BAB II KAJIAN TEORI 2.1. Komunikasi Antarbudaya Mengingat betapa kuatnya hubungan antara kebudayaan dan komunikasi, Edward T. Hall (1960) membuat sebuah definisi, yakni; “Kebudayaan adalah komunikasi dan komunikasi adalah kebudayaan.” Hall sebenarnya mengatakan bahwa hanya manusia berbudaya yang berkomunikasi, dan ketika manusia berkomunikasi dia dipengaruhi oleh kebudayaannya. Manusia menyatakan dan mungkin juga menginterpretasikan kebudayaannnya kepada orang lain, dan sebaliknya, orang lain menginterprestasikan kebudayaannya (Liliweri, Alo. 2009 ; 361). Hal yang sama dijelaskan oleh William B. Hart II dalam buku Dasar - Dasar Komunikasi Antarbudaya, dimana pembicaraan tentang komunikasi antarbudaya tak dapat dielakkan dari pengertian kebudayaan (budaya). Komunikasi dan kebudayaan tidak sekedar dua kata tetapi dua konsep yang tidak dapat dipisahkan, “harus dicatat bahwa studi komunikasi antarbudaya dapat diartikan sebagai studi yang menekankan pada efek kebudayaan terhadap komunikasi. Sedangkan Alo Liliweri mendefinisikan komunikasi antarbudaya yang paling sederhana adalah menambah kata budaya ke dalam pernyataan “komunikasi antara dua orang/lebih yang berbeda latar belakang kebudayaan”. Dalam beberapa definisi komunikasi di atas, kita juga dapat memberikan definisi komunikasi antarbudaya yang paling sederhana, yakni komunikasi antarpribadi yang dilakukan oleh mereka yang berbeda latar belakang kebudayaan. Dengan pemahaman yang sama, maka komunikasi antarbudaya dapat diartikan melalui beberapa pernyataan sebagai berikut: 1. Komunikasi antarbudaya adalah pernyataan diri antar pribadi yang paling efektif antara dua orang yang saling berbeda latar belakang budaya. 7 2. Komunikasi antarbudaya merupakan pertukaran pesan-pesan yang disampaikan secara lisan, tertulis, bahkan secara imajiner antara dua orang yang berbeda latar belakang budaya. 3. Komunikasi antarbudaya merupakan pembagian pesan yang berbentuk informasi atau hiburan yang disampaikan secara lisan atau tertulis atau metode lainnya yang dilakukan oleh dua orang yang berbeda latar belakang budayanya. 4. Komunikasi antarbudaya adalah pengalihan informasi dari seorang yang berkebudayaan tertentu kepada seorang yang berkebudayaan lain. 5. Komunikasi antarbudaya adalah pertukaran makna yang berbentuk simbol yang dilakukan dua orang yang berbeda latar belakang budayanya. 6. Komunikasi antarbudaya adalah proses pengalihan pesan yang dilakukan seorang melalui saluran tertentu kepada orang lain yang keduanya berasal dari latar belakang budaya yang berbeda dan menghasilkan efek tertentu. 7. Komunikasi antarbudaya adalah setiap proses pembagian informasi, gagasan atau perasaan di antara mereka yang berbeda latar belakang budayanya. Proses pembagian informasi itu dilakukan secara lisan dan tertulis, juga melalui bahasa tubuh, gaya atau tampilan pribadi, atau bantuan hal lain di sekitarnya yang memperjelas pesan (Liliweri, Alo. 2003 ; 9). 2.2. Perbedaan Persepsi antara Komunikator dengan Komunikan Komunikasi, apapun bentuk dan konteksnya, selalu menampilkan perbedaan iklim antara komunikator dengan komunikan. Ini merupakan asumsi dan bahkan prinsip utama dari komunikasi, terutama komunikasi antarbudaya. Karena ada perbedaan iklim budaya tersebut maka pada umumnya perhatian teoritis atau praktis dari komunikasi selalu difokuskan pada pesan-pesan yang menghubungkan individu atau kelompok dari dua situasi budaya yang berbeda. Jika kita mengandaikan bahwa komunikasi 8 yang efektif itu adalah variabel tidak bebas (Y) maka perbedaan antarbudaya tersebut secara alamiah dapat diakui sebagai variabel bebas (X yang kadang-kadang justru merupakan jurang yang memisahkan komunikator dengan komunikan. X Y Kebudayaan ______________ Komunikasi X Y Perbedaan antarbudaya _________ Komunikasi yang efektif Prinsip-prinsip yang terkandung dalam perbedaan itu umumnya mengimplikasikan bahwa hambatan komunikasi antarbudaya acapkali tampil dalam bentuk perbedaan persepsi terhadap norma-norma budaya, pola-pola berpikir, struktur budaya, dan sistem budaya. Dengan kata lain kalau kita ingin agar komunikasi antarbudaya menjadi sukses maka hendaklah kita mengakui dan menerima perbedaan-perbedaan budaya sebagaimana adanya dan bukan sebagaimana yang kita kehendaki (Liliweri, Alo. 2003 ; 16). 2.3. Etnosentrisme Satu kesulitan adalah kecenderungan kita untuk melihat orang lain dan perilaku mereka melalui kacamata kultur kita sendiri. Etnosentrisme adalah kecenderungan untuk mengevaluasi nilai, kepercayaan, dan perilaku dalam kultur sendiri sebagai lebih baik, lebih logis, dan lebih wajar daripada dalam kultur lain (DeVito, Joseph A., 2011 ; 533). Etnosentrisme merupakan "paham" di mana para penganut suatu kebudayaan atau suatu kelompok suku bangsa merasa lebih superior daripada kelompok lain diluar mereka. Hal ini dapat membangkitkan sikap "kami" dan "mereka" (Liliweri, Alo. 2003 ; 138). Kecenderungan etnosentrisme adalah melihat budaya yang kita miliki sebagai pusat alam semesta, yakni sebagai realitas sejati yang 9 mempengaruhi semua komunikasi interkultural, termasuk hubungan antaretnik. Ini dapat dilihat dengan jelas pada definisi etnosentrisme ; Porter dan Samovar (1997:10) menyatakan sumber utama perbedaan budaya dalam sikap adalah etnosentrisme, yaitu kecenderungan memandang orang lain secara tidak sadar dengan menggunakan kelompok kita sendiri dan kebiasaan kita sendiri sebagai kriteria untuk segala penilaian. Makin besar kesamaan kita dengan mereka, makin dekat mereka kepada kita; makin besar ketidaksamaan, makin jauh mereka dari kita. Kita cenderung melihat kelompok kita, negeri kita, budaya kita sendiri, sebagai yang paling baik, sebagai yang paling bermoral. Pandangan ini menuntut kesetiaan kita yang pertama dan melahirkan kerangka rujukan yang menolak eksistensi kerangka rujukan yang lain. Pandangan ini adalah posisi mutlak yang menaikan posisi yang lain dari tempatnya yang layak bagi budaya yang lain (Mulyana, Deddy & Rakhmat, Jalaluddin. 2005 ; 76 - 77). Sedangkan budaya tertentu mempunyai pandangan realitas yang berbeda - beda. Budaya mungkin jelas dan terlihat atau sebaliknya kurang terlihat. Namun dapat ditelaah ketika orang mulai berkomunikasi dan berhubungan satu dengan lainnya. Selain itu, budaya setiap individu yang tergabung dalam suatu etnis/suku tertentu mempunyai pandangan realitas tersendiri. Hal ini dikatakan sebagai pandangan dunia (world view) , berkaitan pula dengan kepercayaan, nilai - nilai, dan sikap (Chew, Jim. 1993 : 4). Pandangan Dunia (World View), Kepercayaan, Nilai - Nilai, Sikap Pandangan dunia merupakan unsur budaya yang mempunyai konsep dan uraiannya abstrak, namun unsur ini merupakan salah satu unsur terpenting dalam aspek - aspek perseptual komunikasi antarbudaya. Pandangan dunia berkaitan dengan orientasi suatu budaya terhadap hal hal kenyataan (realitas) seperti Tuhan, kemanusiaan, alam alam semesta, dan masalah - masalah filosofis lainnya yang berkenaan dengan konsep 10 kenyataan (realitas). Pendek kata, pandangan dunia kita membantu kita untuk mengetahui posisi dan tingkatan kita dalam alam semesta. Isu - isu pandangan dunia bersifat abadi dan merupakan landasan paling mendasar dari suatu budaya. Efeknya seringkali tak kentara dalam hal - hal yang tampak nyata dan remeh seperti pakaian, isyarat, dan pembendaharaan kata (Mulyana, Deddy & Rakhmat, Jalaluddin. 2005 ; 28). Sama halnya dengan Jim Chew yang menjelaskan untuk mengetahui pandangan dunia, kita perlu tahu bahwa masyarakat tersebut memiliki pandangan tentang realitas. Sehingga pertanyaannya apa yang merupakan realitas bagi masyarakat tersebut ? Bagaimana realitas tersusun menurut masyarakat tersebut ? Dimana dalam suatu wilayah terdapat masyrakat yang hidup dan memberikan pandangan - pandangannya dalam melihat realitas (Chew, Jim. 1993 : 4). Hal ini akan menjadi lebih jelas ketika kita dapat memahami Konsep Fakta Sosial. Landasan pemikiran Durkheim mengenai masyarakat adalah pandangannya mengenai suatu masyarakat yang hidup. Disitu ada manusia - manusia yang berpikir dan bertingkahlaku dalam hubungan satu sama dengan lain. Manusia - manusianya disebut individu, sedangkan pikiran - pikiran yang mereka keluarkan, dan tingkah-laku mereka disebut gejala, atau fakta individual. Dalam berpikir dan bertingkah-lau manusia dihadapkan pada gejala - gejala, atau fakta fakta sosial yang seolah - olah sudah ada di luar diri para individu yang menjadi warga masyarakat tadi. Fakta - fakta sosial mempunyai kekuatan memaksa para individu untuk berpikir menurut garis - garis dan bertindak menurut cara - cara tertentu. Contohnya adalah bahasa suatu fakta sosial yang mempunyai kekuatan memaksa sangat umum, dan individu yang mencoba menyeleweng dari aturan tata bahasa akan dihukum dengan ejekan dan akan dianggap sebagai orang yang ridak tahu sopan - santun (Koentjaraningrat. 1980 : 87 - 88). Pandangan dunia mempengaruhi kepercayaan, nilai, sikap, dan banyak aspek budaya lainnya. Dengan cara - cara yang tak terlihat tetapi nyata terasa, pandangan dunia sangat mempengaruhi komunikasi 11 antarbudaya, oleh karena sebagai anggota suatu budaya setiap pelaku komunikasi mempunyai pandangan dunia yang tertanam dalam pada jiwa yang sepenuhnya dianggap benar dan ia otomatis mengganggap bahwa pihak lainnya memandang dunia sebagaimana ia memandangnya (Mulyana, Deddy & Rakhmat, Jalaluddin. 2005 ; 29). Ketika berbicara tentang kepercayaan, secara umum kepercayaan dapat dipandang sebagai kemungkinan - kemungkinan subjektif yang diyakini individu bahwa suatu objek atau peristiwa memiliki karakteristik - karakteristik tertentu. Kepercayaan melibatkan hubungan antara objek yang dipercayai dan karakteristik - karakteristik yang membedakannya. Derajat kepercayaan kita mengenai suatu peristiwa atau suatu objek yang memiliki karakteristik - karakteristik tertentu menunjukan tingkat kemungkinan subjektif kita dan konsekuensinya, juga menunjukan kedalaman atau intensitas kepercayaan kita (Mulyana, Deddy & Rakhmat, Jalaluddin . 2005 ; 26). Menurut Jim Chew untuk mengetahui kepercayaan kita perlu tahu bahwa masyarakat memiliki pandangan tentang kebenaran. Sehingga pertanyaannya apa yang merupakan kebenaran bagi masyarakat tersebut? Apa saja yang dianggap benar oleh masyarakat tersebut? Sedangkan mengenai nilai - nilai, menurut Jim Chew untuk mengetahui nilai - nilai, kita perlu tahu bahwa masyarakat memiliki pandangan tentang kebaikan. Sehingga pertanyaannya apa yang merupakan kebaikan bagi masyarakat tersebut? Apa saja yang dianggap baik oleh masyarakat tersebut? Nilai - nilai adalah aspek evaluatif dari sistem - sitem kepercayaan, nilai dan sikap. Dimensi - dimensi evaluatif ini meliputi kualitas - kualitas seperti kemanfaatan, kebaikan, estetika, kemampuan memuaskan kebutuhan, dan kesenangan. Meskipun setiap orang mempunyai suatu tantanan nilai yang unik, terdapat pula nilai - nilai yang cenderung menyerap budaya. Nilai - nilai ini dinamakan nilai - nilai budaya. Nilai - nilai budaya umumnya normatif dalam arti bahwa nilai nilai tersebut menjadi rujukan seorang anggota budaya tentang apa yang baik dan apa yang buruk, yang benar dan yang salah, yang sejati dan palsu, 12 positif dan negatif, dan sebagainya. Kepercayaan dan nilai memberikan kontribusi bagi pengembangan dan isi sikap. Sikap merupakan suatu kecenderungan yang diperoleh dengan cara belajar untuk merespon suatu objek secara konsisten. Sikap itu dipelajari dalam suatu konteks budaya. Bagaimanapun lingkungan kita, lingkungan itu akan turut membentuk sikap kita, kesiapan kita untuk merespons, dan akhirnya perilaku kita (Mulyana, Deddy & Rakhmat, Jalaluddin . 2005 ; 27). Menurut Jim Chew untuk mengetahui perilaku, kita perlu tahu bahwa masyarakat memiliki kebiasaan melakukan tindakan. Sehingga pertanyaannya apa yang nyata dilakukan oleh masyarakat tersebut ? 13