BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Komunikasi dan Psikologi adalah bidang yang saling berkaitan satu sama lain, terlebih karena sama-sama melibatkan manusia sebagai objek utamanya. Pada hakikatnya komunikasi adalah kegiatan bertukar informasi yang dilakukan oleh manusia untuk mengubah pendapat atau perilaku manusia lainnya. Sementara, perilaku manusia merupakan objek bagi ilmu psikologi. Komunikasi amat erat kaitannya dengan perilaku dan pengalaman kesadaran manusia. Tidak mengherankan, bahwa komunikasi selalu menarik perhatian peneliti psikologi. Dilihat dari sejarah perkembangannya, komunikasi memang dibesarkan oleh para peneliti psikologi. Tiga diantara empat Bapak Ilmu Komunikasi adalah sarjana-sarjana psikologi. Kurt Lewin adalah ahli psikologi dinamika kelompok. Pau Lazarsfeld, pendiri ilmu komunikasi lainnya, adalah psikolog yang banyak dipengaruhi Sigmund Freud, bapak psikoanalisis. Carl I. Hovland, yang definisi komunikasinya banyak dihafal mahasiswa komunikasi di Indonesia, adalah seorang yang dididik dalam psikologi.1 Komunikasi merupakan sebuah peristiwa sosial yang terjadi ketika seorang manusia berinteraksi dengan manusia yang lain. Secara psikologis, 1 Jalaluddin Rakmat. Psikologi Komunikasi. Bandung: Remadja Karya CV. 2004 hal 2-3 1 2 peristiwa sosial akan membawa kita kepada psikologi sosial. Pendekatan psikologi sosial adalah juga pendekatan psikologi komunikasi. 2 Terdapat beberapa pengertian komunikasi yang diramu oleh ilmu psikologi, misalnya komunikasi adalah proses yang dilakukan oleh sebuah sistem melalui saluran tertentu untuk mengubah atau mempengaruhi sistem yang lain atau komunikasi adalah pengaruh dari satu individu terhadap individu lain yang menimbulkan perubahan. Gejala-gejala berkomunikasi dalam tataran psikologi adalah hal yang paling mengesankan yang bisa ditemui dalam konsep kreatif film Inception. Dengan mimpi sebagai alat penggerak ceritanya, Sutradara sekaligus penulis cerita, Christopher Nolan memainkan peranan psikologi sebagai sebuah sintesis. Mimpi adalah elemen sintesanya. Konstruksi realitas sosial yang tidak ditemui di dunia nyata dihadirkan dalam realitas mimpi lalu dibangun seideal si pemilik mimpi. Sigmund Freud dengan teori Psikoanalisisnya mengatakan, perilaku orang dewasa dibentuk oleh konflik psikologis yang belum terselesaikan yang dapat dirunut kembali bahkan hingga ke pengalaman masa kanak-kanak dalam keluarga. 3 Carl Jung melihat mimpi sebagai suatu keseutuhan dengan menekankan hubungan antara berbagai bagian. Alasan pembagian adalah membiarkan mimpi berbicara sendiri. Tujuan puncaknya, mensintesis bagian-bagian itu menjadi suatu keutuhan yang maknawi. Jung meyakinkan, masalah sentral masyarakat modern 2 Ibid hal 12 Sigmund Freud. Sekelumit Sejarah Psikoanalisis. Terj. K. Bertens. Jakarta: PT Gramedia. 1983 hal 13-15 3 3 adalah kekurangbermaknaan. Penyakit psikologis semua berasal dari ketidakmampuan orang-orang untuk mengumpulkan (mensintesis) berbagai fragmen kehidupan (pengalaman) mereka ke dalam suatu keseutuhan yang runtut.4 Dalam film Inception pengalaman-pengalaman inilah yang membentuk realitas mimpi. Konstruksi-konstruksi mimpi yang dimotivasi dari dalam oleh dorongan dan impuls internal yang kuat seperti pengalaman akan trauma-trauma masa lalu menjadikan sebuah realitas sosial baru yang lebih nyata dari yang dialami sebenarnya. Realitas sosial dalam mimpi merupakan jembatan memperbaiki konflik psikologis yang belum terselesaikan. Di dalam mimpi tersebut realitas sosial menjalin komunikasi yang hangat, efektif dan hubungan yang baik antar sesama pemimpi atau dalam postulat Jung aspek “bawah-sadar kolektif”. Segala sesuatu yang terdapat dalam ruang kehidupan para pelaku ini diwakili dalam alam bawah sadar dimana eksistensi mimpi berada demi memprediksi masa depan. “Dreaming, that mysterious and absolutely private mental activity which happens when you’re asleep, has always been recognised as profoundly significant for human affairs and dreams mostly interpreted as prophesying the future.” 5 Seseorang hanya dapat memahami kenyataan sosial melalui pencapaian pengetahuan langsung dari pelaku atau orang yang terlibat dalam peristiwa sosial 4 Stephen Palmquist. Fondasi Psikologi Perkembangan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2005 hal 146 5 Anthony Easthope. The Unconscious. London: Routledge. 1999 hal 9 4 dengan cara masuk ke dalam keadaan dan melibatkan dirinya. Setiap perilaku didasarkan pada kebutuhan untuk melindungi diri (self) dan mengurangi kecemasan serta kemapanan bagi dirinya sendiri. Eksistensi diri di dalam realitas sosial mimpi adalah motif tunggal. Si subyek yang berpikir lalu mengenal, menciptakan realitasnya berkat prinsip-prinsip pengenalan akal budi yang diaplikasikan pada fenomenafenomena, dikembangkanlah pandangan bahwa si subyek manusialah pencipta dunia (berkat pengenalan/pemikiran), para idealis melanjutkannya menjadi pencipta realitas. Jadi, si aku yang dalam Kant berperan sebagai pengumpul, penyatu pengalaman-pengalaman luar menjadi pengenalan berkat kategori akal budinya, oleh idealisme mutlak si manusia menjadi pencipta seluruh realitasnya.6 Lebih lanjut lagi, ia ada karena di-“ada”-kan (ke-ada-annya dibentuk) oleh kegiatan akal budi manusia dan kegiatan akal budi itu hanya mungkin berlaku pada subyek yang ada dan sadar pada dirinya sendiri. Kegiatan akal budi itu kegiatan asli, kegiatan sejati yang diintuisi dan disadari oleh si subyek (autoconscience).7 Sederhananya, dalam penjelasan ontologi paradigma konstruktivis,8 realitas merupakan konstruksi sosial yang diciptakan oleh individu. Namun demikian kebenaran suatu realitas sosial bersifat nisbi, yang berlaku sesuai konteks spesifik yang dinilai relevan oleh pelaku sosial. 6 Mudji Sutrisno. Ide Ide Pencerahan. Jakarta: Penerbit Obor. 2004 hal 19-20 Ibid hal 24 8 Deny N. Hidayat. Paradigma dan Perkembangan Penelitian Komunikasi. Jakarta: IKSI dan Rosda. 1999 hal 39 7 5 Penekanan terhadap peran subyektifitas yang didasarkan pada pengalaman individual. Makna atau “meaning” merupakan konsep kunci. “Pengalaman” dipandang sebagai “meaning centered” atau dasar pemahaman makna. Fokus utama realitas keseharian dimaknai oleh “here” of my body (tubuh material) dan “now” of my present (tubuh sosial). “Here” dan “now” ini adalah realisme kesadaran diri. Aksi yang berisi realitas jangkauan diri, realitas dimana Aku bertindak untuk memodifikasi realitasnya atau realitas kerjanya.9 Lebih jauh lagi Sigmund Freud mengatakan perihal sebuah konstruksi realitas dari sebuah mimpi dalam ketercapaian hasrat atau cita-cita mengenai sebuah kisah tentang seorang pria muda yang hendak dibawa ke rumah sakit untuk menjalani terapinya, “He said to himself in the dream : “If I am already at the hospital, I don’t have to go there,” turned over and slept on.” 10 Pria muda ini benar-benar menunjukkan bahwa mimpi sangat kuat untuk membawa pada apa yang menjadi cita-citanya. Sebuah stimulus yang menjadikan sebuah aksi dalam realitas mimpinya. Pria muda ini dengan gamblang mengakui pada dirinya sendiri motif dia untuk bermimpi. Mimpi dia yakini mampu membawanya dalam sebuah perjalanan ke rumah sakit dan mungkin saja pria muda ini telah juga merasakan kesembuhan. 9 Peter L. Berger and Thomas Luckmann. The Social Construction Of Reality 1st Ed. New York: Anchor Books Edition. 1967 hal 22 10 Sigmund Freud. The Interpretation Of Dreams. 3rd Ed. English Translation by A.A. Brill. New York: Barnes & Noble Books. 1994 hal 106 6 Film yang berdurasi 148 menit ini berporos pada tokoh Dominic Cobb yang diperankan oleh Leonardo DiCaprio sebagai pemimpin kelompok pelintas mimpi yang terjebak dalam realitas mimpinya sendiri sampai-sampai Cobb tidak dapat lagi bertemu dengan anaknya yang berada di kehidupan nyata (pendaman sosial, jejak memori kuno sebagaimana Freud dan Jung menyebutnya). Ironi memang seorang ahli melintas mimpi tersesat dalam realitas mimpi yang ia bangun. Asumsi bahwa pengalaman adalah paling berpengaruh dalam membentuk perilaku, menyiratkan betapa plastisnya manusia. Ia mudah dibentuk menjadi apa pun dengan menciptakan lingkungan yang relevan. Maka jadilah Mr. Cobb bersama kelompoknya melintasi mimpi dan membentuk realitas-realitas lingkungan yang mereka anggap relevan, bahkan lebih relevan dari yang nyata. “Cobb: Dreams feel real while we’re in them. It’s only when we wake up that we realize something was actually strange...” Keberadaan mimpi sebagai senjata merenovasi diri menjadi daya tarik langsung yang sangat besar, yang sulit ditafsirkan. Analisis semiotika pun digunakan demi mengurai konstruksi fenomena realitas sosial yang sarat akan makna-makna tersebut. Film merupakan bidang kajian yang amat relevan bagi sebuah analisis semiotika. Film umumnya dibangun dengan banyak tanda. Tandatanda itu termasuk berbagai sistem tanda yang bekerja sama dengan baik dalam upaya mencapai efek yang diharapkan. Sistem semiotika yang lebih penting lagi dalam film adalah digunakannya tanda-tanda ikonis, yakni tanda-tanda yang menggambarkan sesuatu.11 Kekuatan dan kemampuan film menjangkau banyak 11 Alex Sobur. Semiotika Komunikasi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. 2009 hal 128 7 segmen, sosial lantas membuat para ahli berpendapat bahwa film memiliki potensi untuk mempengaruhi khalayak. Sejak itu, maka merebaklah berbagai penelitian yang hendak melihat dampak film terhadap masyarakat.12 Berdasarkan pertimbangan inilah penulis ingin mengangkat sebuah film dalam penelitian. Seseorang akan menjadi sadar akan kehidupan dirinya dengan memahami makna dari pengalaman-pengalaman praktek sosialnya. Mimpi dalam film ini dipandang sebagai sebuah praktek sosial. Studi makna dari bentuk-bentuk yang teramati dalam konteks. Menempatkannya pula dalam konteks historis tertentu, mengapa bisa berkembang seperti itu. Pewacanaan yang dipandang melekat dalam situasi, institusi dan kelas sosial tertentu. Pembaca mitos menghidupkannya sebagai suatu cerita yang nyata sekaligus tak nyata, ringkasnya mengalihkan semiologi menjadi ideologi. Pembaca mitos itu sendiri yang harus mengungkapkan fungsi hakikinya. Bagaimana dia menerima mitos dewasa ini (Myth today). 1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, pokok permasalahan dalam penelitian kali ini adalah “Bagaimana Realitas Mimpi Dalam Film Inception?” 1.3. Tujuan Penelitian Tujuan penulis melakukan penelitian ini adalah untuk mengetahui realitas mimpi dalam film Inception. 12 Ibid hal 127 8 1.4. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat positif dan pengetahuan yang lebih terhadap permasalahan yang diangkat baik secara akademis maupun secara praktis. 1.4.1. Manfaat Akademis Manfaat secara akademis antara lain: a. Bermanfaat bagi pengembangan khasanah keilmuan dalam bidang Ilmu Komunikasi yang terkait dengan ilmu semiologi. b. Menjadi inspirasi alternatif dalam menghasilkan sebuah karya audiovisual, khususnya jurusan Broadcasting yang berkaitan dengan ilmu semiologi. 1.4.2. Manfaat Praktis Manfaat secara Praktis antara lain: a. Dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi insan praktisi perfilman agar dapat membuat film yang lebih kreatif, sarat makna dan sesuai dengan etika budaya masyarakat Indonesia. b. Dapat digunakan sebagai salah satu pendukung evaluasi pihak-pihak yang ingin melakukan perbaikan dan penyempurnaan terhadap kekurangan-kekurangan sebelumnya sehingga untuk kedepannya mampu menghasilkan film yang lebih berkualitas.