BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sastra lahir

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sastra lahir disebabkan oleh dorongan dasar manusia untuk mengungkapkan
eksistensinya, perhatian besar terhadap masalah manusia dan kemanusiaan, serta
perhatiannya terhadap dunia realitas yang berlangsung sepanjang hari dan
sepanjang zaman (Sangidu, 2004:1-2). Secara umum, karya sastra berasal dari
kehidupan sehari-hari. Sastra bisa berasal dari pengalaman hidup, pengamatan,
pemahaman dan penghayatan terhadap berbagai peristiwa dalam kehidupan
pengarangnya. Gambaran realitas dalam karya sastra mencerminkan berbagai
macam permasalahan dan gejolak perasaan masyarakat. Oleh karena itu, karya
sastra adalah untaian perasaan dan realitas sosial (semua aspek kehidupan
manusia) yang telah tersusun baik dan indah dalam bentuk benda konkret (Quthub
via Sangidu, 2004:38). Yaitu hasil proses kreatif pengarang yang berasal dari
alam bawah sadar dan mimpi sebagai representasi diri atau realitas masyarakat
yang telah tersusun rapih ke dalam bentuk konkret. Bentuk benda konkret dalam
karya sastra tersebut dapat berupa karya tulis fiksi maupun nonfiksi. Karya sastra
fiksi antara lain berupa novel, cerpen, essai dan cerita rakyat sedangkan karya
sastra non-fiksi di antaranya puisi, lagu, skenario untuk film, dan drama
(Nurgiyantoro, 1995:8).
Pengarang juga merupakan bagian dari masyarakat. Penciptaan karya sastra
oleh pengarang dipengaruhi oleh alam bawah sadar pengarang yang kuat.
Sehingga alam bawah sadar juga merupakan cerminan dari konflik yang dialami
pengarang atau gejolak dalam masyarakat sebagai sumber penciptaan sebuah
karya sastra.
Karya sastra, baik novel, drama, dan puisi di zaman modern ini sarat dengan
unsur-unsur psikologis sebagai manifestasi : kejiwaan pengarang, para tokoh
fiksional dalam kisahan dan pembaca (Minderop, 2011:53). Yaitu keadaan
psikologi pengarang saat membuat karya sastra, psikologi tokoh dalam karya
sastra yang digambarkan oleh pengarang, dan keadaan psikologi para pembaca
karya sastra tersebut. Dapat dikatakan bahwa karya sastra sangat mungkin ditelaah
dengan kajian psikologis karena menunjukkan watak para tokohnya walaupun
imajinatif. Selain itu, tujuannya adalah memahami aspek-aspek kejiwaan tokoh
dalam suatu karya sastra, seperti perubahan yang terjadi pada kehidupan
seseorang, keadaan lingkungan yang merubah pribadi seseorang dan juga
penyimpangan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat.
Alur film mirip dengan alur karya sastra dalam bentuk tulisan. Karena alur
film juga memiliki awalan, konflik dan klimaks sama seperti alur karya sastra
dalam bentuk tulisan. Oleh karena itu, penulis memilih film My Sassy Girl sebagai
objek penelitian skripsi penulis. Film ini menarik bagi penulis karena di dalam
alur cerita film ini terdapat keganjilan kepribadian yang dialami oleh tokoh Gyeon
Woo terlebih setelah dia bertemu dengan wanita mabuk di dalam kereta bawah
tanah. Hal yang paling tidak disangka olehnya adalah pertemuan dirinya dengan
tokoh wanita dalam kereta bawah tanah. Dalam film ini, tokoh Gyeon Woo
digambarkan sebagai orang yang terjebak antara kehidupan masa lalu dan masa
kini, ia seperti tidak bisa melupakan segala kenangan pahit yang terjadi di masa
lalunya. Peristiwa di masa lalunya sangat mempengaruhi kehidupannya di masa
sekarang. Ia menjadi seorang yang gemar berbohong, kasar, suka berteriak,
berimajinasi dan memaksakan kehendaknya kepada tokoh wanita agar tokoh
wanita bertindak sebagaimana mestinya. Perilakunya tersebut makin dipertegas
dengan kecenderungannya untuk menulis cerita pendek dan merubah akhir
ceritanya menjadi dramatis atau tidak sesuai dengan genrenya. Keganjilan
kepribadian tersebut membuat penulis tertarik untuk meneliti lebih lanjut
mengenai
kehidupan
masyarakat
Korea
saat
itu
yang
juga
memiliki
kecenderungan gejala yang sama. Penulis membahas film ini dengan
menggunakan pendekatan psikologi karena psikologi merupakan bagian dalam
kepribadian manusia. Pshyce yang berarti jiwa dan Logos yang berarti ilmu
sehingga psikologi merupakan ilmu yang mempelajari tentang pribadi atau jiwa
manusia.
Film tersebut pun menuai sukses yang besar di Korea dengan jumlah tiket
terjual sebanyak 1.765.100 lembar hanya dalam 10 pekan pemutarannya dan
4.852.845 tiket terjual di seluruh dunia. Kesuksesan tersebut banyak menarik
minat para produser film untuk membuat ulang film tersebut di negara masingmasing. Tercatat ada enam negara yang membuat ulang film tersebut. Di Amerika
Serikat, film ini dibuat ulang dengan judul yang sama dan tayang pada tahun 2008.
Kemudian, film ini dibuat ulang di Jepang dengan judul Ryokiteki na Kanojo.
Lalu di India, film ini dibuat ulang dengan judul Ugly Aur Pagli. Di Nepal, film
ini dibuat ulang dengan judul Sano Sansar yang tayang pada 12 september 2008
dan menjadi film yang sangat popular di kalangan remaja negara tersebut.
Film ini diadaptasi dari tulisan pada blog pribadi Kim Ho Sik dengan nama
akun “Gyeonwoo74” yang bercerita tentang kisah percintaanya dengan wanita
yang ia temui secara tidak sengaja saat menumpang kereta bawah tanah. Tulisan
Kim Ho Sik ini kemudian menarik perhatian sebuah perusahaan penerbit untuk
dijadikan sebuah novel. Novel itu kemudian menjadi bestseller di Korea Selatan
dan kemudian menarik sebuah minat sutradara untuk menuangkan cerita tersebut
ke dalam sebuah film. Nama akun blog “Gyeonwoo74”, yang dibuat penulis blog,
kemudian diadaptasi menjadi nama tokoh laki-laki dalam novel dan film yang
berjudul “My Sassy Girl”. Tokoh Gyeon Woo dalam film dan novel “My Sassy
Girl” yang di adaptasi dari nama akun blog “Gyeonwoo74” dapat disimpulkan
merujuk pada penulis blog tersebut. Dengan kata lain, tokoh Gyeon Woo yang
dimainkan dalam novel dan film “My Sassy Girl”, merepresentasikan kisah hidup
penulis blog dengan nama akun “Gyeonwoo74” tersebut.
Kisah percintaannya di mulai ketika wanita yang sedang dalam keadaan
mabuk tersebut memuntahi orang tua yang berada didepannya, sambil menunjuk
Gyeon Woo sebagai kekasihnya. Sontak hal ini membuat gempar seluruh
penumpang kereta dan menyangka bahwa Gyeon Woo memang benar-benar
kekasih wanita tersebut. Bermula dari kejadian tersebut, akhirnya mereka benarbenar menjalin kasih. Film ini menceritakan kisah lika-liku percintaan yang
dialami oleh Gyeon Woo dengan kekasihnya yang berulang kali harus dipisahkan
walaupun di akhir cerita mereka dipertemukan kembali secara tidak sengaja.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalahnya adalah bagaimana
usaha yang dilakukan oleh sosok pria dalam tokoh film „“My Sassy Girl”‟ ini
yang memiliki kecenderungan gejala Mythomania dan apa ide, gagasan dan atau
nilai yang ingin ditampilkan pengarang melalui tokoh Gyeon Woo dalam film
“My Sassy Girl”?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kecenderungan Mythomania
yang dialami oleh tokoh Gyeon Woo akibat terperangkap oleh trauma masa
lalunya dan membayangi kehidupannya di masa sekarang sehingga ia mengalami
kecenderungan-kecenderungan untuk melakukan kegiatan yang sesuai dengan
keinginannya tanpa memikirkan perasaan orang lain. Selain itu juga untuk
mengetahui usaha apa yang dilakukan Gyeon Woo untuk tetap menunjukan
eksistensinya. Penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui ide, gagasan, dan
nilai yang ingin ditampilkan oleh pengarang melalui tokoh Gyeon Woo.
1.4 Tinjauan Pustaka
Tinjauan pustaka pertama ialah skripsi di dalam lingkungan Fakultas Ilmu
Budaya UGM yang berjudul “Roman La Condition Humaine Karya André
Malraux oleh Mohammad Ma‟sum (1994)”. Dengan menggunakan teori struktural,
skripsi tersebut meneliti tentang unsur-unsur intrinsik yang terdapat pada novel
seperti alur, penokohan, latar, sudut pandang dan tema. Keberadaan unsur-unsur
intrinsik tersebut dibuktikan memilki perpaduan yang harmonis antara satu dan
yang lainnya. Penelitian yang dilakukan oleh Ma‟sum turut membantu peneliti
dalam memahami struktur yang terdapat dalam novel La Condition Humaine.
Selain itu penulis juga meneliti skripsi yang menggunakan teori sosiologi
sastra yang ditulis oleh Ade Sri Oktavia dengan judul skripsi “Representasi
Kehidupan dan Pengaruh Shaman dalam Drama The Moon That Embraces The
Sun”. Dalam skripsi tersebut, diungkapkan mengenai pengaruh shaman dalam
kehidupan masyarakat Korea zaman dahulu khususnya di kalangan kerajaan dan
bagaimana seorang Shaman menjalani kehidupan kesehariannya.
Menurut penulis, penelitian terhadap adanya trauma menjadi sebuah pengaruh
terhadap kehidupan seseorang menarik untuk diteliti karena trauma masa lalu
dapat menyebabkan seseorang merasa terjebak dalam kenangan-kenangan pahit
yang terjadi antara dirinya dan orang lain. Dalam hal ini adalah tokoh pria dalam
film “My Sassy Girl” yang lebih memilih menjadi orang lain agar terhindar dari
rasa sakit ketika kejadian yang sama terulang lagi.
1.5 Landasan Teori
1.5.1
Mythomania
Mythomania dalam istilah psikologi dapat juga disebut sebagai pseudologia
fantastica atau pathological lying. Pengertian lebih lanjut terhadap Mythomania
pertama kali disampaikan oleh Ernest Dupré (1905), seorang ahli psikologi yang
pertama kali mengusulkan istilah untuk gangguan psikologis tersebut.
Menurutnya, Mythomania adalah suatu bentuk ketidakseimbangan mental pada
diri seseorang untuk mengubah-ubah fakta, mereka-reka cerita dan menciptakan
dongeng imajiner.
Penderita Mythomania akan terus menerus mengubah-ubah fakta atau
berbohong dan tanpa ragu menimpalinya dengan kebohongan lain apabila
tindakan tersebut mulai terungkap dan si penderita mulai terpojok sementara bagi
mereka untuk mengatakan kebenaran adalah suatu kejanggalan. Dr. Charles C.
Dike (2007:4-5), seorang psikiater sekaligus peneliti di Yale University School of
Medicine, dalam artikelnya menjelaskan bahwa penderita Mythomania memiliki
durasi yang sangat lama dalam mempertahankan perilakunya tersebut bahkan
mungkin bisa seumur hidup. Apabila kebohongan biasa dapat dikatagorikan
sebagai perilaku retrospektif, Mythomania dapat dikategorikan sebagai perilaku
prospektif. Perilaku retrospektif ditujukan untuk melawan tindakan penghukuman,
melindungi teman dari masalah, menunjukkan kewibawaan, atau sebagainya.
Poin utama dari perilaku ini adalah bahwa tindakan yang dilakukan memiliki
periode yang sangat singkat dan tidak ada kelanjutannya di masa depan.
Sedangkan perilaku prospektif bertujuan untuk menghindari ancaman yang akan
datang baik yang bersifat fiksi, ilusi maupun kenyataan. Tujuan tersebut kemudian
direpresentasikan dalam sebuah agenda berkepanjangan yang disusun sebagai
suatu strategi defensif. Strategi tersebut akan terus dilakukan meskipun dengan
mengabaikan perubahan kondisi pada identitas diri, perilaku, kebiasaan ataupun
ingatan si penderita. Hal tersebut merupakan penyebab dari kerusakan diri
penderita yang membuatnya semakin sulit dipahami oleh orang-orang di
sekitarnya (Myslobodsky, 1997:5-6).
Secara umum terdapat beberapa faktor fundamental yang menjadi latar
belakang penyebab terjadinya kecenderungan Mythomaniac. Berikut ini adalah
faktor-faktor yang melatarbelakangi munculnya gejala gangguan psikologis ini
yaitu:
a. Kegagalan berturut-turut di masa lalu, misalnya dalam bidang akademis
atau profesional.
b. Ketidakpuasan terhadap kehidupan yang dijalani.
c. Merasa kehilangan orang terdekat, misalnya karena disebabkan oleh
kematian.
d. Tindakan tidak menyenangkan yang sering diterima dari lingkungan
yang buruk di sekitar penderita.
e. Perubahan gaya hidup masyarakat di sekitar penderita.
f. Depresi dan kegelisahan yang berlebih (Myslobodsky 1997:6).
Faktor-faktor di atas berperan besar dalam latar belakang seseorang yang
memiliki gangguan Mythomania sehingga timbul beberapa gejala umum yang
dapat diamati dari penderita. Gejala penderita Mythomania dapat disebut juga
sebagai mythopathology. Dupré dalam jurnal-jurnal medisnya (1905-1919)
mendeskrpsikan beberapa gejala yang pada umumnya dimiliki oleh para penderita
Mythomania . Untuk melengkapi mythopathology yang telah disampaikan Dupré,
Myslobodsky (1997) turut pula mendeskripsikan beberapa gejala gangguan
psikologis ini. Gejala-gejala Mythomania tersebut antara lain:
a. Gemar Mempermainkan Fakta atau Berbohong
b. Membuat Ide-ide Fantasi
c. Gemar Menuturkan Cerita
d. Gemar Berperan Sebagai Tokoh Rekaan
e. Gemar Terhadap Bacaan yang Berjenis Drama, Melodrama, atau Thriller
f. Emosi Cenderung Tidak Stabil dan Sensitif Terhadap Saran
g. Tidak Mampu Memotivasi Diri
h. Tidak Mampu Mengatur Skala Prioritas
Ketidakmampuan seseorang untuk mengungkapkan jati dirinya, membuat
penderita Mythomania selalu melakukan berbagai perilaku menyimpang sebagai
pemisah antara dirinya dan dunia luar. Hingga saat ini belum ada pemulihan
efektif dari gejala gangguan psikologis ini. Hal tersebut dikarenakan Mythomania
dianggap sebagai salah satu kasus psikologi yang terbilang sangat kompleks.
1.5.2
Teori Psikoanalisis Sigmund Freud
Sigmund Freud (1856), seorang keturunan Yahudi, lahir di Austria dan
meninggal di London pada usia 83 tahun. Ia dianggap tokoh yang diperdebatkan
di lingkungannya karena ajaran-ajarannya yang cukup mengejutkan para
koleganya, terutama tentang teorinya yang terkait dengan masalah seksual. Tak
dapat disangkal ajarannya sangat berpengaruh bagi pemikiran di abad ke-20
hingga kini, terutama dibidang psikologi. Freud yang seorang neurolog,
membangun gagasannya tentang teori psikologi berdasarkan pengalamannya
menghadapi para pasien yang mengalami problem mental (Eagleton 1996:43).
Psikoanalisis ditemukan oleh Freud sekitar tahun 1890-an. Teori-teori Freud
dianggap memberikan prioritas pada masalah seksual. Walaupun Freud seorang
dokter yang selalu berpikir secara ilmiah, dunia sastra tidak asing baginya karena
semasa mudanya ia memperoleh pendidikan sastra dan menelaahnya secara serius.
Freud seorang pencinta buku dan selalu mengkaji buku-buku yang dibacanya. Ia
berpendapat, buku tidak hanya mengungkapkan masalah besar tentang ilmu
pengetahuan, tetapi juga teka-teki tentang kehidupan yang sesungguhnya atau
hakikat hidup; buku juga menyajikan berbagai konflik perasaan, dorongandorongan dan bermacam ungkapan yang mengacu pada psikoanalisis.
1.5.2.1 Alam Bawah Sadar
Freud menyatakan bahwa pikiran manusia lebih dipengaruhi oleh alam bawah
sadar (unconscious mind) ketimbang alam sadar (conscious mind). Ia melukiskan
bahwa pikiran manusia seperti gunung es yang sebagain besar berada di dalam,
maksudnya, di alam bawah sadar. Ia mengatakan kehidupan seseorang dipenuhi
oleh berbagai tekanan dan konflik; untuk meredakan tekanan dan konflik tersebut
manusia dengan rapat menyimpannya di alam bawah sadar. Oleh karena itu,
menurut Freud alam bawah sadar merupakan kunci memahami perilaku seseorang
(Eagleton, 1996:437).
Dalam bukunya Metode Penelitian Psikologi Sastra, Endraswara (2008:7-8),
menjelaskan bahwa psikologi sastra dianggap penting karena karya sastra
merupakan produk dari suatu keadaan kejiwaan dan pemikiran pengarang yang
berada dalam situasi setengah sadar (subconscious) setelah mendapat bentuk yang
jelas dituangkan ke dalam bentuk tertentu secara sadar (conscious) dalam
penciptaan karya sastra. Jadi, proses penciptaan karya sastra terjadi dalam dua
tahap, yaitu tahap pertama dalam proses penciptaan karya sastra adalah meramu
gagasan dalam situasi imajinatif dan abstrak kemudian dipindahkan kedalam
tahap kedua, yaitu penulisan karya sastra yang sifatnya konkritisasi apa yang
sebelumnya dalam bentuk abstrak.
Menurut Freud (Guerin et al., 1979:130), hasrat tak sadar selalu aktif, dan
selalu siap muncul. Kelihatannya hanya hasrat sadar yang muncul, tetapi melalui
analisis ternyata ditemukan hubungan antara hasrat sadar dengan unsur kuat yang
datang dari hasrat taksadar. Hasrat yang timbul dari alam tak sadar yang direpresi
selalu aktif dan tidak pernah mati.
1.5.2.2 Teori Mimpi
Freud menghubungkan karya sastra dengan mimpi. Sastra dan mimpi
dianggap memberikan kepuasan secara tak langsung. Mimpi seperti tulisan
merupakan sistem tanda yang menunjuk pada sesuatu yang berbeda, yaitu melalui
tanda-tanda itu sendiri. Kebesaran penulis dan hasil karyanya pada dasarnya
terletak pada kualitas ketaksadaran tersebut. Karya seni, seperti mimpi, bukan
terjemahan langsung realitas. Oleh karenanya, pemahaman terhadap eksistensinya
harus dilakukan melalui interpretasi. Perbedaan antara karya sastra dan mimpi
adalah, karya sastra terdiri atas bahasa yang bersifat linier, sedangkan mimpi
terdiri atas tanda-tanda figuratif yang tumpang tindih dan campur aduk. Mimpi
dalam sastra adalah angan-angan yang halus (Endraswara, 2008:4).
Gagasan Freud yang banyak dianut oleh beberapa pemerhati psikologi sastra
adalah teori mimpi dan fantasi. Mimpi yang kerap dipandang sebagai kembang
tidur, dalam konsep Freud dianggap lain. Mimpi memiliki peranan khusus dalam
studi psikologi sastra. Inti pengamatan Freud terhadap sastra adalah bahwa sastra
lahir dari mimpi dan fantasi (Endraswara, 2008:200).
Menurut Freud, kreasi seni merupakan alternatif, sebagai sublimasi dan
kompensasi kehidupan sehari-hari yang tak terpenuhi. Karya seni adalah rekaman
keistimewaan personal bukan kesadaran kolektif (Endraswara, 2008:200). Freud
juga percaya bahwa mimpi dapat mempengaruhi perilaku seseorang. Menurutnya,
mimpi merupakan representasi dari konflik dan ketegangan dalam kehidupan kita
sehari-hari (Eagleton, 1996:437). Demikian hebatnya derita karena konflik dan
ketegangan yang dialami sehingga sulit diredakan melalui alam sadar, maka
kondisi tersebut akan muncul dalam alam mimpi tak sadar. Mimpi kerap tampil
dalam bentuk simbolisasi dan penyamaran sehingga membutuhkan analisis
mendalam untuk memahaminya.
Mimpi mempunyai dua isi: isi manifest dan isi laten. Isi manifest adalah
gambar-gambar yang kita ingat ketika kita terjaga, dan muncul kedalam pikiran
kita ketika kita mencoba mengingatnya. Isi laten yang oleh Freud disebut
“pikiran-pikiran mimpi” ialah sesuatu yang tersembunyi (pikiran tersembunyi)
bagaikan sebuah teks asli yang keadaanya primitif dan harus disusun kembali
melalui gambar yang sudah diputarbalikkan sebagaimana disajikan oleh mimpi
manifes (Milner, 1992:27).
Dalam penelitian ini, teori mimpi membantu pengarang untuk menemukan
idea atau gagasan yang ingin ditampilkan penulis dalam film “My Sassy Girl”.
Karena ide atau gagasan dalam sebuah karya sastra merupakan hasil dari tafsir
mimpi yang dilakukan pengaran dalam proses kreatif penciptaan karya sastra.
Mimpi dalam sebuah karya sastra akan terlihat apabila diamati dengan lebih
seksama.
1.6 Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif-deskriptif yang
bersifat menjelaskan dan menggambarkan. Data yang dikumpulkan umumnya
berbentuk kata-kata, gambar-gambar, bukannya angka-angka (Danim, 2002:61).
Jenis data yang digunakna oleh penulis adalah data kualitatif karena
penelitian ini menggunakan data lisan dan tertulis. Tujuan penelitian ini bersifat
deskriptif karena peneliti berusaha untuk menunjukkan gambaran mengenai
trauma yang dialami oleh individu dapat mempengaruhi kepribadiannya sehingga
menjadi suatu penyakit yaitu gejala Mythomania.
1.6.1
Metode Pengumpulan Data
Penulis menonton film “My Sassy Girl” yang berdurasi 137 menit 41 detik,
dan kemudian menentukan rumusan masalah dan teori yang digunakan untuk
mempersiapkan data-data yang diperlukan sesuai dengan teori dan rumusan
masalah yang telah ditentukan. Setelah itu, penulis melakukan studi pustaka
dengan mengumpulkan informasi sesuai dengan masalah penelitian sebanyakbanyaknya dari perpustakaan. Sumber-sumber kepustakaan diperoleh dari buku
dan beberapa hasil penelitian sebelumnya.
Dengan melakukan penelitian ini, penulis berharap dapat menemukan
jawaban atas masalah penelitian dengan mengambil informasi yang berkaitan
dengan penelitian dari berbagai sumber berbeda untuk mendapatkan informasi
yang terbaik dan dapat melengkapi penelitian penulis serta dapat membantu
menentukan batasan-batasan dalam mengerjakan penelitian ini. Penulis juga
mencari data dari internet untuk melengkapi sumber pustaka yang sudah dimiliki
sebelumnya.
1.6.2
Metode Analisis Data
Penulis mengamati dan menentukan bagian film “My Sassy Girl” yang
berhubungan dengan rumusan masalah penelitian dengan berpedoman pada gejala
Mythomania. Film ini kemudian akan dianalisis dengan menggunakan teori
Mythomania dan teori Psikoanalisis Sigmund Freud. Teori alam bawah sadar dan
teori Mimpi pada dasarnya membantu penulis bagaimana tokoh Gyeon Woo
dengan kecenderungan Mythomania menggambarkan ide, gagasan atau nilai-nilai
yang terkandung dalam film “My Sassy Girl” sebagai representasi dari mimpi dan
gagasan alam bawah sadar pengarang. Teori psikologi Mythomania sendiri
digunakan penulis sebagai teori bantu dari penelitian ini karena pada dasarnya
teori ini merupakan gambaran bagaimana seseorang dapat mengalami kesedihan
atau trauma yang sangat mendalam dalam kehidupannya sehingga mempengaruhi
langkah hidup dan perkembangannya di masa sekarang dan masa yang akan
datang. Serta untuk memperlihatkan usaha apa yang dilakukan untuk tetap eksis
dan mencapai kebahagiaan. Teori psikologi Mythomania sendiri digunakan
penulis sebagai teori bantu dalam penelitian. Teori ini mengacu pada gejala-gejala
psikologis Mythomania yang merupakan gambaran bagaimana seseorang dapat
mengalami kesedihan atau trauma yang sangat mendalam dalam kehidupannya di
masa lalu sehingga mempengaruhi langkah hidup dan perkembangannya di masa
sekarang dan masa yang akan datang. Serta untuk memperlihatkan usaha apa yang
dilakukan untuk tetap eksis dan mencapai kebahagiaan.
Proses yang dilakukan dalam teori Psikoanalisi sastra Sigmund Freud yang
merupakan teori inti dari penelitian ini adalah mengetahui bagaimana pengarang
menggambarkan ide, gagasan atau nilai-nilai melalui tokoh Gyeon Woo yang
memiliki kecenderungan Mythomania pada film “My Sassy Girl”. Ini dilakukan
sebagai pembuktian dan penjelasan mengingat bahwa hal ini tidak dijelaskan
secara gamblang dalam alur cerita film ini sendiri.
Untuk mendapatkan hasil yang signifikan dari penelitian film di atas, terdapat
beberapa tahapan yang dilakukan dalam penelitian ini. Tahapan-tahapan tersebut
adalah sebagai berikut.
a. Tahap pertama adalah pengumpulan data. Pada tahap ini, penulis
menonton film “My Sassy Girl” hingga selesai.
b. Tahap kedua, penulis mengamati dan menentukan bagian film yang
menunjukkan adanya pembuktian dalam kedua teori yang dipilih oleh
penulis. Menerjemahkan bagian tersebut ke dalam bahasa Indonesia
dengan bantuan Kamus Bahasa Korea-Indonesia dan kamus elektronik
di salah satu situs Korea.
c. Tahap ketiga, penulis melakukan penelitian pada film yang ditentukan
dengan menggunakan teori psikologis kecenderungan Mythomania
meliputi gemar mempernainkan fakta atau berbohong, membuat ide-ide
fantasi, gemar menuturkan cerita, gemar berperan sebagai tokoh rekaan,
gemar terhadap bacaan yang berjenis drama, melodrama, atau thriller,
emosi cenderung tidak stabil dan sensitif terhadap saran, tidak mampu
memotivasi diri dan tidak mampu mengatur skala prioritas. Serta usaha
apa yang dilakukan untuk tetap menunjukan eksistensinya dalam
masyarakat untuk mencapai kebahagiaan.
d. Tahap keempat, penulis melakukan penelitian mengenai ide, gagasan
atau nilai-nilai yang disampaikan oleh pengarang melalui tokoh Gyeon
Woo yang memiliki kecenderungan Mythomania pada film “My Sassy
Girl” dengan menggunakan teori Psikoanalisi Sastra Sigmund Freud
e. Tahap akhir adalah kesimpulan dari penelitian.
f. Penulisan laporan penelitian.
1.7 Sistematika Penyajian
Secara keseluruhan, penulis menyajikan penelitian ini ke dalam empat bab
yang akan diuraikan seperti di bawah ini.
Bab I merupakan pendahuluan yang terdiri atas latar belakang, rumusan
masalah, tujuan penelitian, landasan teori, metode penelitian, tinjauan pustaka dan
sistematika penyajian.
Bab II merupakan analisis gejala psikologis Mythomania. Analisis ini akan
membahas trauma atau kesedihan yang terjadi dalam kehidupan tokoh Gyeon Woo
sehingga membuat dirinya mengalami penyakit psikologis atau kejiwaan yang
tidak bisa dimengerti oleh tokoh lain dalam film ini. Serta usaha apa yang dia
lakukan untuk mencapai kebahagiaan.
Bab III merupakan analisis Psikoanalisis Sigmund Freud melalui fakta-fakta
yang terdapat dalam film “My Sassy Girl”. Analisis ini akan membahas ide,
gagasan atau nilai-nilai yang terdapat dalam film melalui tokoh Gyeon Woo dalam
film “My Sassy Girl”.
Bab IV merupakan bagian penutup. Bagian ini merupakan kesimpulan dari
penelitian yang telah dilakukan oleh penulis terhadap film “My Sassy Girl”.
Download