BAB II

advertisement
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA BERPIKIR,
DAN HIPOTESIS
A. Kajian Pustaka
1. Teori Belajar
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), belajar adalah berusaha
memperoleh kepandaian atau ilmu (Hardini dan Dewi, 2012: 3). Menurut Gulo
2008: 8) belajar adalah suatu proses yang berlangsung di dalam diri seseorang
yang mengubah tingkah lakunya, baik tingkah laku dalam berpikir, bersikap, dan
berbuat. Sedangkan menurut Purwanto (2013: 43), belajar adalah proses untuk
membuat perubahan dalam diri siswa dengan cara berinteraksi dengan lingkungan
untuk mendapatkan perubahan pada aspek kognitif , afektif, dan psikomotorik.
Beberapa teori belajar yang digunakan dalam penelitian ini yaitu:
a. Teori Jean Piaget
Piaget merupakan salah seorang tokoh yang disebut sebagai pelopor
aliran konstruktivisme. Tahapan perkembangan intelektual menurut Piaget
disajikan pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1 Tahapan Perkembangan Intelektual Individu Menurut Piaget
Usia
Gambaran
Tahap (Tahun)
SensoriBayi bergerak dari tindakan reflex instinktif pada saat lahir
Motor
0 s/d 2 sampai permulaan pemikiran simbolis. Bayi membangun
suatu pemahaman tentang dunia melalui pengkoordinasian
pengalaman-pengalaman sensor dengan tindakan fisik.
Pra
Anak mulai mempresentasikan dunia dengan kata-kata dan
Operasion 2 s/d 7 gambar-gambar.
Kata-kata
dan
gambar-gambar
al
menunjukkan adanya peningkatan pemikiran simbolis dan
melampaui hubungan informasi sensor dan tindakan fisik.
Operasion
Pada tahap ini anak dapat berpikir secara logis mengenai
al Konkret 7 s/d 11 peristiwa-peristiwa yang konkrit dan menklasifikasikan
benda-benda ke dalam bentuk-bentuk yang berbeda.
Operasion
Anak remaja berpikir dengan cara yang lebih abstrak dan
al Formal
>11 logis. Pemikiran lebih idealistik.
(Rahyubi, 2012: 126-135)
8
9
Salah satu sumbangan pemikiranya yang banyak digunakan sebagai
rujukan untuk memahami perkembangan kognitif individu yaitu teori tentang
tahapan perkembangan intelektual individu. Berdasarkan perkembangan
intelektual Piaget, siswa kelas XI MIA SMA Negeri 1 Karanganyar berada
pada tingkat operasional formal (11 tahun keatas). Pada tahap tersebut siswa
mampu bekerja secara sistematis, menganalisis, menarik kesimpulan, berpikir
abstrak dan logis dalam mengkontruksi pengetahuannya. Siswa dalam
mempelajari materi termokimia menggunakan model pembelajaran problem
solving dan problem posing yang mengharuskan siswa aktif untuk
mengembangkan dan mengkronstruksi pengetahuannya melalui penyelesaian
masalah yang diberikan oleh guru maupun yang diajukan oleh siswa.
b. Teori Belajar Vygotsky
Salah satu konsep dasar pendekatan konstruktivisme dalam belajar
adalah adanya interaksi sosial individu dengan lingkungannya (Baharuddin,
2010: 124). Ada dua konsep penting pada teori belajar Vygotsky, yaitu Zone
Proximal Development (ZPD) dan scaffolding. Zone Proximal Development
(ZPD) adalah merupakan jarak antara tingkat perkembangan sesungguhnya
yang didefinisikan sebagai kemampuan pemecahan masalah secara mandiri
dan tingkat perkembangan potensial yang didefinisikan sebagai kemampuan
pemecahan masalah di bawah bimbingan orang dewasa atau melalui
kerjasama dengan teman sejawat yang lebih mampu. Scaffolding merupakan
pemberian sejumlah bantuan kepada peserta didik selama tahap-tahap awal
pembelajaran, kemudian mengurangi bantuan dan memberikan kesempatan
untuk mengambil alih tanggung jawab yang semakin besar setelah ia dapat
melakukannya. Scaffolding merupakan bantuan yang diberikan kepada peserta
didik untuk belajar dan memecahkan masalah. Bantuan tersebut dapat berupa
petunjuk, dorongan, peringatan, menguraikan masalah ke dalam langkahlangkah pemecahan, memberikan contoh, dan tindakan-tindakan lain yang
memungkinkan peserta didik itu belajar mandiri (Cahyono, 2010: 443).
Pembelajaran kimia pada materi termokimia menggunakan model
pembelajaran problem solving dan problem posing sesuai dengan teori
10
Vygotsky karena pada model pembelajaran problem solving terjadi interaksi
sosial antar siswa melalui kerjasama teman sebaya untuk memecahkan
masalah atau mencari informasi dari topik yang sedang dibahas, dimana
mereka bisa bertukar pendapat, pikiran atau informasi satu sama lain dalam
suatu kelompok kerja. Sedangkan pada model pembelajaran problem posing
terjadi interaksi sosial pada saat siswa menukarkan masalah yang dibuat oleh
kelompoknya dengan kelompok lain dan terjadi kegiatan tutor teman sebaya,
yaitu apabila ada kelompok yang tidak dapat menyelesaikan masalah yang
mereka dapatkan dari kelompok lain, maka kelompok yang membuat masalah
menjelaskan dan membantu penyelesaian masalah saat diskusi kelas
berlangsung.
c. Teori Belajar Bermakna Ausubel
Teori Ausubel menekankan pada belajar bermakna. Belajar bermakna
merupakan suatu proses dikaitkannya informasi baru pada konsep-konsep
yang relevan yang terdapat dalam struktur kognitif seseorang. Menurut
Ausubel, belajar dapat diklasifikasikan ke dalam dua dimensi. Dimensi
pertama berhubungan dengan cara informasi atau materi pelajaran yang
disajikan pada siswa melalui penerimaan atau penemuan. Dimensi kedua
menyangkut cara bagaimana siswa dapat mengaitkan informasi itu pada
struktur kognitif yang telah ada. Struktur kognitif ialah fakta, konsep, dan
generalisasi yang telah dipelajari dan diingat oleh siswa (Dahar, 2011: 94)
Menurut Ausubel dan Novak (1997) dalam Dahar (2011: 98 - 99), ada
tiga kebaikan dari belajar bermakna, yaitu:
1) Informasi yang dipelajari secara bermakna lebih lama dapat diingat
2) Informasi yang tersubsumsi mengakibatkan peningkatan diferensiasi
dari
subsumber-subsumber,
jadi
memudahkan
proses
belajar
berikutnya untuk materi pelajaran yang mirip
3) Informasi yang dilupakan sesudah subsumsi obliteratif meninggalkan
efek residual pada subsumber sehingga mempermudah belajar hal-hal
yang mirip.
11
Inti dari teori Ausubel tentang belajar ialah belajar bermakna. Bagi
Ausubel, belajar bermakna merupakan suatu proses dikaitkannya informasi
baru pada konsep-konsep yang relevan yang terdapat dalam struktur kognitif
seseorang (Dahar, 2011: 95). Informasi atau pengetahuan baru yang diterima
siswa harus sesuai dengan kemampuannya dan relevan dengan struktur
kognitif yang dimilki siswa. Pelajaran yang akan diajarkan di kelas hendaknya
dihubungkan dengan konsep yang sudah dimiliki siswa, sehingga konsep yang
baru mudah diserap dan diingat oleh siswa.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa belajar bermakna sangat
penting dalam pembelajaran kimia khususnya pada materi termokimia karena
pada pembelajaran materi tersebut menggunakan model pembelajaran problem
solving dan problem posing yang mengharuskan siswa menguasai konsep
stoikiometri yang merupakan materi prasyarat dan sebagai pengetahuan awal
siswa untuk dapat menyelesaikan masalah maupun membuat masalah yang
berhubungan dengan termokimia.
2. Pembelajaran Problem Based Learning
Problem Based Learning (PBL) adalah pembelajaran berbasis masalah.
Pada pembelajaran PBL dimulai dengan adanya masalah yang dipilih oleh siswa
atau guru. Kemudian siswa mendalami permasalahan tersebut dengan ilmu
pengetahuan yang dimilikinya. Oleh karena itu pemilihan masalah yang akan
dibahas harus permasalahan yang aktual, menarik dan bersinggungan dengan
kehidupan nyata peserta didik.
Menurut Savery (2006: 5), PBL merupakan pendekatan pembelajaran yang
berpusat pada pelajar (learner-centerded) yang memberikan kesempatan atau
wewenang kepada siswa untuk melakukan penyelidikan, menggabungkan teori
dan praktek, dan menggunakan pengetahuan dan keterampilannya untuk
menghasilkan solusi dalam memecahkan masalah.
Karakteristik dari Problem Based Learning (PBL), yaitu: 1) peran dari
tutor adalah sebagai fasilitator dalam pembelajaran, 2) tanggungjawab dari siswa
yaitu mengarahkan dan mengatur dirinya sendiri dalam belajarnya, dan 3) hal-hal
12
yang perlu diperhatikan adalah dalam membentuk masalah dalam model ini tidak
memerlukan banyak petunjuk karena untuk mendorong siswa menemukan
konsepnya sendiri (inquiry) (Savery, 2006: 15).
Pembelajaran Problem Based Learning (PBL) terdiri dari model
pembelajaran problem solving dan model pembelajaran problem posing.
a. Model Pembelajaran Problem Solving
Model pembelajaran problem solving menurut Hamdani (2011: 84)
merupakan suatu cara penyajian pembelajaran dengan mendorong siswa untuk
mencari dan memecahkan suatu masalah dalam rangka pencapaian tujuan
pembelajaran. Proses problem solving didasarkan pada pengetahuan,
pemahaman dan keterampilan siswa yang telah dimiliki sebelumnya dengan
menggunakan langkah-langkah yang sesuai untuk menemukan suatu jawaban
dari pokok permasalahan yang dihadapinya.
Menurut Gagne (1985) dalam Mulyasa (2013: 111). , kalau seorang
peserta didik dihadapkan pada suatu masalah, pada akhirnya mereka bukan
hanya sekedar memecahkan masalah, tetapi juga belajar sesuatu yang baru.
Idealnya aktivitas pembelajaran tidak hanya difokuskan pada upaya
mendapatkan pengetahuan sebanyak-banyaknya, melainkan juga bagaimana
menggunakan segenap pengetahuan yang didapat untuk menghadapi situasi
baru atau memecahkan masalah-masalah khusus yang ada kaitannya dengan
bidang studi yang dipelajari. Hakikat pemecahan masalah adalah melakukan
operasional prosedur urutan tindakan, tahap demi tahap secara sistematis,
sebagai seorang pemula (novice) memecahkan suatu masalah (Wena, 2010:
52). Schrader (1987: 518) mendeskripsikan problem solving sebagai sesuatu
yang dilakukan seseorang ketika seseorang tersebut tidak tahu apa yang
dilakukan untuk mencapai sebuah tujuan. Menggunakan problem solving
membutuhkan proses kognitif yang tinggi dalam analisis, sintesis, dan evaluasi.
Selain itu, menurut Cildir dan Nazan (2011: 2494) problem solving
membutuhkan pengalaman dan keahlian sehingga guru dapat mengetahui
kondisi negative seperti prasangka, miskonsepsi, dan kurangnya keterampilan
operasional.
13
Dalam proses kegiatan belajar mengajar, guru memberikan suatu
masalah kepada siswa sesuai topik yang sedang dibahas, kemudian siswa
mengembangkan kemampuan berpikir kritis dalam menganalisis dan
memecahkan masalah secara berkelompok atau individu.
Langkah-langkah pemecahan masalah menurut Polya (1957: 16), yaitu:
1) Pemahaman masalah
Pemahaman masalah terhadap apa yang diketahui dan apa yang
ditanyakan pada masalah tersebut.
2) Pembuatan rencana
Penyusunan beberapa rencana/cara yang cocok untuk menyelesaikan
masalah tersebut.
3) Penerapan rencana
Menerapkan dan mengaplikasikan rencana/cara tersebut kedalam
untuk penyelesaian masalah.
4) Penelaahan kembali
Memeriksa kembali apakah sudah benar kesimpulan dari penyelesaian
masalah tersebut.
Menurut Dogru (2008: 2), langkah-langkah dalam proses belajar
mengajar dengan menggunakan model pemecahan masalah, yaitu: 1)
memahami masalah, 2) mengumpulkan informasi yang berkaitan dengan
pemecahan
masalah,
3)
solusi
dan
menafsirkan
informasi
tentang
permasalahan, 4) menentukan solusi penyelesaian, 5) menentukan solusi yang
paling efektif, 6) mempersiapkan laporan dan evaluasi pemecahan masalah.
Langkah pembelajaran problem solving yang digunakan pada
penelitian ini adalah:
1) Orientasi masalah
Pada langkah ini, guru memberikan permasalahan kepada siswa.
2) Pengumpulan data
Siswa mengumpulkan berbagai informasi dan data dari berbagai
sumber yang relevan dengan masalah yang sedang dianalisis melalui
percobaan atau diskusi kelompok.
14
3) Analisis data
Pada langkah ini, siswa menganalisi masalah yang sedang dihadapi
dengan informasi atau sumber yang relevan yang mereka dapatkan
untuk menyelesaikan masalah
4) Penyajian hasil penyelesaian masalah
Pada langkah ini, siswa mempresentasikan hasil diskusi kelompok dan
diskusi interaktif serta tanya jawab antara penyaji dengan peserta
5) Evaluasi proses pemecahan masalah dan penarikan kesimpulan
Guru mengevaluasi hasil penyelesaian masalah dan siswa dibantu oleh
guru menarik kesimpulan dari analisis masalah yang dihadapi.
Dari uraian diatas, kelebihan dari model problem solving, yaitu: 1)
melatih siswa untuk berpikir kritis dan kreatif, 2) melatih siswa untuk mampu
menghadapi masalah, 3) melatih siswa untuk menyelesaikan masalah dengan
terampil. Sedangkan kekurangan dari model problem solving, yaitu: 1)
membutuhkan alokasi waktu yang relatif lama, 2) model ini memerlukan
kemampuan kognitif siswa termasuk menalar/berpikir logis yang tinggi karena
untuk memcahkan
suatu masalah dengan tingkat kesulitan yang tinggi
memerlukan pengetahuan, keterampilan dan pengalaman siswa.
Jadi, model pembelajaran problem solving adalah model pembelajaran
dimana guru memberikan masalah dan siswa dituntut berpikir kritis dan logis
untuk memecahkan masalah dengan menerapkan pengetahuan, pemahaman
dan keterampilan yang mereka miliki sebelumnya.
b. Model Pembelajaran Problem Posing
Menurut Ergun (2010: 9), problem posing merupakan model
pembelajaran dimana siswa merumuskan permasalahan, menggunakan bahasa
mereka sendiri, kosa kata, tata bahasa, struktur kalimat, isi dan sintak sesuai
dengan situasi permasalahan. Menurut Hsiao (2013: 8), problem posing adalah
model pembelajaran aktif dimana siswa membuat masalah dan memberikan
jawaban dari masalah tersebut. Pada model ini, siswa diminta untuk membuat
dan menyelesaikan masalah yang mereka buat serta mendiskusikan secara
berkelompok.
15
Silver dan Cai (1996) dalam Mahmudi (2008: 4) mengklasifikasikan
tiga aktivitas kognitif dalam pembuatan soal sebagai berikut:
1) Pre-solution posing, yaitu pembuatan soal berdasarkan situasi atau
informasi yang diberikan.
2) Within-solution posing, yaitu pembuatan atau formulasi soal yang
sedang diselesaikan. Pembuatan soal demikian dimaksudkan sebagai
penyederhanaan dari soal yang sedang diselesaikan.
3) Post-solution posing. Pada tahap ini siswa memodifikasi atau merevisi
tujuan atau kondisi soal untuk mebuat soal-soal baru yang lebih
menantang. Beberapa teknik yang dapat digunakan untuk membuat
soal adalah sebagai berikut:
a) Pengubahan informasi atau data pada soal semula
b) Pengubahan
nilai
data
yang
diberikan,
tetapi
tetap
mempertahankan kondisi atau situasi soal semula
c) Pengubahan situasi atau kondisi soal semula, tetapi tetap
mempertahankan data atau informasi yang ada pada soal semula.
Pembelajaran dengan pengajuan soal menurut Menon (1996) dalam
Siswono (2000: 9) dapat dilakukan dengan tiga cara sebagai berikut:
1) Memberikan kepada siswa soal cerita tanpa persyaratan, tetapi semua
informasi yang diperlukan untuk memecahkan soal tersebut ada. Tugas
siswa adalah membuat pertanyaan berdasar informasi tersebut.
2) Guru menyeleksi topik dan meminta siswa untuk membagi kelompok.
Tiap
kelompok
ditugaskan
membuat
soal
cerita
sekaligus
penyelesainnya. Nanti soaltersebut dipecahkan oleh kelompokkelompok lain. Sebelumnya soal diberikan kepada guru untuk diedit
tentang kebaikan dan kesiapannya. Soal-soal tersebut nanti digunakan
sebagai latihan. Nama pembuat soal tersebut ditunjukkan, tetapi
solusinya tidak. Soal-soal tersebut didiskusikan dalam masing-masing
kelompok dan kelas. Diskusi tersebut seputar apakah soal tersebut
ambigu atau tidak cukup kelebihan informasi. Soal yang dibuat siswa
16
tergantung interes siswa masing-masing. Sebagai perluasan, siswa
dapat menanyakan soal cerita yang dibuat secara individu.
3) Siswa diberikan soal dan diminta untuk mendaftar sejumlah
pertanyaan yang berhubungan dengan masalah. Sejumlah pertanyaan
kemudian diseleksi dari daftar tersebut untuk diselesaikan. Pertanyaan
dapat bergantung dengan pertanyaan lain. Bahkan dapat sama, tetapi
kata-katanya
berbeda.
Dengan
mendaftar
pertanyaan
yang
berhubungan dengan masalah tersebut akan membantu siswa
"memahami masalah", sebagai salah satu aspek pemecahan masalah.
Pada penelitian ini, pengajuan masalah diaplikasikan pada kedua
bentuk aktivitas kognitif pre-solution posing dan post-solution posing serta
pengajuan soal yang disarankan oleh Menon dengan dua cara yaitu:
1) Memberikan kepada siswa soal cerita tanpa persyaratan, tetapi semua
informasi yang diperlukan untuk memecahkan soal tersebut ada. Tugas
siswa adalah membuat pertanyaan berdasar informasi tersebut.
2) Siswa diberikan soal dan diminta untuk mendaftar sejumlah
pertanyaan yang berhubungan dengan masalah. Sejumlah pertanyaan
kemudian diseleksi dari daftar tersebut untuk diselesaikan. Pertanyaan
dapat bergantung dengan pertanyaan lain. Bahkan dapat sama, tetapi
kata-katanya
berbeda.
Dengan
mendaftar
pertanyaan
yang
berhubungan dengan masalah tersebut akan membantu siswa
"memahami masalah", sebagai salah satu aspek pemecahan masalah.
Secara garis besar aplikasi pengajuan masalah atau soal dalam proses
pembelajaran problem posing dalam penelitian ini antara lain:
1) Penyampain tujuan dan materi pelajaran
Pada langkah ini, guru menjelaskan tujuan pembelajaran dan materi
pelajaran secara singkat
2) Pemberian contoh membuat soal atau masalah kepada siswa
Guru memberikan contoh membuat soal atau masalah kepada siswa
beserta jawabannya.
3) Pengajuan beberapa permasalahan atau soal oleh siswa
17
Pada langkah ini, guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk
membuat soal atau masalah secara berkelompok.
4) Penyelesaian soal oleh siswa maupun kelompok
Siswa diminta untuk menukarkan soal atau masalah yang sudah
mereka buat dengan kelompok lain untuk menyelesaikannya.
5) Penyajian hasil diskusi kelompok dan diskusi kelas
Siswa mempresentasikan hasil diskusi kelompoknya dan siswa lain
member tanggapan.
6) Kesimpulan dan evaluasi
Siswa membuat kesimpulan dari diskusi kelas. Guru mengevaluasi dan
melakukan pemantapan terhadap hasil diskusi.
Dari uraian diatas, kelebihan dari model pembelajaran problem posing,
yaitu: 1) merangsang siswa untuk berpikir kritis, 2) siswa berlatih
menganalisis masalah, 3) siswa aktif dalam kegiatan pembelajaran, 4) melatih
siswa untuk percaya pada dirinya sendiri, 5) merangsang siswa untuk
memunculkan ide kreatif. Kelemahan model pembelajaran ini yaitu: 1)
memerlukan waktu yang cukup banyak, 2) memerlukan persiapan yang
banyak dan matang karena menyiapakan informasi yang harus disampaikan
kepada siswa, 3) tidak semua siswa memiliki kemampuan untuk menguasai
konsep dalam waktu yang singkat. Perbedaan antara model pembelajaran
problem solving dan problem posing disajikan pada Tabel 2.2.
Tabel 2.2. Perbedaan Model Pembelajaran Problem Solving dan Problem
Posing
Pembeda
Pengertian
Problem Solving
Suatu cara penyajian pembelajaran
dengan mendorong siswa untuk
mencari suatu cara penyajian
pembelajaran dengan mendorong
siswa
untuk
mencari
dan
memecahkan suatu masalah dalam
rangka
pencapaian
tujuan
pembelajaran
Problem Posing
Model
pembelajaran
aktif
dimana siswa membuat masalah
dan memberikan jawaban dari
masalah tersebut.
18
Lanjutan Tabel 2.2. Perbedaan Model Pembelajaran Problem Solving dan
Problem Posing
Pembeda
Sintak
Pembuatan
masalah/soal
Pemahaman
konsep
Problem Solving
Problem Posing
1) Orientasi masalah
1) Penyampain tujuan dan
2) Pengumpulan data
materi pelajaran
3) Analisis data
2) Pemberian contoh membuat
4) Penyajian hasil penyelesaian
soal atau masalah kepada
siswa
masalah
5) Evaluasi proses pemecahan 3) Pengajuan
beberapa
masalah
dan
penarikan
permasalahan atau soal
kesimpulan
kepada siswa
4) Penyelesaian soal oleh siswa
maupun kelompok
5) Penyajian hasil diskusi
kelompok dan diskusi kelas
6) Kesimpulan dan evaluasi
Dari guru
Dari siswa
Konsep
diperlukan
penyelesaian masalah/soal
untuk Konsep
diperlukan
untuk
pembuatan masalah/soal dan
pemecahannya
3. Hasil Belajar
Hasil belajar adalah kemamampuan-kemampuan yang dimiliki siswa
setelah ia menerima pengalaman belajarnya (Sudjana, 2006: 22). Sedangkan
menurut Kunandar (2013: 62) menyatakan bahwa hasil belajar adalah kompetensi
atau kemampuan tertentu baik kognitif, afektif, maupun psikomotoriknya yang
dicapai atau dikuasai peserta didik setelah mengikuti proses belajar mengajar.
Permendikbud nomor 104 tahun 2013 tentang Penilaian Hasil Belajar oleh
Pendidik pada Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah menjelaskan bahwa
penilaian hasil belajar oleh pendidik adalah proses pengumpulan informasi/bukti
tentang capaian pembelajaran siswa dalam kompetensi sikap spiritual dan sikap
sosial, kompetensi pengetahuan, dan kompetensi keterampilan yang dilakukan
secara terencana dan sistematis, selama dan setelah proses pembelajaran.
Teknik dan instrumen penilaian menurut Permendikbud nomor 104 tahun
2013 tentang Penilaian Hasil Belajar oleh Pendidik pada Pendidikan Dasar dan
Pendidikan Menengah, yakni:
19
a. Penilaian Kompetensi Sikap
Sikap bermula dari perasaan (suka atau tidak suka) yang terkait dengan
kecenderungan seseorang dalam merespon sesuatu/objek. Sikap juga sebagai
ekspresi dari nilai-nilai atau pandangan hidup yang dimiliki oleh seseorang.
Sikap dapat dibentuk, sehingga terjadi perubahan perilaku atau tindakan yang
diharapkan.
Ada beberapa cara yang dapat digunakan untuk menilai sikap siswa,
antara lain melalui observasi, penilaian diri, penilaian teman sebaya, dan
penilaian jurnal. Instrumen yang digunakan antara lain daftar cek atau skala
penilaian (rating scale) yang disertai rubrik, yang hasil akhirnya dihitung
berdasarkan modus.
1) Observasi
Sikap dan perilaku keseharian peserta didik direkam melalui
pengamatan dengan menggunakan format yang berisi sejumlah
indikator perilaku yang diamati, baik yang terkait dengan mata
pelajaran maupun secara umum. Pengamatan terhadap sikap dan
perilaku yang terkait dengan mata pelajaran dilakukan oleh guru yang
bersangkutan selama proses pembelajaran berlangsung, dan selama
peserta didik berada di sekolah atau bahkan di luar sekolah perilakunya
dapat diamati guru.
2) Penilaian diri
Penilaian diri digunakan untuk memberikan penguatan (reinforcement)
terhadap kemajuan proses belajar siswa. Untuk menghilangkan
kecenderungan peserta didik menilai diri terlalu tinggi dan subyektif,
penilaian diri dilakukan berdasarkan kriteria yang jelas dan objektif.
3) Penilaian teman sebaya (peer assessment)
Penilaian teman sebaya atau antar siswa merupakan teknik penilaian
dengan cara meminta siswa untuk saling menilai terkait dengan
pencapaian kompetensi.
20
4) Penilaian jurnal (anecdotal record)
Jurnal merupakan kumpulan rekaman catatan guru dan/atau tenaga
kependidikan di lingkungan sekolah tentang sikap dan perilaku positif
atau negatif, selama dan di luar proses pembelajaran mata pelajaran.
b. Penilaian Kompetensi Pengetahuan
Pendidik menilai kompetensi pengetahuan melalui tes tertulis,
observasi terhadap diskusi, tanya jawab, dan percakapan, dan penugasan.
1) Instrumen tes tertulis terdiri dari 2 bentuk soal yaitu memilih jawaban
yang berupa pilihan ganda, dua pilihan ganda (benar-salah, ya-tidak),
menjodohkan, sebab-akibat, dan mensuplai jawan yang berupa isian
atau melengkapi, jawaban singkat atau pendek dn uraian.
2) Instrumen observasi terhadap diskusi, tanya jawab, dan percakapan
berupa lembar observasi berbentuk ceklis (√).
3) Instrumen penugasan berupa pekerjaan rumah dan/atau projek yang
dikerjakan sevara individu atau kelompok sesuai dengan karakteristik
tugas.
c. Penilaian Kompetensi Keterampilan
Kompetensi keterampilan terdiri atas keterampilan abstrak dan
keterampilan kongkret. Penilaian kompetensi keterampilan dapat dilakukan
dengan menggunakan:
1) Unjuk kerja/kinerja/praktik dilakukan dengan cara mengamati kegiatan
peserta didik dalam melakukan sesuatu. Isntrumennya berupa daftar
cek dan skala penilaian (rating scale).
2) Penilaian projek dapat digunakan untuk mengetahui pemahaman,
kemampuan mengaplikasi, kemampuan menyelidiki dan kemampuan
menginformasikan suatu hal secara jelas. Penilaian projek dilakukan
mulai dari perencanaan, pelaksanaan, sampai pelaporan. Untuk itu,
guru perlu menetapkan hal-hal atau tahapan yang perlu dinilai, seperti
penyusunan desain, pengumpulan data, analisis data, dan penyiapan
laporan tertulis/lisan. Untuk menilai setiap tahap perlu disiapkan
kriteria penilaian atau rubrik..
21
3) Penilain produk meliputi penilaian kemampuan peserta didik membuat
produk-produk, teknologi, dan seni. Pengembangan produk meliputi 3
tahap dan setiap tahap diadakan penilaian, yaitu tahap persiapan, tahap
pembuatan produk (proses), dan tahap penialan produk (appraisal).
4) Penilaian portofolio pada dasarnya menilai karya-karya peserta didik
secara individu pada satu periode untuk suatu mata pelajara. Akhir
suatu periode hasil karya tersebut dikumpulkan dan dinilai oleh guru
dan peserta didik sendiri.
Penilaian hasil belajar dalam penelitian ini menggunakan penilaian pada
kompetensi sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Pada penilaian kompetensi
sikap menggunakan teknik observasi, penilaian diri, dan jurnal guru yang meliputi
sikap spiritual dan sikap sosial yang teridiri dari sikap jujur, tanggung jawab,
gotong royong, dan percaya diri. Penilaian kompetensi pengetahuan menggunakan
teknik tes tertulis, dan pada penilaian kompetensi keterampilan menggunakan
observasi keterampilan siswa dan penulisan laporan praktikum.
4. Kreativitas
Kreativitas merupakan kemampuan umum untuk menciptakan sesuatu
yang baru, kemampuan untuk memberikan gagasan baru yang dapat diterapkan
dalam pemecahan masalah, atau kemampuan untuk melihat hubungan-hubungan
baru antara unsur-unsur yang sudah ada sebelumnya (Munandar, 2012: 25).
Rhodes (1961) mendefinisikan kreativitas menjadi empat yang disebut
Four P’s of creativity (Person, Process, Press, Product). Definisi kreativitas
sebagai person menurut Hulbeck (1945), tindakan kreatif muncul dari keunikan
keseluruhan kepribadian dalam interaksi dengan lingkungannya. Definisi
kreativitas sebagai process menurut Torrance (1988), kreativitas sebagai 1) proses
untuk merasakan kesulitan, masalah, jarak dalam informasi, kehilangan sesuatu,
sesuatu ditanyakan, 2) membuat dugaan dan hipotesis tentang definisi tersebut, 3)
evaluasi dan menguji hipotesis tersebut, 4) kemungkinan menguji ulang dan 5)
mengkomunikasikan hasilnya. Definisi kreativitas sebagai press menurut Simpson
(dalam Vernon, 1982) merujuk pada kreativitas pada aspek dorongan internal
22
yaitu inisiatif yang nyata dari seseorang untuk keluar dari rangkaian pikirannya
yang biasa. Definisi kreativitas sebagai product menurut Barron (1969),
kreativitas adalah kemampuan untuk menghasilkan/menciptakan sesuatu yang
baru (Munandar, 2012: 21-22)
Guilford membedakan kreativitas antara kemampuan berpikir konvergen
dan kemampuan berpikir divergen. Pemikiran konvergen atau penalaran logis
menuju satu jawaban yang benar, merupakan proses yang mendasari tes
inteligensi tradisional, sedangkan pemikiran divergen atau corak pemikiran yang
menghasilkan bermacam-macam gagasan merupakan indikator yang paling nyata
dari kreativitas yang terdiri dari kelancaran kata, kelancaran berekspresi,
kelancaran berpikir, kelenturan spontanitas, kelenturan beradaptasi, keaslian dan
elaborasi (Munandar, 1977: 224)
Tes kreativitas memiliki bentuk verbal dan figural. Tes kreativitas verbal
ini disusun berdasarkan model struktur intelek Guilford. Dalam tes ini terdapat 5
operasi mental yaitu kognisi, ingatan, produksi divergen, produksi konvergen, dan
evaluasi. Tes kreativitas yang dimaksud memiliki enam subtes yang harus
diujikan. Keenam subtes dari tes kreativitas verbal adalah sebagai berikut:
a. Permulaan kata
Pada subtes ini subjek harus memikirkan sebanyak mungkin kata yang
dimulai dengan susunan huruf tertentu sebagai rangsangan. Tes ini mengukur
“kelancaran dalam kata”, yaitu kemampuan untuk menemukan kata yang
memenuhi persyaratan struktural tertentu. Misalnya kepada anak diberikan
huruf “k” dan “a”. Kemudian ia diminta untuk membentuk sebanyak mungkin
kata yang bisa dibentuk dari kedua huruf tadi. Umpamanya anak menjawab
“kami”, “kapal”, “karung”, dan sebagainya.
b. Menyusun kata
Pada subtes ini subjek harus menyusun sebanyak mungkin kata dengan
menggunakan huruf-huruf dari satu kata yang diberikan sebagai stimulus.
Seperti tes permulaan kata, tes ini mengukur “kelancaran kata”, tetapi tes ini
juga menuntut kemampuan dalam reorganisasi persepsi. Kepada anak
diberikan kata tertentu, semisal “proklamasi”. Berdasarkan kata tersebut anak
23
diminta membentuk kata-kata lain sebanyak mungkin. Umpamanya anak akan
menjawab “kolam”, “lama”, “silam”, dan sebagainya.
c. Membentuk kalimat tiga kata
Pada subtes ini, subjek harus menyusun kalimat yang terdiri dari tiga
kata, huruf pertama untuk setiap kata diberikan sebagai rangsang, akan tetapi
dalam urutan dalam penggunaan ketiga huruf tersebut boleh berbeda-beda,
menurut kehendak subjek. Misalnya kepada anak diberi tiga huruf, yakni “a”,
“m”, dan “p”. Lalu mintalah ia menyusun sebanyak mungkin kalimat-kalimat
yang diawali dari huruf-huruf yang diberikan tadi, dengan urutan yang boleh
diubah-ubah. Umpamanya jawabannya adalah “Ani makan pisang” atau
“mana paying Anton”.
d. Sifat-sifat yang sama
Pada subtes ini, subjek harus menemukan sebanyak mungkin objek
yang semuanya memiliki dua sifat yang ditentukan. Tes ini merupakan ukuran
dari “kelancaran dalam memberikan gagasan”, yaitu kemampuan untuk
mencetuskan gagasan yang memenuhi persyaratan. Misalnya anak mendapat
soal mengenai sifat bulat dank eras. Anak diminta untuk memikirkan dan
menyebutkan sebanyak mungkin benda-benda yang memiliki sifat/ciri-ciri
tersebut. Jawabannya mungkin adalah bola tenis, kelereng, roda kursi, dan
sebagainya.
e. Macan-macam penggunaan
Pada subtes ini, subjek harus memikirkan sebanyak mungkin
penggunaan yang tidak lazim (tidak bisa) dari benda-benda setiap hari. Tes ini
merupakan ukuran dari “kelenturan dalam berfikir”, karena dalam tes ini
subjek harus dapat melepaskan diri dari kebiasaan melihat benda sebagai alat
untuk melakukan hal tertentu saja. Selain mengukur kelenturan berpikir, tes
ini juga mengukur orisinalitas dalam berpikir. Orisinalitas ditentukan secara
statitis, dengan melihat kelangkaan jawaban itu diberikan. Contohnya, anak
akan diberi benda yang ditemuinya sehari-hari. Akan tetapi, ia justru diminta
untuk membuat sesuatu yang tak biasa dengan benda tersebut. Umpamanya,
24
ketika anak dieri surat kabar, ia membuat kapal-kapalan, topi, bola, dan
sebagainya, bukan sebagai bahan bacaan.
f. Sebab akibat
Pada subtes ini, subjek haru memikirkan segala sesuatu yang mungkin
terjadi dari suatu kejadian hipotesis yang telah ditentukan sebagai rangsangan.
Kejadian atau peristiwa itu sebetulnya tidak mungkin terjadi di Indonesia,
tetapi dalam hal ini subjek harus mengumpamakan, andaikata hal itu terjadi di
sini apa saja akibatnya? Tes ini merupakan ukuran dari kelancaran dalam
memberi gagasan digabung dengan ‘elaborasi’, diartikan sebagai kemampuan
untuk
dapat
mengembangkan
suatu
gagasan,
merincinya,
dengan
mempertimbangkan macam-macam implikasi (Munandar, 2012: 68-69).
Perkembangan kreativitas siswa merupakan salah satu bagian dari proses
belajar mengajar pada sekolah, termasuk pembelajaran kimia. Kreativitas dalam
pembelajaran kimia diperlukan dalam hal pemecahan masalah atau soal kimia,
soal-soal yang berhubungan dengan penerapan kimia dalam kehidupan sehari-hari,
dan percobaan atau eksperimen serta metode ilmiah yang berhubungan dengan
ilmu kimia.
Kreativitas merupakan salah satu dari sembilan bagian penting untuk
dimiliki dalam pembelajaran
Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) seperti yang
dinyatakan oleh Collins (2001: 22) dalam penelitiannya, yaitu: (1) metode ilmiah
dan ujian kritis, (2) kreativitas, (3) perkembangan sejarah pada pengetahuan
ilmiah, (4) pengetahuan alam dan pertanyaan, (5) keragaman berpikir ilmiah, (6)
analisis dan intepretasi data, (7) pengetahuan alam dan kepastian, (8) hipotesis dan
prediksi, dan (9) kerjasama dalam pengembangan pengetahuan ilmiah.
5. Materi Termokimia
Materi termokimia dalam kurikulum 2013 diberikan di kelas XI MIA
semester ganjil, dengan kompetensi dasar, yaitu: 1) membedakan reaksi eksoterm
dan reaksi endoterm berdasarkan hasil percobaan dan diagram tingkat tinggi, dan
2) menentukan ∆H reaksi berdasarkan hukum Hess, data perubahan entalpi
pembentukan standar, dan data energi ikatan.
25
a. Pengertian Termokimia
Termokimia adalah cabang dari ilmu kimia yang mempelajari
pengaruh panas terhadap reaksi kimia (Petrucci et al, 2011: 241). Termokimia
adalah bagian dari ilmu kimia yang mempelajari hubungan antara kalor
(energi panas) dengan reaksi kimia atau proses-proses yang berhubungan
dengan reaksi kimia (Sudarmo, 2013: 57).
b. Sistem dan Lingkungan
Reaksi atau proses yang sedang menjadi pusat perhatian kita disebut
sistem. Segala sesuatu yang berada di sekitar sistem, yaitu dengan apa sistem
itu berinteraksi, disebut lingkungan (Purba, 2006: 56)
Berdasarkan interaksinya dengan lingkungan, sistem dibedakan
menjadi tiga macam, yaitu sistem terbuka, sistem tertutup dan sistem terisolasi.
1) Sistem terbuka: suatu sistem yang memungkinkan terjadinya
perpindahan kalor dan zat (materi) antara lingkungan dengan sistem.
2) Sistem tertutup: suatu sistem di mana antara sistem dan lingkungan
dapat terjadi perpindahan kalor tertapi tidak dapat terjadi pertukaran
materi.
3) Sistem terisolasi: suatu sistem di mana tidak memungkinkan terjadinya
perpindahan kalor dan materi antara sistem dengan lingkungan.
c. Energi dan Entalpi
Energi biasa dapat didefiniskan sebagai kemampuan melakukan usaha.
Energi merupakan sesuatu yang dimiliki zat yang menyebabkan sesuatu yang
lain terjadi. Apabila suatu benda mempunyai energi, maka benda ini dapat
mempengaruhi benda lain dengan cara melakukan kerja pada benda lain
tersebut (Brady,1999: 261). Jika suatu sistem mengalami perubahan dan dalam
perubahan tersebut terjadi penyerapan kalor, sebagian energi kalor yang
diserap digunakan untuk melakukan kerja (w). Sebagian lagi energi tersebut
disimpan dalam sistem. Bagian energi yang disimpan disebut energi dalam
(U). Energi dalam (U) adalah total energi kinetik (Ek) dan energi potensial (Ep)
yang ada di dalam sistem (Sudarmo, 2013: 59-61).
26
Perubahan energi dalam dapat diketahui dengan mengukur kalor (q)
dan kerja (w), yang akan timbul jika suatu sistem bereaksi. Hubungan antara
kalor (q), kerja (w), dan perubahan energi dalam (∆ ) merupakan hukum
kekekalan energi yang dikenal sebagai hukum pertama termodinamika:
∆ =
+
Sistem menerima kalor, q bertanda positif (q>0), sistem membebaskan kalor,
q bertanda negatif (q<0), sistem melakukan kerja, w bertanda positif (w>0),
sistem menerima kerja, w bertanda negatif (w<0) (Petrucci et al, 2011: 255)
d. Perubahan Entalpi (∆H)
Kalor reaksi yang berlangsung pada tekanan tetap sama dengan
perubahan entalpi (∆H) sistem (Sudarmo, 2013: 61).
∆H = qreaksi
∆H = Hakhir - Hawal
e. Reaksi Eksoterm dan Reaksi Endoterm
Perbedaan antara reaksi eksorterm dan endoterm disajikan dalam Tabel 2.3.
Tabel 2.3. Perbedaan Antara Reaksi Eksorterm dan Endoterm
Reaksi Eksoterm
Reaksi membebaskan kalor
Kalor mengalir dari sistem ke
lingkungan
∆H = HP – HR < 0 (bertanda
negatif)
Reaksi Endoterm
Reaksi menyerap kalor
Kalor mengalir dari lingkungan ke
sistem
∆H = HP – HR > 0 (bertanda positif)
f. Persamaan Termokimia dan Diagram Energi
Persamaan termokimia adalah kombinasi dari reaksi kimia dan disertai
perubahan pada entalpi standar (Atkins et al, 2006: 51). Nilai perubahan
entalpi yang dituliskan pada persamaan termokimia harus sesuai dengan
stoikiometri reaksi, artinya jumlah mol zat yang terlibat dalam reaksi sama
dengan koefisien reaksinya.
Contoh:
H2(g) + ½O2(g) → H2O(l)
∆H = -285,85 kJ/mol
27
Artinya, pada pembentukan 1 mol H2O dari gas hidrogen dan gas
oksigen dibebaskan energi sebesar 285,85 kJ (reaksi eksoterm) (Utami et al :
2009: 43)
Diagram energi menggambarkan besarnya entalpi zat-zat sebelum
reaksi dan zat-zat hasil reaksi, serta perubahan entalpi (∆H) yang menyertai
reaksi tersebut.
Contoh:
Diagram entalpi dari reaksi pembentukan 1 mol air:
H2(g) + ½O2(g) → H2O(l)
∆H = -285,85 kJ
H
H2(g) + ½O2(g)
R
∆H = -285,85 kJ/mol
H2O(l)
P
Gambar 2.1 Diagram Entalpi Reaksi Pembentukan 1 Mol Air
Nilai entalpi gas hidrogen dan oksigen lebih besar daripada entalpi air
sehingga letaknya di atas entalpi air. Sistem mengalami penurunan niali
entalpi sebesar 285,85 kJ yang ditunjukkan oleh anak panah kebawah.
Diagram energi pada proses penguapan 1 mol air (perubahan air dari
wujud cair ke wujud gas: H2O(l)→ H2O(g)
∆H = +44 kJ
H
H2O(g)
P
∆H = +44 kJ
R
H2O(l)
Gambar 2.2 Diagram Entalpi Reaksi Penguapan 1 Mol Air
Proses penguapan air merupakan proses endoterm di mana pada proses
tersebut diperlukan energi sebesar 44 kJ. Energi diserap oleh air sehingga air
berubah menjadi uap air. Air dalam wujud gas (uap air) mempunyai entalpi
yang lebih tinggi daripada air dalam wujud cair (Sudarmo, 2013: 64).
28
g. Perubahan entalpi standar
Perubahan entalpi standar (∆H˚) adalah perubahan entalpi (∆H) reaksi
dengan reaktan dan produk pada keadaan standar, yaitu pada suhu 298 K dan
tekanan 1 atm. (Petrucci et al, 2011: 264) Satuan ∆H adalah kJ dan satuan ∆H
molar reaksi adalah kJ/mol (Utami et al : 2009: 44)
1) Perubahan entalpi pembentukan standar (∆H˚f)
Perubahan entalpi pembentukan standar (Standard Enthalpy of
Formation)
merupakan
perubahan
entalpi
yang
terjadi
pada
pembentukan 1 mol suatu senyawa dari unsur-unsurnya yang paling
stabil dalam keadaan standar (298 K, 1 atm) (Petrucci et al, 2011: 268)
Contoh: Perubahan entalpi pembentukan standar dari kristal amonium
klorida adalah -314,4 kJ/mol. Persamaan termokimia dari pernyataan
tersebut adalah ½N2(g) + 2H2(g) + ½Cl2(g) → NH4Cl(s) ∆H˚f = -314,4
kJ/mol
2) Perubahan entalpi peruraian standar (∆H˚d)
Reaksi peruraian merupakan kebalikan dari reaksi pembentukan. Oleh
karena itu, sesuai dengan azas kekekalan energi, nilai entalpi peruraian
sama dengan entalpi pembentukannya, tetapi tandanya berlawanan.
Contoh: Diketahui ∆H˚f H2O(l) = -286 kJ/mol, maka perubahan entalpi
peruraian ∆H˚d H2O(l) menjadi gas hidrogen dan oksigen adalah +286
kJ/mol. H2O(l) →H2(g) + ½O2(g) ∆H = +285kJ/mol (Purba, 2006: 67).
3) Perubahan entalpi pembakaran standar (∆H˚c)
Perubahan entalpi pembakaran standar adalah perubahan entalpi (∆H)
untuk pembakaran sempurna 1 mol senyawa atau unsur O2 dari udara,
yang diukur pada 298 K dan tekanan 1 atm. Satuan ∆H˚c adalah
kJ/mol. Pembakaran dikatakan sempurna jika:
a) Karbon (C) terbakar sempurna menjadi CO2
b) Hidrogen (H) terbakar sempurna menjadi H2O
c) Belerang (S) terbakar menjadi sempurna SO2
d) Senyawa hidrokarbon (CxHy) terbakar sempurna menurut reaksi:
CxHy + O2 → CO2 + H2O (belum setara) (Utami et al : 2009: 47-48)
29
Contoh:
Perubahan entalpi pembakaran standar (∆H˚c) methanol (CH3OH)
adalah -638,5 kJ/mol. CH3OH(l) + 3/2O2(g) → CO2 (g) + 2H2O(g) ∆H =
-638,5 kJ (Sudarmo, 2013: 66)
h. Penentuan perubahan energi entalpi
Untuk menentukan perubahan entalpi pada suatu reaksi kimia dapat
dilakukan melalui eksperimen, biasanya digunakan alat seperti kalorimeter,
hkum Hess, dan energi ikatan.
1) Kalorimeter
Perubahan energi dalam reaksi kimia selalu dapat dibuat sebagai
kalor. Jadi, lebih tepat apabila istilahnya disebut kalor reaksi. Alat yang
dipakai untuk mengukur kalor reaksi disebut kalorimeter (Brady, 1999:
270). Ada beberapa macam bentuk kalorimeter, diantaranya kalorimeter
sederhana dan kalorimeter bom. Kalorimeter sederhana dapat dibuat dari
gelas atau wadah yang bersifat isolator, misalnya gelas styrofoam atau
plastik yang bersifat isolator. Dengan demikian, selama reaksi berlangsung
dianggap tidak ada kalor yang diserap maupun dilepaskan oleh sistem ke
lingkungan, sehingga:
qreaksi = -(qkalorimeter + qlarutan)
Jika nilai kapasitas kalor kalorimeter sangat kecil, kalor
kalorimeter dapat diabaikan sehingga perubahan kalor dapat dianggap
hanya berakibat pada kenaikan suhu dalam kalorimeter.
qreaksi = -qlarutan
qlarutan = m x c x ∆T
sehingga,
dengan : q
qreaksi = -m x c x ∆T
= kalor reaksi (J atau kJ)
m
= massa (g atau kg)
c
= kalor jenis (J/g˚C atau J/kg K)
∆T
= perubahan suhu (˚C atau K) (Sudarmo, 2013: 67-68)
Kalorimeter bom merupakan alat yang ideal untuk mengukur panas
yang terjadi pada reaksi pembakaran. Sistem merupakan semuanya yang
30
ada didalam dinding bagian luar dari kalorimeter. Termasuk bom dan
isinya, air dalam bom yang dituangkan, termometer, pengaduk, dan
sebagainya (Petruccci et al, 2011: 249).
Sistem reaksi di dalam
kalorimeter diusahakan benar-benar terisolasi sehingga kenaikan atau
penurunan suhu yang terjadi benar-benar hanya digunakan untuk
menaikkan sugu air di dalam kalorimeter bom. Meskipun sistem telah
diusahakan terisolasi tetapi ada kemungkinan sistem masih dapat
menyerap atau melepaskan kalor ke lingkungannya, yang dalam hal ini
lingkungannya adalah kalorimeter itu sendiri. Jika kalorimeter terlibat di
dalam pertukaran kalor, besarnya kalor diserap atau dilepas oleh
kalorimeter harus diperhitungkan. Kalor yang diserap atau dilepas oelh
kalorimeter disebut dengan kapasitas kalor kalorimeter (Ckalorimeter). Secara
keseluruhan dirumuskan:
qreaksi = -(qkalorimeter + qair)
qkalorimeter = Ckalorimeter x ∆T
dengan: Ckalorimeter = kapasitas kalor kalorimeter (J˚C-1 atau JK-1)
∆T
= perubahan suhu (˚C atau K) (Sudarmo, 2013: 69)
2) Hukum Hess
Entalpi standar dari suatu reaksi dapat digabungkan untuk
menentukan entalpi dari reaksi lainnya yang merupakan hukum pertama
disebut Hukum Hess. Hukum Hess menyatakan bahwa entalpi standar dari
reaksi keseluruhan merupakan jumlah entalpi standar dari beberapa reaksi
yang terlobat dimana reaksi tersebut mungkin dapat dipisahkan (Atkins et
al, 2006: 53)
Henry Germain Hess (1840) melakukan serangkaian
percobaan dan diperoleh kesimpulan yang dikenal dengan Hukum Hess,
yaitu perubahan entalpi suatu rekasi hanya tergantung pada keadaan awal
(zat-zat pereaksi) dan keadaan akhir (zat-zat hasil reaksi) dari suatu reaksi
dan tidak tergantung bagaimana jalannya reaksi.
Contoh:
Reaksi pembakaran karbon menjadi gas CO2 dapat berlangsung dalam dua
tahap, yaitu:
31
Tahap 1 :
C(s) + ½O2(g) → CO(g)
………….. ∆H = a kJ
Tahap 2 :
CO(g) + ½O2(g) → CO2(g)
………….. ∆H = b kJ
Dengan demikian, perubahan entalpi secara keseluruhan bila reaksi
dilakukan dalam satu tahap, tanpa melewati gas CO adalah:
Tahap langsung :
Dari
kedua
C(s) + O2(g) → CO2(g) ………….. ∆H = (a + b) kJ
kemungkinan
tersebut,
penentuan
perubahan
entalpi
pembentukan gas CO data dilakukan dengan cara:
a) Menentukan secara kalorimetri perubahan dari reaksi tahap
langsung dan didapat:
C(s) + O2(g) → CO2(g)
………….. ∆H = -394 kJ
b) Menentukan secara kalorimetri perubahan entalpi tahap 2 dan
didapat:
CO(g) + ½O2(g) → CO2(g)
………….. ∆H = -283 kJ
Dari kedua reaksi tersebut didapat perubahan entalpi untuk reaksi
tahap 1 adalah:
-394 kJ = a + (-283) kJ
a
= (-394) kJ – (-283) kJ = -111 kJ
Sehingga : C(s) + ½O2(g) → CO(g)
………….. ∆H = -111 kJ
Secara analitis dapat dihitung dengan cara:
C(s) + O2(g) → CO2(g)
∆H = -394 kJ
CO2(g) →CO(g) + ½O2(g)
∆H = +283 kJ
C(s) + ½O2(g) → CO(g)
∆H = -111 kJ
Reaksi pada tahap langsung tetap, reaksi tahap 2 dibalik kemudian
dijumlahkan. Rute reaksi di atas digambarkan oleh Hess dengan siklus
energi, yang dikenal dengan Siklus Hess.
∆H = -394 kJ
C(s) + O2(g)
CO2(g)
∆H = -111 kJ
∆H = -283 kJ
CO(g) + ½O2(g)
Gambar 2.3 Siklus Hess Pembakaran Karbon
32
Jika digambarkan tahap-tahap perubahan energinya, akan didapat
suatu diagram entalpi (tingkat energi) sebagai berikut (Sudarmo, 2013:
72-73):
∆H
0 kJ
C(s) + O2(g)
-111 kJ
CO(g) + ½O2(g)
-394kJ
CO2(g)
Gambar 2.4 Diagram Entalpi Pembakaran Karbon
3) Berdasarkan Tabel Entalpi Pembentukan (∆Hf˚)
Kalor suatu reaksi juga dapat ditentukan dari data entalpi
pembentukan (∆Hf0) zat-zat pereaksi dan zat-zat hasil reaksi (Petrucci
et al, 2011: 271)
∆Hreaksi = ⅀ p∆Hf˚produk − ⅀ r∆Hf˚reaktan
dengan
p:
koefisien produk
r:
koefisien reaktan
Contoh:
Diketahui:
∆Hf0 CH4(l)
= −238,6 kJ/mol
∆Hf0 CO2(g)
= -393,5 kJ/mol
∆Hf0 H2O(l)
= −286 kJ/mol
a) Tentukan ∆H reaksi pembakaran CH4 sesuai reaksi:
CH4(g) + 2O2(g) → CO2(g) + 2H2O(l)
b) Tentukan jumlah kalor yang dibebaskan pada pembakaran 8
gram CH4O. (Ar C = 12, O = 16 dan H = 1)!
Jawab:
Reaksi CH4(g) + 2O2(g) → CO2(g) + 2H2O(l)
c) ∆Hreaksi = ⅀ p∆Hf˚produk − ⅀ r∆Hf˚reaktan
= (∆Hf0 CO2 + 2∆Hf0 H2O) – (∆Hf0 CH4 + 2∆Hf0 O2)
= (−393,5 kJ/mol) + 2(−286 kJ/mol)) – (−238,6 kJ/mol + 2 x 0)
= −726,9 kJ/mol
33
d) n CH4O =
= 0,25 mol
Jadi, kalor yang dibebaskan pada pembakaran 8 gram metanol
= 0,25 x (−726,9) = −181,725 kJ.
4) Energi ikatan
Reaksi kimia merupakan proses pemutusan dan pembentukan
ikatan. Proses ini selalu disertai perubahan energi. Energi yang dibutuhkan
untuk memutuskan 1 mol ikatan kimia dalam suatu molekul gas menjadi
atom-atomnya dalam fase gas disebut energi ikatan atau energi disosiasi
(D). Untuk molekul kompleks, energi yang dibutuhkan untuk memecah
molekul itu sehingga menbentuk atom-atom bebas disebut energi
atomisasi. Harga energi atomisasi ini merupakan jumlah energi ikatan
atom-atom dalam molekul tersebut. Untuk molekul kovalen yang terdiri
dari dua atom, seperti H2, O2, N2, dan HI yang mempunyai satu ikatan,
maka energi atomisasi sama dengan energi ikatan. Energi yang diperlukan
untuk reaksi pemutusan ikatan telah diukur.
Contoh:
Energi untuk memutuskan 1 mol ikatan H–H dalam suatu molekul gas H2
menjadi atom-atom H adalah 436 kJ/mol.
H2(g) → 2H
D H–H = 436 kJ/mol
Energi dibutuhkan untuk memutuskan molekul CH4 menjadi sebuah atom
C dan 4 atom H: CH4(g) → C(g) + 4H(g)
Besarnya perubahan entalpi reaksi tersebut dapat dihitung dengan entalpi
pembentukan standar sebagai berikut:
∆H
= ∆H˚f (C,atomic) + 4 (H,atomic) – (CH4(g))
= (716,7 kJ/mol) + (218 kJ/mol) – (-74,5 kJ/mol) = 1663,2 kJ/mol
Saat perubahan entalpi tersebut setara untuk memutuskan 4 ikatan H maka
besarnya energi ikatan rata-rata C−H adalah 415,8 kJ/mol, selanjutnya kita
sebut energi ini sebagai energi ikatan rata-rata karena empat ikatan C−H
dalam CH4 putus dalam waktu yang sama (Utami et al : 2009: 59).
∆
=
−
ℎ
34
B. Kerangka Berpikir
Berdasarkan latar belakang, kajian teori, dan dengan hasil kajian dari
penelitian-penelitian yang relevan, maka penulis memiliki pemikiran sebagai
berikut:
1. Pengaruh pembelajaran kimia dengan model pembelajaran problem solving
dan problem posing terhadap hasil belajar siswa pada materi termokimia.
Berdasarkan observasi di SMA Negeri 1 Karanganyar, diketahui bahwa
model pembelajaran yang diterapakan kurang mendukung siswa dalam
mengembangkan pengetahuan serta pemikiran kritis siswa dalam menyelesaikan
suatu masalah. Dalam proses pembelajaran, mereka hanya menerima informasi
yang disampaikan oleh guru untuk memecahkan suatu masalah dan kurangnya
keaktifan siswa dalam proses pembelajaran yang mengakibatkan rendahnya hasil
belajar siswa.
Termokimia merupakan materi kimia yang dianggap sulit untuk dikuasai
karena materi ini berisi konsep, rumus-rumus, persamaan reaksi dan hitungan.
Dalam mempelajari termokimia, siswa dituntut untuk berpikir kritis dan kreatif
dalam menghubungkan konsep, persamaan reaksi, rumus-rumus dan perhitungan
matematikanya untuk menyelesaikan masalah atau soal termokimia. Materi ini
dianggap salah satu materi kimia yang sulit bagi siswa yang ditujukan dengan
nilai ulangan harian yang masih dibawah Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM).
Maka dari itu, diperlukan model pembelajaran yang sesuai dengan materi
termokimia supaya tujuan pembelajaran tercapai.
Berdasarkan fakta tersebut, maka dalam penelitian dipilih alternatif model
pembelajaran yang diterapkan di SMA Negeri 1 Karanganyar yaitu model
pembelajaran Problem Solving dan Problem Posing. Kedua model tersebut
merupakan model pembelajaran berbasis masalah. Dengan model tersebut, siswa
terlibat aktif dalam pembelajaran dan melatih siswa dalam berpikir kritis untuk
menyelesaikan suatu masalah.
Pembelajaran kimia menggunakan problem solving dan problem posing
juga sesuai dengan teori belajar Vygotsky karena dalam model pembelajaran
problem solving dan problem posing pada saat memecahkan dan membuat
35
masalah terjadi diskusi antar siswa sehingga terjadi interaksi sosial antar siswa.
Model pembelajaran problem solving dan problem posing juga sesuai dengan teori
belajar Jean Piaget karena dalam kedua model tersebut, siswa harus membangun
atau mengkronstruksi pengetahuannya sendiri untuk memecahkan masalah yang
diberikan guru maupun yang diajukan oleh mereka sendiri. Menurut teori belajar
bermakna Ausubel bahawa belajar bermakna sangat penting dan diperlukan dalam
pembelajaran kimia khususnya termokimia. Dalam memecahkan masalah
termokimia , siswa juga harus mengaitkan informasi yang baru mereka dapatkan
dengan konsep yang sudah mereka peroleh. Maka dari itu, siswa harus menguasai
konsep dari materi yang dipelajari.
Model pembelajaran problem solving menurut Hamdani (2011: 84)
merupakan suatu cara penyajian pembelajaran dengan mendorong siswa untuk
mencari suatu cara penyajian pembelajaran dengan mendorong siswa untuk
mencari dan memecahkan suatu masalah dalam rangka pencapaian tujuan
pembelajaran. Proses problem solving didasarkan pada pengetahuan, pemahaman
dan keterampilan siswa yang telah dimiliki sebelumnya dengan menggunakan
langkah-langkah yang sesuai untuk menemukan suatu jawaban dari pokok
permasalahan yang dihadapinya. Adapun kelebihan dari model problem solving,
yaitu: (1) melatih siswa untuk berpikir kritis dan kreatif, (2) melatih siswa untuk
mampu menghadapi masalah, (3) melatih siswa untuk menyelesaikan masalah
dengan terampil. Sedangkan kekurangan dari model problem solving, yaitu: (1)
membutuhkan alokasi waktu yang relatif lama, (2) model ini memerlukan
kemampuan kognitif siswa termasuk menalar/berpikir logis yang tinggi karena
untuk memcahkan
suatu masalah dengan tingkat kesulitan yang tinggi
memerlukan pengetahuan, keterampilan dan pengalaman siswa.
Problem posing adalah model pembelajaran aktif dimana siswa diminta
untuk membuat masalah atau soal sesuai dengan petunjuk yang diberikan dan
memberikan jawaban dari masalah tersebut. Pada model ini, siswa diminta untuk
membuat dan menyelesaikan masalah yang mereka buat serta mendiskusikan
secara berkelompok. Adapun kelebihan dari model pembelajaran problem posing,
yaitu: (1) merangsang siswa untuk berpikir kritis, (2) siswa berlatih menganalisis
36
masalah, (3) siswa aktif dalam kegiatan pembelajaran, (4) melatih siswa untuk
percaya pada dirinya sendiri, (5) merangsang siswa untuk memunculkan ide
kreatif. Sedangkan kelemahan model pembelajaran ini yaitu: (1) memerlukan
waktu yang cukup banyak, (2) memerlukan persiapan yang banyak dan matang
karena menyiapakan informasi yang harus disampaikan kepada siswa (3) tidak
semua siswa memiliki kemampuan untuk menguasai konsep dalam waktu yang
singkat.
Dalam pembelajaran kimia, guru harus merancang pembelajaran yang
sesuai dengan karakteristik materi yang akan diajarkan supaya membawa
pengaruh positif terhadap hasil belajar siswa, dimana hasil belajar siswa
merupakan hasil capaian yang diperoleh seseorang setelah melakukan usaha.
Hasil belajar siswa terdiri dari tiga aspek, yaitu aspek sikap, pengetahuan, dan
keterampilan. Dengan diterapkannya model pembelajaran problem solving dan
problem posing yang memiliki langkah pembelajaran berbeda akan membawa
pengaruh yang berbeda terhadap hasil belajar siswa. Dari pemikiran tersebut,
diduga bahwa pembelajaran kimia menggunakan model pembelajaran problem
solving dan problem posing memberikan pengaruh yang berbeda terhadap hasil
belajar siswa.
Berdasarkan teori pembelajaran yang mendukung, karakter materi dan
kelemahan serta kelebihan model pembelajaran yang digunakan, maka model
problem solving dirasa lebih cocok dari pada model problem posing pada
pembelajaran materi termokimia.
2. Pengaruh kreativitas siswa terhadap hasil belajar siswa pada materi
termokimia
Salah satu karakteristik materi kimia adalah bersifat abstrak sehingga
membutuhkan pemikiran yang kritis, kreatif dan kemampuan pemecahan masalah.
Ketika peserta didik diberikan suatu masalah atau diminta mengajukan suatu
masalah, maka dari sini unsur dari kreativitas berperan dalam proes pembelajara
karena kreativitas merupakan kemampuan berpikir untuk membuat kombinasi
baru dalam menghasilkan gagasan, jawaban, atau pernyataan berdasarkan data,
informasi atau usur-unsur yang ada dalam menyelesaikan masalah.
37
Menurut Nurlaila (2013: 91), ciri-ciri siswa yang kreativitasnya tinggi,
yaitu: (1) kemampuan membuat modifikasi dari sesuatu yang baru dan asli yang
sudah ada, (2) merupakan proses mental yang unik untuk memproduksi sesuatu
yang baru, berbeda, dan asli serta menekankan pada proses, bukan produk.
Kemampuan-kemampuan ini jelas tidak dimiliki oleh semua orang melainkan
hanya orang-orang tertentu yang dikatakan kreatif. Kreativitas merupakan suatu
proses, aktivitas, dan modifikasi yang baru, sehingga dapat mendatangkan hasil
yang berguna dan dapat dimengerti maknanya.
Menurut Munandar (1977) dalam Muanandar (2012: 68) menyatakan
bahwa kreativitas atau berpikir kreatif secara operasional dirumuskan sebagai
suatu proses yang tercermin dari kelancaran, kelenturan, dan orisinalitas.
Hubungan antara model problem solving dan problem posing dengan kreativitas
siswa diungkapkan oleh Silver (1997: 76-78) yang menyatakan bahwa kelancaran
yang dimaksud lebih ke banyaknya masalah atau soal yang dikemukkan dan
banyaknya ide yang dikemukaan dalam memecahkan masalah. Kelenturan lebih
ke banyaknya jenis masalah atau soal yang dikemukaan dan banyaknya solusi atau
cara yang kemungkinan digunakan untuk memecahkan masalah. Orisinalitas
merupakan keaslian dalam memberikan respon yang berbeda dari biasanya atau
unik. Pada materi termokimia, kreativitas digunakan dalam menganalisis rumusrumus yang akan aplikasikan dalam pemecahan masalah. Selain itu, kreativitas
siswa juga digunakan dalam penulisan persamaan reaksi termokimia dan
pembuatan diagaram entalpi. Maka dari itu, siswa membutuhkan pengetahuan,
pemahaman dan keterampilan yang baik serta kemampuan berpikir kreatif yang
tinggi. Siswa yang memiliki kreativitas tinggi akan aktif mencari informasi terkait
dengan materi pelajaran. Sehingga siswa yang mempunyai kreativas tinggi diduga
akan mempunyai hasil belajar yang lebih tinggi.
3. Interaksi antara model pembelajaran problem solving dan problem posing
dengan kreativitas terhadap hasil belajar siswa pada materi termokimia
Penerapan model pembelajaran problem solving dan problem posing yang
keduanya sama-sama berbasis masalah, dengan memperhatikan kreativitas siswa,
masing-masing siswa diyakini dapat meningkatkan hasil belajar siswa.
38
Berdasarkan dari beberapa kelebihan model pembelajaran problem solving dan
problem posing yang sudah dijelaskan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa
model pembelajaran problem posing dirasa lebih cocok diberikan kepada siswa
yang memiliki kreativitas tinggi karena pada model tersebut siswa diberikan
kesempatan
untuk
menggali
pengetahuan
dalam
membuat
soal
dan
memecahkannya. Sedangkan model pembelajaran problem solving dirasa lebih
diperlukan bagi siswa yang memiliki kreativitas rendah karena pada model
pembelajaran tersebut kreativitas siswa hanya dibutuhkan saat pemecahan
masalah atau soal. Berdasarkan uraian tersebut, diduga bahwa ada interaksi antara
model pembelajaran problem solving dan problem posing dengan kreativitas
kategori tinggi dan rendah terhadap hasil belajar siswa. Adanya interaksi antara
model pembelajaran problem solving dan problem posing dengan kreativitas
kategori tinggi dan rendah terhadap hasil belajar siswa disajikan dalam Tabel 2.4.
Tabel 2.4. Interaksi antara Model Pembelajaran Problem Solving dan Problem
Posing dengan Kreativitas Kategori Tinggi dan Rendah Terhadap
Hasil Belajar Siswa
Model Pembelajaran
(A)
Tinggi (B1)
Problem Solving (A1)
Problem Posing (A2)
A1B1
A2B1
Kreativitas (B)
Rata- rata Hasil
Belajar
Lebih rendah (<)
Lebih tinggi (>)
Rendah (B2)
A1B2
A2B2
C. Hipotesis
Berdasarkan kajian teori dan kerangka berpikir tersebut, dapat dirumuskan
hipotesis sebagai berikut:
1. Terdapat pengaruh penerapan model pembelajaran problem solving dan
problem posing terhadap hasil belajar siswa khususnya materi Termokimia.
2. Terdapat pengaruh kreativitas siswa terhadap hasil belajar siswa pada materi
termokimia.
3. Terdapat interaksi antara model pembelajaran problem solving dan problem
posing dengan kreativitas siswa terhadap hasil belajar kimia khususnya materi
Termokimia.
Download