II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Teori Pertumbuhan

advertisement
II.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Teori Pertumbuhan Ekonomi
2.1.1.
Teori Pertumbuhan Neoklasik Tradisional
Dalam argumen pasar bebas neoklasik merupakan keyakinan bahwa
liberalisasi pasar-pasar nasional akan merangsang investasi, baik itu investasi
domestik maupun yang berasal dari luar negeri, sehingga dengan sendirinya akan
memacu tingkat akumulasi modal. Bila diukur berdasarkan satuan tingkat
pertumbuhan Gross National Product (GNP), hal tersebut sama dengan penambahan
tingkat tabungan domestik, yang pada gilirannya akan meningkatkan rasio modaltenaga kerja (capital-labor ratios) dan pendapatan per kapita negara-negara
berkembang yang pada umumnya miskin modal. Model-model pertumbuhan
neoklasik tradisional sesungguhnya bertolak secara langsung dari model HarrodDomar dan Solow.
Model pertumbuhan Harrod-Domar menjelaskan mekanisme perekonomian
yang mengandalkan peningkatan investasi dalam mempercepat pertumbuhan
ekonomi. Model ini menyarankan bahwa setiap perekonomian pada dasarnya harus
senantiasa mencadangkan atau menabung sebagian tertentu dari pendapatan
nasionalnya untuk menambah atau menggantikan barang-barang modal (gedung, alatalat, dan bahan baku) yang telah susut atau rusak. Namun, untuk memacu
pertumbuhan ekonomi dibutuhkan investasi baru yang merupakan tambahan neto
terhadap cadangan atau stok modal (capital stock).
12
Y s
............................................................................................. (2.1)

Y
k
Persamaan diatas merupakan versi sederhana dari persamaan teori
pertumbuhan ekonomi Harrod-Domar. Persamaan tersebut menjelaskan bahwa
tingkat pertumbuhan Produk Domestik Bruto (ΔY/Y) ditentukan secara bersama-sama
oleh tabungan nasional (s) serta rasio modal-output nasional (k).
Model pertumbuhan neoklasik selanjutnya yaitu model pertumbuhan
neoklasik Solow. Pada intinya, model ini merupakan pengembangan dari formulasi
Harrod-Domar dengan menambahkan faktor kedua, yakni tenaga kerja, serta
memperkenalkan variabel independen ketiga, yaitu teknologi ke dalam persamaan
pertumbuhan. Berbeda dengan model Harrod-Domar yang mengasumsikan skala
hasil tetap (constant return to scale) dengan koefisien baku, model pertumbuhan
neoklasik Solow berpegang pada konsep skala hasil yang terus berkurang
(diminishing returns) dari input tenaga kerja dan modal jika keduanya dianalisis
secara terpisah; jika keduanya dianalisis secara bersamaan atau sekaligus, Solow juga
memakai asumsi skala hasil tetap tersebut. Kemajuan teknologi ditetapkan sebagai
faktor residu untuk menjelaskan pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang, dan
tinggi rendahnya pertumbuhan itu sendiri oleh Solow maupun para teoretisi lainnya
diasumsikan bersifat eksogen atau tidak dipengaruhi oleh faktor-faktor lain.
Dalam bentuk yang lebih formal, model pertumbuhan neoklasik Solow
memakai fungsi produksi agregat standar, yakni:
Y  K   AL 
1
................................................................................. (2.2)
13
Pada persamaan tersebut Y adalah Produk Domestik Bruto (PDB), K adalah stok
modal fisik dan modal manusia, L adalah tenaga kerja, dan A adalah produktivitas
tenaga kerja, yang pertumbuhannya ditentukan secara eksogen. Adapun simbol α
melambangkan elastisitas output terhadap modal. Karena tingkat kemajuan teknologi
ditentukan secara eksogen, model neoklasik Solow terkadang juga disebut sebagi
model pertumbuhan “eksogen”.
Menurut teori pertumbuhan neoklasik tradisional pertumbuhan output
bersumber dari satu atau lebih dari tiga faktor, yaitu kenaikan kuantitas dan kualitas
tenaga kerja, penambahan modal, dan penyempurnaan teknologi. Kenaikan kuantitas
dan kualitas dari tenaga kerja dapat dilihat dari pertumbuhan jumlah penduduk dan
juga perbaikan pendidikan. Faktor penambahan modal dapat dilihat melalui tabungan
dan investasi.
2.1.2. Model Pertumbuhan Endogen
Konsep pertumbuhan yang lainnya yaitu konsep pertumbuhan endogen.
Konsep ini sering pula disebut dengan teori pertumbuhan baru (new growth theory).
Model pertumbuhan endogen mempunyai kemiripan struktural dengan teori
pertumbuhan neoklasik, namun berbeda dalam hal asumsi yang mendasarinya dan
kesimpulan yang ditarik darinya. Teori ini berupaya untuk menjelaskan keberadaan
skala hasil yang semakin meningkat dan pola pertumbuhan jangka panjang yang
berbeda-beda antarnegara. Teori pertumbuhan endogen (theory of endogenous
growth) dirintis oleh Romer (1986) dan Lucas (1989). Salvatore (1997) mengatakan
bahwa teori ini mampu menyajikan suatu ulasan analitis yang lebih menyeluruh dan
meyakinkan
mengenai
hubungan
antara
perdagangan
internasional
dengan
14
pembangunan dan pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang. Secara spesifik,
teori baru pertumbuhan ekonomi endogen ini menyatakan bahwa pendapatan
penurunan hambatan-hambatan perdagangan dalam berbagai bentuk, baik tarif
maupun
non-tarif,
akan
mempercepat
tingkat
pertumbuhan
ekonomi
dan
pembangunan di suatu negara dalam jangka panjang.
Aspek yang paling menarik dari model pertumbuhan endogen adalah bahwa
model tersebut membantu menjelaskan keanehan aliran modal internasional yang
memperparah ketimpangan antara negara maju dengan negara berkembang. Potensi
tingkat pengembalian investasi yang tinggi yang ditawarkan oleh negara berkembang
yang mempunyai rasio modal-tenaga kerja yang rendah berkurang dengan cepat
dikarenakan rendahnya tingkat investasi komplementer (complementary investments)
dalam sumber daya manusia (pendidikan), infrastruktur, atau riset dan pengembangan
(R & D).
2.2.
Kebijakan Fiskal
Kebijakan fiskal merupakan satu instrumen dari kebijakan makroekonomi.
Kebijakan makroekonomi tersebut bertujuan untuk mencapai output yang tinggi
dengan laju pertumbuhan yang cepat, kesempatan kerja yang tinggi, stabilitas harga
serta keseimbangan dalam neraca pembayaran. Dalam literatur klasik, terdapat
beberapa perbedaan pandangan mengenai kebijakan fiskal, terutama menurut teori
Keynes dan teori klasik tradisional (Nopirin, 2000). Pada prinsipnya Keynes
berpendapat bahwa kebijakan fiskal lebih besar pengaruhnya terhadap output
daripada
kebijakan
moneter.
Alasannya
adalah
kebijakan
fiskal
mampu
15
meningkatkan
permintaan
agregat
secara
langsung.
Samuelson
(1997),
mendefinisikan kebijakan fiskal sebagai salah satu proses pembentukan perpajakan
dan pengeluaran pemerintah atau publik. Proses tersebut merupakan upaya menekan
fluktuasi siklus ekonomi, dan ikut berperan menjaga ekonomi yang tumbuh dengan
penggunaan tenaga kerja penuh dimana tidak terjadi laju inflasi yang tinggi dan
berubah-ubah. Berdasarkan definisi tersebut terdapat dua instrumen pokok di
dalamnya, yaitu belanja negara dan perpajakan. Dengan kedua instrumen tersebut,
pemerintah dapat menetapkan program pengeluaran publik serta penerimaannya yang
sebagian besar adalah pajak.
Kondisi anggaran merupakan cerminan dari kebijakan fiskal yang dipilih
pemerintah pada periode tersebut. Pada saat anggaran defisit, ini berarti pemerintah
mengambil kebijakan fiskal ekspansif. Kebijakan ini ditujukan untuk meningkatkan
daya beli masyarakat. Kebijakan ini dilakukan pada saat perekonomian mengalami
resesi/depresi dan tingkat pengangguran tinggi. Sebaliknya, pada saat anggaran
surplus, ini berarti pemerintah mengambil kebijakan kontraktif.
Gambar 2.1. Kurva Kebijakan Fiskal Ekspansif
16
Kebijakan
ekspansif
dilakukan
dengan
cara
menaikkan
pengeluran
pemerintah (G) atau menurunkan pajak (T) untuk meningkatkan output (Y), adapun
mekanisme peningkatan pengeluaran pemerintah ataupun penurunan pajak (T)
terhadap output. Gambar 2.1. dapat dijelaskan bahwa pada saat pengeluaran
pemerintah (∆G) naik atau selisih pajak (∆T) turun makan akan menggeser kurva
pengeluaran agregat keatas sehingga pendapatan akan naik dari (Y1) menjadi
(Yf).Kebijakan Fiskal Kontraktif adalah kebijakan pemerintah dengan cara
menurunkan belanja negara dan menaikkan tingkat pajak. Kebijakan ini bertujuan
untuk menurunkan daya beli masyarakat dan mengatasi inflasi. Kebijakan anggaran
surplus sebaiknya dilaksanakn ketika perekonomian pada kondisi yang mulai
memanas (overheating) untuk menurunkan tekanan permintaan. Pada saat munculnya
ekspansionary gap. Ekspansionary gap adalah suatu kondisi dimana output potensial
(Yf) lebih kecil dibandingkan dengan output aktual (Y1).
Gambar 2.2. Kurva Kebijakan Fiskal Kontraktif
Pada Gambar 2.2. di atas ini dapat dijelaskan bahwa disaat pengeluaran
pemerintah (∆G) turun atau selisih pajak (∆T) naik maka akan menggeser kurva
pengeluaran agregat kebawah sehingga pendapatan akan turun dari (Y1) menjadi (Yf).
17
Adapun mekanisme penurunan pengeluaran pemerintah (G) ataupun kenaikan pajak
(T) terhadap output (Y).
2.2.1. Teori Perkembangan Pengeluaran Pemerintah
Salah satu instrumen kebijakan fiskal adalah pengeluaran pemerintah.
Pengeluaran pemerintah adalah seluruh pembelian atau pembayaran barang dan jasa
untuk kepentingan nasional. Pengeluaran pemerintah juga merupakan instrumen
pengukur dimana pemerintah menentukan seberapa besar peran sektor pemerintah
dan sektor swasta. Di samping itu, pengeluaran pemerintah dapat menjadi penentu
pokok jumlah pengeluaran agregat, dan penentu pertumbuhan GNP riil jangka
pendek. Teori mengenai perkembangan pengeluaran pemerintah dikemukakan oleh
para ahli ekonomi dan dapat digolongkan menjadi tiga golongan (Mangkoesoebroto,
1997), yaitu:
2.2.2. Model Pembangunan tentang Perkembangan Pengeluaran Pemerintah
Model ini dikembangkan oleh Rostow dan Musgrave yang menghubungkan
perkembangan pengeluaran pemerintah dengan tahap-tahap pembangunan ekonomi
yang dibedakan antara tahap awal, tahap menengah, dan tahap lanjut. Pada tahap
awal perkembangan ekonomi, prosentase investasi pemerintah terhadap total
investasi besar, sebab pada tahap ini pemerintah harus menyediakan prasarana,
seperti pendidikan, kesehatan, prasarana transportasi, dan sebagainya. Pada tahap
menengah pembangunan ekonomi, investasi pemerintah tetap diperlukan untuk
meningkatkan pertumbuhan ekonomi agar dapat tinggal landas, namun pada tahap ini
peranan investasi swasta sudah semakin membesar. Peranan pemerintah tetap besar
pada tahap menengah, karena peranan swasta yang semakin besar akan menimbulkan
18
banyak kegagalan pasar dan juga menyebabkan pemerintah harus menyediakan
barang dan jasa publik dalam jumlah yang lebih banyak.
Musgrave (1983) berpendapat bahwa dalam suatu proses pembangunan,
investasi pemerintah terhadap PDB akan semakin kecil. Pada tingkat ekonomi lebih
lanjut, Rostow mengatakan bahwa aktivitas pemerintah dalam pembangunan
ekonomi beralih dari penyediaan prasarana ke pengeluaran-pengeluaran untuk
aktivitas sosial seperti program kesejahteraan hari tua dan pelayanan kesehatan
masyarakat, dan sebagainya.
2.2.3. Hukum Wagner
Wagner mengemukakan suatu teori mengenai perkembangan pengeluaran
pemerintah yang semakin besar dalam prosentase terhadap PDB. Wegner
mengemukakan pendapatnya bahwa dalam suatu perekonomian apabila pendapatan
perkapita meningkat maka secara relatif pengeluaran pemerintah pun akan
meningkat. Wagner mengemukakan pendapatnya dalam bentuk suatu hukum
Wagner, sebagai berikut : Dalam suatu perekonomian, apabila pendapatan perkapita
meningkat, secara relatif pengeluaran pemerintah pun akan meningkat. Hukum
Wagner dikenal dengan “ The Law of Expanding State Expenditure”. Dasar hukum
tersebut adalah pengamatan empiris di negara-negara maju yaitu, Amerika Serikat,
Jerman, Jepang. Wagner menerangkan mengapa peranan pemerintah menjadi
semakin besar, terutama disebabkab karena pemerintah harus mengatur hubungan
timbal balik dalam masyarakat. Kelemahan hukum Wagner adalah karena hukum
tersebut tidak didasarkan pada suatu teori mengenai pemlilihan barang-barang publik.
Wagner menadasarkan pandangannya dengan suatu teori organis mengenai
19
pemerintah (organic theory of the state) yang menganggap pemerintah sebagai
individu yang bebas bertindak, terlepas dari anggota masyarakat lainnya.
2.2.4. The Displacement Effect
Dari ketiga teori mengenai perkembangan pengeluaran pemerintah tersebut,
teori Peacock & Wiseman dianggap sebagai teori dan model yang terbaik
(Mangkoesoebroto, 1993; 173). Teori mereka sering disebut sebagai
The
Displacement Effect, dimana teori ini didasarkan pada suatu pandangan bahwa
pemerintah senantiasa memperbesar pengeluaran sedangkan masyarakat tidak suka
membayar pajak yang semakin besar untuk membiayai pengeluaran pemerintah yang
semakin besar tersebut. Dalam Mangkoesoebroto
(1993; 173). Peacock dan
Wiseman mendasarkan teori mereka pada suatu teori bahwa masyarakat mempunyai
suatu tingkat toleransi pajak, suatu tingkat dimana masyarakat dapat memahami
besarnya pungutan pajak yang dibutuhkan oleh pemerintah untuk membiayai
pengeluaran pemerintah. Tingkat toleransi ini merupakan kendala bagi pemerintah
untuk menaikkan pungutan pajak. Teori Peacock dan Wiseman adalah sebagai
berikut: pertumbuhan ekonomi (PDB) menyebabkan pemungutan pajak semakin
meningkat walaupun tarif pajak tidak berubah, dan meningkatnya penerimaan pajak
menyebabkan pengeluaran pemerintah juga semakin meningkat. Peningkatan pada
PDB dalam keadaan normal menyebabkan penerimaan penerimaan pemerintah yang
semakin besar, begitu juga dengan pengeluaran pemerintah. Apabila keadaan normal
tersebut terganggu, misalnya karena adanya perang, maka pemerintah harus
memperbesar pengeluarannya untuk membiayai perang. Salah satu cara umtuk
meningkatkan penerimaannya tersebut dengan menaikkan tarif paajk sehingga dana
20
swasta untuk investasi dan konsumsi menjadi berkurang. Keadaan ini disebut efek
pengalihan (Displacement effect) yaitu adanya gangguan sosial menyebabkan
aktivitas swasta dialihkan pada aktivitas pemerintah.
2.3.
Kebijakan Moneter
Kebijakan Moneter adalah suatu usaha dalam mengendalikan keadaan makro
melalui pengaturan jumlah uang yang beredar dalam perekonomian. Usaha tersebut
dilakukan agar terjadi kestabilan harga dan inflasi serta terjadinya peningkatan output
keseimbangan. Kebijakan moneter berlangsung melalui mekanisme transmisi untuk
menggeser permintaan agregat, sehingga akan mengubah keseimbangan tingkat
pendapatan nasional. Kenaikan JUB (Jumlah Uang Beredar) bersifat ekspansif,
sedangkan penurunan JUB bersifat kontraktif dan besarnya pergeseran permintaan
agregat sebagai reaksi atas kenaikan JUB tergantung pada besarnya kenaikan
investasi dan perubahan JUB akan menyebabkan perubahan yang besar pula pada
pengeluaran untuk investasi. Ahli ekonomi klasik mempunyai pendapat bahwa
kebijakan moneter lebih efektif dibandingkan dengan kebijakan fiskal. Pada
perkembangannya, dengan munculnya kaum monetarist yang pada dasarnya beraliran
klasik, perbedaan pendapat dengan neo-keynesian tidak lagi berkisar pada kemiringan
kurva IS dan LM. Demikian kebijakan fiskal dapat mempengaruhi pendapatan
nasional, hanya saja kebijakan moneter lebih besar serta dapat diperkirakan lebih
cepat efeknya.
Para ahli ekonomi sepakat tentang penting dan sentralnya uang dalam
perekonomian modern. Tidaklah mengherankan jika studi tentang dampak perubahan
21
jumlah uang beredar terhadap kinerja perekonomian makro mendapat perhatian yang
sangat besar. Dewasa ini studi-studi dalam bidang keterkaitan jumlah uang beredar
dengan kinerja makro sudah semakin luas dan dalam. Bidang studi yang mempelajari
tentang pengaruh jumlah uang beredar (dan juga tingkat bunga) terhadap kinerja
perekonomian makro dikenal sebagai bidang kajian moneter atau lebih sering disebut
dengan teori ekonomi moneter.
2.3.1. Jenis Kebijakan Moneter
Dari sudut ekonomi makro maka kebijakan moneter dapat dibedakan menjadi
dua yaitu kebijakan moneter ekspansif dan kebijakan moneter kontraktif. Kebijakan
moneter ekspansif adalah suatu kebijakan dalam rangka menambah jumlah uang
beredar. Pada saat munculnya kontraksional gap. Berikut grafik kebijakan moneter
ekspansif. Dari Gambar 2.3. dibawah ini dapat dilihat kondisi awal penawaran uang
(MS1) dan tingkat suku bunga adalah kurva (R1). Pada kurva R1 tingkat suku bunga
yang peka terhadap pengeluaran adalah I, rencana pengeluaran agregat menjadi AE1
dan produk domestik bruto adalah (Y1).
Selain itu kurva PDB pada Y1 membantu menentukan posisi kurva permintaan
uang pada kurva L(R, Y1) dimana bersama-sama dengan kurva (MS1) menentukan
tingkat suku bunga (R1). Ketika MS1 meningkat menjadi MS2 maka tingkat suku
bunga turun karena pendapatan dan pengeluaran naik menjadi (R1), AE1 (R1) dan Y1.
22
Gambar. 2.3. Kurva Kebijakan Moneter Ekspansif
Kebijakan moneter kontraktif adalah suatu kebijakan dalam rangka
mengurangi jumlah beredar. Disebut juga dengan kebijakan uang ketat (tight money
policy). Kebijakan moneter dapat dilakukan dengan menjalankan instrumen kebijakan
moneter, yaitu antara lain Operasi Pasar Terbuka (Open Market Operation), Fasilitas
Diskonto (Discount Rate), Rasio Cadangan Wajib (Reserve Requirement Ratio),
Himbauan Moral (Moral Persuasion).
2.3.2. Teori Kuantitas Uang
Teori kuantitas uang dikembangkan oleh Irving Fisher pada awal abad ke 20.
Teori kuantitas uang disampaikan dalam bukunya The Purchasing Power of Money
pada tahun 1911. Teori ini berpandangan bahwa uang hanya sebagai alat tukar, uang
akan berputar atau berpindah-pindah tangan dari satu pihak ke pihak lainnya selama
satu periode tertentu (biasanya satu tahun) dikenal dengan sebutan velositas uang
beredar (velocity of money). Faktor yang mempengaruhi velositas uang adalah faktor
23
kelembagaan, utamanya mekanisme pembayaran yang digunakan (tunai atau cek).
Dalam jangka pendek aspek kelembagaan sulit berubah, karena itu dalam jangka
pendek velositas uang akan konstan. Dalam persamaan matematis yang sederhana,
dapat dinyatakan sebagai:
M.V = P.T………………………………….…………………………………(2.3)
dimana:
M
= Jumlah uang beredar untuk transaksi, dalam praktik dapat dinyatakan
M2,
V
= Velositas uang, dalam jangka pendek diasumsikan konstan,
P
= Harga rata-rata output, dalam praktik merupakan tingkat harga umum,
T
= Jumlah output yang ditransaksikan pada tingkat full employment
Berdasarkan persamaan di atas, dapat dikatakan bahwa perubahan jumlah
uang beredar dikalikan denga velositasnya akan sama dengan jumlah produksi
dikalikan harga jualnya. Karena output yang dihasilkan adalah pada kondisi full
employment dan velositas uang diasumsikan tidak berubah, maka dalam jangka
pendek jumlah uang beredar untuk transaksi berubah, maka harga rata-rata output
akan berubah juga. Konsekuensinya adalah perubahan harga rata-rata output karena
perubahan jumlah uang beredar mempunyai hubungan searah dan proposional.
Uraian paragraf di atas dapat dinyatakan dalam bentuk persamaan yang sangat
sederhana, seperti di bawah ini:
M = kPY.............................................................................................................(2.4)
Karena velositas uang dianggap konstan, maka pendapatan nasional dalam jangka
pendek ditentukan oleh jumlah jumlah uang beredar. Hubungan antara jumlah uang
24
beredar dengan tingkat produksi adalah proporsional. Pertumbuhan jumlah uang
beredar akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
2.4
Efektivitas Relatif pada Kebijakan Moneter dan Kebijakan Fiskal
Kebijakan fiskal beroperasi secara langsung terhadap pengeluaran agregat.
Kebijakan moneter mempengaruhi pengeluaran agregat hanya secara tidak langsung,
dengan cara mengubah jumlah uang beredar dan tingkat suku bunga. Jika bank
sentral mengubah jumlah uang beredar, maka sama saja dengan menggeser kurva
permintaan agregat melalui mekanisme transmisi. Pandangan-pandangan yang
mempelajari hubungan perilaku utama diubah menjadi pandangan mengenai kekuatan
relatif yang ada pada kebijakan moneter dan fiskal. Akibat dari kedua kebijakan
tersebut akan tergantung pada sudut kemiringan kurva SRAS dan bagaimana
pengaruh kebijakan tersebut pada kurva AD. Bagaimanapun bentuk sudut kemiringan
kurva SRAS, hal itu berlaku bagi kedua kebijakan ini. Perbedaan antara kedua
kebijakan ini dapat dilihat dari kemampuannya dalam menggeser kurva AD.
Dalam melihat efektivitas kebijakan kita membandingkan pada tiga daerah yaitu
daerah klasik, intermediate range, dan daerah Keynes . Daerah liquidity trap
merupakan daerah yang idenya pertama sekali dikemukakan oleh Keynes. Keynes
menganggap ada satu daerah pada kurva LM yang memiliki tingkat bunga yang
sangat rendah dan tidak mungkin turun lagi. Daerah ini yang disebut daerah liquidity
trap. Daerah klasik memiliki kurva LM yang tegak lurus. Hal ini dikarenakan
pemahaman kaum klasik bahwa teori permintaan uang, permintaan uang tidak
dipengaruhi oleh pendapatan. Karena tidak ada hubungannya dengan suku bunga,
25
maka kurva LM bentuknya tegak lurus. Intermediate range adalah daerah yang
menunjukkan kurva LM dipengaruhi oleh suku bunga. Gambar 2.4. menunjukkan
apabila kurva IS bergeser ke kanan berarti kebijakan fiskal ekspansif. Jika kita
perhatikan pada masing-masing daerah, kebijakan fiskal sangat efektif pada daerah
Keynesian dan efektif pada daerah intermediate. Hal ini terlihat dari besarnya
perubahan keseimbangan pendapatan nasional didaerah keynesian. Sementara itu,
kebijakan fiskal sama sekali tidak efektif pada daerah klasik. Ketika ada kebijakan
fiskal, keseimbangan pendapatan nasional tidak berubah.
Gambar 2.4. Kurva Efektivitas Kebijakan Fiskal
Kebijakan moneter yang ekspansif ditandai dengan bergesernya kurva LM
dari LM0 ke LM1. Apabila dibandingkan pada ketiga daerah maka kebijakan moneter
sangat efektif di daerah klasik dan efektif pada daerah intermediate. Sementara itu,
kebijakan moneter sama sekali tidak efektif pada daerah keynesian.
26
.
Gambar 2.5. Kurva Efektivitas Kebijakan Moneter
2.5.
Teori Perdagangan Internasional
Keterbukaan perdagangan merupakan indikator untuk memperlihatkan
seberapa besar tingkat ekspor impor suatu negara. Keterbukaan perdagangan dapat
diartikan pula sebagai volume perdagangan internasional. Keterbukaan perdagangan
dapat dijelaskan dengan penjumlahan nilai ekspor dan impor. Perdagangan
internasional memiliki sejumlah argumen yang mendukung serta menolaknya,
dengan beragam alasan yang mendasarinya. Namun argumen yang mendukung
ataupun menolak tidak ada yang memiliki kebenaran absolut. Manfaat yang diperoleh
suatu negara dengan adanya perdagangan internasional bergantung pada struktur
perekonomian negara itu sendiri (Lindert dan Kindleberger, 1986).
Teori pertumbuhan ekonomi dalam hubungannya dengan perdagangan dapat
ditelusuri kembali pada teori keunggukan absolut oleh Adam Smith pada tahun 1776
dan teori keunggulan komparatif oleh David Ricardo pada tahun 1817 (Salvatore,
1997). Menurut teori keunggulan absolut (absolut advantage theory), jika sebuah
27
negara lebih efisien daripada negara lain dalam memproduksi sebuah komoditas
(memiliki keunggualan absolut), namun kurang efisien dibanding negara lain dalam
memproduksi komoditas lainnya (memiliki kerugian absolut) maka kedua negara
tersebut dapat memperoleh keuntungan dengan cara masing-masing melakukan
spesialisasi pada komoditas yang memiliki kerugian absolut.
Menurut Damanhuri (2010), perdagangan luar negeri memiliki peranan yang
sangat penting bagi pertumbuhan dan pembangunan di suatu negara. Model
pertumbuhan ekonomi yang dikembangkan oleh Keynes, perdagangan internasional
merupakan salah satu determinan bagi pendapatan suatu negara. Secara sederhana,
pemikiran Keynes tersebut dapat dijelaskan dalam persamaan di bawah ini:
Y  C  I  G   N  X  .................................................................................. (2.5)
Dalam persamaan tersebut, Y adalah pendapatan sebuah negara, C merupakan
pengeluaran yang dikeluarkan oleh rumah tangga, I adalah simbol untuk investasi
atau pengeluaran modal yang dilakukan oleh sektor produsen, G adalah pengeluaran
yang dikeluarkan oleh pemerintah, X merupakan ekspor yang dilakukan oleh negara,
sementara M adalah simbol untuk impor yang dilakukan oleh sebuah negara. Dalam
persamaan tersebut, perdagangan internasional disimbolkan dengan (X-M).
Perdagangan internasional mempunyai dua hal penting yang berperan dalam
membantu proses pembangunan ekonomi sebuah negara, khususnya negara
berkembang, yaitu:
28
a. Adanya pergerakan modal dari negara maju ke negara berkembang. Dengan
adanya perdagangan internasional tersebut, diharapkan terjadi perpindahan
modal dari negara maju ke negara berkembang yang kekurangan modal.
Mengingat salah satu faktor utama rendahnya produktivitas di negara
berkembang adalah kurangnya modal yang dimiliki mereka.
b. Transfer of technology and know how lewat perusahaan multinasional (Multi
National Corporation/MNC).
Perdagangan
internasional
sering
pula
dikatakan
sebagai
“mesin
pertumbuhan” (engine of growth). Menurut Salvatore (1997), sekalipun perdagangan
internasional tidak bisa menjadi “mesin pertumbuhan” yang efektif bagi negaranegara berkembang, namun bukan berarti perdagangan internasional tidak ada
kegunaannya. Para ekonom seperti Haberler mengatakan keuntungan-keuntungan
yang bisa diperoleh dari perdagangan internasional, diantaranya:
1. Perdagangan dapat meningkatkan pendayagunaan sumber-sumber daya
domestik di suatu negara berkembang.
2. Perdagangan internasional dapat menciptakan pembagian kerja dan skala
ekonomi (economies of scale) yang lebih tinggi, melalui peningkatan ukuran
pasar.
3. Perdagangan internasional juga berfungsi sebagai wahana transmisi gagasangagasan baru, teknologi yang lebih baik, serta kecakapan manajerial, dan
bidang-bidang keahlian lainnya yang diperlukan bagi kegiatan bisnis.
4. Perdagangan antar negara juga merangsang dan memudahkan mengalirnya
arus modal internasional dari negara maju ke negara berkembang.
29
5. Impor produk-produk baru dapat merangsang permintaan domestik serta dapat
memberikan inspirasi dan membuka lahan bisnis baru yang menguntungkan
bagi para produsen setempat.
6. Perdagangan internasional merupakan instrumen yang efektif untuk mencegah
monopoli karena perdagangan pada dasarnya dapat merangsang peningkatan
efisiensi setiap produsen domestik agar mampu menghadapi persaingan dari
negara lain.
2.6.
Penelitian Terdahulu
Ajisafe dan Folorunso (2002) menguji secara empiris perbandingan efektivitas
kebijakan fiskal dan kebijakan moneter terhadap pertumbuhan ekonomi di Nigeria
pada periode tahun 1970-1998. Dengan menggunkan variabel penelitian narrow
money, board money, pendapatan pemerintah, pengeluaran pemerintah, dan budget
deficit dengan metode estimasi yang digunakan adalah kointegrasi dan Error
Correction Model (ECM). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kebijakan moneter
lebih efektif daripada kebijakan fiskal dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi
Nigeria.
Rahman (2005) meneliti efektivitas relatif antara kebijakan moneter dan
kebijakan fiskal dalam pertumbuhan output riil di Bangladesh pada tahun 1973-2005.
Hasil penelitian menunjukkan kebijakan moneter secara tunggal berpengaruh secara
positif dan signifikan terhadap pertumbuhan output ril di Bangladesh. Hal ini
memperkuat temuan Model St. Louis bahwa kebijakan moneter relatif lebih efektif
30
daripada kebijakan fiskal yang disimulasikannya. Variabel yang digunakan dalam
penelitian terdiri dari Real Government Expenditure, Real Money, Real Interest Rate,
Real GDP dengan menggunakan metode estimasi SVAR. Hsing (2005) melakukan
penelitian tentang pengaruh kebijakan moneter, kebijakan fiskal, dan penurunan nilai
mata uang terhadap output di Venezuela. Penelitian ini menggunakan metode IS-LM
model dan Generalized Autoregressive Conditional Heteroskedasiticity (GARCH).
Dengan menggunakan data tahunan selama tahun 1959-2001. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa output riil berhubungan positif dengan jumlah uang beredar
(M2), pengeluaran pemerintah, depresiasi mata uang Bolivar, tingkat inflasi dan
harga minyak.
Hastuti (2007) menganalisa dampak kebijakan moneter, kebijakan fiskal, dan
kebijakan nilai tukar terhadap pendapatan nasional, periode sebelum dan sesudah
krisis di Indonesia. Metode yang digunakan adalah VAR, dengan variabel yang
diteliti adalah jumlah uang beredar, pengeluaran pemerintah, nilai tukar, dan PDB.
Data merupakan data triwulanan dari triwulan I tahun 1990 sampai triwulan IV tahun
2006. Hasilnya menunjukkan bahwa jumlah uang beredar dan pengeluaran
pemerintah memiliki dampak positif terhadap PDB, sedangkan dampak nilai tukar
adalah negatif, dengan kata lain, kebijakan moneter dan kebijakan fisklal memiliki
dampak yang ekspansif, sedangkan dampak nilai tukar adalah kontraktif. Indrawati
(2007) melihat interaksi kebijakan fiskal dan kebijakan moneter di Indonesia
menggunakan pendekatan VAR. Variabel yang digunakan adalah suku bunga,
pengeluaran pemerintah, IHK dan PDB. Data yang digunakan data tahunan dari
1970-2006. Hasilnya memperlihatkan shock kebijakan fiskal bersifat permanen dan
31
negative terhadpa inflasi dan direspon dengan kebijakan moneter yang ketat. Shock
kebijakan moneter menyebabkan pengaruh permanen negatif pada menrunnya
pertumbuhan ekonomi.
Katsimi dan Sarantidies (2008) meneliti dampak kebijakan fiskal pada 19
negara maju selama tahun 1975-2000. Penelitian ini menggunakan metode fixed
effect model (FEM). Hasil penelitian ini menunjukkan pengeluaran barang modal
mempunyai dampak yang positif terhadap keuntungan. Pajak langsung dan tidak
langsung menurunkan keuntungan. Penelitian yang dilakukan oleh Ali et al. (2008)
bertujuan untuk mengkaji dampak efektivitas relatif antara kebijakan fiskal dan
kebijakan moneter di negara-negara Asia Selatan. Dengan periode penelitian dari
tahun 1990 – 2007, hal ini dilakukan untuk membuktikan pandangan Monetarist dan
Keynesian serta untuk menemukan kebijakan yang lebih efektif dalam mempengaruhi
pertumbuhan ekonomi. Uji Im, Pesaran, dan Shin serta Levin, Lin, dan Chu
digunakan untuk menguji integrasi. Hubungan jangka pendek dan jangka panjang
diestimasi dengan
model Autoregressive Distributed Lag (ARDL) yaitu untuk
menguji kointegrasi pada panel dan Error Correction Method (ECM). Hasil
penelitian menunjukkan jumlah uang beredar memiliki pengaruh yang signifikan baik
jangka pendek maupun jangka panjang terhadap pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya,
keseimbangan fiskal tidak memiliki pengaruh yang signifikan pada jangka pendek
dan jangka panjang. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kebijakan moneter lebih
memiliki kekuatan dibandingkan kebijakan fiskal dalam meningkatkan pertumbuhan
ekonomi di negara-negara Asia Selatan.
32
Kubo (2008) meneliti dampak shock dari kebijakan moneter terhadap
perekonomian, pengalaman Thaland. Variabel yang digunakan yaitu indeks Harga
Konsumen (IHK). Indeks Produksi, Indeks Harga Produsen (IHP), suku bunga
pinjaman dan agregat kredit swasta, dengan menggunakan metode VAR. dari
penelitian ini diperoleh bahwa mekanisme transmisi moneter di Thailand mempunyai
dampak terhadap dimensi internasional. Kontraksi moneter mempunyai efek yang
negative dan cukup kuat pada permintaan impor dalam jangka pendek walaupun
harga impor turun.
Afonso dan Sousa (2009) meneliti efek dari kebijakan fiskal menggunakan
metode Bayesian Structural Vector Autoregression (BSVAR) dengan menganalisis
Negara Inggris, Amerika, Jerman dan Italy. Secara umum dapat disimpulkan bahwa
shock pengeluaran pemerintah mempunyai pengaruh: (i) efek yang kecil terhadap
PDB, (ii) tidak mempunyai pengaruh signifikan terhadap konsumsi swasta, (iii)
mempunyai efek negatif terhadap investasi swasta, (iv) mempunyai efek yang
bervariasi terhadap harga rumah, (v) mendorong jatuhnya harga saham, (vi) tidak
berdampak signifikan terhadap tingkat harga, (vii) efek positif dan kecil terhadap
pertumbuhan tingkat agregat moneter dan (viii) mempunyai pengaruh positif terhadap
produktivitas. Sementara itu shock penerimaan pemerintah berpengaruh pada (i) efek
positif terhadap PDB dan investasi, (ii) efek positif terhadap harga rumah dan harga
saham dan (iii) secara umum tidak ada dampak terhadap tingkat harga.
Chang et al. (2009) menyatakan bahwa dampak keterbukaan perdagangan
terhadap pertumbuhan ekonomi menjadi berarti apabila disertai oleh perbaikanperbaikan pada infrastruktur publik, sektor finansial, kualitas modal manusia,
33
fleksibilitas pasar tenaga kerja, serta stabilitas perekonmian dan harga. Perbaikanperbaikan tersebut akan menjadikan keterbukaan perdagngan dapat berlangsung
efektif sehingga meningatkan pengalokasian sumber daya, memungkinkan diseminasi
pengetahuan dan teknologi, serta mendorong persaingan di pasar domestik dan
internasional.
Selain dipengaruhi oleh kondisi dari setiap negara, pola interaksi yang terjadi
antarvariabel dalam suatu perekonomian juga tidak seragam. Sebagaimana penelitian
oleh Miankhel et al. (2009) tentang keterkaitan PMA, ekspor, dan pertumbuhan
ekonomi di enam negara berkembang yang memiliki tahap pertumbuhan berbedabeda, yaitu India dan pakistan di Asia Selatan, Malaysia dan Thailand di Asia
Tenggara, serta Mexico dan Chile di Amerika lain. Hasil penelitiannya mendukukng
hipotesis bahwa ekspor akan mendorong pertumbuhan ekonomi (exsport led growth),
khususnya di Asia Selatan. Dalam jangka panjang pertumbuhan ekonomi akan
mendorong perkembangan variabel-variabel lainnya, yaitu mendorong ekspor di
Pakistan dan mendorong PMA di India. Hubungan yang berbeda terlihat dalam
jangka pendek di Amerika Latin, yaitu PMA memengaruhi pertumbuhan melalui
ekspor (PMA
Ekspor
PDB) di Chile dan PMA memengaruhi pertumbuhan
secara langsung di Mexico.Ekspor memengaruhi pertumbuhan dan PMA di kedua
negara tersebut dalam jangka panjang. Sementara itu, kasus di Asia Tenggara
ditemukan hubungan kausalitas dua arah antara PDB dan PMA di Thailand, dan
sebaiknya keduanya tidak memiliki hubngan sebab-akibat di Malaysia.
Mobolaji dan Adefeso (2010) melakukan penelitian mengenai efektivitas
relatif kebijakan fiskal dan kebijakan moneter terhadap pertumbuhan ekonomi di
34
Nigeria dengan menggunakan data tahunan dari 1970-2007. Error Correction
Mechanism (ECM) dan teknik kointegrasi dilakukan untuk mengestimasi data
penelitian ini. Hasil penelitian menunjukkan dan konsisten dengan penelitian
sebelumnya bahwa kebijakan moneter lebih memiliki kekuatan dibandingkan
kebijakan fiskal dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi di Nigeria. Penelitian ini
merekomendasikan kebijakan moneter sebagai alat stabilitas perekonomian.
Jawaid, Qadri, dan Ali (2011) meneliti pengaruh kebijakan moneter, fiskal,
dan perdagangan terhadap pertumbuhan ekonomi Pakistan dengan menggunakan data
tahunan dari 1981-2009. Dengan menggunakan metode estimasi VECM dimana
variabel penelitiannya adalah money supply (proksi kebijakan moneter), government
expenditure (proksi kebijakan fiskal), share ekspor dan impor terhadap GDP (proksi
kebijakan perdagangan). Hasilnya adalah kebijakan moneter dan kebijakan fiskal
berimplikasi positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi dalam jangka
pendek dan
jangka panjang, sebaliknya untuk kebijakan perdagangan . Dimana
kebijakan moneter lebih efektif daripada kebijakan fiskal.
2.7.
Kerangka Pemikiran
Pertumbuhan ekonomi merupakan tolak ukur kinerja perekonomian suatu
negara. Integrasi ekonomi dan keuangan akan memengaruhi pertumbuhan ekonomi di
kawasan ASEAN+6. Integrasi ekonomi dapat membuat pertumbuhan ekonomi
menjadi konvergen maupun divergen. Untuk mencapai tujuan pendapatan nasional
yang tinggi dan selaras di kawasan ASEAN+6 diperlukan serangkaian kebijakan
khususnya kebijakan makroekonomi oleh pemerintah di masing-masing negara. Ada
35
tiga alternatif utama dalam mencapai tujuan kebijakan yaitu, kebijakan fiskal,
kebijakan moneter dan kebijakan perdagangan. Kawasan integrasi ekonomi
ASEAN+6 yang terdiri dari negara berkembang dan negara maju. Masing-masing
kelompok negara tersebut memiliki perbedaan karakteristik yang mendasar sehingga
tidak dapat diterapkan perlakuan yang sama diantara keduanya. Selanjutnya, analisis
pertumbuhan ekonomi ASEAN+6 akan dilakukan dengan memisahkan antara negara
berkembang dan negara maju untuk melihat dampak dari kebijakan fiskal, kebijakan
moneter dan keterbukaan perdagangan terhadap pertumbuhan ekonomi. Berikut
adalah gambaran kerangka pemikiran dari penelitian ini:
36
ASEAN (Indonesia,Malaysia,
Singapore,Thailand,Philipina)
China, Jepang, Korea Selatan,
India, Australia, New Zealand
Integrasi Ekonomi
ASEAN+6
Pertumbuhan Ekonomi
ASEAN+6
Negara
Negara
Berkembang
Maju
Kebijakan Makroekonomi
Kebijakan Fiskal

Pengeluaran
Pemerintah
Kebijakan Moneter

Jumlah Uang
Beredar (M2)
Kebijakan
Perdagangan

Keterbukaan
Perdagangan
Metode Panel Data Dinamis dengan Pendekatan
GMM (Generalized Method of Moments)
Gambar 2.6. Kerangka Pemikiran
Download