BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kesenian adalah salah satu bentuk kebudayaan yang dapat berupa audio (musik), visual (lukisan), dan yang berupa audio-visual, misalnya teater (Sumardjo, 2000: 45). Musik merupakan salah satu jenis kesenian yang paling banyak digemari oleh masyarakat dunia, termasuk Indonesia. Hampir di seluruh kawasan Indonesia banyak ditemui komunitas dalam bidang musik. Di Daerah Istimewa Yogyakarta misalnya, jumlah komunitas seperti ini sangat banyak dengan jenis aliran musik yang berbeda-beda. Salah satunya adalah musik jenis string orchestra barat atau yang biasa dikenal musik klasik. String orchestra barat merupakan jenis aliran musik yang berasal dari Eropa. Musik ini dimainkan menggunakan alat musik gesek dari Eropa yaitu Violin, Viola, Cello, dan Contrabass. Tujuan-tujuan didirikannya komunitas tersebut juga bermacammacam. Dalam skripsi ini akan dibahas salah satu komunitas tersebut, yaitu Sa’Unine String Orchestra. Konsep akulturasi dalam musik dan pertunjukan adalah dua hal yang mereka angkat. Konsep ini muncul melalui suatu bentuk perilaku yang biasa dilakukan oleh anggota komunitas ini. Namun, komunitas ini merasa perilaku dan kebiasaan mereka ini mulai menghilang dan tidak banyak lagi terdapat di kalangan masyarakat. Hingga akhirnya mereka menunjukan bakat yang mereka 1 punyai yaitu dalam hal bermain musik string orchestra barat dengan memainkan aransemen lagu-lagu tradisi hasil aransemen mereka sendiri juga. Sa’Unine string orchestra (yang selanjutnya akan disebut dengan Sa’Unine) merupakan sebuah komunitas yang didirikan dengan tujuan awal sebagai sebuah sarana berlatih dan belajar bermain musik ansambel secara mandiri. Selama belasan tahun kelompok ini tidak menghasilkan karya dalam bermusik. Hal tersebut dikarenakan kesibukan masing-masing anggota yang sedang bersekolah dan masalah pekerjaan pribadi. Kelompok ini bergerak di bidang musik yang unik karena mencampurkan unsur musik string orchestra barat dan musik tradisional Indonesia dalam segi pengaransemenan1 lagu-lagu tradisi Jawa dalam musik string orchestra barat. Selain dalam bentuk aransemen musik, Sa’Unine juga membuat pertunjukan musik yang berbeda dibandingkan dengan pertunjukan musik biasanya. Banyak yang meyakini bahwa pertunjukan musik mereka berbeda dan belum ada yang mempunyai konsep serupa dengan konsep pertunjukan Sa’Unine. Pertunjukan yang dilakukan oleh Sa’Unine mempunyai konsep yang berbeda dengan pertunjukan musik string orchestra lain dalam hal interaksi, property pertunjukan dan konsep pertunjukan. Keberadaan komunitas Sa’Unine merupakan sebuah fenomena baru dalam dunia musik Indonesia. Sebagai sebuah gejala perubahan budaya, fenomena 1 Aransemen: penyesuaian komposisi musik dengan nomor suara instrumen lain yang didasarkan pada sebuah komposisi yang telah ada sehingga esensi musiknya tidak berubah. (Syafiq, Muhammad. 2003. Ensiklopedia Musik Klasik. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa.) 2 Sa’Unine dianggap menarik untuk diteliti dari sisi ilmu Antropologi. Antropologi merupakan sebuah ilmu yang berusaha memahami makna dari suatu perubahan dalam masyarakat. Dalam hal ini, perubahan budaya yang dimaksud adalah perubahan dalam bentuk akulturasi. B. Permasalahan Berdasarkan latar belakang tersebut dapat dilihat beberapa permasalahan dalam kesenian yang dibawakan oleh komunitas Sa’Unine ini. Pada awal pembentukannya, komunitas ini tidak berorientasi pada musik yang kini mereka bawakan, yaitu pengaransemenan musik-musik tradisional dengan pengaruh musik string orchestra barat. Namun setelah belasan tahun tidak menghasilkan suatu karya, mereka mengonsistensikan diri pada aransemen musik tradisional Indonesia dalam musik string orchestra Barat (Eropa). Kelompok ini juga beranggapan bahwa yang mereka lakukan sekarang ini adalah usaha agar jenis musik tradisional Indonesia dapat dinikmati semua kalangan masyarakat Indonesia. Selama ini Sa’Unine melihat bahwa jenis musik yang mereka sajikan, yaitu musik string orchestra barat, lebih banyak dinikmati oleh golongan masyarakat dari status sosial yang tinggi. Selain itu, Sa’Unine juga merasa bahwa musik tradisi Indonesia sekarang ini telah terlupakan, bahkan ada yang tidak dikenali sama sekali. Dalam rangka lebih memperkenalkan musik tradisi inilah, salah satu bentuk usaha mereka adalah mengubah konsep pertunjukan. Penonton Sa’Unine berbeda dengan penonton pertunjukan musik string orchestra barat, terutama musik klasik. 3 Berdasarkan uraian tersebut, maka munculah pertanyaan-pertanyaan berikut ini. 1) Bagaimana unsur musik string orchestra barat dan musik tradisi Indonesia tercermin dari aransemen lagu Tak Lela Ledung dan Dolanan Pizzicato? 2) Bagaimana komunitas Sa’Unine mewujudkan akulturasi musik string orchestra barat dan musik tradisi Indonesia dalam praktik pertunjukan? 3) Bagaimana konsep bermusik orang Jawa dan konsep bermusik string orchestra barat dipadukan oleh komunitas Sa’Unine? C. Tujuan Penelitian Musik dan kebudayaan lokal suatu daerah adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan, khususnya dalam masyarakat Indonesia karena di dalam lagu-lagu tradisional sering kali terdapat makna-makna ataupun doa dari pembawa lagu tersebut. Contohnya adalah dalam lagu dari kebudayaan Jawa Tak Lela Ledung karya Markasan dan kumpulan lagu Dolanan. Lagu yang dibawakan dengan bahasa tradisional Jawa ini mengandung makna adanya keinginan seorang ibu agar anaknya yang masih kecil kelak menjadi orang yang berguna bagi orang tua, bangsa, dan masyarakat . Penelitian ini dimaksudkan untuk mengkaji sebuah studi tentang Antropologi musik yang masih jarang dilakukan di Indonesia. Melalui penelitian 4 ini diharapkan masyarakat mengetahui bahwa setiap daerah mempunyai nilai-nilai lokal tersendiri. Selain itu, anggapan bahwa kebudayaan dapat dipertahankan melalui kesenian merupakan suatu anggapan yang bagus dan justru dapat membantu masyarakat agar lebih mempertahankan kebudayaan. Mempertahankan suatu nilai lokal maupun kebudayaan memerlukan usaha, salah satunya adalah melalui kreativitas seni dan hal inilah yang dilakukan oleh Sa’Unine. Bentuk kreativitas seni yang mereka sajikan berbeda karena menggunakan beberapa teknik dan unsur musik string orchestra barat dalam pengaransemenan beberapa musik tradisional Indonesia. Kreativitas yang mereka lakukan ini bukan tanpa alasan karena kemampuan yang mereka punyai adalah dalam bidang musik klasik. Kemampuan mereka inilah yang menjadi salah satu faktor pendukung usaha mereka sekaligus juga hendak menunjukkan pada masyarakat luas bahwa melestarikan budaya akan lebih baik dilakukan dengan menyadari potensi yang telah dimiliki. Mengembangkan potensi yang ada dalam diri masing-masing akan mendukung pelestarian kebudayaan. Selain itu, diharapkan juga hasil penelitian ini dapat menjadi pemicu semangat kreativitas komunitas Sa’Unine di masa depan. Kreativitas mereka akan semakin memperkaya khazanah lagu-lagu tradisional Indonesia karena telah diaransemen ulang dengan sentuhan yang berbeda. 5 D. Kerangka Pemikiran Penelitian ini mengangkat konsep akulturasi yang mempunyai banyak arti berdasarkan berbagai tokoh Antropologi maupun sosiologi di dunia. Namun hampir semuanya memiliki inti makna dan konsep yang sama seperti yang diungkapkan oleh Koentjaraningrat (2000: 248) berikut ini, “Akulturasi adalah proses sosial yang muncul bila suatu kelompok manusia dengan suatu kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsurunsur dari suatu kebudayaan asing, dan lambat laun budaya asing itu akan diterima dan diolah ke dalam kebudayaan lokal tanpa menghilangkan kepribadian kebudayaan itu sendiri. “ Berdasarkan pengertian tersebut dapat dilihat beberapa aspek yang juga memengaruhi Sa’Unine dalam mengaransemen maupun menggubah lagu. Sa’Unine mendapat pengaruh dari budaya asing yang kemudian diolah sedemikian rupa sehingga mampu berselaras dengan salah satu jenis kesenian Indonesia, yaitu musik tradisi Indonesia. Konsep akulturasi yang diangkat oleh penelitian ini adalah dalam hal musik dan pertunjukan. Akulturasi yang ada didalamnya merupakan nilai yang mempengaruhi tidak hanya dalam hal bermusik komunitas ini namun juga dalam hal pertunjukan. Konsep musik dianggap penting oleh Merriam, konsep musik merupakan konsep dalam hal praktek dan pertunjukan musik itu serta produksi dari suara musik (1964: 63). Menurut Merriam, “One of the most important of such concepts is the distinction, implied or real, made between music on the one hand, and noise, or non-music, on the other; this is the basic to the understanding of music in any society.” (Salah satu hal yang paling penting dari berbagai konsep dalam musik adalah pembedaannya, tersirat atau nyata, antara musik di satu sisi, dan kebisingan, atau non-musik di sisi lain; inilah dasar untuk memahami musik dalam setiap masyarakat). 6 Melalui studi Antropologi musik akan dapat diketahui adanya akulturasi budaya musik yang terjadi di Indonesia. Merriam (1964: 7) dalam bukunya The Anthropology Of Music mengatakan bahwa “Music is a product of a man and has a structure but its structure cannot have a existence of its own divorced from the behavior which produces if.” (musik adalah sebuah produk dari manusia dan mempunyai struktur, tetapi struktur itu tidak dapat berdiri sendiri terpisahkan dari perilaku yang memproduksinya). Hal tersebut menunjukkan bahwa musik adalah sebuah produk yang mempunyai sebuah konsep dalam pembuatannya. Berdasarkan pernyataan Merriam tersebut, dapat dilihat bahwa perilaku manusia sangat memengaruhi setiap konsep kegiatan mereka, salah satunya adalah dalam hal bermusik maupun berkesenian dalam bentuk seni pertunjukan. Bentuk perilaku manusia dapat memberikan suatu gambaran bahwa dalam hal konsep bermusik, manusia dapat menggambarkan bentuk lagu dan emosi lagu tersebut. Dalam hal pertunjukan, konsep perilaku juga akan memengaruhi jalannya pertunjukan tersebut dan respons dari penontonnya. Merriam (1964: 237) juga menyebutkan bahwa “music specifically – are symbolic in that they are reflective of emotion and meaning. It can refer to this as ‘affective’ or ‘cultural meaning’, -” (secara spesifik musik adalah simbol yang mencerminkan emosi dan makna. Hal tersebut dapat juga diartikan di sini sebagai “afektif” dan ”makna budaya”, - ) Dalam penelitian ini, ditunjukkan bentuk akulturasi musik string orchestra barat dan musik tradisi Indonesia yang mempunyai ciri khas yang berbeda dan keunikan tersendiri. Hal itu terlihat pada unsur-unsur musik string orchestra barat yang sangat kental terdengar membawakan dua lagu daerah Indonesia tersebut. 7 Menurut Suka Hardjana dalam bukunya Esai dan Kritik Musik (2004) musik string orchestra barat telah berada di tengah-tengah masyarakat dunia selama ratusan tahun sebagai musik dengan seni budaya tinggi dan terjaga hingga hari ini. Masih menurut Hardjana pula, musik klasik merujuk pada aliran seni musik di Wina, Austria abad 18-19 (1760-1830) dengan pelopornya W.A. Mozart, Joseph Haydn, dan Ludwig Van Beethoven. Pengertian lain yang muncul terkait dengan musik klasik adalah musik jenis ini adalah seni musik yang serius karena tiap jenis musik klasik mempunyai watak, aliran, maupun zamannya yang berbeda. Jika didasarkan pada hal-hal di atas, jenis musik klasik adalah, antara lain, musik renaisans, barok, rokoko, klasik, romantik, impresionisme, ekspresionisme, dan modern. Hardjana juga berpendapat bahwa musik barat sebenarnya identik dengan musik kerajaan dan musik gerejawi di masanya. Lagulagu tersebut tentu saja juga telah melalui proses aransemen sehingga tidak terlalu panjang untuk dinyanyikan selama kebaktian atau misa berlangsung. Untuk musik string orchestra barat, makna lagu digambarkan melalui melodi-melodi lagu yang dimainkan dan semakin diperlihatkan melalui dinamik, tempo, dan penekanan-penekanan irama setiap nada. Sangat jarang ditemui adanya lirik ataupun penyanyi untuk lagu dalam musik string orchestra barat. Melalui penekanan itu pendengar akan dapat merasakan maksud dan tujuan lagu itu dibuat atau waktu pembuatan lagu tersebut. Namun dalam musik tradisional Indonesia, pendengar akan dapat memahami isi dan maksud lagu melalui lirik yang dinyanyikan. 8 Secara budaya dan sejarah, pertunjukan musik string orchestra Barat menggunakan sistem pertunjukan yang formal dan sangat disiplin. Hal ini dapat terlihat dari cara berpakaian para pemain musiknya yang formal, mewah, begitu juga dengan status sosial penonton musik string orchestra barat klasik ini. Dengan demikian, dapat terlihat bahwa penonton atau peminat musik jenis ini adalah masyarakat dengan status sosial yang tinggi. Hal ini tentu saja berbeda dengan konsep pertunjukan yang disajikan Sa’Unine. Menurut Soedarsono (2002), seni pertunjukan adalah seni kolektif sehingga penampilannya di atas panggung menuntut biaya yang tidak sedikit. Sementara itu, menurut Carlson, pertunjukan merupakan salah satu jenis kegiatan kesenian yang dilakukan oleh sekelompok orang. Jenis-jenis pertunjukan juga tergantung dari kemampuan setiap individu atau kelompok yang hendak melaksanakan pertunjukan ini. Pertunjukan, menurut Richard Schechner, mempunyai korelasi dengan ilmu sosial seperti yang diungkapkan Carlson dalam bukunya Performance: A Critical Introduction (1996). Carlson menyebutkan adanya tujuh daftar yang menunjukkan bahwa pertunjukan memiliki korelasi dengan ilmu sosial. Dari ketujuh daftar yang diungkapkan pada buku tersebut, yang paling memiliki korelasi dengan penelitian ini adalah daftar yang menyatakan bahwa “constitution of unified theories of performance, which are, in fact, theories of behavior” (konstitusi dari kumpulan teori-teori pertunjukan yang sebenarnya adalah teori perilaku). Hal ini karena pertunjukan yang dilakukan oleh Sa’Unine tidak lepas dari perilaku mereka. Perilaku mereka dijadikan sebagai dasar dalam mengonsep 9 pertunjukan. Konsep teori perilaku ini juga menjadi menarik bagi peneliti untuk lebih memahami konsep pertunjukan Sa’Unine yang dinilai berbeda oleh kebanyakan orang yang menonton pertunjukan mereka. Seni tradisi suatu daerah harusnya dapat menemukan titik peran dan sekaligus dihadapkan pada tantangan yang dihadapi di masa depan. Contohnya adalah musik daerah yang kini mulai tidak banyak terdengar lagi di telinga masyarakatnya sendiri karena kalah dengan musik modern maupun dengan tradisi dari luar. Oleh karena itulah, dibutuhkan kecerdasan dan kearifan dalam mengelola seni tradisi ataupun dalam menanggapi pengaruh-pengaruh masa depan terhadap kelangsungan seni tradisional tanpa mengubah karakter dan nilai pada masyarakat (Bahar, 2004). Selain itu, menurut Magnis Suseno (dalam Bahar, 2004: 17, 20), bangsa Indonesia juga harus dapat memeluk kebudayaan teknologis modern barat agar dapat bertahan dengan kebudayaan tradisional Indonesia dan tentunya sebagai bangsa Indonesia. Hal tersebutlah yang juga dilakukan oleh Sa’Unine yang justru memeluk budaya barat berupa alat musik, teknik pengaransemen lagu, dan nilai-nilai musik string orchestra barat untuk diterapkan dalam musik tradisional Indonesia. Hal ini dilakukan bukan semata-mata untuk menggeser kebudayaan asli Indonesia, tetapi untuk menunjukkan kepada masyarakat luas bahwa dua kebudayaan yang sangat berbeda dapat menjadi satu kesatuan yang memberi nilai dan arti pada setiap kebudayaan. Dari kedua sisi budaya berbeda inilah terlihat suatu bentuk akulturasi budaya. 10 Pada dasarnya komposisi dan aransemen adalah dua hal yang berbeda. Komposisi merupakan “suatu bentuk gubahan atau penciptaan lagu musik instrumental maupun vokal”, sedangkan aransemen merupakan “penyesuaian komposisi musik dengan nomor suara penyanyi atau instrumen lain yang didasarkan pada sebuah komposisi yang telah ada sehingga tidak mengubah esensi musik” (Syafig, 2003). Yang banyak dilakukan oleh Sa’Unine adalah mengubah bentuk aransemen lagu daerah Indonesia. Aransemen yang dilakukan oleh Sa’Unine inilah yang menarik peneliti karena sistem aransemen yang dilakukan Sa’unine tidak banyak dilakukan oleh grup lain yang mengaransemen lagu populer. Yang dilakukan Sa’Unine adalah mengaransemen lagu-lagu daerah yang tidak banyak lagi didengar sehingga menjadi lebih menarik. Komposisi sendiri mulai berkembang di Indonesia dengan sangat pesat. Para komponis ini mulai berkarya dengan caranya sendiri dan keunikan masingmasing. Menurut Sigalingging (1996), situasi seperti ini jauh lebih baik daripada empat puluh tahun yang lalu ketika Cornel Simanjuntak masih aktif menciptakan lagu sambil berharap tentang kemajuan penciptaan musik di Indonesia. E. Metode Penelitian 1. Subjek Penelitian Penelitian ini mengangkat sebuah komunitas bernama Sa’Unine yang pernah mempunyai hubungan kerja dengan Yayasan Tembi Rumah Budaya. 11 Selain dengan Yayasan Tembi Rumah Budaya, Sa’Unine juga melakukan kerja sama dengan Fombi atau Forum Musik Tembi dalam hal produksi yang juga merupakan bagian dari yayasan tersebut. Sa’Unine juga pernah mempunyai seorang produser eksekutif dari yayasan ini karena Sa’Unine dan Tembi Rumah Budaya mempunyai visi dan misi yang sama. Selain Tembi Rumah Budaya, peneliti juga membatasi kajian penelitian pada arranger sekaligus pendiri Sa’Unine, yaitu Dimawan Krisnowo Adji (atau yang selanjutnya akan disebut Wawan). Pembahasan mengenai dua buah lagu, yaitu Tak Lela Ledung dan dolanan “pizzicato”, yang diaransemen oleh Wawan ini mengharuskan peneliti melakukan wawancara mendalam mengenai visi dan misi bentuk aransemen tersebut. Oleh karena itu, peneliti menemui Wawan di setiap kesempatan yang memungkinkan karena kesibukan dari narasumber utama tersebut. Selain kedua objek tersebut, peneliti juga melakukan penelitian mendalam terhadap anggota komunitas ini, terutama dalam kegiatan-kegiatan yang mereka lakukan. Tempat-tempat yang akan menjadi objek penelitian disesuaikan dengan jadwal dan ketentuan dari pihak pengurus Sa’Unine. Pertunjukan di Taman Budaya Yogyakarta juga menjadi salah satu objek observasi partisipasi yang dilakukan. Di tempat inilah Sa’Unine mengadakan konser peluncuran album kedua mereka yang berjudul “Buaian Sepanjang Masa”. Selain itu, di tempat inilah Sa’Unine juga pernah mengadakan ngamen di jalan umum, tepatnya didepan gedung konser Taman Budaya Yogyakarta . 12 Pemilihan contoh pada kedua lagu tersebut disebabkan karena lagu-lagu yang menjadi bahan aransemen oleh Sa’Unine tersebut merupakan lagu umum yang biasa didengar oleh masyarakat. Menurut peneliti, kedua lagu ini begitu menarik untuk dibahas karena melalui lagu Tak Lela Ledhung dan Dolanan hampir didengarkan sendiri oleh peneliti dalam kehidupan sehari-hari. Lagu Tak Lela Ledhung yang dalam album ini dinyanyikan oleh sinden, biasa didengar oleh peneliti langsung oleh seorang ibu yang menggendong anaknya. Selain itu, di dalam lirik lagu tersebut terdapat nilai-nilai lokal masyarakat Jawa yang diungkapkan, seperti doa seorang ibu untuk anaknya agar berguna bagi bangsa, mengharumkan nama orang tua serta menjadi orang yagn sukses. Begitu juga dengan lagu Dolanan yang merupakan medley dari tiga buah lagu yaitu Gundulgundul Pacul, Jaranan, dan Cublak-cublak suweng, adalah lagu yang sudah tidak asing lagi oleh peneliti dibandingkan lagu lain yang ada dalam album Sa’Unine. Sementara itu, lagu dolanan merupakan lagu yang pada tahun 1990-an masih biasa didengar, bahkan dinyanyikan sendiri oleh anak-anak maupun remaja saat bermain . Hal ini yang menarik peneliti karena lagu-lagu tersebut yang dianggap mudah dan biasa saja dapat menjadi lebih menarik karena aransemen dari Sa’Unine. Selain itu, kedua lagu ini merupakan lagu yang tidak asing lagi bagi masyarakat, khususnya masyarakat Jawa. 1. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data, antara lain, dilakukan dengan observasi partisipasi, wawancara mendalam, dan wawancara bebas seperti yang telah 13 dipaparkan sebelumnya. Sementara itu, pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan kualitatif untuk menghasilkan hasil data yang deskriptif. Observasi partisipasi dilakukan dengan melihat langsung dan mengikuti secara langsung kegiatan pada komunitas Sa’Unine. Observasi juga dilakukan dengan cara berbaur dan berbicara langsung dengan para anggota Sa’Unine yang berjumlah sekitar empat puluh orang. Pada realisasinya peneliti mengalami kesulitan untuk bertemu dengan komunitas ini karena mereka telah jarang mengadakan perkumpulan baik untuk silaturahmi maupun dalam hal pekerjaan. Selain itu, banyak anggota lepas maupun tetap yang jarang berada di kota Yogyakarta karena harus bekerja di Jakarta begitu juga tidak adanya kantor bagi komunitas ini. Selain itu, peneliti juga melakukan pengamatan terhadap beberapa pertunjukan yang mereka adakan. Pertunjukan yang peneliti amati adalah pertunjukan “Ngamen Tamasya” yang diadakan di beberapa kota, tetapi dengan konsep dan target penonton yang hampir sama. Target penonton juga merupakan hal yang diamati peneliti. Alasan mengapa peneliti memilih pertunjukan “Ngamen Tamasya” adalah karena konsep pertunjukan yang mereka berikan pada penampilan mereka ini termasuk baru dan belum pernah dilakukan oleh kelompok string orchestra maupun orchestra lainnya. Kesulitan yang peneliti alami ketika melakukan observasi ini adalah tidak dapat mengikuti perjalanan mereka ke tiap kota karena masalah perizinan dari Yayasan Tembi Rumah Budaya. Kota yang dapat peneliti amati adalah di Yogyakarta karena merupakan kota tempat Sa’Unine mengadakan acara pamitan kepada masyarakat Yogyakarta 14 untuk mengadakan “Ngamen Tamasya” ini. Untuk pertunjukan di kota-kota lain, peneliti mewawancara salah satu anggota lepas dari Sa’Unine yang terlibat langsung dalam setiap kegiatan di acara “Ngamen Tamasya” ini sehingga peneliti dapat menanyakan detail setiap kegiatan yang mereka lakukan di kota-kota tersebut. Selain pertunjukan, peneliti juga mengamati latihan yang mereka jalani. Karena latihan rutin yang mereka lakukan pada awal 2009 dan 2010 sudah tidak berjalan lagi pada awal tahun 2012, maka peneliti tidak melakukan pengamatan terhadap latihan rutin lagi sejak tahun 2012. Namun, pengamatan sendiri mulai dilakukan sejak tahun 2010 yaitu ketika Sa’Unine mulai membentuk manajemen dan mulai mengadakan latihan rutin di Tembi Rumah Budaya, Yogyakarta. Sementara itu, untuk wawancara mendalam, dilakukan pada lima orang yang merupakan pendiri, dan pemain-pemain lepas yang termasuk pemain senior serta satu orang yang termasuk dalam tim manajemen Sa’Unine. Wawancara mendalam ini dilakukan untuk mendapatkan informasi sedalam-dalamnya mengenai perjalanan dan pandangan mereka mengenai perkembangan dan perubahan yang dialami oleh Sa’Unine sejak pertama berdiri hingga kini nama mereka mulai kembali dikenal. Untuk memperlancar proses wawancara dan observasi, peneliti memakai alat bantu berupa kamera dan voice recorder untuk mendokumentasikan kegiatan yang menunjang penelitian ini. 15