kondisi-kondisi yang menyudutkan potensi perempuan

advertisement
KONDISI-KONDISI YANG
MENYUDUTKAN POTENSI
PEREMPUAN
I.
Pendahuluan
Permasalahan
masyarakat
semakin
hari
semakin luas dan kompleks. Ada masalah pendidikan,
masalah pertanian, masalah industri, masalah tenaga
kerja, masalah penduduk, masalah lingkungan sampai
masalah
perempuan.
Bila
dikaitkan
dengan
pembangunan yang sedang digalakkan pemerintah
sekarang ini biasanya ditampilkan setumpuk fakta dan
angka untuk menunjukkan bahwa masalah-masalah
itu memang ditangani dengan seksama. Walau pun
demikian, tampaknya yang belum dilakukan adalah
1
analisa yang lebih mendalam tentang bagaimana
kaitan masalah-masalah itu dengan keseluruhan
masyarakat. Misalnya saja masalah perempuan.
Pada
masa-masa
yang
lampau
masalah
perempuan ditangani bagaikan tempelan saja dari
masalah
pembangunan.
Padahal
perempuan
merupakan bagian yang mendasar dari masyarakat
dan persoalan masyarakat yang lebih luas dapat
ditangani melalui keadaan perempuannya.
Dengan
dituangkannya
pemecahan
permasalahan yang dihadapi perempuan ke dalam
Garis-Garis Besar Haluan Negara, nampaknya hal itu
turut membantu percepatan kemajuan dari perempuan
dalam berbagai bidang. Namun demikian tidak
mustahil bahwasanya pembangunan yang sedang
dilaksanakan
di
masyarakat
kita
dapat
pula
menimbulkan hal-hal yang kurang menguntungkan
bagi kaum perempuan baik di pedesaan maupun di
perkotaan.
2
Apabila kita telusuri data yang tersajikan pada
Hasil Registrasi Penduduk Sulawesi Selatan Akhir
Tahun 1985 yang diterbitkan oleh Kantor Statistik
Sulawesi Selatan, maka akan terlihat data yang
menarik
untuk
dianalisa
sehubungan
dengan
pembangunan.
Berdasarkan kelompok umur 10 – 64 tahun
dan jenis kelamin di Provinsi Sulawesi Selatan tahun
1985 terlihat bahwasanya penduduk perempuan
jumlahnya lebih banyak dari pada jumlah penduduk
laki-laki (lihat Tabel 1).
Tabel 1.
Penduduk Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin Di
Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 1985
KELOMPOK
UMUR
10 - 14
15 - 19
20 - 24
25 - 29
30 - 34
35 - 39
40 - 44
45 - 49
50 - 54
55 - 59
60 - 64
JUMLAH
JENIS KELAMIN
LAKI-LAKI
PEREMPUAN
413,139
379,027
294,711
328,122
212,343
283,264
207,793
255,347
162,474
197,788
195,557
215,268
144,120
165,045
126,113
144,225
102,755
116,547
68,080
71,244
64,778
71,589
1,991,863
2,227,466
3
JUMLAH
792,166
622,833
495,607
463,140
360,262
410,825
309,165
270,338
219,302
139,324
136,367
4,219,329
Apabila kita telusuri pula dari sudut tempat
tinggal
maka
terlihatlah
bahwasanya
penduduk
pedesaan di Provinsi Sulawesi Selatan tahun 1985
jumlahnya lebih banyak daripada penduduk kota.
Pendudukan daerah pedesaan berjumlah 5.266.658
orang sedangkan penduduk daerah kota berjumlah
1.141.062 orang.
Apabila
kita
perbandingkan
penduduk
perempuan pedesaan dengan penduduk perempuan
yang berdiam di kota maka terlihat bahwasanya
penduduk perempuan pedesaan juga jumlahnya lebih
banyak dari pada penduduk perempuan perkotaan
yaitu
perempuan
daerah
pedesaan
berjumlah
2.719.321 orang sedangkan perempuan daerah kota
berjumlah
574.700
perbandingan
orang
antara
saja.
penduduk
Sedangkan
laki-laki
dan
perempuan untuk daerah pedesaan data menunjukkan
bahwasanya penduduk perempuan pedesaan juga
jumlahnya lebih banyak daripada jumlah penduduk
laki-laki
pedesaan
yaitu
4
penduduk
perempuan
pedesaan berjumlah 2.719.321 orang, sedangkan
penduduk laki-laki pedesaan berjumlah 2.547.337
orang.
Dengan dikemukakannya pengakuan bahwa
kaum perempuan merupakan bagian dari sumber
manusiawi di samping kaum laki-laki. Perbedaan
berbagai
data
di
atas
ini
dapat
disimpulkan
bahwasanya dari segi jumlah untuk Provinsi Sulawesi
Selatan perempuan juga merupakan potensi. Karena
jumlah penduduk yang banyak juga merupakan
salahsatu
modal
besar
bagi
keberhasilan
pembangunan. Kalau penduduk perempuan yang
jumlahnya relatif
banyak di Provinsi Sulawesi
Selatan dikerahkan, dibina serta didayagunakan secara
efektif akan merupakan modal yang sangat berarti
juga bagi pembangunan nasional pada umumnya
pembangunan
khususnya.
Provinsi
Provinsi
Sulawesi
Selatan
Tetapi,
apakah
potensi
Sulawesi
Selatan
telah
5
pada
perempuan
dimanfaatkan
seefektif mungkin maka perlu ditelusuri dan diteliti
lebih seksama.
II. Perempuan sebagai Korban Pembangunan dan
Modernisasi
Pembangunan diartikan oleh banyak orang
sebagai suatu proses perubahan menuju ke arah yang
lebih
baik
dari
keadaan
semula.
Sedangkan
modernisasi suatu masyarakat ialah suatu proses
transformasi, suatu perubahan masyarakat adalah
segala aspek-aspeknya (Schoorl, 1984: 1). Kedua
istilah ini sukar dipisahkan, keduanya saling mengisi
walaupun kadang-kadang hasilnya tidak memberikan
suatu kenyataan yang sama baiknya.
Nampaknya
terlalu
ekstrim
apabila
berpendapat bahwa pembangunan dan modernisasi
memberikan dampak yang kurang menguntungkan
malah lebih banyak merugikan bagi kaum perempuan.
Tetapi kekanyataan memang demikian dan hal ini
dapat ditelusuri dari beberapa hasil pengamatan dan
penelitian yang telah dipublikasikan.
6
Ester
Boserup
(1970)
yang
membahas
perempuan di berbagai Negara Afrika, Amerika Latin,
dan Asia menggambarkan perubahan status dan
peranan perempuan pada khususnya, pertama yang
terjadi dalam kehidupan masyarakat pertanian di
pedesaan yaitu yang berdasarkan pada pola pertanian
ladang berpindah-pindah (Shifting Cultivation), pola
pertanian
menetap
(Fixed
Forming)
dan
pola
pertanian tanaman berganda (Multi Cropping). Selain
itu dia juga membahas kehidupan masyarakat kota
dan kehidupan masyarakat yang menjalani proses
urbanisasi, perpindahan dari desa-desa ke kota-kota.
Pada pola pertanian yang berpindah-pindah
(Shifting Cultivation) bagian terbesar dari pekerjaan
menanam bahan makanan dilakukan oleh kaum
perempuan, laki-laki hanya sekedar menebang pohonpohon dan membukanya guna mempersiapkan lahan
yang hendak ditanami oleh kaum perempuan.
Keadaan ini memberikan dampak positif bagi
kehidupan
perempuan
karena
7
perempuan
yang
melakukan lebih banyak kegiatan sehingga merekalah
yang menguasai hasil panennya nanti. Dengan
keadaan serupa ini, perempuan pedesaan otomatis
mempunyai pekerjaan yang sangat berarti bagi
keluarga, rumah tangga dan masyarakatnya seperti
yang ditemui di beberapa negara Afrika. Dampak
negative yang diderita kaum laki-laki yaitu ketika
orang Eropa masuk ke daerah itu dan mereka terbiasa
dengan sistem pertanian oleh laki-laki, mereka
menancapkan pada pikiran mereka konsepsi tentang
kaum laki-laki Afrika “Pemalas” demikian juga
anggapa mereka terhadap laki-laki dari beberapa
Negara Asia.
Dengan demikian, berkurangnya pepohonan di
hutan (karena ditebang terus dan dibakar) tugas kaum
laki-laki
untuk
menebang
pohon-pohon
tentu
berkurang, sebagaimana juga kesempatan untuk
memburu satwa merupakan pekerjaan kaum laki-laki
yang
pasti
hanya
pada
masyarakat
pertanian
berpindah-pindah. Sebaliknya, dengan bertambahnya
8
jumlah penduduk dan meningkatnya kepadatan
penduduk daerah-daerah baru untuk dijadikan ladang
menjadi langka. Dengan berkurangnya kesuburan
tanah yang lama, tanah ini memerlukan pengolahan
secara lebih cermat sebelum ditanami. Dengan
keadaan demikian maka berubahlah system pertanian
ladang berpindah-pindah ini ke system pertanian
menetap (Fixed Farming).
Dalam system pertanian menetap (Fixed
Farming), kegiatan lebih banyak dilakukan oleh kaum
laki-laki atau bahkan sama sekali mengambil alih
seluruh kegiatan pokok dari bercocok tanam. Tanah
pertanian yang menetap harus selalu diolah dengan
mencangkul dan membajaknya dengan demikian
dalam hal penguasaan hasil panennya kelak pun
berubah di mana laki-laki lebih banyak menguasainya
dari pada perempuan. Pada saat inilah kegiatan rumah
tangga bagi perempuan lebih dominan. Kadangkadang tekanan penduduk yang semakin meningkat
dapat
menggerakkan
kaum
9
lakilaki
untuk
berpindah/pergi untuk mencari pekerjaan upahan di
daerah lain dengan meninggalkan istri dan anakanaknya di daerah asalnya sehingga beban perempuan
bertambah karena harus mengambil alaih beberapa
pekerjaan yang dulu di kerjakan oleh laki-laki.
Dengan masuknya orang Eropa ke berbagai
Negara Afrika, Amerika Latin, dan Asia yang
berusaha menggerakkan penduduk laki-laki yang
menurut anggapan mereka malas dan setengah
menganggur untuk menanam tanaman perdagangan
untuk ekspor ke Eropa mengakibatkan semakin
merugikan kaum perempuan, dan dimulailah pola
pertanian tanaman berganda (Multi Cropping). Hal ini
dianggap merugikan kaum
perempuan selain
perempuan sudah berkurang peranannya dalam
kegiatan pertanian juga dalam hal penyuluhan
pertanian, memperkenalkan metode-metode intensif
penanaman tumbuhan komoditi ekspor, perempuan
tidak dilibatkan dan tidak diikut sertakan. Demikian
pula dalam hal penggunaan peralatan pertanian yang
10
baru yang di introdusir oleh orang-orang Eropa, kaum
laki-lakilah
yang
biasanya
diajar
untuk
menggunakannya, sedangkan kamum perempuan
tetap bekerja (kalau dia masih terlibat) dengan alatalat lama yang tradisional.
Dengan
mulai
digunakannya
peralatan
pertanian yang lebih modern dan yang telah
disempurnakan,
kekuatan
otot
laki-laki
kurang
diperhatikan, namun kesenggangan produktivitas
cenderung
melebar,
karena
kaum
laki-laki
memonopoli penggunaan peralatan baru dan metodemetode pertanian modern. Hal ini menyebabkan pola
produktivitas
kerja
kaum
laki-laki
cenderung
meningkat, sedangkan produktivitas kerja kaum
perempuan tetap saja. Akibat wajar dari kemerosotan
yang relative dalam produktivitas kerja perempuan
adalah karena kemerosotan kedudukan relative kaum
perempuan dalam pertanian, akibat selanjutnya kaum
perempuan menarik diri dari lapangan pertanian dan
11
lebih menekuni kehidupan rumah tangga atau pergi ke
kota mencari pekerjaan lain.
Melihat situasi yang telah dibebankan di atas
ini, Boserup beranggapan bahwasanya para kolonis
Eropa, penguasa-penguasa colonial dan penasehatpenasehat teknis, sebagaian besar bertanggung jawab
atas kemerosotan kedudukan kaum perempuan dalam
pertanian di dalam Negara-negara berkembang.
Merekalah yang mengabaikan tenaga kerja pertanian
perempuan waktu mereka membantu memasukkan
pertanian komersial modern ke daerah Negara
koloninya dan memajukan produktivitas kerja kaum
laki-laki (Boserup, 1984 : 44).
Karena berkurangnnya pekerjaan pertanian
yang bersifat tradisional di daerah pedesaan baik bagi
sebagian kaum laki-laki lebih-lebih bagi kaum
perempuan sementara banyak kota bertambah antara
lain di sekitar perusahaan-perusahaan orang Eropa,
disekitar pelabuhan samudera, jalan-jalan kereta api,
dan jalan raya utama di mana ekspor ke dan import
12
dari Eropa ditangani banyak laki-laki dan perempuan
kehilangan pekerjaan di desa mengadu nasib ke kota,
tetapi kenyataan yang ditemui di kota tidaklah seperti
yang mereka
harapkan lebih-lebih bagi
kaum
perempuan. Di kota, pekerjaan yang dapat dilakukan
perempuan selain menjadi buruh yang mendapat upah
yang relative rendah, menjadi pembantu rumah
tangga, berjualan makanan jadi di mana pekerjaanpekerjaan ini pada umumnya dalah bentuk lain dari
pekerjaan rumah yang biasa juga dilakukan di desa
karena memang kondisi kaum perempuan ini yang
tidak terampil. Selain ini, di kota-kota dengan surplus
besar laki-laki yang meninggalkan istri mereka di
desa atau surplus laki-laki bujangan, terdapat juga
kebutuhan jasa-jasa perempuan pelacur sehingga tidak
mustahil bagi mereka/kaum perempuan yang terdesak
kebutuhan ekonomi terdorong untuk menjadi pelacur.
Keadaan yang telah dibeberkan oleh Ester
Boserup dengan judul “Peranan Wanita Dalam
Perkembangan Ekonomi” tidak mustahil terjadi pula
13
di
Indonesia
pada
masyarakat
kita.
Misalnya,
digantikannya ani-ani dengan sabit, digantinya lesung
dengan huller, berkembangnya alat-alat rumah tangga
yang terbuat dari bamboo yang biasa dibuat oleh
kaum perempuan.
III. Penutup
Dari uraian di atas memberikan kesimpulan
kepada kita bahwa tidak selamanya pembangunan dan
modernisasi
memberikan
dampak
positif
dan
menguntungkan bagi kaum perempuan. Dampak yang
paling negative dan merugikan antara lain harkat dan
martabat ialah kalau perempuan itu sampai harus
memilih sebagai pelacur. Banyak kondisi yang dapat
mendorong perempuan menjadi pelacur seperti yang
disinyalir
oleh
group
Kalyanamitra.
Keluarga
mungkin dapat disebut ikut mendukung pelacuran
yaitu desakan ekonomi yang menimpa keluarga atau
mungkin juga masyarakat lingkungan. Oleh karena
itu, dalam masa pembangunan dengan situasi
perempuan yang lebih banyak dari segi jumlahnya
14
baik di pedesaan maupun di perkotaan hendaknya
pembuat kebijaksanaan mengenai pembangunan harus
lebih jeli lagi memikirkan bagaimana seharusnya
memanfaatkan potensi perempuan supaya kaum
perempuan tidak tersudutkan ke hal-hal yang kurang
bernilai atau tidak bernilai sama sekali.
15
DAFTAR PUSTAKA
Boserup, Ester., Peranan Wanita Dalam Perkembangan
Ekonomi, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta,
1984.
Schoorl, J.W., Modernisasi, Penerbit PT Gramedia,
Jakarta, 1984.
Susanto, Phil Astrid., Sosiologi Pembanguan, Penerbit
Bina Cipta, Jakarta, 1984.
Prisma, Oktober 1975, Juli 1981.
16
EMANSIPASI DAN PERAN GANDA
WANITA DI INDONESIA
(Suatu Tinjauan Sosio-Kultural)
I.
Pendahuluan
Pada dasarnya Allah menciptakan manusia di
muka bumi ini terdiri atas kaum pria dan kaum
wanita. Mereka menduduki martabat yang sama,
sama-sama mempunyai tanggung jawab, walaupun
ada segi-segi perbedaannya. Perbedaan tersebut
hanyalah pada bentuk tubuhnya, kehalusan perangai
dan kecenderungan jiwanya dalam mewujudkan
keharmonisan dan semaraknya kehidupan ini.
Kaum wanita mempunyai tanggung jawan
yang tidak dapat diwakili oleh kaum pria yang
merupakan tanggung jawab kodrati. Sedangkan
wanita mampu mewakili tugas-tugas kaum pria dalam
17
hal-hal tertentu. Oleh sebab itu, seharusnyalah sebagai
wanita merasa bangga dan harus mampu menjaga
dirinya sehingga tetap mempunyai posisi yang
terhormat.
Kaum wanita sebagai layaknya manusia
mempunyai masalah-masalah khusus. Allah telah
menetapkan
bawah
wanita
adalah
sebagai
pendamping kaum pria dalam menerima tugas
khilafah
di
muka
bumi
ini.
Dalam
rangka
memakmurkan bumi, wanita memegang peranan
penting, baik sebagai perantara lahirnya generasi baru
maupun terbinanya cita moral yang tinggi. Karena
wanita dikodratkan secara biologis mempunyai
bentuk dan susunan tubuh yang sedemikian rupa
sehingga kelahiran dapat diharapkan dari padanya.
Perasaan wanita cukup tajam dan halus sesuai
dengan halusnya kulit tubuh mereka. Mengenai hal
ini, Al-Khaliq mempunyai maksud yaitu melalui
perasaannya
yang
halus
ini,
wanita
bertugas
membimbing calon manusia yang masih suci bersih
18
agar menjadi manusia dewasa yang bertanggung
jawab dan berbudi.
Garis-Garis Besar Haluan Negara sebagai
pedoman bangsa Indonesia dalam melaksanakan
pembangunan menggariskan keadaan wanita antara
lain; “Wanita baik sebagai warga Negara maupun
sebagai sumber daya insan pembangunan, mempunyai
hak dan kewajiban serta kesempatan yang sama
dengan pria dalam pembangunan di segala bidang.
Pembinaan peranan wanita sebagai mitra sejajar pria
ditujukan untuk meningkatkan peran aktif dalam
kegiatan
pembangunan
termasuk
pengembangan
anak, remaja dan pemuda dalam rangka pembangunan
manusia Indonesia seutuhnya. Kedudukan wanita
dalam keluarga dan masyarakat serta peranannya
dalam
pembangunan
perlu
dipelihara
dan
ditingkatkan sehingga dapat memberikan sumbangan
yang sebesar-besarnya bagi pembangunan bangsa dan
memperhatikan kodrat serta harkat dan martabatnya
sebagai seorang wanita”.
19
Dalam kaitannya dengan persamaan hal antara
wanita dan pria, peran yang diharapkan dari kaum
wanita adalah bersikap rangkap di mana wanita
diharapkan untuk hidup dalam dua dunia yang saling
terkait dalam kehidupannya. Di satu dunia, dia harus
hidup dalam suatu lingkungan keluarga di mana dia
harus berperan sebagai agen sosialisasi dan pendidik
bagi anak-anaknya, mengerjakan berbagai pekerjaan
yang berhubungan dengan kelangsungan rumah
tangganya dan mendampingi suami. Di dunia yang
lain sebagai mitra sejajar dari suami, wanita dituntut
untuk dapat berdiri sejajar dengan pria di mana dia
harus mampu menghasilakn sesuatu untuk dirinya
sendiri atau untuk membantu keluarganya dan mampu
melakukan
pekerjaan
yang
sesuai
dengan
kewajibannya. Kesemuanya ini menunjukkan bahwa
peran
ganda
wanita
sangat
didambakan
keberadaannya dalam kehidupan mengingat kondisi
dan
situasi
yang
ada
sekarang
memungkinkan, baik pria maupun
20
ini
tidak
wanita untuk
masing-masing menjalankan peran klasik mereka
secara terpisah-pisah. Faktor pembagian waktu yang
sesuai dengan kebutuhan merupakan faktor kunci
yang juga dituntut. Pada kenyataannya, karir wanita
dijadikan
alasan
untuk
tidak
menyeimbangkan
pembagian waktu antara karir dan keluarganya.
Dengan pembagian waktu yang baik, wanita akan
dapat memenuhi dua kewajibannya sekaligus dalam
menjalankan peran ganda, dalam dua dunia di mana
mereka hidup. Walaupun pada umumnya wanita telah
berusaha sedapat mungkin menyelaraskan dua dunia
tadi tetapi masih saja ditemukan suara sumbang yang
perlu diluruskan. Orang-orang yang bijaksana bukan
memperbincangkan perbedaan-perbedaan antara pria
dan wanita baik masalah perbedaan asasi fisik
maupun psikis atau perbedaan-perbedaan lainnya
tetapi justru mencoba memahami apa hikmah dari
perbedaan-perbedaan yang ada itu. Seperti sabda Nabi
Muhammad S.A.W
Junjungan Kita, “Tidak akan
mampu memuliakan kaum wanita kecuali orang yang
21
mulia. Dan tidak sampia hati menghinakan kaum
wanita kecuali mereka orang yang hida”.
Sehubungan dengan sabda Nabi ini, ada hadist
yang mengungkapkan tentang wanita yang berbunyi
sebagai berikut, “Wanita adalah laksana tiang Negara,
manakala wanita baik akhlaknya, maka baik pulalah
negaranya. Tetapi manakala wanita jelek akhlaknya,
maka negera pun rusaklah”. Menurut penulis hikmah
ini pun tidak mungkin dapat terealisir apabila kaum
pria pun
tidak turut mendukung dan menunjang
keberadaan kaum wanita lebih-lebih pada masa
pembangunan sekarang.
II. Emansipasi di Berbagai Negara Maju
Emansipasi berasal dari kata majemuk
bahasa latin EMANCIPATIO (Prefix Ex yang berarti
keluar, mengeluarkan dari, dan substansif mancipatio
yang berarti kekuasaan atau pemilikan). Pada
mulanya kata ini di artikan sebagai pemberian dan
perebutan
persamaan
di
hadapan
hukum
dan
persamaan dalam hidup sosial oleh kelompok atau
22
lapisan masyarakat yang belum memiliki hak yang
sama seperti yang lainnya. Dalam hubungannya
dengan pergerakan wanita, emansipasi diartikan
sebagai usaha kaum wanita untuk memperoleh
persamaan hak dan kebebasan seperti kaum pria.
Melalui
gerakan
emansipasi
diharapkan
dapat
diperoleh persamaan hak dan kesempatan misalnya
dalam memperoleh pendidikan, kesempatan kerja di
sektor formal, kesempatan berpartisipasi dalam
organisasi
sosial,
politik,
pemerintahan,
jauh
berbeda
dengan
dan
sebagainya.
Tidak
emansipasi
lainnya, emansipasi wanita muncul dalam suatu
kelompok sosial yang merasa tertindas dan tertekan
oleh suatu dominasi. Oleh sebab itu, mereka berusaha
keluar dari ketidakberdayaan untuk sedapat mungkin
memperoleh pengakuan persamaan hak. Dengan
demikian, emansipasi adalah proses pembebasan
untuk memperoleh kebebasan diri sehingga tidak
23
dikuasai oleh pihak lain dan setelah itu selanjutnya
meraih keadaan dalam persamaan.
Gelombang emansipasi pada waktu-waktu
yang lampau dan bahkan sampai sekarang masih
melanda
masyarakat
masyarakat
manusia
wanitanya.
Di
tak
Prancis
luput
pula
gelombang
emansipasi mulai muncul pada tahun 1791, tidak lama
sesudah revolusi Prancis. Gerakan emansipasi wanita
di
Prancis menuntut persamaan hak dengan kaum
pria dalam kehidupan sebagai warga Negara dalam
wujud Deklarasi Hak-Hak Kaum Wanita dan para
warga Negara. Persamaan hak ini mencakup masalah
kebebasan, harta milik, keamanan dan hak-hak untuk
melawan penindasan. Gema perjuangan ini berlanjut
sampai sekitar tahun 1830 dengan diperkenankannya
calon ibu guru mengikuti ujian Negara karena
kurangnya
tenaga
pengajar
akibat
munculnya
kebutuhan yang hebat akan pendidikan. Selanjutnya
pada tahun 1878 mulai diperjuangkan berbagai
jabatan dan pekerjaan supaya lebih terbuka bagi kaum
24
wanita. Memang tidak dapat disangkal semboyan
Revolusi Prancis liberte, egalite dan fraternite
mempunyai pengaruh juga terhadap gerakan-gerakan
emansipasi yang tumbuh di Prancis termasuk juga
gerakan emansipasi wanitanya.
Di Inggris juga ada gerakan emansipasi wanita
walaupun tujuannya tidak persis sama dengan tujuan
dari gerakan emansipasi wanita Prancis. Tuntutan
yang diajukan oleh kaum wanita Inggris adalah dalam
bidang sosial politik yaitu perjuangan kaum wanita
untuk memperoleh hak pilih yang sama dengan kaum
pria. Sebagai hasilnya baru tahun 1918 di Inggris para
wanita yang berumur di atas 30 tahun memperoleh
hak pilih. Perjuangan ini baru tercapai dengan tuntas
pada tahun 1928 yaitu diperolehnya hak pilih bagi
semua wanita Inggris dengan persyaratan yang sama
dengan kaum pria Inggris.
Di Amerika Serikat juga ada gerakan
emansipasi wanita di mana secara umum tuntutan
mereka lebih diarahkan pada hal untuk mendapatkan
25
perlakukan dan kesempatan terutama di pasar tenaga
kerja yang pada waktu yang cukup lama menjadi
dominasi kaum pria.
Di Jerman pun ada gerakan emansipasi wanita
yang
timbul
dikarenakan
adanya
berbagai
ketidakasamaan dan hambatan-hambatan bagi kaum
wanita walaupun menurut hukum mereka telah
mempunyai hak yang sama dengan kaum pria.
Menyimak uraian di atas, nampak bahwa
emansipasi sebagai suatu proses pembebasan memuat
dua aspek yang terdiri atas :
1. Segi
individual,
yaitu
sesuatu
yang
harus
dikerjakan sendiri, misalnya menyadarkan diri
sendiri sebagai kaum tertindas.
2. Segi Sosial, yaitu sesuatu yang dikerjakan bersama
dengan orang lain yang punya pengalaman yang
sama untuk berjuang memperoleh hak yang sama.
( A. Hendra Santosa P. dalam Majalah Driyarkara
No. 4 Tahun XVII halaman 8 ).
26
Dari uraian di atas jelas nampak ada yang
sebenarnya
menjadi
tujuan
gerakan
emansipasi
wanita. Secara umum diartikan sebagai pengertian
pembahasan dan persamaan. Di satu pihak berusaha
bebas dari berbagai penguasaan atau penindasan kaum
dominan, di pihak yang lain berjuang memperoleh
persamaan hak dengan golongan yang dominan.
Pembebasan yang menjadi tujuan emansipasi ini tidak
terbatas pada satu aspek saja misalnya hanya sosial –
politik tetapi dapat pembebasan dalam berbagai hal.
Namun yang jelas gerakan emansipasi wanita seara
umum masih menggunakan tolok ukur kaum pria
sebagai golongan yang menindas dan menciptakan
ketidakadilan terhadap kaum wanita.
Di Indonesia
Kata emansipasi bagi masyarakat Indonesia
pada saat ini sudah bukan merupakan suatu istilah
yang baru malahan bukan lagi merupakan tujuan yang
ingin dicapai. Dimulai pada jamannya Ibu R. A.
Kartini, istilah ini sudah dikenal oleh beberapa
27
kalangan masyarakat. Apabila kita mengacu pada
pengertian dari emansipasi secara umum nampaknya
apa yang telah dilakukan oleh ibu kita R. A. Kartini
merupakan cikal – bakal gerakan emansipasi wanita
Indonesia.
Ibu R. A. Kartini menulis surat-suratnya
kepada
teman-temannya
bangsa
Belanda
juga
mengemukakan tuntutan-tuntutannya antara lain;
tuntutan untuk mendapatkan kesempatan yang sama
dalam politik, tuntutan terhadap keberlakuan adat
istiadat yang membelenggu wanita misalnya dalam
hal perkawinan dan dalam lapangan pekerjaan,
tuntutan untuk terselenggaranya sistem demokrasi
yang menjauhkan diskriminasi yang ditimbulkan oleh
feodalisme ( Suryochondro, 1984 : 75 ).
Pemikiran dan gagasan ibu R. A. Kartini
tentang gejala-gejala sosial yang muncul pada
jamannya, mampu membukakan mata dunia lain yang
terpencil pada waktu itu, ada suatu bangsa yang
tengah
bergelut
dengan
28
masalah
diskriminasi.
Diskriminasi dalam hal terjajahnya hak-hak dasar
bangsa oleh bangsa lain, adanya jurang menganga
antara lapisan masyarakat bangsawan dengan rakyat
dan masalah persamaan hak antara pria dan wanita.
Jamannya Ibu R. A. Kartini telah lama berlalu,
beberapa
tuntutan
beliau
pada
saat
ini
telah
terwujudkan malah ada yang sudah dituangkan dalam
kebijakan
pemerintah
seara
normatif.
Namun
demikian, masih ada hal-hal yang belum terlaksana
seperti apa yang telah digariskan. Selain itu juga
emansipasi yang telah dilancarkan oleh wanita
Indonesia tidak persis sama dengan yang dilancarkan
oleh
wanita
di
dunia
barat.
Terbukti
bahwa
masyarakat kita masih tetap menjunjung tinggi
keberadaan kodrat, harkat dan martabat wanita yang
nampaknya pada masyarakat barat sudah diabaikan.
Misalnya Utta Wickert, dalam tulisannya, “Gerakan
Emansipasi Wanita di Jerman Barat”, membeberkan
tuntutan-tuntutan gerakan emansipasi wanita di
Jerman Barat sehubungan dengan fungsi wanita
29
sebagai istri dalam keluarga. Tuntutan-tuntutan
mereka antara lain; agar adanya pembebasan dari
beban dan tugas yang menyebabkan terpencilnya
wanita sebagai ibu rumah tangga dari pergaulan dan
persamaan tugas serta kewajiban sebagai pasangan
suami–istri (Prisma, Oktober 1975 No. 5 Halaman 5361).
Bagi Indonesia, emansipasi wanita yang
sebenarnya itu sama sekali bukan anti laki-laki,
sebaliknya justru emansipasi wanita itu mengajak
kaum laki-laki untuk menciptakan suatu masyakarat
yang lebih egaliter, yang lebih baik dan lebih adil (
Surya Kusuma Dalam Primsa No. 7, Juli 1981 Tahun
ke X, Halaman 13 ). Tidak disadari oleh banyak orang
bahwa emansipasi wanita seperti yang dikemukakan
oleh Ibu R. A. Kartini sebenarnya juga emansipasi
bagi kaum laki-laki.
30
III. Peran Ganda Wanita
Pandanga klasik mengenai pembagian peran
dalam keluarga menggariskan bahwa pria sebagai
suami berperan di luar rumah tangga mencari nafkah
bagi kehidupan keluarga (Publik Sphere), sedangkan
wanita sebagai istri berperan dalam rumah tangga
melakukan pekerjaan rumah tangga (Domesticc
Sphere). Hal ini diatur sedemikian rupa supaya tidak
terjadi persaingan di antara keduanya, ini pendapat
penganut structural fungsionalisme. (Budiman, 1985:
16).
Dari pengalaman sejarah negara-negara maju,
diperoleh
gambaran
bahwa
industrialisasi
telah
membawa perubahan besar dalam kegiatan ekonomi
wanita. Sehubungan dengan gaya perekonomian baru
itu, di samping faktor-faktor lain seperti pendidikan,
keasempatan untuk bekerja bagi wanita di luar rumah
tangga
semakin
terbuka.
Terjadilah
perubahan
struktur sosial yang memberi bentuk baru bagi peran
wanita di negara-negara maju yaitu dalam keluarga
31
dan di masyarakat yang terkenal dengan istilah peran
ganda.
Di Indonesia masalah peran ganda wanita telah
jelas dibeberkan sejak ketetapan MPR Nomor
IV/MPR/1978 tentang GBHN mengenai peranan
wanita dalam pembangunan dan pembinaan bangsa.
Selain itu, dapat juga ditelusuri dalam konsep tentang
Panca Tugas Wanita dalam keluarga dan masyarakat
yang perinciannya sebagai berikut :
1. Sebagai istri, supaya dapat mendampingi suami
sebagai kekasih dan sahabat untuk bersama-sama
membina keluarga yang bahagia.
2. Sebagai ibu pendidik dan pembina generasi muda,
supaya
anak-anak
maupun
jasmani
dibekali
dalam
kekuatan
rohani
menghadapi
segala
tantangan jaman dan menjadi manusia yang
berguna bagi nusa dan bangsa.
3. Sebagai ibu pengatur rumah tangga, supaya rumah
tangga merupakan tempat yang aman dan teratur
bagi seluruh anggota keluarga.
32
4. Sebagai tenaga kerja dan dalam profesi, bekerja di
pemerintahan, perusahaan swasta, dunia politik,
berwiraswasta dan sebagainya untuk menambah
penghasilan keluarga.
5. Sebagai anggota organisasi masyarakat terutama
organisasi
wanita,
sebagainya
untuk
badan-badan
sosial
dan
menyumbangkan tenaganya
kepada masyarakat (Suwondo, 1981: 267).
Kelima tugas utama yang dibebankan kepada
wanita Indonesia ini tidak akan dapat terlaksana
dengan baik apabila tidak dikembangkan pula konsep
kemitraan sejajar antara pria dan wanita di kalangan
amsyarakat kita.
IV. Dampak Peran Ganda di Negara Barat
Will Durant, dalam bukunya berjudul, “The
Pleasure Philosophy”, menggambarkan dampak yang
diakibatkan oleh adanya tuntutan persamaan dan
peran ganda wanita di negera-negara barat. Dampak
yang terjadi adalah perbuatan yang sewenang-wenang
dari para pengusaha terhadap wanita dan juga anak-
33
anak yang bekerja pada pabrik-pabrik sehingga
mereka merasa lebih baik kembali saja ke dalam
rumah tangga dari pada bekerja di luar rumah tangga.
Apalagi akhirnya wanita-wanita itu dipakai untuk
mempublikasikan produk-produk yang dihasilkan
oleh pabrik-pabrik di mana cara menampilkan wanita
di sini dengan mengekspose kecantikan atau pun
organ tubuh mereka. Oleh sebab itu, Durant
mengatakan bahwa orang-orang yang mencoba dalam
menghancurkan rumah tangga itu adalah para
pengusaha (Mustafa, 1991: 24).
V. Penutup
Secara keseluruhan, bentuk-bentuk persamaan
hak di antara wanita dan pria seharusnya terjadi
mengingat kenyataan bahwa perbedaan fisik di antara
keduanya menunjukkan masing-masing kelebihan dan
kekurangannya sehingga untuk dapat mencapai
kondisi yang optimal diperlukan kerjasama dan
hubungan saling mendukung.
34
Masuknya pendapat mengenai kodrat wanita
yang seharusnya melaksanakan dua fungsi dalam
kehidupannya, yaitu sebagai partner kehidupan pria
dan sebagai mediator sosialisasi bagi anak-anaknya,
menimbulkan
pendapat
bahwa
dukungan
dan
kerjasama di antara pria dan wanita sudah seharusnya
dilakukan dengan tetap memperhatikan bahwa wanita
harus bisa membagi waktu dan perannya sesuai
dengan kodrat tersebut di atas. Hal ini menunjukkan
bahwa bentuk persamaan hak yang dimaksudkan
sebenarnya masih terkait dengan kondisi norma
masyarakat yang tetap menuntut wanita untuk hidup
dalam dua dunia dan bahwa persamaan itu sendiri
sudah seharusnya diwujudkan oleh wanita sendiri
yang mampu membagi waktu dan perannya sesuai
dengan kondisi yang dihadapi.
35
DAFTAR PUSTAKA
Budiman, Arief., Pembagian Kerja Secara Seksual,
Penerbit PT Gramedia, Jakarta, 1985.
Ismanto Jumari., Peranan Wanbita dalam Pembangunan
Bangsa Menurut Islam, PT Bina Ilmu,
Surabaya, 1982.
Mukmin, Hidayat., Beberapa Aspek Perjuangan Wanita di
Indonesia, Penerbit Bina Cipta, Bandung 1980.
Mustafa, Ibnu., Wanita Islam Menjelang Tahun 2000,
Penerbit Al Bayan, Bandung, 1991.
Suryochondro, Sukanti., Potret Pergerakan Wanita di
Indonesia, Penerbit CV Rajawali, Jakarta,
1984.
Suwondo, Nani., Kedudukan Wanita Indonesia Dalam
Hukum dan Masyarakat, Penerbit Ghalia
Indonesia, Jakarta, 1981.
36
PEREMPUAN SEBAGAI MITRA
SEJAJAR LAKI-LAKI DALAM
KONDISI DAN NILAI-NILAI DI
INDONESIA
I.
Pendahuluan
Kaum perempuan seara biologis mempunyai
ciri-ciri tersendiri yang membagi kelompok manusia
menjadi dua jenis, sehingga masing-masing jenis
tersebut yaitu laki-laki dan perempuan dibedakan.
Sebab apabila tidak demikian pasti Allah menciptakan
manusia hanya satu jenis saja, apakah itu perempuan
ataukah laki-laki atau yang lain lagi. Namun demikian
di
samping
memiliki
perbedaan
nilai,
selama
kelompok tersebut meliputi keduanya mereka pun
memiliki kebersamaan karakteristik umum yang tidak
dapat dibedakan secara tegas. Allah Yang Maha Arif
ketika membagi manusia menjadi dua jenis, Dia
37
mengisyaratkan keduanya memiliki kebersamaan
karakteristik di dalam spesifikasinya, sifat-sifatnya,
dan kebutruhan-kebutuhannya. Bagi siapa pun yang
mengklasifikasikan laki-laki dan perempuan hanya
sekedar
pesona
semata
dari
kelompok
tanpa
pemisahannya, atau memencilkan laki-laki dari
perempuan dalam kekhususan dan kebutuhan secara
mutlak, tanpa memperhatikan adanya kebersamaan
karakteristik di antara keduanya, maka dia berarti
telah menggeser konsepsi Tuhan. Pada hakekatnya,
kita harus menerima secara penuh dan utuh konsep
Allah yang mempersatukan laki-laki dan perempuan
di dalam golongan, serta memisahkan keduanya ke
dalam jenisnya masing-masing. Ciri-ciri kebersamaan
ini meliputi dua hal yaitu kehormatan manusia dan
asal usul penciptaannya.
Seara
perbedaan
normatif,
antara
tidak
laki-laki
dikenal
dengan
adanya
perempuan.
Kenyataan sehari-hari menunjukkan baik di sektor
publik maupun di sektor domestik menunjukkan
38
bahwa perempuan diperbedakan dengan laki-laki
dalam banyak hal di luar kodratnya. Perempuan sering
tidak
memperoleh
manfaat
yang
sama
dalam
kesempatan, sumber daya pembangunan maupun
hasil-hasil pembangunan. Pengamatan secara dekat
menunjukkan bahwa hal ini disebabkan oleh karena
kelompok laki-laki dan kelompok perempuan seccara
fundamental terstruktur beda, di mana perempuan
berada pada tingkatan lebih rendah dibandingkan
dengan laki-laki.
II. Konsep Mitra Sejajar Dan Ruang Lingkupnya
Istilah mitra sejajar menurut Garis-Garis Besar
Haluan Negara Tahun 1993, tersusun dalam rangkaian
ungkapan sebegai berikut: Pembinaan peranan wanita
sebagai
mitra
meningkatkan
sejajar
peran
pria
aktif
ditujukan
dalam
untuk
kegiatan
pembangunan, termasuk upaya mewujudkan keluarga
sehat sejahtera dan bahagia.
39
Dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa
kemitraan-sejajaran itu dituntut tidak saja dalam
lingkup publik tetapi juga pada lingkup domestik.
Pada mulanya, istilah kemitraan-sejajaran
berasal dari kata equal–patners dalam Deklarasi
United Nations Decade for Women ( 1975 – 1985 )
yang tujuan utamanya adalah The Integration and
Participation of Women in Development as Equal –
Partners.
Ketidak sejajaran (in equalities) antara lakilaki dan perempuan sudah didiskusikan sejak tahun
1970-an, di mana sampai tahun 1990 di berbagai
negara masih ditemukan kondisi ketidak sejajaran
antara laki-laki dan perempuan dalam berbagai hal.
Dalam hal ini dapat ditarik kesimpulan bahwa pada
hakekatnya masalah ketidak sejajaran bukannya
hanya masalah bagi bangsa Indonesia saja tetapi juga
merupakan masalah dunia. Sebagai kelanjutan dari
Dasawarsa Wanita PBB, equality tetap menjadi salah
satu perhatian utama, yang tertuang dalam Forward
40
Looking by Strategies for The Advencement of
Woman. Komisi Status Wanita dari PBB sampai tahun
1996 memberikan perhatian khusus pada masalah
equality di mana urutan perhatian khususnya sebagai
berikut:
1. Tahun 1992; perhatian khususnya pada masalah
penghapusan diskriminasi terhadap wanita.
2. Tahun 1993; perhatian khususnya pada masalah
peningkatan kesadaran wanita pada hak dan
kesadaran hukum.
3. Tahun 1994; perhatian khususnya pada masalah
upah yang sama untuk kerja yang bernilai sama,
kerja di sektor informal.
4. Tahun 1995: perhatian khususnya pada masalah
equality dalam pengambilan keputusan ekonomi.
5. Tahun 1996; perhatian khususnya pada masalah
penghapusan stereotipi wanita dalam media massa.
( Wijaya, 1993).
Tidak adanya kesejajaran antara laki-laki dan
perempuan, menempatkan perempuan pada kondisi
41
ketidak beruntungan dan ketidak adilan. Dalam masa
pembangunan banyak hasil penelitian menunjukkan
bahwa perempuan mengalami hal-hal yang merugikan
misalnya:
1. Perempuan itu terabaikan;
2. Tidak diajak berpartisipasi;
3. Tergusur oleh teknologi;
4. Mengalami marjinalisasi;
5. Belum memperoleh perlindungan sosial;
6. Belum memperoleh hak sesuai dengan hukum yang
berlaku;
7. Mendapatkan beban kerja yang berkelebihan.
III. Kemitraan dan Kejajaran di Indonesia
Pancasila sebagai falsafah dan pandangan
hidup bangsa, UUD RI 1945 sebagai landasan
konstitusional
dan
GBHN
sebagai
landasan
operasional, menempatkan perempuan pada keluhuran
harkat dan martabatnya baik sebagai makhluk ciptaan
Tuhan Yang Maha Esa maupun sebagai warga negara
dan
sumber
daya
insan
42
pembangunan
yang
mempunyai hak dan kewajiban, tanggung jawab,
peranan dan kesempatan yang sama dengan laki-laki
untuk berperan di segala bidang kehidupan dan
segenap
kegiatan
pembangunan.
Pembangunan
nasional merupakan suatu upaya untuk merubah
keadaan sebagaimana adanya (kondisi obyektif–
empiris) menuju keadaan yang dipandang lebih baik
seperti yang dicita-citakan (kondisi normatif). GBHN
sebagai acuan pembangunan nasional memusatkan
manusia dan nilai-nilai kemanusiaan di dalam seluruh
kegiatan pembangunannya.
Ditinjau dari falsafah dan pandangan hidup
bangsa,
landasan
konstitusional
dan
landasan
operasional, secar normatif memang di negara kita
tidak dikenal dengan adanya perbedaan antara lakilaki dan perempuan secara sosial. Kemitraan dan
kesejajaran dalam masyarakat kita pada kondisi
pembangunan ini dapat terjadi pada lingkup domestik
maupun lingkup publik. Namun apakah hal ini seara
operasional
dapat
terlaksana
43
seperti
apa
yang
diharapkan. Semua ini tergantung dari para pelaku
kemitraan dan kesejajaran itu sendiri.
IV. Kemitraan
dan
Kesejajaran
dalam Lingkup
Domestik
Lingkup domestik dalam hal ini diartikan
dengan keluarga, yang lebih spesifik lagi keluarga inti
yaitu keluarga yang terdiri dari bapak, ibu dan anakanak yang belum menikah. Dalam hubungan antara
bapak, ibu dan anak-anak terdapat hubungan sebagai
berikut :
1.
Antara suami – istri;
2.
Antara orang tua – anak;
3.
Antara anak laki-laki – anak perempuan.
Dapat
diartikan
bahwa
kemitraan
dan
kesejajaran suami istri yaitu di mana keduanya berada
pada
status
yang sama.
Misalnya
dalam
hal
pengambilan keputusan dalam hal kerumah tanggaan,
keduanya dalam status tawar menawar yang setara
sama bobotnya. Status yang sama membawa harkat
dan martabat kemanusiaan yang sama pula. Keduanya
44
akan saling menghargai,
saling tolong,
saling
menunjang, saling mengisi kekurangan masingmasing, saling membagi rasa, membagi nasib. Tidak
ada lagi hubungan-hubungan yang tidak seimbang
seperti :
1.
Istri mengabdi sedangkan suami diabdi;
2.
Istri melayani sedangkan suami dilayani;
3.
Suami penguasa sedangkan istri pelaksana;
4.
Suami mandiri sedangkan istri tergantung;
5.
Suami dipertuan sedangkan istri mempertuan.
Sedangkan kemitraan dan sejajaran antara
orang tua dan anak dapat berbentuk bahwa orang tua
tidak selalu melaksanakan kehendaknya pada anak
tetapi anak juga mempunyai kesempatan untuk
mengemukakan kehendaknya dalam hal-hal tertentu.
Kemitraan dan kesejajaran antara anak-anak laki-laki
dengan anak perempuan yaitu tidak ada lagi hak-hak
istimewah yang harus diberikan pada anak-anak lakilaki, atau pun tuntutan-tuntutan tugas-tugas pelayanan
dan kerja rumah tangga hanya pada anak-anak
45
perempuan sementara superioritas anak-anak laki-laki
dan inferioritas anak perempuan tidak selayaknya lagi
disosialisasikan.
Kesempatan mendapatkan pendidikan yang
sama bagi keduanya merupakan salah satu visi,
dengan kata lain, konstruksi sosial yang membedakan
anak-anak laki-laki dengan anak-anak perempuan
tidak lagi disosialisasikan. Sementara itu ditanamkan
nilai-nilai di mana anak-anak laki-laki tidak lagi
memandang rendah saudara perempuannya atau pun
melecehkan pekerjaan rumah tangga yang dianggap
tugas-tugas anak perempuan semata-mata.
V. Kemitraan
dan
Kesejajaran
dalam Lingkup
Publik
Apabila kemitraan dan sejajaran di artikan
sebagai persamaan derajad, persamaan status antara
laki-laki dan perempuan maka akan dapat divisikan
bahawa keduanya berada pada posisi tawar menawar
yang sama, dua-duanya berhak berada pada posisi
pengambil keputusan, keduanya memperoleh berbagai
46
kesempatan untuk beraktualisasi, memperoleh akses
pada sumber daya dan pula menikmati berbagai hasil
termasuk hasil-hasil pembangunan. Memperlakukan
perempuan sebagai mitra sejajar adalah sangat
manusiawi, suatu sikap perikemanusiaan yang adil
dan beradab. Kedudukan yang sejajar sebagai partner
yang
memungkinkan
persamaan
laki-laki
dan
perempuan akan mewujudkan keadaan di mana
sebagai warga negara partisipasinya dalam kehidupan
publik tidak dibatasi oleh perantara gender.
Namun demikian, perbaikan status perempuan
dari tidak sejajar menjadi sejajar membutuhkan
perubahan sikap dan peranan baik pada laki-laki
maupun perempuan. Oleh sebab itu, perlu dikaji apa
yang menjadi penyebab ketidaksejajaran dalam
berbagai
bentuknya
apakah
itu
pelecehan,
perendahan, subordinasi, eksploitasi, tindak kekerasan
dan lain sebagainya.
Karena inequality terhadap perempuan adalah
merupakan salah satu pelanggaran hak asasi manusia
47
seperti yang tertuang dalam Convention on the
Ellimination of All Forms of Discrimination Against
Women. Indonesia merativikasi konvensi ini pada
tahun 1984. Pada dasarnya konvensi ini menuntut
keadilan sosial bagi semua orang baik laki-laki
maupun perempuan.
VI. Penutup
Tidak dapat disangkal bahwa sedikit banyak
memang ada pengaruh dunia internasional dalam
kemintraan dan kesejajaran di Indonesia karena tanpa
kemitraan dan kesejajaran sulit terwujud partisipasi
perempuan sepenuhnya dalam pembangunan, dan
juga status perempuan sulit ditingkatkan.
Upaya operasionalisasi konsep kemitraan dan
kesejajaran sertra penjabarannya dalam berbagai
aspek kehidupan sehari-hari dalam institusi sosial dan
dalam sistem pemerintahan perlu segera diwujudkan.
Penyadaran tentang kemitraan dan kesejajaran kepada
semua penduduk dari berbagai lapisan perlu segera
dilakukan.
48
DAFTAR PUSTAKA
Boserup, Ester., Peranan Wanita Dalam Pembangunan
Ekonomi. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia,
1984.
Budiman, Arief., Pembagian Kerja Secara Seksual,
Sebuah Pembahasan Sosiologis Tentang Peran
Wanita di Dalam Masyarakat. Jakarta :
Penerbit Gramedia, 1985.
Garis-Garis Besar Haluan Negara, 1978.
Garis-Garis Besar Haluan Negara, 1983.
Garis-Garis Besar Haluan Negara, 1988.
Sutjipto, Prasetyo Huriati., Kendala Struktural dan
Kultural Untuk Mewujudkan Kemitraan
Perempuan dan Laki-Laki Dalam Warta Stdui
Perempuan (hlm. 3). Jakarta : Yayasan
Pengembangan Studi Perempuan, 1993.
Vianello, Mino & Reneka Siemenska., Gender Inegrality.
Lodon : Sage Studies in Interaktional
Sociology, 1990.
49
PEREMPUAN DAN PELESTARIAN
NILAI SOSIAL BUDAYA
( Ideal dan Kenyataan )
IV. Pendahuluan
Indonesia adalah satu negara yang pluralistik
ditinjau dari segi etnik.
Masing-masing
etnik
memiliki nilai sosial – budaya yang khusus (sub
kultur ) di samping nilai sosial budaya yang berlaku
umum sebagai suatu bangsa (super kultur) dalam
mengatur perilaku para anggota kelompoknya yang
terdiri atas laki-laki dan perempuan. Apa yang
seharusnya dilakukan oleh laki-laki seyogyanya
berbeda dengan apa yang seharusnya dilakukan oleh
perempuan. Demikian juga dalam hal dampak yang
50
ditimbulkan oleh keberlakuan nilai sosial yang khusus
dan umum tadi.
Perempuan sebagai warga negara maupun
sebagai
anggota
dari
suatu
kelompok
etnik
mempunyai peranan dan kewajiban tertentu dalam
melangsungkan
maupun
kehidupan
bangsanya.
kelompok
Malahan
pada
etniknya
umumnya
perempuan diharapkan menjadi tokoh utama dalam
melestraikan kelangsungan hidup kelompok etnik dan
bangsanya. Namun kenyataan menunjukkan tidak
selamanya tokok utama ini mendapatkan ganjaran
utama pula dalam melaksanakan peranannya. Disatu
sisi dia disanjung, tetapi pada sisi lainnya dia
mengalami hal-hal yang tidak selayaknya terjadi,
lebih-lebih ketika kelompok etnik dan bangsanya
mengalami
gejolak-gejolak.
Hal-hal
yang
menguntungkan dan merugikan ini terjadi baik pada
tingkat kelompok etnik, lebih-lebih pada tingkat
masyarakat pada umumnya.
51
V. Perempuan, Ideal dan Kenyataan
Nilai sosial budaya adalah hasil rekayasa
manusia sebagai suatu masyarakat. Manusia terdiri
atas laki-laki dan perempuan. Siapa yang paling
berwenang menentukan dan mengarahkan hasil
rekayasa tersebut ?
Pada masa lalu, laki-lakilah sebagai penentu
segala-galanya karena ada nilai yang melegitimasi hal
tersebut, nilai yang melegitimasi wewenang laki-laki
itu dikenal sebagai nilai Patriarki yang telah mendarah
daging sampai sekarang di kalangan masyarakat baik
di dunia barat, lebih-lebih di dunia timur. Di samping
itu masyarakat juga telah diperkenalkan pada suatu
model
pembagian
peran
antara
laki-laki
dan
perempuan. Model pembagian peran ini pun telah
dilegitimasi melalui nilai-nilai sosial – budaya yang
dianut masyarakat. Pembagian peran ini antara lain:
1. Laki-laki berkiprah di lingkup publik di luar
rumah, antara lain peranannya mencari nafkah,
yang akhirnya melalui peranannya ini mereka
52
mendapat kesempatan untuk mengembangkan diri,
kariernya dan sebagainya.
2. Perempuan berkiprah dilingkup domestik di dalam
rumah tangga melakukan pekerjaan rumah tangga,
yang tidak menghasilkan pendapatan yang nyata
dan tidak mengenal jenjang karir.
Laki-laki dan perempuan dibagi peranannya
seperti itu antara lain melalui atau berlandaskan nilai
“kodrat” mereka. Laki-laki melalui kodrat (mencari
nafkah
=
sementara
kodrat
?),
perempuan
mendapatkan
hanya
“martabat”
bergelut
dengan
kodratnya saja. Tetapi situasi dan kondisi ini harus
dipertahankan demi tidak menimbulkan persaingan di
antara mereka, demi keteraturan sosial. Memang
kenyataan telah menunjukkan situasi dan kondisi
serupa di atas ini dapat berlangsung dengan aman dan
tertib, ketika keluarga yang menjadi inti dari
masyarakat berada dalam keadaan stabil tidak goyah
karena hal-hal yang berasal dari dalam maupun dari
53
luar lembaga itu sendiri. Tetapi bagaimana kalau ada
“Perubahan” yang mengintervensi lembaga tersebut ?
1. Perempuan Idola Keluarga dan Masyarakat
Kata idola menunjukkan sesuatu yang diidamidamkan, sesuatu yang diharapkan. Bentuk nyata dari
idola ini ditunjukkan dengan memberikan “label”
pada sesuatu yang diidam-idamkan itu.
Bayi perempuan, dia diharapkan menjadi bayi
yang manis, lucu dan tidak rewel. Ketika menginjak
gadis remaja dia diharapkan akan menjadi teman setia
ibunya dalam melakukan pekerjaan rumah tangga dan
ketika sudah menikah, menjadi perempuan dewasa,
dia diharapkan dapat melakukan/memenuhi berbagai
harapan keluarga dan masyarakatnya.
Harapan-harapan terhadap perempuan sebagai
pelestarian nilai sosial – budaya dicetuskan melalui
simbol-simbol dan konsep-konsep yang diberikan
kepada mereka. Misalnya untuk memberikan peranan
dan tanggung jawab dalam keluarga dan masyarakat
54
dicetuskan apa yang disebut sebagai “Panca Tugas
Perempuan”.
a. Sebagai istri, supaya dapat mendampingi suami
sebagai kekasih dan sahabat untuk bersama-sama
membina keluarga yang bahagia.
b. Sebagai ibu, pendidik, dan pembina generasi muda,
supaya anak dibekali kekuatan rohani maupun
jasmani dalam menghadapi segala tantangan
zaman, dan menjadi manusia yang berguna bagi
nusa dan bangsa.
c. Sebagai ibu mengatur rumah tangga, supaya rumah
tangga merupakan tempat yang aman dan teratur
bagi seluruh anggota keluarganya.
d. Sebagai tenaga kerja dan profesi, bekerja di
pemerintahan, perusahaan swasta, dunia politik,
berwiraswasta, dan sebagainya untuk menambah
penghasilan keluarga.
e. Sebagai anggota organisasi masyarakat, terutama
organisasi
wanita,
badan-badan
55
sosial
dan
sebagainya, untuk menyumbangkan tenaganya
kepada masyarakat (Suwondo, 1981: 267).
Konsep lainnya yang secara umum digunakan
untuk
menunjukkan
peran
perempuan
dalam
pelestarian nilai-nilai sosial budaya adalah perempuan
sebagai ibu merupakan “Pendidik Pertama dan
Utama” dari anak-anaknya, anak-anak merupakan
generasi penerus dari suatu kelompok dan bangsa.
Mengapa perempuan dilabelkan sebagai “Pendidikan
Pertama dan Utama ? Karena melalui perempuan/ibu,
seorang anak yang baru lahir diharapkan menerima
kehidupan nselanjutnya. Dari perempuan/ibu anakanak mengenal dan mengetahui norma dan nilai yang
berlaku pada kelompok dan masyarakatnya. Dari
perempuan/ibu seorang anak mengenal dunia luarnya
dan melalui perempuan/ibu seorang anak dapat
bertahan hidup di kancah dunia yang selalu berubahubah.
Label lainnya pula yang selalu tempelkan
kepada kaum perempuan secara umum adalah “Ratu
56
Rumah Tangga atau Ibu Rumah Tangga”. Kata Ratu
atau Ibu seyogyanya menunjukkan status yang relatif
tinggi, tetapi hanya pada lingkup rumah tangga. Kata
rumah tangga dikaitkan dengan jenis kerja yang dapat
dilakukan adalah kerja reproduksi. Kerja reproduksi
diartikan sebagai kerja pengasuhan anak, pendidikan,
sosialisasi, penyiapan dan pengadaan makanan,
membersihkan rumah, mengurus anggota keluarga
yang sakit. Kegiatan-kegiatan yang terbeberkan dalam
kerja reproduksi perempuan menunjukkan andil
perempuan untuk keberlanjutan hidup kelompok dan
bangsanya dan nampaknya bukan suatu tugas yang
ringan pula tetapi hal itu dari generasi ke generasi
telah dipikul, dilakukan oleh perempuan dan itulah
yang diharapkan oleh keluarga, kelompok dan
bangsanya.
Ungkapan lainnya pula yang menunjukkan
betapa pentingnya seorang perempuan / ibu terutama
bagi anak-anaknya yaitu “Surga di bawah telapak kaki
ibu”.
Seyogyanya
ungkapan
57
ini
menunjukkan
penghormatan
tentang
betapa
pentingnya
restu
seorang ibu bagi bakti anaknya (Nelwan dalam
Arimbi, dkk, 1998: 95).
Seperti telah dikemukakan terdahulu, bangsa
kita terdiri atas berbagai etnik. Pada tingkat etnik,
mereka juga mempunyai simbol dan konsep yang
diberikan pada dan diharapkan ada di kalangan kaum
perempuan. Masyarakat Minangkabau di Sumatera
Barat
mengenal
konsep
“Bundo
Kanduang”,
perempuan Minangkabau tidak dapat disangkal lagi
memiliki kedudukan yang sederajat dengan laki-laki
dan mereka menjadi penjaga harta pusaka keluarga
(Soetrisno, 1997: 62). Pada masyarakat Bugis
Makassar di Sulawesi Selatan, kaum perempuan
diibaratkan “Bagaikan Kaca”, tempat bercermin.
Bilamana terjadi keretakan, maka berkuranglah
martabatnya dan bila kaca itu pecah, maka berantakan
martabat diri dan keluarganya, dia menyangkut harkat
dan martabat diri yang terdapat dealam konsep “Siri”
( Mattulada, 1994: 4). Pada masyarakat Mandar yang
58
juga berasal dari Sulawesi Selatan dikenal konsep
perempuan ideal, yaitu “Tipalayo” yang menyangkut
sifat dan sikap antara lain:
a. Manarang Lima, yang artinya terampil.
b. Macalicak, yang artinya giat.
c. Manarang, yang artinya pintar.
d. Malolo, yang artinya cantik jelita.
e. Ilimuh Kedhoh, yang artinya lemah lembut.
( Pandu, 1990 : 83 ).
2. Perempuan Dalam Realitas Sosial Pada Saat Ini
Ada ahli ilmu sosial berpendapat bahwa
tindakan
sosial-perilaku
sosial
yang
dilakukan
seseorang seyogyanya seperti apa yang terjadi dalam
mekanisme pasar, ada barang ada uang, ada biaya ada
pula imbalannya. Apabila pendapat ini dipergunakan
untuk menganalisa tindakan dan perilaku yang telah
dilakukan
oleh
menunjukkan
kaum
“imbalan”
perempuan
yang
perempuan ternyata tidak memadai.
59
kenyataan
diterima
kaum
Perempuan
sebagai
anggota
keluarga,
kelompok dan masyarakat luas (bangsa) berdasarkan
tuntutan nilai sosial budaya seyogyanya
telah
melakukan tugas dan kewajiban mereka sebaik
mungkin. Namun nilai sosial budaya pun tidak
selamanya berdampak positif, ternyata juga bisa
berdampak negatif.
Kalau perempuan secara nilai
sosial budaya telah kita sepakati sebagai orang yang
lebih banyak aktivitasnya untuk membangun generasi
penerus, hasil yang relatif positif, telah kita rasakan.
Bangsa
kita
menjadi
bangsa
yang
patut
diperhitungkan di dunia internasional sebab Sumber
Daya Manusia (SDM) kita cukup mampu bersaing,
cukup kompoten di dalam hal-hal tertentu, ini semua
disebabkan antara lain oleh sosialisasi primer yang
pada umumnya dilakukan oleh perempuan/ibu di
samping sosialisasi sekunder yang dilakukan dalam
masyarakat yang pada umumnya pelakunya lebih
banyak perempuan. Tapi, imbalan apa yang telah
diterima kaum perempuan, terutama pada saat ini ?
60
Imbalannya,
teknologi
tidak
pada
memadai,
saat
ini
kecanggihan
terutama
alat
alat
media
komunikasi, setiap hari dapat kita dengar dan dapat
kita lihat betapa perempuan menjadi korban baik
yang dilakukan oleh perorangan, kelompok, maupun
lembaga.
Sebagai perempuan pada saat ini tidak dapat
lagi hanya menggeluti dengan aman dan tenteram
peranan yang diberikan kepada mereka yaitu sebagai
pekerja rumah tangga saja. Sewaktu-waktu kepala
rumah tangga yang pada umumnya laki-laki tergeser
dan tergusur dari posisinya sebagai penari nafkah
utama sehingga terpaksa mendorong perempuan
untuk keluar rumah guna turut menghidupi keluarga.
Tetapi, apakah kegiatan di luar rumah bisa diraihnya
dengan aman dan tenteram ? Ternyata tidak, berbekal
nilai sosial budaya yang bisa diberlakukan pada diri
perempuan dalam rumah tangga berlaku pula pada
saat mereka melangkahkan kaki ke luar rumah guna
keberlanjutan kehidupan keluarga mereka. Pelecehan,
61
kekerasan, subordinasi, diskriminasi, marginalisasi
adalah bentuk-bentuk yang juga mereka rasakan
ketika mereka melangkah ke luar rumah. Mengapa hal
ini terjadi ? Ada beberapa pendapat yang mengatakan
bahwasanya hal-hal yang tidak layak, tidak patut,
dialami oleh kaum perempuan di luar rumnah
sumbernya anatara lain adalah nilai-nilai yang pada
mulanya berlaku dalam keluarganya, misalnya nilai
ideologi
patriarki.
Nilai
ideologi
patriarki
menunjukkan bahwa laki-laki adalah segala-galanya,
berkuasa, patut di dahulukan, pengambilan keputusan
utama, penentu segalanya, dan nilai ideologi ini telah
merambah keberlakukannya sampai ke luar lingkup
keluarga ke lingkup publik, yang akhirnya juga
mempengaruhi berbagai aspek kehidupan perempuan
(Pandu, dkk, 2001: 17-18).
Selain nilai ideologi di atas ini, label-label
yang telah diberikan kepada kaum perempuan yang
telah dilegitimasi oleh nilai sosial budaya baik secara
nasional maupun
lokal pada akhirnya pun tidak
62
memberikan
keuntungan
positif
bagi
kaum
perempuan/ibu. Misalnya saja label “Ibu Rumah
Tangga” dianggap oleh sebagian feminis sebagai
suatu
kekalahan
perempuan,
di
mana
dengan
menyandang gelar itu justru perempuan kehilangan
kebebasan (Abdullah, 2001: 194). Label lainnya
“Pendidik Pertama dan Utama Bagi Anak-anaknya”,
dampak negatif yang diperoleh dari menyandang gelar
ini adalah menjadi seorang yang selalu dipersalahkan
ketika
anak-anaknya
berperilaku
yang
tidak
diharapkan, tidak berhasil.
Pada tingkat kelompok etnik pun label yang
diberikan kepada kaum perempuan juga tidak selalu
memberikan kebebasan bagi perempuan atau pun
bermakna positif bagi kaum perempuan. Misalnya
pada masyarakat Bugis Makassar yang melabelkan
perempuan “ibarat kaca”, akhirnya membuat langkah
perempuan menjadi semakin terbatas. Perihal yang
dialami pada perempuan Bugis Makassar tidak
menutup kemungkinan juga terjadi pada kelompok
63
etnik lainnya yang ada di Indonesia apabila ditelusuri
secara seksama dan dikaji secara teliti.
VI. Penutup
Keadaan yang dihadapi perempuan pada saat
ini menunjukkan bahwa wacana tentang perempuan
sangat dilematis. Kehidupan nyata memaksa dan
mengharuskan mereka berperan ganda namun nilainilai sosial budaya yang mendukung peran ganda itu
belum melembaga. Kedilematisan ini muncul karena
realitas perempuan selalu dibagun oleh laki-laki,
karena laki-lakilah yang dianggap dan menganggap
diri sebagai lakon (superior) yang mengatur tata
kehidupan (Abdullah, 2001: 195). Perempuan hampir
tidak bisa menentukan dirinya sendiri, menunjukkan
jati dirinya. Selain itu, di dalam kebudayaan kita
perempuan ditempatkan di luar sistem obyektif
sehingga perempuan harus mengalami obyektivitas
secara terus-menerus. Simbol-simbol yang telah
dilabelkan kepada kaum perempuan baik pada tingkat
nasional maupun lokal ternyata menjadi beban berat
64
belaka.
Konsep-konsep
perempuan
tentang
peran-peran
yang begitu hebat akhirnya hanya
merupakan khayalan dan imajinasi saja.
Masyarakat tidak statis, sekecil apa pun pasti
ada perubahan. Kebudayaan adalah hasil masyarakat,
maka kebudayaan pun mengalami perubahan pula.
Kenyataan pada saat ini di beberapa kelompok
masyarakat baik pada lapisan menengah maupun
lapisan atas, peran idealis bagi laki-laki dan
perempuan sudah bergeser, karena pengaruh keadaan
yang mereka hadapi. Kebiasaan-kebiasaan baru
muncul antara lain dalam hal peran domestik dan
peran publik, dominasi jenis kelamin tertentu terhadap
suatu peran sudah meluntur dan lain sebagainya.
Karena proses pelembagaan suatu nilai dimulai dari
kebiasaan-kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat.
Oleh karena itu, seyogyanya dapat disusun dan ditata
ulang
nilai-nilai
sosial
budaya
yang
lebih
menunjukkan kesetaraan di antara pelakunya, antara
lain dalam hal pelestarian nilai-nilai sosial budaya.
65
Di samping itu, kita juga perlu untuk
menelusuri kembali budaya-budaya lokal/etnik karena
tidak menutup kemungkinan dalam budaya lokal/etnik
terkandung suatu nilai yang lebih menunjukkan
kesetaraan di antara para pelakunya ketimbang
budaya nasional yang cenderung didominasi oleh
nilai-nilai sosial budaya dari luar masyarakat kita.
Selain itu, untuk menyusun tata nilai sosial budaya
yang relevan dan efektif guna menghadapi situasi dan
kondisi perkembangan masyarakat pada saat ini
nampaknya kita harus lebih selektif dalam artian kita
tidak selalu harus berpatokan pada nilai sosial budaya
dari kelompok tertentu atau kelas tertentu saja, di
mana pada umumnya pada masa yang lalu bahwa
nilai-nilai merekalah yang menjadi pedoman dan
panutan kita untuk berperilaku. Nampaknya sekarang
kita harus juga mengalihkan perhatian pada nilai
sosial budaya dari kelompok etnik dan kelas
masyarakat lainnya. Karena kenyataan menunjukkan
nilai sosial budaya dari kelompok atau kelas tertentu
66
yang pada masa yang lalu menjadi pedoman dan
panutan kita justru dalam kehidupan bermasyarakat
telah menyengsarakan, terutama kaum perempuan.
Oleh karena itu, tindakan yang harus kita lakukan
antara lain; menggali dan mengkaji ulang nilai sosial
budaya baik pada tingkat nasional maupun lokal
dengan menggunakan pendekatan baru. Paradigma
baru
yang
pendekatan
merupakan
sejarah,
kombinasi
pendekatan
pendekatan gender.
67
antara
lain
sosiologi,
dan
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, I. 2001. Seks, Gender dan Reproduksi
Kekuaasaan. Yogyakarta : Tarawang Press.
Berlian, S. 2000. Pengelolaan Tradisional Gender, Telaah
Keislaman Atas Naskah Simboer Tjahaja.
Jakarta: Millenium Publisher.
Budiman, A. 1985. Pembagian Kerja Secara Seksual,
Sebuah Pembahasan Sosiologis Tentang Peran
Wanita Di Dalam Masyarakat. Jakarta:
Penerbit Gramedia.
Mattulada.
1994. Gender Dalam Pembangunan
Berkelanjutan Ditinjau Dari Segi Sosial
Budaya
Etnis
Bugis-Makassar.
Ujung
Pandang: Makalah disampaikan pada seminar
sehari
“Gender
dalam
Pembangunan
Berkelanjutan Ditinjau dari Segi Sosial
Budaya Etnis Bugis-Makassar, Toraja, dan
Mandar.
Mukmin, H. 1990. Beberapa Aspek Perjuangan Wanita di
Indonesia, Suatu Pendekatan Deskriptif
Komparatif. Bandung : Penerbit Bina Cipta.
68
Pandu, M. E. 1990. Matrifokalitas di Masyarakat Pedesaan
( Suatu Kasus Pada Masyarakat Nelayan
Mandar di Desa Lero, Kecamatan Suppa,
Kabupaten Pinrang Provinsi Sulawesi –
Selatan ), (Tesis S2). Fakultas Pascasarjana
Universitas Indonesia Jakarta.
Pandu, M. E., dkk. 2001. Wanita di Sulawesi Selatan.
Ikhtisar Regional, Kanada : CIDA.
Primariantari, dkk. 1998. Seri Siasat Kebudayaan,
Perempuan dan Politik Tumbuh Fantastis.
Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Soetrisno,
L. 1997. Kemiskinan, Perempuan, dan
Pemberdayaan.
Yogyakarta:
Penerbit
Kanisius.
Suwondo, N. 1981. Kedudukan Wanita di Indonesia
Dalam Hukum dan
Masyarakat. Jakarta:
Penerbit Ghalia Indonesia.
69
PARTISIPASI DAN KETERWAKILAN
PEREMPUAN DALAM LEMBAGA
POLITIK
I.
Pendahuluan
Pada masa-masa yang lalu, sebagaian besar
kelompok masyarakat di dunia beranggapan bahwa
masalah politik adalah masalah dan bidang yang patut
dan pantas digeluti oleh laki-laki. Tetapi akhir-akhir
ini di berbagai bagian belahan dunia baik bagian
Utara-Selatan, Timur–Barat perhatian masyarakat
tertuju pada masalah partisipasi dan keterwakilan
perempuan dalam lembaga politik antara lain partai
politik.
Partai politik merupakan wadah partisipasi
politik dalam negara demokratis di mana setiap
anggota masyarakat sebagai warga negara baik laki-
70
laki
maupun
berpartisipasi
perempuan
sebagai
seyogyanya
wakil-wakil
dapat
rakyat,
berkonstribusi menyumbangkan pemikiran-pemikiran
demi
kesejahteraan
rakyat
dan
mendapatkan
perwakilan dalam mengemukakan aspirasi mereka
untuk kelanjutan hidup berbangsa dan bernegara.
Secara konstitusional hal tersebut di atas bagi warga
negara. Negara Kesatuan Republik Indonesia telah
terlandasi antara lain oleh Undang-Undang Dasar
Tahun 1945 dan malah ditunjang pula oleh UndangUndang Republik Insonesia Nomor 39 Tahun 1999
Tentang Hak Asasi Manusia antara lain pada Pasal 24.
Secara hukum di muka dunia ini tidak ada
larangan
perlakuan
terhadap
laki-laki
maupun
perempuan untuk berserikat, mendirikan partai politik
serta
lembaga-lembaga,
namun
pelaksanaannya
tidaklah demikian, terutama kaum perempuan, sampai
saat ini masih ditemukan kendala, penghalang untuk
mereka berkiprah di dunia politik.
71
II. Kondisi Perempuan di Dunia Politik
Menurut
informasi
dari
Badan
Dunia
mengenai perempuan (UNIFEM) kondisi perempuan
secara mendunia adalah sebagai berikut :
1. Perempuan hanya berjumlah 5 % sampai 10 %
yang menjadi pemimpin formal di bidang politik.
2. Perempuan hanya berjumlah 10 % yang duduk
sebagai anggota parlemen.
3. Dari 160 sampai dengan 171 parlemen nasional di
dunia yang telah berfungsi sejak Juni 1993
perempuan hanya menduduki 20 kursi. Dalam 36
negara di dunia, perempuan hanya menduduki
tidak lebih dari 4 % kursi parlemen.
4. Perempuan juga berjumlah sedikit yang menjabat
di dalam Badan-Badan Internasional. (Konvensi
Mengenai
Penghapusan
Segala
Diskriminasi Terhadap Perempuan).
a. Kondisi Perempuan di Indonesia ?

Dari segi jumlah ? Sebagai pemilih ?
72
Bentuk

Dari segi kemampuan dalam berbagai
bidang antara lain di Lembaga Politik ?

Dari segi keterwakilan di parlemen ?
b. Bagaimana di Makassar ?
III. Faktor-Faktor yang Menghalangi Perempuan
Berkiprah di Ranah Luar Rumah Tangga
Pada
umumnya
secara
mendunia
keterpinggiran perempuan dari partisipasi mereka di
bidang politik berakar dari sejarah juga dalam bidang
ekonomi dan realitas hukum. Dibandingkan dengan
laki-laki, perempuan mempunyai pengalaman sejarah
yang lebih pendek ketimbang laki-laki dalam politik
pemilihan.
Partisipasi perempuan dalam ranah politik (di
luar rumah tangga) juga terkendala oleh adanya bias
gender pada beberapa bagian dunia, baik di negara
industri maupun negara yang sedang berkembang.
Para ahli teori tradisional/klasik cenderung
menganut pendekatan yang mengemukakan bahwa
73
proses-proses politik adalah dominasi laki-laki karena
adanya suatu pengandaian bahwa:
1.
Perempuan seara sosial telah diarahkan sebagai
seorang yang mengurus rumah tangga/keluarga.
2.
Perempuan telah ditentukan secara norma sosial
budaya hanya sebagai penikmat dari perilakuperilaku politik bukan pelaku politik.
Malah
ada
ahli
teori
barat
yang
mengemukakan bahwa perempuan sama dengan anakanak karena mereka tidak memiliki harta benda maka
mereka tidak mempunyai andil dalam domain politik,
mereka tidak bisa memilih maupun dipilih.
Hal ini pula yang menjadi kendala bagi
perempuan untuk berkiprah di dunia politik yaitu
adanya budaya patriartki yang masih melekat kuat di
kelompok masyarakat tertentu baik di luar Indonesia
maupun di Indoneia.
IV. Strategi Peningkatan Keterwakilan Perempuan
dalam Lembaga Legislatif
74
1.
Mengusulkan
jumlah
minimal
kerjasama
dan
keterwakilan
perempuan.
2.
Membangun
dukungan
dari
seluruh warga masyarakat, dari berbagai lapisan
dan kelompok.
3.
Mengkampanyekan pada pemilih perempuan
untuk memilih partai politik yang memiliki
beberapa caleg perempuan.
4.
Mendesak lembaga tertinggi negara maupun
pemerintah untuk menyusun Undang-Undang
Politik yang menyertakan perempuan dalam
kepengurusan
Partai
Politik
dan
Lembaga
Legislatif.
V. Usaha-Usaha yang Telah Dilakukan
Pada pemilu yang lalu, tahun
2004 telah
dilakukan usaha-usaha meningkatkan partisipasi dan
keterwakilan perempuan antara lain:
1. Penerapan
membenarkan
Affirmative
dan
Action,
menyetujui
perempuan dalam lembaga politik.
75
misalnya
ketrerlibatan
2. Quota untuk perempuan yaitu sebesar 30 %.
Dibeberapa negara, usaha-usaha tersebut di
atas memberikan hasil yang signifikan misalnya:
1. Di Bangladesh: 30 / 330 kursi bagi perempuan;
2. Di India: 33 % kursi DPD bagi perempuan;
3. Di Uganda: 33 % kursi DPRD bagi perempuan;
4. Di Afrika Selatan: 30 % kursi DPR bagi
perempuan;
5. Di Argentina: 33 % kursi DPR dan Senat bagi
perempuan.
a. Bagaimana di Indonesia, quota 30 % pada
Pemilu 2004 yang telah dicanangkan, telah
terpenuhi dan berhasil sesuai dengan harapan
dan tujuan ?
Untuk dapat berhasil melibatkan perempuan
dalam Lembaga Politik perlu dilakukan antara lain:
 Quota sebagai kebijakan umum;
 Program pelatihan meningkatkan keterampilan
manajemen;
76
 Memperkuat seksi perempuan dalam Partai
Politik sehingga dapat mempengaruhi kebijakan
partai dan mempromosikan caleg, pengurus dan
caleg perempuan.
 Mengumpulkan informasi kandidat perempuan
yang potensial.
 Memilih criteria untuk seleksi kepengurusan
partai atau caleg partai;
 Pelatihan untuk meningkatkan kepekaan gender
anggota partai.
b. Mengapa Perlu Kepekaan Gender ?
Karena kebutuhan dasar dan kebutuhan praktis
laki-laki dan perempuan berbeda, seyogyanya baik
laiki-laki terutama perempuan harus memahami
kebutuhan-kebutuhan
keduanya
sebagai
caleg
maupun anggota legislatif kelak.
VI. Penutup
Seyogyanya wakil rakyat harus benar-benar
mewakili rakyat yang telah memilihnya untuk duduk
77
di kursi legislatif. Oleh karena itu, seharusnya pula
mereka yang menjadi wakil rakyat itu memahami
secara seksama situasi, kondisi dan kebutuhankebutuhan dari mereka-mereka yang diwakilinya.
Di negara kita, pemilih perempuan di atas
kertas jumlahnya lebih banyak dari pada pemilih lakilaki, oleh sebab itu wakil rakyat baik dia laki-laki
maupun perempuan harus lebih memahami secara
seksama kondisi, situasi dan kebutuhan-kebutuhan
pemilih
perempuan.
Walaupun
secara
teoritis
dikemukakan bahwa kondisi, situasi dan kebutuhankebutuhan perempuan lebih dipahami dan lebih
dimengerti oleh perempuan itu sendiri.
78
DAFTAR PUSTAKA
Bainar. 1998. Wacana Perempuan Dalam Keindonesiaan
dan Kemerdekaan. Jakarta: PT. Pustaka
Cidesindo,.
Bainar & Aichi Halik. 1999. Jagad Wanita Dalam
Pandangan Para Tokoh Dunia. Jakarta: PT.
Pustaka Cidesindo.
Condro, Doroaty W. & Tony Bernay. 1998. Women In
Power. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.
Mosse, Jalia Cleves. 2002. Gender dan Pembangunan.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Saraswati, L. G. dkk. 2006. Hak Asasi Manusia ; Teori,
Hukum, Kasus. Jakarta : Departemen Filsafat;
Fakultas
Ilmu
Pengetahuan
Budaya
Universitas Indonesia.
79
WANITA DAN ORGANISASI SOSIAL
(Usaha-Usaha Meningkatkan
Kapasitas Wanita dalam Oraganisasi Sosial)
I.
Pendahuluan
Kaum wanita telah menjalankan peranannya
yang sangat penting baik dalam sejarah perjuangan
kemerdekaan negara melawan penjajah maupun
dalam
usaha
memperbaiki
nasib
bangsa
pada
umumnya. Peranan-peranan yang dilaksanakan tidak
saja melalui lembaga keluarga tetapi juga melalui
organisasi sosial.
Keterlibatan dan partisipasi wanita Indonesia
dalam organisasi kemasyarakatan, agama dan politik
bukan merupakan hal yang baru. Pada tahun 1912 di
80
Jakarta telah berdiri perkumpulan wanita yang dikenal
dengan nama “Putri Mardika”. Perkumpulan ini
bekerja sama dengan perkumpulan “Budi Utomo”
memajukan pengajaran bagi anak-anak perempuan.
Dalam tahun-tahun berikutnya, berdiri pula
berbagai
perkumpulan
wanita,
namun
corak
pergerakannya pada masa-masa itu masih dalam
memperbaiki pendidikan wanita dan mempertinggi
kecakapan-kecakapan wanita yang khusus terutama
dalam hal rumah tangga (Suwondo, 1981: 570).
Masyarakat bukanlah sesuatu yang statis
termasuk komponen-komponen yang ada dalam suatu
masyarakat. Organisasi sosial adalah salah satu
komponen dari masyarakat. Oleh karena itu organisasi
sosial juga tidak dapat terhindar dari perubahan sosial
yang terjadi dalam masyarakat.
Perubahan yang terjadi dalam organisasi sosial
wanita salah satunya yang berkaitan dengan tujuan
dan hal-hal yang ingin dicapai dari organisasi.
Pandangan-pandangan
yang
81
berpendapat
bahwa
dengan
berpegang
teguh
pada
gagasan
yang
menjunjung tinggi kodrat wanita, keadilan dan
kebebasan bagi wanita dapat dicapai, ternyata sudah
usaing dan diganti dengan kepercayaan bahwa
gerakan wanita seyogyanya harus mengarah kepada
perubahan-perubahan yang terjadi pada masyarakat,
yang membawa nilai-nilai baru tentang peranan
wanita (Suryochondro, 1984 :110).
Untuk dapat mengubah dan terlibat dalam
perubahan-perubahan
pada
masyarakat
maka
organisasi wanita sebagai wadah kaum pria harus
mengubah haluan, dan anggota-anggotanya sebagai
pelaku harus memberdayakan diri untuk menjadi
serasi, selaras dan seimbang dengan perubahanperubahan sosial yang terjadi pada masyarakat.
II. Paradigma Pembangunan Masa Lalu, Sekarang
dan Akan Datang
Dalam
pembangunan
pengertian
menunjukkan
ekonomi
taraf
murni,
kemampuan
ekonomi nasional satu negara untuk beranjak dari
82
tahap awal yang relatif statis menuju peningkatan
tahunan GNP secara konsisten sebesar 3 % sampai 7
% atau lebih disertai perubahan struktural di bidang
agraria, industri, jasa dan lapangan kerja (Ndraha,
1987: 14 ).
Walaupun perang dunia kedua telah berhasil
mengubah profil dunia, isu yang menguasai tahun
lima puluh san enam puluh masih didominasi oleh
para
ahli
ekonomi,
di
mana
para
perencana
pembangunan sangat dipengaruhi oleh anggapan
bahwa pembangunan berarti pertumbuhan ekonomi
yang titik beratnya pada proses industrialisasi,
moderniasi, dan teknologi. Namun pengalaman
berbagai negara yang menggunakan cara pendekatan
di atas, ini menunjukkan bahwa pendekatan ini
membawa implementasi sosial dan mental (Ndara,
1987: 15).
Pada tahun tujuh puluhan timbul perubahan
pendekatan terhadap pembangunan antara lain yang
dikemukakan
oleh
dua
83
orang
wanita
ahli
pembangunan yaitu “Carohe Bryant dan Luise White.
Menurut kedua wanita ahli pembangunan ini,
pembangunan ialah “upaya untuk meningkatkan
kemampuan manusia untuk mempengaruhi masa
depannya”. Secara lebih spseifik lagi pembangunan
menurut konsep kedua wanita ahli di atas mempunyai
lima implikasi utama yaitu :
1.
Pembangunan berarti membangkitkan kemauan
optimal
manusia,
baik
individu
maupun
kelompok (capacity).
2.
Pembangunan
berarti
kebersamaan
dan
mendorong
kemerataan
timbulnya
nilai
dan
kesejahteraan (equity).
3.
Pembangunan
berarti
menurut
kepercayaan
kepada masyarakat untuk membangun dirinya
sendirisesuai dengan kemampuan yang ada pada
masyarakat yang bersangkutan. Kenyataan ini
dinyatakan dalam bentuk kesempatan yang sama,
kebebasan memilih dan kekuasaan memutuskan
(empowerment).
84
4.
Pembangunan
berarti
membangkitkan
kemampuan untuk membangun seara mandiri
(sustainability).
5.
Pembangunan berarti mengurangi ketergantungan
oleh
siapa
pun
terhadap
siapa
pun
dan
menciptakan hubungan saling menguntungkan
dan
saling
menghormati
(interdependency)
(Ndaraha, 1927: 16).
Mencermati
makna
pembangunan
yang
dikemukakan oleh Bryantdan dan White dapat
disimpulkan
bahwa
proses
pembangunan
lebih
menitik beratkan pada dan memfokuskan pada unsur
manusia, dalam hal ini, laki-laki dan perempuan
sebagai pelaku pembangunan di dalam bidang apa
saja.
Konsep pembanguan yang lainnya yang
dikemukakan oleh seseorang oleh seorang feminis
dari negara Timur yaitu Kamla Bhasin yang dikenal
dengan konsep-konsep pembanguan berkelanjutan
(sustainability development). Konsep tersebut lebih
85
menegaskan antara lain mengenai siapa pun yang
menjadi pelaku pusat dari suatu proses pembangunan
(Bhasin, 1993) itu harus berpusat pada wanita karena
wanitalah
sebagai
mayoritas
yang
menyimpan
kehidupan dasar dari masyarakat (Parpart, dkk., 2000:
33).
Nampaknya makna pembangunan yang telah
dikemukakan oleh Bryant dan White serta Bhasin
lebih relevan digunakan sebagai dasar kegiatan
pembangunan pada masa sekarang ini terutama di
negara kita. Di samping pembangunan dari sudut
pandang ekonomi agar tercapai kesetaraan antara
unsur material dan manusia.
Organisasi wanita baik kemasyarakatan sosial,
agama dan politik sebagai salah satu komponen
masyarakat, dalam proses pembangunan seyogyanya
harus mencapai pelaksanaan dan pemanfaatan serta
penikmat dari pembangunan yang dilaksanakan.
Seyogyanya juga organisasi wanita harus pula
memahami konsep yang tepat guna yang berkaitan
86
dengan pembangunan yang akan datang dan sedang
dilaksanakan oleh bangsanya di mana organisasi
wanita itu berada.
III. Pembangunan Organisasional dan Gender
Istilah Pembangunan Organisasional merujuk
kepada kegiatan-kegiatan yang dimaksudkan untuk
mencapai perubahan di dalam tubuh organisasi
dengan
sasaran
meningkatkan
efesiensi
dan
efektivitas kerja. Dalam hal ini, termasuk kegiatankegiatan di dalam lingkup keorganisasian sendiri
maupun dalam konteks hubungan timbal baliknya
dengan organisasi-oraganisasi lain, di antaranya
dalam kegiatan-kegiatan advokasi serta lobi.
Terdapat ikatan kuat antara kemampuan suatu
organisasi
bersangkutan
dengan
sejauh
mencapai
mana
keberhasilan
organisasi
dalam
pembentukan hubungan dengan organisasi-organisasi
lainnya. Ikatan seperti itu mendorong pengembangan
berbagai bentuk untuk mekanisme pertanggung
87
jawaban serta membuka ruang yang lebih luas untuk
proses belajar organisasional.
Sehubungan dengan itu, di luar organisasi
semakin rumit dan penuh pergolakan, dan dunia luar
ini pun menjadi ajang kiprah organisasi di seluruh
penjuru dunia usaha maka setiap organisasi dituntut
untuk selalu waspada, cepat menyesuaikan diri,
dengan perubahan, dalam hal ini organisasi untuk
tidak pernah berhenti belajar.
Pembangunan organisasional bertalian timbalbalik dengan kemampuannya untuk menghasilkan
dampak terhadap dunia luas di mana organisasi
tersebut berkiprah.
Bertalian dengan paradigma pembangunan
selain
bertumpu
pada
bidang
material
juga
memperhitungkan unsur sumber daya manusia yang
terdiri atas pria dan wanita dan malah ada yang
menekankan bahwa sumber daya kelompok wanita
sangat memegang peranan penting dalam proses
pembangunan, maka seyogyanya organisasi wanita
88
layak untuk menekankan pentingnya kesetaraan
gender, dengan kata lain hendaknya kesetaraan gender
digunakan sebagai prinsip kunci dalam pembangunan
organisasional, artinya sudut pandang gender harus
diterapkan dalam seluruh aspek kegiatan organisasi
kita, kerja dengan kolega dan para mitra, melobi dan
menjalankan advokasi dan membangunan internal
organisasi.
IV. Penutup
Organisasi wanita sebagai wadah kelompok
wanita
menyumbangkan
memberdayakan
sumbangsinya
anggota-anggotanya
dalam
serta
mensejahterakan masyarakat umum serta sangat
tergantung kepada proses belajar organisasi. Dalam
hal ini artinya organisasi bersangkutan harus bersikap
terbuka, bersedia belajar, siap mengembangkan
mekanisme-mekanisme belajar organisasi. Pengurus
dan anggota-anggotanya harus ada kehendak untuk
berubah, dengan begitu berarti sasaran perseorangan,
jika yang dipertaruhkan adalah perubahan hubungan-
89
hubungan
gender,
pergeseran
dari
kehendak
perorangan menjadi kehendak lembaga.
Kesimpulan:
1. Bahwa organisasi harus bersedia berubah seiiring
perubahan terjadi dalam masyarakat.
2. Bahwa pengurus dan anggota-anggota organisasi
harus
mampu
mencerna
kebutuhan
akan
perubahan-perubahan.
3. Bahwa
organisasi
maupun
pelaku-pelaku
organisasi harus mempunyai sikap keterbukaan dan
tanggung jawab yang tinggi terhadap apa yang
telah dilakukan.
90
DAFTAR PUSTAKA
Abbot, Pamela & Claire Wallace., An Introduction To
Sociology, Feminist Perfections. London –
New York: Rotledge, 1997.
MacDonald, Maudi, et.all., Gender dan Perubahan
Organisasi. Amsterdam: Royal Institute, 1999.
Ndraha, Taliziduhu., Pembangunan Masyarakat. Jakarta:
PT. Bina Aksara, 1987.
Suryochondro, Sukanti., Potret Pergerakan Wanita di
Indonesia. Jakarta: CV. Rajawali, 1984.
Suwondo, Nani., Kedudukan Wanita Indonesia Dalam
Hukum dan Masyarakat. Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1981.
91
IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG
NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG
PENGHAPUSAN KEKERASAN
DALAM RUMAH TANGGA
I.
Pendahuluan
Keluarga dan rumah tangga seyogyanya
adalah suatu lembaga di mana anggota-anggotanya
justru seharusnya mendapatkan perlindungan dan
kasih sayang yang murni, tulus dan ikhlas dari
anggota-anggotanya.
Pada masa yang lalu, keluarga dan rumah
tangga adalah juga merupakan suatu lembaga yang
bersifat pribadi. Apa pun yang terjadi di dalam rumah
tangga dan keluarga para anggotanya berusaha untuk
tidak membeberkan pada orang-orang di luar keluarga
92
dan
rumah
tangga
bahkan
anggota-anggota
kerabatnya sendiri.
Pada
sekelompok
masyarakat
tertentu
mengemukakan sesuatu tentang keadaan keluarga dan
rumah tangga pada siapa pun adalah tabu atau pamali
apalagi apabila keadaan itu sudah berupa aib atau halhal yang memalukan, hal-hal yang menyimpang dari
kebiasaan yang berlaku umum.
Pada masa sekarang ini, mungkin karena
dalam era keterbukaan, tidaklah begitu keadaannya.
Sesuatu yang berupa aib dan menyimpang menurut
pandangan dan perasaan sekelompok orang atau
sekelompok masyarakat malah dijadikan hal-hal yang
membanggakan
oleh
sekelompok
orang
atau
kelompok masyarakat lainnya, malah pula dijadikan
sebagai sesuatu yang hebat apabila dapat dilakukan
misalnya perceraian, perselingkuhan, sampai-sampai
pada hal-hal yang bersifat kekerasan.
Menanggapi
kondisi
kekerasan
terhadap
anggota-anggota keluarga dan rumah tangga yang
93
sudah demikian terbuka dan menimbulkan banyak
korban, maka masyarakat dan pemerintah meresa
perlu untuk menangani masalah yang menyimpang
dan menimbulkan korban antara lain bentuknya
adalah Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
II. Kekerasan dan Ruang Lingkupnya
Kekerasan dalam rumah tangga dalam artian
yang umum adalah penganiayaan yang dilakukan oleh
seseorang yang berada dalam satu keluarga untuk
melukai salah satu anggota keluarga yang lain.
Bentuknya dapat berupa penganiayaan fisik (seperti
pukulan,
hinaan,
tantangan)
cemohan)
psikis/emosional
maupun
seksual
(ancaman,
(pemaksaan
hubungan seksual).
Kekerasan dalam rumah tangga adalah sikap,
perbuatan
seseorang
terhadap
perempuan
yang
berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan
secara fisik, seksual, psikologi, dan atau penelantaran
rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan
94
perbuatan pemaksaan, atau perampasan, kemerdekaan
secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
Kekerasan
dalam
rumah
tangga
dapat
menimpa siapa saja termasuk seorang ibu, istri, suami,
bapak, anak, atau bahkan pembantu rumah tangga.
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
23 Tahun
2004 Tentang Penghapusan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga, lingkup rumah tangga
meliputi:
1.
Suami, Istri, dan anak.
2.
Orang-orang
yang
mempunyai
hubungan
keluarga dengan sebagaimana dimaksud pada
huruf a; karena hubungan darah, perkawinan,
persusuan, pengasuhan dan perwalian yang
menetap dalam rumah tangga.
3.
Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan
menetap dalam rumah tangga tersebut.
Namun dalam banyak literatur,
kekerasan
dalam rumah tangga lebih dipersempit artinya dalam
penganiayaan terhadap istri oleh suami. Hal ini dapat
95
dimengerti karena pada umumnya korban kekerasan
dalam rumah tangga lebih banyak dialami oleh para
istri dari pada anggota keluarga dan anggota rumah
tangga lainnya dan yang lebih banyak mengalami
adalah perempuan.
1. Bentuk-Bentuk Penganiayaan Suami terhadap
Istri
a. Penganiayaan psikologis dan emosi, misalnya
menanamkan perasaan takut melalui intimidasi,
mengancam
akan
menyakiti,
menculik,
menyekap, ingkar janji, merusak hubungan
orang tua dan anak atau saudara, menghina,
memaki-maki, membentak, mengucilkan diri.
b. Penganiayaan ekonomi, misalnya membuat
tergantung secara ekonomi, melakukan control
terhadap penghasilan, pembelanjaan.
c. Penganiayaan seksual, misalnya memaksakan
hubungan seks, mendesakkan hubungan seks
setelah melakukan penganiayaan, menganiaya
96
saat berhubungan seks, memaksa menjadi
pelacur.
d. Penganiayaan fisik, misalnya menyakiti secara
fisik,
mulai
dari
mengamuk,
menampar,
memukul, menginjak sampai membunuh.
2. Apa Yang Harus Diingat dan Dipahami.
a. Harus diingat, apa pun alasannya tidak seorang
pun berhak dianiaya, mengingat UndangUndang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945,
dan
karena
bentuk
kekerasan
terutama
kekerasan dalam rumah tangga, merupakan
pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan
terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk
diskriminasi yang harus dihapus.
b. Penganiayaan adalah suatu perbuatan yang tidak
dapat dibenarkan dari segi apapun baik segi
hukum, agama maupun sosial.
c. Konflik yang terjadi antara suami – istri atau
anggota keluarga lainnya adalah wajar, tetapi
97
tidak dibenarkan kalau penyelesaian yang
diambil adalah dengan penganiayaan.
d. Ketenteraman keluarga bukan hanya tanggung
jawab istri tetapi merupakan tanggung jawab
bersama seluruh anggota keluarga.
3. Langkah-Langkah yang Dapat Dilakukan
a. Ceritakan apa yang telah dialami kepada orang
lain, misalnya teman dekat/sahabat, kerabat dan
manfaatkan
lembaga-lembaga
pelayanan,
kosultasi.
b. Laporkan ke polisi.
c. Mencari kemungkinan jalan keluar baik dengan
konsultasi psikologis maupun konsultasi hukum.
d. Buatlah rencana perlindungan diri misalnya
mempersiapkan
kebutuhan
tabungan
menyelamatkan
dan
rumah
tangga,
surat-surat
penting serta kebutuhan pribadi lainnya.
e. Mintalah pemeriksaan dokter atas penganiayaan
yang dilakukan/diderita.
98
III. Penutup
Dalam beberapa penelitian
yang pernah
dilakukan menunjukkan bahwa pada berbagai lapisan
masyarakat terdapat pemahaman tentang kekerasan
dalam
rumah
tangga
sangat
beragam.
Ada
sekelompok orang yang sadar dan paham bahwa
kekerasan dalam rumah tangga adalah suatu kejahatan
(Dwia A. Tina, dkk, 2002), ada juga yang berpendapat
bahwa kekerasan dalam rumah tangga adalah masalah
pribadi, masalah keluarga (Radford dalam Scior Imo,
1999).
Dengan
dicetuskannya
Kekerasa
Dalam
Rumah Tangga ( KDRT ) ke dalam suatu UndangUndang yaitu Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor
23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga disertai Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2006
Tentang Penyelenggaraan dan Kerjasama Pemulihan
Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga berarti
tindak kekerasan dalam rumah tangga dalam bentuk
99
fisik maupun non fisik terhadap siapa pun adalah
perilaku yang dilarang dan bersanksi hukum.
Dengan semakin maraknya dan semakin
terbentuknya tindak kekerasan dalam masyarakat
terhadap berbagai anggota lapisan masyarakat dalam
berbagai bentuk, sementara anggota masyarakat pada
umumnya belum memahami baik bentuk tindakan
kekerasan
dalam
rumah
tangga
dan
cara
penanganannya maka perlu disosialisasikan kepada
masyarakat luas yang terdiri atas berbagai lapisan
sesuai dengan kondisi masyarakat yang bersangkutan.
Pemasyarakatannya
hendaknya
dilakukan
mulai jajaran terbawah pemerintah setempat sampai
pada
jajaran
tertinggi
pemerintahan
dengan
melibatkan unsur-unsur terkait dan unsur-unsur
berwenang.
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)
bukanlah lagi masalah pribadi, hendaknya penderita
mau secara terbuka mengemukakan penderitaannya,
hendaknya masyarakat mau menanggapi, ambil peduli
100
dan membantu penderita, hendaknya unsur-unsur
yang ditugaskan dan dilibatkan oleh Undang-Undang
mau melakukan kewajibannya sesuai dengan yang
telah digariskan.
101
DAFTAR PUSTAKA
Dwia, Aries Tina, dkk., 2002. Menggagas Tempat Yang
Aman Bagi Perempuan (Kasus di Sulawesi
Selatan), Pusat Studi Kependudukan dan
Kebijakan Universitas Gajah Mada – Ford
Foundation.
KOMNAS
Perempuan,
2002.
Peta
Kekerasan
Pengalaman Perempuan Indonesia.
Ollenburger, Jane, C & Helen A. Moore, 1996. Sosiologi
Wanita., Jakarta : Penerbit Rineka Cipta.
Staggenborg, Suzanne, 2003. Gender, Keluarga dan
Gerakan-Gerakan Sosial. Jakarta : Penerbit
Mediator.
Scior
Imo, Rosalina. 1999. Menuju Kesehatan
Madani.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
102
TELAAH KUALITAS KAWIN HAMIL
DALAM DIMENSI SOSIAL BUDAYA
I.
Pendahuluan
Peristiwa dan gagasan tentang perkawinan
selalu menarik. Bukan saja sebagai salah satuh proses
biologis tetapi juga
sebagai proses kehidupan
kemasyarakatan. Selain itu, setiap kebudayaan juga
mengakui bahwa perkawinan itu adalah suatu
lembaga di mana di dalamnya ditetapkan sejumlah
peraturan yang biasanya kaku dan rumit, untuk
mempertemukan pasangan laki-laki dan perempuan
secara pantas. Pada umumnya, setiap kebudayaan
menetapkan peraturan-peraturan, tata cara tertentu
tindakan-tindakan atau pun upacara-uoacara yang
103
membuat khalayak umum mengetahui dan menerima
kenyataan bahwa seorang laki-laki dan seorang
perempuan bermaksud hidup bersama dan memulai
membangun keluarga.
II. Definisi Perkawinan
Perkawinan adalah sesuatu yang di mana saat
peralihan yang terpenting pada lingkaran kehidupan
(life cyle) manusia di seluruh dunia dari tingkat hidup
remaja ke tingkat hidup berkeluarga.
Ditinjau
dari
sudut
kebudayaan,
maka
perkawinan sebagai pranata sosial merupakan :
1.
Pengatur kelakuan manusia yang berkenaan
dengan
kehidupan
seksnya
terutama
persenggamaan.
2.
Pengatur bahwa seorang laki-laki tidak boleh
bersenggama dengan sembarang perempuan,
tetapi hanya dengan satu atau beberapa wanita
tertentu.
3.
Memberi ketentuan hak dan kewajiban serta
perlindungan kepada hasil senggama yaitu anak.
104
4.
Memenuhi kebutuhan seorang manusia akan
seorang teman hidup.
5.
Memenuhi kebutuhan akan harta, gengsi dan
status tertentu dalam masyarakat.
6.
Pemeliharaan hubungan baik antara kelompokkelompok kerabat.
III. Pembatasan Pemilihan Jodoh Dalam Perkawinan
Seluruh masyarakat di dunia mempunyai
larangan-larangan terhadap pemilihan jodoh bagi
anggota-anggotanya.
bentuknya
Larangan-larangan
berbeda-beda
antara
satu
ini
kelompok
masyarakat dengan kelompok masyarakat lainnya.
Oleh sebab itu, kita kenal dengan adanya istilah
“endogami” dan “eksogami”.
Endogami maksudnya adalah perkawinan yang
diselenggarakan antara orang dari desa yang sama
atau dengan orang yang berasal dari lapisan
masyarakat yang sama atau dengan kerabatnya
sendiri. Sedangkan eksogami adalah perkawinan yang
diselenggarakan harus dengan orang yang berasal dari
105
luar lingkungannya, dari luar desanya, dari luar
kerabatnya.
Bentuk
larangan
lainnya
adalah
kawin
sumbang atau incest, misalnya kawin dengan saudara
sekandung atau kawin dengan seorang yang berasal
dari warga yang sama. Di dalam kehidupan sosial dari
banyak masyarakat di dunia, incest ini merupakan
suatu dosa atau yang diberi sanksi keras dengan
hukuman mati atau hukuman buang, namun pada
beberapa
kelompok
masyarakat
yang
masih
terbelakang ada beberapa perkecualian mengenai
kawin sumbang ini.
Kecuali
memberi
batasan
pemilihan
pantangan-pantangan
jodoh
kawin
yang
dalam
masyarakat-masyarakat suku di dunia, ada pula yang
disenangi (marriage preference ). Artinya, ada
perkawinan yang sangat diingini oleh sebagaian besar
warga masyarakat dan perkawinan itu dianggap ideal,
misalnya perkawinan itu antara saudara sepupu, baik
106
dengan anak dari saudara perempuan ayah atau pun
dengan anak dari saudara laki-laki ibu.
IV. Syarat-Syarat Perkawinan
Ditinjau dari sudut adat istiadat berbagai suku
bangsa di dunia, syarat-syarat untuk kawin dapat
berupa antara lain:
1. Hadiah kawin (bride–price).
2. Pencurahan tenaga kawin (bride–service).
3. Pertukaran gadis (bride–exchange).
Hadiah kawin (bride–price) adalah sejumlah
harta yang diberikan oleh seseorang pemuda kepada
seorang gadis dan kaum kerabat si gadis yang akan
menjadi
pasangannya.
Besar
kecilnya
hadiah
perkawinan ini berbeda-beda pada berbagai suku
bangsa.
Kadang-kadang
besar
kecilnya
hadiah
perkawinan ini ditetapka secara berunding antara
kedua belah pihak yang bersangkutan. Pada suku
bangsa tertentu, hadiah perkawinan ini adalah dapat
berupa sejumlah harta yang tidak diberikan sekaligus
tetapi berangsur-angsur dalam suatu jangka waktu
107
tertentu. Sering kali juga ditemui pada kelompok
masyarakat tertentu bahwa adat pemberian pada
perkawinan itu tidak hanya datang dari satu pihak saja
tetapi juga dari kedua belah pihak. Pihak laki-laki
maupun pihak perempuan yang berupa tukarmenukar. Perlu dicatat bahwa arti hadiah kawin
(bride–price) ini tidak identik dengan arti mas kawin
dalam ajaran Islam.
Pencurahan tenaga untuk kawin
(bride–
service) adat melamar gadis dengan cara bekerja bagi
keperluan-keperluan si gadis atau keluarga si gadis
tersebut. Hal ini biasanya terjadi apabila si laki-laki
tidak mampu membayar hadiah perkawinan. Tetapi
kebiasaan
seperti
ini
jarang
dilakukan
karena
dianggap kurang terhormat bagi pihak-pihak tertentu.
Adat
pertukaran
gadis
(bride–exchange)
adalah suatu kebiasaan yang mewajibkan pada
seorang laki-laki yang melamar seorang perempuan
untuk menyediakan seorang gadis pula yang berasal
dari kaum kerabatnya sendiri untuk pertukaran dengan
108
gadis yang dilamarnya itu. Contohnya kebiasaan
serupa ini biasa dilakukan pada beberapa suku di Irian
Jaya.
Perlu diperhatikan biasanya yang menjadi
pemberi hadiah perkawinan ini pihak pengantin lakilaki, tetapi pada kelompok masyarakat tertentu bahwa
ada juga hadiah perkawinan itu diberikan oleh pihak
pengantin perempuan, misalnya pada sebahagian
kelompok suku Minangkabau di Sumatera Barat.
V. Adab Menetap Setelah Menikah
Menurut para antropolog, dalam masyarakat di
dunia paling sedikit ada tujuh kemungkinan adat
menetap setelah menikah yaitu :
1. Adat
Utrolokal
:
Adat
yang
memberikan
kebebasan pada setiap pasangan pengantin baru
untuk menetap di sekitar pusat kediaman kaum
kerabat dari kerabat suami atau pun di sekitar pusat
kediaman kaum kerabat dari sang istri.
2. Adat Virilokal/Patrilokal: Adat yang menentukan
bahwa pasangan pengantin baru harus menetap di
109
sekitar pusat kediaman kaum kerabat pengantin
laki-laki.
3. Adat
Uxorilokal/Matrilokal:
Adat
yang
menentukan bahwa pasangan pengantin baru harus
menetap di sekitar pusat kediaman kaum kerabat
pengantin perempuan.
4. Adat Bilokal: Adat yang menentukan bahwa
pasangan pengantin harus tinggal berganti-ganti,
pada suatu masa tertentu di sekitar pusat kediaman
kaum kerabat pengantin perempuan dan pada lain
masa tertentu pula berdiam di sekitar pusat
kediaman kaum kerabat pengantin laki-laki.
5. Adat Neolokal: Adat yang menentukan bahwa
pasangan pengantin baru tinggal sendiri di tempat
kediamannya sendiri yang baru.
6. Adat Avunkulokal: Adat yang menentukan bahwa
pasangan pengantin baru tinggal menetap di sekitar
kediaman saudara laki-laki ibu dari pengantin lakilaki.
110
7. Adat Natulokal: Adat yang menentukan bahwa
pasangan
pengantin
baru
tinggal
terpisah.
Pengantin laki-laki di sekitar tempat kediaman
kaum kerabatnya sendiri dan pengantin perempuan
juga tinggal disekitar tempat kediaman kaum
kerabatnya sendiri.
VI. Bentuk-Bentuk Perkawinan
Ada dua bentuk dasar perkawinan yaitu
monogami dan poligami. Poligami terbagi lagi dalam
dua bentuk yaitu:
1. Poligini adalah bentuk perkawinan di mana
seorang laki-laki mempunyai dua atau lebih istri
pada saat yang bersamaan.
2. Poliandri adalah bentuk perkawinan di mana
seseorang perempuan mempunyai suami lebih dari
satu orang pada saat yang sama.
Dalam masyarakat tertentu dikenal pula suatu
bentuk perkawinan yang dalam bahasa antropologinya
dikenal dengan nama perkawinan “leverat”. Adapun
yang dimaksudkan dengan perkawinan leverat ini
111
adalah bilamana seorang perempuan ditinggal mati
oleh suaminya, maka perempuan tersebut dijadikan
istri oleh salah seorang kerabat suaminya. Lawan dari
perkawinan leverat ini adalah perkawinan “sororat”,
yaitu bila seorang laki-laki ditinggal mati oleh
istrinya, maka laki-laki tersebut mengawini salah
seorang kerabat perempuan dari istrinya yang mati
tersebut.
Bentuk perkawinan lainnya adalah perkawinan
“hypergami” dan perkawinan “hyopogami”.
1. Pada perkawinan hypergami adalah laki-laki
berasal dari lapisan yang lebih tinggi dari pada
perempuan.
2. Pada perkawinan hypogami adalah di mana
perempuan berasal dari lapisan yang lebih tinggi
daripada laki-laki.
VII. Makna Perkawinan bagi Masyarakat Manusia
Banyak upacara perkawinan modern di Eropa
dan Amerika kelihatan sama berkelebihan dengan
upacara perkawinan suku-suku yang masih sederhana
112
di daerah-daerah tertentu maka perempuan dari
keluarga-keluarga tertentu di Eropa maupun Amerika
menganggap pesta besar itu sebagai hal yang sudah
semestinya dilakukan.
Pakaian pengantin wanitanya antara lain
meniru ciptaan perancang termashur di dunia dan
mungkin harganya sangat mahal. Upacara pun lama,
dalam suasana keagamaan yang khidmat dihadapan
banyak tamu undangan, kemudian upacara dilanjutkan
dengan resepsi yang meriah yang menyajikan
makanan-makanan yang lezat dan nikmat.
Upacara yang sudah kompleks ini dilengkapi
dengan berbagai seremoni dan simbol-simbol yang
berupa
benda-benda
yang
mengingatkan
dan
melambangkan pada hal-hal tertentu yang sudah
turun-temurun. Semua pesta ini memperlihatkan
pentingnya perkawinan yang ditekankan oleh orang di
seluruh
dunia.
Memang,
membangun
keluarga
merupakan suatu titik balik yang penting, suatu
langkah awal dalam perjalanan hidup baru yang tak
113
diramalkan. Seorang pria dan wanita dapat saja hidup
bersama dan membesarkan anak tanpa perkawinan,
namun kenyataan setiap masyarakat mengharapkan
mereka diikat oleh perkawinan. Rupanya perkawinan
memenuhi suatu tujuan dasar manusia, tujuan yang
ada baik pada masyarakat yang paling maju maupun
dalam masyarakat yang lebih sederhana dan terpencil.
Malinowski,
seorang
antropolog,
mengembangkan pendapatnya dalam bukunya yang
berjudul, “Kehidupan Seks Orang-Orang Biadab”,
bahwa fungsi utama dari suatu perkawinan adalah
menghasilkan anak yang sah. Artinya, anak yang
mempunyai nama dan tempat sendiri di masyarakat.
Ketentuan ini berarti bahwa seorang anak harus punya
hubungan dengan orang tuanya serta keluarga orang
tuanya. Seorang perempuan setelah melahirkan sulit
menghindari keterikatannya dengan anak-anak yang
dilahirkannya
itu,
sulit
baginya
kehamilannya
dan
kelahiran
dari
merahasiakan
bayi
yang
dilakukannya. Perkawinan menjamin bahwa si ayah
114
pun akan diakui oleh masyarakat umum sebagai ayah
dari bayi yang dikandung oleh seseorang perempuan
yang telah digaulinya. Selanjutnya, Malinowski
mengemukakan bahwa “tak seorang anak pun boleh
dilahirkan ke dunia tanpa seorang laki-laki yang
berperan sebagai ayahnya”. Peranan yang diperlukan
untuk menjamin tempat yang layak bagi anak-anak
dalam masyarakat.
Perkawinan itu penting, sebab masyarakat
pada umumnya bersikap keras terhadap anak yang
dilahirkan di luar perkawinan. Anak-anak yang
dilahirkan di luar nikah dikatakan oleh masyarakat
sebagai anak haram, mereka dijadikan cemoohan atau
setidak-tidaknya dijadikan sindiran, dan haknya
sebagai ahli waris tidak diakui. Mengapa anak yang
dilahirkan di luar nikah disebut anak haram ? Apa
dasarnya ? Padahal kesehatan jasmani sama utuhnya,
pikiran sama baiknya. Hal ini dimungkinkan oleh
sebab
itu
semua
kebudayaan
pada
umumnya
menetapkan bentuk-bentuk utama perkawinan yang
115
menjamin keabasahan anak-anak. Tetapi mengingat
kelemahan manusia, beberapa kelompok masyarakat
mengakui pada anak semacam itu, status tidak diakui.
Misalnya di Inggris dan Amerika, bentuk lain dari
pada
perkawinan ini dikenal sebagai perkawinan
adat, suatu perkawinan antara pria dan wanita tanpa
upacara keagamaan atau catatan sipil, tetapi sematamata karena sudah hidup bersama. Para sosiolog
menyebut tentang ini sebagai persatuan atas dasar
konsensus. Misalnya, di beberapa daerah antara lain
di Trinidad, banyak ditemui bentuk perkawinan
seperti ini, orang Trinidad menamakan persatuan atas
dasar konsensus
sebagai “hidup bersama”, konon
sebagai perpendekan diri “hidup bersama dalam
dosa. Sebab sebagian dari masyarakat Trinidad
sendiri menganggap persatuan seperti itu secara moral
salah.
Memang
tidak
dapat
dipungkiri
juga
bahwasanya terjadinya bentuk perkawinan seperti itu
juga dapat disebabkan oleh beberapa hal misalnya di
Trinidad, pekerjaan untuk kaum laki-laki bersifat
116
langka dan musiman. Sehingga rata-rata pemuda
walaupun ingin kawin tidak punya uang untuk
membiayai upacara perkawinan dan untuk memikul
peranan sebagai suami, sebagai pencari nafkah tetap
bagi istri dan anak-anaknya.
Padahal sebenarnya seorang wanita muda di
Trinidad tidak selalu menyukai cara hidup bersama
seperti ini, dan lebih menghendaki perkawinan yang
sah tetapi ia melakukan hal yang terbaik dalam situasi
yang ada. Wanita itu menghibur diri dengan
mengemukakan kata-kata antara lain “lebih baik
hidup bersama dengan sejahtera dari pada kawin
tetapi tidak bahagia”. Wanita itu padahal masih
berharap bahwa dalam beberapa tahun teman prianya
itu akan mampu mengumpulkan uang yang cukup
sehingga mereka dapat menjalani masa selanjutnya
sebagai suami-istri yang sah yang kawin secara layak
dan sesuai dengan cara adat yang biasanya berlaku
dalam masyarakat.
117
Dari uraian di atas ini dapat kita simpulkan
bahwa
fungsi
utama
dari
perkawinan
adalah
menjamin keabsahan dari anak-anak yang dilahirkan.
Tetapi ada pula fungsi yang lainnya yang juga penting
yang
tidak menyangkut masalah hak anak yaitu
perasaan
suami-istri
karena
dalam
banyak
kebudayaan, perkawinan juga memberi kepada setiap
suami maupun istri hak yang mengkhususkan atau
kita mendahulukan dia dalam hubungan seks dengan
pasangannya dan juga memberi mereka kesempatan
untuk menjalin kehidupan bersama seumur hidup
dengan semangat penuh cinta, saling mendukung,
saling menghargai satu sama lain.
VIII. Sebab-Sebab Kawin Hamil
Kawin hamil dapat terjadi di kalangan
masyarakat terutama di kalangan remaja pada saat ini
disebebkan antara lain :
1. Salah memberi pengertian tentang arti “Cinta”.
Konon hanya di Kepulauan Polinesia dan
Amerika Serikat cinta dianggap sebagai alasan
118
yang ukup untuk kawin, dan bahkan di Amerika
Serikat masih disangsikan apakah cinta yang
dibicarakan orang itu cinta sejati atau bukan, cinta
tiruan yang ditiru dari film-film atau tokok model
budaya lainnya.
Margaret Mead, mencatat bahwa di Irian
tidak terdapat kata untuk cinta dan tidak ada
pengertian tentang konsep itu. Dalam banyak
kebudayaan, cinta sebelum perkawinan dipandang
sebagai malapetaka nyata, nafsu manusia yang tak
terkendalikan meledak dan merusak usaha manusia
untuk menciptakan suatu eksistensi yang terhormat
dan tertib bagi dirinya serta keluarganya.
Hukum keluarga Yi, yang memerintah
Korea sampai negeri ini diduduki oleh Jepang pada
tahun 1910, secara khusus menyatakan bahwa
perkawinan yang berdasarkan cinta adalah tidak
sah dan hukum keras harus diberikan kepada
pelakunya.
Tetapi,
kebanyakan
kebudayaan
berpegang pada asas yang lebih manusiawi dan
119
menganjurkan adanya kemesraan sampai pada
tingkat
tertentu
atau
sekurang-kurangnya
keselarasan di antara suami istri dapat tercapai
guna menjadi landasan bagi pembentukan keluarga
kelak.
Dalam masyarakat yang menghargai cinta
suami istri, peranan cinta dalam perkawinan sering
disalahartikan. Kebanyakan orang berkata bahwa
mereka “kawin demi cinta” yang berarti bahwa
pemilihan pasangan mereka hampir sepenuhnya
atas
dasar
cinta.
Cinta
mungkin
juga
diperhitungkan dan memilih pasangan apalagi
faktor satu-satunya. Ungkapan lainnya mengenai
cinta yang sering terdengar diucapkan oleh mereka
yang sedang jatuh cinta adalah “cinta itu buta”,
sehingga kadang-kadang mereka yang sedang
dimabuk cinta menjadi lupa daratan.
2. Salah memberi pengertian tentang arti “Kebebasan
individu”.
3. Melemahkan arti penting dari lembaga perkawinan.
120
4. Kurang efektifnya proses sosialisasi di dalam
keluarga.
5. Melemahnya norma-norma tradisional tertentu
dalam masyarakat.
6. Bertambah canggihnya alat media komunikasi.
IX. Konsekwensi Kawin Hamil Bagi Para Pelakunya
Berbicara mengenai kawin hamil, terlintas
dalam pemikiran kita tak mungkin pelakunya hanya
perempuan saja tetapi tentu laki-laki juga terlibat
sebagai pelakunya yang di sampiang perempuan.
Sehingga konsekwensinya tentu lebih adil apabila di
tanggung dan dibebankan kepada kedua jenis kelamin
yang melakukan. Dari uraian mengenai makna
perkawinan dapat kita simpulkan bahwa dari sudut
sosial kemasyarakatan kawin hamil ini pada banyak
masyarakat merupakan suatu bentuk perkawinan yang
menyimpang. Sanksi-sanksi yang dijatuhkan oleh
masyasrakat tidak saja pada pihak perempuan tetapi
juga
terhadap
pihak
laki-laki,
121
walaupun
pada
kenyataannya lebih banyak pihak perempuan yang
menderita.
Selain itu, sanksi juga dijatuhkan pada anak
yang dilahirkan, padahal anak ini tidak tahu-menahu
tentang bagaimana bisa dia lahir dan mengapa dia
harus lahir. Jadi, apakah adil kalau anak ini juga
dibebani kesalahan dan kehilafan dari orang tuanya ?
Tetapi karena kawin hamil itu adalah suatu kejadian
yang menyimpang, walaupun sekarang nampaknya
sebagian masyarakat mencoba untuk menutup-nutupi
kejadian ini. Pada saatnya nanti kejadian ini perlu
diperhatikan secara seksama terutama kesadaran
masyarakat akan keberadaan hukum yang berlaku
umum telah demikian mendarah daging pada anggota
masyarakat. Sebagai contoh dari sudut hukum
sebetulnya telah ada sanksi hukum yang dapat
menjatuhkan kepada seseorang apabila orang tua
pihak orang tua merasa keberataan atas perbuatan
yang tertimpa kepada anaknya, misalnya KUHP pasal
287, pasal 290 dan seterusnya.
122
X. Cara Pencegahan Melembaganya Kawin Hamil di
Kalangan Remaja.
Pembinaan anak dan remaja merupakan bagian
dari upaya meningkatkan kualitas sumber daya
manusia (SDM) sebagai insan sejak dalam kandungan
sampai usia dewasa. Tujuan pembinaan anak dan
remaja adalah membentuk manusia Indonesia yang
berkualitas yaitu beriman dan bertaqwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, tangguh,
sehat, cerdas, patriotik, disiplin, kreatif, produktif dan
professional.
Pembinaan anak dan remaja yang merupakan
tanggung jawab orang tua atau keluarga, masyarakat,
sekolah, pemerintah, serta anak dan remaja sendiri,
sangat
menentukan
kelangsungan
hidup
serta
pertumbuhan dan perkembangan jasmani, rohani,
mental anak dan remaja sebagai kader penerus
perjuangan bangsa. Dalam hubungan ini, orang tua,
keluarga, masyarakat, anak dan remaja sendiri
123
merupakan pelaku utama, sedangkan pemerintah
berfungsi sebagai pendorong dan pembimbing serta
menciptakan
suasana
yang
menunjang
dan
menggalang kemitraan semua pelaku pembinaan anak
dan remaja dalam suatu gerakan nasional.
Sehubungan dengan petunjuk di atas, guna
mengatasi melembaganya kawin hamil di kalangan
remaja terutama, maka partisipasi dari berbagai pihak
sangat dibutuhkan.
Usaha-usaha yang dapat dilakukan adalah
antara lain :
1. Memberi pengertian yang tepat guna mengenai
masalah-masalah seksualitas di kalangan remaja
pada umumnya.
2. Lebih
mengefektifkan
ajaran-ajaran
agama,
larangan-larangan yang merupakan adat kebiasaan
yang turun-temurun telah menjadi pegangan yang
baik bagi kaum remaja.
3. Membuat perencanaan pemanfaatan waktu luang di
kalangan remaja yang lebih efektif dan bermanfaat
124
luas dengan memperhitungkan segi-segi psikologi,
sosiologis, dan lain sebagainya yang melekat pada
remaja-remaja bersangkutan.
125
DAFTAR PUSTAKA
Collins, Randall., Sociologi of Marriage & The Family,
Gender, Love and Property. Chicago: Nelson –
Hall, 1987.
Koenjaraningrat., Antropologi Sosial Budaya. Cetakan
Pertama. Jakarta: Penerbit Dian Rakyat, 1967.
Soekanto,
Soerjono., Sosiologi Keluarga, Cetakan
Pertama. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta, 1990.
126
PASANGAN BERWAWASAN
KESETARAAN (EGALITER)
(Pasangan Ideal di Masa Datang)
I.
Pendahuluan
Manusia tidak mungkin hidup sendiri tanpa
ditemani oleh manusia lain. Hal ini terutama
disebabkan oleh karena manusia mempunyai naluri
untuk senantiasa hidup dengan mempunyai kawan.
Pada sikap manusia normal, sejak dia dilahirkan
naluri untuk hidup berkawan pada dasarnya telah ada
dan dimiliki.
Hal lain pula yang memnyebabkan pentingnya
teman hidup bagi seorang manusia karena manusia
tidak dilengkapi dengan sarana mental dan fisik yang
memungkinkan manusia itu untuk dapat hidup sendiri.
127
Kebutuhan manusia akan kawan memiliki arti yang
berbeda-beda sesuai dengan fungsi, kegunaan dan
pendapat. Ada teman untuk bekerjasama dalam
menyelesaikan
suatu
bersenang-senang
tugas,
ada
teman
untuk
ada
juga
teman
untuk
dan
membentuk suatu keluarga.
Teman untuk membentuk suatu keluarga
adalah teman yang relatif sulit untuk ditemukan,
karena
teman
serupa
ini
bukan
untuk
suatu
kesepakatan atau untuk seketika saja, tetapi untuk
menjadi teman sampai masing-masing menutup mata
untuk selama-lamanya. Untuk mendapatkan teman
ataupun pasangan yang ideal dalam bentuk keluarga
pada prinsipnya memerlukan proses yang relatif lama
dan
cukup
berbelit-belit,
oleh
karena
akan
dipertemukan dua sosok individu yang masingmasing mempunyai berbagai hal yang relatif berbeda.
Selain itu, pembentukan keluarga melalui pernikahan
juga menimbulkan berbagai macam akibat yang
bukan saja dialami oleh kerabat-kerabat mereka. Pada
128
semua masyarakat, baik masyarakat Barat maupun
masyarakat Timur seyogyanya terdapat peraturanperaturan yang kompleks yang mengatur proses
pemilihan pasangan dan juga pernikahan, dan pada
setiap masyarakat juga biasanya proses pembentukan
keluarga melalui pernikahan, dan melalui tahapantahapan antara lain :
1. Tahapan perkenalan;
2. Tahapan berpacaran;
3. Tahapan pelamaran;
4. Tahapan pernikahan.
Pada tahapan-tahapan di atas seyogyanya pula
ada campur tangan pihak lain selain orang yang
langsung berkepentingan misalnya saja orang tua
mereka ataupun kerabat-kerabat mereka. Campur
tangan ini bisa pada semua tahapan tetapi ada kalanya
hanya pada tahapan tertentu saja.
Memang
banyak
pasangan
yang
akan
membentuk keluarga menganggap bahwa pemilihan
pasangan yang dilakukan oleh diri mereka masing-
129
masing merupakan suatu hal yang benar, tetapi
nampaknya banyak keputusan yang menyeluruh,
pilihan-pilihan
dan
alternatif-alternatif
perlu
dipertimbangkan mengingat keluarga sebagai unit
terkecil dari masyarakat luas tidak terhindar dari
perubahan-perubahan yang terjadi pada masyarakat
luas itu, baik secara lokal maupun masyarakat
internasional. Oleh sebab itu, dalam konteks ini
penulis mencoba mengungkapkan hal-hal apa saja
yang perlu diperhatikan dan dipertimbangkan pada
saat ini dan saat mendatang oleh pasangan yang akan
membentuk keluarga agar keluarga yang dibentuk itu
dapat langgeng sepanjang hayat hidup mereka. Untuk
itu, isu-isu yang akan dilontarkan pada konteks kali
ini adalah mengenai pasangan yang berwawasan
kesetaraan
(egaliter),
pembaca
merupakan
yang
menurut
isu-isu
yang
wawasan
perlu
dimasyarakatkan mengingat bentuk masyarakat kita
yang akan datang berkemungkinan lain dari bentuk
130
masyarakat yang kita alami pada saat ini dalam hal
hubungan antara anggota keluarga.
II. Prinsip-Prinsip dan Pandangan-Pandangan dalam
Pemilihan
Pasangan/Jodoh
yang
Dikenal
Masyarakat
Setiap masyarakat baik di Barat maupun di
Timur
mempunyai
larangan-larangan
terhadap
pemilihan pasangan/jodoh bagi anggota-anggotanya.
Pada masyarakat Jawa dari lapisan berpendidikan
(well–educated), di kota-kota hampir tidak ada
pembatasan
asal
saja
mereka
tidak
memilih
pasangan/jodoh dari saudara kandungnya sendiri
karena hal ini berarti sumbang (incest). Ada kelompok
masyarakat yang dilarang mencari pasangan / jodoh di
antara sesama orang yang mempunyai marga yang
sama, misalanya pada kelompok masyarakat Tapanuli
(Batak) di Sumatera Utara. Ada pula kelompok
masyarakat
yang
anggotanya
dilarang
memilih
pasangan/jodoh dari lapisan sosial yang berbeda
misalnya di India pada sistem kasta.
131
Selain
itu,
ada
pula
prinsip
pemilihan
pasangan/jodoh dari saudara sepupu baik di pihak
bapak maupun di pihak ibu, misalnya pada kelompok
masyarakat Bugis Makassar di Sulawesi Selatan,
selain itu pula, pada kelompok masyarakat Bugis
Makassar ada dua kecenderungan dalam memilih
pasangan/jodoh yang diingini berhubung dengan
gengsi sosial keluarga yaitu:
1. Bersifat Endogami, yaitu diinginkan sedapat
mungkin untuk memperkuat hubungan kerabat
yang telah ada.
2. Bersifat Kawin Naik, yaitu kawin dengan orang
yang dianggap memiliki status dan gengsi sosial
yang lebih tinggi (Al – Hadar, 1977: 39).
Yang paling dianggap ideal adalah jika kedua prinsip
di atas ini dapat terpenuhi sekaligus. Hal serupa ini
pada umumnya lebih berlaku pada gadis-gadis dari
pada terhadap laki-laki. Prinsip yang agak mirip juga
ditemui pada kelompok masyarakat Minangkabau di
Sumatera Barat. Pada kelompok masyarakat ini di
132
masa yang lampau, orang tua sudah cukup merasa
senang apabila mendapatkan menantu yang berbangsa
atau terkemuka walaupun menantunya itu sudah
sama-sama tua dengan bapak dari si gadis. Yang
dipikirkan bagi orang tua bukan harta yang akan
diperoleh dari perkawinan ini tetapi mendapat
keturunan yang baik, sehingga ada yang mengatakan
bahwa pada laki-laki yang dicari adalah bibitnya. Bagi
kelompok masyarakat Minangkabau, yang dianggap
sebagai contoh suatu masyarakat dengan sistem
matrilineal yang sangat spesifik tidaklah menjadi
kebiasaan
menyerahkan
bahwasanya
suatu
pengantin
pemberian
pada
laki-laki
pengantin
perempuan.
Pada beberapa daerah di Sumatera Barat justru
keluarga pengantin perempuan yang memberi hadiah
kepada
pengantin
laki-laki.
Tambah
berbangsa
seorang laki-laki tambah besar hadiahnya. Pada saat
ini, nampaknya bukan lagi hanya berbangsa, laki-laki
yang disenangi untuk menjadi pasangan tetapi dapat
133
berbentuk
hal-hal
lain
misalnya
bertitel
dan
berkedudukan atau berjabatan tinggi. Bagi gadis-gadis
di Minangkabau harta dari pihak suami mereka
tidaklah menjadi sesuatu yang sangat dibutuhkan
karena pepatah mereka mengatakan:
1. Kalau kurang bangsa, minta kepada nenek;
2. Kala kurang harta, minta kepada mamak;
3. Kalau kurang adat, minta kepada lumbago.
Pada
masyarakat
ini
dari
segi
materi,
perempuan mempunyai posisi yang tinggi karena
ketergantungan materi pada laki-laki relatif kecil
tetapi tentunya laki-laki yang akan menjadi pilihan
bukan juga sembarang laki-laki, dia juga harus
mempunyai
suatu
nilai
lebih
walaupun
tidak
berbentuk materi yang dimiliki.
Pada
dasarnya,
proses
pemilihan
pasangan/jodoh berlaku seperti sistem pasar dalam
ekonomi.
Sistem
ini
berbeda-beda
dari
satu
masyarakat ke masyarakat lainnya, tergantung pada
siapa
yang
mengatur
134
transaksinya,
bagaimana
peraturan penekanannya dan penilai yang relatif
mengenai berbagai macam kualitas (Goode, 1983: 65)
misalnya di Jepang dan Cina. Pada masa lampau pada
kaum ningratnya berlaku sistem bahwasanya yang
mengatur transaksi-transaksi pemilihan pasangan
dilakukan oleh tetua secara resmi, sah dan umum oleh
laki-laki meskipun yang membuat keputusan terakhir
biasanya kaum wanita tua. Demikian pula kelompok
Puritan di New England pada abad XVIII, bapak
sangat campur tangan dalam proses pembentukan
keluarga dari anak-anaknya baik pada anak laki-laki
lebih-lebih bagi anak perempuan (Scanzoni dan
Sacnzoni, 1981: 135) tetapi ada juga kelompok
masyarakat yang memberikan kebebasan bagi anak
perempuannya untuk mencari dan memilih serta
menentukan
sendiri
pasangannya
yaitu
pada
kelompok pendatang dari Prancis yang berimigrasi
dari Amerika Serikat pada pertengahan abad XIX
(Scanzoni dan Scanzoni, 1981: 136). Hal ini pula
biasanya
juga
menjadi
135
faktor
penentu
dalam
pemilihan
pasangan/jodoh
adalah
pendidikan,
usia/umur, agama dan ras (Scanzoni dan Scanzoli,
1981: 149 – 154).
Pendidikan adalah suatu resource dimana
orang-orang dapat mengemukakan sebagai alat tawar
menawar
dalam
pemilihan
pasangan/jodoh
dan
pendidikan itu juga sebagai indikator dari status
sosial. Banyak orang lebih menyukai untuk kawin
dengan orang yang mempunyai pendidikan yang sama
dengan diri mereka sendiri.
Usia/umur, pada tahun 1977 di antara 59 %
pasangan di Amerika Serikat yang saling mengawini
cenderung berumur sama atau berbeda antara laki-laki
dan perempuan dengan jarak tidak lebih dari empat
tahun. Hanya satu dari lima pasangan yang menikah
mempunyai suami yang lebih tua antara lima sampai
sembilan tahun dari pada umur si istri. Hanya 7 %
saja dari pasangan suami istri di Amerika Serikat di
mana suami lebih tua dari istri sepuluh tahun atau
136
lebih dari sepuluh tahun (Scanzoni dan Scanzoni,
1981: 150).
Agama,
data
yang
menjelaskan
tentang
perkawinan antara agama yang berbeda sangat tidak
lengkap tetapi dari data yang ada dan sangat dapat
ditarik kesimpulan bahwasanya pemilihan jodoh yang
diteruskan ke jenjang pernikahan dari mereka
cenderung meningkat atau bertambah khususnya
antara penganut agama Katolik dan Protestan.
Ras, dalam masalah ini nampaknya jarang ada
pengecualian,
orang
cenderung
untuk
mencari
pasangan/jodoh dan akhirnya menikah dengan orang
yang berasal dari kelompok ras yang sama dengan
dirinya.
Arti
ras
di
sini
dimaksudkan
untuk
menunjukkan pada perbedaan/jodoh terhadap orangorang dari kebangsaan yang lain dari kebangsaan
dirinya sendiri.
Selain hal-hal di atas, hal-hal lain juga yang
menjadi determinan dalam pemilihan pasangan/jodoh
adalah bahwasanya seorang wanita biasanya lebih
137
berpendidikan
dan
mempunyai
pekerjaan
yang
bermasa depan sangat baik serta cerah. Simbol-simbol
ini oleh para ahli Sosiologi Keluarga disebut sebagai
gejala “The Marriage Gradient” (perkawinan derajat
naik).
Faktor lain yang juga diperhitungkan orang
dalam hal pemilihan pasangan/jodoh ialah “cinta”.
Cinta dianggap sebagai suatu ancaman terhadap
sistem stratifikasi pada banyak masyarakat dan orangorang tua memperingatkan untuk tidak menggunakan
cinta sebagai dasar pemilihan pasangan/jodoh (Goode,
1983: 76).
Cinta merupakan ancaman besar bagi sistem
pelapisan sosial karena cinta dapat mengacaukan
rencana para pengatua adat untuk menghubungkan
dua garis keturunan atau warisan-warisan keluarga,
atau menghubungkan keluarga yang berkedudukan
tinggi
dengan
berkedudukan
rendah
sehingga
memalukan keluarga yang berkedudukan tinggi.
Karena
masyarakat
percaya
138
bahwa
milik/harta
kekayaan, kekuasaan, kehormatan, garis keturunan,
hubungan marga dan elemen-elemen keluarga lainnya
dalam semua masyarakat dianggap mengalir dari satu
generasi
ke
generasi
berikutnya
melalui
garis
keturunan, yang disatukan oleh perkawinan (Goode,
1983: 81). Oleh Karen itu, orang yang jatuh cinta
harus melawan badai amarah, kekuasaan, persaingan
dan ketakutan diri sendiri untuk menikah. Margaret
Mead mencatat bahwa di Irian tidak terdapat kata
untuk cinta dan tidak ada pengertian tentang konsep
itu (Wernick, 1987: 57).
Dalam banyak kebudayaan, cinta sebelum
perkawinan dipandang sebagai malapetaka nyata,
nafsu manusia yang tidak terkendalikan meledak dan
merusak usaha manusia untuk menciptakan suatu
eksistensi yang terhormat dan tertib bagi dirinya serta
keluarganya. Hukum keluarga Yi, yang memerintah
Korea sampai negeri ini caplok Jepang pada tahun
1910, secara khusus menyatakan bahwa perkawinan
yang berdasarkan cinta adalah tidak sah dan hukuman
139
keras harus diberikan kepada pelakunya. Demikian
pula halnya di Jepang dan di Cina kuno, pada
masyarakat dari lapisan atasnya, cinta juga dianggap
sebagai suatu tragedi atau setidak-tidaknya sesuatu
yang tidak sesuai dengan pemilihan orang tua dalam
pemilihan pasangan/jodoh seseorang (Goode, 1983:
81). Banyak cara yang dilakukan oleh masyarakat
untuk mengendalikan hubungan cinta antara lain
dengan pengawasan ketat misalnya orang-orang muda
sama sekali tidak diperbolehkan untuk berdua saja
atau berinteraksi secara akrab, atau sistem pemisahan
secara fisik antara perempuan dengan laki-laki pada
masyarakat Islam.
Apabila di satu pihak masyarakat tidak atau
kurang setuju dengan hadirnya cinta dalam pemilihan
pasangan/jodoh maka di pihak lain pada masyarakatmasyarakat tertentu yang kebudayaannya berpegang
pada asas yang lebih manusiawi dianjurkan adanya
kemesraan sampai ketingkat tertentu, atau sekurangkurangnya keselarasan di antara suami istri. Di
140
kepulauan Polinesia dan Amerika Serikat, cinta
dianggap sebagai yang berarti untuk pemilihan
pasangan / jodoh yang kelak akan di akhiri ke jenjang
perkawinan. Tetapi, walaupun demikian ternyata di
Amerika Serikat pun orang-orang masih sangsi
apakah cinta yang dibicarakan orang itu adalah cinta
sejati dan bukan cinta tiruan yang secara kurang sadar
diciplak dari film-film.
Berkenaan
mengenai
cinta,
ada
seorang
sarjana Sosiologi bernama Ira Reiss, menguraikan
tentang “Teori Roda Cinta”, menurutnya bahwa cinta
adalah lingkaran yang selalu berputar yang dimulai
adanya jalinan interaksi antara dua orang. Hubungan
ini kemudian berubah menjadi saling keterbukaan,
akhirnya menjadi saling ketergantungan. Adapun
yang dimaksudkan saling ketergantungan dalam arti
seseorang
tergantung
pada
orang
lain
dalam
memenuhi kebiasaannya, seperti kebutuhan akan
hadirnya seseorang sebagai tempat menceritakan
pikirannya, perasaannya, untuk bercanda, untuk
141
memenehui kebutuhan seksualnya. Bila kebiasaankebiasaan ini tidak terpenuhi, maka manusia akan
mengalami
kesepian
dan
frustasi.
Kebiasaan-
kebiasaan yang demikian cenderung mengekalkan
suatu hubungan, dan pada saat yang bersamaan pula,
berputarnya
roda
ini
dapat
terhenti
misalnya
dikarenakan adanya pertengkaran sehingga keserasian
di antara pelaku-pelaku terganggu dan menimbulkan
kemacetan
pada
perputaran
roda
cinta
tadi.
Kemacetan yang sangat fatal bisa menimbulkan
perpisahan atau perceraian antara dua insan yang
saling berketergantungan tersebut.
III. Perubahan-Perubahan
yang
Secara
Tidak
Langsung
Mempengaruhi
Pemilihan
Pasangan/Jodoh
Perubahan sosial adalah suatu gejala yang
pasti dialami oleh setiap masyarakat. Keluarga
sebagai unsur terkecil dari masyarakat pun tidak
terlepas dari perubahan sosial yang terjadi dalam
masyarakat. Menurut Ronald Lippit, yang dikutip dari
142
Merril dan Elliot, pendorong bagi perubahan keluarga
adalah berkembangnya kebudayaan materi, tingkat
penemuan dan inovasi teknologi, perbaikan fasilitas
transportasi, komunikasi, urbanisasi dan meluasnya
industrialisasi (Khairuddin, 1985: 90). Dengan adanya
perubahan-perubahan
paling
umum
ini,
masalah-masalah
dijumpai
adalah
yang
terjadinya
perkembangan-perkembangan dalam masyarakat di
mana
salah
satunya
adalah
perubahan
yang
berpengaruh terhadap lembaga keluarganya.
Hal-hal yang berada di luar lembaga keluarga
yang dapat mempengaruhi lembaga keluarga sehingga
berubah dari keadaan semula antara lain perubahan
pada sistem ekonomi, perubahan teknologi, perubahan
cara pandang suatu masyarakat.
Salah satu akibat dipisahkannya kegiatankegiatan ekonomi dari lingkungan keluarga atau
komunitas adalah hilangnya beberapa fungsi keluarga
dalam
sistem
ekonomi.
Keluarga
tidak
lagi
merupakan suatu unit produksi maka anggota-
143
anggotanya ada yang pergi meninggalkan keluarga
untuk mencari pekerjaan dalam pasaran tenaga kerja.
Implikasi yang fundamental dari perubahan sistem
ekonomi yang terutama dipaksanakan oleh tuntutantuntutan mobilitas keluarga adalah terjadinya proses
individualisasi dan isolasi keluarga batih (Smelser
dalam Myron Weiner, 1984: 64). Hal lain pula yang
diakibatkan oleh mobilitas salah satu anggota
keluarga karena harus mengisi lapangan pekerjaan
yang berkemungkinan terdapat jauh dari tempat
tinggalnya adalah melemah atau melonggarnya
hubungan sosial dengan anggota-anggota kerabat
luasnya maupun keluarga batihnya.
Hubungan
dengan
anggota
seketurunan
menjadi lemah atau pun pecah, hal ini pun
menyebabkan
kebiasaan-kebiasaan
adat
yang
biasanya dilakukan bersama-sama menjadi semakin
tidak mungkin dilaksanakan sebagaimana biasanya.
Sementara itu juga, hubungan antara orang tua dengan
anak-anaknya juga mengalami perubahan. Seorang
144
bapak
tidak
leluasa
lagi
dapat
menurunkan
keterampilan yang dimilikinya pada anak-anaknya.
Keadaan yang lebih fatal lagi adalah melunturnya
kewibawaan ekonomi seorang bapak, sementara
karena laki-laki berkurang pengaruhnya, di pihak lain
kaum wanita terbuka kesempatan untuk juga bekerja
di luar rumah tangganya di mana hal ini dapat
ditelusuri dari bertambah banyaknya wanita yang
bekerja di pabrik-pabrik, perusahaan-perusahaan dan
di kantor-kantor (Kairuddin, 1985: 94). Perubahan ini
juga telah menghancurkan paham kuno yang terdapat
bahwa laki-laki harus bekerja di luar rumah dan
perempuan tempatnya di dapur. Selain itu pula
perubahan yang terjadi ini menyebabkan para istri dan
para wanita mempunyai derajat kebebasan yang sama
dengan suami mereka dan para lelaki dalam hal
tertentu.
Bidang lainnya yang juga mempengaruhi
keberadaan lembaga keluarga adalah perubahan dan
perkembangan teknologi yang lebih canggih dari
145
semula.
Masuknya
hasil-hasil
teknologi
dalam
kehidupan rumah tangga terutama pada kelompok
wanita dari lapisan tertentu. Hasil-hasil industri tidak
hanya menggantikan barang-barang keperluan rumah
tangga tetapi juga dalam penerapan penghematan
tenaga kerja sehingga bertambah banyak waktu luang
wanita dalam pekerjaan rumah tangga semakin
bertambah kesempatan beraktifitas di luar rumah
tangganya baik untuk mecari nafkah tambahan
maupun untuk kegiatan sosial.
Sementara perubahan-perubahan di bidang
fisik sedang berlangsung bersamaan pula terjadi
perubahan dalam cara pandang, sikap dan perilaku
masyarakat. Nilai-nilai lama sebagai dasar cara
pandang terhadap suatu gejala yang ada di dalam
masyarakat digeser oleh nilai-nilai yang lebih modern.
Misalnya dalam hubungan sosial antara anggota
keluarga,
peranan
pandangan
bapak
nampaknya
yang
lebih
sudah
beranggapan
penting
tidak
146
dari
cocok
bahwa
pada
lagi
ibu,
untuk
dipertahankan. Pandangan bahwa pekerjaan rumah
tangga seorang ibu tidak produktif lagi perlu dikaji
lebih lanjut, pandangan bahwa wanita subordinasi dari
laki-laki kurang tepat lagi.
Akhirnya dapat disimpulkan dari uraian di atas
bahwa walaupun bagaimana perubahan-perubahan
sistem ekonomi, sistem sosial, politik, teknologi dan
lain sebagainya mempengaruhi hidup individuindividu dan keluarga, dan pada akhirnya pula akan
mempengaruhi salah satu aspek dari fungsi keluarga
yaitu sistem pemilihan pasangan/jodoh karena hal ini
merupakan perangkat yang ada dalam lembaga
keluarga.
IV. Penutup: Aspek Pemilihan Pasangan/Jodoh Pada
Masa-Masa Mendatang
Keluarga
sebagai
suatu
lembaga
sosial
mempunyai tujuan yang jelas, struktur yang jelas,
mempunyai
susunan
kegiatan
dari
anggota-
anggotanya yang harus dilaksanakan oleh setiap
anggotanya, mempunyai nilai-nilai pokok yang
147
menjadi pedoman bagi para anggotanya, mempunyai
cara-cara
tertentu
untuk
memperkembangkan
bentuknya, namun demikian keluarga tidak luput dari
perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat
baik lokal maupun internasional. Salah satu pengaruh
dari perubahan ini terhadap salah satu aspek yang ada
dalam fungsi keluarga yaitu dalam hal pemilihan
pasangan/jodoh.
Adanya perubahan-perubahan dalam sistem
ekonomi, di bidang teknologi yang mengena pada
kehidupan keluarga turut mempengaruhi proses
pemilihan pasangan/jodoh, ditambah lagi dengan di
masyarakatkannya ideologi baru atau pun pandanganpandangan baru mengenai hubunga sosial antara lakilaki dan perempuan.
Cara-cara pemilihan pasangan/jodoh yang
pada masa lampau biasa dilakukan oleh masyarakat,
bergeser ke arah yang lain dan lebih sesuai dengan
kondisi masyarakat pada saat ini. Kalau dulu pada
pemilihan pasangan/jodoh, kaum prialah yang lebih
148
aktif, nampaknya kaum wanita pun tidak boleh
berdiam diri tetapi harus juga menentukan siapa-siapa
saja yang pantas untuk menjadi teman hidupnya. Pada
saat-saat mendatang, wawasan kesetaraan (egaliter)
antara dua orang yang hendak membentuk keluarga
nampaknya akan berperan.
149
DAFTAR PUSTAKA
Al-Hadar, Jamine, S., Perkawinan dan Perceraian di
Indonesia. Suatu Studi Antar Kebudayaan.
Jakarta: LDFK – UI.
Goode, William J., Sosiologi Keluarga, Jakarta: Bina
Aksara, 1983.
Khairuddin, H., Sosiologi
Nurcahya, 1985.
Keluarga,
Yogyakarta:
Scanzoni & Scanzoni., Men, Women and Change. New
York: McGraw Hill Book Company, 1981.
Weiner, Myron (edt.)., Modernization. Voice of America
From Letures.
Wernick, Robert., Perilaku Manusia : Keluarga. Jakarta:
Tira Pustaka, 1987.
150
IDEOLOGI GENDER SEBAGAI
LANDASAN PEMBAGIAN PERAN GUNA
MENCIPTAKAN INSAN PEMBANGUNAN
INDONESIA
I.
Pendahuluan
Menghadapi program pembangunan jangka
panjang tahap II di mana Indonesia mencanangkan
untuk tinggal landas maka sudah pada tempatnya
apabila semua sumber daya, sarana, dana dan
pemikiran kita arahkan demi terciptanya tahapan
pembangunan
tersebut.
Sumber
daya
yang
dimaksudkan bisa berupa modal atau material dan
bisa pula berupa manusia-manusia yang merupakan
warga negara. Manusia-manusia ini ditinjau dari jenis
kelaminnya yang terdiri atas laki-laki dan perempuan.
Dalam landasan ideal yaitu Pancasila, landasan
151
kostitusional
yaitu
UUD
1945
dan
landasan
operasional yaitu GBHN tidak ada pernyataan yang
menunjukkan
adanya
perbedaan
kewajiban,
kesempatan dan kemampuan antara warga negara
yang terdiri dari laki-laki dan perempuan.
Dalam tiga dasawarsa terakhir ini pengakuan
terhadap pentingnya peranan wanita dalam proses
pembangunan semakin meningkat. Sejalan dengan
meningkatnya pengakuan akan pentingnya peranan
wanita dalam pembangunan, juga telah meningkatkan
kesadaran
dan
pengakuan
terhadap
kelemahan
perencanaan pembangunan dalam memperhatikan
secara penuh dan memperhitungkan secara tepat dan
sistematis
sumbangan
pembangunan
maupun
wanita
terhadap
dampak
proses
pembangunan
terhadap wanita.
Peningkatan peran wanita yang sedang gencar
diusahakan muncul karena peran wanita yang tertuang
dalam GBHN 1988 baik hak, kewajiban maupun
kesempatan di segala bidang kehidupan dan segenap
152
kegiatan pembangunan diakui sama dengan laki-laki
pada kenyataannya belum tercapai sepenuhnya. Apa
penyebabnya, bangaimana mengatasinya, dan siapa
yang menanganinya merupakan serentetan pertanyaan
yang saling terkait yang tidak mudah untuk dijawab.
Tetapi,
untuk
sementara
penulis
mencoba
mengemukakan salah satu penyebab mengapa antara
kebijaksanaan yang digariskan dengan kenyataan,
pelaksanaannya di lapangan tidak bisa sinkron atau
sejalan. Hal ini menurut penulis disebabkan oleh
adanya suatu paham yang telah mendarah daging dan
secara
turun-temurun
disosialisasikan
dari
satu
generasi ke generasi lainnya. Paham itu adalah apa
yang oleh para ahli di istilahkan sebagai ideologi
gender.
II. Ideologi Gender, Pengertian dan Ruang Lingkup
Dalam kamus, gender sering diartikan sebagai
jenis kata yang membedakan laki-laki dengan
perempuan. Ilmuan yang berasal dari Barat maupun
153
negara
yang
sedang
berkembang
mempunyai
kesamaan pandangan tentang gender ini. Menurut
Heyzer (1991), “Gender is socially coustructed roles
ascribed to men and women”. Dalam studi perempuan
gender dimaksudkan sebagai perbedaan antara lakilaki dan perempuan secara sosial yang mengacu pada
unsur emosional, kejiwaan dan sosial. Sedangkan
Lerner (1986), mendefinisikan gender sebagai suatu
tindak-tanduk yang sesuai dengan jenis kelamin
tertentu pada suatu masyarakat pada waktu tertentu.
Dengan demikian, gender mengacu pada pengertian
yang khas yaitu seorang laki-laki tidak sama dengan
seorang perempuan dalam berbagai dimensi. Ada pula
yang
menggambarkan
dan
menjelaskan
gender
sebagai pemisah antara ruang domestik maternal
dalam keluarga dan ruang publik di mana laki-laki
menjadi aktor utamanya yaitu Bates dan kawankawan ( 1983 ).
Secara langsung maupun tidak langsung
akhirnya gender membentuk pembagian kerja yang
154
mengalokasikan perempuan pada jenis pekerjaan
padat
karya,
rumit,
sedangkan
laki-laki
pada
pekerjaan yang padat pikir. Hal ini menimbulkan
budaya, struktur sosial dan sikap patriarki yang
menempatkan perempuan pada posisi subordinat di
berbagai bidang kehidupan seperti ekonomi, sosial
termasuk partisipasi. (Burton, 1985 dan Heyer, 1991).
Dengan konstruksi gender ini selain membentuk
perbedaan-perbedaan juga membentuk polaritas dua
kutub yaitu di mana kutub yang satu tidak sama
dengan kutub yang lain.
Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan
bahwa gender bukanlah merupakan sifat bawaan yang
dibawa sejak lahir tetapi lebih merupakan hasil
rekayasa manusia itu sendiri. Keadaan biologis yang
berbeda dengan laki-laki dan perempuan itulah yang
dipergunakan untuk menentukan perbedaan dan peran
gender. Seperti juga yang dikemukakan oleh para
penganut teori nurture bahwa perbedaan dalam
pembagian peran antara laki-laki dan perempuan
155
ditentukan oleh perbedaan biologis mereka. Pendapat
ini pun diragukan oleh para penganut teori nurture
yang berpendapat bahwa apa yang disebut sifat
kewanitaan adalah hasil pemupukan masyarakat
melalui suatu sistem pendidikan. Bahkan menurut
penganut teori nature ini pula usaha untuk membagi
manusia
menjadi
dua
golongan
laki-laki
dan
perempuan dan usaha untuk membedakan kedua
golongan manusia ini dalam peran sosial mereka yang
merupakan suatu tindakan politik yang direncanakan.
Golongan yang lebih kuat yakni kaum laki-laki selalu
melihat keunggulannya sebagai sesuatu yang alamiah
(Budiman, 1985). Dari saduran Arif Budiman ini
akhirnya dapat ditarik kesimpulan bahwa paham
gender ini dikembangkan dan di internalisasikan oleh
orang-orang di lingkungan tempat manusia itu
dibesarkan. Agar paham gender ini diterima dan
menjadi bagian dari sistem nilai pada masyarakat
bersangkutan maka diperlukan pranata sosial yang
menunjangnya. Pranata sosial ini, antara lain:
156
1. Adat istiadat;
2. Kebudayaan;
3. Lingkungan
dan
pranata
membesarkan
dan
mendidik anak;
4. Struktur yang berlaku;
5. Kekuasaan (Hesti R. Wijaya, 1991).
Mengakui
gender
tidak
terlepas
dari
personalitas laki-laki dan perempuan, hingga saat ini
dikenal dengan adanya streotipe yang membedakan
keduanya. Timbulnya stereotipe ini berawal dari
beberapa aspek. Sejarah adalah salah satu di
antaranya.
Perkembangan
sejarah
menunjukkan
ketergantungan hidup perempuan pada laki-laki
(Budiman, 1991 dan Hesti R. Wijaya, 1991 ). Di
dalam kebudayaan dominasi laki-laki di satu pihak
subordinasi perempuan di pihak lain membentuk
stereotipi perempuan yang tersubordinat.
Secara obyektif memang ada butir-butir
stereotipi perempuan yang bernilai positif seperti
tertera pada skema 1 di bawah ini, tetapi tentunya ada
157
pula stereotipi laki-laki yang juga bernilai positif
seperti yang tertera pada skema 2.
Skema 1:
Butir stereotipi perempuan lebih positif dibandingkan
dengan laki-laki.
Perempuan
Laki-Laki
 Tidak suka
menggunakan kata-kata
kasar.
 Suka berbicara
 Halus dan lembut
 Peka terhadap perasaan
orang lain
 Religius
 Sangat memperhatikan
dandanan sendiri





 Suka berkata kasar
 Tak banyak bicara
 Kasar
 Tidak
menyadari
perasaan orang lain
 Tidak begitu religious
 Tidak begitu tertarik
dengan
dandanan
sendiri
Kebiasaan rapih
 Tak terbiasa rapi
Membutuhkan
 Butuh
pengamanan
pengamanan diri
sedikit
Bicara pelan
 Bicara keras
Menyenangi seni dan  Tidak menyenangi seni
literatur
dan literatur
Mudah mengepresikan  Tidak
mudah
perasaan
mengepresikan
perasaan
158
Skema 2 :
Butir-butir stereotipi laki-laki lebih positif di bandingkan
dengan perempuan.
Laki-Laki






Perempuan
Tidak tergantung
Sangat agresif
Tidak emosional
Menutup emosi
Sangat obyektif
Tidak
mudah
dipengaruhi






 Sangat dominan

 Menyukai matematika 
dan ilmu pengetahuan




Aktif
Kompetitif
Logis
Orientasi pada publik




 Terampil bisnis











Lugas
Tahu bertindak
Tegar
Berjiwa advonturir
Mudah dan pandai
mengambil keputusan
159
Tergantung
Tidak agresif
Sangat emosional
Tidak
menutup
emosi
Kurang obyektif
Sangat mudah
dipengaruhi
Sangat submisif
Tidak menyukai
matematika dan
ilmu pengetahuan
Pasif
Tidak kompetitif
Tidak logis
Orientasi pada
rumah
Tidak terampil
bisnis
Berbelit-belit
Tidak tahu bertindak
Mudah tersinggung
Bukan advonturir
Sasah membuat
keputusan
 Pandai memimpin
 Tidak pandai
memimpin
 Percaya diri
 Tidak percaya diri
 Ambisius
 Tidak ambisius
 Bebas bicara tentang  Tidak bebas bicara
seks
tentang seks
(Bates dan kawan-kawan, 1983).
III. Pencurahan Gender dalam Kehidupan SehariHari
Menurut Whitehead dan Conway (1986),
Kamel (1988) dan Matsui (1989), tentang pengalaman
ideology
gender
terjadi
di
mana-mana.
Adat
kebiasaan dan kebudayaan menyebar luaskan baik
pada generasi yang sama atau pun diestafetkan antar
generasi di rumah tangga, masyarakat, bangsa dan
bahkan di pasaran tenaga kerja dan di tempat kerja.
Laki-laki dan perempuan diharapkan memegang
peranan tertentu. Kalau peran itu tidak dilaksanakan,
maka ia akan dianggap melawan norma atau pun adat.
Apa pun karakteristik yang diberikan perempuan
160
memperoleh peran dan tugas secara kultur dianggap
inferior dengan yang lain. Gender tercurahkan pada
berbagai sikap, tradisi, norma dan nilai, dengan
akibatnya perempuan berada dalam keadaan di
subordinasi, didominasi atau pun dieksploitasi.
Tidak
saja
laki-laki,
perempuan
pun
menginternalisasi perbedaan gender sebagai suatu
keharusan dan tragis, dalam beberapa hal internalisasi
perempuan tak lebih sebagai obyek laki-laki yang
membuat
perempuan
terhormat
yang
kemandirian
dan
terbius
semu.
pada
Mereka
mendambakan
kedudukan
kehilangan
laki-laki
akan
membawanya pada kebahagiaan yang oleh Dowling
(1980) diistilahkan sebagai Cinderella Complex.
Gender telah menunjukkan pengaruhnya dalam
seluruh aspek kehidupan di hampir seluruh aspek
kehidupan di hampir seluruh masyarakat, tidak hanya
dalam aspek sosial, ekonomi, politik tetapi juga dalam
aspek agama, bahasa dan peralatan yang dipakai.
Untuk
lebih
jelasnya
161
bagaimana
mencurahkan
ideology gender dalam berbagai aspek kehidupan
manusia dapat di telusuri dari contoh-contoh berikut
ini:
1. Dalam Keluarga
Dimulai dari kelahiran, bayi laki-laki lebih
dikehendaki dari pada bayi perempuan pada
beberapa
keluarga
karena
beberapa
alasan
misalnya anak laki-laki penerus keturunan, anak
laki-laki
berpeluang
mempunyai
pekerjaan
terhormat di dunia publik, sedangkan anak
perempuan peluang terbesarnya adalah bekerja di
rumah.
Sejak kecil, anak laki-laki dididik berbeda
dengan anak perempuan yaitu dengan pembagian
pekerjaan yang tidak sama. Demikian pula dalam
hal alat-alat bermain. Anak perempuan diberikan
permainan yang berkaitan dengan reproduksi
(boneka), pemeliharaan rumah tangga (masakmasakan) dan sebagainya. Dalam sosialisasi model
162
peranan, anak perempuan dididik mencontoh
identitas ibunya.
Dalam
pengantin
perkawinan,
laki-laki,
berbeda
umumnya
dengan
pengantin
perempuan dituntut keperawanannya. Apabila telah
menjadi suami istri yang terikat dalam lembaga
perkawinan, mereka pun
mempunyai peranan
yang berbeda. Perempuan bertanggung jawab
mengasuh dan mendidik anak, menyelesaikan
pekerjaan rumah tangga dan melayani suami,
sedangkan suami bertugas mencari nafkah. Bahkan
bagi istri yang juga bekerja di luar rumah tangga
tetap diharapkan peranannya di sektor domestik
tidak terlalaikan. Ada tuntutan peran ganda bagi
perempuan tetapi tidak bagi laki-laki.
2. Di Tempat Kerja
Perempuan masih berada di posisi yang
rendah baik sebagai buruh, karyawan, pekerja
keluarga atau sebagai pekerja keluarga yang tidak
di upah, yang berarti hidupnya masih bergantung
163
pada orang lain. Kalau dia bekerja di sektor formal
seringkali diperlakukan kurang manusiawi, tidak
mengetahui hak-haknya, diupah lebih rendah dari
laki-laki dan sebagainya.
Demikian juga sebagai pegawai negeri atau
pun
karyawan perusahaan swasta, mereka
dianggap
lebih
pantas
departemen-departemen
menjabat
eselon
teratas
untuk
tertentu
sangat
bekerja
di
dan
yang
kecil
pula
persentasenya.
3. Dalam Pendidikan
Pendidikan mempunyai kostribusi besar
dalam melestarikan gender. Sebagai contoh bahwa
peranan gender, ibu bekerja di sektor domestik dan
bapak disektor publik, diajarkan pada anak-anak
baik pada lingkungan keluarga maupun di dalam
pendidikan formal. Misalnya dalam buku pelajaran
bahasa Indonesia di sekolah dasar telah di
tanamkan stereotipi sebagai berikut :
a. Siti bermain boneka – Didi bermain bola.
164
b. Ibu memasak di dapur – Bapak ke Kantor.
Hak istimewah yang tersedia bagi laki-laki
merupakan suatu yang lumrah dan diterima sebagai
kewajaran misalnya anak laki-laki mendapatkan
prioritas untuk melanjutkan ke sekolah yang lebih
tinggi ketimbang anak perempuan, lebih-lebih
apabila ekonomi lemah.
4. Dalam Berorganisasi
Organisasi Dharma Wanita adalah salah
satu ekspresi gender dalam organisasi, di mana
peran perempuan sebagai istri dan ibu merupakan
inti kegiatannya. Sedangkan dalam organisasi di
mana
anggotanya
terdiri
dari
laki-laki
dan
perempuan, jumlah perempuan mungkin saja bisa
banyak sebagai anggota tetapi pengurus-pengurus
inti biasanya lebih banyak laki-laki. Kalau pun
perempuan
jadi
pengurus,
paling-paling
menduduki posisi sebagai bendahara atau seksi
komsumsi, di mana posisi ini merupakan perluasan
segi domestik saja.
165
5. Dalam Media Massa
Sosok perempuan juga muncul dalam
media massa tetapi munculnya tidak kurang dalam
peran sebagai ibu rumah tangga misalnya pada
iklan
Rinso
atau
iklan-iklan
alat-alat
dan
kebutuhan-kebutuhan rumah tangga lainnya. Dan
yang lebih komersil lagi perempuan banyak
dipergunakan secara sensual.
6. Dalam Proses Pembangunan
Karena dianggap inferior, perempuan sering
tidak diperhitungkan keberadaannya. Di banyak
negara secara kenyataan masih kurang perencanaan
pembangunan yang memperhatikan kebutuhan
perempuan misalnya tempat penitipan bayi bagi
ibu bekerja, peluang-peluang kerja bagi perempuan
baik yang masih gadis maupun yang sudah
berumah tangga. Kalau pun sudah direncanakan
pembangunan bagi perempuan, seringkali dalam
pelaksanaannya justru tidak menguntungkan bagi
166
perempuan itu sendiri (Wijaya, 1991), hal ini
terjadi pula dan dialami juga dalam masyarakat
kita.
IV. Penutup
Setelah menyimak dengan seksama uraian
mengenai pengertian gender dan pencurahannya
dalam berbagai aspek kehidupan kita, maka pada
pemikiran penulis kita harus sudah memulai untuk
merubah pola pikir kita apabila kita hendak
mensukseskan pembangunan nasional kita di masamasa yang akan datang. Karena seperti tertera pada
UUD 1945 pada pasal 27 dinyatakan bahwa:
1. Segala warga negara bersama kedudukannya di
dalam hukum dan pemerintahan dan wajib
menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan
tidak ada kecualinya.
2. Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan
penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
Sedangkan
mengenai
persamaan
hak,
kewajiban, kesempatan dan kedudukan yang sama
167
antara laki-laki dan perempuan secara lebih tegas dan
spesifik dinyatakan dalam GBHN 1988 bidang
“Peranan Wanita Dalam Pembangunan Bangsa”,
wanita baik sebagai warga negara maupun sebagai
sumber insani bagi pembangunan mempunyai hak,
kewajiban, kesempatan yang sama dengan pria di
segala bidang kehidupan bangsa dalam segenap
kegiatan pembangunan.
Apa yang diamanatkan dalam GBHN (1988)
itu selanjutnya menjadi acuan dalam melaksanakan
tugas kita di bidang masing-masing. Keberhasilan kita
dalam mengembangkan amanat GBHN itu sangat
tergantung
pada:
Pertama,
pemahaman
dan
penghayatan kita tentang hakikat amanat tersebut.
Kedua, kepekaan dan kepedulian kita terhadap
masalah-masalah aktual yang dihadapi wanita. Ketiga,
kemampuan kita menjabarkan amanat GBHN itu ke
dalam strategi dan langkah nyata yang tepat dan
terarah (Luhulima, 1991).
168
Apakah
landasan-landasan
secara
ketatanegaraan ini sudah cukup untuk memberikan
kesempatan
bagi
perempuan
Indonesia
untuk
berpartisipasi penuh dan aktif dalam pembangunan
nasional ? Menurut pemikiran penulis nampaknya
belum
cukup
karena
kita
sudah
terlanjur
tersosialisasikan oleh paham gender yang salah makna
itu. Oleh sebab itu, kita perlu meninjau kembali
keberadaan paham tersebut pada masyarakat kita.
Cara yang mudah dilaksanakan untuk mengurangi
sedikit demi sedikit pengaruh paham yang salah
tersebut adalah dimulai dalam keluarga-keluarga kita
dalam mensosialisasikan anak-anak kita.
Sebagaimana kita ketahui bahwa masyarakat
itu merupakan kumpulan dari keluarga-keluarga, oleh
sebab itu, penulis optimis apabila perubahan pola
pikir mengenai cara memandang dua jenis kelamin
anggota keluarga, nampaknya akan memberikan hasil
yang positif. Kita harus sudah mulai menanamkan
pengertian yang positif bahwa antara anak laki-laki
169
dan anak perempuan ada perbedaan, tetapi perbedaan
itu hanya dari sudut biologisnya saja. Perbedaan
biologis ini adalah hal yang kodrati, dalam hal hak,
kemampuan, dan kesempatan dalam berbagai bidang
adalah sama karena bukan kodrati.
Apabila kita mulai merubah pola piker kita
pada sekarang ini, maka pada generasi selanjutnya
paham itu sudah tidak begitu kuat lagi mempengaruhi
pemikiran kita tentang keberadaan dua jenis kelamin
manusia, sehingga apa yang diharapkan oleh tujuan
Pembangunan Nasional yaitu menciptakan manusia
Indonesia seutuhnya dapat tercapai secapatnya.
170
DAFTAR PUSTAKA
Budiman, Arief, 1985., Pembagian Kerja Secara Seksual.
Penerbit PT Gramedia, Jakarta.
Burton, C., 1985., Subordination : Feminism and Social
Theory. George Allen & Unwin Ltd., Sidney.
Illich, Ivan., 1983. Gender., Marrion Boyars Publisher
Ltd., London.
Vianello, Mino dan Renata Siemienska, 1990., Gender
Enequality. Sage Studies in International
Sociology, London.
Wijaya,
Hesti, 1991., Ideologi Gender. Makalah
disampaikan
pada
Seminar
Nasional
Pengembangan Studi Wanita. Jakarta.
171
PEREMPUAN, GENDER DAN IPTEKS
I.
Pendahuluan
Ketertinggalan kelompok perempuan dalam
pembangunan telah ditemukan sejak tahun 1970
melalui
beberapa
penelitian
tentang
dampak
pembangunan yang dilakukan di beberapa negara
Asia terutama dalam bidang pertanian di mana
perbaikan-perbaikan
dalam
bidang
pertanian
menimbulkan dampak yang berbeda terhadap kerja
perempuan dan laki-laki (Boserup, 1970).
Oleh karena itu, dilakukan berbagai usaha dan
strategi
untuk
memperbaiki
172
kondisi
kelompok
perempuan agar mereka pun dapat memberikan
konstribusi
mereka
pada
berbagai
kegiatan
pembangunan.
Kepedulian terhadap kondisi ketertinggalam
kelompok
perempuan
dalam
keterlibatan
pada
kegiatan pembangunan tersebut diberikan melalui
perencanaan atau strategi baik secara internasional
maupun nasional yang dikenal dengan Perempuan
Dalam Pembangunan (Women in Development).
Strategi ini dalam pelaksanaannya lebih menfokuskan
perhatian pada kelompok perempuan. Oleh karena
sasaran khususnya hanya kelompok perempuan maka
ada berbagai pihak berpendapat bahwasanya strategi
ini pun akan tetap melahirkan ketimpangan antara
kelompok perempuan dan kelompok laki-laki di mana
kemungkinan akan muncul pula ketertinggalan di
kalangan kelompok laki-laki.
Melalui hasil pengkajian dari pihak maupun
pemerhati
masalah
ketertinggalan,
ketimpangan
antara kelompok perempuan dan kelompok laki-laki
173
maka lahirlah pula suatu strategi yang dikenal sebagai
Pengarusutaman Gender (Gender Mainstreaming),
suatu strategi yang bertujuan melibatkan kelompok
perempuan dan kelompok laki-laki secara setara, adil
dalam berbagai kegiatan pembangunan.
Pemasyarakatan
pembangunan,
konsep
gender
dan
Pengarusutamaan
Gender
pada
berbagai kalangan yang dilakukan cukup lama, juga
belum memberikan hasil seperti yang diharapkan. Di
sana sini masih ada saja perlakuan tidak adil dan tidak
setara terhadap kelompok perempuan pada berbagai
bidang di berbagai kalangan.
Ketika kegiatan yang memberikan hasil nyata
masih berskala kecil, dilakukan di sekitar keluarga
dan rumah tangga, perempuan masih mempunyai dan
diperhitungkan konstribusinya secara setara dengan
anggota keluarga dan rumah tangga lainnya (Tilly, L.
A. dan Scott J. W., 1978), tetapi ketika kegiatan yang
memberikan hasil nyata tersebut lebih berskala besar,
maka tidak lagi dilakukan dalam rumah tangga tetapi
174
di tempat khusus dan telah melibatkan orang lain
dalam hal modal dan lain sebagainya, maka
perempuan tidak diperhitungkan lagi malahan tergeser
secara tidak adil (Sanderson, 1993 ).
II. Tergersenya
Perempuan
Pembangunan
Dalam
Kegiatan
Kendati perang dunia kedua telah berhasil
mengubah profil dunia, namun para perencana
pembangunan
masih
sangat
dipengaruhi
oleh
anggapan bahwa pembangunan berarti pertumbuhan
ekonomi. Laju pertumbuhan pesat yang dikehendaki
dapat dicapai melalui industrialisasi. Cara yang
banyak digunakan yaitu pemusatan perhatian pada
upaya yang merangsang faktor industrialisasi antara
lain penggunaan teknologi (Ndraha, 1987).
Beberapa temuan penelitian di berbagai negara
menunjukkan bahwa teknologi diterapkan untuk
mempercepat proses pembangunan, justru kelompok
perempuan
yang
tersingkirkan
175
dari
kegiatan
pembagunan yang mereka sudah geluti misalnya
dalam pembangunan/modernisasi di bidang pertanian.
Ketika teknologi diidentikkan dengan ilmu
pengetahuan maka semakin jauhlah akses perempuan
dalam keterlibatannya pada kegiatan pembangunan
karena IPTEK seyogyanya dapat dilaksanakan oleh
mereka-mereka yang berpendidikan relatif tinggi
sedang kondisi kelompok perempuan dalam bidang
pendidikan masih sangat memprihatinkan. Kondisi
memprihatinkan ini dicatat oleh UNESCO, bahwa dua
per tiga atau 876 juta pendudukan dunia usia 15 tahun
ke atas masih menderita buta huruf yang mayoritas
adalah perempuan. UNESCO mencatat pula bahwa
kondisi ini lebih disebabkan oleh minimnya akses
pendidikan bagi perempuan karena kemiskinan.
Menurut direktur UNESCO, hampir 70 persen
rakyat miskin di dunia adalah perempuan, di negara
berkembang perempuan menempati segmen penduduk
yang paling miskin, berpendidikan rendah, sangat
tidak sehat dan paling termarginalisasikan.
176
Kondisi
rendahnya
penduduk
kelompok
perempuan sehingga mereka tidak dapat secara
optimal memberikan konstribusinya dalam kegiatan
pembangunan akibatnya antara lain mereka menjadi
miskin, penyebab utamanya adalah bertahannya
budaya
“Patriarkhi”
pada
kelompok-kelompok
masyarakat tertentu. Budaya Patriarkhi ini masih
melekat hampir di seluruh langkah kehidupan yang
menempatkan perempuan sebagai bawahan laki-laki.
Apabila pembangunan diartikan sebagai suatu
kegiatan untuk semua orang, adil dan setara di mana
setiap warga negera apakah laki-laki atau perempuan
seyogyanya mempunyai hak dan kesempatan yang
sama untuk mencapai kehidupan yang lebih baik,
maka kondisi yang dialami oleh kelompok perempuan
layak untuk diperdulikan dan ditanggulangi sehingga
perempuan pun dapat memberikan konstribusi yang
sama dan setara dengan laki-laki dalam berbagai
bidang kelangsungan hidup.
177
III. Gender dan IPTEK
Ketika gender diartikan sebagai perbedaan
antara laki-laki dan perempuan yang dikonstruksikan
secara sosial dan kultural, maka dikenallah perbedaan
ciri-ciri sifat laki-laki dan perempuan. Perbedaan ini
selanjutnya dikembangkan menjadi suatu ciri-ciri
yang sangat spesifik pada kedua kelompok tersebut di
mana laki-laki dianggap kuat, rasional sedangkan
perempuan lemah lembut, emosional. Oleh karena
itulah ilmu pengetahuan dan teknologi ditetapkan
menjadi domain laki-laki, karena IPTEK di dasari
oleh
ilmu
pengetahuan
yang
penuh
dengan
rasionalitas. Padahal ciri-ciri dan sifat gender tidak
selalu melekat dan malah dapat dipertukarkan, karena
cirri-ciri dan sifat ini bukan bawaan sejak lahir tetapi
disosialisasikan kepada individu-individu laki-laki
dan perempuan tersebut. Jadi seyogyanya ilmu
pengetahuan dan teknologi bukanlah sesuatu yang
terbawa sejak lahir tetapi dapat diajarkan pada laki-
178
laki maupun perempuan asalkan ada akses untuk
dapat mencapainya.
Namun
kenyataan
yang
dihadapi
oleh
kelompok perempuan ketika berhadapan dengan
IPTEK, pada umumnya masyarakat telah terlanjur
beranggapan bahwa IPTEK adalah dunia laki-laki.
Padahal
kenyataan
perempuan
lain
mempunyai
menunjukkan
peranan
penting
bahwa
dalam
pembangunan sosial ekonomi, peranan perempuan
dapat dikatakan sebagai dasar dari produksi pangan,
energi dan air, perawatan kesehatan, pendapatan
keluarga, dan memberikan pengalaman awal masa
kanak-kanak membentuk platform bagi pembangunan
selanjutnya.
Dihadapkan dengan perkembangan dunia,
peranan-peranan perempuan tersebut harus dilengkapi
dan ditunjang oleh IPTEK agar berhasil dan tepat
guna, tetapi untuk dapat kelompok perempuan ini juga
menguasai IPTEK setara dengan kelompok laki-laki
sampai sekarang masih mengalami hambatan dan
179
tantangan antara lain di tengah masyarakat dari sisi
budaya dan juga dalam tataran Policy Gender
Mainstreaming
itu
susah
diterapkan.
Sehingga
kesetaraan gender dalam bidang IPTEK pun masih
mengalami kendala-kendala yang harus dipecahkan
oleh semua pihak karena perempuan bukan hanya
pengguna IPTEK tetapi juga pengembang IPTEK,
seharunya pula ikut dalam pengembangan IPTEK
diharapkan keadilan dalam bidang gender juga akan
merambah ke dunia IPTEK. Perbedaan-perbedaan
antara laki-laki dan perempuan bukan dijadikan
sebagai ajang perseteruan tetapi menjadi ajang saling
mengisi satu sama lain.
IV. Penutup
Ketika
gender
diartikan
sebagai
suatu
konstruksi sosial tentang kedudukan sosial, tentang
pembagian peran, tentang pengambilan keputusan,
tentang
hubungan
sosial
antara
laki-laki
dan
perempuan, tentang perlakuan-perlakuan terhadap
laki-laki dan perempuan yang dilandasi oleh nilai-
180
nilai budaya yang dianut dan menjadi panutan
masyarakat di mana laki-laki dan perempuan tersebut,
maka
dapat
disimpulkan
bahwa
gender
pada
kelompok masyarakat tertentu tidak sama dengan
kelompok masyarakat lainnya. Oleh karena itu,
perbedaan-perbedaan nilai budaya yang dianut dan
menjadi panutan ini hendaknya diperhitungkan dalam
penerapan dan pengembangan IPTEK pada setiap
kelompok masyarakat.
Keberlakuan
nilai
patriarkhi
yang
diamsumsikan berlaku umum pada setiap manusia
perlu ditengarai keberlakuannya karena tidak menutup
kemungkinan keberlakuan berbeda antara kelompok
masyarakat yang satu dengan yang lainnya.
Sehubungan menurut keberlakuan konsep
gender seyogyanya ada perbedaan kebutuhan praktis
dan kebutuhan strategis antara kelompok laki-laki dan
kelompok perempuan dalam rangka menciptakan dan
pengembangkan IPTEK, perbedaan kebutuhan ini pun
perlu diperhitungkan.
181
Komitmen
memperhatikan
dan
dunia
tentang
keharusan
mempertimbangkan
dimensi
gender dalam pengembangan dan pemanfaatan ilmu
pengetahuan
dan
teknologi
sebagai
dasar
pembangunan yang terpusat pada manusia maka
seyogyanya perlu diciptakan dan dikembangkan
teknologi tepat guna yang sejalan dengan kondisi
gender pada kelompok-kelompok masyarakat tertentu.
182
DAFTAR PUSTAKA
Jurnal Perempuan No. 50. Pengaruh Utama Gender.
Jakarta : Yayasan Jurnal Perempuan, 2006.
Koeswara, Jajak., Tantangan dan Hambatan bagi Ilmuan
Wanita Dalam Masa Studi Perempuan. Jakarta
: Yayasan Pengembangan Studi Wanita, 1992.
Ndraha, Taliziduhu., Pelayanan Masyarakat. Jakarta : PT.
Bina Aksara, 1987.
Sanderson, Stephen K., Sosiologi Makro ; Sebuah
Pendekatan Terhadap Realitas Sosial. Jakarta :
CV. Radjawali Pers, 1993.
Wullur,
Vera., Program WIST Sebagai Upaya
Meningkatkan Peran Perempuan Dalam
IPTEK. Dalam Warta Studi Perempuan
(halaman
11).
Jakarta
:
Yayasan
Pengembangan Studi Perempuan, 1992.
183
Apabila seseorang perempuan
mengandungkan janin dalam
rahimnya, maka beristighfarlah para
malaikat untuknya. Allah S.W.T
mencatatkan baginya setiap hari
dengan 1,000 kebajikan dan
menghapuskan 1,000 kejahatan.
Sumber:
http://hadisrasullulah.blogspot.com/201
0/05/himpunan-hadis-hadis-rasullulahwanita.html
184
Download