musik - ETD UGM

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Kesenian adalah salah satu bentuk kebudayaan yang dapat berupa audio
(musik), visual (lukisan), dan yang berupa audio-visual, misalnya teater
(Sumardjo, 2000: 45). Musik merupakan salah satu jenis kesenian yang paling
banyak digemari oleh masyarakat dunia, termasuk Indonesia. Hampir di seluruh
kawasan Indonesia banyak ditemui komunitas dalam bidang musik. Di Daerah
Istimewa Yogyakarta misalnya, jumlah komunitas seperti ini sangat banyak
dengan jenis aliran musik yang berbeda-beda. Salah satunya adalah musik jenis
string orchestra barat atau yang biasa dikenal musik klasik. String orchestra barat
merupakan jenis aliran musik yang berasal dari Eropa. Musik ini dimainkan
menggunakan alat musik gesek dari Eropa yaitu Violin, Viola, Cello, dan
Contrabass. Tujuan-tujuan didirikannya komunitas tersebut juga bermacammacam. Dalam skripsi ini akan dibahas salah satu komunitas tersebut, yaitu
Sa’Unine String Orchestra.
Konsep akulturasi dalam musik dan pertunjukan adalah dua hal yang
mereka angkat. Konsep ini muncul melalui suatu bentuk perilaku yang biasa
dilakukan oleh anggota komunitas ini. Namun, komunitas ini merasa perilaku dan
kebiasaan mereka ini mulai menghilang dan tidak banyak lagi terdapat di
kalangan masyarakat. Hingga akhirnya mereka menunjukan bakat yang mereka
1 punyai yaitu dalam hal bermain musik string orchestra barat dengan memainkan
aransemen lagu-lagu tradisi hasil aransemen mereka sendiri juga.
Sa’Unine string orchestra (yang selanjutnya akan disebut dengan
Sa’Unine) merupakan sebuah komunitas yang didirikan dengan tujuan awal
sebagai sebuah sarana berlatih dan belajar bermain musik ansambel secara
mandiri. Selama belasan tahun kelompok ini tidak menghasilkan karya dalam
bermusik. Hal tersebut dikarenakan kesibukan masing-masing anggota yang
sedang bersekolah dan masalah pekerjaan pribadi. Kelompok ini bergerak di
bidang musik yang unik karena mencampurkan unsur musik string orchestra barat
dan musik tradisional Indonesia dalam segi pengaransemenan1 lagu-lagu tradisi
Jawa dalam musik string orchestra barat.
Selain dalam bentuk aransemen musik, Sa’Unine juga membuat
pertunjukan musik yang berbeda dibandingkan dengan pertunjukan musik
biasanya. Banyak yang meyakini bahwa pertunjukan musik mereka berbeda dan
belum ada yang mempunyai konsep serupa dengan konsep pertunjukan Sa’Unine.
Pertunjukan yang dilakukan oleh Sa’Unine mempunyai konsep yang berbeda
dengan pertunjukan musik string orchestra lain dalam hal interaksi, property
pertunjukan dan konsep pertunjukan.
Keberadaan komunitas Sa’Unine merupakan sebuah fenomena baru dalam
dunia musik Indonesia. Sebagai sebuah gejala perubahan budaya, fenomena
1
Aransemen: penyesuaian komposisi musik dengan nomor suara instrumen lain yang didasarkan
pada sebuah komposisi yang telah ada sehingga esensi musiknya tidak berubah. (Syafiq,
Muhammad. 2003. Ensiklopedia Musik Klasik. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa.)
2 Sa’Unine dianggap menarik untuk diteliti dari sisi ilmu Antropologi. Antropologi
merupakan sebuah ilmu yang berusaha memahami makna dari suatu perubahan
dalam masyarakat. Dalam hal ini, perubahan budaya yang dimaksud adalah
perubahan dalam bentuk akulturasi.
B.
Permasalahan
Berdasarkan latar belakang tersebut dapat dilihat beberapa permasalahan
dalam kesenian yang dibawakan oleh komunitas Sa’Unine ini. Pada awal
pembentukannya, komunitas ini tidak berorientasi pada musik yang kini mereka
bawakan, yaitu pengaransemenan musik-musik tradisional dengan pengaruh
musik string orchestra barat. Namun setelah belasan tahun tidak menghasilkan
suatu karya, mereka mengonsistensikan diri pada aransemen musik tradisional
Indonesia dalam musik string orchestra Barat (Eropa). Kelompok ini juga
beranggapan bahwa yang mereka lakukan sekarang ini adalah usaha agar jenis
musik tradisional Indonesia dapat dinikmati semua kalangan masyarakat
Indonesia. Selama ini Sa’Unine melihat bahwa jenis musik yang mereka sajikan,
yaitu musik string orchestra barat, lebih banyak dinikmati oleh golongan
masyarakat dari status sosial yang tinggi. Selain itu, Sa’Unine juga merasa bahwa
musik tradisi Indonesia sekarang ini telah terlupakan, bahkan ada yang tidak
dikenali sama sekali. Dalam rangka lebih memperkenalkan musik tradisi inilah,
salah satu bentuk usaha mereka adalah mengubah konsep pertunjukan. Penonton
Sa’Unine berbeda dengan penonton pertunjukan musik string orchestra barat,
terutama musik klasik.
3 Berdasarkan uraian tersebut, maka munculah pertanyaan-pertanyaan
berikut ini.
1)
Bagaimana unsur musik string orchestra barat dan musik tradisi
Indonesia tercermin dari aransemen lagu Tak Lela Ledung dan
Dolanan Pizzicato?
2)
Bagaimana komunitas Sa’Unine mewujudkan akulturasi musik
string orchestra barat dan musik tradisi Indonesia dalam praktik
pertunjukan?
3)
Bagaimana konsep bermusik orang Jawa dan konsep bermusik string
orchestra barat dipadukan oleh komunitas Sa’Unine?
C.
Tujuan Penelitian
Musik dan kebudayaan lokal suatu daerah adalah dua hal yang tidak dapat
dipisahkan, khususnya dalam masyarakat Indonesia karena di dalam lagu-lagu
tradisional sering kali terdapat makna-makna ataupun doa dari pembawa lagu
tersebut. Contohnya adalah dalam lagu dari kebudayaan Jawa Tak Lela Ledung
karya Markasan dan kumpulan lagu Dolanan. Lagu yang dibawakan dengan
bahasa tradisional Jawa ini mengandung makna adanya keinginan seorang ibu
agar anaknya yang masih kecil kelak menjadi orang yang berguna bagi orang tua,
bangsa, dan masyarakat .
Penelitian ini dimaksudkan untuk mengkaji sebuah studi tentang
Antropologi musik yang masih jarang dilakukan di Indonesia. Melalui penelitian
4 ini diharapkan masyarakat mengetahui bahwa setiap daerah mempunyai nilai-nilai
lokal tersendiri. Selain itu, anggapan bahwa kebudayaan dapat dipertahankan
melalui kesenian merupakan suatu anggapan yang bagus dan justru dapat
membantu masyarakat agar lebih mempertahankan kebudayaan. Mempertahankan
suatu nilai lokal maupun kebudayaan memerlukan usaha, salah satunya adalah
melalui kreativitas seni dan hal inilah yang dilakukan oleh Sa’Unine. Bentuk
kreativitas seni yang mereka sajikan berbeda karena menggunakan beberapa
teknik dan unsur musik string orchestra barat dalam pengaransemenan beberapa
musik tradisional Indonesia.
Kreativitas yang mereka lakukan ini bukan tanpa alasan karena
kemampuan yang mereka punyai adalah dalam bidang musik klasik. Kemampuan
mereka inilah yang menjadi salah satu faktor pendukung usaha mereka sekaligus
juga hendak menunjukkan pada masyarakat luas bahwa melestarikan budaya akan
lebih
baik
dilakukan
dengan
menyadari
potensi
yang
telah
dimiliki.
Mengembangkan potensi yang ada dalam diri masing-masing akan mendukung
pelestarian kebudayaan.
Selain itu, diharapkan juga hasil penelitian ini dapat menjadi pemicu
semangat kreativitas komunitas Sa’Unine di masa depan. Kreativitas mereka akan
semakin memperkaya khazanah lagu-lagu tradisional Indonesia karena telah
diaransemen ulang dengan sentuhan yang berbeda.
5 D.
Kerangka Pemikiran
Penelitian ini mengangkat konsep akulturasi yang mempunyai banyak arti
berdasarkan berbagai tokoh Antropologi maupun sosiologi di dunia. Namun
hampir semuanya memiliki inti makna dan konsep yang sama seperti yang
diungkapkan oleh Koentjaraningrat (2000: 248) berikut ini,
“Akulturasi adalah proses sosial yang muncul bila suatu kelompok
manusia dengan suatu kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsurunsur dari suatu kebudayaan asing, dan lambat laun budaya asing itu akan
diterima dan diolah ke dalam kebudayaan lokal tanpa menghilangkan
kepribadian kebudayaan itu sendiri. “
Berdasarkan pengertian tersebut dapat dilihat beberapa aspek yang juga
memengaruhi Sa’Unine dalam mengaransemen maupun menggubah lagu.
Sa’Unine mendapat pengaruh dari budaya asing yang kemudian diolah
sedemikian rupa sehingga mampu berselaras dengan salah satu jenis kesenian
Indonesia, yaitu musik tradisi Indonesia. Konsep akulturasi yang diangkat oleh
penelitian ini adalah dalam hal musik dan pertunjukan. Akulturasi yang ada
didalamnya merupakan nilai yang mempengaruhi tidak hanya dalam hal bermusik
komunitas ini namun juga dalam hal pertunjukan.
Konsep musik dianggap penting oleh Merriam, konsep musik merupakan
konsep dalam hal praktek dan pertunjukan musik itu serta produksi dari suara
musik (1964: 63). Menurut Merriam,
“One of the most important of such concepts is the distinction, implied or
real, made between music on the one hand, and noise, or non-music, on
the other; this is the basic to the understanding of music in any society.”
(Salah satu hal yang paling penting dari berbagai konsep dalam musik
adalah pembedaannya, tersirat atau nyata, antara musik di satu sisi, dan
kebisingan, atau non-musik di sisi lain; inilah dasar untuk memahami
musik dalam setiap masyarakat).
6 Melalui studi Antropologi musik akan dapat diketahui adanya akulturasi
budaya musik yang terjadi di Indonesia. Merriam (1964: 7) dalam bukunya The
Anthropology Of Music mengatakan bahwa
“Music is a product of a man and has a structure but its structure cannot
have a existence of its own divorced from the behavior which produces if.”
(musik adalah sebuah produk dari manusia dan mempunyai struktur, tetapi
struktur itu tidak dapat berdiri sendiri terpisahkan dari perilaku yang
memproduksinya).
Hal tersebut menunjukkan bahwa musik adalah sebuah produk yang mempunyai
sebuah konsep dalam pembuatannya.
Berdasarkan pernyataan Merriam tersebut, dapat dilihat bahwa perilaku
manusia sangat memengaruhi setiap konsep kegiatan mereka, salah satunya
adalah dalam hal bermusik maupun berkesenian dalam bentuk seni pertunjukan.
Bentuk perilaku manusia dapat memberikan suatu gambaran bahwa dalam hal
konsep bermusik, manusia dapat menggambarkan bentuk lagu dan emosi lagu
tersebut. Dalam hal pertunjukan, konsep perilaku juga akan memengaruhi
jalannya pertunjukan tersebut dan respons dari penontonnya. Merriam (1964: 237)
juga menyebutkan bahwa
“music specifically – are symbolic in that they are reflective of emotion
and meaning. It can refer to this as ‘affective’ or ‘cultural meaning’, -”
(secara spesifik musik adalah simbol yang mencerminkan emosi dan
makna. Hal tersebut dapat juga diartikan di sini sebagai “afektif” dan
”makna budaya”, - )
Dalam penelitian ini, ditunjukkan bentuk akulturasi musik string orchestra
barat dan musik tradisi Indonesia yang mempunyai ciri khas yang berbeda dan
keunikan tersendiri. Hal itu terlihat pada unsur-unsur musik string orchestra barat
yang sangat kental terdengar membawakan dua lagu daerah Indonesia tersebut.
7 Menurut Suka Hardjana dalam bukunya Esai dan Kritik Musik (2004)
musik string orchestra barat telah berada di tengah-tengah masyarakat dunia
selama ratusan tahun sebagai musik dengan seni budaya tinggi dan terjaga hingga
hari ini. Masih menurut Hardjana pula, musik klasik merujuk pada aliran seni
musik di Wina, Austria abad 18-19 (1760-1830) dengan pelopornya W.A. Mozart,
Joseph Haydn, dan Ludwig Van Beethoven. Pengertian lain yang muncul terkait
dengan musik klasik adalah musik jenis ini adalah seni musik yang serius karena
tiap jenis musik klasik mempunyai watak, aliran, maupun zamannya yang
berbeda. Jika didasarkan pada hal-hal di atas, jenis musik klasik adalah, antara
lain, musik renaisans, barok, rokoko, klasik, romantik, impresionisme,
ekspresionisme, dan modern. Hardjana juga berpendapat bahwa musik barat
sebenarnya identik dengan musik kerajaan dan musik gerejawi di masanya. Lagulagu tersebut tentu saja juga telah melalui proses aransemen sehingga tidak terlalu
panjang untuk dinyanyikan selama kebaktian atau misa berlangsung.
Untuk musik string orchestra barat, makna lagu digambarkan melalui
melodi-melodi lagu yang dimainkan dan semakin diperlihatkan melalui dinamik,
tempo, dan penekanan-penekanan irama setiap nada. Sangat jarang ditemui
adanya lirik ataupun penyanyi untuk lagu dalam musik string orchestra barat.
Melalui penekanan itu pendengar akan dapat merasakan maksud dan tujuan lagu
itu dibuat atau waktu pembuatan lagu tersebut. Namun dalam musik tradisional
Indonesia, pendengar akan dapat memahami isi dan maksud lagu melalui lirik
yang dinyanyikan.
8 Secara budaya dan sejarah, pertunjukan musik string orchestra Barat
menggunakan sistem pertunjukan yang formal dan sangat disiplin. Hal ini dapat
terlihat dari cara berpakaian para pemain musiknya yang formal, mewah, begitu
juga dengan status sosial penonton musik string orchestra barat klasik ini. Dengan
demikian, dapat terlihat bahwa penonton atau peminat musik jenis ini adalah
masyarakat dengan status sosial yang tinggi. Hal ini tentu saja berbeda dengan
konsep pertunjukan yang disajikan Sa’Unine.
Menurut Soedarsono (2002), seni pertunjukan adalah seni kolektif
sehingga penampilannya di atas panggung menuntut biaya yang tidak sedikit.
Sementara itu, menurut Carlson, pertunjukan merupakan salah satu jenis kegiatan
kesenian yang dilakukan oleh sekelompok orang. Jenis-jenis pertunjukan juga
tergantung dari kemampuan setiap individu atau kelompok yang hendak
melaksanakan pertunjukan ini.
Pertunjukan, menurut Richard Schechner, mempunyai korelasi dengan
ilmu sosial seperti yang diungkapkan Carlson dalam bukunya Performance: A
Critical Introduction (1996). Carlson menyebutkan adanya tujuh daftar yang
menunjukkan bahwa pertunjukan memiliki korelasi dengan ilmu sosial. Dari
ketujuh daftar yang diungkapkan pada buku tersebut, yang paling memiliki
korelasi dengan penelitian ini adalah daftar yang menyatakan bahwa “constitution
of unified theories of performance, which are, in fact, theories of behavior”
(konstitusi dari kumpulan teori-teori pertunjukan yang sebenarnya adalah teori
perilaku). Hal ini karena pertunjukan yang dilakukan oleh Sa’Unine tidak lepas
dari perilaku mereka. Perilaku mereka dijadikan sebagai dasar dalam mengonsep
9 pertunjukan. Konsep teori perilaku ini juga menjadi menarik bagi peneliti untuk
lebih memahami konsep pertunjukan Sa’Unine yang dinilai berbeda oleh
kebanyakan orang yang menonton pertunjukan mereka.
Seni tradisi suatu daerah harusnya dapat menemukan titik peran dan
sekaligus dihadapkan pada tantangan yang dihadapi di masa depan. Contohnya
adalah musik daerah yang kini mulai tidak banyak terdengar lagi di telinga
masyarakatnya sendiri karena kalah dengan musik modern maupun dengan tradisi
dari luar. Oleh karena itulah, dibutuhkan kecerdasan dan kearifan dalam
mengelola seni tradisi ataupun dalam menanggapi pengaruh-pengaruh masa depan
terhadap kelangsungan seni tradisional tanpa mengubah karakter dan nilai pada
masyarakat (Bahar, 2004). Selain itu, menurut Magnis Suseno (dalam Bahar,
2004: 17, 20), bangsa Indonesia juga harus dapat memeluk kebudayaan teknologis
modern barat agar dapat bertahan dengan kebudayaan tradisional Indonesia dan
tentunya sebagai bangsa Indonesia.
Hal tersebutlah yang juga dilakukan oleh Sa’Unine yang justru memeluk
budaya barat berupa alat musik, teknik pengaransemen lagu, dan nilai-nilai musik
string orchestra barat untuk diterapkan dalam musik tradisional Indonesia. Hal ini
dilakukan bukan semata-mata untuk menggeser kebudayaan asli Indonesia, tetapi
untuk menunjukkan kepada masyarakat luas bahwa dua kebudayaan yang sangat
berbeda dapat menjadi satu kesatuan yang memberi nilai dan arti pada setiap
kebudayaan. Dari kedua sisi budaya berbeda inilah terlihat suatu bentuk akulturasi
budaya.
10 Pada dasarnya komposisi dan aransemen adalah dua hal yang berbeda.
Komposisi merupakan
“suatu bentuk gubahan atau penciptaan lagu musik instrumental maupun
vokal”,
sedangkan aransemen merupakan
“penyesuaian komposisi musik dengan nomor suara penyanyi atau
instrumen lain yang didasarkan pada sebuah komposisi yang telah ada
sehingga tidak mengubah esensi musik” (Syafig, 2003).
Yang banyak dilakukan oleh Sa’Unine adalah mengubah bentuk aransemen lagu
daerah Indonesia. Aransemen yang dilakukan oleh Sa’Unine inilah yang menarik
peneliti karena sistem aransemen yang dilakukan Sa’unine tidak banyak dilakukan
oleh grup lain yang mengaransemen lagu populer. Yang dilakukan Sa’Unine
adalah mengaransemen lagu-lagu daerah yang tidak banyak lagi didengar
sehingga menjadi lebih menarik.
Komposisi sendiri mulai berkembang di Indonesia dengan sangat pesat.
Para komponis ini mulai berkarya dengan caranya sendiri dan keunikan masingmasing. Menurut Sigalingging (1996), situasi seperti ini jauh lebih baik daripada
empat puluh tahun yang lalu ketika Cornel Simanjuntak masih aktif menciptakan
lagu sambil berharap tentang kemajuan penciptaan musik di Indonesia.
E.
Metode Penelitian
1. Subjek Penelitian
Penelitian ini mengangkat sebuah komunitas bernama Sa’Unine yang
pernah mempunyai hubungan kerja dengan Yayasan Tembi Rumah Budaya.
11 Selain dengan Yayasan Tembi Rumah Budaya, Sa’Unine juga melakukan kerja
sama dengan Fombi atau Forum Musik Tembi dalam hal produksi yang juga
merupakan bagian dari yayasan tersebut. Sa’Unine juga pernah mempunyai
seorang produser eksekutif dari yayasan ini karena Sa’Unine dan Tembi Rumah
Budaya mempunyai visi dan misi yang sama.
Selain Tembi Rumah Budaya, peneliti juga membatasi kajian penelitian
pada arranger sekaligus pendiri Sa’Unine, yaitu Dimawan Krisnowo Adji (atau
yang selanjutnya akan disebut Wawan). Pembahasan mengenai dua buah lagu,
yaitu Tak Lela Ledung dan dolanan “pizzicato”, yang diaransemen oleh Wawan
ini mengharuskan peneliti melakukan wawancara mendalam mengenai visi dan
misi bentuk aransemen tersebut. Oleh karena itu, peneliti menemui Wawan di
setiap kesempatan yang memungkinkan karena kesibukan dari narasumber utama
tersebut.
Selain kedua objek tersebut, peneliti juga melakukan penelitian mendalam
terhadap anggota komunitas ini, terutama dalam kegiatan-kegiatan yang mereka
lakukan. Tempat-tempat yang akan menjadi objek penelitian disesuaikan dengan
jadwal dan ketentuan dari pihak pengurus Sa’Unine. Pertunjukan di Taman
Budaya Yogyakarta juga menjadi salah satu objek observasi partisipasi yang
dilakukan. Di tempat inilah Sa’Unine mengadakan konser peluncuran album
kedua mereka yang berjudul “Buaian Sepanjang Masa”. Selain itu, di tempat
inilah Sa’Unine juga pernah mengadakan ngamen di jalan umum, tepatnya
didepan gedung konser Taman Budaya Yogyakarta .
12 Pemilihan contoh pada kedua lagu tersebut disebabkan karena lagu-lagu
yang menjadi bahan aransemen oleh Sa’Unine tersebut merupakan lagu umum
yang biasa didengar oleh masyarakat. Menurut peneliti, kedua lagu ini begitu
menarik untuk dibahas karena melalui lagu Tak Lela Ledhung dan Dolanan
hampir didengarkan sendiri oleh peneliti dalam kehidupan sehari-hari. Lagu Tak
Lela Ledhung yang dalam album ini dinyanyikan oleh sinden, biasa didengar oleh
peneliti langsung oleh seorang ibu yang menggendong anaknya. Selain itu, di
dalam lirik lagu tersebut terdapat nilai-nilai lokal masyarakat Jawa yang
diungkapkan, seperti doa seorang ibu untuk anaknya agar berguna bagi bangsa,
mengharumkan nama orang tua serta menjadi orang yagn sukses. Begitu juga
dengan lagu Dolanan yang merupakan medley dari tiga buah lagu yaitu Gundulgundul Pacul, Jaranan, dan Cublak-cublak suweng, adalah lagu yang sudah tidak
asing lagi oleh peneliti dibandingkan lagu lain yang ada dalam album Sa’Unine.
Sementara itu, lagu dolanan merupakan lagu yang pada tahun 1990-an masih
biasa didengar, bahkan dinyanyikan sendiri oleh anak-anak maupun remaja saat
bermain . Hal ini yang menarik peneliti karena lagu-lagu tersebut yang dianggap
mudah dan biasa saja dapat menjadi lebih menarik karena aransemen dari
Sa’Unine. Selain itu, kedua lagu ini merupakan lagu yang tidak asing lagi bagi
masyarakat, khususnya masyarakat Jawa.
1. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data, antara lain, dilakukan dengan observasi
partisipasi, wawancara mendalam, dan wawancara bebas seperti yang telah
13 dipaparkan sebelumnya. Sementara itu, pendekatan yang dilakukan adalah
pendekatan kualitatif untuk menghasilkan hasil data yang deskriptif.
Observasi partisipasi dilakukan dengan melihat langsung dan mengikuti
secara langsung kegiatan pada komunitas Sa’Unine. Observasi juga dilakukan
dengan cara berbaur dan berbicara langsung dengan para anggota Sa’Unine yang
berjumlah sekitar empat puluh orang. Pada realisasinya peneliti mengalami
kesulitan untuk bertemu dengan komunitas ini karena mereka telah jarang
mengadakan perkumpulan baik untuk silaturahmi maupun dalam hal pekerjaan.
Selain itu, banyak anggota lepas maupun tetap yang jarang berada di kota
Yogyakarta karena harus bekerja di Jakarta begitu juga tidak adanya kantor bagi
komunitas ini.
Selain itu, peneliti juga melakukan pengamatan terhadap beberapa
pertunjukan yang mereka adakan. Pertunjukan yang peneliti amati adalah
pertunjukan “Ngamen Tamasya” yang diadakan di beberapa kota, tetapi dengan
konsep dan target penonton yang hampir sama. Target penonton juga merupakan
hal yang diamati peneliti. Alasan mengapa peneliti memilih pertunjukan “Ngamen
Tamasya” adalah karena konsep pertunjukan yang mereka berikan pada
penampilan mereka ini termasuk
baru dan belum pernah dilakukan oleh
kelompok string orchestra maupun orchestra lainnya. Kesulitan yang peneliti
alami ketika melakukan observasi ini adalah tidak dapat mengikuti perjalanan
mereka ke tiap kota karena masalah perizinan dari Yayasan Tembi Rumah
Budaya. Kota yang dapat peneliti amati adalah di Yogyakarta karena merupakan
kota tempat Sa’Unine mengadakan acara pamitan kepada masyarakat Yogyakarta
14 untuk mengadakan “Ngamen Tamasya” ini. Untuk pertunjukan di kota-kota lain,
peneliti mewawancara salah satu anggota lepas dari Sa’Unine yang terlibat
langsung dalam setiap kegiatan di acara “Ngamen Tamasya” ini sehingga peneliti
dapat menanyakan detail setiap kegiatan yang mereka lakukan di kota-kota
tersebut.
Selain pertunjukan, peneliti juga mengamati latihan yang mereka jalani.
Karena latihan rutin yang mereka lakukan pada awal 2009 dan 2010 sudah tidak
berjalan lagi pada awal tahun 2012, maka peneliti tidak melakukan pengamatan
terhadap latihan rutin lagi sejak tahun 2012. Namun, pengamatan sendiri mulai
dilakukan sejak tahun 2010 yaitu ketika Sa’Unine mulai membentuk manajemen
dan mulai mengadakan latihan rutin di Tembi Rumah Budaya, Yogyakarta.
Sementara itu, untuk wawancara mendalam, dilakukan pada lima orang
yang merupakan pendiri, dan pemain-pemain lepas yang termasuk pemain senior
serta satu orang yang termasuk dalam tim manajemen Sa’Unine. Wawancara
mendalam ini dilakukan untuk mendapatkan informasi sedalam-dalamnya
mengenai perjalanan dan pandangan mereka mengenai perkembangan dan
perubahan yang dialami oleh Sa’Unine sejak pertama berdiri hingga kini nama
mereka mulai kembali dikenal.
Untuk memperlancar proses wawancara dan
observasi, peneliti memakai alat bantu berupa kamera dan voice recorder untuk
mendokumentasikan kegiatan yang menunjang penelitian ini.
15 
Download