35 BAB II PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SD A. Perkembangan dan pemerolehan Bahasa 1. Perkembangan Bahasa Anak Menurut pandangan mutakhir, perkembangan adalah proses yang kontinu dan kumulatif. Kontinu maksudnya adalah bahwa perkembangan sebagai suatu proses yang bersifat gradual (tahap demi tahap, berlangsung lamban dan bukan perubahan drastis di mana tahap berkutnya berbeda sama sekali dari tahap sebelumnya). Sedangkan yang dimaksud kumulatif ialah bahwa perkembangan merupakan perubahan kumulatif dari masa konsepsi sampai mati, artinya pembahan yang terjadi pada fase perkembangan yang satu mempunyai implikasi penting bagi fase perkembangan berikutnya (Kartadinata dan Dantes, 1997:47-48). Pendapat di atas, memberikan gambaran bahwa perkembangan merupakan suatu rangkaian perubahan yang bersifat progresif atau berkelanjutan dan terjadi secara teratur. Begitu pula halnya dengan perkembangan bahasa anak, sebagaimana dikemukakan oleh para ahli bahasa dan para ahli pendidikan bahasa seperti berikut ini. Tarigan, (2000:1.8-1.13) mengemukakan bahwa perkembangan bahasa anak ditandai oleh keseimbangan yang dinamis atau suatu rangkaian kesatuan yang bergerak dari bunyi-bunyi atau ucapan yang sederhana menuju tuturan yang lebih kompleks. Tangisan, bermakna, dan bunyi-bunyi celotehan bayi atau ucapan-ucapan merupakan jembatan yang yang sederhana tak memfasilitasi alur perkembangan bahasa anak menuju kemampuan berbahasa yang lebih sempurna. Uly HaBmah/PK- S3/UPI 36 Pendapat tersebut menggambarkan bahwa perkembangan bahasa sangatibe*"; \\ I ; dengan kemampuan berbahasa, dan kemampuan berbahasa merupakah'-sfi4k/ ' potensi yang dimiliki semua anak manusia yang normal. Sejalan dengan pendapat di atas, Logan, dkk. (1972: 7-8) mengemukakan bahwa sebelum anak dapat mewicara secara normal, pada awalnya anak menghasilkan signal verbal tanpa makna. Datam hal ini, Logan, dkk mengemukakan rangkaian tahap perkembangan bahasa anak yaitu: 1) the random stage, merupakan tahap pra-linguistik yaitu anak mengoceh (babbles) dan bereksperimen dengan bunyi-bunyi, 2) the jargon stage, bunyi-bunyi yang dihasilkannya menjadi jelas, 3) the echolalia stage, anak mulai menirukan bunyi-bunyi yang dia dengarnya, 4) the stage expansion, anak mulai belajar mewicara, seperti mengatakan nama orang, objek, dan kegiatan yang sangat berkaitan dengannya, 5) the stage of structural awareness, anak menjadi senang bermain dengan kata-kata dan membuat kalimat sendiri sesuai dengan yang dia dengar dari pembicaraan orang lain, 6) the stage of automatic response, anak sudah mampu berkomunikasi dengan orang-orang yang ada di sekitarnya, 7) the creative stage, pada tahap ini keterampilan berpikirnya baik secara kritis dan secara kreatif meningkat, mereka mampu berpikir dengan bahasa kiasan dan berpikir secara abstrak, mereka senang mengekspresikan dirinya baik melalui mewicara maupun menufis. Dalam hal ini Logan, kk. (1972) menegaskan bahwa perkembangan bahasa anak sekolah dasar berada pada tahap kreatif. Perkembangan bahasa anak bergerak dari kemampuan berbahasa iisan menuju kemampuan berbahasa tulis. Artinya kemampuan menyimak dan mewicara merupakan dasar untuk perkembangan kemampuan membaca dan menulis. Terkait dengan perkembangan bahasa iisan, Ingram (Tarigan, 2000: 1.13) mengemukakan bahwa kemampuan anak dalam memahami tuturan muncul lebih awal daripada kemampuan mengucapkan. Hai ini halnya dengan hasil penelitian Benedict, Crystal, dan Owens (Tarigan, 2000) terhadap delapan anak, ternyata mereka itu telah Lefy HaltmahsTK- S3/UPI 37 memahami 20-30 kata sebelum mereka dapat mengucapkan 10 kata. Dalam pneletian ini juga dikemukakan bahwa kemampuan memahami lebih cepat satu bulan sebelum anak dapat mengucapkan kata pertamanya. Adapun pada perkembangan selanjurnya berkaitan dengan kemampuan menyimak pada usia sekolah, anak sudah mengetahui bahwa inti komunikasi adalah bahwa ia harus mampu mengerti apa yang dikatakan orang fain. Seiring dengan berkembangnya kemampuan menyimak, maka berkembang pula kemampuan mewicara. Perkembangan kemampuan mewicara anak usia sekolah, sangat ditunjang oleh kondisi meluasnya cakrawala sosial anak-anak, yang membuat mereka menemukan bahwa mewicara merupakan sarana penting untuk memperoleh tempat dalam kelompok. Hal ini membuat dorongan yang kuat untuk mewicara lebih baik. Beberapa kemajuan yang mereka alami, seperti (1) penambahan kosakata umum, rata-rata anak kelas satu mengetahui sekitar 20.000 sanpai 24.000 kata-kata atau 5 sampai 6 persen dan kata-kata dalam kamus standar, dan pada saat duduk di kelas enam, sebagian besar anak mengetahui sekitar 50.000 kata, (2) pengucapan, kesalahan dalam pengucapan kata-kata lebih sedikit, sebuah kata baru mungkin ketika pertama kali digunakan, diucapkan dengan tidak tepat, tetapi setelah beberapa kali mendengar pengucapan yang benar anak sudah mampu mengucapkannya dengan benar, (3) pembentukan kalimat, pada usia ini sudah menguasai hampir semua jenis struktur kalimat, dan secara berangsur-angsur setelah usia sembilan tahun anak mulai menggunakan kalimat lebih singkat dan lebih p a d a t (Huriock, 1990: 152). Lebih jelas Dale (Tangan, 1985 : 115 dan 1989 : Uly HalimaWK- S3/UPJ 38 306) menunjukkan perkembangan kosa kata anak sekolah dasar dalam bagan sebagai berikut ini. Bagan 2.1 Perkembangan Kosakata Anak SD Dale (Tangan, 198S;1989) Bagan di atas menggambarkan penguasaan kosakata yang dimiliki oleh anak sejak kelas satu sampai dengan kelas enam. Adapun yang dimaksud dengan penguasaan kosakata adalah seluruh kekayaan kata yang mempunyai arti atau makna tertentu yang dimiliki oleh seseorang. Perkembangan kosakata mempunyai peranan yang sangat penting bagi perkembangan kemampuan berbahasa. Dalam hal ini, kosakata merupakan kata atau kelompok kata yang memiliki makna tertentu, atau seperangkat leksem termasuk di dalamnya kata tunggal, kata majemuk, dan idiom Fries (Supranf, 2003: 10). Semakin kaya kosakata yang dimiliki anak, maka semakin besar pula kemungkinan terampil berbahasa, bahkan kualitas keterampilan berbahasa seseorang sangat bergantung kepada kualitas dan kuantitas kosakata yang dimilikinya (Suhendardan Supinah, 1992:103). Pembendaharaan kata yang dimiliki anak dapat menunjang pemahaman isi bacaan, begitu pula sebaliknya, melalui membaca berbagai sumber bacaan akan Ufy Hallmak/PK- S3AJPI 39 menambah pembendaharaan kata pada anak. Sebagaimana kemampuan mewicara, kemampuan awal dalam membaca mungkin diperoleh melalui interaksi sosial, seperti melalui kegiatan membacakan yang dilakukan oleh orang tuanya. Pada saat orang tua membacakan cerita dari buku anak-anak, mungkin dalam buku itu banyak gambarnya dan berwarna-warni sehingga menarik perhatian anak. Pada awalnya anak hanya memperhatikan gambar-gambar yang ada pada buku cerita tersebut, hal tersebut secara tidak langsung mengajarkan kepada anak tentang susunan cerita. Dalam perkembangan kemampuan membaca ini, Owens (Zuchdi dan Budiasih, 1997: 20) mengemukakan bahwa ada beberapa tahap perkembangan membaca, yaitu sebagai berikut. Pada tahap pramembaca, yaitu anak yang berumur sebelum 6 tahun telah dapat membedakan huruf dan angka. Kebanyakan mereka telah mengenal nama mereka jika ditulis. Biasanya, dengan belajar melalui lingkungannya, misalnya tandatanda dan nama dari benda-benda yang dilihatnya, kata-kata yang dikenalnya sedikit demi sedikit akan lepas dari konteksnya sehingga pada akhirnya anak dapat mengenal kata-kata tersebut dalam bentuk tulisan. Pada tahap k e - 1 , yaitu sampai dengan kira-kira kelas dua, anak memusatkan pada kata-kata lepas dalam cerita sederhana. Bertambah umur yaitu antara 7 atau 8 tahun kebanyakan anak telah memperoleh pengetahuan tentang huruf, suku kata dan kata yang diperlukan untuk dapat membaca. Pada tahap ke-2, yaitu kira-kira ketika berada di kelas tiga dan empat, anak dapat menganalisis kata-kata yang tidak diketahuinya dengan menggunakan pola tulisan dan kesimpulan yang didasarkan konteksnya. Pada tahap ke-3, dari kelas empat sampai dengan kelas dua SLTP Lely HaUmakJPK- S3AJPI 40 tampak ada perkembangan pesat dalam membaca yaitu tekanan membaca tidak lagi pada pengetahuan tulisan tetapi pada pemahaman. Adapun berkaitan dengan perkembangan menulis sebagaimana dikemukakan Owens, terdapat kesejajaran antara perkembangan kemampuan membaca dan menulis. Pada umumnya penulis yang baik adalah pembaca yang baik. demikian juga sebaliknya. Proses menulis dekat dengan menggambar dalam hal keduanya mewakili simbol tertentu. Akan tetapi, menulis berbeda dengan menggambar, dan hal ini diketahui oleh anak ketika berumur sekitar tiga tahun. Dalam perkembangan kemampuan menulis ini, anak-anak mulai dengan menggambar, kemudian menulis "cakar ayam", barulah membuat bentuk-bentuk huruf. Mula-mula anak sekolah menulis, meskipun ia tidak mengetahui nama-nama huruf. Kata-kata yang dikenalnya dengan baik, misalnya namanya sendiri. Langkah selanjutnya, kemudian anak mencoba menggunakan aturan dalam menulis dengan mencocokan bunyi dan tulisan. Bunyi-bunyi dalam nama huruf dicocokan dengan bunyi-bunyi yang didengarnya. Pada mulanya anak hanya memperhatikan huruf pertama pada setiap kata, huruf-huruf lain dalam setiap kata kurang mendapat perhatian. Hal ini sama dengan tahap membaca, anak j u g a hanya memperhatikan huruf pertamanya. Berdasarkan pada hal tersebut di atas, apabila anak-anak dihadapkan pada cerita yang ditulis dengan menggunakan huruf besar ukurannya pada setiap awal kata pertama setiap paragraf, lebih-lebih jika menggunakan wama-wama yang mencolok, mereka akan lebih mudah mengenal perbedaan huruf yang satu dengan yang lainnya. Dengan kata lain kesiapan mereka membaca dan menulis akan terjadi secara relatif cepat dengan tidak memberatkannya. Uly HaBmak/PK- S3AJPI Kemampuan menulis pada anak-anak kelas 1 dan 2 sekolah dasar pada umumnya belum memperhatikan pembaca, dengan kata lain masih bersifat egosentris. Akan tetapi kira-kira ketika berada di kelas 3 atau 4 barulah terjadi perubahan. Mereka mulai memperhatikan reaksi pembaca. Mereka mulai merevisi dan menyunting tulisannya. Hal ini dipengaruhi oieh pengetahuan sintaktik (tata kalimat) yang mereka kuasai. Perkembangan selanjutnya, pada umumnya pada periode usia sekolah terjadi perkembangan kemampuan menggunakan kalimat dengan lengkap baik secara lisan maupun tertulis. Terjadi pula peningkatan penggunaan klausa dan frase yang kompleks serta penggunaan kalimat yang bervariasi. Sejalan dengan gambaran perkembangan bahasa sebagaimana dikemukakan di atas, dalam perkembangan bahasa anak sekolah khususnya Curran (Hidayat S., Kosadi, 2002: 57-58) mengemukakan bahwa perkembangan atau penguasaan berbahasa seseorang pada umumnya melalui beberapa tahap. Dalam hal ini Curran membaginya menjadi lima bagian, yaitu (1) embryonic stage, (2) self-assertion stage, (3) birth stage, (4) reversal stage, dan (5) independent stage. Tahap pertama adalah embryonic sfage, merupakan tahap ketergantungan peserta didik terhadap gurunya hampir seratus persen. Pada tahap ini tugas guru adalah mengurangi atau menghiiangkan perasaan yang dialami peserta didik seperti ini dengan memberikan bimbingan dan penyuluhan yang memadai. Guru harus memberikan peluang kepada peserta didik untuk mengungkapkan pengalaman berbahasa pengalaman apa apa saja yang adanya, pernah perasaan dilakukannya. Dengan ketergantungan yang mengemukakan tak menentu Ufy HoUmah'PK- S3/UPI itu 42 diungkapkan untuk berbagi pengalaman dengan rekan-rekan yang lainnya sehingga akan timbul rasa keberanian untuk menggunakan bahasa yang sedang dipelajarinya. Tahap kedua ialah self-assertion stage, pada tahap ini peserta didik memperoleh dukungan moral dari rekan-rekan senasibnya untuk bersama-sama menggunakan bahasa yang sedang dipelajarinya dan lama kelamaan mereka akan mengembangkan dan menemukan sendiri identitas dirinya. Pada saat inilah peserta didik sudah mulai memberanikan diri dan sedikit demi sedikit melepaskan dari ketergantungan pada guru. Tahap ketiga yaitu birth stage, pada tahap ini peserta didik secara bertahap mengurangi penggunaan bahasa ibunya. Mereka mulai merasakan kebiasaan menggunakan bahasa sasaran dalam hal ini bahasa Indonesia atau bahasa lain yang sedang dipelajari peserta didik sehingga peristiwa semacam ini akan membangkitkan rasa aman di antara sesama rekan-rekan yang lainnya. Tahap keempat ialah reversal stage, pada tahap ini hubungan antara guru dan peserta didik sudah benar-benar terjadi kontak yang memberikan rasa aman, sudah terjalin rasa saling percaya. Dalam kondisi seperti inilah peserta didik lebih aktif mencurahkan gagasannya dalam percakapan yang hidup dan lancar sehingga tidak terasa ada hambatan komunikasi di anatara peserta didik dengan peserta didik juga dengan gurunya. Tahap terakhir adalah independent stage, pada tahap ini peserta didik sudah mampu menguasai semua bahan. Oleh karena itu, peserta didik berusaha untuk memperluas bahasanya, juga aspek sosial budayanya dari penutur asli atau dari lingkungan masyarakat sekelilingnya, di tempat peserta didik berada. hdy Holimok/PK- S3/VPI 43 Uraian di atas, menggambarkan bahwa kemampuan berbahasa itu berkembang secara bertahap dan sejalan dengan bertambahnya usia, juga seiring dengan perkembangan fisik, mental, intelektual, dan sosial. (Akhadiah, dkk.1992: 3; Tarigan, 2000: 1.9). Dari seluruh aspek perkembangan tersebut perkembangan bahasa selalu dikaitkan dengan perkembangan intelektual atau perkembangan kognitif. Alasannya, karena bahasa merupakan sarana utama untuk berpikir dan bernalar. Individu menggunakan bahasa dalam berpikir baik pada saat menyimak, mewicara, membaca, maupun menulis. Kemampuan menggunakan bahasa tersebut, tidak bersifat alamiah, melainkan harus dipelajah. 2. Pemerolehan Bahasa Anak Pengertian perkembangan bahasa dan pemerolehan bahasa sulit dibedakan secara tegas. Mengingat dalam proses perkembangan bahasa yang sifatnya alami itu sebenarnya anak juga memperoleh bimbingan dari lingkungan sosialnya. Akan tetapi walaupun demikian, pada umumnya dapat dibedakan, yang biasanya tekanan pemerolehan bahasa adalah pada sifat formal bimbingan yang ditenma anak. Hal ini sebagaimana dikemukakan Pica (Zuchdi dan Budiasih, 1997: 24) membedakan tiga konteks pemerolehan bahasa, yaitu pemerolehan bahasa secara alamiah, pemerolehan bahasa melalui konteks pembelajaran, dan campuran (antara alamiah dan konteks pembelajaran). Sementara Krashen (Azies dan Alwasiiah, 1996: 23) membedakan dua kondisi pemerolehan bahasa, yaitu yang dilakukan secara tidak sadar dan yang dilakukan secara sadar. Kedua pendapat tersebut pada dasarnya mempunyai pandangan yang sama, bahwa pemerolehan bahasa dapat dilakukan melalui konteks yang alami atau Lebf Halimak/PK- S3/UP1 44 secara tidak sadar dan melalui konteks formal atau secara sadar. Proses pemerolehan bahasa yang dilakukan secara alami atau tidak sadar, yaitu seperti halnya yang terjadi pada pemerolehan bahasa pertama (bahasa ibu) pada anak kecil. Sedangkan pemerolehan bahasa yang dilakukan secara sadar atau dalam konteks pembelajaran formal, yaitu seperti halnya yang dilakukan orang dewasa mempelajari bahasa kedua pada latar formal. Pemerolehan bahasa secara alami atau yang dilakukan secara tidak sadar, sebagaimana dikemukakan Krashen dan Terrel (Astika, 1996: 1) pemerolehan bahasa ialah penguasaan bahasa yang terjadi karena bahasa tersebut digunakan dalam situasi yang komunikatif dan alami (natural). Proses pemerolehan bahasa seperti ini dialami oleh anak-anak ketika mereka belajar bahasa pertama (bahasa ibu). Menurut Tangan, (2000: 11.4) pemerolehan bahasa anak melibatkan dua keterampilan yaitu kemampuan untuk menghasilkan tuturan secara spontan dan kemampuan memahami tuturan orang (ain. Dalam konteks ini, yang dimaksud dengan pemerolehan bahasa adalah proses pemilikan kemampuan berbahasa, baik berupa pemahaman atau pun pengungkapan, secara alami, tanpa melalui kegiatan pembelajaran formal. Dengan kata lain kegiatan pemerolehan bahasa ini ditandai oleh hal-hal berikut (1) berlangsung dalam situasi informal, tanpa beban, dan di luar sekolah, (2) pemilikan bahasa tidak melalui pembelajaran formal di lembagalembaga pendidikan seperti sekolah atau kursus, (3) dilakukan tanpa sadar, dan (4) dialami langsung oleh anak dan terjadi dalam konteks berbahasa yang bermakna Sedangkan pemerolehan bahasa melalui konteks pembelajaran dan campuran yaitu antara proses alami dan konteks pembelajaran biasanya merupakan proses pemerolehan bahasa kedua. Sebagaimana halnya, bahasa Indonesia bagi hdy HaiimaiuPK- S3/UPI 45 sebagian besar anak-anak Indonesia merupakan bahasa kedua setelah mereka belajar bahasa ibu (bahasa daerah). Dengan demikian, pemerolehan bahasa Indonesia bagi sebagian besar anak-anak Indonesia melalui konteks pembelajaran. Pemerolehan bahasa akan lebih cepat apabila dilakukan melalui konteks melalui proses pembelajaran yang mendekati pemerolehan bahasa secara alami. Pemerolehan bahasa, baik secara alami maupun pembelajaran pada umumnya memiliki proses dan urutan yang sama. Dalam hal ini. Tangan (2000: 1.29 - 1.33) mengemukakan bahwa terdapat beberapa strategi pemerolehan bahasa anak, di antaranya yaitu melalui mengingat, meniru, mengalami langsung, dan bermain, a. M e n g i n g a t Mengingat mempunyai peranan yang sangat penting dalam belajar baik dalam belajar bahasa maupun dalam belajar apa pun. Setiap pengalaman indrawi yang dilalui anak direkam dalam benaknya. Baik pasa saat mereka menyentuh, mencerap, mencium, melihat dan mendengar sesuatu, memori anak menyimpannya. Panca indera ini sangat penting bagi anak dalam membangun pengetahuan tentang dunianya. Pada tahap awal belajar bahasa, anak mulai membangun pengetahuan tentang kombinasi bunyi-bunyi tertentu yang menyertai dan merujuk pada sesuatu yang dia alami. Ingatan itu akan semakin kuat, terutama bila penyebutan akan benda atau peristiwa tertentu terjadi secara berulang-ulang. Dengan cara ini, anak akan mengingat kata-kata tentang sesuatu sekaligus mengingat pula cara mengucapkannya. Hanya saja, khasanah bahasa yang diingat anak ketika diucapkan tidak selalu tepat. Mungkin lafalnya kurang pas atau suku kata awal atau akhirnya LAy HaHmak,<PK- S3/UPI 46 saja. Mal ini terjadi karena pertumbuhan otak dan alat ucap anak?nrasjhl \ ( T -'J >;<.-, 'w s& . \ L '_/ ' L . . * » \ ? £ ? '/ fi berkembang. Dia menyimpan kata yang didengarnya dalam memorinya, ^Ha-pùn? mencoba mengatakannya. A k a n tetapi tingkat r>erkembangannyate|i ^ang b e t ò n : memungkinkan dia melafalkan tuturan sesempurna orang dewasa. Karena itu, dalam berbahasa biasanya anak dibantu dengan ekspresi, gerak tangan, atau menunjuk benda-benda tertentu. b. Meniru Strategi penting lainnya yang dilakukan anak dalam belajar bahasa adalah peniruan. Perwujudan strategi ini sebenarnya tidak dapat dipisahkan dari strategi mengingat. Proses peniruan ini tidak berarti anak mengulang kembali apa yang didengarnya. Tetapi dalam proses menirunya itu terjadi perubahan yang kemungkinan dapat berupa pengurangan, penambahan, dan penggantian kata atau pengurutan susunan kata. Hal tersebut terjadi, karena ada penyebabnya, di antaranya (1) berkaitan dengan perkembangan otak, penguasaan kaidah bahasa, serta alat ucap, dengan demikian anak hanya akan mengucapkan tuturan yang telah dikuasainya, dan (2) berkenaan dengan kreativitas berbahasa anak. Di satu sisi, secara bertahap, dia dapat memahami dan menggunakan tuturan yang lebih kompleks. Di sisi lain secara bersamaan, anak membangun suatu sistem bahasa yang memungkinkan dia mengerti dan memproduksi jumlah tuturan yang tak terbatas. Keadaan ini mendorong anak senang melakukan percobaan dalam berbahasa. Percobaan ini terus berlangsung sampai kemampuan berbahasanya berpindah pada tingkat yang lebih kompleks. Lely Haltmak/PK- S3/UPI 47 Dengan kata lain, sifat peniruan penggunaan bahasa anak cenderung bersifat dinamis dan kreatif. Oleh karena itu, maka model (orang) yang memberikan masukan kebahasaan kepada anak sangat mempengaruhi corak bahasa yang dimiliki anak. Apabila modelnya baik, maka anak pun akan mempelajari versi bahasa yang baik. Sebaliknya, apabila modelnya kurang baik, maka versi bahasa yang kurang baik inilah yang akan dipelajarinya. c. Mengalami Langsung Strategi penting lain yang mempercepat anak menguasai bahasa pertama yang dipelajarinya adalah berlatih atau praktik berbahasa secara langsung dalam konteks bahasa yang sesungguhnya. Anak menggunakan bahasa yang dipelajarinya baik pada waktu berkomunikasi dengan orang lain atau mewicara sendirian. Anak mengalami langsung kegiatan berbahasa seperti menyimak dan mewicara. Dengan demikian, berdasarkan model atau respon partner komunikasinya, dia akan dapat merasakan kewajaran dan ketepatan berbahasanya. Adapun parktjk berbahasa yang dilaklukan anak, pada dasarnya bukan karena dorongan orang lain, tetapi karena ia memerlukannya. Kegiatan ini berlangsung dalam situasi informal, tanpa disadari, dan tanpa beban. Dia pun melakukan uji coba dalam berbahasa tanpa takut salah. Upaya ini merupakan sarana untuk mempermantap sistem bahasa yang dipelajarinya. Secara perlahan dan bertahap, dia mengubah, memperbaiki, dan menyimpulkan aturan bahasa itu sampai tuturannya dirasa benar dan menyerupai ujaran orang dewasa. Karena itu pula, kesalahan berbahasa bagi anak merupakan sesuatu yang wajar. Kesalahan itu menunjukkan adanya proses pemantapan aturan bahasa yang dipelajarinya. Lely Halimah/FK- S3AJPI 48 d. Bermain Kegiatan bermain merupakan faktor yang sangat penting dalam perkembangan kemampuan berbahasa anak. Sering kali mereka bedaku sebagai orang dewasa. Apabila kita perhatikan, misalnya beberapa anak perempuan bermain bersama, ada yang berlaku sebagai anak, bapak, ibu, atau kakak dalam bermain rumah-rumahan. Bahkan kadang ada yang berperan sebagai penjual dan pembeli dafam permainan dagang-dagangan atau ada pula yang berperan sebagai guru d a n siswa dalam permainan sekolah-sekolahan. Uraian di atas menggambarkan bahwa permainan bagi mereka seolah-olah berdrama, tanpa disadari, mereka berlatih mewicara dan menyimak. Dengan kata lain, bermain bagi anak berfungsi sebagai sarana untuk berlatih bahasa. Bahkan menurut Piaget dan Vigotsky (Roffuddin dan Zuhddi, 1999:38) bermain tidak hanya berpengaruh pada perkembangan jasmani, tetapi juga kognisi, emosi, sosial, dan bahasa. Secara popular bermain menurut Yacub (2000: 11) adalah kegiatan secara alamiah pada anak, tanpa dipaksa oleh apa dan siapa serta dapat menimbulkan rasa senang tanpa mengharapkan apa-apa. Oleh karena itu, bermain bagi anak dapat dimanfaatkan dan diarahkan oleh pendidik ke arah yang menjadi tujuan pendidikan. Hal ini sangat beralasan, karena banyak teori atau pendapat tentang bermain mempunyai banyak manfaat bagi perkembangan anak, di antaranya dapat membangun kepercayaan diri. Dengan demikian, bermain bagi anak merupakan kebutuhan vital. Untuk itu, berikan kesempatan kepada mereka bermain dan berikan permainan yang tepat dan baik serta benar, sehingga bermanfaat bagi pertumbuhan dan perkembangan pada tahap selanjutnya. Uly HaUmahWK- S3/UPI 49 Teori pemerolehan bahasa sebagaimana d i kemukakan di atas, tampaknya sangat penting untuk diketahui oleh guru bahasa. Apalagi bagi guru sekolah dasar, yang dalam hal ini sebagaimana dikemukakan di atas bahwa pemerolehan bahasa dapat melalui mengingat menim, mengalami langsung, dan bermain. Semuanya itu dapat diintegrasikan ke dalam pembelajaran bahasa Indonesia, dan sesuai dengan kebutuhan perkembangan usia sekolah dasar. 3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan dan Pemerolehan Bahasa Terdapat pemerolehan beberapa faktor yang mempengaruhi perkembangan dan bahasa, di antaranya menurut Tangan (2000: 1.21); Fisher & Terry (1982: 69-70) adalah sebagaimana dikemukakan berikut ini. a. Faktor Biologis Frisher & Terry mengemukakan bahwa salah satu pandangan yang cenderung melihat faktor biologi dalam pemerolehan bahasa adalah Lenneberg, yang menguraikan dasar-dasar biologis yang memungkinkan manusia menjadi manusia karena bahasanya. Menurutnya bahasa merupakan proses evolusioner dan secara genetis sebagai dasar kapasitas berbahasa pada manusia secara turun temurun. Dengan demikian, setiap anak yang lahir telah dilengkapi dengan kemampuan kodrati atau alami yang memungkinkannya menguasai bahasa. Potensi alami itu bekerja secara otomatis, Chomsky (Tangan, 2000) menyebutnya sebagai potensi yang terkandung dalam perangkat biologis anak dengan istilah Pemerolehan Piranti Bahasa (Language Acquisüion Devices). LAD adalah struktur mental yang secara internal dimiliki oleh setiap manusia, la bersifat kodrati atau bawaan (innate) dan terdapat di benak manusia secara Ldy HaOmok/PK- S3/UPI •'g abstrak. Dengan LAD inilah setiap manusia normal mampu sekaligus m bahasa apa saja berdasarkan lingkungan tempat tinggalnya atau lingkuYig^nsoSiiS^ . yang melingkupinya (Suryono, 1987: 233). Adapun perangkat b k > 1 b ^ i s j § ^ 3 § : ^ menentukan anak dapat memperoleh kemampuan berbahasa ada tiga, yaitu otak {sistem syaraf pusat), alat dengar, dan alat ucap. Ketiga hal ini memiliki peran yang mendasar. Alasan yang sangat mendasar, karena gangguan pada salah satu dari ketiganya akan sangat menghambat pemerolehan bahasa anak. b. Faktor Lingkungan Sosial Untuk memperoleh kemampuan berbahasa, seorang anak memerlukan orang lain untuk berinteraksi dan berkomunikasi. Anak yang secara sengaja dicegah untuk mendengarkan sesuatu atau menggunakan bahasanya untuk berkomunikasi, tidak akan memiliki kemampuan berbahasa. Alasannya, karena bahasa yang diperoleh anak tidak diwariskan secara genetis atau keturunan, tetapi didapat dalam lingkungan yang menggunakan bahasa. Atas dasar itu, maka menurut Tangan (2000: 1.23) anak memerlukan orang lain untuk mengirimkan dan menerima tanda-tanda suara dalam bahasa itu secara fisik. Anak memerlukan contoh atau model berbahasa, respon atau tanggapan, serta teman untuk berlatih dan beruji coba dalam belajar bahasa dalam konteks yang sesungguhnya. Dengan demikian, lingkungan sosial tempat anak tinggal dan tumbuh seperti keluarga dan masyarakat merupakan salah satu faktor utama yang menentukan perkembangan dan pemerolehan bahasanya. Haf yang perlu dibahas, berkaitan dengan proses pemerolehan bahasa dari lingkungan atau bagaimana lingkungan sosial itu memberikan dukungan kepada Ufy Halimak/PK- SJAJPI 51 anak dalam proses pemerolehan bahasa, menurut Fisher & Terry; (1982: 72- 75); Tangan (2000:1.23) di antaranya, melalui berikut ini. 1) Bahasa semang (motheresse), yaitu penyederhanaan bahasa oleh orang tua atau orang dewasa lainnya ketika berbicara dengan anak; 2) Parafrase, yaitu penggunaan kembali ujaran yang diucapkan anak dengan cara yang berbeda; 3) Menjelaskan kembali (echoing), yaitu mengulang apa yang dikatakan anak, terutama bila tuturannya tidak lengkap atau tidak sesuai dengan maksudnya; 4) Memperluas (expanding), yaitu mengungkapkan kembali apa yang dikatakan anak dalam bentuk kebahasaan yang lebih kompleks; 5) Menamai (labeling), yaitu mengidentifikasi nama-nama benda, dapat dalam bentuk benda yang sebenarnya atau benda tiruan, gambar, permainan kata, dan sebagainya; 6) Penguatan (reinforcement), yaitu menanggapi atau memberi respon positif atas perilaku bahasa anak; 7) Pemodelan (modeling), yaitu memberikan contoh berbahasa yang dilakukan orang tua atau orang dewasa; 8) Involved and participating, yaitu melibatkan dan mengajak anak berpatisipasi dalam kegiatan berbahasa; 9) Memilih (choosing), yaitu orang tua memilih kata atau kalimat yang dapat dipahami oleh anak. c. Faktor Inteligensi Intelektual adalah daya atau kemampuan anak dalam berpikir atau bernalar. Intelegensi ini bersifat abstrak dan tidak dapat diamati secara langsung. Pemahaman tentang tingkat intelegensi seseorang hanya dapat disimpulkan melalui perilakunya. Sesungguhnya, semua anak baik yang bernalar tinggi, sedang, ataupun rendah, pada umumnya dapat belajar dan memperoleh bahasa dengan sukses. Perbedaannya terletak pada jangka waktu dan tingkat kreativitas. Anak yang berintelegensi tinggi, tingkat pencapaian bahasanya lebih cepat, lebih banyak, dan lebih bervariasi khasanah bahasanya daripada anak-anak yang mempunyai kemampuan bernalar sedang maupun rendah. Dalam hal ini Fisher & Terry mengemukakan bahwa bahasa merupakan respon intelektual. Sebagaimana dalam Ldy HalimaWK- S3AJPI 52 pandangan Piaget, bahwa respon intelektual bukan merupakan sesuatu yang diwariskan. Oleh karena itu, anak mewarisi suatu tendensi atau kecenderungan untuk mengorganisasikan proses intelektual mereka dan mengadaptasikannya ke dalam lingkungannya. d. Faktor Motivasi Dalam belajar bahasa, seorang anak tidak terdorong demi bahasa sendiri. Mereka belajar bahasa karena kebutuhan dasar yang bersifat praktis, seperti lapar, haus, serta perlu perhatian dan kasih sayang Goodman; Tompkins & Hoskisson (Tangan, 2000:1.27). Inilah yang disebut motivasi instrinsik yang berasal dari dalam diri anak itu sendiri. Untuk itulah mereka memerlukan komunikasi dengan sekitarnya. Kebutuhan komunikasi itu ditujukan agar dia dapat dipahami dan memahami guna mewujudkan kepentingan dirinya. Selain adanya dorongan dari dalam, alasan lain untuk berbahasa dalam perkembangannya anak merasakan bahwa komunikasi bahasa yang dilakukannya membuat orang lain senang dan gembira sehingga anak pun kerap menerima pujian d a n respon baik dari mitra bicaranya. Kondisi ini memacu anak untuk belajar dan menguasai bahasanya lebih baik, dan inilah yang dikenal dengan motivasi ekstrinsik. Faktor-faktor tersebut, apabila dipadankan dengan hasil penelitian para ahli psikologi, khusunya psikologi perkembangan sejak abad ke xx yang telah melahirkan berbagai teori perkembangan yang sangat populer dalam dunia pendidikan. Teori perkembangan yang dimaksud menurut Arbi dan Syahrun, 1992: 56-57) adalah sebagai berikut ini. Uly HaUmah/PK- S3AJPI 53 1) Teori Nativisme Menurut teori ini yang salah seorang tokohnya adalah Scnopenhouer berpendapat bahwa seorang anak yang lahir ke dunia dilengkapi dengan pembawaan atau warisan baik atau buruk. Oleh karena itu, hasil akhir pendidikan bagi seorang anak ditentukan oleh pembawaannya. 2) Teori Empirisme Salah seorang pakar dari teori ini adalah John Locke, menurutnya bahwa anak lahir ke dunia bagaikan kertas putih atau tabularasa. Lingkunganlah yang akan mengukir/menulis kertas putih itu melalui pengalaman-pengalaman empirik. Oleh karena itu, faktor yang menentukan perkembangan anak adalah lingkungan. 3) Teori Konvergensi Salah seorang tokoh teori ini adalah William Stem. Menurut teori ini, perkembangan seorang anak dipengaruhi baik oleh faktor bawaan maupun oleh faktor lingkungan. Kedua faktor ini sama-sama mempunyai peranan penting bagi perkembangan anak. 4) Teori Maturasi Teori ini menekankan bahwa efek usaha belajar tergantung pada tingkat kedewasaan (maturasi) yang telah dicapai anak. Tidak ada gunanya memaksa individu melakukan usaha belajar yang sebenarnya jika individu yang bersangkutan belum matang. Faktor-faktor tersebut tentunya harus menjadi bahan pertimbangan bagi guru selama pembelajaran bahasa. Dengan mempertimbangkan faktor-faktor tersebut, berarti guru memahami dengan baik karakteristik peserta didiknya, dan ini harus dilakukan oleh guru karena sangat membantu perkembangan dan pemerolehan Lefy HelimaVPK- SS/VPI 54 bahasa peserta didik. Salah satunya yang sangat penting dari adanya pemahaman tersebut, guru akan berusaha menciptakan lingkungan belajar yang sesuai dengan kebutuhan perkembangan peserta didiknya. B. Landasan Teoretis Pembelajaran Bahasa 1. Hakikat Bahasa Bahasa atau dalam bahasa Inggrisnya dikenal dengan language berasal dari bahasa Latin yang berarti "lidah" (sebagai atat ucap). Berdasarkan pada arti kata tersebut, maka bahasa pada dasarnya merupakan rangkaian bunyi (ujaran) yang dihasilkan oleh alat ucap yang melambangkan pikiran, perasaan serta sikap seseorang. Dengan demikian, maka bahasa adalah lambang atau lebih lengkapnya, menurut Syafi'ie (1089: 73) bahasa adalah suatu sistem lambang/simbul/tanda yang terdiri dari bunyi-bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap. Bahasa sebagai sistem lambang, dalam pemakaiannya, lambang itu digunakan sesuai dengan kaidah yang berlaku, di antaranya kaidah pembentukan. Kaidah-kaidah tersebut, di antaranya rangkaian bunyi membentuk gabungan kata, klausa, dan kalimat. Setiap bahasa pada dasarnya mempunyai sistem kaidah yang harus dikuasai oleh pemakainya dalam arti bahwa setiap pemakai bahasa harus mempunyai pengetahuan kaidah-kaidah bahasanya serta mampu merealisasikannya dalam tuturan pemakaian bahasa pada suatu peristiwa komunikasi tertentu (Safi'ie, 1989: 73; Akhadiah, dkk. 1992: 2). Bahasa sebagai sistem lambang, menurut Roft'uddin dan Zuhdi (1999: 190) keberadaannya disebabkan oleh dua alasan, di antaranya yaitu (1) karena manusia sanggup berpikir secara simbolik, mereka merepresentasikan sesuatu dengan Uty HoUmah/PK- SSAJP1 55 sesuatu yang lain, mereka mampu menciptakan sistem-sistem simbolik, (2) karena manusia adalah makhluk sosial yang menggunakan bahasa sebagai sarana komunikasi dalam kehidupannya. Komunikasi sosial antarmanusia memiliki peranan yang sangat penting (2003:1.2) komunikasi dalam atau kehidupan interaksi membutuhkan eksistensinya diakui. manusia. semakin Bahkan penting menurut Rosdiana pada saat manusia Kegiatan ini membutuhkan a l a t sarana, atau media, yaitu bahasa. Oleh karena itu, sejak saat itulah bahasa menjadi alat, sarana atau media. Bahasa sebagai sistem lambang, pada dasarnya digunakan oieh manusia untuk kepentingan berkomunikasi atau sebagai alat komunikasi. Sebagai alat komunikasi, bahasa pada dasarnya mempunyai dua unsur utama, yakni bentuk (arus ujaran) dan makna (isi). Bentuk merupakan bagian yang dapat diserap oleh panca indera (melalui mendengar dan membaca). Bagian ini terdiri atas dua unsur yaitu unsur segmental dan unsur suprasegmental. Unsur segmental secara hierarkis dari segmen yang paling besar sampai segmen yang paling kecil yaitu wacana, kalimat, frasa, kata, morfem dan fonem. Adapun unsur suprasegmental terdiri atas intonasi. Unsur-unsur intonasi di antaranya tekanan (keras, lembut), nada (tinggi, rendah), durasi (panjang, pendek waktu pengucapan), dan perhentian (yang membatasi arus ujaran). Sedangkan makna adalah isi yang terkandung dalam bentuk-bentuk di atas. sesuai dengan urutan bentuk dari segmen yang paling besar sampai segmen yang terkecil. Makna pun dibagi berdasarkan hierarki itu, yaitu makna morfemis (makna imbuhan), makna leksikal (makna kata), dan makna sintaksis (makna frasa, klausa, kalimat) serta makna wacana yang dikenal dengan tema (Rosdiana, 2 0 0 3 : 1 . 5 ) . Lely Halimak/PK- S3/ÜP1 56 Sejalan dengan bentuk dan makna bahasa, dalam kegiatan berbahasa, kedua bentuk tersebut dapat disampaikan secara lisan dan secara tertulis. Kegiatan berbahasa baik lisan maupun tulisan, secara teknis meliputi dua tahap, yaitu tahap produktif dan tahap reseptif. Kegiatan berbahasa secara produktif, yaitu ketika individu berbicara atau menulis untuk menyampaikan ide atau pikiran, dan perasaannya kepada orang lain. Sedangkan kegiatan berbahasa secara reseptif yaitu ketika individu menyimak atau membaca untuk memahami ide atau pikiran orang lain. Kedua tahap tersebut, mempunyai hubungan timbal balik yang sangat erat atau bersifat resiprokal. Bagan berikut ini, dapat menggambarkan keterjalinan antara kegiatan berbahasa produktif dan reseptif. Bagan 2.2 Keterkaitan antara Kegiatan Berbahasa secara Produktif dan Reseptif (Fisher dan Terry, 1 9 8 2 : 1 2 ) Dalam kegiatan berbahasa baik secara produktif maupun reseptif, individu harus mahir atau mampu memahami dan menggunakan Bahasa sebagai alat komunikasi, kapan pun bahasa secara efektif. komunnikasi terjadi selalu ada pembicara atau penulis dan pendengar atau pembicara. Aktivitas manusia yang Uly Halimak/PK- SSA/PI 58 menemukan keyakinannya itu adalah komunikasi. Melalui komunikasi yang efektif manusia dapat mewujudkan apa yang diinginkannya, akan tetapi, kemampuan komunikasi ini tidak dapat dikuasai dengan sendirinya, melainkan harus dipelajari. Oleh karena itu, agar peserta didik dapat berkomunikasi secara efektif, baik dalam lingkungan keluarganya, masyarakatnya, maka kelompok mereka sosialnya, membutuhkan di lingkungan berbagai kelasnya, kemampuan dan untuk melakukan secara efektif dalam setiap peristiwa komunikasi yang dihadapinya (Wood, 1981:5). Agar komunikasi menjadi efektif kuncinya adalah harus mengerti akan fungsi bahasa dan untuk menjadi komunikator yang efektif manusia dalam hal ini peserta didik harus menyadari perlunya strategi komunikasi yang tepat baginya dalam setiap situasi yang dihadapinya. Untuk itu, orang tua dan guru dapat membantu mereka membangun berbagai strategi komunikasi yang membuat mereka dapat menghadapi situasi kritis yang akan mereka hadapi. Oleh karena itu, berikut ini dikemukakan upaya-upaya untuk melatih kemampuan berkomunikasi, terutama dalam situasi proses pembelajaran. 2. Teori Pembelajaran Bahasa Sebagaimana telah dikemukakan di atas, bahwa perkembangan dan pemerolehan bahasa peserta didik di sekolah dipengaruhi oleh banyak faktor. Salah satu faktor yang sangat strategis mempengaruhinya adalah faktor guru bahasa itu sendiri, terutama yang berkaitan dengan pengetahuan yang dimiliki oleh guru tentang konsep bahasa, juga tentang teori belajar bahasa. Kedalaman dan keluasan pengetahuan guru baik tentang konsep bahasa maupun tentang teori belajar bahasa Lely Hatimak/PK- S3/UPI 57 disebut komunikasi merupakan fenomena yang rumit dan terus-menerus berubah. Walaupun demikian, menurut Azies dan Atwasilah ( 1 9 9 6 : 9 ) bila dua orang atau lebih terlibat dalam suatu komunnikasi, tentu mereka melakukan komunikasi karena beberapa alasan, di antaranya (a) mereka ingin mengatakan sesuatu, maksudnya dalam sebagian besar komunikasi, orang mempunyai pilihan apakah dia akan mewicara atau tidak, (b) mereka memiliki tujuan komunikasi, maksudnya pewicara mengatakan sesuatu karena menginginkan sesuatu terjadi sebagai akibat dari apa yang mereka katakana, apakah dia ingin merayu, mengajak, menolak, atau memuji mitra wicaranya, dan (c) mereka memiliki kode dari bahasa yang dimilikinya, maksudnya untuk mencapai tujuan komunikasinya mereka dapat memilih kata-kata yang tepat untuk tujuan tersebut. Dalam proses komunikasi, kata-kata atau ujaran-ujaran yang digunakan dalam komunikasi harus mempertimbangkan beberapa faktor di antaranya, yaitu (a) latar, maksudnya di mana kita pada saat menggunakan bahasa itu, dan pada situasi bagaimana, (b) partisipan, maksudnya siapa yang terlibat penggunaan bahasa itu, ( c ) ^ j u a n , maksudnya apa J t i j u a n penutur menggunakan bahasa itu, (d) saluran, maksudnya apakah komunikasi itu berlangsung secara tatap muka, atau melalui telepon, atau melalui surat, buku, atau novel, dan (e) topik, maksudnya komunikasi itu tentang apa. Semua faktor tersebut mempengaruhi penggunaan bahasa dalam pemilihan kata dalam berkomunikasi. Uraian di atas, memberikan gambaran bahwa bahasa mempunyai peranan yang sangat penting bagi keberlangsungan hidup manusia. Dengan bahasa manusia dapat memahami dunianya, dirinya, dan orang laiah. Manusia selalu berusaha untuk menemukan keyakinan tentang semuanya itu, dan alat yang sangat penting untuk Lefy HaBmak/PK- S3AJPI 58 menemukan keyakinannya itu adalah komunikasi. Melalui komunikasi yang efektif manusia dapat mewujudkan apa yang diinginkannya, akan tetapi, kemampuan komunikasi ini tidak dapat dikuasai dengan sendirinya, melainkan harus dipelajari. Oleh karena itu, agar peserta didik dapat berkomunikasi secara efektif, baik dalam lingkungan keluarganya, masyarakatnya, maka kelompok mereka sosialnya, membutuhkan di lingkungan berbagai kelasnya, kemampuan dan untuk melakukan secara efektif dalam setiap peristiwa komunikasi yang dihadapinya (Wood, 1981:5). Agar komunikasi menjadi efektif kuncinya adalah harus mengerti akan fungsi bahasa dan untuk menjadi komunikator yang efektif manusia dalam hal ini peserta didik harus menyadari perlunya strategi komunikasi yang tepat baginya datam setiap situasi yang dihadapinya. Untuk itu, orang tua dan guru dapat membantu mereka membangun berbagai strategi komunikasi yang membuat mereka dapat menghadapi situasi kritis yang akan mereka hadapi. Oleh karena itu, berikut ini dikemukakan upaya-upaya untuk melatih kemampuan berkomunikasi, terutama dalam situasi proses pembelajaran. 2. Teori Pembelajaran Bahasa Sebagaimana telah dikemukakan di atas, bahwa perkembangan dan pemerolehan bahasa peserta didik di sekolah dipengaruhi oleh banyak faktor. Salah satu faktor yang sangat strategis mempengaruhinya adalah faktor guru bahasa itu sendiri, terutama yang berkaitan dengan pengetahuan yang dimiliki oleh guru tentang konsep bahasa, juga tentang teori belajar bahasa. Kedalaman dan keluasan pengetahuan guru baik tenteng konsep bahasa maupun tentang teori belajar bahasa Lely HaUmah/PK- S3/UPI 59 akan sangat menentukan pola belajar bahasa yang dilakukan peserta^dfâik"Ûl0h à K} \ i * **™J^K,.. il karena itu, berikut ini dikemukakan beberapa teori belajar bahasaW è r ,7 a. Teori Behaviorlsme Ibrahim dan Syaodih (1993:11-12) d a n Kaseng (1989:13-15) mengemukakan bahwa teori belajar behaviorisme memandang kehidupan individu manusia terdiri atas unsur-unsur. Beberapa cirinya antara lain (a) mengutamakan unsur-unsur atau bagian-bagian kecil, (b) bersifat mekanistik, (c) menekankan peranan lingkungan, (d) mementingkan pembentukkan reaksi atau respon, dan (e) menekankan pentingnya latihan. Tokoh yang sangat terkenal dari teori belajar ini antara lain Thomdike, Ivan Pavlov dan B.F Skinner. Thomdike mengemukakan bahwa belajar pada binatang juga berlaku bagi manusia yaitu melalui belajar coba-coba atau "trial and errof. Hasil percobaannya melahirkan tiga prinsip atau hukum utama belajar, yaitu (a) law of readiness atau hukum kesiapan, yang menyatakan bahwa belajar akan berhasil apabila peserta didik yang belajar telah memiliki kesiapan untuk melakukan perbuatan tersebut, (b) law of exercise atau hukum latihan, yang menyatakan bahwa belajar memerlukan banyak latihan atau ulangan-ulangan, dan (c) law ofeffect atau hukum mengetahui hasil, dalam hal ini belajar akan lebih bersemangat apabila mengetahui dan mendapatkan hasil yang baik. Ivan Pavlov telah membuktikan bahwa beberapa aktivitas belajar manusia dihasilkan oleh proses pengontrolan (conditioning), sebagaimana ia melakukan percobaannya terhadap seekor anjing. Dalam percobaannya Pavlov membunyikan bel sebelum memperlihatkan makanan pada anjing, setelah diulang berkali-kali ternyata air liur anjing kefuar bila bel berbunyi meskipun tanpa makanan. Hasil Lefy Halimah/PK- S3AJPI 60 percobaan ini ternyata dapat diterapkan pada manusia, seperti peserta didik diminta berbaris sebelum masuk kelas dan apabila lonceng berbunyi baru boleh masuk kelas, hal tersebut pada akhirnya mendapat kesimpulan bahwa belajar merupakan suatu upaya untuk mengkondisikan pembentukan suatu perilaku atau respon terhadap sesuatu, atau belajar adalah hasil serentetan stimulus-respon. Skinner kemudian mengembangkan lebih lanjut teori belajar yang dikemukakan Thomdike maupun Pavlov. Teori Skinner ini dikenal dengan teori penguatan. Perbedaan dengan teori Pavlov, yang diberi kondisi adalah stimulusnya, sedangkan pada teori Skinner yang diberi kondisi adalah adalah responnya. Seperti seorang peserta didik yang mendapatkan hasil ulangannya sangat baik, kemudian oleh gurunya diberikan hadiah, maka peserta didik tersebut akan belajar lebih giat lagi agar mendapatkan hadiah kembali. Teori psikologi belajar behaviorisme sebagaimana dikemukakan di atas, menurut Azies dan Alwasitah (1996: 21-23) selama beberapa waktu diadopsi oleh para metodolog pengajaran bahasa, terutama di Amerika, yang hasilnya adalah pendekatan metode audiolingual. Metode ini ditandai dengan pemberian pelatihan terus-menerus kepada peserta didik yang diikuti dengan pemantapan, baik positif maupun negatif, sebagai fokus utama aktivitas kelas. Tugas guru adalah memberikan penghargaan kepada peserta didik yang ujarannya paling mendekati model yang diberikan oleh guru. Sementara menurut Gani ( 1 9 9 5 : 1 1 ) belajar bahasa melalui teori behaviorisme, kuncinya adalah peniruan model. Belajar bahasa dilaksanakan dengan menguasai kaidah-kaidah bahasa secara mekanistik. Peserta didik dilatih berbahasa selaras dengan pola yang disepakati tanpa penyimpangan. LOy Halimak/PK- S3/UP1 61 Dengan demikian, titik sentral kegiatan terletak pada proses pemantapan latihan untuk membentuk kebiasaan berbahasa. Dalam perkembangan teori belajar bahasa selanjutnya, Azies dan Alwastlah (1996: 22) mengemukakan bahwa teori belajar behaviorisme ditentang di antaranya oleh linguis Noam Chomsky. Sebagai pelopor teori belajar bahasa kognitif, Chomsky menyerang pandangan kaum behavioris dengan mengajukan beberapa pertanyaan berikut Bila bahasa merupakan perilaku yang dipelajari, bagaimana anak dapat mengatakan sesuatu yang tidak pernah dikatakan sebelumnya? Bagaimana mungkin sebuah kalimat baru yang hasil conditioning? Sebaliknya, diucapkan seorang anak usia empat tahun merupakan Menurutnya bahasa bahasa merupakan sistem bukanlah yang salah satu didasarkan bentuk perilaku. pada aturan dan pemerolehan bahasa pada dasarnya merupakan pembelajaran sistem tersebut. Dalam kaitan ini Chomsky memperkenalkan konsep kompetensi dan performansi. Kompetensi merujuk kepada penguasaan siswa tentang aturan-aturan gramatikal. Kemampuan menggunakan aturan-aturan ini disebut performansi. Menurutnya, dalam pembelajaran bahasa yang penting adalah pembelajar atau peserta didik menginternalisasikan aturan sehingga akan memungkinkan terjadinya performansi kreatif. Dengan kata lain, tunjukkan kepada peserta didik aturan atau struktur yang mendasari dan kemudian biarkan mereka melakukannya sendiri. Menciptakan sendiri kalimat-kalimat baru adalah tujuan pembelajaran bahasa. Berikut ini dikemukakan pengaruh teori Behaviorisme terhadap proses pembelajaran, di antaranya adalah sebagai berikut. 1) Individualisasi: Perlakuan individual didasarkan pada tugas, ganjaran, dan disiplin; Idy HaUmaMPK- SS/UP1 62 2) Motivasi: Motivasi belajar bersifat ekstrinsik melalui pembiasaan terusmenems/re/nforeemenf; 3) Metodologi: Metoda belajar dijabarkan secara rinci untuk mengembangkan keterampilan dan pengetahuan tertentu serta menggunakan teknologi pendidikan; 4) Tujuan-tujuan kurikuler Memusatkan diri pada pengetahuan dan keterampilan akademis serta tingkah laku sosial; 5) Bentuk pengelolaan kelas: Berpusat pada guru, hubungan sosial adalah cara dan bukan Tujuan; 6) Usaha mengefektifkan belajar Program pengajaran disusun secara rinci dan bertingkat, mengutamakan penguasaan bahan; 7) Partisipasi peserta didik bersifat pasif; 8) Kegiatan pembelajaran: pemahiran keteraampilan melalui pembiasaan bertahap setapak demi setapak secara terinci; 9) Tjuan umum: Pendidikan bertujuan mencapai kemampuan mengadakan sesuatu atau kompetensi (Tim Pengajar Dasar-dasar Kependidikan IKIP Bandung, 1989: 72). b. T e o r i K o g n l t i v i s m e Teori kognitif merupakan teori belajar yang lebih memfokuskan pada proses mental, terutama proses berpikir sebagai dasar belajar. Bower dan Hilgard (Kamarga, 2000: 44) mengemukakan bahwa teori kognitif berkenaan dengan bagaimana individu memperoleh pengetahuan dan bagaimana individu itu menggunakan pengetahuan tersebut untuk berperilaku lebih efektif. Lebih lanjut mereka mengemukakan bahwa teori kognitif ini cenderung mencoba untuk memahami pikiran (mind) dan kemampuan pikiran tersebut dalam mempersepsi, berpikir, belajar, dan berbahasa. Prinsip utama teori ini adalah pengenalan individu terhadap lingkungannya adalah hasil transformasi yang bukan hanya dilakukan oleh organ indra, tetapi juga oleh struktur kompleks atau sistem yang mengolah, menterjemahkan masukanmasukan indria. Individu dipandang sebagai partisipan aktif yang menyeleksi stimulan yang bermakna saja dari lingkungannya (Kaseng, 1989: 15-16). Oleh karena itu, dalam teori kognitif ini, belajar didefinisikan sebagai proses interaksi yang Uly BaUmah/PK- S3AJPI 63 menghasilkan perolehan struktur kognitif baru dengan cara mengubah struktur kognitif lamanya menjadi struktur kognitif baru. Pandangan teori kognitif dalam belajar bahasa, De Stepano (Gani, 1995: 12) mengemukakan bahwa teori ini menegaskan bahwa setiap anak/peserta didik memiliki peranan yang aktif dalam belajar bahasa. Dalam pelaksanaan peranannya itu peserta didik terlibat dengan kegiatan-kegiatan yang bergerak ke arah informasi. Kondisi seperti ini mengundang pemekaran proses intelektual peserta didik. Jadi, proses belajar bahasa sama dengan proses berpikir. Dengan kata lain, orang tidak berbahasa tanpa berpikir. Itu berarti bahwa belajar bahasa merupakan penajaman proses berpikir dan sebaliknya. Adapun tokoh-tokoh yang telah mendukung berkembangnya teori belajar kognitif yang dihubungkan dengan bahasa di antaranya adalah Piaget, Vygotsky dan Bnjner. 1) Teori Piaget Bymes (1996: 18) mengemukakan bahwa salah satu teori belajar kognitif yang dikemukakan Piaget adalah teori skema. Adapun yang dimaksud skema menurut Hasan (1996: B4-87); Zainui d a n Muiyana (2003: 3.14) adalah kapasitas intelektual yang dimiliki oleh seseorang. Sementara Pappas (1995: 21) mengemukakan bahwa dalam pandangan konstruktif, Piaget mengemukakan bahwa belajar merupakan proses berpikir yang secara terus-menerus memodifikasi skemata atau struktur kognitif. Dalam perkembangan kognitif ini, terjadi melalui tiga proses, yang meliputi asimilasi, akomodasi, dan ekuilibrasi atau keseimbangan. Asimilasi adalah proses membangun pengetahuan dengan memadukannya pada skema yang sudah ada. Sedangkan akomodasi adalah proses membangun kembali pengetahuan dengan cara memodifikasi skema yang telah ada apabila informasi yang dimilikinya Lety H«limok/PK- SS/UPI 64 tidak selaras dengan informasi baru yang diterimanya. Atau menurut Pappas, dkk (1995: 21) "Assimilation is the process by which knowledge is structured by being integrated into existing schemas. In contrast, accommodation is the process by which knowledge is restructured by making modifications in existing schematas.' Sementara dafam proses ekuilibrasi, meliputi tiga tahap: pertama individu berada pada ekuilibrasi; kedua ketika individu menerima informasi baru dan mengalami kegagalan untuk memahaminya, dan ia menjadi sadar akan kekurangan yang dimilikinya; dan ketiga, struktur mentalnya menyesuaikan diri dengan informasi baru itu dan membentuk ekuilibrasi yang lebih tinggi tingkatannya. Dengan demikian kemampuan kognitifnya berkembang (Akhadiah, dkk. 1992: 17). Dalam pandangan teori kognitif, peserta didik adalah sebagai pembelajar yang konstruktif aktif memberi makna terhadap semua fenomena. Mereka secara terus-menerus memahami dunianya berdasarkan apa yang sudah mereka pelajari sebelumnya atau berdasarkan pada apa yang sudah dibentuk dalam benaknya (skematanya). Menurut Piaget (Hasan, 1996: 65) apa yang sudah ada pada diri peserta didik adalah dasar untuk menerima yang baru, dan peserta didik dapat dikatakan belajar apabila skematanya berkembang. Jadi pembelajaran baru bermakna kalau skemata peserta didik berubah ke arah yang lebih maju. Perkembangan skemata setiap individu sebagaimana dikemukakan oleh Hasan pada umumnya dipengaruhi antara lain oleh kematangan bio-psikologis. Artinya, secara umum individu akan melalui tingkatan-tingkatan perkembangan tertentu. Dalam hal ini, menurut Piaget tingkatan perkembangan tersebut adalah sebagai berikut ini. Uly HaOmok/PK- S3/UP1 65 a) Tahap sensorimotor (O;0 - 2;0) Kegiatan intelektual pada tahap ini hampir seluruhnya mencakup gejala yang diterima secara langsung melalui indera. Pada saat ini anak mencapai kematangan dan mulai memperoleh keterampilan berbahasa, mereka mengaplikasikannya dengan menerapkannya pada objek-objek yang nyata. Anak pada tahap ini mulai memahami hubungan antara nama benda dengan benda yang diberi nama Itu. b) Tahap praoperasional (2;0 - 7;0) Pada tahap ini perkembangan bahasa sangat c e p a t Lambang-lambang bahasa yang dipergunakan untuk menunjukkan benda-benda nyyata bertambah dengan cepat. Keputusan yang diambil hanya berdasarkan intuisi, bukan berdasarkan analisis rasional. Anak biasanya mengambil kesimpulan dari sebagian kecil yang diketahuinya, dari suatu keseluruhan yang besar. c) Tahap operasi konkrit (7,0 - 1 1 ;0) Kemampuan berpikir logis mulai muncul pada tahap ini. mereka dapat berpikir secara sistematis untuk mencapai pemecahan masalah. Pada tahap ini pemecahan masalah yang dihadapinya adalah permasalahan yang konkrit. Oleh karena itu, mereka akan menemui kesulitan apabila dihadapkan kepada permasalahan yang abstrak, bahkan mungkin akan membuat anak frustrasi. Misalnya, anak seringkah menjadi frustasi apabila diminta mencari arti "tersembunyi" dari suatu kata dalam tulisan tertentu. d) Tahap opersi formal (11,0 - 1 5 , 0 ) Tahap ini ditandai dengan pola berpikir orang dewasa. Mereka dapat mengaplikasikan cara berpikir logis terhadap permasalahan dari semua kategori, baik yang abstrak maupun yang konkrit. Pada tahap ini anak sudah dapat memikirkan buah pikirannya, dapat membentuk ide-ide, berpikir tentang masa depan secara realistik (Hasan, 1996: 86; Sumantri, 1988: 48; Fisher and Terry, 1982:19-27; Zainul dan Muiyana, 2003: 3.13). 2} Teori Bruner Teori kognitif menurut Piaget berbeda dengan teori kognitif menurut Bruner. Teori Bruner dikembangkan atas dasar teori kognitif Piaget, dalam hal ini Bruner mempertaanyakan universalitas keterhubungan antara tingkat perkembangan kognitif individu dengan usia. Oleh karena itu Bruner mengadakan penelitian baru, yang hasilnya Bruner mengidentifikasi bahwa terdapat tiga tahapan berpikir yang dialami individu yaitu yang dikenal dengan tahap enactive, iconic, dan symbolic. Lely Halimak&K- S3/UPI 66 Berikut ini Hasan (1996: 88); Zainul dan Mulyana (2003: 3.15) memberikan gambaran dari ketiga tahap tersebut. a) Tahap enactive, yang terjadi pada masa kanak-kanak, pada periode apa yang dipelajari, dikenal, atau diketahui hanya sebatas dalam ingatan, yang artinya individu berpikir masih terbatas pada ruang, waktu, dan informasi yang diterimanya sebagaimana adanya; b) Tahap iconic, pada tahap ini individu sudah dapat mengembangkan kemampuan berpikir yang lebih jauh. Mereka sudah dapat mencerna dan memahami apa-apa yang tidak ada di lingkungan geografis di sekitar mereka atau pun pada waktu sekarang. Kemampuan berpikir logis sudah dapat mereka (akukan walaupun harus dikatakan bahwa tingkat abstraksi konsep masih sangat rendah; c) Tahap symbolic, pada tahap ini individu sudah mampu berpikir abstrak. Simbol-simbol bahasa, matematika, atau pun disiplin ilmu lainnya sudah dapat mereka pahami sebagaimana seharusnya. Sesuai dengan tahapan berpikir individu, pada dasarnya kerangka teori Bruner (Kamarga, 2000: 49) adalah bahwa belajar merupakan proses aktif di mana peserta didik mengkonstruk gagasan atau konsep baru berdasarkan pengetahuan yang telah dimilikinya. Peserta didik menyeleksi dan mengubah informasi, mengkonstruksi hipotesis, dan membuat keputusan didasarkan kepada struktur kognitif. Dengan kata lain bahwa individu belajar secara terkonstruksi, membangun pengetahuan berdasarkan pada apa yang telah dimilikinya. Dalam hal ini terdapat dua pengertian, yakni (1) peserta didik mengkonstruk pemahaman baru dengan menggunakan apa yang telah mereka ketahui sebelumnya, dan (2) belajar adalah proses aktif, di mana peserta didik dihadapkan dengan apa yang mereka pahami dan dipertemukan dengan situasi yang baru. Dengan memperhatikan tahapan berpikir dan proses belajar individu, maka menurut Bruner (Hasan, 1996: 89) tugas mengajar suatu mata pelajaran kepada hdy MaUmuk/PK- S3AJPI 67 peserta didik pada usia mana pun adalah memperkenalkan struktur k pelajaran tersebut sesuat dengan cara peserta didik berpikir. menggambarkan bahwa peserta didik sekolah dasar sekalipun dapat " m e ^ i i r r i a 1 pelajaran disiplin ilmu, walaupun proses konkretisasi lebih tinggi. Adapun dalam prosesnya dapat melalui (a) specrfc transfer of training (latihan pemindahan yang khusus), yaitu mengembangkan kemampuan yang dapat digunakan hanya dalam situasi-situasi khusus, dan (b) nonspeciffic tranfer (latihan pemindahan yang tidak khusus), yaitu mengembangkan keterampilan-keterampilan yang dapat digunakan di berbagai situasi dan kondisi. Ditegaskan oleh Bruner, bahwa proses pendidikan transfer yang tidak khusus lebih penting dan merupakan jantung dari proses pendidikan. 3) Teori Vygotsky Lev Semenovich Vygotsky (Gani, keyakinannya, menguasai 1995: 9) mengemukakan salah satu bahwa dalam menguasai alam individu terlebih dahulu harus kematangan diri melalui kematangan berpikir. Untuk itu proses intemafisasi setiap prilaku membuat individu mampu berpikir. Terutama internalisasi dialog eksternal seyogyanya menghadirkan ketangguhan berbahasa dalam lajur ketangguhan berpikir. Dengan kata lain, menurut Vygotsky bahwa terdapat dijelaskan oleh Vygotsky internalisasi antara berpikir dan berbahasa. Hubungan antara berpikir dan berbahasa sebagaimana dikemukakan Benson (Kamarga, 2000: 52) dapat dilihat pada anak sebelum berusia dua tahun berpikir dan berbicara berkembang secara terpisah, baru kemudian menyatu setelah anak berusia dua tahun, di mana berpikir menjadi verbal Uly HoUmok/PK- S3AIPI 68 dan berbicara menjadi rasional. Dalam hat ini, mewicara merupakan pengungkapan pikiran atau pikiran yang disuarakan. Hal ini mengambarkan pandangan Vygotsky bahwa perkembangan berpikir sangat ditentukan oleh penguasaan bahasa, atau bahasa merupakan dasar bagi pembentukkan konsep dan pikiran. Kegiatan berpikir tidak mungkin terjadi tanpa mengunakan kata-kata untuk mengungkapkan buah pikiran. Salah satu gagasan Vygotsky dalam hubungannya dengan perkembangan anak atau peserta didik yaitu adanya tahap yang disebut "The Zona of Proximal n Development (ZPD) , yang digambarkan melalui dua buah lingkaran yang saling bersentuhan. Pada sisi lingkaran yang tidak bersentuhan merupakan gambaran tingkat perkembangan nyata {the actual developmental level), dan pada sisi yang lainnya merupakan tingkat potensial sebenarnya dapat dilakukan anak (the level of Potential deveiopment). Sementara pada sisi atau daerah yang saling bersentuhan itu yang merupakan ZPD. Dengan demikian Z P D ini menggambarkan adanya kesenjangan antara apa yang telah diketahui dan apa yang belum diketahui, pada posisi apa yang belum diketahui merupakan tingkat tertinggi (higher level ofknowing) yang memerlukan bimbingan orang dewasa atau melalui berkolaborasi dengan teman sebaya yang lebih mampu (collaboration with more capable peers) Vygotsky (Byrnes, 1996: 32; Sumantri dan Permana, 1999: 27; Phillips dalam Kamarga, 2000: 53). Implikasi teori Vygotsky terhadap pembelajaran menurut Byrnes, antara lain (a) guru harus bertindak sebagai perancah atau "scaffoWs* dalam memberikan bimbingan yang tepat untuk membantu peserta didik mencapai kemajuan kemampuannya; (b) guru harus mengajar datam area "zone' of sesuai proximal Ldy Hatimak/PK- Sl/UPI 69 developmenf peserta didik, maksudnya pembelajaran harus disesuaikan dengan apa yang sudah diketahui dan dapat mengarah kepada apa yang belum diketahui; dan (c) peserta didik memerlukan banyak latihan yang bergerak dari konsep saintifik mengarah kepada kemampuan menguasai konsep secara spontan untuk menjadi lebih akurat dan umum. Ketiga pakar tersebut baik Piaget, Bruner, dan Vygotsky dalam perkembangan teori kognitif selanjutnya lebih dikenal sebagai pengembang teori konstruktif. Sesuai dengan uraian dari ketiga pakar tersebut di atas, esensi dari teori konstruktif ini pada dasarnya bahwa pengetahuan itu dibangun sendiri oleh peserta didik melalui pengalamannya dalam berinteraksi dengan lingkungan. Oleh karena itu, dalam proses pembelajaran, guru sebaiknya berperan sebagai fasilitator, sementara beserta didik aktif mencari dan menemukan sendiri pengetahuannya melalui pengalaman langsung dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Kaitannya dengan pembelajaran bahasa, ketiga pakar tersebut menurut Ross dan Roe (Zuchdi dan Budiasih, 1997: 5) mengetahui bahwa ada hubungan antara pikiran d a n bahasa, tetapi mereka berbeda dalam hal cara berpikir dan bahasa itu berhubungan. Seperti, Piaget dan Vygotsky mempunyai pandangan yang sama tentang pentingnya bahasa dalam kegiatan belajar, perbedaannya terletak pada keyakinannya seperti Piaget yakin bahwa perkembangan kognitif anak mendahului perkembangan bahasanya, sementara Vygotsky sebaliknya. Berdasarkan pemikiran dari ketiga pakar tersebut pada dasarnya menggambarkan adanya interelasi yang erat antara proses berpikir dengan proses berbahasa. Hal ini, mengisyaratkan bahwa interelasi ini harus terjabar dengan jelas dalam perencanaan program pembelajaran yang disusun oleh guru. Dengan kata Uly Halimah/PK- SS/UPI 70 lain bahwa setiap program pembelajaran hendaknya mencerminkan kenyataan bahwa kecermatan berpikir senantiasa mewarnai kecermatan berbahasa seseorang. Untuk itu perlu diupayakan agar keterampilan berbahasa yang baik dan benar selalu diimbangi oleh proses berpikir yang jernih. Chastain (Tangan, 1989:162) mengemukakan prinsip-prinsip dasar atau ciriciri utama teori kognitif dalam pembelajaran bahasa, di antaranya (1) tujuan pengajaran kemampuan adalah yang mengembangkan sama seperti pada diri para yang dimiliki oleh peserta didik tipe-tipe penutur asli, (2) dalam mengajarkan bahasa, guru harus bergerak dari yang telah diketahui menuju yang belum diketahui, maksudnya, dasar pengetahuan peserta didik kini (struktur kognitif) harus ditentukan sehingga prasyarat yang perlu bagi pemahaman bahan baru dapat diberikan, (3) bahan pelajaran dan guru harus memperkenalkan para peserta didik pada situasi-situasi yang akan meningkatkan pemakaian bahasa kreatif, (4) belajar atau pembelajaran haruslah selalu bermakna; artinya, para peserta didik hendaknya mengerti apa yang disuruh untuk dilakukan; begitu pula dengan bahan baru hendaklah selalu disusun dengan baik sehingga mudah dihubungkan dengan keberadaan struktur kognitif para peserta didik. Berdasarkan pandangan para ahli di atas, berikut ini dikemukakan pengaruh teori belajar kognitif terhadap proses pembelajaran, antara lain. 1) Individualisasi: Perlakuan individual didasarkan pada tingkat perkembangan peserta didik;. 2) Motivasi: Motivasi belajar bersifat intrinsik melalui pengetahuan yang telah dimiliki; 3) Metodologi: Mempergunakan kurikulum dan metode yang mengembangkan keterampilan dasar berpikir dan juga bahan pelajaran; 4) Tujuan-tujuan kurikuler Memusatkan diri pada pengembangan kemampuan secara keseluruhan, gerak, pendirian, bahasa, dan berpikir. Interaksi sosial sebagai alat untuk mengembangkan intelegensi; Uly HaOmak^K- S3/UP1 71 5) Bentuk pengelolaan kelas: Berpusat pada peserta didik, guru berfungsi membimbing peserta didik dalam belajar bereksplorasi dan bereksperimentasi; 6) Usaha mengefektifkan mengajar Program pengajaran disusun dalam bentuk pangetahuan yang terpadu, konsep dan keterampilan disusun secara hierarkhis; 7) Partisipasi peserta didik: Partisipasi peserta didik dituntut untuk pengembangan kemampuan berpikir. Mereka belajar dengan bekerja; 8) Kegiatan belajar peserta didik: Mengutamakan pada belajar melalui tilikan dan pemahaman; 9) Tujuan umum. Pendidikan bertujuan mengembangkan fungsi-fungsi kognitif secara optimal, dan menggunakan kecerdasan secara bijaksana (Tim Pengajar Dasar-dasar kependidikan IKIP Bandung, 1989:73). c. Teori Humanisme Berbeda dengan teori belajar behaviorisme, juga dengan teori belajar kognitivisme, maka teori belajar humanisme meyakini bahwa agar belajar menjadi bermakna, harus melibatkan baik kemampuan intelektual maupun emosional peserta didik. Hal ini beralasan mengingat, para pengikut teori belajar humanisme memandang bahwa peserta didik sebagai "a whole person" atau orang sebagai suatu kesatuan. "Humanistik Lengkapnya menurut Longstreet & Shane (1993: 138) bahwa psychologists vtew people holistically 'm the complexity of their daily lives," Para tokoh teori humanisme, menurut Syaodih (1997: 86) di antaranya J.J Rousseau dan John Dewey. Rouseau mengembangkan konsep pendidikan romatik (Romantic Education). menurut Rouseau terpendam, yaitu Ibrahim dan Syaodih (1993: 10) mengemukakan bahwa peserta didik memiliki potensi atau kekuatan yang masih potensi berpikir, berperasaan, berkemauan, keterampilan, berkembang, mencari dan menemukan sendiri apa yang diperlukannya. Melalui berbagai bentuk kegiatan dan usaha belajar peserta didik mengembangkan segala Lefy Halimah/PK- S3/UPI 72 potensi yang dimilikinya. Oleh karena itu, Rouseau menganjurkan agar peserta didik tidak usah terlalu banyak diatur dan diberi, biarkan mereka mencari dan menemukan dirinya sendiri, sebab anak dapat berkembang sendiri. Adapun John Dewey dengan aliran pendidikan progresif (Progressive Education) menurut Syaodih (1997: 10) memandang peserta didik merupakan suatu kesatuan yang utuh, perkembangan emosi dan sosial sama pentingnya dengan perkembangan intelektual. Isi pembelajaran berasal dari pengalaman peserta didik sendiri yang sesuai dengan minat dan kebutuhannya, la mereflksi terhadap masalahmasalah yang muncul dalam kehidupannya. Berkat refleksinya itu ia memahami dan dapat menggunakannya bagi kehidupan. Kedua aliran tersebut pada dasarnya tergolong pada aliran pendidikan pribadi (Personalized Education), peserta didik. yaitu pendidikan yang lebih mengutamakan peranan Dalam hal ini, pendidikan adalah ibarat persemaian, berfungsi menciptakan lingkungan yang menunjang dan terhindar dari hama-hama. Tugas guru, seperti halnya seorang petani adalah mengusahakan tanah yang gembur, pupuk, air, udara, dan sinar matahari yang sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan tanaman (peserta didik). Pendidikan bertolak dari kebutuhan dan minat peserta didik (Syaodih, 1997: 10). Uraian tersebut menggambarkan bahwa dalam aliran pendidikan pribadi menurut the center of the leaming process. expériences, Lapp, dkk. (1975: 12) 'Student becomes Teaching begins and buSds around his interests, and psychological growth patterns." Lapp, dkk., (1975) lebih rinci memberikan gambaran proses pendidikan yang dikembangkan oleh aliran pendidikan romantik dan aliran pendidikan progresif, Ldy Hdimok/PK- S3AIPI 73 terutama dilihat dari hubungan peserta didik, guru dan konten atau materi pelajaran. Pada pendidikan romantik hubungannya dapat dilihat pada bagan berikut ini. Bagan 2. 3 Pola Interaksi G u r u , Isi Pelajaran, dan Peserta dfdik pada Pendidikan Romantik Sesuai dengan pola interaksi t e r s e b u t dalam pendidikan humanisme ini peserta didik lebih banyak diberikan kebebasan berinteraksi dengan lingkungannya, agar mereka befajar dan berkembang secara alami sebagaimana mereka belajar berjalan dan mewicara. Dalam hal ini, pengalaman merupakan isi pembelajaran yang sekaligus guru kebebasan alamiah mereka. Lingkungan diupayakan dapat memberikan kepada peserta didik untuk mewujudkan rasa ingin tahunya dan pengalaman merupakan akibat aktivitasnya, sehingga mereka menemukan pola belajarnya sendiri. Untuk mewujudkan semuanya itu, maka peran guru bukan mengajar, tetapi hanya mengarahkan dengan memberikan lingkungan yang dapat mendorong peserta didik belajar, memberikan kebebasan sesuai dengan kemampuan peserta didiknya, dan menjaga dari segala gangguan yang menghambat belajar peserta didiknya. Guru juga berperan sebagai sumber lingkungan belajar, y a n g selalu siap memberikan bantuan kepada peserta didiknya. Sedangkan pada proses pendidikan progresif, interaksi antara peserta didik, materi pembelajaran, dan guru, sebagaimana dikemukakan pada bagan berikut ini. Lely Halimak/PK- S3/UPI 74 Isi/Materi Pembelajaran Bagan 2 . 4 Pola Interaksi antara Guru, Konten, dan Peserta didik pada Proses Pendidikan Progresif Pada pendidikan progresif, peserta didik mendapat tempat yang utama dan pertama. Untuk itu, maka peran guru hanya pendukung bagi peserta didik, guru juga berperan sebagai bidan (midwife), sebagai psikolog, sebagai fasilitator, sebagai nara sumber, dan akhli metodologi. Guru tidak memberikan materi pembelajaran atau transmit content tetapi menuntun dan membantu perkembangan dan pengalaman peserta didiknya. Adapun materi pembelajaran berasal dari pengalaman peserta didik, materi pelajaran ini memberikan dasar bagi refleksi peserta didik, sehingga mereka memahaminya. Dengan cara demikian, pada akhirnya diperoleh penguasaan terhadap materi pembelajaran tersebut, sehingga berguna bagi kehidupannya. Tokoh humanisme lainnya yang sangat popular menurut Nasution (1991: 22) dan Rockler (1988: 225) adalah Maslow yang memandang bahwa aktualisasi diri peserta didik merupakan suatu kebutuhan asasi. Tiap peserta didik mempunyai "selT masing-masing yang sering tak dikenal dan disadarinya, yang tersembunyi atau tertekan dan karena itu perlu dibangkitkan dan dikembangkan. Maslow termasuk salah satu tokoh humanistik yang menginginkan pendidikan yang membebaskan peserta didik agar lebih otonom dan bersikap lebih sehat terhadap dirinya, terhadap Lefy HoUmohfi>K- S3AJPI 75 temannya, dan terhadap pelajarannya. Oleh karena itu dalam proses pembelajaran harus terdapat hubungan baik antara guru d a n peserta didik dalam suasana saling percaya, peserta didik belajar tanpa adanya paksaan dari pihak guru. Menurut Rockler bahwa ide Abraham Maslow termasuk perspektif psikologi humanisme. Sesuai dengan hierarki kebutuhan manusia, terutama kebutuhan tertinggi manusia yang meliputi kebutuhan rasa aman, rasa memiliki, rasa yakin diri, perkembangan intelektual, apresiasi estetik, dan aktualisasi diri akan berkembang dengan baik apabila dalam pelaksanaan pembelajaran, kelas dikelola dengan memperhatikan prinsip-prinsip di antaranya memberikan kebebasan yang masimal kepada peserta didik dalam hal ini tidak berarti anarki atau kurang pengawasan. Prinsip lainnya, yaitu guru lebih memaksimalkan apa yang menjadi pilihan peserta didiknya. Dalam hal ini, tidak setiap peserta didik harus membaca buku yang sama untuk setiap kali tugas membaca. Begitu pula dalam memilih topik yang akan menjadi kajian peserta didik dapat berbeda satu dengan yang lainnya. Untuk memfasilitasinya guru, tentunya dapat memberikan barbagai alternatif pilihan bagi peserta didiknya. Teori humanisme, selain menganut aliran-aliran pendidikan romatik, progresif, dan hirarki kebutuhan manusia sebagaimana dikemukakan Maslow, menurut Syaodih (1997) juga berpegang pada konsep GestaIL Dalam pandangan gestalt, anak harus dipandang sebagai suatu keseluruhan organisme yang dinamis yang senantiasa berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya untuk mencapai tujuan tertentu (Arbi dan Syahrun, 1992:60). Sementara, Kartadinata dan Dantes (1997: 5) mengemukakan bahwa anak adalah makhluk unik serta berbeda dari orang dewasa d a n juga berbeda satu sama lain, berkembang secara fisik, sosial, mental, maupun Uty HaUmah/PK- SS/UPI 76 emosional; perkembangannya bersifat hotistik, dan memiliki kesiapan belajar sebagai hasil dari kematangan dan pengalaman. Dalam pandangan gestalist, pendidikan hendaknya diarahkan untuk membina peserta didik yang utuh bukan saja aspek fisik dan intelektual tetapi juga aspek sosial dan afektif (emosi, sikap, perasaan, dan nilai). Sementara menurut Nasution ( 1 9 9 1 : 23) para Gesta lists menginginkan adanya integrasi perasaan, pikiran, dan perbuatan yang memberikan kebulatan pengalaman yang menyenangkan sesuai dengan keinginan peserta didik. Untuk itu, maka sekolah atau kelas harus menjadi tempat belajar yang menyenangkan yang membangkitkan motivasi intrinsik peserta didik karena materi pembelajaran bermakna bagi mereka. Sejalan dengan pandangannya terhadap anak, dalam pandangan teori gestalt, bahasa dipandang sebagai sistem holistik yang maknanya dikomunikasikan dan diekspresikan dalam sistem sosial sesuai dengan konteks (Harsiati. 1994:16). Dalam hal ini Pappas dkk. (1995:7) mengemukakan bahwa : Language is the major system by which meaning are communicated and expressed in our social world. Because language is used for various purposes, our meaning are expressed in various ways, by various language patterns. Thus, language cannot be understood, interpreted, or evaluated unless it is related to the social contexts in which it is being used. Atas dasar padangannya baik terhadap bahasa maupun terhadap anak, maka menurut pandangan teori gestalt belajar bahasa itu merupakan kesatuan yang utuh selaras dengan pandangan bahwa anak atau peserta didik pada hakikatnya belajar dalam keutuhan yang padu. Kaitannya dengan belajar bahasa, mengapa anak perlu belajar bahasa? Ardiana (1995: 5) mengemukakan alasannya, yaitu (1) sebagai makhluk sosial, secara naluriah manusia memerlukan hubungan dengan orang lain, Lety Holimah/PK- S3/UPI (2) belajar bahasa diperlukan untuk memahami dunia yang m e n j a d i : ^ ^ t $ r f ^ i d j ^ £ / manusia, dan (3) hal itu diperlukan untuk mengekspresikan diri sendiri. \ ' v r . .<,<*?•' f Berdasarkan alasan tersebut bagaimana anak belajar bahasa? Menurut Halliday (Rofiuddin dan Zuhdi, 1999:190) belajar bahasa sebagai belajar bagaimana memaknai, karena dalam proses belajar bahasa, manusia mempelajari makna sosial bahasa yang dihadirkannya. Bahkan manusia dalam belajar bahasa dapat terjadi secara simultan melalui tiga cara, yaitu belajar bahasa, belajar melalui bahasa, dan belajar tentang bahasa Halliday (Cario, 1995:371). Ardiana (1995:5) mengemukakan bahwa belajar bahasa merupakan kesatuan yang utuh. Artinya belajar bahasa terjadi di tengah-tengah kehidupan yang merupakan ciri khas proses sosial. Gerakan tangan, mewicara, menyimak, membaca, dan menulis, berakar dan tumbuh dengan subur pada saat anak sibuk dengan kehidupan seutuhnya. Dari uraian di atas, berikut ini dikemukakan pengaruh teori belajar humanistime terhadap proses pembelajaran. 1) Individualisasi: Perlakuan individual didasarkan pada kebutuhan dan individualitas/kepribadian peserta didik, 2) Motivasi: Motivasi belajar bersifat intrinsik, berdasarkan pemuasan kebutuhan individu. 3) Metodologi: Menggunakan pendekatan proyek yang terpadu, menekankan pada mempelajari kehidupan sosial; 4) Tujuan-tujuan kurikuler Memusatkan diri pada pengembangan sosial, keterampilan berkomunikasi, tanggap kepada kebutuhan kelompok dan individu; 5) Bentuk pengelolaan kelas: Peserta didik diberi kebebasan memilih, sedangkan guru membantu dan bukan mengarahkan; 6) Usaha mengefektifkan mengajar. Program pengajaran disusun dalam bentuk topik-topik yang terpadu berdasarkan kebutuhan individual peserta didik; 7) Partisipasi peserta didik: Partisipasi aktif dari peserta didik diutamakan, mereka belajar dengan bekerja. 8) Kegiatan belajar peserta didik: Mengutamakan pada belajar melalui pemahaman dan pengertian dan bukan hanya memperoleh pengetahuan belaka. Uly HaUmah/PK- SS/UP1 jj 78 9) Tujuan umum: Pendidikan bertujuan mencapai kesempurnaan diri dan pemahaman (Tim Pengajar Dasar-dasar Kependidikan, 1989:73). Aplikasi teori belajar humanistik dalam pembelajaran bahasa menurut Azies dan Afwastlah (1996: 22) pembelajaran bahasa tidak hanya mengajarkan bahasa, tetapi juga membantu peserta didik mengembangkan diri mereka sebagai manusia. Dengan demikian, yang terpenting adalah pengalaman yang mengarah kepada perkembangan kepribadian mereka serta pertumbuhan perasaan positif dianggap penting dalam pembelajaran bahasa. Menurut Rogers (Kaseng, 1989:18) salah satu cara terbaik untuk membantu proses belajar adalah menciptakan hubungan antarpribadi dengan peserta didik, guru harus menghargai dan menghormati peserta didik secara individu sebagaimana halnya mereka dipandang sebagai klien. Uraian dari ketiga teori psikologi belajar tersebut, baik psikologi belajar behaviorisme, kognitivisme, dan humanisme, menggambarkan bahwa proses pembelajaran bahasa mempunyai hubungan yang erat dengan teori psikologi belajar. Menurut Muchlisoh, dkk. (1992: 48) apabila kita perhatikan perkembangan pembelajaran bahasa selama ini tidak lepas dari pengaruh psikologi. Seperti perkembangan ilmu bahasa tradisional, struktural, hingga komunikatif, yang terakhir ini juga diwarnai oleh perkembangan psikologi dalam teori belajar yang dikenal dengan teori behaviorisme dan teori mentalisme. Seperti dikemukakan Gani (1995: 11-12) bahwa teori psikologi belajar bahasa yang paling fundamental di antaranya adalah teori behaviorisme dan teori kognitivisme. Adapun dalam perkembangan selanjutnya, Ardiana (1995: 2) menegaskan bahwa pembelajaran bahasa saat ini telah bergeser dari orientasi behaviorisme ke teori kognitivisme dan humanisme. Artinya bahwa dalam pembelajaran bahasa pada UJy HalimaWK- SS/UPI 79 hakikatnya peserta didik tidak belajar kaidah-kaidah bahasa sebagaimana disarankan dalam teori belajar behaviorisme, tetapi belajar untuk terampil berbahasa secara fungsional dan kontekstual. Memperhatikan ketiga teori belajar tersebut, tentunya masing-masing mempunyai keunggulan dan kelemahan. Biasanya teori yang muncul lebih dahulu dipandang konvensional apabila sudah ditemukan teori yang baru. Seperti teori belajar behaviorisme diterapkan, untuk saat ini, tampaknya sudah kurang relevan lagi mengingat teori belajar kognitivisme dan teori belajar humanisme dikembangkan atas dasar kritik terhadap kelemahan teori belajar behaviorisme. Untuk itu, teori belajar kognitivisme dan humanisme pada saat ini dipandang teori belajar yang relevan untuk dikembangkan dalam berbagai pembelajaran termasuk dalam pembelajaran bahasa. Dengan demikian, maka melalui penelitian ini akan mencoba merealisasikan ide-ide dari teori kognitivisme dan humanisme yang disesuaikan dengan kondisi yang ada di lapangan. 3. Pendekatan Pembelajaran Bahasa Membahas tentang pembelajaran bahasa, menurut Subyakto (Muchlisoh, dkk. 1992: 48) sekurang-kurangnya melibatkan tiga kelompok disiplin ilmu, di antaranya linguistik (ilmu bahasa), psikologi (ilmu jiwa), dan pedagogi (ilmu pendidikan). Linguistik memberikan informasi tentang bahasa dan strukturnya secara umum. Sedangkan psikologi memberikan arahan bagaimana seseorang belajar bahasa. Sementara pedagogi memberikan tuntunan tentang bagaimana meramu semua keterangan dari bahasa dan psikologi menjadi suatu metode yang sesuai untuk menciptakan pembelajaran bahasa. Uiy Halimak/PK- S3AJPI 80 Menurut Muchlisoh, dkk. seiring dengan perkembangan ilmu bahasa dan psikologi belajar, berbagai pendekatan, metode dan teknik pembelajaran bahasa pun turut berkembang dan berubah. Sampai pada akhirnya dan hingga sekarang para ahli pendidikan bahasa terus mencari cara yang paling tepat yang dapat menjawab kebutuhan peserta didik dalam belajar bahasa. Hal ini sangat beralasan, mengingat salah satu hal yang turut menentukan keberhasilan pembelajaran bahasa banyak ditentukan oleh pendekatan, metoda, dan teknik pembelajaran yang digunakan guru. Istilah pendekatan, metode, dan teknik pembelajaran ini menurut Zuchdi dan Budiasih (1997: 29) sering digunakan dengan pengertian yang sama, artinya orang menggunakan istilah pendekatan dengan pengertian yang sama dengan pengertian metode, dan sebaliknya. Begitu pula antara pengertian metode dan teknik, artinya penggunaan istilah metode dengan pengertian yang sama dengan pengertian teknik dan sebaliknya. Sebenarnya, ketiga istilah tersebut mempunyai makna yang berbeda, walaupun dalam penerapannya ketiga-tiganya saling berkaitan. Antrhony (Brown, 1994: 48) menggambarkan keterkaitan antara memberikan definisi yang secara urut pendekatan, metoda, dan teknik, yang pada umumnya digunakan dalam pembelajaran bahasa. Ketiga konsep ini merupakan urutan yang bersifat hierarkis, maksudnya pendekatan menentukan metode dan metode berpengaruh terhadap penentuan teknik. Approach is a set of assumptions dealing with the nature of language, learning, and teaching. Method is an overall plan for systematic presentation of language based upon a selected approach. Technique are the specific activities manifested in the classroom that are consistent whit a method and therefore in harmony with an approach as well. Uly Halimak/VK- S3AJPI 81 Mengacu kepada definisi yang dikemukakan Anthony, yang dimaksud dengan pendekatan dalam pembelajaran bahasa sebagai mana dikemukakan oleh para ahli pendidikan bahasa (Syafi'ie, 1989: 73; Tangan, 1989: 12; Akhadiah, dkk., 1992: 4; Z u c h d i d a n Budiasih, 1997: 29; Suratinah, 2003:2.29); Sumadi, 1 9 9 3 : 5 - 1 1 ) adalah seperangkat asumsi yang saling berkaitan tentang hakikat bahasa dan pengajaran bahasa, serta belajar bahasa. Pendekatan itu memerikan hakikat bahasa yang akan diajarkan, mengemukakan pandangan, filosofi dan pernyataan-pernyataan yang dianggap benar berkaitan dengan bahasa dan pengajaran bahasa, serta belajar bahasa. Dengan kata lain, pendekatan dalam pembelajaran bahasa, pada dasarnya mengacu kepada teori-teori menganai (1) hakikat bahasa, dan (2) hakikat pembelajaran bahasa (language feaming). Kedua hal ini bertindak sebagai sumber praktik dan merupakan prinsip dalam pembelajaran bahasa. Sedangkan yang dimaksud dengan motode dalam pembelajaran bahasa (Zuchdi dan Budiasih, 1997: 30) ialah rencana pembelajaran bahasa, yang mencakup pemilihan, penentuan, dan penyusunan secara sistematis bahan yang akan diajarkan, serta kemungkinan pengadaan remedi dan bagaimana pengembangannya. Pemilihan, penentuan, dan penyusunan bahan ajar secara sistematis, dimaksudkan agar bahan ajar tersebut mudah diserap dan dikuasai oleh peserta didik. Semuanya itu didasarkan pada pendekatan yang dianut. Dengan demikian, jelaslah bahwa suatu metode ditentukan berdasarkan pendekatan yang dianut. Dengan kata lain, pendekatan merupakan dasar penentuan metode yang digunakan. Adapun yang dimaksud dengan teknik dalam pembelajaran bahasa, merupakan cara guru menyampaikan bahan ajar yang telah disusun (dalam metode), Ldy HaUmak/PK- S3/VPI 82 dan berdasarkan pada pendekatan yang dianut. Teknik yang digunakan oleh guru bergantung pada kemampuan guru itu mencari akal atau siasat agar proses belajarmengajar dapat berjalan lancar dan berhasil dengan baik. Dalam menentukan teknik pembelajaran ini, guru perlu mempertimbangkan situasi kelas, lingkungan, kondisi d a n sifat-sifat peserta didik, dan kondisi-kondisi yang lain. Dengan demikian maka teknik pembelajaran yang digunakan oleh guru dapat bervariasi sekali. Untuk metode yang sama, dapat digunakan teknik pembelajaran yang berbeda-beda, bergantung pada berbagai faktor tersebut Seperti telah dikemukakan di atas, pendekatan erat hubungannya dengan teori dalam pembelajaran bahasa. Oleh karena itu, mengacu kepada pandangan tentang bahasa dan psikologi belajar yang dikembangkan dalam belajar bahasa, maka berikut ini dikemukakan beberapa pendekatan yang pada umumnya diterapkan dalam pembelajaran bahasa, antara lain ialah pendekatan struktural, pendekatan alamiah, pendekatan komunikatif, dan pendekatan whole language. a. Pendekatan Struktural Pendekatan struktural merupakan salah satu pendekatan dalam pembelajaran bahasa, yang dilandasi oleh asumsi yang menganggap bahasa sebagai seperangkat kaidah. Atas dasar anggapan tersebut timbul pemikiran bahwa pembelajaran bahasa harus mengutamakan penguasaan kaidah-kaidah bahasa atau tata bahasa. Oleh sebab itu, pembelajaran bahasa perlu menitik beratkan pada pengetahuan tentang struktur bahasa yang mencakup dalam fonologi, morfologi, dan sintaksis. Dengan kata lain, pendekatan struktural menyajikan materi pembelajaran berupa butir-butir gramatikal (tata bahasa) yang disusun berdasarkan tahapan-tahapan. Peserta didik belajar bahasa dimulai dari komponen bahasa yang berupa bunyi bahasa, bentuk, Lefy Haliituk/PK- S3/UPI 83 struktur, dan makna unsur-unsur tersebut (Tangan, 1 9 8 9 : 1 2 ; Zuchdi dan Budiasih, 1997: 33; Muchlisoh, dkk. 1 9 9 2 : 7 ; Akhadiah, dkk. 1992:4). b. Pendekatan Alamlah [Naturai Approach) Krashen dan Tarrel menurut Tangan (1989: 203-227) adalah pelopor pendekatan alamiah. Mereka melihat komunikasi sebagai fungsi utama bahasa, dan membedakan pengertian antara belajar tentang bahasa dan pemerolehan bahasa. Adapun pandangan-pandangan Krashen dan Terrei! dalam mengembangkan pendekatan alamiah dalam pembelajaran bahasa, tujuan utamanya adalah memperoleh seperangkat kecakapan atau kemampuan tingkat menengah atau lanjut dalam bahasa kedua (B2). Pendekatan alamiah ini lebih banyak memfokuskan diri pada makna komunikasi-komunikasi sejati daripada kepada bentuk-bentuk ucapan, atau pengetahuan bahasa seperti pada pendekatan tradisional. Ciri-ciri pendekatan alamiah ini dapat dilihat pada petunjuk-petunjuk praktik pembelajaran di kelas. 1 ) Distribusi pembelajaran dan kegiatan-kegiatan pemerolehan. Kalau memang komunikasi lebih penting daripada bentuk pada tingkat-tingkat permulaan dan lanjutan dalam pembelajaran, maka semua kegiatan kelas harus direncanakan untuk membangkitkan dan mengembangkan komunikasi. Dalam hal ini Terrell menyarankan agar seluruh waktu kelas dicurahkan untuk kegiatan-kegiatan komunikasi. Penjelasan dan latihan bentuk-bentuk linguistik harus dilakukan di luar kelas. 2) Koreksi kesalahan. Menurut Terrell, tidak ada fakta yang dapat memperlihatkan bahwa perbaikan atau koreksi kesalahan ujaran atau tuturan itu diperlukan atau sangat bermanfaat bagi pemerolehan bahasa. Sebenarnya, perbaikan-perbaikan serupa itu justru bersifat negatif terhadap motivasi, sikap dan juga menimbulkan rasa malu, sehingga hal itu dilakukan dalam situasi yang dianggap paling baik. 3) Responsi-responsi dalam B1 (bahasa Ibu) dan B2 (bahasa kedua), sebagaimana disarankan Terrei agar pembelajaran awal kelas melibatkan pemahaman-pemahaman menyimak secara agak ekslusif, dengan responsi-responsi dari para peserta didik. Ldy HaUrmh/PK- S3/UPI 84 Adapun dalam prakteknya, pembelajaran bahasa melalui pendekatan alamiah ini, perlu memperhatikan prinsip-prinsip dasar sebagaimana dianjurkan oleh penciptanya, di antaranya (1) tujuan pembelajaran bahasa permulaan adalah kompetensi komunikatif langsung, bukan kesempurnaan gramatikal, (2) pembelajaran harus diarahkan untuk modifikasi serta meningkatkan tatabahasa para peserta didik, bukan membangun satu kaidah pada satu waktu, (3) para peserta didik harus diberi kesempatan memperoleh bahasa, bukan memaksakan untuk mempelajari bahasa, (4) faktor-faktor afektiflah yang terutama dipaksakan beroperasi dalam pembelajaran, bukan faktor-faktor kognitif, (5) belajar kosakata merupakan kunci bagi pemahaman dan produksi ujaran. Dengan kosakata yang cukup banyak, peserta didik dapat memahami dan mewicara mengenai berbagai hal dalam B2 sekalipun pengetahuannya mengenai struktur bagi semua tujuan praktis masih kosong. Tangan dalam sumber yang sama mengemukakan bahwa pendekatan alamiah ini mempunyai hubungan yang sangat erat dengan pemerolehan bahasa. Keeratan hubungan tersebut menghasilkan empat prinsip umum pendekatan alamiah, seperti berikut ini. a) Komprehensi mendahului produksi: menyimak atau membaca mendahului kemampuan berbicara atau menulis. Maksudnya yang menjadi titik tolak dalam pembelajaran bahasa adalah membantu para pemeroleh memahami apa yang dikatakan kepada mereka. Beberapa dari implikasi prinsip ini adalah (1) guru selalu menggunakan bahasa sasaran, (2) focus komunikasi akan berupa topik yang menarik bagi peserta didik, (3) guru akan berupaya sekuat daya setiap saat untuk membantu peserta didik memahaminya. b) Produksi diperbolehkan muncul secara bertahap; tahapan-tahapan ini secara khusus terdiri dari: (1) responsi dengan/oleh komunikasi nonverbal, (2) responsi dengan kata tunggal, (3) kombinasi dua atau tiga kata, (4) Lely naUmah,TK- S3/UPI 85,, II i''J frasa-frasa, (5) kalimat-kalimat, dan (6) wacana yang lapi Ketepatan atau kecermatan gramatikal sangat rendah pada tana awal dan meningkat secara pelan-pelan dengan banyaknya ke bagi interaksi dan pemerolehan komunikatif. Dalam pendekatan peserta didik tidak boleh dipaksa berbicara sebelum mereka siap, dan kesalahan-kesalahan ujaran yang tidak mengganggu komunikasi tidak perlu dikoreksi. c) Silabus terdiri dari tujuan-tujuan komunikatif; ini berarti bahwa fokus setiap kegiatan kelas disusun berdasarkan topik, bukan berdasarkan struktur gramatikal. Dengan kata lain, praktek atau latihan-latihan struktur-struktur gramatikal khusus tidak merupakan fokus perhatian. Tetapi yang dituntut adalah agar tatabahasa diperoleh secara efektif apabila tujuan-tujuan bersifat komunikatif. d) Kegiatan-kegiatan yang dilakukan di dalam kelas yang bertujuan demi pemerolehan itu harus membantu upaya penurunan saringan afeksi para peserta didik. Dalam hal ini kegiatan-kegiatan di dalam kelas haruslah setiap waktu berfokus pada topik-topik yang menarik hati dan relevan dengan para peserta didik serta mendorong mereka untuk mengekspresikan gagasan-gagasan, pendapat-pendapat, keinginankeinginan, dan perasaan-perasaan mereka. c. Pendekatan Komunikatif Pendekatan komunikatif dalam pembelajaran bahasa bermula dari suatu teori yang berlandaskan bahwa "bahasa sebagai alat komunikasi", sedangkan teori pembelajarannya yang melandasi pendekatan komunikatif adalah teori pemerolehan bahasa kedua secara alamiah. Teori ini beranggapan bahwa proses belajar bahasa akan lebih efektif apabila dipelajari secara informal melalui komunikasi secara langsung di dalam bahasa target. Akhadiah, dkk (1992: 6-7) mengemukakan bahwa pendekatan komunikatif dalam pembelajaran bahasa bermula dari teori tentang bahasa sebagai alat komunikasi, sehingga pembelajaran bahasa ditujukan pada kompetensi komunikatif. Secara umum tujuan-tujuan yang akan dicapai melalui pendekatan komunikatif menyangkut fungsi bahasa sebagai sarana ekspresi, sistem simbolik dan objek Lely HaUmak/PK- S3/UPI 86 belajar, sarana untuk menyatakan nilai-nilai dan penilaian diri dan orang lain, serta keperluan pengajaran remedial dan pembelajaran di sekolah. Richards (2001: 215) mengemukakan bahwa pembelajaran dengan pendekatan komunikatif, yang menjadi fokus pembelajarannya adalah "authentic communication; of pair and group negotiation extensive use is made of meaning and informating sharing. activities that involve Fluency is a priority". Lebih rinci Swarbrick (1994: 43) mengemukakan bahwa yang menjadi karakter esensial dari pembelajaran dengan pendekatan komunikatif adalah pada setiap tahapan seting belajar bahasa, pembelajaran, mulai dari pengembangan perencanaan dan pelaksanaan silabus, pengembangan aktivitas belajar, dan materi penilaian kemajuan peserta didik semuanya difokuskan pada "... language as a medium of communication". Littlewood pendekatan (Zuchdi komunikatif dan Budiasih, didasarkan pada 1997: 34) pemikiran mengemukakan bahwa (1) bahwa pendekatan komunikatif membuka diri bagi pandangan yang lebih luas tentang bahasa, hal ini menyebabkan orang melihat bahwa bahasa tidak terbatas pada tata bahasa dan kosa kata, tetapi juga pada fungsi komunikasi bahasa, (2) pendekatan komunikatif membuka diri bagi pandangan yang luas dalam pembelajaran bahasa, hal ini menimbulkan kesadaran bahwa mengajarkan bahasa tidak cukup dengan memberikan kepada peserta didik bagaimana bentuk-bentuk bahasa, tetapi peserta didik harus mampu mengembangkan cara-cara menerapkan bentuk-bentuk itu sesuai dengan bahasa sebagai sarana komunikasi dalam situasi dan waktu yang tepat. Lely Halimah/PK- S3/UPI 87 Menurut Azies dan Alwasilah (1996: 57) aktivitas pembelajaran yang sesuai dengan pendekatan komunikatif dapat dikatakan tidak terbatas, asalkan aktivitas itu membantu peserta didik meraih tujuan-tujuan komunikasi, yang ada dalam kurikulum, melibatkan peserta didik dalam komunikasi, dan perlu menggunakan proses-proses komunikatif, seperti berbagi informasi, negosiasi makna, dan interaksi. Dengan kata lain selama proses pembelajaran dengan pendekatan komunikatif, kegiatan belajar harus memberi peluang sebanyak-banyaknya kepada peserta didik untuk mengembangkan kemampuan berkomunikasi. Berdasarkan uraian di atas, pada akhirnya dapat dikemukakan bahwa pada dasarnya pendekatan komunikatif, merupakan salah satu pendekatan pembelajaran bahasa yang dilandasi oleh suatu teori bahasa, yaitu teori bahasa yang menyatakan bahwa pada hakikatnya bahasa adalah suatu sistem untuk mengekspresikan makna. Teori ini, menekankan pada dimensi semantik dan komunikatif daripada ciri-ciri gramatikal bahasa. Oleh karena itu, yang periu dikembangkan dalam pembelajaran bahasa adalah interaksi dan komunikasi bahasa, bukan pengetahuan tentang bahasa. d. Pendekatan Bahasa Menyeluruh (Whole Language Approach) Pendekatan whole language adalah suatu pendekatan dalam pembelajaran bahasa yang menyajikan pembelajaran bahasa secara menyeluruh atau utuh, sehingga tidak terpisah-pisahkan antara aspek bahasa yang satu dengan aspek bahasa yang lainnya. Perspektif whole language menurut Papas, dkk (1991: xiii) dalam perspektif bahasa terpadu, para ahlinya mempunyai keyakinan bahwa bahasa merupakan satu kesatuan (whole) yang tidak dapat dipiha-pisahkan. Oleh Lely Halimak./PK- S3/UPI 8S karena itu, pembelajaran keterampilan berbahasa dan komponen bahasa seperti tata bahasa dan kosa kata disajikan secara utuh bermakna dan daiam situasi nyata atau otentik. Richards (2001:216) menyatakan bahwa "Language is tougtas a whole and not through its separated components. Student are taught to read and write naturally, with a focus on real communication, authentic texts, and reading and writing for pleasure". Sejalan dengan mengemukakan simultaneous activities pendapat bahwa teaching meaningful to di "The atas, whole of reading and Longstreet language writing in a the young child". Dalam & Shane approach (1993: 305) emphasizes the total literacy context based on hal ini peserta didik dicelup (immersed) daiam lingkungan berbagai sumber bacaan, dan perbedaan pengalaman peserta didik dikondisi atau diatur sedemtkan rupa [orchestrated) oleh guru dengan membantu mereka memahami secara keseluruhan pola-pola bahasanya. Adapun menurut De Carlo (1995: 8) daiam situasi yang alami, bahasa merupakan keseluruhan dan utuh atau "in natural situations language is whole and intact', hal ini sesuai dengan sifat bahasa adalah terpadu. Dengan demikian, maka pembelajaran bahasa dalam pandangan holistik ini menurut Goodman (De Carlo, 1995: 177) bahasa lebih mudah dipelajari ketika bahasa itu dipelajari secara menyeluruh, fungsional, dan bermakna. bahwa "Whole language is a Lebih lanjut De Carlo mengemukakan label for mutually supportive beliefs strategies and experiences that have to do with kids learning to read, and teaching write, speak, and listen in natural situations". Sementara menurut, diva pembelajaran dengan pendekatan (1992: 354) yang sangat mendasar dalam whole language adalah meliputi penggunaan Uly Halimok/PK- S3/UPI 89 materi yang "reaf atau "outhentk? untuk pembelajaran membaca d a n menulis, yang menekankan pada kebutuhan dan minat peserta didik, dan memadukan keterampilan berbahasa dengan materi bidang studi lain. Lebih lanjut Oliva (1992: 562-565) mengemukakan bahwa pembelajaran dengan pendekatan whote language mengkondisikan peserta didik untuk belajar membaca melalui kegiatan membaca, belajar menulis melalui kegiatan menulis, begitu pula belajar mewicara melalui kegiatan mewicara, dan belajar menyimak melalui kegiatan menyimak. Kata kunci untuk guru whole language adalah "authenticify" dan guru yang menggunakan pendekatan ini berusaha untuk mengembangkan konsep diri dan rasa percaya diri peserta didiknya dengan tetap mempertimbangkan pencapaian sebagian dan menerima kesalahan berbahasa yang dilakukan oleh peserta didiknya. Dalam praktinya, pemebelajarari dengan pendekatan whole language menurut Routman dan Froese (Suratinah, 2.2- 2.9) meliputi delapan komponen, yaitu 'reading aloud, joumal writing, sustained sitent reading, shared reading, guided reading, guided writing, independent reading, dan independent writing'. Maksud dari masingmasing komponen tersebut adalah sebagai berikut. 1) Reading aloud Membaca nyaring yang dilakukan oleh guru untuk peserta didiknya, pada umumnya bertujuan untuk memberikan contoh membaca yang baik, selain itu manfaatnya di antaranya dapat meningkatkan kemampuan menyimak, memperkaya kosa kata, membantu meningkatkan kemampuan membaca pemahaman, dan tidak kalah pentingnya adalah menumbuhkan minat pada pada peserta didik. Membaca nyaring ini dapat dilakukan setiap hari saat memulai pembelajaran, dilakukan hanya beberapa menit saja (10 menit) untuk membacakan cerita. Kegiatan ini juga membantu guru untuk mengajak peserta didiknya memasuki suasana belajar. 2) Joumal writing Jurnal merupakan sarana yang aman bagi peserta didik untuk mengungkapkan perasaannya, menceritakan kejadian disekitamya, membebebrkan hasil belajarnya, d a n menggunakan bahasa dalam bentuk Lefy Haiimak/PK- SSAJPI 90 tulisan. Banyak manfaat yang dapat diperoleh terutama bagi peserta didik dari kegiatan menulis jurnal, di antaranya meningkatkan kemampuan menulis, meningkatkan kemampuan membaca, menumbuhkan keberanian menghadapi risiko, memberi kesempatan untuk membuat refleksi, meningkatkan kemampuan berpikir, dan sebagainya. 3) Sustained silent reading Memberi kesempatan kepada peserta didik untuk membaca dalam hati, dengan bahan bacaan yang dipilihnya sendiri, mempunyai pesan bagi peserta didik bahwa membaca adalah kegiatan penting yar.g menyenangkan, membaca dapat dilakukan oleh siapa saja, membaca berarti berkomunikasi dengan pengarang buku, peserta didik dapat berkonsentrasi pada bacaannya dalam waktu yang cukup lama, dan peserta didik dapat berbagi pengetahuan yang menarik dari materi yang dibacanya setelah kegiatan membaca. 4) Shared reading Shared reading adalah kegiatan membaca bersama antara guru dan peserta didik, di mana setiap orang mempunyai buku yang sedang dibacanya. Terdapat beberapa cara dalam melakukan kegiatan mi, di antaranya guru membaca dan peserta didik menyimak sambil melihat bacaan yang tertera pada buku, kemudian peserta didik membaca secara bergiliran. Maksud dari kegiatan ini di anataranya sambil melihat tulisan peserta didik mempunyai kesempatan untuk memperhatikan guru membaca sebagai model, dan memberikan kesempatan untuk memperlihatkan keterampilan membacanya, juga bagi peserta didik yang masih kurang terampil dalam membaca mendapat contoh membaca yang benar. 5) Guided reading Dalam membaca terbimbing guru menjadi pengamat dan fasilitator, dengan demikian penekannya buka dalam cara membaca itu sendiri tetapi lebih pada membaca pemahaman. Dalam guided reading semua peserta didik membaca dan mendiskusikan buku yang sama. Setelah itu guru mengajukan pertanyaan yang meminta peserta didik menjawab dengan kritis, bukan sekedar pertanyaan pemahaman. Kegiatan ini merupakan kegiatan membaca yang penting untuk dilakukan di kelas. 6} Guided writing Menulis terbimbing, seperti halnya membaca terbimbing peran guru adalah sebagai fasilitator yaitu membantu peserta didik menemukan apa yang ingin ditulisnya dan bagaimana menulinya dengan jelas, sistematis, d a n menarik. Guru bertindak sebagai pendorong bukan pengatur, sebagai pemberi saran bukan pemberi petunjuk. Dalam kegiatan ini proses menulis seperti memilih topik, membuat draf, memperbaiki, dan mengedit dilakukan oleh peserta didik sendiri. Uly Holinuth/PK- S3AJP1 91 7) Independent reading fndependent reading atau membaca bebas adalah kegiatan membaca, di mana peserta didik berkesempatan untuk menentukan sendiri materi bacaannya. Membaca bebas merupakan bagian integral dari whole language. Dalam hal ini peserta didik bertanggung jawab terhadap bacaan yang dipilihnya sehingga peran guru menjadi sebagai pengamat, fasilitator dan pemberi respon. Kegiatan ini apabila diberikan secara rutin walaupun hanya 10 menit sehari dapat meningkatkan kemampuan membaca pada peserta didik. 8) Independent writing Independent writing atau menulis bebas bertujuan untuk meningkatkan kemampuan menulis, meningkatkan kebiasaan menulis, dan meningkatkan kemampuan berpikir kritis. Jenis menulis dalam kegiatan ini dapat berupa menulis jurnal, dan menulis respon Routman & Froese (Suratinah, 2003:2.3-2.8). Adapun ciri-ciri pembelajaran bahasa yang menggunakan pendekatan whole language menurut De Carlo (1995: 22-23) adalah sebagai berikut ini. 1) Dasar filosofis tentang anak dan bahasa adalah: a) b) c) d) dasar filosofisnya adalah humanisme; peserta didik telah mengetahui bagaimana cara belajar; proses sangat penting; Bahasa tidak dapat dibagi (indivisible) 2) Bagaimana peserta didik belajar bahasa : a) mengutamakan belajar dari keseluruhan menuju kebagian-bagian; b) belajar dimulai dari hal-hal yang konkrit ke abstrak; c) pembelajaran berdasarkan pada transaksional; d) pembelajaran dikaitkan dengan teori psikologi gestal; e) belajar bahasa berdasarkan pada pengalaman dan kesesuaian personal; f) pembelajar/peserta didik belajar bahasa untuk tujuan personal; g) kekuatan dari dalam yang memotivasi belajar; h) penghargaan dari luar tidak diberikan untuk perilaku belajar; i) bahasa dipelajari melalui pencelupan {immersion). 3) Lingkungan k e l a s : a) belajar di sekolah seperti di rumah; b) lingkungan dikotori {littered) atau dipenuhi dengan bahasa yang ditulis oleh guru dan peserta didik; c) fokus utamanya pada topik atau tema; d) pengelompokan fleksibel dan seringkali dibentuk berdasarkan minat; e) kelas mendorong terciptanya kerjasama dan kolaboratif; Uly HaWimh/PK' S3/UPI 92 4) Perilaku g u r u : a) guru sebagai fasilitator tidak memberi label atau kategori kepada peserta didik b) pembelajaran bersifat informal dan berdasarkan pada discovery; c) guru memperikan kesempatan kepada peserta didik untuk menentukan pilihan; d) guru lebih menekankan pada pentingnya mencoba dan menerima risiko/tantangan; e) guru menekankan pada pentingnya makna bahasa; f) pembelajaran diberikan dalam bentuk kalimat atau unit kebahasaan yang lebih tinggi; g) prinsip-prinsip pembelajaran, dengan sistem phonik diajarkan dalam rangka pengenalan dan pemahaman kata dengan menggunakan pendekatan analitik; h) guru mengajar dengan cerita yang utuh, buku-buku atau puisi; i) brainstorming digunakan untuk membangun latar belakang pengalaman yang diperlukan dalam pembelajaran; j) guru selalu mengajar dengan menggunakan contoh; k) guru berpartisipasi secara aktif dengan peserta didik dalam membaca dan menulis. 5) Perilaku peserta didik: a) peserta didik sering merencanakan kegiatan belajarnya sendiri; b) peserta didik sering memilih topik/tujuan penulisan sendiri; c) peserta didik sering membantu satu sama lainnya dalam membaca dan menulis; d) peserta didik menggunakan bahasa untuk belajar tentang bahasanya; e) peserta didik lebih banyak berpartisipasi dalam kegiatan diskusi. 6} E v a l u a s i : Evaluasi bersifat informal, seperti mengamati, merekan, dan menggunakan contoh-contoh. Gambaran kelas whole language sebagaimana dikemukakan di atas, sejalan dengan yang dikemukakan Brown (1994:82) bahwa whole language merupakan suatu pendekatan pembelajaran yang dapat digunakan untuk menggambarkan tentang pembelajaran bahasa yang leaming, (3) student-centered learning, focus on the social nature of leaming, (1) cooperative leaming, (2) participatory (4) fdcus on the community of teamers, (5) (6) use of authentic, natural language, Lely Halimak/PK- S3/UPJ (7) 93 meaning-centered integration of the language, di berbagai atas, pembelajaran bahasa. memberikan holistic assessment techniques in testing, (8) four skills". Terdapatnya dikemukakan (8) nuansa pendekatan tentunya pembelajaran memperkaya bahasa pemahaman sebagaimana peneliti terhadap Setiap pendekatan yang dikembangkan, tentunya akan yang berbeda dalam pembelajaran bahasa. Setelah memperhatikan dari masing-masing pendekatan tersebut di atas, tentunya untuk kepentingan penelitian ini, peneliti harus memilih salah satu pendekatan yang dapat menjadi acuan untuk memperbaiki kualitas proses pembelajaran bahasa yang ada. Hal yang harus dipertimbangkan dalam memilih salah satu pendekatan ini, di antaranya (1) bagi guru, dapat memberikan kemudahan dan meningkatkan kinerjanya dalam menjalankan tugas profesionalnya, (2) bagi peserta didik, dapat memberikan motivasi untuk meningkatkan kemampuan komunikatifnya sebagaimana diharapkan dalam tujuan pembelajaran bahasa, dan (3) sejalan dengan prinsipprinsip pengembangan kurikulum mata pelajaran bahasa Indonesia yang saat ini sedang dikembangkan. C. Kurikulum 2004 Mata pelajaran Bahasa Indonesia Pada bagian ini dikemukakan tentang (1) pengembangan kurikulum 2004, (2) orientasi Kurikulum 2004 Mata Pelajaran Bahasa Indonesia, dan (3) kompetensi komunikatif dalam pembelajaran bahasa Indonesia di SD. 1. Pengembangan Kurikulum 2004 Kurikulum menurut UUSPN No. 20 tahun 2003 adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang Uly H-limok/PK- S3/UPI 94 digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Pengertian kurikulum tersebut lebih mengacu kepada pengertian kurikulum sebagai suatu rancangan (design) pendidikan. Syaodih (1997: 58) mengemukakan bahwa kurikulum sebagai suatu rancangan pendidikan, kurikulum menentukan pelaksanaan dan hasil pendidikan. Hal tersebut menggambarkan bahwa kurikulum paling tidak mempunyai dua dimensi yaitu kurikulum sebagai dokumen tertulis dari suatu rancangan atau program pendidikan (written curriculum), dan juga kurikulum sebagai pelaksanaan dari rencana tertulis tersebut (actual curriculum). Sementara menurut Hasan (1988: 28) kurikulum pada dasarnya memiliki empat dimensi yang saling berhubungan satu dengan yang lainnya. Keempat dimensi tersebut yaitu (1) dimensi kurikulum sebagai ide atau konsepsi, (2) kurikulum sebagai suatu rencana tertulis, (3) kurikulum sebagai suatu proses atau kegiatan, dan (4) kurikulum sebagai suatu hasil belajar. Kurikulum sebagai ide atau konsep pada dasarnya ada pada setiap orang yang terlibat dalam usaha pendidikan baik terlibat langsung maupun tidak langsung, apakah orang itu para pengambil kebijakan tentang pendidikan, guru, maupun orang tua. Dalam proses pengembangan kurikulum, kurikulum sebagai ide atau konsep ini terlihat jelas pada waktu proses awal penyusunan kurikulum, yaitu pada saat proses ajang pendapat (deliberation) yang pada akhirnya membuahkan suatu keputusan yang diwujudkan dalam dimensi kurikulum sebagai rencana atau sebagai dokumen tertulis. Kurikulum sebagai dokumen tertulis, pengertian ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Oliva (Longstreet dan Shane, 1993: 50) 'Curriculum is the plan or program for all experiences which the learner encounters under the direction of the Lely Halimak/PK- S3/UPI 95 schooF. Atau lebih simpel Taba dafam sumber yang sama m e n g e m u k ^ cumculumisa plan forleaming. 1 \\ Adapun kurikulum dalam dimensi proses atau kegiatan, yattb ^ r ^ a j c a j v ' realisasi dari kurikulum sebagai dokumen dan kurikulum sebagai ide. Hal ini, tampak dari adanya aktivitas guru dan peserta didik dalam interaksi belajar mengajar. Kegiatan belajar mengajar inilah sebenarnya yang merupakan esensi kurikulum, karena kurikulum dalam dimensi ini yang sesungguhnya terjadi di lapangan. Kurikulum dalam dimensi proses, hanjs mampu memberikan pengalaman belajar yang bermakna bagi peserta didik. Dalam dimensi ini, pengertian kurikulum sejalan dengan yang dikemukakan Longstreet dan Shane (1993: 49) "The cumculum i$ aB the expériences under the school's direction that lead to leaming". Atau menurut Laberty dalam sumber yang sama, adalah 'Ail of the actrviyies that are provided for students by the school constitutes its cumculum.'Dengan kata lain, seluruh aktivitas belajar atau seluruh pengalaman belajar peserta didik di bawah bimbingan guru, itu merupakan kurikulum. Sementara kurikulum dalam dimensi hasil, yaitu berkaitan dengan hasil belajar yang diperoleh peserta didik baik berupa pengetahuan, keterampilan maupun sikap. Kurikulum dalam dimensi ini pada dasarnya merupakan kelanjutan dan dipengaruhi oleh kurikulum sebagai proses. Kurikulm dalam dimensi sebagai hasil, sejalan dengan pengertian kurikulum yang dikemukakan Johnson (Longstreet dan Shane, 1993: 50) adalah "... a stnjctured séries of intended leaming outcomes.' Dilihat dari dimensi-dimensi kurikulum sebagaimana dikemukakan di atas, tampaknya menimbulkan pengertian kurikulum yang bervariasi, sesuai dengan sudut pandangnya terhadap kurikulum itu sendiri. Uraian di atas, menggambarkan Lely Halimah/PK- S3/UPI bahwa ku n kulum dapat diartikan secara fleksibel tergantung dan sudut mani memandang kurikulum itu. Beragamnya pengertian kurikulum, menggambarkan bahwa kurikulum merupakan hal yang sangat penting dalam pendidikan, (bahkan menurut Direktorat Pendidikan Menengah Umum (2004: 1) ibarat suatu kehidupan, maka kurikulum merupakan jantungnya pendidikan. Dengan kata lain kurikulum merupakan salah satu komponen penting atau merupakan salah satu faktor dominan dalam sistem pendidikan. Kurikulum pada dasarnya merupakan suatu kesatuan yang terdiri dari beberapa komponen. Dalam konteks ini, Syaodih ( 1997: 102) mengemukakan bahwa kurikulum dapat diumpamakan sebagai suatu organisme manusia ataupun binatang, yang memiliki susunan anatomi tertentu. Unsur atau komponen-komponen dari anatomi tubuh kurikulum yang utama adalah tujuan, isi atau materi, proses atau sistem penyampaian dan media, serta penilaian. Keempat komponen tersebut berkaitan erat satu sama lain. Komponen tujuan, yaitu merupakan arah atau sasaran yang ingin dicapai dalam pelaksanaan pendidikan. Tujuan pendidikan secara hierarkis meliputi tujuan pendidikan nasional, tujuan institusionsl, tujuan kurikuler, dan tujuan instruksional atau tujuan pembelajaran. Setiap tujuan tersebut, pada dasarnya meliputi domain pengetahuan, keterampilan, dan sikap serta nilai. Komponen isi atau materi, pada umumnya berkenaan dengan apa yang akan dipelajari oleh peserta didik sesuai dengan tujuan yang akan dicapai. Terkait dengan isi kurikulum ini, menurut Hymen (Ansyar, 1989: 115) meliputi ilmu pengetahuan (seperti fakta, keterangan, prinsip, dan definisi), keterampilan dan proses (seperti membaca, menulis, berhitung, menari, berpikir kritis, berkomunikasi lisan dan UlyHaUmakJPK- S3AJPI 97 tulisan), dan nilai-nilai (seperti konsep tentang hal-hal baik, buruk, betul dan salah, indah dan jelek). Komponen proses atau organisasi, yaitu berkaitan dengan bagaimana materi pembelajaran disusun atau diorganisasi sehingga peserta didik memperoleh pengalaman belajar untuk mencapai tujuan yang ingin dicapai. Organisasi materi dan pengalaman belajar menurut Ansyar dan Nurtain (1993: 14) meliputi dua dimensi, yaitu horizontal dan vertical. Organisasi horizontal berkenaan dengan ruang lingkup dan keterpaduan dari keseluruhan materi atau merupakan kaitan antara satu materi dengan materi pelajaran lainnya pada kelas yang sama. Adapun organisasi vertikal, mencakup urutan dan kesinambungan materi pelajaran berupa hubungan longitudinal materi/pengalaman belajar peserta didik. Komponen penilaian , yaitu berkaitan dengan pencarian informasi dan bukti untuk mengetahui apakah tujuan tercapai atau tidak. Komponen ini, pada dasarnya memberikan indikasi tentang keberhasilan atau ketidakberhasilan proses pembelajaran dalam mencapai tujuan yang direncanakan. Terkait mengemukakan dengan uraian di atas, lebih lanjut Syaodih (1997: 102) bahwa dalam pengembangan suatu kurikulum harus memiliki kesesuaian. Kesesuaian yang dimaksud meliputi dua hal, yaitu (1) kesesuaian antara kurikulum dengan tuntutan, kebutuhan, kondisi, dan perkembangan masyarakat, dan (2) kesesuaian antara komponen-komponen kurikulum, yaitu isi sesuai dengan tujuan, proses sesuat dengan isi dan tujuan, demikian juga penilaian sesuai dengan proses, isi, dan tujuan. Sejalan dengan pendapat di atas, berkaitan dengan pengembangan kurikulum, menurut Richards ( 2 0 0 1 : 2) adalah : Leiy HaUmah/PK- S3/UP1 98 cumculum development focuses ort detennining what knowledge, skills, and values students feam in schools, what experiences should be provided to bring about intended leaming outcomes, and how teaching and leaming in schools or educational systems can be planned, measured, and evaluated. Maksudnya bahwa yang menjadi focus pengembangan kurikulum pada dasarnya berkenaan dengan penentuan pengetahuan, keterampilan, dan nilai serta pengalaman yang sebaiknya dipelajari peserta "didik di sekolah, dan bagaimana pembelajaran direncanakan, dilaksanakan, dan dinilai dalam sistem pendidikan. Apa yang dikemukakan Richards di atas, terkait dengan apa yang dikemukakan Nasution (1995: 10) bahwa pengembangan kurikulum bukan sesuatu yang mudah dan sederhana, karena banyak hal yang harus dipertimbangkan dan banyak pertanyaan yang dapat diajukan untuk diperhitungkan. Semua pertanyaan itu menyangkut asasasas atau landasan yang mendasari setiap pengembangan kurikulum,. Asas-asas pengembangan kurikulum yang dimaksud di atas, yaitu berkenaan dengan (1) landasan filosofis yang berkaitan dengan tujuan pendidikan yang sesuai dengan filsafat negara, (2) landasan sosiologis, yaitu berkaitan dengan keadaan masyarakat, perkembangan dan perubahannya serta kebudayaannya, (3) landasan psikologis yang berkaitan dengan faktor peserta didik, yang meliputi bagaimana perkembangan peserta didik (psikologi anak), dan bagaimana peserta didik belajar (psikologi belajar), dan (4) landasan organisatoris, yang mempertimbangkan bentuk dan organisasi bahan pelajaran yang akan disajikan. Keterkaitan uraian di atas, dengan Kurikulum 2004 yang sedang dikembangkan saat ini di lapangan. Dilihat dari istilahnya Kurikulum 2004 ini lebih dikenal dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Dalam dunia pendidikan, KBK bukan hal baru. Menurut Wardani (2004: 1); Hamalik (2002: 86) dalam dunia Uly Balimah/PK- S3/UPI 99 pendidikan khususnya Kompetensi (PGBK) pendidikan guru, istilah Pendidikan Guru Berdasarkan atau Performance Based Teacher Education (PBTE) tefah disosialisasikan pada akhir tahun tujuh-puluhan. Secara teoretis pengembangan kurikulum berbasis kompetensi kebanyakan merujuk pada kompetensi seseorang yang lebih berorientasi pada kemampuankemampuan dalam pekerjaan. Akan tetapi, secara umum pengembangan kurikulum berbasis kompetensi menurut Yulaelawati (2004: 17) sangat sesuai pula untuk digunakan dalam pendidikan persekolahan. Dalam Kurikulum 2004, yang menjadi dasar pemikiran untuk menggunakan konsep kompetensi a d a l a h : 1. Kompetensi berkenaan dengan kemampuan peserta didik melakukan sesuatu dalam berbagai konteks; 2. Kompetensi menjelaskan pengalaman belajar yang dilalui peserta didik untuk menjadi kompeten; 3. Kompetensi merupakan hasil belajar (tearning outcomes) yang menjelaskan hal-hal yang dilakukan peserta didik setelah melalui proses pembelajaran; 4. Kehandalan kemampuan peserta didik melakukan sesuatu harus didefinisikan secara jelas dan luas dalam suatu standar yang dapat dicapai melalui kinerja yang dapat diukur (Depdiknas, 2002). Adapun yang dimaksud kompetensi dalam Kurikulum 2004, merupakan pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai dasar yang direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak. Kebiasaan berpikir dan bertindak secara konsisten dan terusmenerus memungkinkan seseorang menjadi kompeten. Menurut Yulaelawati (2004: 17) pengertian kompetensi tersebut cenderung sederhana, tetapi mempunyai makna yang mendalam. Dalam hal ini, menurutnya yang dimaksud dengan kebiasaan berpikir dan bertindak itu sebagaimana dikemukakan Spancer dan Spancer (1993) meliputi lima tipe kompetensi, yaitu (1) motif, adalah sesuatu yang dimiliki seseorang untuk berpikir secara konsisten atau keinginan untuk melakukan suatu aksi, (2) Uly HaUmah.VK- S3AJP1 100 pembawaan, adalah karakteristik fisik yang merespon secara konsisten berbagai situasi dan informasi, (3) konsep diri, adalah tingkah laku, nilai, atau citraan (image) seseorang, (4) pengetahuan, adalah informasi khusus yang dimiliki seseorang, dan (5) keterampilan, adalah kemampuan untuk melakukan tugas secara fisik atau mental. Dalam menggambarkan kelima -tipe kompetensi tersebut, Spenser dan Spencer (Yulaeiawati, 2004: 15) menunjukkan melalui gambar model gunung es. Pada gambar model gunung es ini menjelaskan bahwa terdapat kompetensi yang berada pada permukaan gunung es, yaitu meliputi kompetensi keterampilan. Kompetensi permukaan ini, pengetahuan dan lebih mudah dikembangkan melalui pembelajaran dan latihan. Sementara, yang berada pada bagian dasar gunung es, yaitu kompetensi pembawaan dan motif. kepribadian, Kompetensi ini merupakan inti dari dan karena berada pada bagian dasar gunung es, kompetensi pembawaan dan motif ini lebih sulit dikembangkan dan dikenali. Adapun kompetensi konsep diri yang mencerminkan sikap dan nilai, berada di tengah-tengah gunung es, yaitu antara bagian permukaan gunung es dan bagian dasar gunung es. Kompetensi konsep diri, sikap, dan nilai masih dapat dilatihkan dengan pengalaman-pengalaman belajar yang positif, produktif, dan proaktif, walaupun lebih banyak memerlukan waktu. Sejalan dengan pengertian kompetensi tersebut di atas, secara rinci Gordon (Mulyasa, 2002:38) mengemukakan aspek-aspek kompetensi, yang meliputi (1) pengetahuan (knowledge), (2) pemahaman (understanding), (3) ketrampilan (skills),, (4) nilai (value), (5) sikap (attitude), dan (6) minat (interest). Menurut Depdiknas (2002) kompetensi-kompetensi yang dikembangkan dalam KBK merupakan Lely HoUnoh/PK- S3AJPI 101 penjabaran dari tujuan pndidikan nasional. Penjabarannya kompetensi tamatan, kompetensi lintas kurikulum, dilakukan melalui kompetensi rumpun pelajaran, dan kompetensi dasar setiap mata pelajaran. Adapun gambaran dari masing-masing kompetensi adalah sebagai berikut 1) Kompetensi tamatan merupakan pengetahuan, keterampilan, sikap, dan nilai-nilai yang direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak setelah siswa menyelesaikan suatu jenjang tertentu. 2) Kompetensi lintas kurikulum adalah kompetensi yang perlu dicapai melalui seluruh rumpun pelajaran dalam kurikulum. Kompetensi lintas kurikulum merupakan pernyataan tantang pengetahuan, keterampilan, sikap, dan nilai-nilai yang direalisasikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak yang mencakup kecakapan belajar sepanjang hayat dan keterampilan hidup yang harus dimiliki. Hasil belajar dari kompetensi lintas kurikulum ini perlu dicapai melalui pembelajaran-pembelajaran dari semua rumpun pelajaran. 3) Kompetensi rumpun pelajaran merupakan pernyataan tentang pengetahuan, keterampilan, sikap, dan nilai-nilai yang direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak yang seharusnya dicapai setelah siswa menyelesaikan rumpun pelajaran tertentu. 4) Kompetensi dasar merupakan pernyataan minimal atau memadai tentang pengetahuan, keterampilan, sikap, dan nilai-nilai yang direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak setelah siswa menyelesaikan satu aspek atau sub aspek mata pelajaran tertentu (Depdiknas, 2002). Dengan orientasi pada pengembangan sejumlah kompetensi yang harus dimiliki oleh peserta didik, maka KBK memiliki ciri-ciri yaitu (1) menekankan pada ketercapaian kompetensi peserta didik baik secara individual maupun klasikal; (2) berorientasi pada hasil belajar (leaming outcomes) dan keberagaman; (3) penyampaian dalam pembelajaran menggunakan pendekatan dan metoda yang bervariasi; (4) sumber belajar bukan hanya guru, tetapi juga sumber belajar lainnya yang memenuhi unsur edukatif; (5) penilaian menekankan pada proses dan hasil belajar dalam upaya penguasaan atau pencapaian suatu kompetensi. Ldy HaUmakWK- S3/UPI 102 Sebagaimana telah dikemukakan di atas, berkenaan dengan asas-asas pengembangan kurikulum, apabila dikaitkan dengan penentuan kompetensi dalam pengembangan KBK, yang menjadi landasan filosofisnya sebagaimana dikemukakan Puskur (2003) bahwa dalam merekonseptualisasikan kurikulum ini digunakan landasan filosofis Pancasila sebagai dasarnya. Pancasila seperti kebijaksanaan dalam termaktub dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945, yaitu : 1. 2. 3. 4. Ketuhanan Yang Maha Esa; Kemanusiaan yang adil dan beradab; Persatuan Indonesia; Kerakyatan yang dipimpin oleh permusyawaratan/perwakilan; hikmat 5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Pancasila sebagai landasan filosofis pendidikan nasional, karena Pancasila merupakan jiwa seluruh rakyat Indonesia serta kepribadian dan pandangan hidup Bangsa Indonesia. Sebagai jiwa, Pancasila merupakan sumber yang memberikan kekuatan hidup kepribadian, yang Pancasila membimbing merupakan dalam pola mengejar cita-cita dasar tingkah laku hidup. Sebagai bangsa sebagai kelompok, dan sebagai pandangan hidup merupakan wawasan dalam mengartikan hidup dan kehidupan (Tim Pengajar Dasar-dasar Kependidikan IKIP Bandung, 1989). Selain itu, Pancasila sangat relevan untuk penerapan filosofis pendidikan yang mendunia seperti empat pilar belajar (Detor, 1997), yang meliputi belajar menjadi diri sendiri, belajar mengetahui, belajar melakukan, dan belajar hidup bersama. Sejalan dengan pernyataan di atas, UUSPN No.2 Tahun 2003 pasal 2 menyatakan bahwa pendidikan nasional berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Landasan filosofis tersebut, kemudian dijabarkan dalam tujuan pendidikan nasional, Lely Hallmak/PK- S3AJPI 103 f< K.J sebagaimana dinyalakan dalam pasal 3 UUSPN No. 2 Tahun 2 0 0 3 adalàp Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan d a n m e n r watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Terkait dengan landasan sosiologis dalam pengembangan kurikulum. Dalam konteks ini, pengembangan Kurikulum 2004, menurut Muhammad (2004: 2) pada dasarnya sebagai upaya perubahan dalam menanggapi berbagai perkembangan dalam masyarakat, baik masyarakat dunia maupun masyarakat lokal yang saat ini berhadapan dengan berbagai pembahan yang begitu cepat. Perubahan yang terjadi dalam sistem intorniasi dan komunikasi, bioteknologi, rekayasa genetic, teknologi ruang angkasa, knowledge-based economy di dalam dan di luar negeri. Semuanya itu, perlu diantisipasi ke dalam kurikulum secara bermakna dan responsif, yang sekaligus berupaya mengantisipasi berbagai ketimpangan kehidupan yang di antaranya menyakut moral, akhlaq, jati diri bangsa, sosial politik, ekonomi serta terobosan peningkatan mutu pendidikan yang belum mencapai taraf yang memadai. Menurut Hasan (2000: 3) landasan sosial dan budaya merupakan salah satu landasan yang seharusnya menjadi kepedulian utama dalam proses pengembangan kurikulum. Pada dasarnya, kurikulum harus mampu mengembangkan manusia sehingga mereka memiliki karakteristik dan sifat-sifat yang diperlukan baik oleh dirinya sebagai suatu pribadi maupun oleh masyarakat, bangsa, dan negara. Konsekuensinya, kurikulum harus dikembangkan berdasarkan nilai-nilai yang bedaku Lely HaUmah&K- S3/UPI 104 dalam masyarakat di mana nilai positif harus dilestarikan sedangkan nilai negatif harus dapat diubah melalui proses menjadi nilai positif. Terkait dengan pendapat di atas, yang menjadi landasan sosiologis pengembangan Kurikulum 2004, tidak hanya memperhatikan kebutuhan masyarakat lokal, tetapi lebih jauh dari itu. Dalam hal ini, memandang masyarakat Indonesia merupakan bagian dari masyarakat dunia yang dihadapkan pada tuntutan globalisasi. Oleh karena itu perlu dipertimbangkan hasil pendidikan nasional yang dapat bersaing dengan hasil pendidikan dari negara-negara maju (Puskur, 200: 5). Adapun dilihat dari landasan psikologis pengembangan Kurikulum 2004. Pada dasarnya Kurikulum 2004 ini sangat memperhatikan kebutuhan perkembangan setiap peserta didik. Dilihat dari teori perkembangan, Syaodih (1997: 47-51) mengemukakan tiga pendekatan tentang perkembangan individu, yaitu pendekatan pentahapan {stage approach), pendekatan diferensial (diferential approach), dan pendekatan ipsatif {ipsative approach). Pendekatan pentahapan, yaitu melihat perkembangan individu melalui tahaptahap perkembangannya, seperti adolesen. Salah satu teori yang dari masa kognitif sampai dengan masa banyak dijadikan acuan dalam dunia pendidikan, yaitu tahap-tahap perkembangan kognitif perkembangan konsepsi meJiputi yang dikemukakan Piaget. Menurutnya tahap sensorimotor (0-2 tahun), tahap praoperasionai (2-4 tahun), tahap konkret operasional (7-11 tahun), dan tahap formal operasional (11-15 tahun). Setiap tahap perkembangan mempunyai karakteristik tertentu yang berbeda dengan tahap lainnya. Menurut Syaodih (1997: 4 8 } pendekatan diferensial melihat bahwa individu memiliki persamaan dan perbedaan. Atas dasar itu individu dikategorikan atas Lefy Halimak/PK- SSAJPI 105 kelompok-kelompok yang berbeda, seperti pengelompokkan berdasarkan jenis kelamin, ras, agama, status sosial-ekonomi, d a n sebagainya. Selain ftu, terdapat pula pengelompokkan yang bersifat biporal, seperti : introvert - ekstra vert, dominan - submisif, agresif - pasif, aktivitas tinggi - aktivitas rendah, d a n sebagainya. Adapun pendekatan ipsatif, yaitu pendekatan yang melihat karakteristik individu yang berbeda dari individu yang lainnya. Dalam pengembangan Kurikulum 2004 pada dasarnya mempertimbangkan ketiga pendekatan tersebut. Hal ini sebagaimana dikemukakan Depdiknas (2002) dalam pedoman pelaksanaan KBK, pada poin 2 tentang diversifikasi kurikulum, menyatakan bahwa diperluas, Kurikulum diperdalam, dan Berbasis Kompetensi dapat didiversifikasi atau disesuaikan dengan keberagaman kondisi dan kebutuhan, baik yang menyangkut kemampuan atau potensi peserta didik maupun yang menyangkut potensi lingkungan. Menurutnya, pada dasarnya peserta didik dapat diklasifikasikan ke dalam tiga kelompok, yaitu normal, sedang, dan tinggi. Selain itu, pada poin 11 tentang akselerasi belajar, dikemukakan bahwa akselerasi belajar dimungkinkan untuk diterapkan sehingga peserta didik yang memiliki kemampuan di atas rata-rata dapat menyelesaikan materi pembelajaran lebih cepat dari masa belajar yang ditentukan. Kaitannya dengan landasan psikologis, dalam pengembangan kurikulum tidak hanya mempertimbangkan kebutuhan perkembangan peserta didik sebagaimana digambarkan dalam psikologi perkembangan, tetapi j u g a mempertimbangkan caracara peserta didik belajar yang pada umumnya dibahas dalam psikologi belajar. Banyak teori psikologi belajar yang dapat menjadi acuan dalam proses pembelajaran. Sebagaimana telah dikemukakan pada bagian teori belajar bahasa, Uly HattmnksVK- SJ/UPI 106 terdapat tiga kelompok teori psikologi belajar mulai dari teori belajar behaviorisme, kognitivisme, dan humanisme. Ketiga teori tersebut, tentu memiliki keterbatasanketerbatasan di samping masing-masing mempunyai kelebihan-kelebihan. Oleh karena itu, dalam pengembangan kurikulum biasanya tidak menganut teori belajar tunggal. Dalam pedoman pengelolaan KBK dikemukakan prinsip-prinsip kegiatan pembelajaran yang harus dikembangkan oleh guru. Prinsip-prinsip yang dimaksud di antaranya (1) berpusat pada peserta didik; (2) belajar dengan melakukan; (3) mengembangkan kemampuan sosial; (4) mengembangkan keingintrahuan, Imajinasi, dan fitrah Bertuhan; (5) mengembangkan keterampilan pemecahan masalah; (6) mengembangkan kreatifitas peserta didik; (7) mengembangkan kemampuan menggunakan ilmu dan tekmologi; (8) menumbuhkan kesadaran sebagai warga negara yang baik; (9) belajar sepanjang hayat; (1) perpaduan kompetensi, kerja sama, dan solidaritas. Khusus tentang komponen kegiatan belajar mengajar, dalam KBK secara eksplisit tergambar harapan bahwa pelaksanaan pembelajaran harus disesuaikan dengan kebutuhan peserta didik, baik kebutuhan perkembangannya maupun kebutuhan peserta didik untuk masa kini dan masa yang akan datang. Hal tersebut, sejalan dengan gagasan Crow & Crow (Nasution, 1991. 80-81) yang menyarankan hubungan kurikulum dan anak, di antaranya: 1) kurikulum hendaknya disesuaikan dengan keadaan perkembangan anak; 2) isi kurikulum hendaknya mencakup keterampilan, pengetahuan, dan sikap yang dapat digunakan anak dalam pengalamannya sekarang dan juga berguna untuk menghadapi kebutuhannya masa mendatang; 3) anak hendaknya didorong untuk belajar berkat kegiatannya sendiri dan tidak sekedar penerima pasif apa yang dilakukan guru; Uly HaUmah/PE- S3/UPI 107 4) sejauh mungkin apa yang dipelajari anak harus mengikuti minat dan keinginan anak yang sesuai dengan taraf perkembangannya dan bukan menurut keputusan orang dewasa tentang apakah seharusnya minat mereka". Prinsip-prinsip pembelajaran tersebut pada dasarnya menggambarkan bahwa peran guru sangat strategis dalam menjembatani antara kurikulum dengan karakteristik peserta didik. Dengan demikian, guru perlu memberikan dorongan kepada peserta didik untuk menggunakan otoritasnya dalam belajar, karena tanggung jawab belajar berada pada diri peserta didik itu sendiri. Dalam hal ini guru mempunyai tanggung jawab untuk menciptakan situasi yang mendorong prakarsa, motivasi, dan tanggung jawab peserta didik untuk belajar dan mengarahkan munculnya kesadaran untuk belajar sepanjang h a y a t Melalui Kurikulum 2004, diharapkan mampu membekali peserta didik dengan kecakapan-kecakapan hidup (life skills), yang meliputi kecakapan akademik, kecakapan sosial, kecakapan berpikir, kecakapan pribadi, dan kecakapan yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat melakukan suatu pekerjaan tertentu Untuk mewujudkan kegiatan pembelajaran sebagaimana dikemukakan di atas, maka dalam pedoman pengelolaan KBK ini juga dikemukakan prinsip-prinsip motivasi dalam belajar yang harus dipedomani oleh guru. Prinsip-prinsip motivasi yang dimaksud meliputi (1) kebermaknaan; (2) pengetahuan dan keterampilan prasyarat; (3) komunikasi terbuka; (4) menjadi model; (5) keaslian dan tugas yang menantang; (6) layanan yang tepat dan aktif; (7) penilaian tugas; (8) kondisi dan konsekuansi yang menyenangkan; (9) keragaman pendekatan; (10) mengambangkan beragam kemampuan; (11) melibatkan sebanyak mungkin indera; (12) keseimbangan pengaturan pengalaman belajar. Uly HaUnuA/PK- S3AJPI 108 Memperhatikan prinsip-prinsip di atas, menggambarkan bahwa ketiga kelompok teori belajar, baik teori belajar behaviorisme, kognitivisme, dan humanisme telah mewarnai pengembangan Kurikulum 2004. Artinya teori belajar yang dianut oleh para pengembangan Kurikulum 2004 lebih bersifat eklektis. Maksudnya, bersifat memilih aspek-aspek yang terbaik dari ketiga kelompok psikologi belajar tersebut. Hal tersebut tampak dari pernyataan yang dikemukakan dalam pedoman pelaksanaan KBK, bahwa kegiatan pembelajaran dilaksanakan dengan berpusat pada peserta didik, yaitu pendekatan belajar yang aktif, kreatif, efektif, menyenangkan, dan mencerahkan. Pendekatan lainnya seperti belajar tuntas, konstruktivisme, pemecahan masalah, berpikir reflektif, dan multikecerdasan apabila digunakan dapat memperkaya pendekatan belajar aktif. Dilihat dari landasan organisasi dalam pengembangan Kurikulum 2004. Menurut Nasution (1995: 176-226); Ibrahim dan Karyadi (1990: 16-18); Syaodih (1997: 113-124) yang dimaksud dengan organisasi kurikulum adalah berkenaan dengan pola atau bentuk bahan pelajaran disusun dan disampaikan kepada peserta didik. Organisasi kurikulum ini meliputi (1) kurikulum yang berisi mata pelajaran yang terpisah-pisah {Separated Subject Cuniculum), (2) kurikulum yang berisi sejumlah mata pelajaran yang dihubung-hubungkan (Correlated Cuniculum), dan (3) kurikulum terpadu, yaitu kurikulum yang meniadakan batas-batas antara berbagai mata pelajaran dan menyajikan bahan pelajaran dalam bentuk unit atau keseluruhan (Integrated Cuniculum). Ciri-ciri setiap bentuk organisasi kurikulum, menurut Hamalik (1993: 32-35) adalah sebagai berikut. Ciri-ciri kurikulum mata pelajaran (Subject-MatterCuniculum) di antaranya (a) terdiri atas sejumlah mata pelajaran yang terpisah satu sama lain, Lely Hollmok/PK- S3/UPI 109 (b) setiap matapelajaran seolah-olah tersimpan dalam kotak-kotak sendiri dan diberikan pada waktu tertentu, (c) kurikulum ini bertujuan pada penguasaan sejumlah ilmu pengetahuan, (d) tidak didasarkan atas kebutuhan, minat, dan tuntutan masyarakat, (e) pendekatan metodologi system penuangan, (f) pelaksanaan dengan sistem guru mata pelajaran, dan (g) peserta didik sama sekali tidak dilibatkan dalam perencanaan kurikulum. Adapun ciri-ciri dihubung-hubungkan kurikulum yang berisi sejumlah (Cormlated-Cumcuium), di antaranya mata (a) pelajaran yang mata pelajaran dikorelasikan satu sama lain, (b) sudah ada usaha untuk menyesuaikan dengan masalah kehidupan sehari-hari kendatipun tujuannya masih tetap penguasaan pengetahuan, (c) telah ada usaha untuk menyesuaikan dengan minat dan kemampuan peserta didik kendatipun pelayanan terhadap perbedaan individual masih sangat terbatas, (d) metode penyampaiannya adalah menggunakan metode korelasi kendatipun masih banyak kesulitan yang dihadapi, dan (e) guru masih memegang peran aktif, dan aktivitas peserta didik sudah mulai dikembangkan. Ciri-ciri bentuk organisasi kurikulum terpadu (Integrated Curricutum) di anataranya adalah (a) berdasarkan filsafat pendidikan demokratis, (b) berdasarkan psikologi belajar Gestalt, (c) berdasarkan landasan sosiologis dan sosio-kultural, (d) berdasarkan kebutuhan dan tingkat perkembangan-pertumbuhan peserta didik, (e) ditunjang oleh semua mata pelajaran atau bidang studi yang ada, (f) sistem penyampaiannya dengan menggunakan sistem pengajaran unit, dan (g) peran guru sama aktifnya dengan peran peserta didik. Keunggulan atau manfaat kurikulum terpadu menurut Nasution (1995: 205) di antaranya (a) segala sesuatu yang dipelajari dalam unit bertalian erat, (b) kurikulum ini sesuai dengan pendapatLely Holimah/PK- S3AJPI pendapat modem tentang belajar, (c) memungkinkan hubungan yang erat antara sekolah dengan masyarakat, (d) sesuai dengan paham demokratis, dan (e) mudah disesuaikan dengan minat, kesanggupan, dan kematangan peserta didik. Untuk melaksanakan bentuk organisasi kurikulum terpadu, Fogarty (1991) memperkenalkan sepuluh model pembelajaran terpadu yang dikelompokkan menjadi tiga tipe. Menurut Sumantri (2002: 17) ketiga tipe tersebut adalah (1) tipe pembelajaran terpadu dalam satu disiplin ilmu (fragmented, connected dan nested), (2) tipe pembelajaran terpadu antardisplin ilmu (seguenced, shared, webbed, threaded, dan integrated), dan (3) tipe pembelajaran terpadu yang mengutamakan keterpaduan faktor peserta didiknya (immersed, dan networked). Dari sepuluh model pembelajaran terpadu tersebut, yang diperkenalkan dalam program D-ll PGSD yaitu model connected, webbed, dan integrated. Pelaksanaan pendekatan pembelajaran terpadu, menurut Joni (1996: 3) dapat dipandang sebagai upaya untuk memperbaiki kualitas pendidikan di tingkat dasar, terutama dalam rangka mengimbangi gejala penjejalan kurikulum yang sering terjadi dalam proses pembelajaran di sekolah. Bentuk organisasi kurikulum dalam pengembangan Kurikulum 2004. Dalam bagian pertama pedoman pelaksanaannya, dikemukakan prinsip-prinsip pengembangan kurikulum yang terdiri dari sembilan butir. Pada butir ke sembilan dikemukakan prinsip pendekatan menyeluruh dan kemitraan. Uraiannya di antaranya dikemukakan bahwa berkesinambungan. semua Pendekatan pengalaman yang belajar digunakan dalam dirancang secara mengorganisasikan pengalaman belajar berfokus pada kebutuhan peserta didik yang bervariasi dan mengintegrasikan berbagai disiplin ilmu. Lely UaUmoh/PK- S3AJPI Ill Petunjuk tersebut, sejalan dengan uraian yang terdapat pada kurikulum, yang merupakan ketentuan untuk kelas bahwa pendekatan menciptakan tematik pembelajaran digunakan yang lebih dalam struktur satu dan dua, di antaranya kegiatan bermakna. pembelajaran untuk Pemilihan tema-tema untuk kegiatan pembelajaran dilakukan secara bervariasi. Sementara dalam ketentuan untuk kelas tiga sampai dengan kelas enam, dikemukakan bahwa mulai dari kelas tiga menggunakan pendekatan mata pelajaran tunggal sesuai dengan jenis mata pelajaran dalam struktur kurikulum. Landasan-landasan kurikulum sebagaimana telah dikemukakan di atas, tentunya harus direalisasikan dalam implementasi kurikulum. Menurut Ibrahim dan Karyadi (1990: 19-20) pengembangan kurikulum terdiri atas pengembangan tingkat institusional, pengembangan tingkat bidang studi/mata pelajaran, dan tingkat operasional/kelas. Sejalan dengan pendapat tersebut, Subandijah, (1993: 206) mengemukakan bahwa secara hirarkis pengambilan keputusan dalam pengembangan kurikulum terdapat beberapa tingkat, yaitu tingkat nasional, tingkat propinsi, tingkat sekolah, dan tingkat kelas. Khususnya dalam tahap perencanaan mengemukakan ada delapan level, yaitu kurikulum, Oliva (1992: 56)) "... levels of planning classroom, individual school, school district, state, region, nation, world". Lebih lanjut, Oliva (1992: 56) mengemukakan bahwa "If we are concerned about levels of importance, and indeed we are, we should concede that classroom planning is far more Important than any of the successive steps. At the classroom level, the results of curriculum planning make their impact on the learner.' Uly HaUmok/PK- S3/UPI 112 Adapun keterlibatan guru dalam pengembangan kurikulum, pada dasarnya mereka terutama yang dipandang kompeten dapat telibat dalam berbagai tingkat sebagaimana dikemukakan di atas. Tetapi, pada umumnya tugas guru yang utama adalah sebagai pengembang kurikulum tingkat kelas. Menurut Syaodih (1997: 150) kelas merupakan tempat untuk melaksanakan dan menguji kurikulum. Di sana semua konsep, prinsip, nilai, pengetahuan, metode, alat, dan kemampuan guru diuji dalam bentuk perbuatan, yang akan mewujudkan bentuk kurikulum yang nyata dan hidup. Oleh karena itu, gurulah pemegang kunci pelaksanaan dan keberhasilan kurikulum. Dialah sebenarnya perencana, pelaksana, penilai, dan pengembang kurikulum sesungguhnya. 2. Orientasi Kurikulum 2004 Mata Pelajaran Bahasa Indonesia Mata pelajaran bahasa Indonesia di sekolah dasar merupakan salah satu bagian dari Kurikulum 2004 secara keseluruhan, yang mempunyai nilai strategis. Alasannya, pada jenjang inilah pertama kalinya pembelajaran bahasa Indonesia dilaksanakan secara terencana dan terarah. Moment ini dapat dimanfaatkan untuk menanamkan tiga hal. Pertama, guru dapat menanamkan pengetahuan dasar bahasa Indonesia. Kedua, guru dapat menumbuhkan rasa memiliki, mencintai, dan bangga akan bahasa Indonesia pada diri peserta didiknya. Ketiga, guru dapat menumbuhkan keterampilan-keterampilan berbahasa pada peserta didiknya. Mereka yang sudah dibekali dengan landasan yang kuat mengenai pengetahuan, sikap positif, dan keterampilan berbahasa, maka yang bersangkutan akan lebih mudah menyelesaikan studinya. Lefy HalimahjTK- S3/UP1 113 Menurut Tangan (1995: 5-9) nilai strategis mata pelajaran bahasa Indonesia dalam kurikulum sekolah khususnya di sekolah dasar, di antaranya (1) bahasa sangat fungsional dalam kehidupan manusia, (2) sekolah dasar sebagai pelaksana pertama pembelajaran bahasa Indonesia, (3) bahasa ibu sebagian besar peserta didik bukan bahasa Indonesia, (4) pembelajaran bahasa Indonesia menumbuhkan nasionalisme, (5) pembelajaran bahasa Indonesia menunjang keberhasilan mata pelajaran lain, (6) pembelajaran bahasa Indonesia dapat membina budi pekerti, dan (7) tujuan pembelajaran bahasa Indonesia adalah keterampilan berbahasa. Melihat begitu strategisnya fungsi mata pelajaran bahasa Indonesia dalam menunjang keberhasilan secara menyeluruh Kurikulum 2004, maka guru bahasa Indonesia harus memahami secara mendalam karakteristik Kurikulum 2004 pada umumnya dan pada khususnya Kurikulum 2004 mata pelajaran bahasa Indonesia. Untuk itu, maka berikut ini dikemukakan karakteristik Kurikulum 2004 mata pelajaran bahasa Indonesia. a. Rasional Mata Pelajaran Bahasa Indonesia Dalam uraian rasional Kurikulum 2004 mata pelajaran bahasa Indonesia SD, dikemukakan bahwa standar kompetensi mata pelajaran bahasa Indonesia berorientasi pada hakikat pembelajaran bahasa. Maksudnya, bahwa belajar bahasa adalah belajar berkomunikasi dan belajar sastra adalah belajar menghargai manusia dan niiai-nilai kemanusiaannya. Oleh karena itu, pembelajaran Bahasa Indonesia diarahkan untuk meningkatkan kemampuan peserta didik untuk berkbmununikasi dalam Bahasa Indonesia, baik secara lisan maupun tulisan serta menimbulkan penghargaan terhadap hasil cipta manusia Indonesia. Uly HalimakTK- S3/UPI 114 Standar kompetensi tersebut dimaksudkan agar peserta didik siap mengakses situasi multiglobal lokal yang berorientasi pada keterbukaan dari kerhasadepanan. Kurikulum ini diarahkan agar peserta didik terbuka terhadap beragam informasi yang hadir di sekitar kita dan dapat menyaring yang berguna, belajar menjadi diri sendiri, dan peserta didik menyadari akan eksistensi budayanya sehingga tidak terlepas dari lingkungannya (Puskur, 2003). b. Fungsi Mata Pelajaran Bahasa Indonesia Fungsi mata pelajaran bahasa Indonesia, sebagaimana dinyatakan dalam Kurikulum 2004, bahwa dengan mempertimbangkan kedudukan dan fungsi Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan bahasa negara serta sastra Indonesia sebagai hasil cipta intelektual produk budaya, maka fungsi mata pelajaran bahasa Indonesia sebagai: 1) sarana pembinaan persatuan dan kesatuan bangsa; 2) sarana peningkatan pengetahuan dan keterampilan dalam rangka pelestarian dan pengembangan budaya; 3) sarana peningkatan pengetahuan dan keterampilan untuk meraih dan mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni; 4) sarana penyebarluasan pemakaian Bahasa Indonesia yang baik untuk berbagai keperluan menyangkut berbagai masalah; 5) sarana pengembangan penalaran, dan 6) sarana pemahaman beragam budaya Indonesia melalui khazanah kesustraan Indonesia (KBK Mata Pelajaran Bahasa Indonesia, 2003). c. Tujuan Umum Mata Pelajaran Bahasa Indonesia Tujuan umum pembelajaran bahasa Indonesia SD dalam Kurikulum 2004 adalah: 1) siswa menghargai dan membanggakan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan (nasional) dari bahasa negara; Lely HaUmah/PK- S3/UPI 115 2) siswa memahami bahasa Indonesia dan segi bentuk, makna, dan fungsi, serta menggunakannya dengan tepat dan kreatif untuk bermacam-macam tujuan, keperluan, dan keadaan; 3) siswa memiliki kemampuan menggunakan bahasa Indonesia untuk meningkatkan kemampuan intelektual, kematangan emosional, dan kematangan sosial; 4) siswa memiliki disiplin dalam berpikir dan berbahasa (berbicara dan menulis); 5) siswa mampu menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk mengembangkan kepribadian, memperluas wawasan kehidupan, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa; 6) siswa menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah budaya dan intelektual manusia Indonesia. Dan rumusan tujuan di atas jelas, bahwa lulusan SD diharapkan mampu, (1) menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar untuk berbagai keperluan, seperti pengembangan intelektual, dan sosial, (2) memiliki pengatahuan yang memadai tentang kebahasaan, sehingga dapat menunjang keterampilan berbahasa yang dapat diterapkan dalam berbagai keperluan dan kesempatan, (3) memiliki sikap positif terhadap bahasa Indonesia, dan (4) menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk mengembangkan kepribadian dan khasanah budaya/ intelektual bangsa Indonesia Zulela (Santosa, dkk., 2003; 3.5). d. Standar Kompetensi Bahan Kajian Pembelajaran Bahasa Indonesia Standar kompetensi yang harus dicapai dalam pelaksanaan Kurikulum 2004 mata pelajaran bahasa Indonesia, meliputi enam aspek yang meliputi berikut ini. 1) Menyimak Berdaya tahan dalam berkonsentrasi mendengarkan sampai dengan tiga puluh menit, dan mampu menyerap gagasan pokok dan perasaan dari cerita, berita, petunjuk, pengumuman, serta perintah yang didengar dengan memberikan respon secara tepat; 2) Mewicara Mengungkapkan gagasan dan perasaan, menyampaikan sambutan, berdialog, menyampaikan perasaan, bertukar pengalaman, menjelaskan suatu proses, mendeskripsikan, dan bermain peran; Lefy Halimah/PK- S3/UPI 116 3) Membaca Membaca lancar beragam teks dan mampu menjelaskan isinya, serta merespon isi dengan kata-kata sendiri; 4) Menulis Menulis karangan naratif dan non-naratif dengan tulisan rapi dan jelas dengan memperhatikan tujuan dan ragam pembaca, memakai ejaan dan tanda baca, dan kosakata yang tepat dengan menggunakan kalimat tunggal dan kalimat majemuk; 5) Kebahasaan Memahami/menggunakan kalimat lengkap, tak lengkap, dalam berbagai konteks, imbuhan, penggunaan kosakata, ejaan, pelafalan, serta intonasi bahasa Indonesia; 6) Apresiasi Bahasa dan sastra Indonesia Mengapresiasi dan berekspresi sastra melalui kegiatan mendengarkan, menonton, membaca dan melisankan hasil sastra berupa dongeng, puisi dan drama pendek, serta menuliskan pengalaman dalam bentuk cerita dan puisi (Puskur, 2003). Untuk mewujudkan standar kompetensi tersebut dalam pelaksanaan Kurikulum 2004 mata pelajaran bahasa Indonesia SD, terdapat lima butir ramburambu yang harus dijadikan pedoman bagi guru. Rambu-rambu yang dimaksud adalah sebagai berikut ini. 1) Pendekatan pembelajaran, dalam hal ini dijelaskan bahwa fungsi utama bahasa adalah sebagai alat untuk berkomunikasi. Dengan demikian, maka pembelajaran bahasa hendaknya membina peserta didik agar terampil berkomunikasi. 2) Pengorganisasian materi, memberikan arahan bahwa kompetensi dasar, hasil belajar, indikator, dan materi pokok yang tercantum dalam standar kompetensi merupakan bahan minimal yang harus dikuasai peserta didik. Oleh karena itu, dalam pelaksanaannya dapat dikembangkan atau disesuaikan dengan situasi dan kondisi setempat. Dalam hal ini dijelaskan bahwa kompetensi dasar mencakup aspek mendengarkan, mewicara, membaca, menulis, dan apresiasi sastra sebaiknya mendapat porsi yang seimbang dan dilaksanakan secara terpadu. 3) Pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi, dalam hal ini diarahkan bahwa perkembangan teknologi informasi dan komunikasi hendaknya dimanfaatkan secara maksimal, demi kepentingan dalam menngembangkan kemampuan berbahasa peserta didik. Ldy Halimah/PK- S3/UP1 117 4) Diversifikasi kurikulum, ditunjukkan dengan tanda bintang (*) terutama bagi peserta didik yang memiliki kemampuan lebih. Ini artinya, bahwa pembelajaran hendaknya harus mampu memberikan layanan sesuai dengan kemampuan peserta didik. 5) Bacaan wajib sastra, sebagai upaya meningkatkan apresiasi sastra dan gemar membaca, maka setiap peserta didik pada jenjang sekolah dasar diwajibkan membaca 9 (sembilan) buku sastra. Dari uraian di atas, tergambar bahwa Kurikulum 2004 mata pelajaran bahasa Indonesia ini, mempunyai karakteristik yang berbeda dengan kurikulum sebelumnya. Kurikulum 2004 mata pelajaran bahasa Indonesia SD dengan semua karakteristiknya itu memerlukan pelaksanaan yang sesuai dengan karakteristiknya itu. Sebagaimana dirumuskan dalam kurikulum tersebut bahwa kompetensi adalah pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai dasar yang terefleksikan dalam kegiatan berpikir dan bertindak. Implikasinya terhadap pembelajaran bahasa Indonesia, mendorong adanya upaya kreatif dari guru untuk memberikan kesempatan kepada peserta didik dalam penggunaan bahasa Indonesia secara komunikatif dalam berbagai aktivitas. 3. Kompetensi Komunikatif dalam Pembelajaran Bahasa di SD Menurut Azies dan Alwasilah (1996: 26-27) kompetensi komunikatif menunujuk kepada kemampuan kita menggunakan bahasa untuk interaksi sosial dan komunikatif, yaitu "mengetahui kapan saat yang tepat membuka percakapan dan bagaimana, topik apa yang sesuai untuk situasi atau peristiwa ujaran tertentu, bentuk sebutan mana yang harus digunakan, kepada siapa dan dalam situasi apa, serta bagaimana menyampaikan, menafsirkan, dan merespons tindak ujaran seperti salam, pujian, permintaan maaf, undangan, dan sebagainya. Dengan kata lain, Ufy Halimah/PK- S3/UPI 118 kompetensi komunikatif adalah kemampuan menggunakan keseluruhan aspek bahasa dalam konteks komunikasi nyata Priyanti (Nurchasanah, 1994: 31). Pengertian kompetensi komunikatif tersebut, pada dasarnya mengacu kepada pendapat Lamzon (Nurchasanah, 1994: 32) yang menyatakan bahwa pembelajar dikatakan memiliki kompetensi komunikatif apabila mereka memiliki kemampuan gramatikal yang memadai dan kepekaan kontekstual yang tinggi, sehingga mereka mampu memilih bahasa secara bervariasi sesuai dengan konteks sosiokulturalnya dan dapat mengungkapkan secara tepat dalam bentuk tuturan yang kongkrit Pendapat di atas, menggambarkan bahwa kompetensi komunikatif meliputi empat dimensi atau empat aspek. Keempat dimensi atau aspek komunikasi yang dimaksud mencakup (1) aspek gramatikal, (2) aspek kewacanaan, (3) aspek sosiolinguistik, dan (4) aspek strategi komunikasi Canale dan swain (Tangan, 1989: 283); Brown; Swain; Canale; Bachman; (Nurchasanah, 1994: 31). Menurut Savignon (Azies dan Alwasilah, 1996: 26) kompetensi komunikatif memiliki karakteristik sebagai berikut ini. a) Kompetensi komunikatif merupakan konsep yang agak dinamis daripada statis, dan bergantung pada negoisasi makna antara dua orang atau lebih yang memiliki beberapa pengetahuan yang sama. Dalam hal ini kemampuan komunikasi dapat dikatakan bersifat interpersonal; b) Kompetensi komunikatif meliputi pemakaian bahasa lisan maupun tulis; c) Kompetensi komunikatif bersifat kontekstual (context-specific). Artinya, komunikasi selalu berlangsung dalam situasi atau konteks tertentu. Pengguna bahasa yang secara komunikatif kompeten akan tahu bagaimana membuat pilihan-pilihan yang tepat dalam register dan gaaya bahasa sesuai dengan situasi tempat komunikasi terjadi; d) Perlu diingat tentang perbedaan teoretis antara kompetensi dan performansi. "kompetensi adalah apa yang orang ketahui. Performansi adalah apa yang orang lakukan. Bagaimanapun, hanya performansi yang teramati, dan hanya melalui performansi maka kompetensi dapat dikembangkan, dipertahankan, dan dievaluasi"; e) Kompetensi komunikatif bersifat relatif, bergantung pada aspek lain yang terkait, baik yang bersifat internal maupun eksternal. Ldy Halimah/PK- S3/UPI 119 Berdasarkan uraian tentang kompetensi komunikatif di a t a s i mengembangkan kompetensi komunikatif peserta didik baik secara tulis, diperlukan Sebagaimana berkomunikasi. banyak fungsi berlatih bahasa yang berkomunikasi utamanya dalam adalah berbagai sebagai konteks. alat untuk Untuk itu, pembelajaran bahasa harus diarahkan agar peserta didik terampil berkomunikasi baik lisan (menyimak, mewicara) maupun tulis (membaca. menulis). Hal tersebut, sejalan dengan salah satu misi pendidikan dasar, khususi/nya / di sekolah dasar adalah menumbuhkan dasar-dasar kemahiran berkomunikasi baik lisan maupun tulis. Oleh karena itu, berikut ini dikemukakan, hakikat keterampilan berkomunikasi baik lisan maupun tulis. a. Hakikat Keterampilan Berkomunikasi Lisan Keterampilan berbahasa lisan meliputi keterampilan menyimak dan mewicara. Keterampilan menyimak dan mewicara sangat erat kaitannya, sehingga bersifat resiprokal. Dalam kehidupan sehari-hari, penyimak dan pewicara dapat berganti peran secara spontan, yaitu dari penyimak menjadi pewicara dan dari pewicara menjadi penyimak Kedua keterampilan ini diuraikan berikut ini. 1) Hakikat Menyimak dan Tujuan Pembelajaranya Hakikat menyimak dapat dilihat dari berbagai segi. Menurut Logan (Soegito, 2003: 6.24) menyimak dapat dipandang sebagai suatu sarana, suatu keterampilan, seni, suatu proses, suatu respons atau sebagai suatu pengalaman kreatif. Menyimak sebagai suatu sarana, karena adanya kegiatan yang dilakukan seseorang pada waktu menyimak yang harus melalui tahap mendengarkan bunyi-bunyi yang Uly HaUmah/PK- S3/ÜPI 120 telah dikenalnya. Kemudian, secara bersamaan ia memaknai bunyi-bunyi itu. Dengan cara demikian ia mampu menginterpretasikan dan memahami makna rentetan bunyi-bunyi itu. Sebagai suatu keterampilan, menyimak bertujuan untuk berkomunikasi karena melibatkan keterampilan yang bersifat aura! dan oral. Menyimak dipandang sebagai seni, maksudnya kegiatan menyimak itu memerlukan adanya kedisiplinan, konsentrasi, partisipasi aktif, pemahaman, dan penilaian seperti halnya (orang) mempelajari seni musik, seni tari atau seni peran. Menyimak juga dipandang sebagai suatu proses, maksudnya menyimak berkaitan dengan proses keterampilan yang kompleks, yaitu keterampilan mendengarkan, memahami, menilai, dan merespon. Unsur utama menyimak adalah respons, oleh karena itu menyimak dipandang sebagai respons. Selain itu, menyimak dipandang sebagai pengalaman kreatif, karena melibatkan pengalaman yang nikmat, menyenangkan, dan memuaskan. Uraian di atas, menggambarkan bahwa menyimak tidak hanya mendengarkan dan memahami bunyi bahasa, tetapi menyimak harus menggunakan setiap orang yang terlibat dalam proses sejumlah kemampuan. Pada saat penyimak menangkap bunyi bahasa, yang bersangkutan harus menggunakan kemampuan memusatkan perhatian. Bunyi yang ditangkap perlu diidentifikasi, dalam hal ini diperlukan kemampuan linguistik untuk memahami makna. Di samping itu, penyimak harus menggunakan kemampuan non-linguistik, karena makna yang sudah diidentifikasi dan dipahami, maka makna itu harus dipahami, ditelaah, dikaji, dipertimbangkan, dan dikaitkan dengan pengalaman serta pengetahuan yang dimiliki penyimak. menilai, melalui Pada situasi ini diperlukan kemampuan kemampuan menilai ini maka penyimak sampai pada tahap Ldy HaUmoh/PK- S3/UPI 121 mengambil keputusan apakah dia menerima, meragukan, atau menolak isi bahan sirnakan. Kecermatan menanggapi isi bahan sirnakan membutuhkan kemampuan mereaksi atau menanggapi Tangan (1991:15). Memperhatikan proses menyimak sebagaimana dikemukakan di atas, maka menyimak merupakan suatu proses yang kompleks. Alasannya, karena selama menyimak diperlukan berbagai kemampuan di antaranya kemampuan memusatkan perhatian, mengingat, menangkap bunyi, kemampuan linguistik dan non-tinguistik, menilai dan menanggapi. Begitu kompleksnya kemampuan menyimak, maka keterampilan menyimak ini harus dilatih bahkan harus diajarkan. Adapun tujuan utama pembelajaran menyimak, adalah melatih peserta didik memahami bahasa lisan, yang secara berkelanjutan meningkatkan kemampuan daya simak sehingga pada akhirnya peserta didik memiliki ciri-ciri sebagai penyimak ideal. Menurut Tangan (1991: 48-49) ciri-ciri penyimak ideal adalah siap fisik dan mental, berkonsentrasi, bermotivasi, objektif, menyeluruh, menghargai pembicara, selektif, sungguh-sungguh, tak mudah terganggu, cepat menyesuaikan diri, kenal arah pembicaraan, kontak dengan pembicara, merangkum, menilai, dan merespons. 2) Hakikat Mewicara dan Tujuan Pembelajarannya Mewicara dapat diartikan sebagai kemampuan mengucapkan bunyi-bunyi bahasa untuk mengekspresikan atau menyampaikan pikiran, gagasan atau perasaan secara lisan. Mewicara sering dianggap sebagai alat manusia yang paling penting bagi kontrol sosial, karena mewicara merupakan bentuk perilaku memanfaatkan faktor-faktor fisik, psikologis, manusia yang dan linguistik secara luas Brown dan Yuke (Soegito, 2003: 6.26). Pengertian mewicara tersebut, menggambarkan bahwa Ldy Haiimak&K- S3AJPI 122 mewicara merupakan suatu keterampilan menyampaikan pesan melalui bahasa lisan. Lebih rinci Logan, dkk. {Tangan, 1991: 149) mengemukakan bahwa mewicara sebagai sarana berkomunikasi mencakup sembilan hal, yakni : (1) mewicara dan menyimak adalah dua kegiatan yang resiprokal; (2) mewicara adalah proses individu berkomunikasi; (3) mewicara adalah ekspesi kreatif; (4) mewicara adalah tingkah laku; (5) mewicara adalah tingkah laku yang dipelajari; (6) mewicara kekayaan pengalaman; (7) mewicara sarana memperluas dipengaruhi cakrawala; (8) kemampuan linguistik dan lingkungan berkaitan erat; dan (9) mewicara adalah pancaran pribadi. Uraian di atas menggambarkan bahwa mewicara merupakan kegiatan yang kompleks. Oleh karena itu, keterampilan mewicara harus diajarkan di sekolah, agar siswa terampil menyatakan pikiran, gagasan, ide, informasi, dan perasaannya. Alasannya, karena dalam kehidupan sehari-hari manusia selalu dihadapkan dengan berbagai kegiatan yang menuntut keterampilan mewicara. Tujuan utama pembelajaran mewicara di SD adalah melatih peserta didik agar dapat mewicara dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar. Untuk mencapai tujuan itu, maka guru dapat menggunakan bahan pelajaran membaca atau menulis, kosakata, dan sastra sebagai bahan pembelajaran mewicara. (1994: 42) Menurut Basuki aktivitas pembelajaran mewicara dapat dilakukan melalui tiga macam teknik, seperti (1) teknik terpimpin, (2) teknik semi terpimpin, dan (3) teknik bebas. Teknik terpimpin adalah salah satu teknik pembelajaran mewicara yang dilakukan dengan cara meminta peserta didik mengujarkan sesuatu sama persis dengan contoh yang pembelajaran telah ada. mewicara Teknik yang pembelajaran dilakukan dengan semi cara terpimpin meminta adalah teknik peserta didik Lely Halimak/PK- S3/UPI 123 mengujarkan/memaparkan sesuatu yang secara material sudah ada. Adapun teknik pembelajaran mewicara bebas dilakukan dengan cara meminta peserta didik memaparkan sesuatu secara bebas, tanpa bahan yang telah ditentukan atau tanpa bimbingan dan pancingan tertentu. Ketiga cara tersebut, menggambarkan bahwa belajar mewicara dilakukan dengan mewicara. Hanya dengan banyak memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk berlatih mewicara, maka pembelajaran dapat meningkatkan keterampilan mewicara baik bersifat individual maupun kelompok. b. Hakikat Keterampilan Berkomunikasi Tulis Keterampilan berbahasa tulis terdiri dari keterampilan membaca dan menulis. Kedua keterampilan ini merupakan keterampilan dasar yang harus diajarkan mulai dari kelas 1 SD. Kegiatan membaca dan menulis mempunyai hubungan yang sangat erat, karena keduanya merupakan kegiatan berbahasa tulis. Pesan yang disampaikan penulis dan diterima oleh pembaca dijembatani melalui lambang bahasa yang dituliskan. Dengan kata lain membaca dan menulis merupakan kegiatan yang dapat menjadikan penulis sebagai pembaca dan pembaca sebagai penulis. Penulis sebagai pembaca, artinya ketika aktivitas menulis berlangsung penulis membaca karangannya. berlangsung kegiatan dilakukan penulis. Sedangkan membaca, pembaca sebagai pembaca melakukan penulis, aktivitas artinya ketika seperti yang Menurut Klein, dkk. ( 1 9 9 1 : 77) konsep membaca dan menulis mempunyai hubungan yang resiprokal. Maksudnya pengalaman peserta didik pada Lely Halimah/PK- S3/UPI 124 waktu melakukan kegiatan membaca maupun menulis menjadi saling melengkapi satu sama lainnya. Proses menulis dan membaca memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaan kedua proses tersebut dapat dilihat sebagai berikut, (1) proses membaca dan menulis sama-sama menggunakan bahasa tulis sebagai media komunikasi, (2) proses membaca dan menulis sama-sama menggunakan pola stuktur pengetahuan (skemata), (3) membaca dan menulis sama berhubungan dengan penghubungan tanda-tanda tertulis dengan makna, dan (4) kegiatan membaca d a n menulis samasama memiliki tujuan. Dengan kata (ain, dilihat dari persamaannya terdapat hubungan antara proses membaca dan menulis. Menurut Pappas, dkk.,(1995: 217-219) belajar membaca dapat dilakukan melalui membaca dan belajar menulis melalui menulis, tapi kita juga dapat belajar membaca melalui menulis dan belajar menulis melalui membaca. Oleh karena itu, berikut ini dikemukakan hakikat kedua keterampilan tersebut dan tujuan pembelajarannya. 1) Hakikat Membaca dan Tujuan Pembelajarannya Membaca merupakan proses yang sangat kompleks (Dallmann, 1982: 24; Anderson, dkk., 1969: 5), karena membaca membutuhkan coordinasi otot pada tingkat tinggi dan konsentrasi yang terus-menerus. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan Smith (1982: 11) bahwa "reading atways invotves a combination of visual and nonvisual infomtation. It is an interaction berween a reader and a fexT. Maksud dari pendapat tersebut bahwa pada waktu membaca mata mengenali kata, sementara pikiran menghubungkannya dengan maknanya. Makna kata Lely HaUmah/PK- S3/UPI 125 dihubungkan satu sama lain menjadi makna frase, klausa, kalimat, dan akhirnya makna seluruh bacaan^. Pemahaman akan makna bacaan ini tidak mungkin terjadi tanpa pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya. Sebagai proses yang kompleks, sebagaimana Goodman (Mangieri, dkk, 1984: 6) yang mendefinisikan bahwa membaca "as a psycholinguistic process in whfch the reader (a user of language) reconstruct, as best be can, a message whlch has been encoded by a writer as a graphic display". Sekaitan dengan membaca sebagai proses yang kompleks, maka diperlukan serangkaian keterampilan, yang secara garis besar keterampilan itu meliputi dua aspek penting dalam membaca, yaitu (1) keterampilan yang bersifat mekanistik, aspeknya meliputi (a) pengenalan bentuk huruf; (b) pengenalan unsur-unsur linguistik (fonem/grafem, kata, frase, pengenalan hubungan/korespondensi menyuarakan bahan tertulis); (d) pola klause, pola ejaan kecepatan kalimat, dan dan membaca bunyi lain-lain), (c) (kemampuan bertaraf lambat, (2) keterampilan yang bersifat pemahaman, aspeknya yaitu (a) memahami pengertian sederhana (leksikal, gramatikal, retorikal), (b) memahami signifikansi atau makna (seperti maksud dan tujuan pengarang); (c) evaluasi (isi dan bentuk); dan (d) kecepatan membaca yang fleksibel, yang mudah disesuaikan dengan keadaan Broughton (Tangan: 1979:11-13). Kedua jenis keterampilan membaca tersebut, diajarkan di sekolah dasar seperti membaca mekanistik yang dikenal dalam kurikulum mata pelajaran bahasa Indonesia dengan pengajaran membaca permulaan, sedangkan membaca pemahaman dikenal dengan membaca lanjutan. Pembelajaran membaca permulaan diberikan di kelas 1 sampai 2, dan pembelajaran membaca pemahaman atau Lely HaUmak/PK- S3/UPI 126 lanjutan diberikan di kelas tinggi yaitu mulai dari kelas 3 sampai kelas 6. Adapun jenis keterampilan membaca pemahaman meliputi membaca teknis, membaca dalam hati, membaca cepat, dan membaca bahasa (Supriadi, dkk., 1991: 115; Akhadiah, 1992:21; Mulyati, dkk., 2003:2.3-2.4). Menurut Tangan (1979: 3 1 - 35) membaca dalam hati ekstensif, dan membaca intensif. Membaca ekstentif meliputi membaca adalah kegiatan membaca untuk memahami isi yang penting-penting dengan cepat dan dengan demikian membaca merupakan secara efisien kegiatan terlaksana. membaca Dengan dengan kata maksud lain, untuk membaca ekstensif memperoleh informasi sebanyak-banyaknya. Yang termasuk ke dalam kegiatan membaca ekstensif di antaranya adalah membaca survei, membaca sekilas, dan membaca dangkal. Membaca intensif merupakan kegiatan membaca secara seksama, dalam menelaah isi bacaan. Tujuan utamanya adalah untuk memperoleh sukses dalam pemahaman penuh terhadap argumen-argumen yang logis, urutan-urutan retoris atau pola-pola teks, pola-pola simbolisnya; nada-nada tambahan yang bersifat emosional dan sosial, pola-pola sikap dan tujuan pengarang dan juga sarana-sarana linguistik yang dipergunakan untuk mencapai tujuan. Dngan demikian, dalam membaca intensif yang paling diutamakan adalah hasilnya, yaitu suatu pengertian, suatu pemahaman yang mendalam serta terperinci terhadap tanda-tanda hitam atau aksara di atas kertas. Oleh karena itu, yang termasuk ke dalam membaca intensif adalah membaca telaah isi dan membaca telaah bahasa. Membaca telaah isi, meliputi membaca teliti, membaca pemahaman, dan membaca kritis. Erat hubungannya dengan tingkat pemahaman isi bacaan adalah kecepatan membaca atau membaca cepat. Membaca cepat menurut Harjasujana dan Mulyati Lely HaUmak/PK- Si/UPl 127 (1997:54) adalah kemampuan seseorang dalam menggerakkan mata secara cepat dan tepat pada saat membaca sehingga diperoleh rata-rata kecepatan baca berupa jumlah kata per menit. Tujuan pembelajaran membaca c e p a t adalah melatih kemampuan peserta didik untuk secepat-cepatnya dapat bergerak pada saat membaca sambil menjangkau sebanyak-banyaknya kata yang hendak dibacanya. Dan berbagai macam aktivitas membaca, dalam prosesnya setiap pembaca akan berbeda-beda, perbedaan yang dimaksud berkaitan dengan banyaknya model membaca. Sebagaimana Harjasujana (1997: 27-47); Iswara dan Harjasujana (1997: 4-5); Ulit (Haryadi dan Zamzami, 1997: 32-33) menyimpulkan adanya tiga klasifikasi model membaca, yaitu (1) model membaca bawah-atas (bottom-up), (2) model membaca atas-bawah (top-down), dan (3) model membaca timbal balik (interaktif). Dan masing-masing model tersebut maksudnya adalah sebagai berikut 1) Model membaca bawah-atas, yang menjadi faktor penting dalam model membaca ini adalah wacana atau teks. Dalam hal ini wacana itu diproses oleh pembaca tanpa pengalaman yang dimiliki sebelumnya. Perhatian pembaca diarahkan pada kata-kata dan bagian-bagian kata, sedangkan makna baru timbul dari kumpulan kata-kata yang terbaca. Dengan kata lain proses membaca dari teks (dari bawah) melalui mata ditarik ke dalam struktur otak untuk mengidentifikasi dan mencari maknanya. 2) Model membaca atas-bawah, yang menjadi faktor penting dalam model membaca ini adalah informasi berdasarkan pengalaman yang telah dimiliki oleh pembaca sekaitan dengan dunianya. Biasanya pembaca yang mahir membawa informasi yang lebih banyak ke dalam wacana bila dibandingkan dengan wacana yang dibacanya. Dalam hal ini pembaca menggunakan pengalaman yang lalu untuk memprakirakan makna isi wacana. 3) Model membaca interaktif, yaitu proses membaca yang menggabungkan kedua model di atas sehingga dinamakan model interaktif. Model membaca ini biasanya dilakukan oleh pembaca mahir, maksudnya pembaca melakukan proses membacanya merupakan proses timbal balik yang bersifat simultan antara membaca bawah-atas dan membaca atasbawah. Pada suatu saat membaca bawah-atas berperan, dan pada saat lain proses membaca atas-bawah lebih berperan, dengan demikian Lely Ualimah/PK- SS/UPI 128 pembaca secara fleksibel mengatur proses membacanya sesuai dengan kepentingannya. Keterampilan-keterampilan membaca yang dtkemukakan di atas, idealnya harus menjadi tanggung jawab guru bahasa Indonesia dalam membelajarkan peserta didik selama proses pembelajaran bahasa Indonesia. Dalam hal ini, guru harus mengacu kepada tujuan pembelajaran membaca yang pada umumnya meliputi, tiga ranah kemampuan, yaitu ranah kognitif, afektif, dan psikomotor. Pada ranah kognitif pembelajaran membaca bertujuan agar peserta didik mampu memahami, menggunakan, menganalisis, membuat sintesis, serta menilai bacaan. Pada ranah afektif, peserta didik di ana taranya diharapkan dapat menyerap, menerima, serta menggunakan nilai-nilai yang terdapat dalam bacaan, meningkatkan motivasi serta minat baca, dan membentuk sikap positif terhadap isi bacaan. Adapun pada ranah psikomotor, peserta didik diharapkan memiliki keterampilan/kecepatan membaca yang sesuai dengan pertumbuhan fisik dan mentalnya. Pembelajaran membaca di sekolah dasar merupakan kunci untuk pembelajaran bidang studi lainnya. Tanpa kemampuan membaca yang memadai peserta didik tidak mungkin mampu mengikuti pembelajaran dengan baik. Begitu pentingnya kemampuan membaca harus dimiliki oleh peserta didik, sehingga para ahli mengemukakan bahwa membaca, sebagaimana dikemukakan McGowan & Turner (Swarbrick, 1994: 125) "... reading is a tool for learning, ... the ability to read well is a prerequisite to success at school.'' Di samping itu, Halford (Rosmalina, 2000: 37) mengemukakan bahwa membaca mempunyai fungsi sebagai "gateway belajar. Lebih lanjut, Farr (Harjasujana, 2 0 0 1 : 1) mengemukakan bahwa "Reading is the heart of education.", dan Hartoonian (Harjasujana, 2 0 0 1 : 1) mengemukakan bahwa Uly Holbttok/PK- S3AJPI If we to be a super pawer we must have individuals with much higher literacy. Pendapat para ahli di atas, tampaknya harus menjadi perhatian semua pihak. Terutama guru-guru sekolah dasar yang mempunyai peranan yang sangat strategis,, harus memiliki sikap positif serta penguasaan yang memadai mengenai pembelajaran membaca. Salah satu hal yang harus disadari oleh guru adalah sebagaimana dikemukakan oleh Mangieri, dkk (1984: 6) bahwa 'Reading is an integral pari of the language arts cumculum; the teaching of reading cannot be separated from the teaching of writing, speaking, and Sstening". Selain itu, Dallmann, dkk. (1982: 23) mengemukakan bahwa pembelajaran membaca harus memberikan dua hal, yaitu membantu peserta didik dalam memperoleh keterampilan membaca, dan bersamaan dengan itu membantu mereka mempunyai kebiasaan membaca. Rofi'uddin dan Zuchdi (1999: 50) pokok yang perlu diperhatikan guru mengemukakan bahwa terdapat tiga hal dalam pembelajaran membaca, yaitu mengarahkan pada (1) perkembangan aspek sosial peserta didik, yakni kemampuan bekerja sama, percaya diri, pengenalan diri, kestabilan emosi, dan rasa tanggung jawab; (2) pengembangan fisik, yaitu pengaturan gerak motorik, koordinasi gerak mata dan tangan; (3) perkembangan kognitif, yakni membedakan bunyi, huruf, menghubungkan kata dan makna. 2) Hakikat Menulis dan Tujuan Pembelajarannya Menulis dapat didefinisikan sebagai suatu kegiatan penyampaian pesan (komunikasi) dengan menggunakan bahasa tulis sebagai alat atau medianya. Pesan adalah isi atau muatan yang terkandung dalam suatu tulisan. Tulisan merupakan Uly Holimoh/PK- SSAJPt 130 sebuah symbol atau lambang bahasa yang dapat dilihat dan disepakati pemakaiannya. Dengan demikian, dalam komunikasi tulis paling tidak terdapat empat unsur yang terlibat: penulis sebagai penyampai pesan (penulis), pesan atau isi tulisan, saluran atau media berupa tulisan, dan pembaca sebagai penerima pesan (Supamo dan Yusup, 2002:1.3). Pengertian menulis sebagaimana dikemukakan di atas, menggambarkan bahwa menulis sebagai aktivitas terpadu. Hal ini sebagaimana dikemukakan Klien, dkk (1991:119) bahwa ketika peserta didik menulis, mereka menghubungkan semua yang mereka ketahui atau berpikir apa yang mereka ketahui tentang bahasa seperti secara struktur, secara ponetik, dan secara semantik. Menulis juga menyebabkan mereka berpikir, menerapkan, menyimpulkan, menilai, menciptakan, memecahkan masalah, bahkan memadukan semua apa yang mereka ketahui dan bagaimana pengetahuan tersebut digunakan dalam bentuk bahasa tulis. Pada saat menulis, peserta didik melakukan kegiatan mengkonstruk kata, kalimat, paragraph, dan cerita dengan menggunakan model yang teiah mereka peroleh, dan mencoba memecahkan masalah sesuai dengan pengalamannya. Pembendaharaan kata yang telah mereka miliki, digunakan untuk mengekspresikan ide-idenya dan membicarakan dunia dari sudut pandangan mereka. Selain sebagai aktivitas terpadu, menulis itu juga merupakan suatu proses. Maksdunya, menulis merupakan serangkaian aktivitas yang terjadi dan melibatkan beberapa tahap, yaitu tahap prapenulisan (persiapan), penulisan (pengembangan isi karangan), dan pascapenulisan (telaah dan revisi atau penyempurnaan tulisan). Pada tahap prapenulisan, meliputi sasaran, mengumpulkan bahan aktivitas memilih topik, menetapkan tujuan darv atau informasi yang diperlukan, serta Lely Halimah/PK- S3/UPI 131 mengorganisasi ide atau gagasan dalam bentuk kerangka karangan. Adapun pada tahap penulisan, yaitu merupakan kegiatan mengembangkan butir-butir ide yang terdapat dalam kerangka karangan, dengan memanfaatkan bahan atau informasi yang telah dipilih dan direncanakan pada tahap prapenulisan. Kegiatan akhir menulis, yaitu tahap pascapenulisan, yang meliputi tahap penghalusan d a n penyempurnaan buram yang telah dihasilkan. Dalam hal ini, kegiatannya meliputi penyuntingan dan perbaikan. Ketiga tahap tersebut, tidak selalu berurutan, dan bukan kegiatan yang terpisah-pisah, tetapi ketiga tahap tersebut merupakan komponen yang ada dan dilalui penulis dalam proses tulis-menulis. Urutan dan batas antartahap tersebut sangat luwes, bahkan dapat tumpang tindih. Sewaktu menulis sangat mungkin penulis melakukan aktivitas yang terdapat pada setiap tahap secara bersamaan. Misalnya pada tahap pramenulis dan penulisan, penulis dapat melakukan sekaligus kegiatan telaah dan revisi, atau ketika sedang berlangsung kegiatan pada tahap penulisan, ternyata kerangka karangan yang telah dibuat terlalu sempit, terlalu luas, atau kurang sistematis sehngga penulis kembali memperbaiki kerangka karangannya (Supamo, 2002: 1.14). Menurut Dawson, dkk (Nurchasanah, 1994: 31) kompetensi menulis hanya dapat dicapai dengan jalan banyak berlatih menulis. Untuk memberikan banyak kesempatan menulis kepada peserta didik dalam proses pembelajaran, guru dapat menggunakan berbagai pendekatan, hal ini sebagaimana dikemukakan Proett dan Gill (Supamo dan Yunus, 2002: 1.13) bahwa terdapat beberapa pendekatan yang dapat digunakan dalam pembelajaran menulis, di antaranya adalah sebagai berikut. Uly KaSmak/PK- S3/OPI 132 1) Pendekatan frekuensi menyatakan bahwa banyaknya latihan menulis sekalipun tidak dikkoreksi (seperti buku harian atau surat), akan membantu meningkatkan keterampilan menulis seseorang; 2) Pendekatan gramatikal berpendapat bahwa pengetahuan orang mengenai struktur bahasa akan mempercepat kemahiran orang dalam menulis; 3) Pendekatan koreksi berkata bahwa seseorang menjadi penulis karena dia menerima banyak koreksi atau masukan yang diperoleh atas tulisannya; 4) Pendekatan formal mengungkapkan bahwa keterampilan menulis akan diperolervbila pengetahuan bahasa, pengalineaan, pewacanaan, serta konvensi atau aturan penulisan dikuasai dengan baik. Sementara, Tangan (1988: 187-226), memberikan petunjuk pelaksanaan pembelajaran menulis melalui beraneka teknik pembelajaran menulis, di anatranya melalui proses: menyusun kalimat, memperkenalkan karangan, meniru model, karangan bersama, mengisi, menusun kembali, menyelesaikan cerita, menjawab pertanyaan, meringkas isi bacaan, parafrase, reka cerita gambar, memerikan, mengembangkan kata kunci, mengembangkan kalimat topik, mengembangkan judul. Uraian di atas, menggambarkan bahwa kompetensi menulis akan dimiliki oleh peserta didik, hanya melalui banyak berlatih menulis. Oleh karena itu, kegiatan menulis yang dilakukan secara terprogram dan berkesinambungan, mempunyai banyak manfaatnya, di antaranya adalah peningkatkan kecerdasan, pengembangan daya inisiatif dan kreativitas, penumbuhan keberanian, dan pendorong kemauan dan kemampuan mengumpulkan informasi. c. Penilaian dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia Menurut Depdiknas 2002) penilaian merupakan suatu proses pengumpulan, pelaporan, dan penggunaan informasi tentang hasil belajar peserta didik yang diperoleh melalui pengukuran untuk menganalisis atau menjelaskan unjuk kena atau prestasi peserta didik dalam mengerjakan tugas-tugas yang terkait. Adapun proses Lely Hatimak/PK- S3/UPI 133 penilaian mencakup pengumpulan sejumlah bukti-bukti yang menunjukkan pencapaian hasil beijar peserta didik. Dengan demikian, penilaian adalah suatu pernyataan berdasarkan sejumlah fakta untuk menjelaskan karakteristik seseorang atau sesuatu. Salah satu komponen Kurikulum 2004 adalah Penilaian Berbasis Kelas (PBK). Maksudnya, bahwa PBK merupakan suatu proses pengumpulan, pelaporan dan penggunaan informasi tentang hasil belajar peserta didik dengan menerapkan prinsip-prinsip penilaian, pelaksanaan berkelanjutan, bukti-bukti otentik, akurat d a n konsisten sebagai akuntabilitas publik. PBK mengidentifikasi pencapaian kompetensi dan hasil belajar yang dikemukakan melalui pernyataan yang jelas tentang standar yang harus dan telah dicapai disertai dengan peta kemajuan belajar peserta didik dan pelaporan. Penilaian dalam Kurikulum 2004, menuntut dilaksanakan penilaian secara terpadu dengan kegiatan belajar-mengajar. Oleh karena itu, disebut penilaian berbasis kelas. PBK dilakukan dengan pengumpulan kerja peserta didik (postofolio), hasil karya (produk), penugasan (proyek), kinerja (performance), dan tes tertulis (paper and pencil). Guru menilai kompetensi dan hasil belajar peserta didik berdasarkan level pencapaian prestasi peserta didik. Penilaian pada hakikatnya merupakan alat ukur untuk mengetahui seberapa jauh tujuan-tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan dapat tercapai setelah peserta didik mengalami aktivitas belajar. Dalam pembelajaran bahasa, penilaian dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu melalui tes dan nontes. Baik teknik tes maupun nontes dapat digunakan untuk mendapatkan informasi atau data tentang peserta didik yang dinilai. Teknik tes biasanya digunakan untuk memperoleh LOy Halunah/PK- S3/VP1 134 informasi atau data tentang kemampuan kognitif peserta didik, sedangkan teknik nontes digunakan untuk memperoleh informasi atau data tentang kemampuan afektif dan psikomotor, informasi yang diperoleh melalui tes bersifat kuantitatif, sedangkan informasi yang diperoleh dengan teknik nontes bersifat kualitatif. Amold (1999) mengemukakan bahwa "evaluation /s never carried out in a vacuunf. Pelaksanaan penilaian sebagai bagian dan keseluruhan setting pendidikan dan proses belajar mengajar diperlukan untuk secara kritis meninjau kembali dan dikembangkan terus. Untuk itu, penilaian dapat memfasilitasi peserta didik menjadi lebih terampil, mandiri, dan individu yang bertanggung jawab karena memahami lebih baik proses pertumbuhannya sendiri. Informasi kemajuan peserta didik tidak hanya merupakan dasar pertimbangan bagi guru, tetapi juga memberi keterangan yang berarti bagi para administrator, orang tua, dan khususnya bagi peserta didik itu sendiri. Harris & Hodges (De Cario, Julia E, 1995) mengemukakan bahwa penilaian sebagai "77» act or process of gathering data in order to better understand some topics or area of knowtedge, as through obcervation, testing, interviews, etc; especially, the gathering of data to inctude strengths and weaknesse in learning." Mengacu kepada pendapat di atas, maka penilaian harus dipandang sebagai proses yang berkelanjutan. Hal ini termasuk mengumpulkan, menganalisis, dan berbagi informasi. Adapun prosesnya harus dimulai dari hari pertama sekolah dan seterusnya. Di antaranya, tujuan penilaian tersebut meliputi: untuk kepentingan diagnosa, dan memberikan balikan bagi peserta didik; memonttoring kemajuan individual peserta didik setiap waktu, dan memberikan laporan kepada orang tua peserta didik. Lely HaUmah/PK- S3/UPI 135 De CarJo mengidentifikasi dua macam perbedaan dalam penilaian, yaitu penilaian eksternal dan penilaian internal. Penilaian eksternal biasanya yang digambarkan melalui tes standar. Sementara penilaian internal, yang sekarang lebih banyak diminati fokusnya lebih pada cara-cara internal. Seperti melalui penggunaan portofolio, "dated audiotapes", catatan anekdot tindakan baca-tulis atau 'literac/, contoh menulis, respon membaca jurnal, dan 'interest inventories', terkait dengan semua ini guru menggunakan cara lain untuk menilai pertumbuhan peserta didik. Penilain juga dipandang sebagai proses yang (a) kontinyu, artinya tidak hanya mengandalkan (refying) pada akhir tahun, (b) multidimensi, artinya penialain tidak hanya mengandalkan pada satu cara penilaian atau indeks, (c) bersifat kolaborasi, artinya penilaian tidak hanya menggunakan pertimbangan ekslusif (d) berdasarkan pengetahuan, artinya penilaian tidak hanya guru, semata-mata menggunakan sumber informasi dari guru, dan (e) otentik, artinya penilaian tidak hanya menekankan pada nilai ekstrinsik. Semuanya itu melibatkan apa yang dilakukan guru dan peserta didik untuk menilai kemajuan. Dengan demikian, penilaian lebih daripada hanya merupakan serangkaian tes tertulis. Ldy Halimah/PK- S3/VPI