembayaran tagihan listrik. LPD dapat menerima dari nasabah secara tunai atau dengan pemindahbukuan tabungan. 2.2 Tinjauan Umum Tentang Hak Tanggungan 2.2.1 Pengertian dan Dasar Hukum Hak Tanggungan Pasca diberlakukannya UUHT, maka hak atas tanah yang akan dijadikan jaminan utang piutang tidak lagi mempergunakan jaminan hipotik. Untuk menciptakan unifikasi hukum, maka hak atas tanah yang dijadikan jaminan pelunasan dalam perjanjian utang piutang sekarang menggunakan jaminan Hak Tanggungan. Kelahiran UUHT didasarkan atas pertimbangan untuk memberikan kepastian hukum bagi para pelaku usaha yang menjalankan kegiatan usahanya dalam memberikan fasilitas kredit dengan jaminan sertifikat hak milik atas tanah. Selain itu, kelahiran UUHT juga merupakan amanat dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria (Lembaran Negara Tahun 1964 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2043), selanjutnya disebut UUPA. Rachmadi Usman, menyatakan bahwa dengan berlakunya UUHT, maka dinyatakan tidak berlaku lagi98: a. Ketentuan mengenai Credietverband sebagaimana tersebut dalam Staatsblad 1908 Nomor 542 juncto Staatsblad 1909 Nomor 586 dan Staatsblad 1909 Nomor 584 sebagai yang telah diubah dengan Staatsblad 1937 Nomor 190 juncto Staatsblad 1937 Nomor 191; b. Ketentuan mengenai Hypotheek sebagaimana tersebut dalam Buku Kedua KUHPerdata sepanjang mengenai pembebanan Hak Tanggungan pada hak atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah. 98 Rachmadi Usman, 2011, Hukum Kebendaan, Sinar Grafika, Jakarta, (selanjutnya disingkat Rachmadi Usman II), hal. 306. 71 Hak Tanggungan diatur dalam Pasal 1 angka 1 UUHT. Pasal 1 angka 1 UUHT, menyatakan bahwa: Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, yang selanjutnya disebut Hak Tanggungan, adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lainnya. Berdasarkan definisi Hak Tanggungan di atas, terdapat beberapa elemen pokok. Adapun elemen pokok tersebut adalah99: 1. UUHT adalah hak jaminan. UUHT adalah realisasi dari Pasal 51 UUPA jo. Pasal 1131 KUHPerdata. Pasal 1131 KUHPerdata, menyatakan bahwa: “Segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan”. Hak jaminan juga diatur dalam Pasal 1162 KUHPerdata. Pasal 1162 KUHPerdata, menentukan bahwa: “Hak Tanggungan adalah suatu kebendaan atas benda-benda tak bergerak untuk mengambil penggantian daripadanya bagi pelunasan suatu perikatan”. 2. Obyek UUHT adalah hak atas tanah Ketentuan ini merupakan realisasi dari Pasal 25, 33, 39, dan 51 UUPA. Ketentuan – ketentuan tersebut menyatakan bahwa objek Hak Tanggungan adalah hak atas tanah. 99 Mariam Daruz Badrulzaman, 2009, Kompilasi Hukum Jaminan, Mandar Maju, Bandung, hal. 15-17. 72 3. Berikut atau tidak berikut benda lain (bangunan, tanaman) yang melekat (tertancap) sebagai kesatuan dengan tanah. UUHT melihat bahwa kebutuhan menuntut untuk diterapkannya asas perlekatan yang tidak dikenal hukum adat. Tanah yang di atasnya tertancap bangunan dapat menaikkan nilai tanah. Kreditor akan memperoleh jaminan yang tinggi harganya seimbang dengan besar jumlah kredit yang akan diberikan kepada debitor, dibandingkan jika yang dijaminkan hanya tanahnya saja. Hukum adat tidak mengenal asas perlekatan, tetapi mengenal asas pemisahan horizontal, sedangkan KUHPerdata menganut asas perlekatan tetapi tidak menganut asas pemisahan horizontal. UUHT menganut kedua asas ini, sepanjang diperjanjikan oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Hal ini tercantum dalam Pasal 4 ayat (4) dan (5) UUHT. Pasal 4 ayat (4) UUHT, menentukan bahwa: Hak Tanggungan dapat juga dibebankan pada hak atas tanah berikut bangunan, tanaman, dan hasil karya yang telah ada atau akan ada yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut, dan yang merupakan milik pemegang hak atas tanah yang pembebanannya dengan tegas dinyatakan di dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan. Penerapan asas tersebut di atas juga diatur di dalam Pasal 4 ayat (5) UUHT. Pasal 4 ayat (5) UUHT, menyatakan bahwa: Apabila bangunan, tanaman, dan hasil karya sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak dimiliki oleh pemegang hak atas tanah, pembebanan Hak Tanggungan atas benda-benda tersebut hanya dapat dilakukan dengan penandatanganan serta pada Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan oleh pemiliknya atau yang diberi kuasa untuk itu olehnya dengan akta otentik. 73 4. Untuk pelunasan utang tertentu Tujuan dari Hak Tanggungan tidak hanya sekedar melunasi utang yang timbul dari perjanjian kredit, akan tetapi kewajiban memenuhi suatu perikatan. Hal ini mengacu pada Pasal 3 UUHT, yang menyatakan bahwa: Utang yang dijaminkan pelunasannya dengan Hak Tanggungan dapat berupa utang yang telah ada atau yang telah diperjanjikan dengan jumlah tertentu atau jumlah yang ada pada saat permohonan eksekusi. Hak Tanggungan diajukan dapat ditentukan berdasarkan perjanjian utang piutang atau perjanjian lain yang menimbulkan hubungan utang piutang yang bersangkutan. Konsep yang terkandung di dalam Pasal 3 UUHT juga terdapat di dalam Pasal 1162 KUHPerdata. Pasal 1162 KUHPerdata, menentukan bahwa: “Hak Tanggungan adalah suatu hak kebendaan atas benda-benda tak bergerak untuk mengambil penggantian daripadanya bagi pelunasan suatu perikatan”. 5. Kreditor mempunyai kedudukan utama Kedudukan utama bagi kreditor pemegang Hak Tanggungan diatur dalam angka (4) Penjelasan Umum atas UUHT. Penjelasan Umum angka (4) UUHT, menyatakan bahwa: Hak Tanggungan adalah hak jaminan atas tanah untuk pelunasan hutang tertentu, yang memberikan kedudukan diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain. Dalam arti, bahwa jika debitor cidera janji, kreditor pemegang Hak Tanggungan berhak menjual melalui pelelangan umum tanah yang dijadikan jaminan menurut ketentuan peraturan perundangundangan yang bersangkutan, dengan hak mendahulu daripada kreditorkreditor lain. 2.2.2 Asas-Asas Hak Tanggungan Sebagai lembaga hak jaminan kebendaan, maka Hak Tanggungan memiliki sejumlah asas hukum yang dapat ditemukan dalam Pasal-Pasal Batang Tubuh 74 maupun Penjelasan UUHT. Adapun asas-asas dari Hak Tanggungan adalah sebagai berikut100: a. Ketentuan hak tanggungan bersifat memaksa Substansi yang mengatur mengenai Hak Tanggungan di dalam UUHT tidak dapat disimpangi dan bersifat memaksa, kecuali UUHT menentukan lain. Ketentuan Hak Tanggungan yang bersifat memaksa dapat dijumpai dalam Pasal 6, 11, 12, 13, 14, dan 15 UUHT. b. Hak tanggungan tidak dapat dibagi-bagi (ondeelbaarheid) atau tidak dapat dipisah-pisahkan (onsplitsbaarheid). Hak Tanggungan mempunyai sifat tidak dapat dibagi-bagi dan tidak dapat dipisah-pisahkan, artinya secara utuh objek Hak Tanggungan dan setiap bagian daripadanya dibebani Hak Tanggungan. Jika sebagian hutang yang dijamin dengan Hak Tanggungan telah dilunasi, itu bukan berarti sebagian objek Hak Tanggungan terbebas dari beban Hak Tanggungan, melainkan seluruh objek Hak Tanggungan tetap dibebani oleh Hak Tanggungan sampai hutang tersebut dibayar lunas oleh debitor. Ketentuan mengenai asas tidak dapat dibagi-bagi dan tidak dapat dipisahpisahkan diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UUHT. Pasal 2 ayat (1) UUHT, menyatakan bahwa: “Hak Tanggungan mempunyai sifat tidak dapat dibagi-bagi, kecuali jika diperjanjikan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)”. 100 Rachmadi Usman I, op.cit, hal. 337-350. 75 Substansi dalam Pasal 2 ayat (1) UUHT di atas, memberikan pemahaman bahwa bagian objek Hak Tanggungan yang hutangnya telah terlunasi tidak dimungkinkan untuk dilakukannya roya partial. Namun ketentuan bahwa Hak Tanggungan tidak dapat dibagi-bagi atau tidak dapat dipisah-pisahkan dapat disimpangi sepanjang hal tersebut diperjanjikan oleh para pihak dan segera dituangkan ke dalam APHT. Penyimpangan terhadap asas Hak Tanggungan yang tidak dapat dibagi-bagi atau tidak dapat dipisahkan-pisahkan dapat dijumpai dalam Pasal 2 ayat (2) UUHT. Pasal 2 ayat (2) UUHT, menyebutkan bahwa: Apabila Hak Tanggungan dibebankan pada beberapa hak atas tanah, dapat diperjanjikan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan, bahwa pelunasan utang yang dijaminkan dapat dilakukan dengan cara angsuran yang besarnya sama dengan nilai masing-masing hak atas tanah yang merupakan bagian dari objek Hak Tanggungan, yang akan dibebaskan dari Hak Tanggungan tersebut, sehingga kemudian Hak Tanggungan itu hanya membebani sisa utang yang belum dilunasi. Selain dalam Pasal 2 ayat (2) UUHT, penyimpangan terhadap asas tidak dapat dibagi-bagi ataupun tidak dapat dipisah-pisah dari Hak Tanggungan ditegaskan dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (2) UUHT. Penjelasan Pasal 2 ayat (2) UUHT, menyatakan bahwa: Ketentuan ini merupakan perkecualian dari asas yang ditetapkan pada ayat (1) menampung kebutuhan perkembangan dunia perkreditan, antara lain untuk mengakomodasi keperluan pendanaan pembangunan kompleks perumahan yang semula menggunakan kredit untuk pembangunan seluruh kompleks dan kemudian akan dijual kepada pemakai satu per satu, sedangkan untuk membayarnya pemakai akhir ini juga menggunakan kredit dengan jaminan rumah yang bersangkutan. 76 c. Hak tanggungan mengikuti benda yang dijaminkan (droit de suite) dalam tangan siapapun berada. Droit de suite merupakan sifat dari Hak Tanggungan. Artinya, benda yang dijaminkan dengan Hak Tanggungan tetap mengikuti dalam tangan siapa pun benda itu berada walaupun dialihkan. Sifat droite de suite Hak Tanggungan diatur dalam Pasal 7 UUHT. Pasal 7 UUHT, mengatur bahwa: “Hak Tanggungan tetap mengikuti objeknya dalam tangan siapa pun objek tersebut berada”. Sifat droite de suite ini bertujuan untuk memberikan perlindungan terhadap pelunasan piutang yang menjadi hak kreditor selaku pemegang Hak Tanggungan, walaupun benda yang dijadikan objek Hak Tanggungan beralih ke pihak ketiga. Dalam hal pengalihan ini, kreditor selaku pemegang Hak Tanggungan tetap memiliki hak untuk melakukan eksekusi terhadap objek jaminan apabila debitor lalai terhadap pelunasan kewajibannya. d. Hak tanggungan bertingkat (terdapat peringkat yang lebih tinggi di antara kreditor pemegang Hak Tanggungan) Asas Hak Tanggungan bertingkat ini diatur di dalam Pasal 5 UUHT. Pasal 5 UUHT, menentukan bahwa: (1) Suatu objek Hak Tanggungan dapat dibebani dengan lebih dari satu Hak Tanggungan guna menjamin pelunasan lebih dari satu utang; (2) Apabila suatu objek Hak Tanggungan dibebani lebih dari satu Hak Tanggungan, peringkat masing-masing Hak Tanggungan ditentukan menurut tanggal pendaftarannya pada Kantor Pertanahan; (3) Peringkat Hak Tanggungan yang didaftar pada tanggal yang sama ditentukan menurut tanggal pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan. Pasal 5 UUHT tersebut di atas memberikan pemahaman bahwa pemilik benda yang menjadi objek jaminan Hak Tanggungan berwenang untuk membebankan 77 kembali benda yang sama sebagai objek jaminan Hak Tanggungan guna pelunasan utang lainnya sehingga akan menimbulkan suatu perjenjangan bagi kreditor selaku pemegang Hak Tanggungan. Pemahaman lain yang diketahui dari bunyi Pasal 5 UUHT adalah kelahiran Hak Tanggungan merupakan momentum yang sangat penting. Kelahiran Hak Tanggungan disesuaikan dengan tanggal pendaftaran Hak Tanggungan tersebut di Kantor Pertanahan. Jadi, Hak Tanggungan yang didaftarkan terlebih dahulu menduduki jenjang pertama dibandingkan dengan kreditor lainnya yang berkedudukan sebagai pemegang objek jaminan Hak Tanggungan yang sama. e. Hak Tanggungan membebani hak atas tanah tertentu (asas spesialitas) Asas spesialitas merupakan suatu keharusan untuk pencantuman uraian mengenai subjek, objek, hutang yang dijamin dengan Hak Tanggungan, beserta nilai tanggungannya secara spesifik ke dalam APHT. Pasal 11 ayat (1) juncto Pasal 8 UUHT mengatur mengenai asas spesialitas dari Hak Tanggungan. Pasal 11 ayat (1) UUHT, menjelaskan bahwa: Di dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan wajib dicantumkan: a. nama dan identitas pemegang dan pemberi Hak Tanggungan; b. domisili pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam huruf a, dan apabila diantara mereka ada yang berdomisili di luar indonesia, baginya harus pula dicantumkan suatu domisili pilihan di Indonesia, dan dalam hal domisili pilihan itu tidak dicantumkan, kantor PPAT tempat pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan dianggap sebagai domisili yang terpilih; c. penunjukkan secara jelas utang atau utang-utang yang dijamin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 10 ayat (1); d. nilai tanggungan; e. uraian yang jelas mengenai obyek Hak Tanggungan. 78 Asas spesialitas juga diatur di dalam Pasal 8 UUHT. Pasal 8 UUHT, menentukan bahwa: (1) Pemberi Hak Tanggungan adalah orang perseorangan atau badan hukum yang mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap obyek Hak Tanggungan yang bersangkutan; (2) Kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap obyek Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus pada pemberi Hak Tanggungan pada saat pendaftaran Hak Tanggungan dilakukan. Asas spesialitas hanya dapat terpenuhi apabila obyek Hak Tanggungan telah ada dan telah diketahui pula tanah itu tanah yang mana karena jika tidak ada obyek maka ciri-ciri yang melekat dari obyek Hak Tanggungan itu tidak dapat diketahui secara pasti. Selain itu, Hak Tanggungan juga dapat dibebankan terhadap benda-benda yang berkaitan dengan tanah tersebut yang baru akan ada. Hal ini berarti wujud dari obyek Hak Tanggungan belum dapat diketahui secara pasti, sehingga asas spesialitas tidak hanya berlaku sepanjang mengenai bendabenda yang berkaitan dengan tanah. f. Hak Tanggungan wajib didaftarkan (asas publisitas) Asas publisitas dalam pemberian Hak Tanggungan dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Asas publisitas ini mengharuskan adanya suatu pendaftaran dalam pemberian Hak Tanggungan, sehingga diketahui secara terbuka serta mengikat pihak ketiga. Ketentuan yang mengatur mengenai kewajiban pendaftaran Hak Tanggungan ini terdapat dalam Pasal 13 ayat (1) UUHT. Pasal 13 ayat (1) UUHT, menyatakan bahwa: “Pemberian Hak Tanggungan wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan”. Asas publisitas merupakan syarat mutlak untuk lahirnya Hak Tanggungan yang dibebankan dengan suatu hak atas tanah sehingga dapat mengikat pihak ketiga. 79 Pendaftaran pemberian Hak Tanggungan memungkinkan pihak ketiga untuk dapat mengetahui tentang adanya pembebanan Hak Tanggungan. g. Hak Tanggungan dapat disertai janji-janji tertentu Janji-janji tertentu dapat juga diberikan pada saat pemberian Hak Tanggungan yang kemudian dicantumkan di dalam APHT. Janji-janji yang dapat dicantumkan dalam pemberian Hak Tangungan diatur dalam Pasal 11 ayat (2) UUHT. Janji – Janji tersebut antara lain dapat berupa janji mengenai pembatasan kewenangan pemberi Hak Tanggungan akan objek Hak Tanggungan, pemberian kewenangan kepada penerima Hak Tanggungan, janji akan hak dari pemegang Hak Tanggungan, serta janji yang diberikan oleh pemberi Hak Tanggungan. Janji – janji yang termuat dalam Pasal 11 ayat (2) UUHT tersebut di atas bersifat fakultatif karena dalam pemberian Hak Tanggungan janji-janji tersebut boleh dicantumkan boleh juga tidak di dalam APHT. Selain bersifat fakultatif, janji-janji tersebut juga bersifat tidak limitatif karena dapat diperjanjikan janjijanji lain di luar dari janji-janji yang diatur dalam Pasal 11 ayat (2) UUHT. h. Pelaksanaan eksekusi mudah dan pasti UUHT memberikan suatu kemudahan terhadap pelaksanaan eksekusi objek Hak Tanggungan. Kemudahan tersebut tercantum dalam Pasal 6 dan Pasal 14 ayat (2) dan (3) UUHT. Pasal 6 UUHT, menyebutkan bahwa: “Apabila debitor cidera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut”. 80 Kemudahan lainnya dalam pelaksanaan eksekusi obyek Hak Tanggungan diatur dalam Pasal 14 ayat (2) dan (3) UUHT. Pasal 14 ayat (2) dan (3) UUHT, menentukan bahwa: (1) Sertifikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat irah-irah dengan kata-kata “DEMI KEADILAN BERDASARKAN TUHAN YANG MAHA ESA”; (2) Sertifikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan berlaku sebagai pengganti grosse acte Hypotheek sepanjang mengenai hak atas tanah. Berdasarkan kemudahan-kemudahan yang telah diberikan oleh UUHT, maka dalam hal debitor cidera janji, kreditor selaku pemegang Hak Tanggungan dapat melakukan eksekusi secara langsung tanpa memerlukan lagi suatu fiat dari pengadilan. Hal ini dikarenakan kreditor memiliki hak penuh sebagai pemegang sertifikat Hak Tanggungan yang dapat digunakan sebagai dasar hukum apabila akan mengeksekusi obyek Hak Tanggungan. 2.2.3 Pemberian Hak Tanggungan Dilakukan Dengan Perjanjian Tertulis yang Dituangkan Dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan Pemberian Hak Tanggungan diawali dengan janji untuk memberikan Hak Tanggungan sebagai pelunasan hutang yang tertuang di dalam perjanjian hutang piutang atau lebih dikenal dengan perjanjian kredit. Perjanjian kredit merupakan dasar atau tahap awal dalam proses pemberian Hak Tanggungan. Janji untuk memberikan Hak Tanggungan yang tercantum di dalam perjanjian kredit selanjutnya ditindaklanjuti dengan pembuatan perjanjian tertulis yang dituangkan dalam APHT. APHT merupakan akta Pejabat Pembuat Akta Tanah, selanjutnya disebut akta PPAT. 81 Pasal 1 angka 4 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 52, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3746), selanjutnya disebut Peraturan Jabatan PPAT. Pasal 1 angka 4 menyatakan bahwa: “Akta PPAT adalah akta yang dibuat oleh PPAT sebagai bukti telah dilaksanakannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun”. APHT merupakan salah satu bagian dari akta PPAT digunakan untuk memformulasikan perbuatan hukum yang menjadikan hak atas tanah sebagai jaminan hutang. Ketentuan Pasal 10 ayat (2) UUHT, menyatakan bahwa: “Pemberian Hak Tanggungan dilakukan dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan oleh PPAT sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Berdasarkan uraian Pasal 10 ayat (2) UUHT, maka pemberian Hak Tanggungan tersebut harus dilakukan dengan pembuatan APHT yang dibuat oleh PPAT. APHT yang dibuat oleh PPAT tergolong ke dalam akta otentik karena dibuat oleh pejabat umum dengan susunan dan bentuk akta yang telah ditetapkan oleh Badan Pertanahan Nasional101. Hal ini dipertegas dalam Pasal 1 angka 4 Penjelasan Umum atas UUHT. Pasal 1 angka 4 menyatakan bahwa: “Pejabat Pembuat Akta Tanah adalah pejabat umum yang diberi wewenang untuk membuat akta pemindahan hak atas tanah, 101 Rachmadi Usman I, op.cit, hal. 404. 82 akta pembebanan hak atas tanah, dan akta pemberian kuasa membebankan Hak Tanggungan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”. 2.2.4 Lahir dan Berakhirnya Hak Tanggungan Pasal 13 ayat (1) UUHT memberikan pemahaman bahwa terhadap pembebanan Hak Tanggungan wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan. Pasal 13 ayat (5) Jo ayat (4) UUHT juga menyatakan bahwa Hak Tanggungan lahir pada hari tanggal buku tanah Hak Tanggungan lengkap dengan surat-surat yang diperlukan bagi pendaftarannya. Jadi, Hak Tanggungan itu lahir dan baru mengikat setelah dilakukan pendaftaran. Jika tidak dilakukan pendaftaran, maka pembebanan Hak Tanggungan tidak diketahui oleh pihak ketiga serta tidak memiliki kekuatan mengikat terhadap pihak ketiga102. Mengenai berakhirnya Hak Tanggungan diatur dalam Pasal 18 ayat (1) UUHT. Ketentuan dalam Pasal 18 ayat (1) UUHT menjelaskan bahwa: Hak Tanggungan hapus karena hal-hal sebagai berikut: a. Hapusnya hutang yang dijamin dengan Hak Tanggungan; b. Dilepaskannya Hak Tanggungan oleh pemegang Hak Tanggungan; c. Pembersihan Hak Tanggungan berdasarkan penetapan peringkat oleh Ketua Pengadilan Negeri; d. Hapusnya hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan. Adrian Sutedi memberikan penjelasan mengenai 4 (empat) point dalam Pasal 18 ayat (1) UUHT di atas mengenai berakhirnya Hak Tanggungan. Beliau menjelaskan bahwa103: 102 Adrian Sutedi, 2010, Hukum Hak Tanggungan, Sinar Grafika, Jakarta, (selanjutnya disebut Adrian Sutedi II), hal. 79 103 Ibid, hal.79-84. 83 a. Hapusnya hutang yang dijamin dengan Hak Tanggungan Hak Tanggungan sebagai hak accessoir menjadi hapus karena hapusnya hutang debitor dalam perjanjian pokoknya, yaitu perjanjian hutang piutang atau lebih dikenal dengan perjanjian kredit. Hak Tanggungan hanya berfungsi sebagai perjanjian tambahan yang menjamin pelunasan hutang dari pihak debitor. Kantor Pertanahan melakukan pencoretan terhadap buku tanah dan sertifikat Hak Tanggungan setelah Hak Tanggungan hapus. Sertifikat Hak Tanggungan beserta buku tanah yang bersangkutan ditarik dan dinyatakan tidak berlaku lagi di Badan Pertanahan Nasional. Pencoretan yang dilakukan oleh Badan Pertanahan Nasional dilakukan atas dasar permohonan yang diajukan oleh pihak yang berkepentingan dengan cara melampirkan sertifikat Hak Tanggungan yang telah diberi catatan oleh pihak kreditor bahwa hutang yang telah dijamin dengan Hak Tanggungan tersebut telah lunas. b. Dilepaskannya Hak Tanggungan oleh pemegang Hak Tanggungan Hapusnya Hak Tanggungan tersebut karena dilepaskan oleh pemegang Hak Tanggungan. Pelepasan tersebut dilakukan dengan cara pembuatan pernyataan tertulis oleh pemegang Hak Tanggungan mengenai pelepasan Hak Tanggungan, lalu pernyataan tertulis tersebut diserahkan kepada pemberi Hak Tanggungan. c. Pembersihan Hak Tanggungan berdasarkan penetapan peringkat oleh Ketua Pengadilan Negeri Hak Tanggungan hapus yang disebabkan oleh pembersihan Hak Tanggungan berdasarkan penetapan peringkat oleh Ketua Pengadilan Negeri ini dilakukan atas dasar pengajuan permohonan oleh pembeli hak atas tanah yang dibebani Hak 84 Tanggungan. Hal ini bertujuan agar tanah yang akan dibelinya tersebut telah terbebas dari pembebanan Hak Tanggungan. d. Hapusnya hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan Hapusnya hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan tidak menyebabkan utang yang terjadi karena perjanjian pinjam meminjam menjadi terhapus juga. Konsekuensi yang terjadi karena hapusnya hak atas tanah adalah terjadi perubahan kedudukan kreditor, yaitu kedudukan kreditor pemegang Hak Tanggungan berubah dari kreditor preferen menjadi kreditor konkuren. Hapusnya hak atas tanah dapat terjadi karena kemungkinan-kemungkinan sebagai berikut: 1) Jangka waktunya berakhir, kecuali hak atas tanah yang dijadikan obyek Hak Tanggungan diperpanjang sebelum berakhir jangka waktunya. Hak Tanggungan mana tetap melekat pada hak atas tanah yang bersangkutan; 2) Dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir; 3) Karena suatu syarat batal dipenuhi; 4) Tanahnya musnah; 5) Dilepaskannya dengan sukarela oleh yang mempunyai hak atas tanah. 2.3 Tinjauan Umum Pengawasan Perbankan dan LPD 2.3.1 Kewenangan Bank Indonesia Dalam Pengawasan Perbankan Mengenai masalah pembinaan dan pengawasan bank ditentukan dalam Pasal 29 Undang-Undang Perbankan. Pasal 29 Undang-Undang Perbankan, menyebutkan bahwa: (1) Pembinaan dan pengawasan bank dilakukan oleh Bank Indonesia; (2) Bank wajib memelihara tingkat kesehatan bank sesuai dengan ketentuan kecukupan modal, kualitas aset, kualitas manajemen, likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, dan aspek lain yang berhubungan dengan usaha 85 bank dan wajib melakukan kegiatan usaha sesuai dengan prinsip kehatihatian; (3) Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip syariah dan melakukan kegiatan usaha lainnya, bank wajib menempuh cara-cara yang tidak merugikan bank dan kepentingan nasabah yang mempercayakan dananya kepada bank; (4) Untuk kepentingan nasabah, bank wajib menyediakan informasi mengenai kemungkinan timbulnya resiko kerugian sehubungan dengan transaksi nasabah yang dilakukan melalui bank; (5) Ketentuan yang wajib dipenuhi oleh bank sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) ditetapkan oleh Bank Indonesia. Sejalan dengan itu, Bank Indonesia diberi kewenangan, tanggung jawab, dan kewajiban secara utuh untuk melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap bank dengan menempuh upaya-upaya, baik yang bersifat preventif maupun represif. Dalam rangka menjamin terlaksananya proses pengambilan keputusan dalam pengelolaan bank yang sesuai dengan prinsip kehati-hatian, maka bank wajib memiliki serta menerapkan sistem pengawasan intern104. Tugas Bank Indonesia dalam mengatur dan mengawasi bank, diatur dalam Pasal 24 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843), sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UndangUndang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (selanjutnya disebut Undang-Undang Bank Indonesia). Pasal 24 Undang-Undang Bank Indonesia, menentukan bahwa: Dalam rangka melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf c, Bank Indonesia menetapkan peraturan, memberikan dan mencabut izin atas kelembagaan dan kegiatan usaha tertentu dari Bank, melaksanakan 104 Hermansyah, 2005, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hal. 180. 86 pengawasan Bank, dan mengenakan sanksi terhadap Bank sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Dalam hal pengaturan dan pengawasan yang dilakukan oleh Bank Indonesia tentunya harus mengacu pada Undang-Undang Perbankan. Sejalan dengan tugas Bank Indonesia di bidang pengawasan, maka terdapat 4 (empat) kewenangan terhadap bank yang harus dilakukan, yaitu105: a. Kewenangan memberikan izin (power to license) Kewenangan pemberian izin merupakan tahap awal dalam menetapkan tata cara, perizinan dan persyaratan yang diberikan oleh otoritas pengawas untuk mendirikan sebuah bank. Pemberian izin ini bertujuan untuk mencegah terjadinya pendirian bank yang tidak dipersiapkan dengan baik, digunakan untuk kepentingan pribadi tanpa mengindahkan kepentingan umum, serta pendirian bank yang tidak didukung dengan jumlah modal yang cukup. Pendirian sebuah bank tentunya mengacu kepada pedoman yang akan dijadikan sebagai acuan. Adapun 3 (tiga) hal yang menjadi dasar pendirian bank, yaitu akhlak dan moral calon pemilik dan pengurus bank, kemampuan menyediakan dana dalam jumlah tertentu untuk modal bank, serta kesungguhan dan kemampuan dari para calon pemilik dan pengurus bank dalam melakukan kegiatan usaha bank. b. Kewenangan untuk mengatur (power to regulate) Penciptaan suasana perbankan yang sehat dan pemenuhan jasa perbankan sesuai dengan kebutuhan masyarakat, 105 Ibid, hal. 175-177. maka Bank Indonesia memiliki 87 kewenangan untuk menetapkan suatu kebijakan yang menyangkut aspek kegiatan usaha perbankan. Kebijakan yang ditetapkan Bank Indonesia dapat berupa, jenis usaha yang dapat dilakukan, risiko, exposure yang diambil oleh bank, serta pengaturan likuiditas dan solvabilitas bank. c. Kewenangan untuk mengendalikan/mengawasi (power to control) Kewenangan untuk mengendalikan atau mengawasi ini merupakan kewenangan yang paling mendasar yang diperlukan oleh otoritas pengawas bank. Pengawasan terhadap bank harus dilakukan, yaitu pengawasan langsung dan pengawasan tidak langsung. Pengawasan bank secara tidak langsung merupakan pengawasan alat pantau, seperti laporan berkala yang disampaikan kepada bank, laporan hasil pemeriksaan, keterangan, penjelasan sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia, serta informasi lainnya. Artinya, Bank Indonesia tidak melakukan pengawasan langsung ke bank. Hal ini diatur dalam Pasal 28 Undang-Undang Bank Indonesia, yang menyatakan bahwa: (1) Bank Indonesia mewajibkan Bank untuk menyampaikan laporan, keterangan, dan penjelasan sesuai dengan tata cara yang ditetapkan oleh Bank Indonesia; (2) Apabila diperlukan, kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan pula terhadap perusahaan induk, perusahaan anak, pihak terkait, dan pihak terafiliasi dari Bank. Bank Indonesia dapat melakukan pengawasan secara tidak langsung terhadap perusahaan yang masih satu kelompok dengan bank karena menerima fasilitas tertentu, yaitu perusahaan induk, perusahaan anak, pihak terkait dan pihak terafiliasi dari bank bersangkutan. Pengawasan tersebut dilakukan oleh Bank Indonesia dengan pertimbangan bahwa Bank Indonesia merasa tidak cukup hanya 88 menilai dari data-data yang disampaikan oleh bank sehingga perlu mewajibkan pihak ketiga tersebut menyampaikan laporan ke Bank Indonesia. Selain berwenang untuk melakukan pengawasan secara tidak langsung, Bank Indonesia juga berwenang untuk melakukan pengawasan secara langsung. Pengawasan ini dilakukan dengan cara mendatangi bank baik secara berkala maupun setiap waktu bila diperlukan untuk itu. Adapun tujuan dilakukannya pengawasan secara langsung oleh Bank Indonesia adalah untuk mengetahui kepatuhan bank terhadap peraturan yang berlaku serta mengetahui kebenaran akan informasi kegiatan usaha bank yang disampaikan kepada Bank Indonesia. Jika diperlukan, Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan terhadap satu perusahaan yang masih satu kelompok dengan bank karena mendapat fasilitas tertentu, yaitu terhadap perusahaan induk, perusahaan anak, pihak terafiliasi, dan debitur bank. Pemeriksaan secara selektif dilakukan oleh Bank Indonesia terhadap group bank dan debitor dengan tujuan untuk memperoleh data yang mendukung terhadap pemeriksaan bank yang bersangkutan. Untuk memperlancar proses pengawasan, maka pihak bank dan pihak lainnya yang diwajibkan untuk memberikan keterangan, mengenai: 1. Keterangan dan data yang diminta; 2. Kesempatan untuk melihat semua pembukuan, dokumen sarana fisik yang berkaitan dengan kegiatan usahanya; 3. Hal-hal lain yang diperlukan. 89 Dalam menjalankan kewenangannya, Bank Indonesia dapat menugaskan pihak ketiga untuk melakukan pengawasan terhadap bank. Pihak ketiga tersebut harus memiliki kemampuan untuk melaksanakan pemeriksaan, misalnya akuntan publik. Pemeriksaan bank dapat dilakukan oleh pihak ketiga sendiri maupun bersama-sama dengan Bank Indonesia. Bagi pihak ketiga yang ditugaskan melakukan pemeriksaan terhadap bank diwajibkan untuk merahasiakan keterangan dan data yang diperoleh dalam pemeriksaan. d. Kewenangan untuk mengenakan sanksi (power to impose sanction) Kewenangan dalam penjatuhan sanksi terhadap bank bertujuan untuk melakukan perbaikan atas kesalahan ataupun penyimpangan yang dilakukan oleh bank. Pengenaan sanksi merupakan perwujudan dari suatu pembinaan agar bank tidak melakukan penyimpangan-penyimpangan selanjutnya yang dapat mempengaruhi kesehatan bank itu sendiri. 2.3.2 Peralihan Fungsi Pengawasan Perbankan Dari Bank Indonesia Kepada Otoritas Jasa Keuangan Pembentukan lembaga khusus untuk pengawasan bank ditegaskan dalam Pasal 34 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Bank Indonesia. Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Bank Indonesia, menegaskan bahwa: “Tugas mengawasi Bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen, dan dibentuk dengan Undang-Undang”. Selanjutnya, Pasal 34 ayat (2) UndangUndang Bank Indonesia, menyatakan bahwa: “Pembentukan lembaga pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), akan dilaksanakan selambat-lambatnya 31 Desember 2002”. 90 Menindaklanjuti ketentuan dalam Pasal 34 Undang-Undang Bank Indonesia, maka pemerintah menyetujui dan mengesahkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253), selanjutnya disebut Undang-Undang OJK. Pasal 1 angka (1) Undang-Undang OJK, menyatakan bahwa: “Otoritas Jasa Keuangan, yang selanjutnya disingkat OJK, adalah lembaga yang independent dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini”. Pasal 34 Undang-Undang Bank Indonesia mengamanatkan bahwa pembentukan OJK selambat-lambatnya pada tanggal 31 Desember 2002. Namun sampai terlampauinya jangka waktu tersebut, maka dipertegas kembali bahwa OJK akan dibentuk selambat-lambatnya pada tanggal 31 Desember 2010106. Kemunduran akan batas waktu dalam pembentukan OJK, didasari dengan pertimbangan terhadap kesiapan sumber daya manusia dan infrastruktur lembaga pengawas tersebut dalam menerima pengalihan pengawasan bank dari Bank Indonesia107. Untuk mengimplementasikan Pasal 34 Undang-Undang Bank Indonesia tersebut di atas, maka pada tanggal 31 Desember 2013 akan dilakukan peralihan fungsi pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor perbankan dari Bank Indonesia kepada OJK108. 106 Ibid. Ibid, hal. 185. 108 Ibid, hal. 237. 107 91 2.3.3 Kewenangan Otoritas Jasa Keuangan Dalam Pengawasan Perbankan Tujuan dibentuknya OJK dapat dijumpai dalam ketentuan Pasal 4 UndangUndang OJK. Selengkapnya ketentuan dalam Pasal 4 Undang-Undang OJK ditentukan bahwa: OJK dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan: a. terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel; b. mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil; c. Mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat. Fungsi OJK ditentukan dalam Pasal 5 Undang-Undang OJK. Pasal ini selengkapnya menentukan bahwa: “OJK berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan”. Lebih lanjut mengenai tugas pengaturan dan pengawasan juga ditemukan dalam Pasal 6 Undang-Undang OJK. Pasal 6 Undang-Undang OJK, menyebutkan bahwa: OJK melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap: a. kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan; b. kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal; dan c. kegiatan jasa keuangan di sektor Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan lainnya. Pengawasan kewenangan terhadap sektor jasa keuangan, khususnya sektor perbankan akan dilimpahkan secara resmi kepada OJK semenjak Undang Undang OJK diterbitkan.Untuk melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan, maka Pasal 7 Undang-Undang OJK memberikan wewenang kepada OJK untuk: a. pengaturan dan pengawasan mengenai kelembagaan bank yang meliputi: 92 1) perizinan untuk pendirian bank, pembukaan kantor bank, anggaran dasar, rencana kerja, kepemilikan, kepengurusan dan sumber daya manusia, merger, konsolidasi, dan akuisisi bank, serta pencabutan izin usaha bank; dan 2) kegiatan usaha bank, antara lain sumber dana; penyediaan dana, produk hibridasi, dan aktivis di bidang jasa. b. pengaturan dan pengawasan mengenai kesehatan bank yang meliputi: 1) likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, kualitas aset, rasio kecukupan, modal minimum, batas maksimum pemberian kredit, rasio pinjaman terhadap simpanan, dan pencadangan bank; 2) laporan bank yang terkait dengan kesehatan dan kinerja bank; 3) sistem informasi debitur; 4) pengujian kredit (credit testing); 5) standar akuntansi bank. c. pengaturan dan pengawasan mengenai aspek kehati-hatian bank, meliputi: 1) manajemen resiko; 2) tata kelola bank; 3) prinsip mengenal nasabah dan anti pencucian uang; 4) pencegahan pembiayaan terorisme dan kejahatan perbankan;dan 5) pemeriksaan bank. Untuk pencapaian terhadap tujuan awal dibentuknya OJK, maka OJK perlu memiliki kewenangan dalam melakukan tugas pengaturan dan pengawasan perbankan guna membantu untuk mengimplementasikan ketentuan-ketentuan yang tercantum di dalam Undang-Undang OJK. Tujuan dari dibentuknya kewenangan OJK dalam Undang-Undang OJK adalah untuk mewujudkan sistem perbankan yang stabil, berkelanjutan, serta agar dapat berjalan dengan tertib, teratur, adil, transparan dan akuntabel109. 2.3.4 Pengawasan LPD Dalam rangka menciptakan tertib administrasi dalam pengelolaan LPD di Kota Denpasar, maka peran serta badan pengawas sangat diperlukan untuk meningkatkan kinerja dan profesionalisme LPD. Pengawasan terhadap LPD diatur 109 Ibid, hal. 228. 93 dalam Pasal 12 dan Pasal 18 Perda LPD No. 8/2002. Pasal 12 Perda LPD No. 8/2002 mengenai badan pengawas internal LPD menentukan bahwa: (1) Pengawas terdiri dari Ketua dan sekurang-kurangnya 2 (dua) orang anggota; (2) Ketua dijabat oleh Bendesa karena jabatannya; (3) Ketua Pengawas dari LPD yang dibentuk berdasarkan Pasal 4, dijabat secara bergilir diantara Bendesa berdasarkan kesepakatan; (4) Anggota Pengawas dipilih oleh Krama Desa; (5) Ketua dan Anggota Pengawas tidak dapat merangkap sebagai Pengurus. Tugas dari badan pengawas tidak diatur di dalam Perda LPD, akan tetapi diatur dalam suatu peraturan khusus, yaitu Peraturan Gubernur Bali Nomor 16 Tahun 2008 tentang Pengurus dan Pengawas Internal Lembaga Perkreditan Desa (selanjutnya disebut Peraturan Gubernur No. 16/2008). Pasal 11 Peraturan Gubernur No. 16/2008, menentukan bahwa: Pengawas mempunyai tugas: a. Mengawasi pengelolaan LPD; b. Memberikan petunjuk kepada pengurus; c. Memberikan saran, pertimbangan dan ikut menyelesaikan permasalahan; d. Mensosialisasikan keberadaan LPD; e. Mengevaluasikan kinerja pengurus secara berkala; dan f. Menyusun dan menyampaikan laporan hasil pengawasan kepada paruman desa. Selain badan pengawas internal, LPD juga perlu mendapat pengawasan secara eksternal. Pasal 18 Perda LPD menentukan bahwa: “Pengawasan eksternal LPD dilakukan oleh gubernur”. Namun dalam penjelasan Pasal 18 Perda LPD No. 8/2002, disebutkan bahwa: “Gubernur melimpahkan tugas pengawasan kepada Bank Pembangunan Daerah (BPD)”. Namun, Perda LPD No. 4/2012 mengubah total ketentuan Pasal 18. Ketentuan Pasal 18 Perda LPD No. 4/2012, menjadi: (1) Gubernur bersama MUDP melakukan pembinaan. 94 (2) Gubernur menugaskan pembinaan umum kepada Badan Pembina Umum Provinsi dan Badan Pembina Umum Kabupaten/Kota. (3) Gubernur dengan pertimbangan MUDP menugaskan LPLPD melaksanakan pendampingan teknis dalam pemberdayaan LPD. (4) Atas permintaan Krama Desa melalui paruman, sekali dalam 1 (satu) tahun harus dilakukan audit. Berdasarkan ketentuan Pasal 18 Perda LPD No.4/2012, memberikan pemahaman bahwa pengawasan eksternal oleh BPD tidak berlaku lagi. Namun, pada kenyataannya BPD tetap melakukan pengawasan eksternal terhadap LPD berdasarkan surat keputusan yang dikeluarkan oleh Walikota Denpasar. 95 BAB III KEDUDUKAN LPD SELAKU KREDITOR DALAM PENYELESAIAN PERJANJIAN KREDIT MACET DENGAN JAMINAN SERTIFIKAT HAK MILIK HAK ATAS TANAH YANG TIDAK DIIKAT DENGAN APHT 3.1 Gambaran Umum LPD di Kota Denpasar LPD sebagai salah satu lembaga keuangan telah menunjukkan perkembangan yang pesat. Sejak 20 (dua puluh) tahun berdirinya LPD semakin berkembang baik dari sisi jumlah maupun tingkat perkembangan usahanya. Kini LPD memegang peranan yang sangat penting, yaitu bagi masyarakat desa terbuka kesempatan kerja, berperan akif dalam program pengentasan kemiskinan, serta dapat membantu pembangunan perekonomian110. Kota Denpasar memiliki 35 (tiga puluh lima) Desa Pakraman dan secara keseluruhan telah terdapat 35 (tiga puluh lima) LPD yang berarti seluruh Desa Pakraman di Kota Denpasar memiliki LPD. Perkembangan LPD di Kota Denpasar 5 (lima) tahun terakhir menunjukkan trend positif baik dari sisi asset, kredit yang disalurkan maupun laba yang diperoleh. Hasil usaha LPD tersebut telah dikontribusikan sesuai dengan fungsi LPD untuk membangun Desa Pakraman, yaitu melalui kontribusi bagian laba LPD sebesar 20% (dua puluh persen) untuk pembangunan Desa Pakraman sedangkan 60% (enam puluh persen) untuk modal LPD, 5% (lima persen) untuk dana sosial, 5% untuk dana pembinaan, pengawasan dan perlindungan, serta 10%untuk jasa produksi111. 110 http://www.bankdata.denpasarkota.go.id/bankdata/Data%20perkembangan %20LPD%20di%20Kota%20Denpasar.pdf, diakses tanggal 23 Juli 2013. 111 Ibid. 96 Keadaan LPD se-Kota Denpasar per Nopember 2012 terdapat 31 (tiga puluh satu) LPD dalam kategori sehat dan 4 (empat) LPD yang cukup sehat. Total asset sebesar Rp. 588.831.180.000,00 (lima ratus delapan puluh delapan miliar delapan ratus tiga puluh satu juta seratus delapan puluh ribu rupiah)112. Klasifikasi pinjaman 90% lancar, dana pihak ketiga yang terhimpun berupa tabungan sebesar Rp. 362.816.805.000,00 (tiga ratus enam puluh dua miliar delapan ratus enam belas juta delapan ratus lima ribu rupiah). Deposito sebesar Rp. 309.265.260.000,00 (tiga ratus sembilan miliar dua ratus enam puluh lima juta dua ratus enam puluh ribu rupiah) dengan laba yang diperoleh sebesar Rp. 34.951.481.000,00 (tiga puluh empat miliar sembilan ratus lima puluh satu juta empat ratus delapan puluh satu ribu rupiah)113. Seluruh desa pakraman di Kota Denpasar memiliki LPD. Adapun nama-nama ke 35 (tigapuluh lima) LPD di Kota Denpasar sebagai berikut114: 1. LPD Desa Pakraman Tonja; 2. LPD Desa Pakraman Oongan; 3. LPD Desa Pakraman Ubung; 4. LPD Desa Pakraman Pohgading; 5. LPD Desa Pakraman Peguyangan; 6. LPD Desa Pakraman Peraupan; 7. LPD Desa Pakraman Peninjoan; 112 Pemerintah Kota Denpasar, 2012, Laporan Monitoring dan Evaluasi LPD Se-Kota Denpasar, Bagian Perekonomian Sekretariat Daerah, Kota Denpasar, (selanjutnya disebut Pemerintah Kota Denpasar II), hal. 2. 113 Ibid, hal.2. 114 Ibid. 97 8. LPD Desa Pakraman Kedua; 9. LPD Desa Pakraman Jenah; 10. LPD Desa Pakraman Cengkilung. 11. LPD Desa Pakraman Sumerta; 12. LPD Desa Pakraman Kesiman; 13. LPD Desa Pakraman Yangbatu; 14. LPD Desa Pakraman Pagan; 15. LPD Desa Pakraman Tanjung Bungkak; 16. LPD Desa Pakraman Tembawu; 17. LPD Desa Pakraman Penatih Puri; 18. LPD Desa Pakraman Penatih; 19. LPD Desa Pakraman Laplap; 20. LPD Desa Pakraman Anggabaya; 21. LPD Desa Pakraman Bekul; 22. LPD Desa Pakraman Pohmanis; 23. LPD Desa Pakraman Kepaon; 24. LPD Desa Pakraman Pemogan; 25. LPD Desa Pakraman Pedungan; 26. LPD Desa Pakraman Sesetan; 27. LPD Desa Pakraman Panjer; 28. LPD Desa Pakraman Sidakarya; 29. LPD Desa Pakraman Intaran; 30. LPD Desa Pakraman Sanur; 98 31. LPD Desa Pakraman Renon; 32. LPD Desa Pakraman Serangan; 33. LPD Desa Pakraman Penyaringan; 34. LPD Desa Pakraman Denpasar; 35. LPD Desa Pakraman Penyaringan. Setelah dilakukan snowball sampling terhadap populasi yaitu 35 (tiga puluh lima) LPD Di Kota Denpasar, maka LPD yang dijadikan sampel dalam penelitian ini berjumah 19 (sembilan belas). Adapun LPD – LPD tersebut, antara lain: 1. LPD Desa Pakraman Oongan LPD Desa Pakraman Oongan didirikan pada tahun 1991 berdasarkan Surat Keputusan Bupati Daerah Tingkat II Badung Nomor 412/5591 Ek tanggal 21 Maret 1991 dan Surat Keputusan Gubernur Bali Nomor 199/1991, terletak di Jalan Noja dekat Dam Oongan Denpasar dan dipimpin oleh Wayan Durjana sebagai kepala LPD. Sampai bulan Mei 2013, LPD Desa Pakraman Oongan memiliki total asset sebesar Rp. 3.860.811.000,00 (tiga miliar delapan ratus enam puluh juta delapan ratus sebelas ribu rupiah). Jumlah dana yang dihimpun dari masyarakat berupa tabungan sukarela dan simpanan berjangka dengan jumlah Rp. 2.710.994.217,00 (dua miliar tujuh ratus sepuluh juta sembilan ratus sembilan puluh empat ribu dua ratus tujuh belas rupiah). Jumlah kredit yang telah diberikan kepada masyarakat adalah sebesar Rp. 3.245.038.033,00 (tiga miliar dua ratus empat puluh lima juta tiga puluh delapan ribu tiga puluh tiga rupiah). (wawancara pada tanggal 19 Juni 2013). 2. LPD Desa Pakraman Peraupan 99 LPD Desa Pakraman Peraupan didirikan pada tanggal 9 Februari 1996 dengan Surat Keputusan Gubernur Bali Nomor 619 Tahun 1996, terletak di Desa Peraupan Kecamatan Denpasar Utara dan dipimpin oleh Ni Wayan Wardani sebagai Kepala LPD. Sampai bulan Juni 2013, LPD Desa Pakraman Peraupan memilik total asset Rp. 7.625.194.937,00 (tujuh miliar enam ratus dua puluh lima juta seratus sembilan puluh empat ribu sembilan ratus tiga puluh tujuh rupiah). Jumlah dana yang dihimpun dari masyarakat adalah 5.958.448.174,00 (lima miliar sembilan ratus lima puluh delapan juta empat ratus empat puluh delapan ribu seratus tujuh puluh empat rupiah). Jumlah kredit yang telah diberikan kepada masyarakat adalah sebesar Rp. 6.023.512.500,00 (enam miliar dua puluh tiga juta lima ratus dua belas ribu lima ratus rupiah). (wawancara pada tanggal 7 Juli 2013). 3. LPD Desa Pakraman Peninjoan LPD Desa Pakraman Peninjoan didirikan pada tanggal 3 September 1991 berdasarkan Keputusan Gubernur Bali Nomor 588 Tahun 1991, terletak di Jalan Padma Nomor 25, Desa Peguyangan Kangin, sebelah selatan Pasar Agung Desa Pakraman Peninjoan, Kecamatan Denpasar Utara dan dipimpin oleh I Ketut Warta sebagai Kepala LPD. Sampai bulan Juni Tahun 2013, LPD Desa Pakraman Oongan memili total asset sebesar Rp. 13.258.133.489 (tiga belas miliar dua ratus lima puluh delapan juta seratus tiga puluh tiga ribu empat ratus delapan puluh sembilan rupiah). Jumlah dana yang dihimpun dari masyarakat adalah 11.840.274.078,00 (sebelas miliar delapan ratus empat puluh juta dua ratus tujuh puluh empat ribu 100 tujuh puluh delapan rupiah). Jumlah kredit yang sudah diberikan kepada masyarakat adalah Rp. 7.951.702.400,00 (tujuh miliar sembilan ratus lima puluh satu juta tujuh ratus dua ribu empat ratus rupiah). (wawancara pada tanggal 6 Juli 2013). 4. LPD Desa Pakraman Kedua LPD Desa Pakraman Kedua didirikan pada tanggal 12 Nopember 2002 berdasarkan keputusan Gubernur Bali Nomor 474/01-C/HK/2002, terletak di Banjar Kedua, Kecamatan Denpasar Utara, dan dipimpin oleh Sagung Anom Widhi Astuti, A,Md sebagai Kepala LPD. Sampai bulan Mei 2013, LPD Desa Pakraman Kedua memiliki total asset sebesar Rp. 1.365.411.992,00 (satu miliar tiga ratus enam puluh lima juta empat ratus sebelas ribu sembilan ratus sembilan puluh dua rupiah). Jumlah dana yang dihimpun dari masyarakat adalah sebesar Rp. 1.124.876.547,00 (satu miliar seratus dua puluh empat juta delapan ratus tujuh puluh enam ribu lima ratus empat puluh tujuh rupiah). Jumlah kredit yang diberikan kepada masyarakat sebesar Rp. 839.767.136, 00 (delapan ratus tiga puluh sembilan juta tujuh ratus enam puluh tujuh ribu seratus tiga puluh enam rupiah). (wawancara pada tanggal 17 Juni 2013). 5. LPD Desa Pakraman Jenah LPD Desa Pakraman Jenah didirikan pada tanggal 28 Agustus 2006 berdasarkan Surat Keputusan Walikota Nomor 96 Tahun 2006 dan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Bali Nomor 6/01-C/HK/2006 101 tanggal 9 Januari 2006 tentang Pendirian LPD di Propinsi Daerah Tingkat I Bali, terletak di Banjar Jenah, Peguyangan Kangin, Denpasar Utara, dan dipimpin oleh I Wayan Oka Widastra sebagai Kepala LPD. Sampai bulan Mei 2013, LPD Desa Pakraman Jenah memiliki total asset sebesar Rp. 1.880.617.394,00 (satu miliar delapan ratus delapan puluh juta enam ratus tujuh belas ribu tiga ratus sembilan puluh empat rupiah). Jumlah dana yang dihimpun dari masyarakat adalah sebesar Rp. 1.205.074.270,00 (satu miliar dua ratus lima juta tujuh puluh empat ribu dua ratus tujuh puluh rupiah). Kredit yang sudah diberikan kepada masyarakat adalah Rp. 1.013.201.460,00 (satu miliar tiga belas juta dua ratus satu ribu empat ratus enam puluh rupiah). (wawancara pada tanggal 6 Juli 2013). 6. LPD Desa Pakraman Cengkilung LPD Desa Pakraman Cengkilung didirikan pada tanggal 01 April 2007 berdasarkan Keputusan Gubernur Bali tanggal 9 Februari Tahun 2007 Nomor 103/01-C/HK/2007, terletak di Jalan Warmadewa II Banjar Cengkilung, Peguyangan Kangin, dan dipimpin oleh I Gusti Ngurah Bagus sebagai Kepala LPD. Sampai bulan Mei 2013, LPD Desa Pakraman Jenah memiliki total asset sebesar Rp. 850.896.263,00 (delapan ratus lima puluh juta delapan ratus sembilan puluh enam ribu dua ratus enam puluh tiga rupiah). Jumlah dana yang dihimpun dari masyarakat adalah sebesar Rp. 622.747.150,00 (enam ratus dua puluh dua ribu tujuh ratus empat puluh tujuh ribu seratus lima puluh rupiah). Jumlah kredit yang sudah diberikan kepada masyarakat adalah sebesar Rp. 747.367.550,00 (tujuh ratus empat puluh tujuh juta 102 tiga ratus enam puluh tujuh ribu lima ratus lima puluh rupiah). (wawancara pada tanggal 1 Juli 2013). 7. LPD Desa Pakraman Sumerta LPD Desa Pakraman Sumerta didirikan pada tanggal 04 Oktober 1986 berdasarkan Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Bali Nomor 282 Tahun 1986, terletak di Jalan Nusa Indah Nomor 62 Denpasar, dan dipimpin oleh I Made Darsana, SH sebagai Kepala LPD. Sampai bulan Juli 2013, LPD Desa Pakraman Sumerta memiliki total asset sebesar Rp. 15. 280. 681. 430,00 (lima belas miliar dua ratus delapan puluh juta enam ratus delapan puluh satu ribu empat ratus tiga puluh rupiah). Jumlah dana yang sudah dihimpun dari masyarakat adalah sebesar Rp. 11.535.441.320,00 (sebelas miliar lima ratus tiga puluh lima juta empat ratus empat puluh satu ribu tiga ratus dua puluh rupiah). Jumlah kredit yang diberikan kepada masyrakat adalah sebesar Rp. 10. 641. 665. 150,00 (sepuluh miliar enam ratus empat puluh satu juta enam ratus enam puluh lima ribu seratus lima puluh rupiah). (wawancara pada tanggal 01 Agustus 2013). 8. LPD Desa Pakraman Kesiman LPD Desa Pakraman Kesiman didirikan pada tanggal 4 Mei 1991 berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Bali Nomor 58 tanggal 5 Februari 1991, terletak di Jalan Waribang, dan dipimpin oleh Drs. I Wayan Rayun, MBA. Sampai bulan Juni 2013, LPD Desa Pakraman Kesiman memiliki total asset sebesar Rp. 90.000.000.000,00 (sembilan puluh miliar rupiah). 103 Jumlah dana yang dihimpun dari masyarakat sebesar Rp. 82.149.500.000,00 (delapan puluh dua miliar seratus empat puluh sembilan juta lima ratus ribu rupiah). Jumlah kredit yang sudah diberikan kepada masyarakat adalah sebesar Rp. 76.997.000.000,00 (tujuh puluh enam miliar sembilan ratus sembilan puluh tujuh juta rupiah). (wawancara pada tanggal 16 Juli 2013). 9. LPD Desa Pakraman Yangbatu LPD Desa Pakraman Yangbatu didirikan pada tanggal 01 Maret 1996 berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Bali Nomor 619 tanggal 13 Nopember 1995 dan didukung dengan Surat Pengukuhan Walikota Nomor 86 tanggal 23 Februari 1996, menempati kantor bersama Kepala Desa Dangin Puri Kelod Denpasar yang berlamat di Jalan Letda Kajeng Nomor 35 Denpasar, dan dipimpin oleh I Putu Sumadi sebagai Kepala LPD. Sampai bukan Juli 2013, LPD Desa Pakraman Yangbatu memiliki total asset sebesar Rp. 10.039.776.987,00 (sepuluh miliar tiga puluh sembilan juta tujuh ratus tujuh puluh enam ribu sembilan ratus delapan puluh tujuh rupiah). Jumlah dana yang sudah dihimpun dari masyarakat adalah sebesar Rp. 7.289.086.413,00 (tujuh miliar dua ratus delapan puluh sembilan juta delapan puluh enam ribu empat ratus tiga belas rupiah). Jumlah kredit yang diberikan kepada masyarakat adalah Rp. 4. 689.532.100,00 (empat miliar enam ratus delapan puluh sembilan juta lima ratus tiga puluh dua ribu seratus rupiah). (wawancara pada tanggal 01 Agustus 2013). 10. LPD Desa Pakraman Tembawu 104 LPD Desa Pakraman Tembawu didirikan pada tanggal 23 September 1987 berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Bali Nomor 350 Tahun 1987, terletak di Pasar Tamba, Jalan Trengguli, Tembawu, Kelurahan Penatih, Kecamatan Denpasar Timur, dan dipimpin oleh I Made Medal sebagai Kepala LPD. Sampai bulan Juli 2013, LPD Desa Pakraman Tembawu memiliki total asset sebesar Rp. 16. 516. 298. 753,00 (enam belas miliar lima ratus enam belas juta dua ratus sembilan puluh delapan ribu tujuh ratus lima puluh tiga rupiah). Jumlah dana yang dihimpun dari masyarakat adalah sebesar Rp. 11. 291. 539. 931, 00 (sebelas miliar dua ratus sembilan puluh satu juta lima ratus tiga puluh sembilan ribu sembilan ratus tiga puluh satu rupiah). Jumlah kredit yang diberikan kepada masyarakat adalah sebesar Rp. 11. 138. 532. 950, 00 (sebelas miliar seratus tiga puluh delapan juta lima ratus tiga puluh dua ribu sembilan ratus lima puluh rupiah). (wawancara pada tanggal 01 Agustus 2013). 11. LPD Desa Pakraman Penatih Puri LPD Desa Pakraman Penatih Puri didirikan pada tanggal 06 Juni 1996 berdasarkan Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Bali Nomor 619 Tahun 1995, terletak di Banjar Saba, dan dipimpin oleh I Gusti Putu Sukanta sebagai Kepala LPD. Sampai bulan Mei 2013, LPD Desa Pakraman Penatih Puri memiliki total asset sebesar Rp. 2.231.994.026,00 (dua miliar dua ratus tiga puluh satu juta sembilan ratus sembilan puluh empat ribu dua puluh enam rupiah). Jumlah dana yang dihimpun dari masyarakat sebesar Rp. 1.228.723.388,00 (satu miliar dua ratus dua puluh delapan juta tujuh ratus dua puluh tiga ribu tiga 105 ratus delapan puluh delapan rupiah). Jumlah kredit yang diberikan kepada masyarakat adalah sejumlah Rp. 1.558.674.125,00 (satu miliar lima ratus lima puluh delapan juta enam ratus tujuh puluh empat ribu seratus dua puluh lima rupiah). (wawancara pada tanggal 09 Juli 2013). 12. LPD Desa Pakraman Penatih LPD Desa Pakraman Penatih didirikan pada tanggal 21 September 1991 berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Nomor 588 Tahun 1991, terletak di perbatasan antara Jalan Trengguli dan Jalan Trenggana, Penatih, Denpasar Timur, dan dipimpin oleh I Wayan Brata sebagai Kepala LPD. Sampai Mei 2013, LPD Desa Pakraman Penatih memiliki total asset sebesar Rp. 14.000.000.000,00 (empat belas miliar rupiah). Jumlah dana yang dihimpun dari masyarakat sejumlah Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). Jumlah kredit yang diberikan kepada masyarakat adalah sebesar Rp. 11.347.880.400,00 (sebelas miliar tiga ratus empat puluh tujuh juta delapan ratus delapan puluh ribu empat ratus rupiah). 13. LPD Desa Pakraman Anggabaya LPD Desa Pakraman Anggabaya didirikan pada tahun 1987 berdasarkan Surat Keputusan Kepala Daerah Tingkat I Bali Nomor 972 Tahun 1984 pada tanggal 1 Nopember 1984, terletak di Jalan Trenggana, Pasar Kerta Waringin, Desa Pakraman Anggabaya, Kelurahan Penatih, Denpasar Timur, dan dipimpin oleh I Made Sutarka sebagai Kepala LPD. Sampai bulan Juni 2013, LPD Desa Pakraman Anggabaya memiliki total asset sebesar Rp. 3.402.216.394,00 (tiga 106 miliar empat ratus dua juta dua ratus enam belas ribu tiga ratus sembilan puluh empat rupiah). Jumlah dana yang dihimpun dari masyarakat adalah sebesar Rp. 2.785.698.899,00 (dua miliar tujuh ratus delapan puluh lima juta enam ratus sembilan puluh delapan ribu delapan ratus sembilan puluh sembilan rupiah). Kredit yang diberikan kepada masyarakat adalah sebesar Rp. 1.792.670.810,00 (satu miliar tujuh ratus sembilan puluh dua juta enam ratus tujuh puluh ribu delapan ratus sepuluh rupiah). (wawancara pada tanggal 19 Juli 2013). 14. LPD Desa Pakraman Bekul LPD Desa Pakraman Bekul didirikan pada tanggal 27 Desember 1987 berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Provinsi Bali Nomor 417 Tahun 1987, terletak di Jalan Siulan Nomor 128 Desa Penatih Dangin Puri, Kecamatan Denpasar Timur, dan dipimpin oleh I Wayan Biyeg sebagai Kepala LPD. Sampai bulan Juni 2013, LPD Desa Pakraman Bekul memiliki total asset sebesar Rp. 20.687.578.651,00 (dua puluh miliar enam ratus delapan puluh tujuh juta lima ratus tujuh puluh delapan ribu enam ratus lima puluh satu rupiah). Jumlah dana yang dihimpun dari masyarakat sebesar Rp. 15. 847.552.192,00 (lima belas miliar delapan ratus empat puluh tujuh juta lima ratus lima puluh dua ribu seratus sembilan puluh dua rupiah). Jumlah kredit yang diberikan kepada masyarakat adalah sebesar Rp. 12.193.212.511,00 (dua belas miliar seratus sembilan puluh tiga juta dua ratus dua belas ribu lima ratus sebelas rupiah). (wawancara pada tanggal 8 Juli 2013). 15. LPD Desa Pakraman Intaran 107 LPD Desa Pakraman Intaran didirikan pada tanggal 20 Januari 1992 berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Nomor 199 Tahun 1991 tertanggal 20 April 1991, terletak di Jalan Intaran Nomor 2A Desa Sanur Kauh, dan dipimpin oleh I Wayan Mudana, SE sebagai Kepala LPD. Sampai bulan Juli 2013, LPD Desa Pakraman Intaran memiliki total asset sebesar Rp. 79.224.086.426,00 (tujuh puluh sembilan miliar dua ratus dua puluh empat juta delapan puluh enam ribu empat ratus dua puluh enam rupiah). Jumlah dana yang sudah dihimpun dari masyarakat adalah sebesar Rp. 72.230.991.963,00 (tujuh puluh dua miliar dua ratus tiga puluh juta sembilan ratus sembilan puluh satu ribu sembilan ratus enam puluh tiga rupiah). Kredit yang diberikan kepada masyarakat adalah sejumlah Rp. 54.110.620.951,00 (lima puluh empat miliar seratus sepuluh juta enam ratus dua puluh ribu sembilan ratus lima puluh satu rupiah). (wawancara pada tanggal 12 Agustus 2013). 16. LPD Desa Pakraman Sanur LPD Desa Pakraman Sanur didirikan pada tanggal 1 September 1991 berdasarkan Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Bali Nomor 588 Tahun 1991, terletak di Kantor Kepala Desa Sanur Kaja, dan dipimpin oleh I Wayan Loka, SE sebagai Kepala LPD. Sampai bulan Juni 2013, LPD Desa Pakraman Sanur memiliki total asset sebesar Rp. 13.887.029.484,00 (tiga belas miliar delapan ratus delapan puluh tujuh juta dua puluh sembilan ribu empat ratus delapan puluh empat rupiah). Jumlah dana yang sudah dihimpun dari masyarakat adalah sebesar Rp. 10.646.609.738,00 (sepuluh miliar enam ratus empat puluh enam juta enam ratus 108 sembilan ribu tujuh ratus tiga puluh delapan rupiah). Kredit yang diberikan kepada masyarakat adalah sejumlah Rp. 11.530.864.400,00 (sebelas miliar lima ratus tiga puluh juta delapan ratus enam puluh empat ribu empat ratus rupiah). (wawancara pada tanggal 30 Juli 2013). 17. LPD Desa Pakraman Renon LPD Desa Pakraman Renon didirikan pada tanggal 25 Februari 1987 berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Daerah Tingkat I Bali Nomor 105 Tahun 1987 tanggal 17 Februari 1987 , terletak di Jalan Tukad Balian Nomor 144 Renon Denpasar, dan dipimpin oleh I Wayan Madia, sebagai Kepala LPD. Sampai bulan Juli 2013, LPD Desa Pakraman Renon memiliki total asset sebesar Rp. 7.374.241.000,00 (tujuh miliar tiga ratus tujuh puluh empat juta dua ratus empat puluh satu ribu rupiah). Jumlah dana yang sudah dihimpun dari masyarakat adalah sebesar Rp. 4. 974.874.000,00 (empat miliar sembilan ratus tujuh puluh empat juta delapan ratus tujuh puluh empat ribu rupiah). Jumlah kredit yang diberikan kepada masyarakat adalah sejumlah Rp. 1.830.595.735,00 (satu miliar delapan ratus tiga puluh juta lima ratus sembilan puluh lima ribu tujuh ratus tiga puluh lima rupiah). (wawancara pada tanggal 12 Agustus 2013). 18. LPD Desa Pakraman Penyaringan LPD Desa Pakraman Penyaringan didirikan pada tanggal 15 Agustus 2007 berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Bali Nomor 103/01-C/HK/2007 tanggal 09 Februari 1987, terletak di Jalan Penyaringan Nomor 17 Sanur Kauh, Denpasar 109 Selatan dan dipimpin oleh I Made Adnyana, SE sebagai Kepala LPD. Sampai bulan Juni 2013, LPD Desa Pakraman Penyaringan memiliki total asset sebesar Rp. 9.707.079.118,00 (sembilan miliar tujuh ratus tujuh juta tujuh puluh sembilan ribu seratus delapan belas rupiah). Jumlah dana yang dihimpun dari masyarakat adalah sebesar Rp. 7.771.652.204,00 (tujuh miliar tujuh ratus tujuh puluh satu juta enam ratus lima puluh dua ribu dua ratus empat rupiah). Jumlah kredit yang sudah diberikan kepada masyarakat adalah sebesar Rp. 9.009.173.060,00 (sembilan miliar sembilan juta seratus tujuh puluh tiga ribu enam puluh rupiah). (wawancara pada tanggal 30 Juli 2013). 19. LPD Desa Pakraman Padang Sambian LPD Desa Pakraman Padang Sambian didirikan pada tanggal 16 Februari 1990 berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Daerah Tingkat I Bali Tahun 1989/1990, terletak di Jalan Gunung Sangiang, Denpasar Barat dan dipimpin oleh Ir. I Made Astra Wijaya sebagai Kepala LPD. Sampai pada bulan Juli 2013, LPD Desa Pakraman Padang Sambian memiliki total asset sejumlah Rp. 87.000.000.000,00 (delapan puluh tujuh miliar). Jumlah dana yang dihimpun dari masyarakat adalah sebesar Rp. 71.000.000.000,00 (tujuh puluh satu miliar). Jumlah kredit yang sudah diberikan kepada masyarakat adalah sebesar Rp. 68.000.000.000,00 (enam puluh delapan miliar). (wawancara pada tanggal 05 Agustus 2013). 110 3.2 Prosedur Pemberian Kredit Dengan Jaminan Sertifikat Hak Milik Atas Tanah di LPD Salah satu lapangan usaha LPD yang tercantum di dalam Perda LPD adalah memberikan pinjaman kepada krama desa dalam bentuk kredit. Krama desa selaku debitor yang datang ke LPD tentunya pihak LPD selaku kreditor tidak dapat dengan langsung memberikan kredit yang diajukan oleh pihak debitor tersebut. Sebuah kredit mengandung resiko sehingga pihak LPD selaku kreditor sebelum memutuskan untuk memberikan kredit memerlukan informasi mengenai data-data calon debitor sebagai penerima kredit. Data-data tersebut penting dipergunakan oleh LPD untuk memberikan penilaian terhadap keadaan serta kemampuan debitor sehingga nantinya akan menumbuhkan kepercayaan bagi LPD dalam memberikan kreditnya. Untuk memperoleh keyakinan, maka LPD sebelum memberikan keputusan kredit, dilakukan penilaian terhadap watak, kemampuan, modal, agunan, dan prospek usaha debitor. Dalam praktek keuangan LPD, kelima faktor yang dinilai tersebut dikenal dengan sebutan the five of credit analysis atau prinsip 5C’s. Adapun kelima unsur yang termasuk dalam formula 5C’s adalah character (karakter debitor), capacity (kemampuan membayar), capital (permodalan), collateral (jaminan), dan condition of economic (kondisi ekonomi)115. Penilaian kredit dengan metode analisis 7P juga dapat diterapkan untuk memberikan penilaian terhadap debitor pada saat mengajukan suatu permohonan 115 Kasmir, loc.cit. 111 kredit. Unsur – unsur penilaian kredit yang termasuk dalam analisis 7P adalah personality (kepribadian debitor), party (klasifikasi debitor), perpose (tujuan pengambilan kredit), prospect (penilaian usaha), payment (kemampuan pembayaran), profitability (kemampuan debitor mencari laba), protection (perlindungan usaha dan jaminan)116: Cara penilaian yang demikian bukan merupakan hal yang baru untuk dilaksanakan oleh LPD. Penilaian berdasarkan prinsip 5C’s dan 7P ini diterapkan sejalan dengan prosedur pemberian kredit oleh LPD. Untuk dapat memperoleh kredit di LPD dengan jaminan sertifikat hak milik atas tanah tentunya terdapat beberapa tahap sampai kredit itu disetujui oleh pihak LPD untuk diberikan kepada debitor. Pada tahap – tahap yang harus dilalui, pihak LPD akan memberikan penilaian apakah permohonan kredit akan diterima oleh LPD atau tidak. Adapun tahap yang harus dilalui oleh pihak debitor maupun pihak LPD sebagai kreditor, antara lain: 1. Tahap pengajuan permohonan kredit Pada tahap pengajuan permohonan kredit, debitor wajib datang ke LPD untuk mengutarakan keinginannya memerlukan kredit. Adapun persyaratan yang harus dibawa oleh calon debitor untuk pengajuan permohonan kredit adalah: a. Fotocopy Kartu Tanda Penduduk (KTP) Suami Istri; b. Fotocopy Kartu Keluarga (KK); c. Asli dan fotocopy sertifikat hak milik atas tanah yang akan dijadikan sebagai jaminan. Nama yang mengajukan permohonan kredit haruslah 116 Kasmir, op.cit, hal. 110-111. 112 sama dengan nama yang tertera di dalam sertifikat hak milik atas tanah; Apabila nama yang tercantum dalam sertifikat adalah nama orang lain (bukan pemohon kredit) atau banyak nama, maka pihak debitor harus menyertakan surat kuasa dari pemilik (nama yang tertera di sertifikat hak milik atas tanah) kepada si peminjam (pemohon kredit) untuk menggunakan tanah tersebut sebagai jaminan; d. Fotocopy pelunasan pajak terakhir; e. Slip gaji apabila calon debitor bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan karyawan swasta; f. Riwayat pinjaman (apabila calon debitor pernah meminjam di bank lain); g. Neraca (apabila calon debitor mempunyai usaha); h. Fotocopy Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) apabila ada. Kepala bagian kredit selanjutnya memeriksa kelengkapan persyaratan yang dibawa oleh calon debitor apakah sudah lengkap atau masih ada kekurangan. Apabila terdapat kekurangan syarat tersebut di atas, maka calon debitor diwajibkan untuk memenuhi kekurangan tersebut. 2. Tahap pengecekan jaminan Pengecekan jaminan dilakukan dengan cara mengecek nama yang tertera di dalam sertifikat hak milik atas tanah yang akan dijadikan jaminan kredit. Apabila nama yang tertera di dalam sertifikat hak milik atas tanah lebih dari 1 (satu) orang, maka pihak debitor harus melampirkan surat kuasa yang menyebutkan bahwa pihak debitor diberikan kuasa oleh nama pemilik lainnya untuk 113 menggunakan sertifikat hak milik atas tanah tersebut sebagai jaminan kredit di LPD. Pengecekan jaminan juga dilakukan dengan cara lain, yaitu pihak LPD yang berjumlah 2 (dua) orang, yaitu Kepala LPD dan bagian kredit terjun langsung ke lapangan untuk melihat kondisi tanah yang akan dijadikan jaminan dalam pengajuan kredit ke LPD. Tanah yang diutamakan agar dapat diterima sebagai jaminan bagi pihak LPD adalah tanah yang berlokasi di desa pakraman setempat, atau sejauh-jauhnya berlokasi di wilayah Kota Denpasar. Namun dalam perjalanannya, terdapat beberapa nasabah yang menggunakan jaminan sertifikat hak milik atas tanah yang lokasi tanahnya berada di luar Kota Denpasar. Jaminan tanah yang berlokasi di luar wilayah Kota Denpasar dapat diterima sebagai jaminan dapat juga tidak tergantung dari kebijaksanaan yang diberikan oleh LPD. Kebijaksanaan tersebut tentunya didasari atas pertimbanganpertimbangan yang dilakukan oleh pihak LPD. Pengecekan lokasi tanah yang dilakukan oleh pihak LPD bertujuan untuk mengecek kebenaran akan lokasi tanah tersebut. Misalnya, mengambil foto atas tanah yang akan dijadikan jaminan kredit, melakukan pengukuran untuk mengetahui luas tanahnya, kebenaran akan Nomor Identifikasi Bidang Tanah (NIB), serta menafsirkan nilai tanah tersebut apakah melebihi nominal pinjaman atau harga tanah tersebut kurang dari nominal pinjaman. Pihak LPD juga melakukan pengecekan terhadap tanah tersebut dengan cara menanyakan kepada penyanding mengenai watak serta situasi dan kondisi dari tanah tersebut. Penyanding yang dimaksud disini adalah pemilik dari tanah yang 114 memiliki lokasi berdekatan dengan tanah yang akan dijadikan jaminan kredit di LPD. Apabila jaminan kredit akan diikat dengan APHT, maka Pihak LPD melakukan pengecekan resmi yang dilakukan di Kantor Petanahan Kota Denpasar melalui jasa PPAT dan membutuhkan waktu sampai 4 (empat) hari. Pengecekan dilakukan bertujuan untuk menghindari terjadinya sertifikat ganda dan untuk menghindari gugatan dari pihak lain. 3. Tahap pengisian surat permohonan kredit Apabila pengecekan terhadap tanah yang akan dijadikan jaminan kredit telah selesai dan diputuskan bahwa tanah tersebut dapat diterima oleh pihak LPD, maka debitor diwajibkan untuk mengisi formulir pinjaman konsumtif atau pinjaman usaha. Dalam surat permohonan kredit ini tercantum 2 (dua) komponen, yaitu data umum, pernyataan dan pengeluaran per bulan dari nasabah. Kedua komponen ini harus diisi sebenar-benarnya oleh pihak nasabah. Data umum yang dimaksud dalam surat ini adalah data mengenai nama, nomor KTP, tempat dan tanggal lahir, alamat, pekerjaan, nomor telepon, nama istri atau suami apabila sudah menikah. Selain itu, juga dicantumkan nomor KTP suami istri, tempat dan tanggal lahir suami/istri, pekerjaan suami/istri, besarnya permohonan kredit, jangka waktu kredit, tujuan permohonan kredit, dan jaminan kredit. Mengenai pernyataan dan pengeluaran dari pihak debitor selaku pemohon kredit, meliputi pendapatan pemohon dan pengeluaran pemohon. Pendapatan pemohon berupa pendapatan suami/istri dan penghasilan lainnya, sedangkan 115 pengeluaran pemohon berupa pangan, biaya listrik, biaya telepon, biaya pendidikan, biaya sandang, dan biaya lain-lain. Pihak pemohon kredit memberikan persetujuan/kuasa kepada LPD untuk menghubungi sumber manapun yang dianggap perlu untuk mengecek kebenaran akan data yang diisi oleh pihak pemohon dalam surat ini. Surat permohonan kredit ini ditandatangani oleh pemohon dan suami/istri sebagai pihak yang menyetujui, dan bendesa adat desa pakraman yang bersangkutan, serta dibubuhi stempel dari LPD yang bersangkutan. 4. Tahap analisa pemberian kredit Tahap analisa pemberian kredit biasanya dilakukan oleh analis/bagian kredit. Tahap analisa pemberian kredit itu dilakukan untuk mengetahui usia pemohon, domisili di alamat sekarang apakah di desa pakraman sendiri atau tidak, tingkat pendidikan, jangka waktu mengenai lamanya pihak pemohon bekerja, karakter, sejarah masa lampau pinjaman, kontribusi dana, pendapatan suami/istri untuk membantu pembayaran kembali pinjaman, surat pemotongan gaji, perbandingan antara besarnya angsuran dengan surplus menunjukkan ratio, serta jaminan. Masing-masing dari komponen tersebut akan diberi score oleh pihak LPD yang melakukan analisis kredit sehingga selesainya tahap analisis kredit ini dilakukan akan menunjukkan penilaian resiko kredit. Surat analisa kredit ini tidak ditandatangani oleh para pihak. Surat analisa kredit merupakan surat hasil laporan analisa kredit yang telah dilakukan oleh pihak LPD. 116 5. Tahap pembuatan memorandum pengusulan kredit Memorandum pengusulan kredit dibuat oleh analis/bagian kredit. Memorandum ini berisikan data pemohon, rekomendasi analis/bagian kredit, pertimbangan/ data pemohon, meliputi nama pemohon, nomor KTP, tempat dan tanggal lahir, alamat pemohon, jumlah permohonan kredit, tujuan permohonan kredit, nilai/score, dan hubungan pihak debitor dengan LPD. Mengenai rekomendasi analis/bagian kredit memuat tentang usulan dari bagian kredit mengenai maksimum kredit yang diberikan, suku bunga, jangka waktu, bentuk kredit, ongkos kredit, tujuan penggunaan kredit, nilai jaminan, serta syarat lainnya. Bagian akhir memorandum ini dibubuhi tanda tangan analis/bagian kredit dan tanda tangan dari Kepala LPD dan Ketua Badan Pengawas sebagai pemutus kredit. 6. Tahap penandatanganan surat keputusan kredit (SKK) Apabila pihak LPD telah menyetujui permohonan kredit yang diajukan oleh pihak debitor selaku pemohon, maka selanjutnya akan dilakukan tahap penandatanganan surat keputusan kredit. Surat keputusan kredit berisikan data umum tentang debitor serta persetujuan pihak LPD terhadap permohonan kredit dari debitor dengan ketentuan dan syarat-syarat yang telah ditentukan oleh LPD. Data umum dari debitor sebagai pemohon kredit adalah meliputi, nama debitor, perusahaan, alamat, maksimum kredit, jangka waktu, tujuan penggunaan kredit, suku bunga, ongkos-ongkos kredit, dan jaminan. Adapun syarat-syarat yang ditentukan oleh LPD dalam surat keputusan kredit tersebut mencakup 3 117 (tiga) syarat, yaitu syarat penandatanganan perjanjian kredit, syarat penarikan kredit, dan syarat-syarat lain. Syarat penandatanganan perjanjian kredit, memuat 3 (tiga) ketentuan penting, yaitu pihak debitor telah menyetujui dengan menandatangani surat keputusan kredit (SKK) dan menyerahkan kembali surat keputusan kredit (SKK) kepada LPD, pihak debitor wajib menyerahkan surat-surat asli dari barang jaminan kepada LPD, serta ketentuan bahwa perjanjian kredit akan dibuat di bawah tangan. Ketentuan yang tercantum dalam syarat penarikan kredit adalah perjanjian kredit telah ditandatangani oleh pihak debitor selaku pemohon kredit dan pihak LPD, serta pengikatan jaminan telah dilengkapi. Syarat-syarat lain juga tercantum di dalam surat keputusan kredit. Syaratsyarat lainnya adalah pihak debitor tidak diperbolehkan menggunakan kredit menyimpang dari tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya dan pihak debitor wajib tunduk terhadap peraturan-peraturan yang telah dan akan ditetapkan oleh LPD yang bersangkutan. Surat keputusan kredit ini dibuat rangkap 2 (dua), serta ditandatangani oleh pihak debitor selaku pemohon kredit dan pihak LPD, yaitu Kepala LPD. 7. Tahap penandatanganan surat perjanjian kredit Penandatanganan surat perjanjian kredit merupakan momentum yang sangat penting dalam pemberian kredit oleh LPD. Perjanjian kredit yang ditandatangani oleh kedua belah pihak secara khusus memuat kesepakatan hak dan kewajiban antara kedua belah pihak, yaitu pihak LPD sebagai pemberi kredit dan pihak debitor sebagai penerima kredit. 118 Surat perjanjian kredit memuat identitas kedua belah pihak. Pihak pertama tercantum bahwa Kepala LPD bertindak untuk dan atas nama LPD sedangkan pihak kedua tercantum bahwa nama debitor bertindak untuk dan atas nama diri sendiri dan telah mendapat persetujuan dari pihak suami/isteri. Para pihak sepakat untuk mengadakan perjanjian kredit dengan syarat dan ketentuan yang sudah disetujui oleh kedua belah pihak. Adapun syarat dan ketentuan tersebut, meliputi: a. Persetujuan pihak LPD memberikan pinjaman kepada debitor dan kewajiban debitor untuk melunasi segala pinjaman uang/fasilitas kredit, berikut bunga serta biaya lainnya yang timbul dari perjanjian kredit ini; b. Kewajiban debitor untuk pembayaran angsuran setiap bulannnya dengan bunga yang telah ditentukan, serta pembayaran denda apabila terjadi keterlambatan pembayaran hutang. Selain pembayaran angsuran, debitor juga dibebankan biaya administrasi yang dihitung dari besarnya jumlah pinjaman; c. Jangka waktu pembayaran hutang, yaitu kapan dimulainya pembayaran hutang tahap pertama sampai dengan batas akhir pembayaran hutang oleh pihak debitor; d. LPD selaku kreditor memiliki hak untuk melakukan penagihan hutang berikut bunga, denda, serta biaya lainnya apabila pihak debitor menggunakan pinjaman tersebut menyimpang dari tujuan penggunaannya dan apabila debitor melalaikan pemenuhan terhadap kewajibannya; e. Uraian lengkap mengenai jaminan yang berupa sertifikat hak milik atas tanah yang akan dijadikan jaminan hutang pada LPD yang bersangkutan. Uraian 119 mengenai jaminan harus dicantumkan secara mendetail. Misalnya, mengenai nomor sertifikat hak milik atas tanah, letak tanah, keadaan tanah, nama pemilik yang tertera dalam sertifikat hak milik atas tanah, serta nomor identifikasi bidang tanah; f. Kewajiban bagi pihak debitor untuk tidak menjual, melepas, atau menjaminkan kembali jaminan yang berupa sertifikat hak milik atas tanah tersebut kepada pihak lain tanpa sepengetahuan dari LPD; g. LPD memiliki hak berdasarkan kuasa yang diberikan oleh pihak debitor untuk melakukan penyitaan terhadap barang jaminan yang berupa sebidang tanah apabila dalam jangka waktu pembayaran kredit tersebut, debitor mengalami kemacetan pembayaran kredit dan penyimpangan penggunaan kredit yang diberikan oleh LPD; h. Kewajiban bagi ahli waris dari pihak debitor apabila debitor telah meninggal dunia dan kredit-kredit yang telah dipinjam dari LPD belum terbayar lunas; i. Kedua belah pihak sepakat untuk memilih tempat kedudukan hukum, jika perselisihan yang timbul dari perjanjian kredit tersebut tidak dapat diselesaikan secara kekeluargaan. Surat perjanjian kredit yang melibatkan pihak LPD selaku pemberi kredit dan penerima kredit ditandatangani oleh kedua belah pihak. Pihak penanggung dari debitor (biasanya suami/istri) juga turut wajib menandatangani surat perjanjian tersebut. Tujuan dari keikutsertaan pihak penanggung dalam perjanjian kredit ini adalah agar pihak suami/istri mengetahui perbuatan hukum yang dilakukan oleh salah satu pihak. 120 8. Tahap penandatanganan bukti pengeluaran kredit Bukti pengeluaran kredit dikeluarkan oleh LPD pada saat pihak LPD mengeluarkan kredit serta menyerahkannya secara langsung kepada debitor selaku penerima kredit. Di dalam surat bukti pengeluaran kredit ini wajib tertera mengenai, nomor surat perjanjian pinjaman atau surat perjanjian kredit, besarnya pinjaman, biaya administrasi, biaya materai, sehingga akan diperoleh penerimaan bersih kredit dari pihak LPD. Penandatanganan surat bukti pengeluaran kredit ini dilakukan oleh bagian kasir dari LPD yang bersangkutan dan pihak debitor selaku peminjam. 9. Tahap penandatanganan bukti penerimaan barang jaminan Pada saat debitor menyerahkan asli sertifikat hak milik atas tanah sebagai jaminan kredit pada LPD, maka pihak LPD wajib menyertakan surat bukti penerimaan barang jaminan. Surat bukti penerimaan barang jaminan, memuat uraian secara lengkap mengenai identitas dari tanah tersebut. Uraian tersebut meliputi, nomor sertifikat hak milik atas tanah, gambar situasi atau surat ukur, luas tanah, letak tanah, serta nama yang tercantum di dalam sertifikat tersebut. Surat bukti penerimaan barang jaminan ditandatangani oleh Kepala LPD selaku penerima barang jaminan dan pihak debitor selaku yang menyerahkan barang jaminan. 10. Tahap penandatanganan surat kuasa menjual Surat kuasa menjual yang ditandatangani oleh pihak debitor selaku pemberi kuasa dan Kepala LPD selaku penerima kuasa memuat tentang pemberian kuasa dari pihak debitor kepada pihak LPD. Kuasa yang diberikan adalah kuasa untuk 121 melakukan penjualan terhadap barang jaminan apabila pihak debitor mengalami kemacetan sebanyak tiga kali berturut-turut dalam melakukan pembayaran hutang atau kredit. Di dalam surat kuasa menjual juga dicantumkan bahwa apabila terdapat sisa dari hasil penjualan maka pihak LPD berkewajiban untuk mengembalikannya kepada pihak debitor, sedangkan apabila dari hasil penjualan tersebut ternyata masih belum mencukupi untuk memenuhi sisa hutang dari pihak debitor, maka pihak debitor tidak dapat membebaskan dirinya dari kewajiban tersebut. Pihak debitor tetap harus melakukan pembayaran terhadap sisa hutang yang belum terbayar lunas. 11. Tahap pengikatan jaminan sertifikat hak milik atas tanah dengan APHT Setelah pengecekan selesai dilakukan, maka pihak LPD dan debitor melakukan penandatanganan perjanjian kredit. Perjanjian kredit yang telah ditandatangani wajib dibawa ke kantor PPAT sebagai dasar untuk pembuatan APHT.Penandatanganan APHT juga diikuti dengan pendaftaran Hak Tanggungan ke Kantor Pertanahan Kota Denpasar untuk penerbitan sertifikat Hak Tanggungan. Sertifikat Hak Tanggungan menjadi hak penuh bagi LPD selama kredit yang diberikan kepada debitor masih berjalan atau belum terlunasi; Berdasarkan prosedur pemberian kredit tersebut di atas, menunjukkan bahwa semua unsur yang disyaratkan dalam formula 5C’s dan 7P tidak seluruhnya diterapkan oleh LPD untuk melakukan penilaian terhadap debitor dalam mengajukan permohonan kredit yang menggunakan barang jaminan berupa sertifikat hak milik atas tanah. Pihak LPD lebih menitikberatkan pada 3 (tiga) 122 unsur dalam formula 5C’s yaitu character (karakter debitor), capacity (kemampuan membayar), dan collateral (jaminan) dan 5 (lima) unsur dalam formula 7P, yaitu personality (kepribadian debitor), party (klasifikasi debitor), perpose (tujuan pengambilan kredit), payment (kemampuan pembayaran), protection (perlindungan usaha dan jaminan). Hal ini terbukti dari adanya tahap pengisian formulir permohonan kredit dan tahap analisis pemberian kredit yang merupakan implementasi dari unsur character, capacity, personality, party, perpose, dan payment. Kedua tahap tersebut memberikan suatu gambaran bagaimana karakter dan kepribadian debitor, kemampuan membayar dari debitor yang mengajukan permohonan kredit, tujuan permohonan kredit, serta klasifikasi debitor berdasarkan sejarah masa lampua pinjaman. Unsur lainnya yang diutamakan oleh pihak LPD adalah unsur collateral dan protection. Unsur ini merupakan implementasi dari tahap pengecekan jaminan, tahap penandatanganan bukti penerimaan barang jaminan, tahap penandatanganan surat kuasa menjual, serta tahap pengikatan jaminan sertifikat hak milik atas tanah dengan APHT. Keempat tahap tersebut menunjukkan bahwa LPD telah melakukan pengecekan dan melakukan suatu upaya perlindungan terhadap jaminan sertifikat hak milik atas tanah yang akan dijadikan jaminan kredit oleh pihak debitor. Pemberian fasilitas kredit dengan jaminan sertifikat hak milik atas tanah biasanya dipandang dengan nominal permohonan kredit yang cukup besar. Namun berdasarkan hasil wawancara dengan informan Ibu Sagung Anom Widhi 123 Astuti, Kepala LPD Desa Pakraman Kedua, menjelaskan bahwa tidak semua pemberian kredit yang dijaminkan dengan sertifikat hak milik atas tanah dikategorikan dengan pemberian kredit dalam jumlah yang besar. LPD Desa Pakraman Kedua menerima jaminan sertifikat hak milik atas tanah dengan permohonan kredit di bawah Rp 29.000.000,00 (duapuluh sembilan juta rupiah). Kredit ini diberikan oleh pihak LPD asalkan tanah tersebut masih berlokasi di wilayah desa pakraman, debitor atau peminjam adalah warga asli desa pakraman kedua, serta nama yang tertera di dalam sertifikat hak milik atas tanah adalah nama nasabah yang mengajukan permohonan kredit ke LPD. Hal ini dikarenakan pihak nasabah sebagai pemohon kredit hanya memiliki barang jaminan berupa tanah dan tidak memiliki jaminan berupa barang-barang bergerak. Ibu Sagung Anom Widhi Astuti, menegaskan kembali bahwa jaminan kredit dengan sertifikat hak milik atas tanah tidak hanya diberikan untuk kredit yang nominalnya tinggi. (wawancara pada tanggal 17 Juni 2013). Pendapat senada juga dikemukakan oleh Bapak I Wayan Oka Widastra, (Kepala LPD Desa Pakraman Jenah) dan Bapak I Gusti Ngurah Bagus (Kepala LPD Desa Pakraman Cengkilung). Para Kepala LPD tersebut mengungkapkan bahwa pemberian kredit kepada nasabah dengan jaminan sertifikat hak milik atas tanah tidak harus melakukan pinjaman kredit dengan nominal yang tinggi dan nasabah masih jarang menjaminkan sertifikat hak milik atas tanah. LPD Desa Pakraman Jenah dan Cengkilung menerima jaminan sertifikat hak milik atas tanah dengan permohonan kredit hanya sampai Rp 50.000.000,00 (limapuluh juta rupiah). Hal ini disebabkan karena batas maksimum pemberian 124 kredit oleh LPD adalah berjumlah Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah), sedangkan batas minimum pemberian kredit adalah Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah). (wawancara pada tanggal 17 Juni 2013). I Gusti Putu Sukanta sebagai Kepala LPD Desa Pakraman Penatih Puri, menjelaskan bahwa kredit yang dicairkan oleh LPD dengan jaminan sertifikat hak milik atas tanah sampai saat ini berjumlah maksimum RP 30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah). Tanah yang digunakan sebagai objek jaminan kredit tersebut adalah luas tanah yang tidak terlalu besar, yaitu kira-kira berjumlah 100 m2 (seratus meter persegi), asalkan nilai tafsiran dari tanah tersebut harus melebihi dari nilai nominal kredit yang diajukan oleh pihak nasabah. Berdasarkan hasil wawancara dari para informan di atas, menunjukkan bahwa pemberian kredit dengan jaminan sertifikat hak milik atas tanah tidak selalu kredit dalam jumlah yang besar. Hal ini disebabkan karena keterbatasan penyediaan barang jaminan oleh pihak debitor serta peraturan mengenai batas maksimum pemberian kredit oleh LPD yang bersangkutan masih tergolong rendah. 3.3 Pembebanan Dan Pendaftaran Hak Tanggungan Pada LPD di Kota Denpasar Proses pembebanan Hak Tanggungan diawali dengan melakukan penandatanganan APHT setelah syarat administrasi pengajuan kredit dipenuhi oleh pihak debitor selaku pemohon kredit. Penandatanganan APHT dilakukan oleh pihak LPD selaku pemegang Hak Tanggungan dan pihak debitor selaku pemberi Hak Tanggungan. Penandatanganan dilakukan di Kantor PPAT sesuai 125 dengan daerah kerjanya, yaitu per kecamatan yang meliputi kelurahan dan desa letak bidang tanah yang dijadikan jaminan kredit oleh pihak debitor117. Melalui jasa PPAT, setelah dilakukan penandatanganan APHT maka Hak Tanggungan akan didaftarkan di Kantor Pertanahan dan akan dikeluarkan tanda bukti adanya Hak Tanggungan, yaitu sertifikat Hak Tanggungan. Salinan buku tanah dan salinan APHT telah diadopsi di dalam sertifikat Hak Tanggungan yang akan dipegang penuh oleh pihak LPD selaku kreditor selama kredit belum terlunasi oleh pihak debitor. Setelah melakukan penelitian pada beberapa LPD di Kota Denpasar, pembebanan dan pendaftaran Hak Tanggungan yang disyaratkan oleh UUHT tidak sepenuhnya dilakukan. Berikut dijelaskan mengenai hasil wawancara dari para informan mengenai pembebanan Hak Tanggungan di LPD-nya masingmasing. Bapak I Wayan Durjana, Ketua LPD Desa Pakraman Oongan, menjelaskan bahwa pihak LPD memberikan kebijaksanaan dalam pemberian kredit dengan jaminan sertifikat hak milik atas tanah. Kebijaksanaan tersebut diberikan bagi debitor yang meminjam kredit di bawah Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan warga asli desa pakraman yang karakternya sudah dikenal dengan baik oleh pihak LPD. Nasabah tersebut dikenal dengan kepribadiannya yang luwes dan mau mematuhi peraturan mengenai kredit yang akan dipinjam dari LPD, maka golongan nasabah tersebut dalam proses pemberian kreditnya dengan 117 Adrian Sutedi II, op.cit, hal. 73. 126 jaminan sertifikat hak milik atas tanah tidak lagi melakukan pengikatan APHT ke kantor PPAT. Nasabah yang bukan warga asli desa pakraman apabila meminjam kredit dengan jaminan sertifikat tanah, dengan nominal kredit berkisar antara Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) sampai dengan Rp 20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah) tidak memerlukan pengikatan dengan APHT. Namun pemberian kredit seperti ini wajib diimbangi dengan komunikasi yang baik dari pihak LPD kepada debitor tersebut untuk melakukan pembayaran kredit secara tepat waktu. Berbeda halnya dengan debitor yang meminjam kredit dengan nominal Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) ke atas, maka pemberian kredit dengan jaminan sertifikat hak milik atas tanah tersebut wajib diikat dengan APHT di kantor PPAT. Namun, jika pihak nasabah mampu mengembalikan kredit selama 10 (sepuluh) kali angsuran maka pihak LPD akan memberikan kebijaksanaan untuk tidak diikat dengan APHT karena biasanya pemberian kredit dengan nominal Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) ke atas diberikan jangka waktu pelunasan selama 3 (tiga) sampai dengan 4 (empat) tahun. (wawancara pada tanggal 19 Juni 2013). Bapak I Wayan Rayun, Kepala LPD Desa Pakraman Kesiman, memberikan komentar bahwa pemberian kredit dengan jaminan sertifikat hak milik atas tanah ada yang diikat dengan APHT dan ada yang tidak diikat. Kredit dengan jaminan sertifikat hak milik atas tanah yang tidak diikat dengan APHT hanya diberikan kepada debitor golongan warga wed (asli desa pakraman) dan dinilai telah lancar dan lebih dari 10 (sepuluh) kali meminjam kredit di LPD. 127 Debitor yang meminjam kredit di atas Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) ke atas dan pihak LPD meragukan kemampuan membayar dari pihak debitor tersebut, maka pihak debitor akan diajak untuk melakukan pengikatan ke kantor PPAT. Pengikatan dengan APHT ini bertujuan apabila pihak debitor melakukan wanprestasi, maka jaminan tanah yang diikat dengan APHT tersebut dapat diuangkan atau dijual oleh pihak LPD guna untuk mendapatkan kembali pelunasan piutangnya. (wawancara pada tanggal 16 Juli 2013). Hal yang sama juga disampaikan oleh Bapak I Made Darsana sebagai Kepala LPD Desa Pakraman Sumerta (wawancara pada tanggal 01 Agustus 2013). Penjelasan berbeda diberikan oleh Ibu Ni Wayan Wardani, Kepala LPD Desa Pakraman Peraupan, bahwa pemberian kredit dengan jaminan sertifikat hak milik atas tanah di LPD Desa Pakraman Peraupan tidak pernah melakukan pengikatan dengan APHT ke kantor PPAT. Hal ini disebabkan karena peminjaman kredit oleh pihak debitor, baik dalam jumlah yang kecil maupun besar hanya dibuatkan perjanjian kredit di bawah tangan serta cukup hanya mendapat persetujuan dari bendesa adat. Pengikatan APHT tidak pernah dilakukan karena mengingat debitor LPD tersebut merupakan warga asli desa pakraman peraupan, sehingga proses untuk pemberian kredit dengan jaminan sertifikat tanah dilakukan seefisien mungkin. (wawancara pada tanggal 7 Juli 2013). Bapak I Wayan Biyeg, Kepala LPD Desa Pakraman Bekul, mengungkapkan bahwa walaupun semua debitor dari warga asli desa pakraman bekul, pengikatan dengan APHT tetap dilakukan dalam pemberian kredit dengan jaminan sertifikat hak milik atas tanah. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi jika nanti pihak 128 debitor mengalami kemacetan dalam pembayaran kreditnya. LPD hanya memiliki kebijaksanaan kepada debitor yang meminjam kredit di bawah Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah). Debitor yang meminjam kredit dengan nominal tersebut mendapat kebijakan dari LPD, yaitu tidak perlu melakukan pengikatan ke kantor PPAT. Kebijaksanaan tersebut diberikan dengan pertimbangan bahwa nominal kredit yang dipinjam oleh debitor sudah tergolong sangat kecil, jika dilakukan pengikatan dengan APHT, maka pihak debitor akan merasa terbebani dengan biaya terhadap pengikatan tersebut. Hasil wawancara yang sama juga disampaikan oleh Bapak I Wayan Brata, Kepala LPD Desa Pakraman Penatih. (wawancara pada tanggal 8 Juli 2013). Bapak I Wayan Oka Widastra, Kepala LPD Desa Pakraman Jenah memberikan komentar yang sama dengan Ibu Ni Wayan Wardani (Kepala LPD Desa Pakraman Peraupan). Bapak I Wayan Oka Widastra, mengungkapkan bahwa di LPD Desa Pakraman Jenah dalam memberikan kredit dengan jaminan sertifikat hak milik atas tanah tidak pernah diikuti dengan pembuatan APHT di kantor PPAT. Pengikatan dengan APHT tidak dilakukan dengan alasan agar dapat meringankan serta membantu perekonomian warga asli desa pakraman yang akan menjadi debitor LPD. Bapak I Wayan Oka Widastra kembali menegaskan bahwa LPD sudah diikat oleh pararem desa pakraman, sehingga apabila ada nasabah yang membandel atau ingkar janji terhadap kewajibannya akan dikenakan sanksi adat. Hal yang sama 129 juga diungkapkan oleh Bapak I Made Sutarka, Kepala LPD Desa Pakraman Anggabaya.(wawancara pada tanggal 6 Juli 2013). Bapak I Ketut Warta, Kepala LPD Desa Pakraman Peninjoan, mengungkapkan bahwa LPD Desa Pakraman Peninjoan memberikan keputusan apakah pemberian kredit dengan jaminan sertifikat tanah yang diajukan oleh debitor diikat dengan APHT atau tidak adalah tergantung dari karakter nasabah yang bersangkutan. Kredit dengan jaminan sertifikat hak milik atas tanah yang diikat dengan APHT adalah kredit yang diajukan oleh debitor yang berkarakter kurang baik, debitor sudah pernah melakukan peminjaman kredit di LPD namun kurang lancar membayar, serta debitor tersebut tidak taat pada peraturan yang berlaku di LPD. Begitu juga sebaliknya dengan kredit menggunakan jaminan sertifikat hak milik atas tanah yang mendapatkan kebijakan dari pihak LPD untuk tidak diikat dengan APHT. Apabila debitor yang bersangkutan berkriteria baik, debitor pernah melakukan peminjaman kredit di LPD dan tepat waktu melakukan pembayaran, tidak pernah ada tunggakan, semua persyaratan dipenuhi, tidak pernah menimbulkan masalah, serta selalu taat pada aturan yang berlaku di LPD. (wawancara pada tanggal 6 Juli 2013). Bapak I Gusti Ngurah Bagus, Kepala LPD Desa Pakraman Cengkilung, memberikan keterangan bahwa sampai saat ini di LPD Desa Pakraman Cengkilung belum pernah melakukan pengikatan ke PPAT, baik itu kredit dengan jaminan benda bergerak maupun benda tidak bergerak dalam bentuk tanah. Debitor yang meminjam kredit dalam jumlah yang maksimum pun tidak diikat 130 dengan APHT karena pemberian kredit di LPD dikhususkan untuk anggota desa pakraman cengkilung. Apabila debitor yang meminjam dalam jumlah kredit yang besar diikat dengan APHT, sedangkan debitor yang meminjam kredit dalam jumlah yang kecil tidak diikat dengan APHT, maka diantara warga desa pakraman akan terjadi kecemburuan sosial satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu, pihak LPD sepakat untuk tidak menggunakan layanan jasa PPAT dalam memberikan kredit dengan jaminan benda bergerak maupun tidak bergerak. (wawancara pada tanggal 17 Juni 2013). Bapak I Gusti Putu Sukanta, Kepala LPD Desa Pakraman Penatih Puri, memberikan komentar bahwa fasilitas kredit yang diberikan oleh LPD Desa Pakraman Penatih Puri masih tergolong kecil, yaitu maksimal Rp. 30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah), sehingga untuk proses pemberian kredit dengan penyerahan jaminan sertifikat hak milik atas tanah tidak menggunakan pengikatan dengan APHT. Keputusan ini didasarkan atas pertimbangan bahwa debitor yang meminjam kredit dengan jumlah yang kecil akan dibebani dengan biaya pengikatan APHT, sehingga dapat memberatkan pihak debitor. (wawancara pada tanggal 9 Juli 2013). Wawancara selanjutnya juga dilakukan kepada Bapak I Made Adnyana, Kepala LPD Desa Pakraman Penyaringan, bahwa pemberian kredit dengan jaminan sertifikat hak milik atas tanah ada yang diikat dan tidak diikat dengan APHT. Jaminan sertifikat hak milik atas tanah yang tidak diikat dengan APHT adalah prediksi atau analisa bersama memiliki kemungkinan bahwa besarnya 131 kredit tidak beresiko dan bermasalah. Berbeda halnya dengan jaminan sertifikat hak milik atas tanah yang diikat dengan APHT, pengikatan tersebut dilakukan dengan tujuan untuk meminimalkan resiko terhadap kemungkinan yang terjadi, misalnya debitor wanprestasi. (wawancara pada tanggal 30 Juli 2013). Bapak I Wayan Loka, Kepala LPD Desa Pakraman Sanur, menjelaskan bahwa debitor yang pinjamannya berkisar antara Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) sampai dengan Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan merupakan masyarakat desa adat setempat diberikan kemudahan untuk tidak melakukan pengikatan dengan APHT. Namun, apabila debitor melakukan peminjaman sebesar Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) ke atas, maka wajib untuk dilakukan pengikatan jaminan tersebut dengan APHT. Pengikatan jaminan sertifikat hak milik atas tanah dengan APHT juga dilakukan apabila debitor berasal dari masyarakat di luar desa adat. Fasilitas kredit yang diberikan oleh LPD Desa Pakraman Sanur tidak hanya kepada masyarakat desa adat setempat, tetapi juga kepada masyarakat di luar desa adat dengan tujuan untuk memperluas dan mengembangkan kegiatan usaha LPD. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Bapak Wayan Madia selaku Kepala LPD Desa Pakraman Renon (wawancara pada tanggal 30 Juli dan 12 Agustus 2013). Berbeda halnya dengan LPD Desa Pakraman Tembawu yang lebih mengutamakan keamanan jaminan kredit. Bapak I Made Medal, mengemukakan bahwa pemberian kredit yang dijaminkan dengan sertifikat hak milik atas tanah selalu diikat dengan APHT, walaupun pihak debitor berasal dari masyarakat desa adat tembawu atau pun masyarakat yang berasal dari luar desa adat tembawu. 132 Pengikatan sertifikat hak milik atas tanah dengan APHT bertujuan untuk memberikan keamanan kepada kredit yang diberikan oleh pihak LPD di kemudian hari dan agar pemberian kredit dengan jaminan sertifikat hak milik atas tanah dapat dipertanggungjawabkan secara otentik. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Bapak I Wayan Mudana selaku Kepala LPD Desa Pakraman Intaran. (wawancara pada tanggal 01 dan 12 Agustus 2013). Bapak I Putu Sumadi selaku Kepala LPD Desa Pakraman YangBatu, juga memberikan komentar bahwa kredit dengan nominal di bawah Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) tidak diikat dengan APHT. Untuk peminjaman kredit yang tergolong kecil ini, sertifikat hak milik atas tanah hanya digunakan untuk melengkapi prosedur pemberian kredit dari LPD. Dengan kata lain, sertifikat hak milik atas tanah hanya digunakan sebagai formalitas pemberian jaminan dari pihak debitor. Namun, untuk pemberian kredit dengan nominal di atas Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), pihak LPD melakukan pengikatan SKMHT. Apabila pihak debitor menunjukkan tanda-tanda kemacetan pembayaran, maka pihak LPD akan mengubah SKMHT menjadi APHT dengan biaya yang akan ditanggung oleh pihak debitor. (wawancara pada tanggal 01 Agustus 2013). Bapak I Made Astra Wijaya, Kepala LPD Desa Pakraman Padang Sambian, menjelaskan bahwa pemberian kredit dengan jaminan sertifikat hak milik atas tanah di LPD Desa Pakraman Padang Sambian ada yang diikat dengan APHT dan ada yang tidak. Jaminan yang diikat dengan APHT adalah jaminan yang nilai kreditnya kecil, yaitu kurang dari Rp. 25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah), 133 tanah tersebut hanya dijadikan sebagai cover karena ada jaminan lain, seperti Bukti Pemilikan Kendaraan Bermotor (BPKB) namun pihak LPD belum menganggap bahwa jaminan BPKB tersebut cukup digunakan sebagai jaminan. Sertifikat hak milik atas tanah digunakan sebagai cover jaminan tersebut, dan debitor yang meminjam kredit dengan jaminan sertifikat hak milik atas tanah adalah debitor prioritas, yaitu nasabah yang tergolong lancar membayar dan sudah berkali-kali meminjam kredit di LPD. Untuk jaminan tanah yang tidak diikat dengan APHT adalah jaminan yang memiliki nilai kredit yang besar dan tergolong nasabah baru. (wawancara pada tanggal 05 Agustus 2013). Berdasarkan hasil wawancara dari para informan tersebut di atas, dapat diketahui bahwa tidak semua pemberian kredit dengan jaminan sertifikat hak milik atas tanah dilakukan dengan pengikatan APHT dan pendaftaran ke Kantor Pertanahan. Namun juga terdapat kredit yang dijaminkan dengan sertifikat hak milik atas tanah yang memang tidak diikat dengan APHT. Hal ini menunjukkan bahwa prinsip kehati – hatian yang dikenal dengan istilah formula 5C’s dan 7P khususnya terhadap unsur jaminan (collateral) dan protection (perlindungan terhadap usaha dan jaminan) dalam pemberian kredit oleh beberapa LPD tidak maksimal untuk diterapkan. Selain mengecek keabsahan jaminan yang diserahkan oleh pihak debitor, seharusnya pengikatan jaminan dengan perjanjian tambahan (accessoir) juga penting untuk dilakukan sebagai perlindungan terhadap keberadaan benda jaminan tersebut. Berbagai penjelasan telah dikemukakan oleh para informan mengenai alasan mengapa dalam pemberian kredit dengan jaminan hak atas tanah tersebut tidak 134 semua diikat dengan APHT. Maka dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan terdapat 6 (enam) alasan pokok yang menyebabkan pihak LPD tidak melakukan pengikatan dengan APHT. Alasan-alasan tersebut antara lain: 1. Debitor yang mengajukan kredit dengan jaminan sertifikat hak milik atas tanah merupakan warga wed (asli desa pakraman), sehingga pihak LPD sudah mengetahui seluk beluk serta latar belakang dari debitor tersebut; 2. Karakter dari pihak debitor yang sudah diketahui dengan baik oleh pihak LPD. Pengetahuan pihak LPD akan karakter dari pihak debitor didasarkan atas analisis kredit yang telah dilakukan dan pengalaman meminjam yang sebelumnya telah dilakukan oleh pihak debitor; 3. Nominal kredit yang diajukan oleh pihak debitor kepada LPD menjadi suatu pertimbangan apakah kredit yang dijaminkan dengan obyek tanah tersebut diikat dengan APHT atau tidak. 4. Proses pengikatan kredit dengan jaminan sertifikat hak milik atas tanah dengan APHT dirasa terlalu lama karena harus melalui beberapa tahap, yaitu tahap pengecekan terhadap sertifikat hak milik atas tanah yang akan dijadikan jaminan kredit sampai dengan tahap didaftarkannya Hak Tanggungan tersebut ke Badan Pertanahan Nasional. 5. Biaya pengikatan kredit dengan jaminan sertifikat hak milik atas tanah menggunakan APHT ditanggung sepenuhnya oleh pihak debitor. Debitor yang mengajukan permohonan kredit yang tidak terlalu besar tentunya akan merasa berat terhadap pengenaan biaya pengikatan APHT. Selain biaya administrasi dan biaya materai pada saat pengajuan kredit, pihak nasabah juga 135 dikenakan biaya pengecekan resmi oleh Kantor Pertanahan, biaya map permohonan, biaya penerimaan negara bukan pajak (PNBP), biaya pendaftaran, dan biaya sebagai jasa PPAT; 6. Objek tanah yang diserahkan oleh pihak debitor hanya digunakan sebagai jaminan tambahan dan bukan berkedudukan sebagai jaminan pokok, sehingga untuk objek tanah yang berfungsi sebagai jaminan tambahan tidak dilakukan pengikatan dengan APHT oleh LPD. Alasan - alasan tersebut di atas menjadi suatu bahan pertimbangan bagi LPD untuk tidak melakukan pengikatan dengan APHT dan pendaftaran terhadap Hak Tanggungan. Keputusan pihak LPD atas pertimbangan tersebut bertentangan dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 10 ayat (2) dan Pasal 13 ayat (1) UUHT. 3.4 Kriteria Penggolongan Kredit Macet Pada LPD di Kota Denpasar Fasilitas kredit yang telah diberikan oleh pihak LPD kepada debitor tidak seluruhnya mengalami kelancaran dalam proses pengembalian kreditnya. Pada prakteknya, selalu ada debitor yang tidak dapat mengembalikan kreditnya dengan lancar sesuai dengan ketentuan yang tercantum di dalam perjanjian kredit yang telah disepakati oleh kedua belah pihak. Debitor yang tidak memenuhi kewajibannya kepada kreditor, maka akan tergambar perjalanan kredit menjadi terhenti atau macet. Berdasarkan uraian tersebut, apa yang dimaksud dengan kredit macet atau kapan suatu kredit dapat dinyatakan macet tidak diatur dalam Undang-Undang Perbankan. Namun pengaturan mengenai penggolongan kolektibilitas kredit 136 terdapat di dalam Peraturan Walikota Denpasar Nomor 40 Tahun 2006 Tanggal 29 Desember 2006 tentang Pedoman Pembinaan LPD di Kota Denpasar (Berita Daerah Kota Denpasar Tahun 2006 Nomor 37), selanjutnya disebut Peraturan Walikota Denpasar No. 40/2006. Kriteria penggolongan kolektibilitas pinjaman berdasarkan Peraturan Walikota Denpasar No. 40/2006 tersebut di atas, meliputi: 1. Lancar Suatu pinjaman digolongkan lancar harus memenuhi kriteria-kriteria tertentu. Adapun kriteria suatu kredit dikatakan lancar, yaitu a. Tidak terdapat tunggakan angsuran pokok dan tunggakan bunga; atau; b. Terdapat tunggakan angsuran pokok; dan - Belum melampaui 1 (satu) bulan bagi pinjaman yang ditetapkan masa angsurannya kurang dari 1 (satu) bulan; - Belum melampaui 3 (tiga) bulan bagi pinjaman yang ditetapkan masa angsurannya bulanan, dua bulanan, atau tiga bulanan; atau - Belum melampaui 6 (enam) bulan bagi peminjam yang masa angsurannya ditetapkan 4 (empat) bulanan atau lebih; atau c. Terdapat tunggakan bunga, tetapi: - Belum melampaui 1 (satu) bulan bagi yang masa angsuran kurang dari 1 (satu) bulan; atau - Belum melampaui 3 (tiga) bulan bagi pinjaman yang masa angsuran lebih dari 1 (satu) bulan. 137 2. Kurang Lancar Suatu pinjaman digolongkan kurang lancar apabila memenuhi kriteria – kriteria tertentu. Adapun kriteria suatu kredit dikatakan kurang lancar, yaitu: a. Terdapat tunggakan angsuran pokok yang: - Melampaui 1 (satu) bulan dan belum melampaui 2 (dua) bulan bagi pinjaman dengan masa angsuran kurang dari 1 (satu) bulan; atau - Melampaui 3 (tiga) bulan dan belum melampaui 6 (enam) bulan dari pinjaman yang masa angsurannya ditetapkan bulanan, dua bulanan, atau tiga bulanan; atau - Melampaui 6 (enam) bulan tetapi belum melampaui 12 (dua belas) bulan dari pinjaman yang masa angsurannya ditetapkan 6 (enam) bulanan atau lebih; atau b. Terdapat tunggakan bunga yang: - Melampaui 1 (satu) bulan tetapi belum melampaui 3 (tiga) bulan bagi pinjaman dengan masa angsuran kurang dari 1 (satu) bulan; atau; - Melampaui 3 (tiga) bulan tetapi belum melampaui 6 (enam) bulan bagi pinjaman yang masa angsurannya lebih dari 1 (satu) bulan. 3. Diragukan Suatu pinjaman digolongkan diragukan apabila pinjaman yang bersangkutan tidak memenuhi kriteria lancar dan kurang lancar. Namun, berdasarkan penilaian dapat disimpulkan bahwa: a. Pinjaman masih dapat diselamatkan dan agunannya bernilai sekurangkurangnya 75 % (tujuh puluh lima persen) dari hutang debitor; 138 b. Pinjaman tidak dapat diselamatkan tetapi agunannya masih bernilai sekurang-kurangnya 100 % (seratus persen) dari hutang debitor. 4. Macet Suatu pinjaman digolongkan macet apabila memenuhi kriteria – kriteria tertentu. Adapun kriteria suatu kredit dikatakan berpotensi macet, yaitu: a. Tidak memenuhi kriteria lancar, kurang lancar, dan seperti tersebut pada angka 1, 2, dan 3; atau b. Memenuhi kriteria diragukan tersebut pada angka 3, tetapi dalam jangka waktu 21 (dua puluh satu) bulan sejak digolongkan diragukan belum ada pelunasan atau usaha penyelamatan pinjaman; atau c. Pinjaman tersebut penyelesaiannya telah diserahkan kepada lembaga atau badan yang berhak menangani pinjaman macet. Ketentuan yang tercantum di dalam kolektibilitas kredit di atas belum mengatur mengenai definisi dari kredit macet. Kolektibilitas kredit di atas hanya menunjukkan bagaimana tanda – tanda kredit yang diberikan oleh kreditor kepada debitor berpotensi sebagai kredit macet. Pada praktek perkreditan di LPD, sering dijumpai istilah kredit bermasalah. Sesungguhnya pengertian dari kredit bermasalah dengan kredit macet memiliki perbedaan. Secara konsepsional, definisi dari kredit bermasalah adalah kredit dengan kolektibilitas kurang lancar ditambah dengan kredit-kredit yang memiliki kolektibilitas diragukan dan yang mempunyai potensi menjadi kredit macet118. Kolektibilitas kredit kurang lancar, kredit diragukan, dan kredit macet 118 Hermansyah, op.cit, hal. 75. 139 dapat digolongkan ke dalam kredit bermasalah karena ciri-ciri dari ketiga kredit tersebut telah menunjukkan bahwa ketidakpatuhan debitor dalam waktu yang lama mengenai jangka waktu pembayaran kredit yang telah diatur di dalam perjanjian kredit. Kredit kurang lancar, kredit diragukan, dan kredit macet sudah termasuk wanprestasi. Suatu prestasi merupakan pemberian kredit yaitu perjanjian pinjam meminjam uang serta pengembalian kredit atau pembayaran angsuran kredit setiap bulannya. Apabila pihak debitor tidak melaksanakan kewajibannya dalam melakukan pembayaran angsuran kredit sesuai dengan waktu yang telah ditentukan dalam perjanjian kredit, maka perbuatannya disebut wanprestasi. Berdasarkan konsep wanprestasi tersebut di atas, maka dapat dirumuskan kapan terjadinya wanprestasi oleh pihak debitor. Wanprestasi dianggap terjadi, apabila119: 1. Utang tidak dikembalikan sama sekali Utang yang sama sekali tidak dikembalikan oleh pihak debitor, dapat dianggap debitor tersebut beritikad tidak baik. Utang yang tidak dibayar sama sekali perlu diketahui penyebabnya, apakah penyebabnya memang karena kesengajaan atau pihak debitor tertimpa musibah di luar kehendaknya. Jika telah diketahui penyebabnya, maka pihak kreditor dapat mengambil sikap untuk meminta pertanggungjawaban pihak debitor. 119 Gatot Supramono, 2013, Perjanjian Utang Piutang, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, (selanjutnya disingkat Gatot Supramono II), hal. 31 – 35. 140 2. Mengembalikan utang hanya sebagian Utang yang dikembalikan hanya sebagian oleh pihak debitor memiliki 2 (dua) kemungkinan. Kemungkinan pertama, yaitu pengembalian utang sebagian kecil dan pengembalian utang sebagian besar. Utang yang dikembalikan dalam jumlah sebagian kecil maupun besar tetap saja masih terdapat sisa utang. Sisa utang tersebut dapat berupa bunga yang terbayarkan oleh pihak debitor atau hutang pokok yang belum terbayarkan sedangkan bunganya sudah terlunasi. 3. Mengembalikan utang tetapi terlambat waktunya Keterlambatan pembayaran utang oleh pihak debitor dapat dilihat dari segi waktunya, apakah waktu keterlambatan tersebut dalam hitungan hari, bulan atau tahun. Keterlambatan pembayaran utang baik dalam waktu yang lama ataupun tidak tetap digolongkan sebagai wanprestasi. Kredit macet digolongkan dalam kriteria kredit bermasalah, akan tetapi kredit bermasalah belum tentu menimbulkan suatu kemacetan dalam pembayaran kredit. Kedua kredit tersebut, yaitu kredit macet dan bermasalah selalu diukur dari kolektibilitas kredit yang bersangkutan. Kolektibilitas tersebut dilihat dari keadaan pembayaran oleh pihak debitor, yaitu meliputi hutang pokok beserta bunga kreditnya dan tingkat kemungkinan diterimanya dana tersebut kepada pihak kreditor120. 120 I Nyoman Budiarna, 2007, Prinsip “Pang Pada Payu” Dalam Hukum Ekonomi Indonesia, PT.Mabhakti, Denpasar, hal. 71. 141 3.5 Faktor - Faktor Penyebab Terjadinya Kredit Macet di LPD Kota Denpasar Analisis kredit merupakan prinsip kehati–hatian pihak LPD yang diperkirakan dapat mencegah terjadinya kredit macet. Namun, ternyata masalah kredit macet masih saja terus berlanjut. Banyak hal yang menjadi faktor penyebabnya. Berikut adalah hasil wawancara dari para informan mengenai faktor-faktor apa saja yang menyebabkan pihak debitor tidak melaksanakan kewajibannya sehingga menimbulkan kemacetan pada kredit yang dipinjam. Menurut hasil wawancara dari Bapak I Wayan Rayun, Kepala LPD Desa Pakraman Kesiman, kredit macet disebabkan memang dari debitor dan bukan dari pihak LPD. Debitor meminjam kredit untuk membantu kelancaran usahanya, namun usahanya mengalami kebangkrutan sehingga sisa hutang yang dipinjam tidak mampu untuk dilunasi. Selain itu, kredit macet juga disebabkan oleh pihak debitor mengalami musibah. Misalnya, ditipu masalah keuangan oleh rekan bisnisnya sehingga dapat menghambat pembayaran kredit ke LPD. Ada juga penyebab kredit macet disebabkan karena pihak debitor memang beritikad tidak baik untuk melakukan pembayaran. Nasabah yang beritikad tidak baik ini tergolong nasabah yang karakternya sulit diatur. (wawancara pada tanggal 16 Juli 2013). Keterangan yang sama juga diberikan oleh Bapak I Wayan Brata, Kepala LPD Desa Pakraman Penatih. (wawancara pada tanggal 8 Juli 2013). Keterangan lain juga diberikan oleh Bapak I Wayan Warta, Kepala LPD Desa Pakraman Peninjoan, kredit macet biasanya terjadi karena adanya keperluan yang sangat mendesak didahulukan oleh pihak debitor, sehingga mereka tidak dapat 142 melanjutkan kewajibannnya terhadap pelunasan kreditnya di LPD. Kredit macet ini biasanya ditandai dengan pembayaran kredit oleh debitor yang tidak sesuai dengan angsuran kredit yang telah ditentukan dalam perjanjian kredit. (wawancara pada tanggal 6 Juli 2013). Wawancara juga dilakukan oleh Bapak I Made Sutarka, Kepala LPD Desa Pakraman Anggabaya, debitor kurang baik mengelola usahanya sehingga pada saat jatuh tempo pelunasan kreditnya pihak debitor tidak memiliki dana untuk melunasi hutangnya. (wawancara pada tanggal 19 Juli 2013). Hal yang sama juga disampaikan oleh Bapak I Made Darsana selaku Kepala LPD Desa Pakraman Sumerta. (wawancara pada tanggal 01 Agustus 2013). Bapak I Wayan Loka, Kepala LPD Desa Pakraman Sanur, mengatakan bahwa penyebab terjadinya kredit macet karena kebutuhan uang dari debitor tidak diperhitungkan, sehingga pada saatnya jatuh tempo tidak mampu untuk melakukan pembayaran angsuran kredit. Selain itu, terdapat juga pihak debitor yang berkecimpung dalam bisnis usaha pengkaplingan tanah yang tidak berhasil untuk menjualkan tanahnya kepada pembeli, sehingga tidak ada pemasukan untuk melakukan pembayaran kredit kepada LPD. (wawancara pada tanggal 30 Juli 2013). Wawancara juga dilakukan oleh Bapak I Made Adnyana, Kepala LPD Desa Pakraman Penyaringan, mengungkapkan bahwa terdapat 2 (dua) faktor penyebab pihak debitor tidak dapat melaksanakan kewajibannya sesuai dengan kesepakatan dalam perjanjian kredit. Kedua faktor tersebut adalah faktor penghasilan usaha 143 dari pihak debitor yang tidak sesuai dengan harapan dan adanya kebutuhan di luar perkiraan debitor. (wawancara pada tanggal 30 Juli 2013). Bapak I Wayan Mudana selaku Kepala LPD Desa Pakraman Intaran, mengutarakan pendapatnya tentang faktor penyebab kredit macet. Kredit macet tidak hanya disebabkan oleh pihak debitor yang memiliki karakter yang tidak baik. Terkadang debitor yang memiliki karakter baik juga mengalami kredit macet karena disebabkan oleh musibah yang menimpanya, misalnya debitor yang rajin bekerja dan mampu membayar angsuran kredit setiap bulannya mengidap sakit keras dan mengharuskannya berhenti dari pekerjaan sehingga debitor tidak mempunyai penghasilan untuk melunasi kewajibannya. (wawancara pada tanggal 12 Agustus 2013). Penyebab kredit macet juga bisa disebabkan oleh pihak LPD yang terlalu percaya atau memiliki keyakinan yang berlebihan terhadap usaha yang dijalankan oleh pihak debitor, sehingga dalam melakukan analisis kredit menjadi kurang hati-hati. Keyakinan yang berlebihan ini biasanya ditujukan kepada debitor yang merupakan masyarakat asli desa pakraman. Hal ini disampaikan oleh Bapak I Wayan Sumadi sebagai Kepala LPD Desa Pakraman Yangbatu. (wawancara pada tanggal 01 Agustus 2013). Pembinaan yang kurang intensif akibat keterbatasan jumlah karyawan LPD juga menjadi salah satu penyebab terjadinya kredit macet oleh pihak debitor serta faktor usaha yang digeluti oleh pihak debitor belum lama dijalankan sehingga pemasukan pihak debitor setiap bulannya belum pasti untuk mencukupi kebutuhan dan angsuran kredit di LPD juga menjadi faktor utama penyebab kredit 144 macet. Hal ini dikemukakan oleh Bapak I Made Medal sebagai Kepala LPD Desa Pakraman Tembawu. (wawancara pada tanggal 10 Agustus 2013). Bapak I Made Astra Wijaya, Kepala LPD Desa Pakraman Padang Sambian, mengutarakan pendapatnya bahwa pihak debitor tidak hanya memiliki kredit di satu LPD, sehingga pihak debitor mengalami kesulitan untuk melunasi kreditkreditnya di LPD dan di tempat lain, serta keadaan usaha dari pihak debitor dalam keadaan tidak lancar. Kedua hal tersebut memicu terjadinya kredit macet di LPD. (wawancara pada tanggal 05 Agustus 2013). Bapak I Wayan Madya, Kepala LPD Desa Pakraman Renon, juga menjelaskan mengenai penyebab terjadinya kredit macet. Faktor penyebab kredit macet, antara lain usaha debitor yang tidak selalu berjalan lancar, analisa kredit yang kurang akurat, serta faktor karakter dari nasabah itu sendiri. (wawancara pada tanggal 12 Agustus 2013). Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa Kepala LPD tersebut di atas, menunjukkan bahwa faktor penyebab timbulnya kredit macet tidak hanya disebabkan oleh pihak debitor, akan tetapi juga disebabkan oleh pihak LPD selaku kreditor. Penyebab terjadinya kredit macet yang disebabkan oleh pihak debitor, antara lain permasalahan dalam bidang usaha yang dijalankan debitor, debitor tertimpa musibah, debitor bertikad tidak baik, kebutuhan dana dari pihak debitor yang kurang diperhitungkan. Penyebab terjadinya kredit macet yang disebabkan oleh pihak intern LPD adalah kepercayaan berlebihan terhadap debitor yang mengajukan permohonan kredit. Namun kenyataannya pihak debitor yang terlalu dipercaya oleh LPD 145 karena usaha maupun jabatannya yang tinggi juga mengalami kemacetan pembayaran angsuran kredit. 3.6 Hak LPD Selaku Kreditor Dalam Mengambil Pelunasan Piutang Dari Kredit Macet Dengan Jaminan Sertifikat Hak Milik Atas Tanah Tanpa Diikat Dengan APHT Proses pemberian Hak Tanggungan dengan APHT merupakan impelementasi dari salah satu prinsip kehati – hatian yang wajib diterapkan oleh LPD selaku kreditor untuk mengamankan jaminan (collateral) yang diserahkan oleh pihak debitor kepada LPD. Proses pemberian Hak Tanggungan sehubungan dengan kredit yang dijaminkan dengan sertifikat hak milik atas tanah tentunya meliputi syarat dan ketentuan yang telah ditetapkan oleh kedua belah pihak, yaitu debitor dan kreditor. Syarat dan ketentuan tersebut telah dituangkan di dalam APHT. APHT yang ditandatangani oleh pihak debitor, kreditor, dan PPAT belum dapat melahirkan Hak Tanggungan. Hal ini dikarenakan Hak Tanggungan tersebut akan lahir apabila telah melakukan proses pendaftaran ke BPN. Pembuatan APHT terhadap sebidang tanah yang dijadikan jaminan pelunasan hutang oleh pihak debitor, tidak cukup hanya ditandatangani oleh kedua belah pihak, akan tetapi APHT tersebut akan dikirim sebagai kelengkapan syarat pendaftaran Hak Tanggungan. Pasal 13 ayat (2) UUHT menentukan bahwa: “APHT beserta surat-surat lain yang diperlukan bagi pendaftarannya wajib dikirimkan oleh PPAT kepada Kantor Pertanahan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah penandatanganannya”. Perbuatan hukum pendaftaran tersebut tujuannya adalah untuk memperoleh kelahiran Hak Tanggungan. 146 Pendaftaran Hak Tanggungan merupakan perwujudan asas publisitas, salah satu pilar di dalam sistem pendaftaran hak atas tanah dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3696), selanjutnya disebut PP Nomor 24 Tahun 1997. Pasal 3 PP Nomor 24 Tahun 1997, menyatakan bahwa: Pendaftaran tanah bertujuan: a. Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun, dan hak-hak lain yang terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan; b. Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan termasuk Pemerintah agar dengan mudah dapat memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun yang sudah terdaftar; c. Untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan. Tujuan pendaftaran tanah sebagaimana tercantum dalam Pasal 3 PP Nomor 24 Tahun 1997 merupakan tujuan utama pendaftaran tanah yang diperintahkan Pasal 19 UUPA. Begitu juga dengan pembebanan Hak Tanggungan harus didaftarkan agar memenuhi asas publisitas. Asas publisitas ialah pencatatan dari pembebanan obyek Hak Tanggungan agar setiap orang (umum) yang ingin mendapatkan informasi tentang kepemilikan tanah/pemegang Hak Tanggungan dapat melihat buku tanah atau buku tanah Hak Tanggungan. Definisi tersebut memberikan gambaran bahwa asas publisitas bersifat terbuka dan serta diketahui umum121. Selain sebagai pemenuhan asas publisitas, pendaftaran tanah juga dilakukan untuk memenuhi asas aman. Asas aman berarti pendaftaran tanah dapat 121 Mariam Darus Badrulzaman, op.cit, hal. 13. 147 memberikan jaminan kepastian hukum, sehingga pelaksanaannya harus dengan teliti dan cermat122. Mengenai jaminan kepastian hukum, Roscoe Pound memberikan suatu pernyataan. Roscoe Pound menyebutkan bahwa kepastian hukum memungkinkan adanya predictability123. Kepastian hukum mengandung 2 (dua) pengertian, yaitu pertama, adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan; dan kedua, berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena adanya aturan yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh negara terhadap individu124. Berdasarkan pengertian dari kepastian hukum yang dikemukakan oleh Roscoe Pound tersebut, menunjukkan bahwa penyertaan APHT dan pendaftaran Hak Tanggungan merupakan suatu aturan yang harus dipatuhi. Pelaksanaan kewajiban pendaftaran Hak Tanggungan yang diatur dalam Pasal 13 ayat (1) dan ayat (2) UUHT akan menimbulkan suatu kepastian hukum terhadap lahirnya Hak Tanggungan yang sangat berpengaruh terhadap kedudukan LPD selaku kreditor. Sebagai tanda bukti lahirnya Hak Tanggungan, maka Kantor Pertanahan mengeluarkan sertifikat Hak Tanggungan. Pendaftaran Hak Tanggungan dalam pemenuhan asas publisitas wajib dilaksanakan oleh pihak LPD karena pengaturannya sudah jelas dicantumkan dalam UUHT. Ketentuan dalam UUHT sangat berbeda dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (Lembaran Negara Republik 122 Aartje Tehupeiory, 2012, Pentingnya Pendaftaran Tanah di Indonesia, Raih Asa Sukses, Bogor, hal. 23. 123 Peter Mahmud Marzuki I, loc.cit. 124 Peter Mahmud Marzuki I, loc.cit. 148 Indonesia Tahun 1999 Nomor 168, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3889), selanjutnya disebut UUJF. Pendaftaran fidusia diatur dalam Pasal 11 ayat (1) UUJF, yang menyatakan bahwa: “Benda yang dibebani dengan Jaminan Fidusia wajib didaftarkan”. UUJF tidak mencantumkan kapan seharusnya jaminan Fidusia didaftarkan, sehingga para pelaku usaha memiliki keragu-raguan akan jangka waktu terhadap pendaftaran jaminan fidusia. Perbedaan ini sungguh terlihat jelas bahwa pengaturan dalam UUHT sudah bersifat tegas dan memberikan kepastian hukum jika dibandingkan dengan UUJF yang belum memberikan kepastian hukum terhadap pendaftaran jaminan fidusia. Oleh karena itu, kepastian mengenai saat didaftarnya Hak Tanggungan tersebut adalah sangat penting bagi kreditor, terutama pada saat melaksanakan eksekusi guna pengambilan pelunasan piutangnya apabila debitor wanprestasi. Pendaftaran Hak Tanggungan akan memberikan hak mendahului kepada LPD dari kreditor-kreditor lainnya (droit de preference). Manfaat lain dari pendaftaran Hak Tanggungan juga dapat dirasakan oleh pihak kreditor yaitu pada saat penentuan peringkatnya dalam hubungannya dengan kreditor-kreditor lain yang juga pemegang Hak Tanggungan. Droit de preference merupakan sifat khusus yang dimiliki oleh hak kebendaan125. Kreditor yang berkedudukan sebagai kreditor preferent memiliki keistimewaan dalam hal mendapatkan pelunasan piutang apabila debitor wanprestasi. Kreditor tersebut berhak didahulukan untuk mengambil hasil 125 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, 2005, Hak Tanggungan, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hal. 173. 149 eksekusi benda yang telah diperikatkan untuk dijadikan jaminan tagihan pihak kreditor, sehingga kedudukan preferent baru mempunyai suatu peranan penting dalam hal eksekusi126. Hak mendahului atau hak didahulukan bertalian erat dengan eksekusi Hak Tanggungan. Pengaturan mengenai pengambilan pelunasan piutang atas hasil eksekusi Hak Tanggungan oleh pemegang Hak Tanggungan dijumpai dalam Pasal 20 ayat (1) UUHT. Pasal 20 ayat (1) huruf b UUHT, menyatakan bahwa: Titel eksekutorial yang terdapat dalam sertifikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2), objek Hak Tanggungan dijual melalui pelelangan umum menurut tata cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan untuk pelunasan piutang pemegang Hak Tanggungan dengan hak mendahulu dari kreditor-kreditor lainnya. Ketentuan di dalam Pasal 20 ayat (1) huruf b UUHT memberikan pemahaman bahwa terdapat 2 (kata) yang terkandung dalam Pasal tersebut. Kata – kata tersebut adalah “kedudukan yang diutamakan” dan “hak mendahului” atau hak yang didahulukan127. Dalam hal eksekusi Hak Tanggungan, maka pihak LPD mendapatkan “hak mendahului” untuk mengambil pelunasan piutangnya apabila debitor wanprestasi, selanjutnya kedudukan LPD disebut “kedudukan yang diutamakan”. Apabila pihak debitor memiliki banyak kreditor (bukan LPD saja), maka pihak LPD berhak mendapatkan pelunasan terlebih dahulu dibandingkan dengan kreditor-kreditor lainnya. Namun, LPD selaku kreditor pemegang Hak Tanggungan tidak melakukan tata cara pembebanan dan pendaftaran Hak Tanggungan yang telah tercantum di 126 J. Satrio, 2002, Hukum Jaminan, Hak-Hak Jaminan Kebendaan, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 281. 127 Rachmadi Usman I, op.cit, hal. 336. 150 dalam UUHT. Praktek yang dijalankan oleh pihak LPD tidak sejalan dengan prinsip hukum yang terkandung di dalam UUHT padahal kewajiban akan pendaftaran Hak Tanggungan merupakan suatu norma yang bersifat memaksa dan tidak dapat disimpangi guna memberikan kepastian hukum kepada kreditor. Kepastian hukum tidak dapat tercapai karena 3 (tiga) komponen dari sistem hukum tidak berjalan dengan baik. Lawrence M. Friedman mengemukakan bahwa ketiga komponen dari sistem hukum terdiri dari struktur hukum, substansi hukum, dan kultur hukum. Struktur hukum menyangkut aparat penegak hukum, kemudian substansi hukum dipengaruhi oleh perangkat perundang-undangan, dan budaya hukum merupakan opini, kepercayaan, kebiasaan, cara berpikir, dan cara bertindak para penegak hukum128. Praktek menyimpang yang dilakukan oleh LPD menunjukkan bahwa beberapa LPD di Kota Denpasar yang dijadikan objek penelitian dalam penulisan ini mempunyai kebiasaan-kebiasaan dan cara berpikir sendiri dalam mengambil keputusan untuk tidak melakukan pengikatan dengan APHT pada saat pemberian kredit dengan jaminan sertifikat hak milik atas tanah. Kebiasaan-kebiasaan dan cara berpikir dari pihak LPD tersebut mempengaruhi kepatuhan mereka terhadap ketentuan yang tercantum di dalam UUHT, padahal ketentuan dalam UUHT tersebut memberikan kepastian hukum kepada LPD. Ketidakpatuhan pihak LPD terhadap ketentuan dalam Pasal 10 ayat (2) UUHT yang dilakukan secara terus – menerus menyebabkan perilaku dari LPD tersebut akan menjadi suatu budaya. Jika suatu perilaku yang menyimpang dari 128 Achmad Ali, loc.cit. 151 aturan menjadi suatu budaya, maka budaya tersebut akan sulit untuk diubah, sehingga ketiga komponen yang terkandung di dalam sistem hukum menjadi tidak berjalan secara seimbang karena beberapa LPD di Kota Denpasar mempunyai suatu kebijaksanaan atau cara-cara tersendiri yang sudah diterapkan dalam menjalankan kegiatan pemberian kredit kepada debitor. Pemberian kredit dengan jaminan sertifikat hak milik atas tanah yang tidak diikat oleh APHT tidak selalu berjalan dengan lancar. Beberapa debitor ada yang tidak melaksanakan kewajibannya dalam pembayaran angsuran kredit setiap bulannya, sehingga pihak LPD tidak mendapatkan pelunasan piutang yang menjadi haknya. Kewajiban pembayaran angsuran setiap bulan oleh debitor merupakan hak dari LPD selaku kreditor. Hak dan kewajiban ini tertuang di dalam perjanjian kredit yang telah ditandatangani oleh kedua belah pihak. Apabila pihak debitor melakukan pelanggaran terhadap kewajibannya, maka ia juga telah melanggar hak dari LPD selaku kreditor. Pelanggaran kewajiban yang dilakukan oleh pihak debitor menyebabkan terjadinya kredit macet. Kredit macet yang disebabkan oleh pihak debitor tidak melaksanakan kewajibannya akan menyebabkan kerugian bagi pihak LPD selaku kreditor. Terhadap pelanggaran hak dan kewajiban tersebut, LPD tetap berhak mendapatkan pelunasan piutangnya. Oleh karena itu, apabila debitor mengalami kemacetan membayar maka pihak LPD berhak mendapatkan pelunasan piutang, namun tidak bersifat mendahului dari kreditor-kreditor lainnya. Berbeda halnya dengan pihak debitor yang menjaminkan sertifikat hak milik atas tanah hanya 152 kepada LPD (satu kreditor) dan tidak ada kreditor lainnya, maka seluruh hasil dari nilai jaminan sertifikat hak milik atas tanah akan menjadi hak dari LPD dan tidak diperlukan lagi pembagian menurut keseimbangan dengan memperhitungkan besar kecilnya piutang kreditor lain. Hak LPD terhadap pelunasan piutang yang tidak bersifat mendahului ini disebabkan karena kewajiban pendaftaran Hak Tanggungan tidak dilakukan oleh pihak LPD. Hal ini disebabkan dalam pemberian Hak Tanggungan pihak LPD tidak menggunakan APHT. Pemberian Hak Tanggungan hanya dilakukan dengan pembuatan dan penandatanganan perjanjian kredit sebagai perjanjian pokok dan tidak diiikuti dengan perjanjian tambahan (accessoir). Praktek yang dilakukan oleh LPD saat ini menimbulkan suatu ketidakpastian terhadap kapan lahirnya Hak Tanggungan. Kewajiban pendaftaran yang tidak dilaksanakan oleh pihak LPD, maka Hak Tanggungan tersebut tidak akan lahir serta tidak melahirkan hak mendahului terhadap LPD dalam pengambilan pelunasan piutangnya apabila debitor wanprestasi. Konsekuensi hukum yang ditimbulkan dari penyimpangan yang dilakukan oleh LPD terhadap ketentuan dalam UUHT menyebabkan kedudukan LPD menjadi kreditor konkuren dalam hal pengambilan pelunasan piutangnya apabila debitor wanprestasi. Kreditor konkuren ini diatur dalam Pasal 1132 KUHPerdata. Pasal 1132 KUHPerdata, menentukan bahwa: Kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang mengutangkan padanya; pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi menurut keseimbangan, yaitu menurut besar kecilnya piutang masing-masing, kecuali apabila diantara para berpiutang itu ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan. 153 Pasal 1132 KUHPerdata memberikan pemahaman bahwa para kreditor konkuren mempunyai kedudukan yang sama atas pelunasan utang dari harta debitor tanpa ada yang didahulukan. Jerry Hoff memberikan penjelasan mengenai kreditor konkuren. Jerry Hoff menjelaskan bahwa unsecured creditor atau yang dikenal dengan kreditor konkuren yaitu kreditor yang tidak memiliki jaminan kebendaan129. Untuk mengambil pelunasan piutang apabila debitor mengalami kemacetan pembayaran kredit, maka dalam prakteknya antara pihak LPD dan pihak debitor menandatangani surat kuasa menjual. Surat kuasa menjual tersebut memuat tentang kuasa yang diberikan oleh pihak debitor kepada LPD untuk menjual obyek Hak Tanggungan apabila debitor mengalami kemacetan membayar. Pembuatan surat kuasa menjual ini mengacu pada suatu peraturan, yaitu Peraturan Walikota Denpasar No. 40/2006. Kuasa menjual yang dibuat oleh Pihak LPD bersifat di bawah tangan dan tidak mengandung kekuatan eksekutorial layaknya sertifikat Hak Tanggungan, sehingga tidak memberikan hak mendahului dalam pengambilan piutangnya. Atas dasar surat kuasa menjual yang tidak dibuat secara notariil tidak mengakibatkan LPD memiliki hak preference dan kekuatan eksekutorial sebagaimana jaminan Hak Tanggungan karena pihak LPD tidak memiliki sertifikat Hak Tanggungan yang merupakan bukti dari telah didaftarkannya Hak Tanggungan di Kantor Pertanahan. 129 Edward Manik, 2012, Cara Mudah Memahami Proses Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, CV. Mandar Maju, Bandung. 154 BAB IV PELAKSANAAN PENGAWASAN OLEH BADAN PENGAWAS INTERNAL DAN EKSTERNAL TERHADAP PRAKTEK PEMBERIAN KREDIT OLEH LPD DENGAN JAMINAN SERTIFIKAT HAK MILIK ATAS TANAH YANG TIDAK DIIKAT DENGAN APHT 4.1 Kewenangan Pengawasan LPD Oleh Badan Pengawas Internal Sistem operasional LPD yang sehat, menguntungkan dan konstruktif harus didasarkan atas prosedur, praktek, dan operasi yang layak. Pencapaian kondisi LPD tersebut dapat diwujudkan dengan menunjuk kepada tingginya tingkat pengawasan internal oleh badan yang berwenang. Tingkat efektifitas pengawasan internal sangat menentukan tingkat kesehatan dan keamanan LPD itu sendiri. Pasal 1 angka 13 Perda LPD No. 4/2012 mengatur mengenai definisi dari pengawas internal. Pasal 1 angka 13 Perda LPD No. 4/2012, menyatakan bahwa: “Pengawas internal adalah badan pengawas yang dibentuk oleh desa pakraman bertugas melakukan pengawasan terhadap pengelolaan LPD”. Tanggung jawab utama untuk pengawasan internal terletak di pundak badan pengawas internal. Sebelum Perda LPD mengalami perubahan, pengawasan internal LPD diatur dalam Pasal 12 Perda LPD No. 8/2002. Pasal 12 Perda LPD No. 8/2002, menyatakan bahwa: (1) Pengawas terdiri dari Ketua dan sekurang-kurangnya 2 (dua) orang anggota; (2) Ketua dijabat oleh Bendesa karena jabatannya; (3) Ketua Pengawas dari LPD yang dibentuk berdasarkan Pasal 4, dijabat secara bergilir diantara Bendesa berdasarkan kesepakatan; (4) Anggota Pengawas dipilih oleh Krama Desa; (5) Ketua dan Anggota Pengawas tidak dapat merangkap sebagai Pengurus. 155 Berdasarkan ketentuan Pasal 12 Perda LPD No. 8/2002, dapat diketahui bahwa bendesa dan 2 (dua) anggota lainnya memiliki kewenangan untuk melakukan pengawasan terhadap LPD. Sjachran Basah mengemukakan bahwa sumber kewenangan dapat diperoleh dari peraturan perundang-undangan, baik secara langsung (atribusi), pelimpahan (delegasi), ataupun penugasan (mandat)130. Jika memperhatikan Pasal 12 Perda LPD No. 8/2002, maka bendesa adat dan 2 (dua) orang lainnya diberikan kewenangan secara atribusi karena Perda LPD menunjuk langsung bendesa dan 2 (dua) orang lainnya menjadi pengawas internal LPD. Hal ini sejalan dengan pandangan Sjachran Basah. Beliau menentukan bahwa kewenangan yang diperoleh dari peraturan perundang-undangan secara langsung merupakan kewenangan atribusi131. Pada tanggal 29 Maret 2007, diundangkanlah Perda LPD No. 3/2007 sebagai perubahan pertama Perda LPD No. 8/2002. Pasal 12 dalam Perda LPD No. 3/2007 yang mengatur mengenai pengawas internal dihapuskan. Namun, Perda LPD No. 3/2007 memberikan kewenangan kepada Gubernur untuk mengatur mengenai tugas dan tanggung jawab pengawas internal LPD. Kewenangan tersebut tercantum dalam Pasal 10 ayat (2) Perda LPD No.3/2007. Pasal 10 ayat (2) Perda LPD No. 3/2007, menentukan bahwa: “Ketentuan mengenai pengurus dan pengawas internal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Gubernur”. Ketentuan dalam Pasal 10 ayat (2) Perda LPD No. 3/2007, menunjukkan bahwa kewenangan diberikan secara atribusi kepada Gubernur karena 130 131 Sjachran Basah, loc.cit. Sjachran Basah, loc.cit. 156 kewenangan tersebut secara langsung diperoleh dari Perda LPD No. 3/2007. Berdasarkan kewenangan atribusi yang diberikan oleh Perda LPD No. 3/2007, maka Gubernur mengeluarkan suatu peraturan khusus, yaitu Peraturan Gubernur Bali No.16/2008. Melalui Peraturan Gubernur Bali No. 16/2008, maka bendesa adat bersama 2 (dua) orang anggota lainnya diberikan kewenangan secara atribusi untuk menjalankan fungsi pengawasan internal terhadap LPD. Kewenangan atribusi tersebut diimplementasikan di dalam Pasal 9 Peraturan Gubernur Bali No. 16/2008, menyatakan bahwa: (1) Pengawas terdiri dari Ketua dan sekurang-kurangnya 2 (dua) orang anggota; (2) Ketua sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dijabat oleh Bendesa Pakraman; (3) Anggota Pengawas dipilih oleh krama desa; (4) Ketua dan anggota Pengawas tidak dapat merangkap sebagai Pengurus. Berdasarkan kewenangan tersebut, maka bendesa adat beserta 2 (dua) orang lainnya ditunjuk sebagai badan pengawas internal serta dibebani tanggung jawab untuk memutuskan dalam pengambilan suatu tindakan yang sesuai dengan peraturan-peraturan yang berlaku, sehingga berdampak positif terhadap perkembangan LPD. Badan pengawas internal diberikan kewenangan untuk mengawasi dengan sungguh-sungguh dan menjadi panutan bagi pihak LPD agar melaksanakan kegiatan usaha sesuai dengan peraturan yang berlaku. Tanggung jawab yang dibebankan kepada badan pengawas internal bukan saja bertanggung jawab terhadap tindakan menyimpang yang dilakukan oleh LPD, tetapi juga kegagalan dalam pengambilan suatu solusi terhadap permasalahan yang sedang dihadapi oleh pihak LPD. Bentuk tanggung jawab badan pengawas 157 internal merupakan bagian dari tugas yang harus dijalankan oleh badan pengawas internal. Adapun tugas dari badan pengawas internal tercantum di dalam Pasal 12 Peraturan Gubernur No. 16/2008. Pasal 12 Peraturan Gubernur No. 16/2008, menyatakan bahwa: Pengawas mempunyai tugas: a. mengawasi pengelolaan LPD; b. memberikan petunjuk kepada pengurus; c. memberikan saran, pertimbangan, dan ikut menyelesaikan permasalahan; d. mensosialisasikan keberadaan LPD; e. mengevaluasikan kinerja pengurus secara berkala; f. menyusun dan menyampaikan laporan hasil pengawasan kepada paruman desa. Untuk mendukung pelaksanaan tugas – tugas tersebut di atas, maka badan pengawas internal harus bersinergi untuk menciptakan LPD yang sehat dengan suasana yang sehat. Sehatnya suatu LPD sebagian besar bergantung pada mutu dan efektifitas dari pengawasan. Kerja sama antara badan pengawas internal dengan LPD sangat dibutuhkan dalam upaya pembuatan dan pemberlakuan aturan yang ditujukan kepada LPD agar menuju ke arah yang lebih baik. Berdasarkan Pasal 9 Peraturan Gubernur No. 16/2008, maka anggota pengawas dipilih oleh krama desa. Pemilihan tersebut dilaksanakan pada saat dilaksanakannya paruman di desa pakraman. Hasil dari pemilihan anggota pengawas internal tersebut dituangkan ke dalam suatu peraturan yang disebut dengan Keputusan Bendesa Pakraman atau Keputusan Paruman Desa Pakraman serta ditandatangani oleh Bendesa Pakraman setempat. Salinan dari keputusan ini disampaikan kepada masing - masing anggota pengawas internal, bendesa adat sebagai ketua pengawas internal, Walikota Denpasar, BPD, serta sebagai arsip. 158 Kegiatan pengawasan oleh tim pengawas internal harus mampu memberikan umpan balik secara dini atas kemungkinan deviasi (penyimpangan) yang terjadi akibat sebab-sebab intern (kelemahan/kekurangan/kelalaian di pihak LPD) dan sebab-sebab ekstern (debitor dan kondisi ekonomi). Kemudian secara dini pula pihak LPD mempunyai kesempatan cukup untuk menyusun strategi identifikasi sebab-sebab dan selanjutnya menyusun/melakukan pembetulan/perbaikan sebelum terjadi kerugian total. Pada prakteknya, badan pengawas internal melakukan 2 (dua) bentuk pengawasan, yaitu ada yang dilaksanakan secara langsung dan secara tidak langsung. Hal ini sesuai dengan penjelasan yang diberikan oleh Ibu Sagung Anom Widhi Astuti, Kepala LPD Desa Pakraman Kedua, menyatakan bahwa pengawasan langsung yang dilakukan oleh badan pengawas internal adalah mendatangi LPD 1 (satu) bulan sekali untuk mengecek kas fisik, perjanjian kredit, jaminan, kondisi kredit, apakah termasuk kolektibilitas kredit lancar, kurang lancar, atau macet. Ibu Sagung Anom Widhi Astuti juga mengungkapkan bahwa selain pengawasan secara langsung, badan pengawas internal juga melakukan pengawasan secara tidak langsung. Pengawasan secara tidak langsung dilakukan dengan cara pihak LPD mengirimkan laporan neraca laba rugi setiap minggu kepada badan pengawas internal. (wawancara pada tanggal 17 Juni 2013). Penjelasan berbeda diutarakan oleh Bapak I Gusti Putu Sukanta, Kepala LPD Desa Pakraman Penatih Puri yang memberikan penjelasan bahwa bentuk pengawasan yang dilakukan oleh badan pengawas internal LPD hanya 159 pengawasan secara langsung. Badan pengawas internal langsung datang ke LPD setiap 1 (satu) bulan sekali melakukan pengecekan terhadap nota kredit, tabungan, dan deposito apakah sudah sesuai dengan pembukuan (wawancara pada tanggal 9 Juli 2013). Hal yang sama juga dikemukakan oleh Bapak I Wayan Oka Widastra. (wawancara pada tanggal 06 Juli 2013). Hal senada juga dikemukakan oleh Bapak I Made Darsana, Kepala LPD Desa Pakraman Sumerta, bahwa pengawasan dari badan pengawas internal hanya dilakukan secara langsung setiap 3 (tiga) bulan sekali pada tahun yang bersangkutan. Adapun yang diawasi, menyangkut perkembangan usaha LPD, masalah-masalah perkreditan, masalah sumber daya manusia, dan masalahmasalah umum lainnya. (wawancara pada tanggal 01 Agustus 2013). Bapak I Made Adnyana, Kepala LPD Desa Pakraman Penyaringan, memiliki penjelasan yang sama dengan Ibu Sagung Anom Widhi Astuti (Kepala LPD Desa Pakraman Kedua), bahwa pengawasan yang dilakukan oleh badan pengawas internal ada yang secara langsung dan ada juga yang tidak langsung. Bapak I Made Adnyana mengungkapkan bahwa pengawasan secara langsung biasanya badan pengawas LPD hanya melihat kondisi kerja dari LPD, sedangkan pengawasan secara tidak langsung dilakukan dengan melakukan pengecekan dan memastikan tentang laporan yang dikirimkan oleh pihak LPD kepada badan pengawas internal. (wawancara pada tanggal 30 Juli 2013). Wawancara juga dilakukan kepada Bapak I Wayan Loka, Kepala LPD Desa Pakraman Sanur yang mengatakan bahwa pengawasan secara langsung oleh badan pengawas internal dilakukan dengan mengecek transaksi dan kegiatan operasional 160 LPD melalui data-data dan kuitansi yang ada. Mengenai pengawasan tidak langsung, selain pihak LPD mengirimkan laporan kepada badan pengawas internal, terkadang pihak LPD dan badan pengawas internal melakukan suatu diskusi serta memberikan solusi-solusi yang diperlukan untuk peningkatan LPD ke depannya. (wawancara pada tanggal 30 Juli 2013). Badan pengawas internal mempertanggungjawabkan hasil pengawasannya, minimal dengan laporan tertulis secara berkala kepada krama desa, desa pakraman yang bersangkutan. Laporan tersebut akan diperlihatkan kepada krama desa pada saat diadakannya paruman di desa pakraman. Mengenai laporan tertulis sebagai bentuk pertanggungjawaban dari badan pengawas internal, Bapak I Wayan Durjana sebagai Kepala LPD Desa Pakraman Oongan memberikan penjelasan bahwa laporan tertulis yang dibuat oleh badan pengawas internal biasanya memuat: a. Pendahuluan Pada bagian pendahuluan tercantum mengenai upaya dari badan pengawas internal untuk menyusun dan menyampaikan laporan pertanggungjawaban kepada krama desa; b. Managemen Managemen memuat uraian mengenai struktur organisasi yang menjadi pengawas internal. Pertama dimulai dengan bendesa adat yang merangkap sebagai koordinator pengawas internal dan selanjutnya diikuti dengan 2 (dua) orang lainnya sebagai anggota pengawas internal; 161 c. Pengurus LPD Kepengurusan LPD, terdiri dari kepala LPD, sekretaris/tata usaha, dan bendahara/kasir; d Bidang Usaha Bidang usaha memuat uraian tentang kegiatan usaha apa saja yang dijalankan oleh LPD, misalnya menerima simpanan dari masyarakat, menyalurkan dana dari/kepada masyarakat dalam bentuk pinjaman/kredit yang pengembaliannya dilakukan secara bulanan; e. Kinerja LPD Kinerja LPD biasanya memuat tentang uraian mengenai: - Proses penyaluran kredit serta administrasinya, misalnya permohonan kredit dari pihak debitor serta jaminan yang digunakan dalam mengajukan permohonan kredit; - Kredit bermasalah, misalnya berbagai upaya pihak LPD dalam menangani kredit bermasalah; - Proses administrasi tabungan biasa dan deposito, misalnya menyangkut kelengkapan administrasi dan pelaksanaan untuk memungut tabungan yang administrasinya ada petugas LPD yang mengontrolnya, sedangkan mengenai tabungan deposito memuat administrasi deposito apakah sudah dilaksanakan dengan baik dan jumlah nominal deposito yang dibukukan antara komputer dengan neraca sudah cocok; - Aktiva tetap dan inventaris 162 Aktiva tetap dan inventaris apakah sudah dilaksanakan dengan baik, dimana pembelian alat-alat inventaris telah dicatat berupa daftar dan telah disusutkan setiap bulan/tahun sesuai ketentuan; - Perkembangan LPD Perkembangan LPD dapat dilihat dari neraca dan laporan-laporan yang mencantumkan peningkatan asset setiap tahunnya dan laba yang diperoleh, serta dilihat dari rencana kerja dan anggaran dasar serta realisasinya; - Tingkat kesehatan LPD Tingkat kesehatan LPD dinilai oleh badan pengawas internal dengan cara memeriksa laporan dan neraca-neraca yang disediakan oleh pihak LPD; f. Kesimpulan Kesimpulan memuat uraian secara menyeluruh dari point-point di atas secara singkat serta ditambahkan dengan harapan dari badan pengawas internal terhadap perkembangan LPD; g. Lampiran-lampiran Laporan pengawas dari badan pengawas internal biasanya melampirkan laporan keuangan dan laporan hasil usaha. h. Tanda tangan badan pengawas internal Laporan badan pengawas internal dibubuhi tanda tangan Ketua pengawas internal dan 2 (orang) anggota lainnya. (wawancara pada tanggal 19 Juni 2013). Berdasarkan hasil wawancara dari para informan tersebut di atas, menunjukkan bahwa terdapat beberapa LPD yang memiliki persamaan bentuk 163 pengawasan internal yang satu dengan yang lainnya. Pengawasan yang dilakukan oleh badan pengawas internal lebih sering dilakukan dalam bentuk pengawasan secara langsung dan tidak langsung, namun ada juga pengawasan yang hanya dilakukan dengan pengawasan secara langsung. Pengawasan secara langsung yang dilakukan oleh badan pengawas internal menyerupai sistem audit internal. Dalam melakukan tugasnya sebagai audit internal, badan pengawas internal akan memeriksa bukti yang diperlukan untuk memberikan keyakinan kepada prajuru dan paruman desa pakraman atas kemampuan pelaporan pengelolaan LPD. Kedudukan badan pengawas internal tidak hanya sebagai auditor internal, bahkan badan pengawas internal dapat menjadi partner bagi ketua bahkan pengurus LPD agar bersinergi melakukan kerja sama dengan tujuan untuk memajukan LPD132. Bertambah tingginya jumlah asset yang dimiliki oleh LPD, maka peranan badan pengawas internal sangat diperlukan lebih mendalam dan kompleks. LPD memerlukan bantuan pihak badan pengawas internal untuk memperluas pengetahuan dan kompetensi yang semakin khusus dalam menghadapi urusan-urusan yang berhubungan dengan pengelolaan LPD133. Mengingat pentingnya peranan badan pengawas internal, maka bendesa adat dan 2 (dua) anggota lainnya harus memiliki pola pikir yang mampu menjalankan tata kelola, arahan/bimbingan, keahlian teknis, serta tanggung jawab dalam menjalankan tugasnya sebagai badan pengawas. Hal ini harus dimiliki oleh badan 132 I Wayan Suartana, 2009, Arsiktektur Pengelolaan Risiko Pada Lembaga Perkreditan Desa (LPD), Udayana University Press, Denpasar, hal. 19. 133 Ibid. 164 pengawas internal untuk mencegah praktek tidak sehat yang akan beresiko terhadap kesehatan LPD. Bendesa adat dan 2 (dua) anggota lainnya yang diberikan kewenangan atribusi oleh Peraturan Gubernur No.16/2008 diharapkan dapat menciptakan pengawasan yang bersifat kondusif dan efektif. Selain kewenangan untuk mengawasi LPD, dalam menjalankan kewenangannya badan pengawas internal juga harus diimbangi dengan pengetahuan serta kemampuan tentang LPD sehingga akan memberi pengaruh positif terhadap pengawasan yang akan dilakukan. 4.2 Kewenangan Pengawasan LPD Oleh Badan Pengawas Eksternal Kegiatan usaha yang dilakukan oleh LPD tidak terlepas dari berbagai kesalahan. Kesalahan ini dapat dilakukan secara sengaja maupun tidak disengaja. Oleh karena itu, agar kegiatan usaha LPD dapat berjalan sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan, maka pengawasan sangat diperlukan. Pengawasan yang diperlukan tidak hanya berasal dari dalam LPD (pengawas internal), melainkan juga memerlukan suatu pengawasan yang berasal dari instansi luar LPD (pengawas eksternal). Peningkatan efektifitas sistem pengawasan eksternal merupakan salah satu strategi untuk meningkatkan serta memperkuat LPD dalam menjalankan perannya sebagai lembaga keuangan guna melayani kebutuhan warga desa pakraman dalam bidang keuangan. Untuk pertama kalinya, pengawasan eksternal LPD diatur dalam Perda LPD, yaitu Perda LPD No. 8 /2002 yang diundangkan pada tanggal 165 16 September 2002. Pasal 18 Perda LPD No. 8/2002, menentukan bahwa: “Pengawasan eksternal LPD dilakukan oleh Gubernur”. Ketentuan dalam Perda LPD No. 8/2002 memberikan pemahaman bahwa pemerintah Provinsi Bali memberikan kewenangan atribusi kepada Gubernur Bali untuk melakukan kegiatan pengawasan eksternal LPD. Namun penjelasan dari Pasal 18 Perda LPD No. 8/2002, menyatakan bahwa: “Gubernur melimpahkan tugas pengawasan kepada BPD”. Makna yang terkandung dalam Penjelasan Pasal 18 Perda No. 8/2002 adalah Gubernur mendelegasikan wewenang pengawasannya kepada BPD. Delegasi merupakan peralihan wewenang pemerintahan dari satu organ pemerintahan kepada organ pemerintahan lainnya134. Pelimpahan wewenang pengawasan ekternal pada Pasal 18 beserta penjelasannya dalam Perda LPD No.8/2002, selanjutnya dituangkan melalui suatu produk hukum. Gubernur Bali dalam hal ini membuat suatu Keputusan Gubernur Bali Nomor 95/01-C/HK/2003 tentang Pelimpahan Wewenang Pengawasan Lembaga Perkreditan Desa Di Provinsi Bali Kepada Bank Pembangunan Daerah Bali, selanjutnya disebut Keputusan Gubernur Bali No. 95/01-C/HK/2003. Keputusan Gubernur Bali No. 95/01-C/HK/2003, mencantumkan 3 (tiga) point penting sehubungan dengan pelimpahan wewenang pengawasan ekternal. Ketiga point penting tersebut, antara lain: a. Melimpahkan wewenang pengawasan LPD di Provinsi Bali kepada BPD Bali; b. BPD Bali wajib melaporkan pelaksanaan tugasnya sebagaimana dimaksud diktum Pertama kepada Gubernur Bali setiap 6 (enam) bulan; c. Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan, yaitu 12 Maret 2003. 134 Sjachran Basah, loc.cit. 166 Berdasarkan ketiga diktum yang tercantum di dalam Keputusan Gubernur Bali No. 95/01-C/HK/2003, maka pemberi delegasi (delegans), yaitu Gubernur tidak dapat lagi menggunakan wewenangnya untuk melakukan pengawasan ekternal terhadap LPD. Sejak terbitnya keputusan Gubernur Bali No. 95/01C/HK/2003, maka wewenang pengawasan eksternal sepenuhnya berada di tangan BPD Bali. Pada tanggal 29 Maret 2007, pemerintah Provinsi Bali mengeluarkan Perda LPD No. 3/2007 tentang Perubahan Atas Perda LPD No. 8/2002. Substansi dalam Perda LPD No. 3/2007 tidak mengubah tentang pengawasan ekternal LPD. Perda LPD No. 3/2007 tetap mencantumkan bahwa Gubernur menugaskan BPD sebagai pengawas eksternal BPD. Pemerintah Kota Denpasar memiliki kebijakan/program strategis terhadap perkembangan LPD, yaitu menjadikan LPD sebagai pusat informasi usaha strategis dan produktivitas masyarakat dengan melaksanakan monitoring dan evaluasi dalam rangka pembenahan LPD secara teknis. Tim monitoring dan evaluasi terdiri dari Pemerintah Kota Denpasar, BPD Cabang Utama Denpasar, dan Pembina Lembaga Perkreditan Desa Kota Denpasar (selanjutnya disebut PLPDK Denpasar). Sejak tanggal 02 Januari 2012, Walikota Denpasar mengeluarkan suatu keputusan, yaitu Keputusan Walikota Denpasar Nomor 188.45/109/Hk/2012 tentang Monitoring dan Evaluasi Lembaga Perkreditan Desa (LPD) Kota Denpasar Tahun 2012, selanjutnya disebut Keputusan Walikota Denpasar No. 188.45/109/Hk/2012. Keputusan tersebut mencantumkan 5 (lima) diktum, yaitu: 167 1. Monitoring dan evaluasi LPD Kota Denpasar Tahun 2012 dengan susunan keanggotaan sebagaimana tercantum dalam lampiran Keputusan ini; 2. Tugas dan tanggung jawab Monitoring dan Evaluasi sebagaimana dimaksud Diktum Kesatu adalah: a. melaksanakan monitoring kegiatan LPD se-Kota Denpasar; b. melaksanakan evaluasi terhadap kinerja LPD se-Kota Denpasar; c. bertanggung jawab dan melaporkan segala hasil pelaksanaan tugasnya kepada Walikota. 3. Monitoring dan Evaluasi sebagaimana dimaksud Diktum Kesatu yang bukan Pegawai di lingkungan Pemerintah Kota Denpasar masing-masing diberikan jasa sebesar Rp. 80.000 (delapan pulu ribu rupiah) per bulan; 4. Segala biaya yang ditimbulkan akibat dari penetapan Keputusan ini dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kota Denpasar Tahun Anggaran 2011 dengan Nomor DPA-SKPD 1.22.1.20.03.1.20.03.03.16.07.5.2 dan Kode Rekening 5.2.2.03.12. Diktum pertama dalam Keputusan Walikota Denpasar No. 188.45/109/Hk/2012 menentukan bahwa susunan keanggotaan yang melakukan Monitoring dan Evaluasi LPD se-Kota Denpasar tercantum di dalam lampiran Keputusan Walikota Denpasar. Adapun dalam lampiran tersebut, tercantum bahwa susunan keanggotaan monitoring dan evaluasi LPD se- kota Denpasar adalah: Penasehat Pembina Ketua Sekretaris Anggota Administrasi : Walikota Denpasar dan Wakil Walikota Denpasar; : Sekretaris Daerah Kota Denpasar dan Asisten Administrasi Pembangunan Sekretaris Daerah Kota Denpasar; : Kepala Bagian Perekonomian Sekretariat Daerah Kota Denpasar. : Kasubag Sarana Perekonomian pada Bagian Perekonomian Setda Kota Denpasar; : - PLPDK Denpasar; - Unsur BPD Cabang Utama Denpasar - Unsur Bappeda Kota Denpasar - Unsur Bagian Perekonomian Sekretariat Daerah Kota Denpasar; - Unsur Bagian Hukum Sekretariat Daerah Kota Denpasar. : Staf Bagian Perekonomian Daerah Kota Denpasar sebanyak 7 (tujuh) orang. 168 Keputusan Gubernur Bali No. 95/01-C/HK/2003 dan Keputusan Walikota Denpasar No. 188.45/109/Hk/2012 memberi arti bahwa BPD berwenang sebagai pengawas eksternal sekaligus sebagai tim monitoring dan evaluasi LPD se-Kota Denpasar. Hanya saja, wewenang yang diperoleh oleh LPD berasal dari 2 (dua) instansi yang berbeda. Kewenangan BPD sebagai pengawas eksternal diperoleh dengan cara pendelegasian wewenang dari Gubernur Bali kepada BPD. Berbeda halnya dengan kewenangan BPD sebagai tim monitoring dan evaluasi LPD se-Kota Denpasar yang diperoleh secara atribusi. Hal ini dikarenakan dalam Keputusan Walikota Denpasar No. 188.45/109/Hk/2012 telah menunjuk langsung BPD sebagai salah satu tim monitoring dan evaluasi LPD seKota Denpasar yang wajib menjalankan tugas dan dibebani tanggung jawab yang tercantum dalam keputusan tersebut. Berdasarkan Keputusan Walikota Denpasar No. 188.45/109/Hk/2012, tercantum bahwa BPD didampingi oleh jajaran lainnya dalam melaksanakan tim monitoring dan evaluasi LPD se-Kota Denpasar. Namun dalam prakteknya, tim monitoring dan evaluasi yang aktif melaksanakan monitoring adalah unsur BPD cabang utama Denpasar, unsur bagian perekonomian sekretariat daerah kota Denpasar dan PLPDK Denpasar135. Hal ini dibenarkan oleh Bapak I Made Medal, Kepala LPD Desa Pakraman Tembawu, bahwa yang mendatangi LPD untuk melakukan pengawasan dan monitoring sehubungan dengan kegiatan operasional LPD adalah dari pihak BPD, PLPDK Denpasar, dan Biro Perekonomian Kota Denpasar. Namun, secara tidak 135 Pemerintah Kota Denpasar II, op.cit, hal. 6. 169 langsung pihak LPD juga mengirimkan laporan mengenai keuangan LPD setiap bulannya kepada PLPDK Denpasar. Jika laporan sudah diterima oleh pihak PLPDK Denpasar, maka PLPDK Denpasar akan menyampaikan laporan tersebut kepada Biro Perekonomian Kota Denpasar dan BPD. (wawancara pada tanggal 01 Agustus 2013). Hal yang sama juga dikemukakan oleh Bapak I Wayan Oka Widastra, Kepala LPD Desa Pakraman Jenah, mengemukakan bahwa instansi yang melakukan monitoring ke LPD adalah dari BPD, PLPDK Denpasar dan bidang perekonomian Kota Denpasar. Monitoring ini dilakukan oleh ketiga instansi tersebut setiap 3 (tiga) bulan sekali. (wawancara pada tanggal 6 Juli 2013). Mengenai waktu kapan tim monitoring mendatangi LPD, Bapak I Wayan Biyeg, Kepala LPD Desa Pakraman Bekul, menegaskan bahwa monitoring yang dilakukan oleh BPD, bagian ekonomi kota Denpasar, serta PLPDK Denpasar dilakukan setiap 3 (tiga) bulan sekali. Ungkapan yang sama juga disampaikan oleh Bapak I Wayan Rayun, Kepala LPD Desa Pakraman Kesiman, bahwa kegiatan monitoring secara langsung dilakukan setiap 3 (bulan) sekali oleh tim monitoring, yaitu BPD, PLPDK Denpasar, dan biro ekonomi kota Denpasar. Namun, monitoring secara tidak langsung dilakukan dengan cara pihak LPD mengirimkan laporan-laporan setiap bulan, yaitu pada awal bulan. (wawancara pada tanggal 08 dan 16 Juli 2013). Berdasarkan hasil wawancara dengan para informan di atas, maka dapat diketahui bahwa bentuk monitoring dan evaluasi dari tim BPD cabang utama Denpasar, PLPDK Denpasar, dan bagian perekonomian kota Denpasar memiliki 170 persamaan dengan pengawasan oleh badan pengawasan internal, yaitu dilakukan secara langsung dan tidak langsung. Pengawasan secara langsung dilakukan dengan cara mengadakan monitoring dan evaluasi langsung ke LPD mengenai kegiatan dan kinerja LPD. Untuk pengawasan secara tidak langsung, pihak LPD mengirimkan laporan keuangan setiap bulannya kepada salah satu tim monitoring dan evaluasi LPD seKota Denpasar, yaitu PLPDK Denpasar. PLPDK Denpasar akan meneruskan kembali laporan keuangan dari LPD tersebut kepada BPD cabang utama Denpasar dan bagian perekonomian kota Denpasar. Menjalankan tugasnya sebagai tim monitoring dan evaluasi LPD Se-Kota Denpasar, BPD cabang utama Denpasar, PLPDK Denpasar, dan Bagian Perekonomian Sekretariat Daerah Kota Denpasar membuat suatu laporan hasil dari monitoring dan evaluasi terhadap LPD. Laporan tersebut mencantumkan nama LPD yang dijadikan objek monitoring, nama kepala LPD, jumlah staff/pegawai LPD, jumlah badan pengawas internal LPD, waktu pelaksanaan monitoring, hasil laporan mengenai administrasi dan keuangan LPD, dan terakhir adalah saran-saran yang diberikan oleh tim monitoring dan evaluasi terhadap LPD se-Kota Denpasar136. Jika laporan selesai dibuat, maka laporan tersebut akan dikumpulkan menjadi satu dan ditandatangani oleh Kepala Sub Bagian Perekonomian Sekretariat Daerah Kota Denpasar. Pengawasan eksternal LPD oleh BPD Bali selanjutnya tidak diatur lagi dalam perubahan kedua dari Perda LPD, yaitu Perda LPD No. 4/2012. Perda LPD No. 136 Ibid. 171 4/2012 diundangkan di Denpasar pada tanggal 14 Juni 2012. Pasal 18 yang dulunya menyatakan pengawasan eksternal berada di tangan Gubernur, kini diubah menjadi: (1) Gubernur bersama MUDP melakukan pembinaan. (2) Gubernur menugaskan pembinaan umum kepada Badan Pembina Umum Provinsi dan Badan Pembina Umum Kabupaten/Kota. (3) Gubernur dengan pertimbangan MUDP menugaskan LPLPD melaksanakan pendampingan teknis dalam pemberdayaan LPD. (4) Atas permintaan Krama Desa melalui paruman, sekali dalam 1 tahun harus dilakukan audit. Pasal 18 Perda LPD No. 4/2012, memberikan pemahaman bahwa pembinaan terhadap LPD di Kota Denpasar dilakukan oleh Badan Pembina Umum Kota dan LPLPD. Pembinaan merupakan salah satu bentuk pengawasan secara preventif dan represif. Namun, kedua lembaga ini belum aktif untuk menjalankan tugasnya sebagai pembina dalam pemberdayaan LPD. Hal ini dikarenakan Perda LPD No. 4/2012 merupakan Perda LPD terbaru dan masih perlu disosialisasikan keberadaannya. Pada prakteknya, untuk lebih meningkatkan kinerja LPD se-Kota Denpasar dan dalam rangka pertanggungjawaban pengelolaan LPD dipandang perlu melaksanakan pengawasan terhadap LPD yang ada di Kota Denpasar. Atas pertimbangan tersebut, Walikota Denpasar akhirnya mengeluarkan suatu keputusan, yaitu Keputusan Walikota Denpasar Nomor 188.45/689/Hk/2012 tentang Pembentukan Tim Pengawasan Internal Lembaga Perkreditan Desa (LPD) Kota Denpasar Tahun 2012, selanjutnya disebut Keputusan Walikota Denpasar No. 188.45/689/Hk/2012. Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal 01 Oktober 2012. 172 Keputusan Walikota Denpasar No. 188.45/689/Hk/2012 menetapkan 5 (lima) diktum. Adapun kelima diktum tersebut, yaitu: 1. 2. 3. 4. 5. Membentuk Tim Pengawasan Internal LPD di Kota Denpasar dengan susunan keanggotaan sebagaimana tercantum dalam lampiran keputusan ini; Tugas dan tanggung jawab Tim Pengawas Internal sebagaimana dimaksud Diktum Kesatu adalah: a. menyiapkan dan melaksanakan segala sesuatu yang berkaitan dengan Pengawasan Internal LPD di Kota Denpasar; b. melakukan Pengawasan Internal terhadap kinerja LPD; c. menetapkan hasil Tim Pengawasan Internal LPD; dan d. bertanggung jawab dan melaporkan segala hasil pelaksanaan tugasnya kepada Walikota. Kepada Tim Pengawas Internal sebagaimana dimaksud pada Diktum Kesatu yang bukan Pegawai Negeri Sipil (PNS) di lingkungan Pemerintah Kota Denpasar masing-masing diberikan jasa sebesar Rp. 60.000,00 (enam puluh ribu rupiah) per orang per jam; Segala biaya yang timbul akibat ditetapkannya keputusan ini dibebankan pada Perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kota Denpasar Tahun Anggaran 2012 dengan Nomor DPA SKPD: 1.22.1.20.03.16.07.5.2 dengan kode rekening 5.2.1.02.01; Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal 01 Oktober 2012. Ketentuan pada diktum pertama dalam Keputusan Walikota Denpasar No. 188.45/689/Hk/2012 tersebut di atas, menentukan bahwa susunan keanggotaan pengawas internal LPD di Kota Denpasar tercantum di dalam lampiran keputusan tersebut. Adapun dalam lampiran Keputusan Walikota Denpasar mencantumkan bahwa susunan keanggotaan pengawasan internal LPD Kota Denpasar tahun 2012 adalah: Penasehat Pembina Ketua Sekretaris Anggota : Walikota Denpasar dan Wakil Walikota Denpasar; : Sekretaris Daerah Kota Denpasar; : Asisten Administrasi Pembangunan Sekretaris Daerah Kota Denpasar; : Kepala Bagian Perekonomian Sekretaris Daerah Kota Denpasar; : - Unsur PLPDK Denpasar 3 (tiga) orang; - Unsur BPD Cabang Utama Denpasar; - Unsur Fakultas Ekonomi Universitas Udayana; 173 Administrasi - Unsur Bappeda Kota Denpasar; - Unsur Bagian Hukum Sekretariat Daerah Kota Denpasar; - Unsur Bagian Perekonomian Sekretariat Daerah Kota Denpasar. : Staff Bagian Perekonomian Sekretariat Daerah Kota Denpasar sebanyak 4 (empat) orang. Berdasarkan Keputusan Walikota Denpasar No. 188.45/689/Hk/2012, terlihat bahwa BPD diberikan kewenangan secara atribusi karena dalam Keputusan Walikota Denpasar No. 188.45/689/Hk/2012 ditentukan secara langsung bahwa BPD beserta jajaran lainnya ditunjuk sebagai tim pengawas internal LPD di Kota Denpasar. Sumber kewenangan BPD sebagai tim pengawas internal dan tim monitoring dan evaluasi LPD se-Kota Denpasar adalah sama-sama bersumber dari Keputusan Walikota Denpasar. Namun, pada saat menjalani tugas sebagai tim monitoring dan evaluasi, serta sebagai tim pengawas internal, terdapat penambahan formasi mengenai instansi lain yang mendampingi BPD dalam melaksanakan kedua tugasnya tersebut. Dalam menjalankan tugasnya sebagai tim monitoring dan evaluasi LPD se-Kota Denpasar, BPD didampingi oleh PLPDK Denpasar, unsur BAPPEDA Kota Denpasar, unsur Bagian Perekonomian Sekretariat Kota Denpasar, dan unsur Bagian Hukum Sekretariat Daerah Kota Denpasar. Mengemban tugas sebagai tim pengawas internal terdapat penambahan instansi. Instansi yang mendampingi BPD tetap sama seperti instansi yang mendampingi BPD saat menjalankan tugasnya sebagai tim monitoring dan evaluasi se-LPD Kota Denpasar, hanya saja terdapat penambahan 1 (satu) instansi lagi yaitu dari Unsur Fakultas Ekonomi Universitas Udayana. 174 Mekanisme pengawasan internal terdiri dari 4 (empat) tahap, yaitu seleksi awal, pembagian tim (kelompok), jadwal pengawasan, dan unsur-unsur pengawasan. Masing-masing dari tahap pengawasan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut137: 1. Seleksi awal Tim pengawas internal memilih dan menetapkan LPD – LPD mana saja yang tergolong LPD kategori sehat, cukup sehat, dan kurang sehat dari ke 35 (tiga puluh lima) LPD yang berada di Kota Denpasar; 2. Tim pengawas internal dibagi menjadi 2 (dua) kelompok, yaitu: a. Tim pertama, terdiri dari BPD Cabang Utama Denpasar, PLPDK, dan Fakultas Ekonomi Universitas Udayana melakukan stock opname terhadap pengelolaan laporan keuangan berupa neraca, dana pihak ketiga, dan kredit; b. Tim kedua, terdiri dari Bagian Perekonomian, Bagian Hukum dan Bappeda Kota Denpasar melakukan pengawasan stock opname dengan materi program LPD terkait dengan kebijakan pembangunan Kota Denpasar; 3. Jadwal pengawasan a. Sesuai dengan jadwal yang ditetapkan (bersifat tentatif) tim mengadakan pengawasan stock opname terhadap LPD yang telah ditetapkan sesuai dengan kriteria yang sudah ditentukan yaitu berjalan selama 24 (dua puluh empat) hari untuk 3 (tiga) LPD; 137 Pemerintah Kota Denpasar, 2012, Pengawasan Internal LPD Di Kota Denpasar, Bagian Perekonomian Sekretariat Daerah, Kota Denpasar, (selanjutnya disebut Pemerintah Kota Denpasar III), hal. 3. 175 b. Setelah masa pengawasan internal selesai, tim membuat laporan pengawasan stock opname. 4. Unsur-unsur pengawasan internal adalah: a. Pengelolaan dana pihak ketiga (tabungan dan deposito); b. Pengelolaan kredit; c. Laporan bulanan LPD; d. Program-program LPD terkait dengan kebijakan pembangunan Kota Denpasar. Setelah menjalankan mekanisme pengawasan internal, maka tim pengawas internal membuat suatu laporan sebagai bentuk dari pertanggungjawaban atas wewenang yang telah diberikan secara atribusi dalam Keputusan Walikota Denpasar No. 188.45/689/Hk/2012. Laporan yang dibuat oleh tim pengawas internal, memuat beberapa hal, yaitu138: 1. Tim pengawas internal; 2. Pemeriksaan terhadap pos-pos aktiva, yang terdiri dari: - Pemeriksaan kas; - Pemeriksaan antar bank aktiva; - Pemeriksaan kredit; - Pemeriksaan aktiva tetap dan inventaris. 3. Pemeriksaan pos-pos passiva yang terdiri dari: - Tabungan nasabah; - Deposito; 138 Ibid, hal. 25 176 - Pinjaman yang diterima/antar bank passiva; - Modal. 4. Pemeriksaan pendapatan yang terdiri dari: - Pendapatan operasional (bunga, provisi dari pinjaman yang diberikan dan penempatan). - Pendapatan operasional lainnya. Pengawasan internal memiliki perbedaan dengan monitoring dan evaluasi. Perbedaan tersebut terlihat pada bentuk pengawasannya. Pengawasan internal hanya dilakukan secara langsung, yaitu dengan mendatangi LPD - LPD dan tidak bisa dilakukan dengan pengawasan secara tidak langsung, yaitu dengan pengiriman laporan keuangan kepada tim pengawas. Berbagai peraturan yang dikeluarkan oleh Gubernur Bali maupun Walikota Denpasar sehubungan dengan pengawasan eksternal LPD, bertujuan untuk memantau secara berkesinambungan perkembangan LPD. Pengawasan eksternal LPD dijalankan dengan harapan mampu mengantisipasi permasalahan sedini mungkin dan mengembalikan operasional-operasional LPD yang kurang sehat secara bertahap serta tim pengawas eksternal dapat memotivasi LPD untuk membuat terobosan-terobosan pemberdayaan ke depan. 4.3 Pelaksanaan Pengawasan oleh Badan Pengawas Internal dan Eksternal Terhadap Praktek Pemberian Kredit oleh LPD Dengan Jaminan Sertifikat Hak Milik Atas Tanah Tanpa Diikat Dengan APHT Berdasarkan karakteristik dan fungsi LPD, dapat dikatakan bahwa LPD identik dengan industri resiko. Oleh karena itu, ketersediaan sistem pengawasan yang memadai merupakan kebutuhan yang mendasar bagi setiap LPD agar LPD 177 terhindar dari kerugian, baik kerugian materi maupun non materi, seperti memburuknya citra atau reputasi di mata masyarakat. Secara konsepsional, pengawasan merupakan tindakan untuk mengendalikan suatu kegiatan yang sudah direncanakan, apakah kegiatan yang sudah direncanakan tersebut sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan atau sebaliknya. Apabila terjadi pelanggaran, para pihak yang berwenang sebagai controlling (pengawasan) berkewajiban memberikan pengarahan agar sistem kerja tidak menyimpang dari ketentuan yang telah ditetapkan. Pengawasan yang lebih jeli dari badan pengawas, baik itu internal dan eksternal sangat diperlukan untuk memperbaiki penyimpangan yang telah dilakukan oleh LPD. Pengawasan oleh badan pengawas internal dan eksternal terhadap pemberian kredit oleh LPD dengan jaminan sertifikat hak milik atas tanah tanpa diikat dengan APHT dapat dijelaskan dari hasil wawancara terhadap para Kepala LPD yang memimpin LPD di beberapa kecamatan di Kota Denpasar. Adapun hasil wawancara tersebut adalah sebagai berikut: Ibu Ni Wayan Wardani, Kepala LPD Desa Pakraman Peraupan, menjelaskan bahwa sampai saat ini belum ada upaya khusus dari pihak pengawas internal maupun eksternal terhadap pemberian kredit oleh LPD dengan jaminan sertifikat hak milik atas tanah yang tidak diikat dengan APHT. Apabila di kemudian hari timbul suatu permasalahan akibat tidak diikatnya jaminan hak atas tanah dengan APHT, biasanya diselesaikan melalui paruman desa adat dengan penerapan sanksi/awig-awig desa adat. 178 Jadi, dengan penerapan sanksi adat ini, maka kredit yang disalurkan oleh LPD berada dalam keadaan aman karena masyarakat akan berusaha untuk mengembalikan kreditnya tepat waktu. Tindakan lebih lanjut dari pengawasan terhadap larangan pemberian kredit dengan jaminan sertifikat hak milik atas tanah tanpa diikat APHT sampai saat ini belum ada. (wawancara pada tanggal 7 Juli 2013). Bapak I Ketut Warta, Kepala LPD Desa Pakraman Peninjoan, memberikan penjelasan lebih lanjut bahwa baik dari badan pengawas internal maupun eksternal tidak mempermasalahkan pemberian kredit oleh LPD dengan jaminan sertifikat hak milik atas tanah tanpa APHT. Badan pengawas internal maupun ekternal biasanya mendatangi LPD hanya untuk menyarankan tentang pengelolaan kredit yang bersifat umum saja, misalnya memberikan saran untuk kelancaran pihak debitor dalam membayar kredit dan menyarankan agar pihak LPD melakukan pengecekan langsung ke lapangan terhadap sebidang tanah yang akan dijadikan jaminan kredit. (wawancara pada tanggal 06 Juli 2013). Pemberian kredit dengan jaminan sertifikat hak milik atas tanah tanpa diikat dengan APHT, sesungguhnya sampai saat ini masih menjadi dilema bagi LPD Desa Pakraman Cengkilung. Hal ini diungkapkan oleh Bapak I Gusti Ngurah Bagus sebagai Kepala LPD Desa Pakraman Cengkilung. Lebih lanjut beliau menegaskan bahwa badan pengawas internal masih tabu akan penggunaan APHT dalam pemberian kredit apabila pihak nasabah menggunakan jaminan sertifikat hak milik atas tanah. 179 Badan pengawas internal dan anggota LPD belum mengetahui bagaimana cara melakukan pengikatan jaminan hak atas tanah dengan APHT ke kantor PPAT. Berbeda halnya dengan badan pengawas eksternal, badan pengawas eksternal yang mendatangi LPD secara berkala menyarankan untuk melakukan pengikatan dengan APHT ke kantor PPAT apabila pihak debitor berasal dari luar desa pakraman. Akan tetapi, pihak LPD belum berani menyalurkan fasilitas kredit ke luar wilayah desa pakraman karena dari Perda LPD hanya memusatkan kegiatan usaha LPD pada wilayah desa pakraman tempat LPD berdiri. (wawancara pada tanggal 01 Juli 2013). Wawancara juga dilakukan oleh Bapak I Made Medal, Kepala LPD Desa Pakraman Tembawu. Beliau memberikan komentar bahwa baik pengawas internal maupun pengawas eksternal hanya menyarankan agar jaminan hak atas tanah yang dijadikan jaminan kredit cukup dilakukan pemantauan dari pihak LPD terhadap keberadaan dan lokasi tanahnya. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Bapak I Wayan Brata selaku Kepala LPD Desa Pakraman Penatih). (wawancara pada tanggal 05 Juli 2013 dan 01 Agustus 2013). Berbeda halnya dengan pendapat yang dikemukakan oleh Bapak I Wayan Durjana, Kepala LPD Desa Pakraman Oongan. Beliau mengungkapkan bahwa di LPD Desa Pakraman Oongan, badan pengawas internal jarang terjun ke lapangan untuk melakukan pengecekan ke LPD secara langsung. Biasanya badan pengawas internal mendatangi LPD hanya untuk melakukan penandatanganan formulir permohonan kredit yang diisi oleh pihak debitor dalam proses pengajuan kredit. 180 Namun, untuk badan pengawas eksternal terhadap kredit dengan jaminan sertifikat hak milik atas tanah belum pernah mempermasalahkan apakah jaminan tersebut diikat dengan APHT atau tidak. Badan pengawas eksternal hanya menyarankan terhadap sebidang tanah yang akan dijadikan jaminan kredit agar pihak LPD melakukan pemotretan terhadap tanah tersebut dan menyarankan untuk lebih waspada apabila debitor menunjukkan tanda-tanda kemacetan membayar angsuran kredit. Badan pengawas internal maupun eksternal tidak begitu jeli memperhatikan administrasi-administrasi perkreditan. (wawancara pada tanggal 19 Juni 2013). Wawancara selanjutnya dilakukan terhadap Bapak I Wayan Loka, Kepala LPD Desa Pakraman Sanur, mengatakan bahwa badan pengawas internal dan ekternal dalam melakukan pengawasan terhadap kredit yang disalurkan oleh pihak LPD, biasanya hanya melakukan pengecekan kredit dari segi plafon kredit serta keaktifan pembayaran oleh pihak debitor setiap bulannya. Apabila ditemui banyak pihak debitor mengalami kemacetan membayar, maka badan pengawas menyarankan untuk melakukan penagihan secara intensif. Untuk sebagian kredit yang dijaminkan dengan tanah yang belum diikat APHT oleh pihak LPD, sampai saat ini badan pengawas belum ada imbauan secara khusus terhadap pihak LPD. (wawancara pada tanggal 30 Juli 2013). Bapak I Made Darsana selaku Kepala LPD Desa Pakraman Sumerta, memiki pandangan yang sama dengan Bapak I Wayan Loka (Kepala LPD Desa Pakraman Sanur). Pengawasan yang dilakukan oleh badan pengawas internal dan ekternal hanya melakukan pengecekan terhadap pengelolaan kredit secara umum. 181 Pengecekan yang dilakukan lebih menekankan kepada kelancaran atau tidaknya pembayaran angsuran kredit yang dilakukan oleh pihak debitor. Selain itu pengecekan juga dilakukan terhadap tinggi atau rendahnya tingkat kredit macet dalam LPD yang bersangkutan. (wawancara pada tanggal 01 Agustus 2013). Bapak I Wayan Oka Widastra, Kepala LPD Desa Pakraman Jenah, menjelaskan bahwa badan pengawas internal selalu diikutsertakan dalam rapat kecil antara pengurus dan pengawas. Rapat kecil ini diadakan pada saat pihak LPD akan melakukan pencairan kredit terhadap debitor yang menggunakan jaminan sertifikat hak milik atas tanah. Rapat kecil ini dilakukan antara badan pengawas internal dan pengurus LPD. Dalam rapat ini, badan pengawas internal sudah mengetahui bahwa tanah yang akan dijadikan jaminan kredit memang tidak diikat dengan APHT dan selama rapat kecil diadakan, badan pengawas internal belum pernah menyarankan untuk melakukan pengikatan jaminan hak atas tanah ke kantor PPAT. Untuk badan pengawas eksternal, selama ini pengawas eksternal belum pernah mempermasalahkan jaminan hak atas tanah yang tidak diikat dengan APHT karena itu semua tergantung dari kebijakan internal LPD. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Bapak I Putu Sumadi sebagai Kepala LPD Desa Pakraman Yangbatu. (wawancara pada tanggal 06 Juli 2013 dan 01 Agustus 2013). Berikut wawancara dilakukan kepada Bapak I Made Adnyana sebagai Kepala LPD Desa Pakraman Penyaringan, mengutarakan pendapatnya bahwa pengawasan yang dilakukan oleh badan pengawas internal maupun eksternal terhadap pengelolaan kredit hanya dilakukan secara umum. Kedua badan 182 pengawas ini biasanya hanya melakukan pengecekan terhadap kredit-kredit yang bermasalah dan menunjukkan tanda – tanda kemacetan membayar. Pengawasan yang dilakukan oleh badan pengawas internal maupun eksternal belum sampai pada hal yang mendetail mengenai kelengkapan administrasinya. (wawancara pada tanggal 30 Juli 2013). Bapak I Wayan Rayun, Kepala LPD Desa Pakraman Kesiman, mengungkapkan bahwa mengenai prosedur pengikatan jaminan tanah dengan APHT, baik badan pengawas internal dan eksternal sudah mempercayai sepenuhnya kepada LPD. Tanah yang dijadikan jaminan kredit akan diikat atau tidak diikat dengan APHT adalah sepenuhnya menjadi wewenang pihak LPD. (wawancara pada tanggal 16 Juli 2013). Bapak I Made Astra Wijaya, Kepala LPD Desa Pakraman Padang Sambian, menjelaskan bahwa, badan pengawas internal dan ekternal belum pernah menghimbau secara khusus akan kelengkapan pengikatan APHT terhadap jaminan kredit dalam bentuk tanah. Pengawasan yang diberikan selama ini hanya lebih memfokuskan pada kondisi neraca laba rugi dan kredit-kredit bermasalah. (wawancara pada tanggal 05 Agustus 2013). Ibu Sagung Anom Widhi Astuti, Kepala LPD Desa Pakraman Kedua, juga memberi komentar bahwa sampai saat ini belum ada pembinaan dan pengawasan terhadap jaminan kredit berupa tanah yang tidak diikat dengan APHT karena kredit yang disalurkan masih tergolong kecil. (wawancara pada tanggal 17 Juni 2013). Bapak I Made Sutarka selaku Kepala LPD Desa Pakraman Anggabaya, memberikan komentar bahwa dari laporan-laporan yang dikirimkan ke badan 183 pengawas dan kedatangan para badan pengawas ke LPD, sampai saat ini badan pengawas belum pernah mempermasalahkan kredit dengan jaminan hak atas tanah apakah diikat dengan APHT atau tidak. Tim badan pengawas lebih sering menanyakan kondisi kredit yang telah disalurkan kepada masyarakat apakah berada dalam keadaan lancar atau tidak lancar. (wawancara pada tanggal 19 Juli 2013). Hal yang sama juga disampaikan oleh Bapak I Gusti Putu Sukanta selaku Kepala LPD Desa Pakraman Penatih Puri (wawancara pada tanggal 09 Juli 2013). Bapak I Wayan Madia, Kepala LPD Desa Pakraman Renon, menjelaskan bahwa sampai saat ini memang belum ada pengawasan secara khusus terhadap jaminan hak atas tanah yang tidak diikat dengan APHT. Namun, pada saat ini pihak LPD sedang merencanakan pembuatan memo kepada badan pengawas internal dan eksternal untuk jaminan tanah yang tidak diikat dengan APHT. (wawancara pada tanggal 12 Agustus 2013). Wawancara berikutnya dilakukan kepada Bapak I Wayan Mudana, Kepala LPD Desa Pakraman Intaran. Beliau mengemukakan bahwa tidak ada pengawasan mengenai jaminan sertifikat hak milik atas tanah di LPD karena jaminan hak atas tanah yang dijaminkan di LPD semuanya dilakukan pengikatan ke kantor PPAT. (wawancara pada tanggal 12 Agustus 2013). Berdasarkan hasil wawancara tersebut di atas, menunjukkan bahwa pengawasan yang dilakukan oleh badan pengawas internal maupun eksternal belum berjalan secara maksimal. Terlihat di beberapa LPD di Kota Denpasar, badan pengawas internal dan eksternal hanya melakukan pengawasan terhadap keadaan kredit yang sudah bermasalah terhadap pelunasannya. Artinya, 184 pengawasan dilakukan apabila kredit sudah menimbulkan suatu permasalahan yang dapat merugikan pihak LPD. Pengawasan yang dilakukan belum sepenuhnya mengarah terhadap proses administrasi pemberian kredit dengan jaminan sertifikat hak milik atas tanah yang sampai saat ini masih terdapat penyimpangan, yaitu tidak diikatnya jaminan hak atas tanah dengan APHT pada saat pemberian kredit. Kelengkapan administrasi memang kelihatannya begitu tidak penting asalkan pelunasan kreditnya lancar, sehingga pengawasan yang dilakukan tidak maksimal dalam proses administrasi kredit. Namun, justru kelengkapan administrasi dengan pengikatan APHT ini menjadi media yang dapat melindungi LPD sebagai pihak kreditor dalam mengambil pelunasan kredit apabila terjadi permasalahan terhadap pelunasannya. Pengamat ekonomi Universitas Udayana yaitu Bapak I Wayan Ramantha, memberikan penilaian bahwa pengawasan LPD perlu diintensifkan. Untuk itu diperlukan komitmen jelas dari pengurus dan pengawas LPD untuk membenahi diri dengan berpacu pada 5 (lima) indikator. Menurutnya ada 5 (lima) indikator yang tidak boleh dilanggar untuk menjadikan lembaga keuangan LPD tetap sehat dan eksis. Adapun 5 (lima) indikator tersebut adalah sebagai berikut139: a. Pertama, permodalan dimana dalam menghimpun dana LPD diharapkan dapat terus dijaga supaya sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang dilayani; b. Kedua, kualitas aktiva produktif, artinya penyaluran dana kepada masyarakat dalam jumlah yang cukup dan terjamin kelancaran pengembaliannya merupakan hal yang pokok untuk mendukung kesehatan LPD. 139 I Wayan Ramantha, “Intensifkan LPD Pengurus Harus Patuhi Lima Indikator”, Bali Post, 28 Oktober 2013, hal. 2. 185 c. Ketiga, tata kelola harus dilaksanakan secara baik dengan prinsip GCG, yaitu badan pengawas dan pengurus harus melaksanakan fungsinya dengan baik dan profesional, serta melakukan evaluasi. d. Keempat, harus ada selisih yang cukup antara dana masyarakat dengan bunga kredit yang disalurkan dan tidak boleh hanya dengan membantu anggota, para pengurus membenarkan rugi. e. Kelima, penyaluran kredit ke masyarakat agar tidak melebihi jumlah dana dari masyarakat. Paling tidak ada cadangan tertentu yang sifatnya likuid. Ketersediaan likuiditas sesuai dengan syarat minimal untuk memenuhi kesehatan harus tetap dipenuhi dan selalu dijaga. Salah satu dari kelima indikator yang disebutkan oleh Bapak I Wayan Ramantha tersebut di atas, menyebutkan bahwa tata kelola LPD harus dilaksanakan secara baik dengan prinsip GCG. Adapun prinsip – prinsip GCG tersebut, antara lain keterbukaan (tranparency), akuntabilitas (accountability), tanggung jawab (responsibility), independensi (independency), dan kewajaran (fairness). Diantara kelima prinsip – prinsip GCG tersebut di atas, prinsip akuntabilitas (accountability) memiliki keterkaitan dengan pengawasan oleh badan pengawas internal dan eksternal terhadap pengelolaan LPD. Prinsip akuntabilitas (accountability) memberikan pemahaman bahwa adanya tanggung jawab yang jelas dari masing – masing organ LPD (pengurus dan pengawas), serta kompetensi yang dimiliki oleh organ LPD agar sesuai dengan tanggung jawabnya. 186 Tanggung jawab dari badan pengawas internal LPD diwujudkan dengan pelaksanaan tugas pokok dan fungsi dengan baik dan profesional. Tugas pokok dan fungsi dari tim pengawas internal diatur dalam Peraturan Gubernur No. 16/2008. Peraturan Gubernur No. 16/2008 juga harus diimbangi dengan penguatan peraturan dari masing - masing desa pakraman yang mengatur mengenai pengukuhan badan pengawas internal karena pemilihan anggotanya dilakukan oleh krama desa melalui suatu paruman. Paruman yang diadakan oleh krama desa merupakan dasar pembuatan Keputusan Paruman Desa Pakraman mengenai pengukuhan badan pengawas internal. Pada prakteknya, tidak semua LPD menindaklanjuti hasil paruman dengan suatu peraturan tertulis yaitu dengan pembuatan Keputusan Paruman Desa Pakraman. Hal ini dikarenakan pembuatan Keputusan Paruman Desa Pakraman merupakan kebijakan masing-masing dari desa pakraman setempat. Substansi dari Keputusan Paruman Desa Pakraman mengenai pengukuhan badan pengawas internal antara LPD satu dengan LPD lainnya memiliki perbedaan. Perbedaan itu terlihat jelas dari Keputusan Paruman Desa Pakraman Bekul dengan Keputusan Paruman Desa Pakraman Jenah dan Keputusan Desa Pakraman Kedua. Substansi dari Keputusan Paruman Desa Pakraman Bekul, memuat mengenai 3 (tiga) hal penting. Adapun 3 (tiga) hal penting tersebut, antara lain mengenai tugas dan tanggung jawab dari badan pengawas internal, penerimaan honorarium bagi badan pengawas internal, serta sanksi bagi badan pengawas internal jika melaksanakan penyimpangan dalam menjalankan tugas. 187 Keputusan Paruman Desa Pakraman Bekul dapat dijadikan pedoman bagi bendesa adat sebagai ketua pengawas internal dan krama desa yang sudah terpilih menjadi anggota tim pengawas internal. Keputusan ini bersifat memaksa agar pelaksanaan pengawasan terhadap pengelolaan LPD berjalan secara intensif dan sesuai dengan batasan tugas dan tanggung jawab yang telah diatur secara jelas dalam keputusan tersebut. Salah satu tugas pokok dan fungsi badan pengawas internal yang tercantum di dalam Keputusan Paruman Desa Pakraman Bekul adalah mengawasi proses penyaluran kredit dan penanganan kredit yang bermasalah. Badan pengawas internal LPD Desa Pakraman Bekul menyikapi praktek pemberian kredit dengan jaminan sertifikat hak milik atas yang tidak diikat dengan APHT dengan cara memberikan saran untuk melakukan pengikatan dengan APHT ke kantor PPAT. Jika terdapat kekurangan administrasi dalam proses pemberian kredit, maka badan pengawas internal melakukan pembinaan secara langsung kapada pengurus LPD agar tidak menyimpang dari aturan. Pembinaan tersebut dilakukan dengan cara memberikan peringatan secara lisan kepada pengurus LPD. Hal tersebut dikemukakan oleh Bapak I Wayan Biyeg sebagai Kepala LPD Desa Pakraman Bekul. (wawancara pada tanggal 08 Juli 2013). Berdasarkan pernyataan yang dikemukakan oleh Bapak I Wayan Biyeg, dapat diketahui bahwa hasil pemilihan anggota pengawas internal dari paruman desa pakraman sangat penting untuk dibuatkan peraturan tertulis, yaitu berupa Keputusan Paruman Desa Pakraman. Keputusan Paruman Desa Pakraman memberikan pengaruh yang kuat terhadap keaktifan badan pengawas internal 188 untuk melakukan tugas dan fungsinya dengan baik. Hal ini dapat diketahui berdasarkan upaya pengawasan yang telah dilakukan oleh badan pengawas internal LPD Desa Pakraman Bekul terhadap praktek pemberian kredit dengan jaminan sertifikat hak milik atas tanah yang tidak diikat dengan APHT. Berbeda halnya dengan Keputusan Paruman Desa Pakraman Jenah dan Keputusan Paruman Desa Pakraman Kedua. Keputusan ini memiliki substansi yang kurang memadai karena kedua Keputusan Paruman Desa Pakraman tersebut hanya mengatur mengenai siapa saja yang menjadi anggota pengawas internal. Keputusan ini tidak mengatur mengenai tugas pokok dan fungsi dari badan pengawas internal seperti yang tertuang dalam Peraturan Gubernur No. 16/2008. Keputusan ini menjadi dasar kelemahan bagi pelaksanaan pengawasan oleh badan pengawas internal LPD. Pengawasan tidak akan berjalan dengan baik apabila tugas pokok dan fungsi dari badan pengawas internal belum jelas diatur dalam suatu peraturan tertulis intern desa pakraman. Begitu juga dalam suatu desa pakraman yang sama sekali tidak menuangkan hasil paruman mengenai pengukuhan badan pengawas internal ke dalam suatu peraturan tertulis. Sebaliknya, pengawasan akan terwujud dengan baik apabila diimbangi dengan peraturan tertulis dari hasil paruman krama desa yang mengandung substansi peraturan yang jelas. Selain menetapkan siapa saja yang menjadi anggota pengawas internal, Keputusan Paruman Desa Pakraman yang memadai juga harusnya dicantumkan tugas pokok dan fungsi yang jelas dari badan pengawas internal. 189 Tugas pokok dan fungsi yang jelas dari badan pengawas internal merupakan bagian essensial dari Keputusan Paruman Desa Pakraman. Tugas pokok dan fungsi badan pengawas internal dapat dituangkan lebih mengkhusus lagi dari Peraturan Gubernur No. 16/2008. Artinya, pembagian tugas pokok dan fungsi dari badan pengawas internal LPD secara pasti dicantumkan bidang – bidang apa saja yang seharusnya menjadi bagian dari pengawasan dan penanganan permasalahan yang timbul dari bidang – bidang yang diawasi. Kelemahan keputusan tersebut dapat ditunjukkan dengan minimnya upaya pencegahan bahkan upaya penanggulangan dari badan pengawas internal. Badan pengawas internal kurang memahami tindakan apa yang seharusnya dilakukan untuk mencegah serta melakukan upaya penanggulangan terhadap praktek menyimpang yang telah dilakukan oleh LPD. Praktek menyimpang yang dilakukan oleh LPD juga perlu disikapi oleh badan pengawas eksternal. Kejelasan pengaturan tugas pokok dan fungsi badan pengawas eksternal juga sangat penting dalam mengefektifkan pengawasan terhadap pengelolaan LPD. Untuk di Kota Denpasar, Walikota mengeluarkan 2 (dua) Keputusan Walikota sehubungan dengan pengawasan LPD yang dilakukan oleh instansi luar. Keputusan tersebut adalah Keputusan Walikota Denpasar No. 188.45/109/Hk/2012 dan Keputusan Walikota Denpasar No. 188.45/689/Hk/2012. Keputusan Walikota Denpasar No. 188.45/109/Hk/2012 mengatur secara tegas mengenai tugas pokok dan fungsi tim monitoring dan evaluasi LPD Kota Denpasar. Salah satu tugasnya adalah melaksanakan monitoring dan evaluasi terhadap kinerja LPD se-Kota Denpasar. Namun, dalam Keputusan ini tidak 190 dicantumkan bahwa BPD dan instansi lainnya berkedudukan sebagai pengawas eksternal. Keputusan ini hanya menyebut bahwa BPD beserta instansi lainnya sebagai tim monitoring dan evaluasi. Berbeda halnya dengan Keputusan Walikota Denpasar No. 188.45/689/Hk/2012. Keputusan tersebut menimbulkan suatu permasalahan berkaitan dengan kedudukan tim yang dibentuk sebagai pengawas LPD. Dalam keputusan tersebut, unsur BPD Cabang Utama Denpasar, unsur PLPDK Denpasar, unsur Fakultas Ekonomi Universitas Udayana, unsur BAPPEDA Kota Denpasar, dan unsur Bagian Perekonomian Sekretariat Daerah Kota Denpasar diberikan kewenangan untuk menjalankan tugas pokok dan fungsi sebagai pengawas internal. Kedudukan BPD beserta instansi lainnya dalam Keputusan Walikota Denpasar No. 188.45/689/Hk/2012 sangat bertentangan dengan Peraturan Gubernur Bali No. 16/2008. Mengenai tim pengawas internal LPD sudah diatur secara tegas dan jelas dalam Pasal 9 Peraturan Gubernur Bali No. 16/2008 bahwa yang menjadi tim pengawas internal LPD adalah Bendesa adat sebagai ketua pengawas internal dan 2 (dua) anggota krama desa lainnya yang dipilih sebagai anggota pengawas internal LPD. Adanya 2 peraturan yang saling bertentangan ini, memberikan pemahaman bahwa terdapat 2 (dua) tim pengawas yang diberi kewenangan untuk melakukan pengawasan internal terhadap LPD. Terbitnya menimbulkan Keputusan Walikota Denpasar No. 188.45/689/Hk/2012 ketidakjelasan mengenai kedudukan BPD dan instansi lainnya dalam melakukan pengawasan terhadap pengelolaan LPD. BPD dan instansi 191 lainnya seharusnya diberikan kewenangan sebagai eksternal controller terhadap pengelolaan LPD dan bukan sebagai internal controller. Ketidakpastian akan peraturan mengenai pembentukan pengawasan eksternal LPD menjadi salah satu penyebab kurang maksimalnya tingkat pengawasan eksternal terhadap pengelolaan LPD. Tim pengawas eksternal belum memiliki peraturan yang pasti akan tugas pokok dan fungsi sebagai pengawas eksternal karena dalam Keputusan Walikota Denpasar No. 188.45188.45/689/Hk/2012 hanya mengatur mengenai tugas pokok dan fungsi pengawas internal LPD. Kurang maksimalnya pelaksanaan pengawasan oleh badan pengawas eksternal dapat diketahui dari hasil wawancara dari para Kepala LPD yang telah dibahas sebelumnya. Pada kenyataannya, tim pengawas eksternal kurang mampu melakukan suatu upaya pencegahan dan penanggulangan terhadap praktek menyimpang yang dilakukan oleh LPD. Kegiatan pemberian kredit dengan jaminan sertifikat hak milik atas tanah masih berlangsung sampai saat ini karena belum ada upaya pencegahan maupun perbaikan ke arah yang lebih baik dari badan pengawas internal maupun eksternal. Tidak hanya berlangsung saat ini, praktek yang merupakan penyimpangan dari Pasal 10 ayat (2) UUHT ini kedepannya akan terus dan semakin meluas di LPD Kota Denpasar. Pengawasan yang belum maksimal juga merupakan hambatan struktural terhadap pelaksanaan substansi Pasal 10 ayat (2) UUHT. Apabila salah satu dari ketiga komponen sistem hukum yang dikemukakan oleh Lawrence M.Friedman tidak berjalan dengan baik, maka kepastian hukum tidak akan pernah tercapai. 192 Ketiga sistem hukum tersebut adalah struktur hukum, substansi hukum, dan budaya hukum140. Struktur hukum merupakan keseluruhan institusi-institusi yang ada beserta aparatnya141. Badan pengawas internal dan ekternal merupakan bagian dari sistem hukum yang bertugas untuk menentukan bagaimanakah suatu peraturan tersebut ditaati. Badan pengawas internal dan ekternal sebagai suatu sistem hukum pada kenyataannya belum dapat melaksanakan apa yang telah ditentukan dalam Pasal 10 ayat (2) UUHT. Kenyataan ini merupakan hambatan dalam meningkatkan kepatuhan pihak LPD untuk melakukan pengikatan jaminan hak atas tanah dengan APHT. Selain harus menetapkan tanggung jawab yang jelas dari masing – masing pengawas, prinsip akuntabilitas (accountability) yang diisyaratkan dalam GCG juga memberikan pemahaman bahwa kompetensi yang dimiliki oleh pengawas harus sesuai dengan tanggung jawab yang dipikul. Kompetensi yang dimiliki oleh badan pengawas internal dan eksternal berkaitan dengan profesional dan kepemimpinan dari masing – masing tim badan pengawas. Pengawasan dari badan pengawas yang belum maksimal juga disebabkan oleh profesionalisme dan kepemimpinan dari badan pengawas. Ahmad Ali mengemukakan bahwa selain struktur hukum, substansi hukum, serta budaya hukum yang dikemukakan oleh Lawrence M. Friedman masih terdapat 2 (dua) unsur lagi yang merupakan unsur sistem hukum, yaitu profesionalisme dan 140 141 Achmad Ali, loc.cit. Achmad Ali, loc.cit. 193 kepemimpinan142. Profesionalisme dan kepemimpinan merupakan unsur kemampuan dan keterampilan secara person dari sosok-sosok penegak hukum143. Pengawasan yang kurang maksimal dari badan pengawas menunjukkan bahwa tingkat profesionalisme dan kepemimpinan dari badan pengawas belum memadai. Badan pengawas internal LPD, yang terdiri dari bendesa adat sebagai ketua pengawas dan didampingi oleh 2 (dua) orang lainnya dalam mengemban tugas sebagai badan pengawas internal, tentunya memerlukan suatu kemampuan dan keterampilan yang memadai dari masing-masing pihak. Beberapa Kepala LPD memberikan tanggapan sehubungan dengan keterampilan yang dimiliki oleh tim pengawas internal. Bapak I Wayan Durjana selaku Kepala LPD Desa Pakraman Oongan, mengemukakan bahwa selain memang ditentukan oleh Peraturan Gubernur, pemilihan anggota pengawas internal didasarkan karena pribadi tersebut aktif dalam rapat-rapat di desa pakraman tanpa memperhitungkan pengalaman dan keterampilan yang dimiliki oleh pribadi yang bersangkutan. Namun, pemerintah Kota Denpasar telah mengadakan suatu pelatihan standardisasi profesi pengawas internal. Pelatihan dilaksanakan di Praja Utama Kantor Walikota Denpasar dan sudah pernah dilaksanakan beberapa kali dalam periode tertentu. (wawancara pada tanggal 19 Juni 2013). Bapak I Made Medal selaku Kepala LPD Desa Pakraman Tembawu, juga mengungkapkan bahwa badan pengawas internal di LPD biasanya tidak memiliki latar belakang yang kuat terhadap pengelolaan LPD. Pada saat pemilihan anggota 142 143 Achmad Ali,loc.cit. Achmad Ali, loc.cit. 194 badan pengawas internal hanya didasarkan pada kepercayaan dan melihat keaktifan anggota tersebut dalam menghadiri berbagai kegiatan yang diadakan oleh desa pakraman. Namun, sebelum menjalankan tugasnya sebagai badan pengawas, tim pengawas internal sudah dilatih agar profesional dan memiliki keterampilan untuk mengawasi LPD. Instruktur yang melakukan pelatihan terhadap tim badan pengawas internal adalah PLPDK dan BPD Cabang Utama Denpasar. Materi pelatihan yang biasanya diberikan pada saat mengikuti pelatihan keterampilan pengawasan internal di kantor Pemerintah Kota Denpasar adalah mengenai administrasi, manajemen sumber daya manusia, manajemen kredit, manajemen keuangan, dan kinerja pengawasan internal. (wawancara pada tanggal 01 Agustus 2013). Bapak I Gusti Ngurah Bagus, Kepala LPD Desa Pakraman Cengkilung, memberikan komentar bahwa badan pengawas internal yang telah mengikuti pelatihan keterampilan pengawasan juga belum mampu mengkomunikasikan jika ada hal-hal yang perlu diperbaiki apabila terdapat kesalahan dalam pelaksanaan kegiatan operasional LPD. Hal ini disebabkan badan pengawas internal LPD tidak hanya memegang satu peranan sebagai pengawas, di sisi lain mereka juga bekerja di instansi lain. Masing-masing anggota pengawas juga memiliki kesibukan dan mereka tidak hanya terfokus dalam satu pekerjaan, sehingga tingkat komunikasi sangat minim untuk dilakukan. (wawancara pada tanggal 30 Juli 2013). Hal yang sama juga dikemukakan oleh Bapak I Made Astra Wijaya selaku Kepala LPD Desa Pakraman Padang Sambian. (wawancara pada tanggal 05 Agustus 2013). 195 Berdasarkan hasil wawancara dari para Kepala LPD di atas, menunjukkan bahwa adanya keterbatasan sumber daya manusia anggota pengawas internal. Hal ini dikarenakan ketua pengawas internal secara ex officio dijabat oleh bendesa adat. Permasalahan pertama yang terjadi disini adalah bendesa adat yang secara ex officio menjabat sebagai ketua pengawas internal LPD belum tentu memahami neraca, laporan laba rugi, permasalahan kredit, laporan arus kas, laporan keuangan, likuiditas, rentabilitas, dan manajemen resiko. Berbeda halnya dengan komisaris utama BPR, yang fungsinya kurang lebih sama dengan ketua pengawas internal LPD, namun komisaris utama BPR lebih memahami bidang perbankan karena itu semua merupakan pekerjaan sehari - harinya. Permasalahan kedua, yaitu mengenai pemilihan anggota pengawas lainnya yang hanya dipilih berdasarkan keaktifan mereka dalam mengikuti kegiatan kegiatan adat di desa pakraman bersangkutan. Seharusnya, melalui paruman desa, ditunjuk anggota masyarakat yang mengerti akuntansi dan keuangan sebagai anggota pengawas internal LPD. Kesenjangan kondisi bidang pengawasan intern inilah yang menyebabkan pemerintah Kota Denpasar mengadakan suatu pelatihan standardisasi profesi pengawas internal. Pelatihan keterampilan pengawas tersebut dilakukan agar badan pengawas internal mengetahui wewenang dan tanggung jawabnya sebagai pengawas. Adanya pelatihan keterampilan yang telah diikuti, tim pengawas internal dapat lebih mengoptimalkan pengawasannya terhadap kinerja LPD. Tim pengawas internal LPD seharusnya membagi bidang pengawasan yang akan 196 diawasi. Bendesa adat yang lebih memiliki keterampilan dalam memimpin desa pakraman, dapat menggunakan keterampilannya dalam melaksanakan jabatan sebagai ketua pengawas internal LPD. Salah satunya adalah dalam mengawasi penyaluran kredit apakah sudah sesuai perda LPD atau belum. Misalnya, nasabah yang menikmati fasilitas kredit dari LPD merupakan warga asli desa pakraman atau warga luar desa pakraman. Untuk tugas mengawasi neraca dan laporan keuangan lainnya dapat dilakukan oleh anggota pengawas intern lainnya yang seharusnya dipilih anggota yang ahli dalam bidang ekonomi dan pengelolaan LPD. Pengawasan anggota tim pengawas internal akan lebih optimal jika dibantu dengan pelatihan – pelatihan keterampilan pengawasan dan juga bantuan pengawasan oleh beberapa instansi sebagai tim pengawas eksternal. Berbeda halnya dengan tim pengawas eksternal yang anggotanya memang memiliki pengalaman di bidang perekonomian dan memahami tentang pengelolaan LPD. Hal ini terbukti dengan keikutsertaan tim pengawas dari instansi-instansi yang telah ditunjuk berdasarkan Peraturan Gubernur Bali dan Keputusan Walikota Denpasar, yaitu BPD, PLPDK Denpasar, Bagian Perekonomian Sekretariat Daerah Kota Denpasar, dan unsur Fakultas Ekonomi Universitas Udayana. Tim pengawas eksternal semestinya dapat melakukan pengawasan secara optimal terhadap kegiatan yang dilakukan oleh LPD, terutama kegiatan - kegiatan yang dilakukan menyimpang dari peraturan yang berlaku. Hal ini dikarenakan anggota - anggota dari tim pengawas ekternal memang pribadi atau instansi yang 197 berkompetensi dalam bidang akuntansi dan pengelolaan LPD. Namun dalam prakteknya badan pengawas eksternal juga belum mampu melakukan upaya perbaikan ke arah yang lebih baik dari kegiatan penyimpangan yang dilakukan oleh pihak LPD. Profesionalisme dan kepemimpinan yang memadai akan memberi pengaruh yang positif terhadap pengawasan yang akan dilakukan terhadap LPD. Pengawasan terhadap kredit yang diberikan oleh LPD dengan jaminan hak atas tanah tanpa diikat dengan APHT seharusnya dapat ditingkatkan apabila badan pengawas internal dan eksternal memiliki kemampuan untuk memecahkan permasalahan tersebut dan mampu menciptakan suatu upaya perbaikan atas penyimpangan tersebut. Selain faktor profesionalisme dan kepemimpinan, badan pengawas internal dan ekternal juga harus mampu melakukan komunikasi yang optimal sehingga mampu membangun trust (kepercayaan) dari pihak LPD. Komunikasi yang optimal dapat digunakan sebagai suatu media untuk mengenali, mendapatkan, dan mempertukarkan informasi lintas waktu dan tempat dalam bentuk memungkinkan orang untuk melaksanakan tanggung jawabnya144. John Baldoni mengungkapkan bahwa kepemimpinan sangat erat hubungannya dengan kemampuan seorang atau sekelompok pemimpin melakukan komunikasi yang optimal sehingga mampu membangun kepercayaan. Adanya 144 I Wayan Suartana, op.cit, hal. 24. 198 komunikasi hukum dapat melahirkan suatu kepercayaan sehingga mampu mewujudkan efektifitas hukum145. Pengawasan tidak dapat berfungsi tanpa adanya garis komunikasi yang terbuka dan baik serta jelas. Badan pengawas internal dan eksternal LPD harus pandai berbicara serta memiliki kemampuan untuk mengemukakan hal-hal yang telah dilanggar oleh pihak LPD yang dapat menimbulkan resiko yang tinggi terhadap kesehatan LPD dan mampu mengkomunikasikan suatu perbaikan terhadap hal tersebut. Komunikasi dengan tujuan persuasif, informatif, dan stimulatif dari pihak badan pengawas internal dan eksternal dapat menimbulkan suatu kepercayaan bagi pengurus LPD akan pentingnya penggunaan APHT. Kepercayaan tersebut dapat mendorong pengurus LPD untuk melaksanakan kegiatan usaha agar tidak menyimpang lagi dan tetap berpedoman pada Pasal 10 ayat (2) UUHT. Agar pihak LPD dapat melaksanakan tanggung jawabnya dengan baik, maka tim badan pengawas harus menjaga komunikasi dengan baik kepada kepala maupun pengurus LPD. Informasi – informasi yang penting bagi kegiatan usaha yang dijalankan oleh LPD hendaknya diidentifikasi dan diproses agar bisa dikomunikasikan oleh tim badan pengawas kepada pihak LPD. Tim badan pengawas LPD, baik internal maupun eksternal perlu menjalin komunikasi yang intensif dengan pengurus LPD. Komunikasi yang baik menunjukkan adanya keharmonisan antara badan pengawas dengan pengurus 145 Achmad Ali, loc.cit. 199 LPD, namun tetap tidak melupakan kedudukan diantara mereka sebagai siapa yang mengawasi dan diawasi. Komunikasi tersebut terjalin baik dengan cara mengadakan suatu rapat koordinasi setiap waktu tertentu. Rapat koordinasi dilakukan dengan tujuan kedua belah pihak dapat saling mengemukakan serta mendiskusikan kesulitan - kesulitan yang dihadapi pihak LPD maupun penyimpangan - penyimpangan yang telah dilakukan oleh LPD agar dapat segera dicarikan solusi permasalahan dan perbaikannya. Jadi, dapat disimpulkan bahwa pengaturan mengenai tugas pokok dan fungsi, profesionalisme, kepemimpinan serta komunikasi yang memadai sangat diperlukan oleh badan pengawas internal dan eksternal dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya sesuai dengan kewenangan yang telah ditentukan dalam Keputusan Gubernur Bali dan Keputusan Walikota Denpasar. Pengawasan yang memadai dari badan pengawas internal dan eksternal dapat mengurangi dan bahkan menghilangkan praktek pemberian kredit dengan jaminan sertifikat hak atas tanah yang telah lama meluas hampir di seluruh LPD di Kota Denpasar. 200 BAB V PENUTUP 5.1 Simpulan Berdasarkan uraian pembahasan bab – bab sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa: 1. Berdasarkan Pasal 20 ayat (1) huruf b UUHT, sertifikat Hak Tanggungan yang berkekuatan eksekutorial memberikan hak mendahului bagi kreditor pemegang Hak Tanggungan dalam mengambil pelunasan piutang dari kreditor–kreditor lainnya apabila debitor wanprestasi. Namun, LPD selaku kreditor tidak memiliki sertifikat Hak Tanggungan karena tidak melakukan penyertaan APHT dan pendaftaran Hak Tanggungan ke Badan Pertanahan Nasional sehingga LPD tidak diberikan hak mendahului dalam mengambil pelunasan piutangnya pada saat penyelesaian perjanjian kredit macet. Kedudukan LPD dalam hal ini adalah sebagai kreditor konkuren yang menyebabkan LPD secara bersama-sama memperoleh pelunasan piutang tanpa ada yang didahulukan dari kreditor lainnya. 2. Pelaksanaan pengawasan dari badan pengawas internal maupun eksternal terhadap praktek pemberian kredit oleh LPD dengan jaminan sertifikat hak milik atas tanah yang tidak diikat dengan APHT belum berjalan secara maksimal. Hal ini dikarenakan beberapa LPD yang diteliti belum menentukan secara tegas mengenai tugas pokok dan fungsi pengawas 201 internal ke dalam suatu peraturan tertulis, kecuali LPD Desa Pakraman Bekul yang sudah mencantumkan tugas pokok dan fungsi badan pengawas internal secara tegas dalam Surat Keputusan Paruman Desa Pakraman. Hanya saja upaya dari badan pengawas internal yang diterapkan selama ini sebatas pembinaan secara lisan kepada pengurus LPD. Selain itu, pengawasan yang kurang maksimal juga disebabkan oleh ketidakpastian kedudukan, tugas pokok dan fungsi badan pengawas eksternal karena adanya peraturan yang bertentangan mengenai pembentukan tim pengawas, yaitu Keputusan Walikota Denpasar No. 188.45/689/Hk/2012 dengan Peraturan Gubernur Bali No. 16/2008. 5.2 Saran Adapun saran yang dapat diberikan terkait permasalahan yang dikaji adalah sebagai berikut: 1. Seyogyanya pihak LPD dalam memberikan kredit kepada debitor yang menggunakan jaminan sertifikat hak milik atas tanah mematuhi substansi dalam UUHT, khususnya Pasal 10 ayat (2) dan Pasal 13 ayat (1) UUHT karena penyertaan APHT yang diikuti dengan pendaftaran Hak Tanggungan dapat memberikan kepastian hukum terhadap kedudukan LPD maupun tanah yang dijadikan jaminan kredit. 2. Diharapkan badan pengawas internal LPD, melakukan suatu upaya penanggulangan terhadap praktek pemberian kredit dengan jaminan sertifikat hak milik atas tanah yang tidak diikat dengan APHT. Upaya penanggulangan dapat dilakukan dengan cara memberikan peringatan 202 kepada pengurus LPD. Peringatan oleh badan pengawas internal hendaknya dituangkan secara tertulis dan dicantumkan pula himbauan agar praktek menyimpang ini tidak diterapkan lagi oleh pengurus LPD. 3. Kepada bendesa adat, sebaiknya menuangkan hasil paruman pengukuhan badan pengawas internal dalam suatu peraturan tertulis dan secara tegas juga mencantumkan tugas pokok dan fungsi badan pengawas internal. Hal ini dilakukan agar badan pengawas internal mengetahui secara pasti tanggung jawabnya sehingga dapat meningkatkan kualitas pengawasan terhadap LPD. 4. Kepada Walikota Denpasar, agar mencabut Keputusan Walikota Denpasar No. 188.45/689/Hk/2012 dan membuat Keputusan Walikota yang baru mengenai pembentukan tim pengawas eksternal LPD serta mencantumkan secara jelas tugas pokok dan fungsi dari pengawas eksternal. Pengaturan tugas pokok dan fungsi yang jelas sangat berpengaruh terhadap kualitas pengawasan yang dilakukan oleh badan pengawas eksternal terhadap pengelolaan LPD. 203 DAFTAR PUSTAKA A.Buku Ashcroft, John D and Janet E. Ashcroft, 2008, Law Bussiness, Thomson Eiger Education, USA Adjie, Habib, 2009, Sekilas Dunia Notaris & PPAT Di Indonesia, Mandar Maju, Bandung. Ali, Achmad,2009, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicial Prudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence), Kencana Prenada Media Group, Jakarta. Artadi, I Ketut dan I Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, 2010, Implementasi Ketentuan-Ketentuan Hukum Perjanjian Ke Dalam Perancangan Kontrak, Udayana University Press, Denpasar. Amirudin dan Zainal Asikin, 2010, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta. Badrulzaman, Mariam Daruz, 2009, Kompilasi Hukum Jaminan, Mandar Maju, Bandung. Bahsan, M, 2010, Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta. Basah, Sjachran, 2000, Perlindungan Hukum Terhadap Sikap Tindak Pidana Administrasi Negara, Penerbit Pustaka Sinar Harapan, Jakarta. Budiarna, I Nyoman, 2007, Prinsip “Pang Pada Payu” Dalam Hukum Ekonomi Indonesia, PT.Mabhakti, Denpasar. Cavendish, 2004, Contract Law, Cavendish Publishing Limited, Great Britain. Dewi, Gemala, 2007, Aspek-Aspek Hukum Dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah di Indonesia, Kencana Prenada Media Group, Jakarta. Elliott, Catherine and Frances Quinn, 2005, Contract Law, Perason Educatin Limited, England. Harahap, Sofyan Safri, 2001, System Pengawasan Manajemen, Penerbit Quantum, Jakarta. Hermansyah, 2005, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Kencana Prenada Media Group, Jakarta. 204 Ibrahim, Johannes dan Lindawaty Sewu, 2004, Hukum Bisnis Dalam Perspektif Manusia Modern, Refika Aditama, Bandung. Imaniyati, Neni Sri, 2010, Pengantar Hukum Perbankan Indonesia, PT.Refika Aditama, Bandung. Jeddawi, H.Murtir, 2012, Hukum Administrasi Negara, Total Media, Yogyakarta. Kasmir, 2012, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, Jakarta, PT.Rajawali Pers. Kusumohamidjojo, Budiono, 2001, Panduan Untuk Merancang Kontrak, Grasindo, Jakarta. Manik, Edward, 2012, Cara Mudah Memahami Proses Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, CV. Mandar Maju, Bandung. Marzuki, Peter Mahmud, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta. _______, 2009, Penelitian Hukum, Prenada Media Group, Jakarta. Muljadi Kartini dan Gunawan Widjaja, 2005, Hak Tanggungan, Kencana Prenada Media Group, Jakarta. Nasution, Bahder Johan, 2008, Metode Penelitian Ilmu Hukum, CV Mandar Maju, Bandung. Nurjaya, I Nyoman et. al, 2011, Landasan Teoritik Pengaturan LPD (Sebagai Lembaga Keuangan Komunitas Masyarakat Hukum Adat Bali), Udayana University Press, Denpasar. Pasaribu, H. Chairuman dan Suhrawadi K. Lubis, 2004, Hukum Perjanjian Dalam Islam, Sinar Grafika, Jakarta. Poesoko, Herowati, 2007, Parate Executie Obyek Hak Tanggungan (Inkonsistensi, Konflik Norma, dan Kesesatan Penalaran dalam UUHT), LaksBang PRESSindo, Yogyakarta. Prajitno, Andi, 2010, Pengetahuan Praktis tentang Apa dan Siapa Notaris di Indonesia, CV. Putra Media Nusantara, Surabaya. Raharjo, Handri, 2009, Hukum Perjanjian di Indonesia, Pustaka Yustisia, Yogyakarta. Ridwan HR, 2011, Jakarta. Hukum Administrasi Negara, PT.RajaGrafindo Persada, 205 Salim HS, 2002, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Sinar Grafika, Jakarta. _______, 2004, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta. _______, 2007, Perkembangan Hukum Kontrak Di Luar KUHPerdata, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. _______, H.Abdullah dan Wiwiek Wahyuningsih, 2008, Perancangan Kontrak & Memorandum of Understanding (MoU), Sinar Grafika, Jakarta. Salman, H.R.Otje dan Anton F.Susanto, 2005, Teori Hukum, Refika Aditama, Bandung. Satrio, J, 2002, Hukum Jaminan, Hak-Hak Jaminan Kebendaan, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung. Sembiring, Sentosa, 2008, Hukum Perbankan, CV. Mandar Maju, Bandung. _______, 2012, Hukum Perbankan , CV. Mandar Maju, Bandung. Simatupang, Richard Burton, 2007, Aspek Hukum Dalam Bisnis, Rineka Cipta, Jakarta. Soerodjo, Irawan, 2003, Kepastian Hukum Hak Atas Tanah Di Indonesia, Arloka, Surabaya. Soeroso, R, 2010, Perjanjian di Bawah Tangan Pedoman Praktis Pembuatan dan Aplikasi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta. Spagnola, Linda A, 2008, Contacts For Paralegals (Legal Principles and Practical Applications), McGraw-Hill Companies, United States. Suartana, I Wayan, 2009, Arsiktektur Pengelolaan Risiko Pada Lembaga Perkreditan Desa (LPD), Udayana University Press, Denpasar Sule, Ernie Tisnawati dan Kurniawan Saefullah, 2005, Pengantar Manajemen, Kencana, Jakarta. Supramono, Gatot, 2009, Perbankan dan Masalah Kredit, Rineka Cipta, Jakarta. _______, 2013, Perjanjian Utang Piutang, Kencana Prenada Media Group. Supranto, J, 2003, Metode Penelitian Hukum dan Statistik, Rineka Cipta, Jakarta. Sutedi, Adrian, 2010, Hukum Hak Tanggungan, Sinar Grafika, Jakarta. 206 _______, 2011, Good Corporate Governance, Sinar Grafika, Jakarta. Suyanto, Bagong dan Sutinah, 2011, Metode Penelitian Sosial, Kencana Prenada Media Group, Jakarta. Syahrani, Riduan, 2006, Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, PT.Alumni, Bandung. Tamrin, H. Husni, 2011, Pembuatan Akta Pertanahan Oleh Notaris, LaksBang PRESSindo, Yogyakarta. Tehupeiory, Aartje, 2012, Pentingnya Pendaftaran Tanah di Indonesia, Raih Asa Sukses, Bogor. Usman, Rachmadi, 2011, Hukum Kebendaan, Sinar Grafika, Jakarta. _______, 2009, Hukum Jaminan Keperdataan, Sinar Grafika, Jakarta. Vickery, Roger and Wayne Pendleton, 2003, Australian Business Law Principles&Applications, Pearson Education Australia, New South Wales. Yasabari, Nasroen dan Nina Kurnia Dewi, 2007, Penjaminan Kredit, Mengantar UKMK Mengakses Pembiayaan, PT. Alumni, Bandung. Zarkasyi, Moh Wahyudin, 2008, Good Corporate Governance Pada Badan Usaha Manufaktur, Perbankan, dan Jasa Keuangan Lainnya, Alfabeta, Bandung. B. Artikel dan Jurnal Darsana, Ida Bagus, 2010, “Peranan dan Kedudukan LPD Dalam Sistem Perbankan di Indonesia”, Majalah Ilmu Hukum Kertha Wicaksana, Nomor 1, Januari 2010. Denpasar, Pemerintah Kota, 2006, Pedoman Pembinaan LPD di Kota Denpasar, Bagian Perekonomian Sekretariat Daerah Kota Denpasar. _______, 2012, Laporan Monitoring dan Evaluasi LPD Se-Kota Denpasar, Bagian Perekonomian Sekretariat Daerah Kota Denpasar. _______,2012, Pengawasan Internal/Stock Opname LPD Di Kota Denpasar, Bagian Perekonomian Sekretariat Daerah, Kota Denpasar. Ramantha, I Wayan, “Intensifkan LPD Pengurus Harus Patuhi Lima Indikator”, Bali Post, 28 Oktober 2013. 207 C. Tesis Haryati, 1999, “Proses Pembebanan Hak Tanggungan”, Tesis Fakuktas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, hal. 6. Serial online (cited on 2000 jun 02), available from URL: http://eprints.undip.ac.id/12977/1/1999H438.pdf. Mudita, I Nyoman Gede, 2007, “Kedudukan Akta Pengikatan Jaminan Yang Dibuat Oleh Notaris/PPAT Dalam Pemberian Kredit Oleh Lembaga Perkreditan Desa (LPD)”, Tesis Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang. Rumbiani, Ni Nyoman, 2013, “Perjanjian Kredit Dengan Jaminan Hak Atas Tanah Pada Lembaga Perkreditan Desa Di Kabupaten Gianyar”, Tesis Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar. D. Peraturan Perundang-Undangan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek). Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda – Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3632). Undang - Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan dari Undang – Undang No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor. 182, Tambahan Lembaran Negara Nomor. 3790). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 168, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3889). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4357). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 117, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4432). 208 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253). Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Tahun Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3696). Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 52, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3746). Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 8 Tahun 2002 Tentang Lembaga Perkreditan Desa (Lembaran Daerah Provinsi Bali Nomor. 20 Tahun 2002, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Bali Nomor 3). Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2007 Tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 8 Tahun 2002 Tentang Lembaga Perkreditan Desa (Lembaran Daerah Provinsi Bali Tahun 2007 Nomor 3, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Bali Nomor 3). Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2012 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 8 Tahun 2002 Tentang Lembaga Perkreditan Desa (Lembaran Daerah Provinsi Bali Tahun 2012 Nomor 4, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Bali Nomor 4). Peraturan Gubernur Bali Nomor 16 Tahun 2008 Tentang Pengurus Dan Pengawas Internal Lembaga Perkreditan Desa (Berita Daerah Provinsi Bali Tahun 2008 Nomor 16). Keputusan Gubernur Bali Nomor 95/01-C/HK/2003 Tentang Pelimpahan Wewenang Pengawasan Lembaga Perkreditan Desa Di Provinsi Bali Kepada Bank Pembangunan Daerah Bali. Peraturan Walikota Denpasar Nomor 40 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pembinaan Lembaga Perkreditan Desa (LPD) Di Kota Denpasar (Berita Daerah Kota Denpasar Tahun 2006 Nomor 37). Keputusan Walikota Denpasar Nomor 188.45/109/HK/2012 Tentang Monitoring Dan Evaluasi Lembaga Perkreditan Desa Kota Denpasar Tahun 2012. Keputusan Walikota Denpasar Nomor 188.45/689/HK/2012 Tentang Pembentukan Tim Pengawas Internal Lembaga Perkreditan Desa Kota Denpasar Tahun 2012. 209 E. Website Frans Hendra Winarta, 2012, “Membangun Profesionalisme Aparat Penegak Hukum”,availablefrom:URL:http://www.franswinarta.com/EZPDF/Membangu n%20Profesionalisme%20Aparat%20Penegak%20Hukum%2030.5.12.pdf, http://bankdata.denpasarkota.go.id/bankdata/LPD_2010.pdf. http://www.bankdata.denpasarkota.go.id/bankdata/Data%20perkembangan%20LP D%20di%20Kota%20Denpasar.pdf.