Hepatitis Kronik – Fokus Pada Pencegahan Sirosis Hati Chronic Hepatitis – Focusing on Prevention Liver Cirrhosis Muhammad Begawan Bestari Divisi Gastroenterohepatologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran RS dr. Hasan Sadikin Bandung Pendahuluan Penyakit hati kronis merupakan penyebab utama kesepuluh kematian di Amerika Serikat. Infeksi virus hepatitis C merupakan penyebab paling sering dari penyakit hati kronis dan indikasi paling umum untuk transplantasi hati. Tindakan preventif secara signifikan dapat mengurangi perkembangan penyakit hati. Alkohol dan virus hepatitis C sinergistik dalam mempercepat perkembangan sirosis; karena itu, pasen penderita infeksi hepatitis C harus lepas dari alkohol. Karena superinfeksi dengan virus hepatitis A atau B dapat mengakibatkan gagal hati, vaksinasi direkomendasikan. Secara potensial medikasi hepatotoksik harus digunakan dengan hati-hati pada pasien-pasien penderita penyakit hati kronis. Secara umum, obat-obat NSAID harus dihindari; asetaminofen dalam dosis di bawah 2 g per hari merupakan pilihan teraman. Banyak obat-obatan herbal potensial hepatotoksik, dan hanya milk thistle dan kurkuma yang dapat digunakan dengan aman pada pasien-pasien yang mengalami penyakit hati kronis. Penurunan berat badan dan olah raga dapat memperbaiki fungsi hati pada pasien-pasien penderita perlemakan hati. LEPAS DARI ALKOHOL Konsumsi alkohol telah terkait dengan hepatitis alkoholik, infiltrasi lemak hati, percepatan perkembangan penyakit hati. Di negara barat, frekuensinya lebih sering dibandingkan hepatitis, insiden lebih tinggi karsinoma hepatoseluler, dan kematian. Konsumsi harian lebih dari 4 minum alkohol (48 g) meningkatkan risiko sirosis, dan juga kematian akibat penyebab lain. Penyalahgunaan alkohol dan infeksi virus hepatitis C sering bersamaan pada pasien-pasien penderita penyakit hati kronis.diyakini luas bahwa alkohol dan virus hepatitis C bekerja bersama meningkatkan timbulnya dan berkembangnya kerusakan hati. Dari suatu penelitian ditemukan bahwa efek alkohol pada pasien-pasien penderita infeksi virus hepatitis C tidak semata-mata aditif tapi juga sinergistik, dan bahkan penggunaan alkohol moderatpun dapat mempercepat timbulnya sirosis. Mekanisme efek sinergistik alkohol dan virus hepatitis C belum dimengerti sepenuhnya, tapi telah diketahui efek alkohol pada replikasi virus dan sistem imun, kandungan besi hati dan regenerasi hepatik. Peneliti lain telah menemukan bahwa penyalahgunaan alkohol pada pasien-pasien penderita infeksi virus hepatitis C terkait dengan penurunan respon pada terapi interferon. Keterlepasan (abstinensia) dapat memulihkan beberapa efek gangguan alkohol pada pasien-pasien penyakit hati kronis. Juga dapat memperbaiki respon akhir pada pengobatan. Berapa tinggi konsumsi alkohol yang aman bagi penderita penyakit hati kronis tetap belum jelas. direkomendasikan bahwa pasien-pasien infeksi virus hepatitis C atau penyakit hati kronis tidak mengkonsumsi alkohol. Abstinensia adalah cara yang paling penting dalam menjaga penyakit hati kronis supaya tidak berkembang menjadi sirosis. Abstinensia dapat menjadi hal yang sulit dilakukan karena potensi adiktif yang kuat pada alkohol. Dukungan harus diberikan bagi pasien-pasien yang peminum berat alkohol. Bentuk-bentuk dukungan mencakup Alcoholics Anonymous, program rehabilitasi rawat-jalan dan rawat-inap, dukungan masyarakat dan agama, serta konseling individual. VAKSINASI Superinfeksi virus hepatitis pada pasien-pasien yang mengalami infeksi virus hepatitis C dapat mengakibatkan morbiditas dan mortalitas nyata. Kedua hepatitis A dan hepatitis B terkait dengan infeksi akut yang lebih virulen daripada hepatitis C. pada beberapa pasien penyakit hati kronis, superinfeksi dengan virus hepatitis A atau B dapat mengakibatkan gagal hati akut. Namun, dengan tidak adanya penyakit hati bersamaan, angka mortalitas infeksi virus hepatitis A kurang dari satu kematian per 1000 orang yang terinfeksi. Penelitian prospektif yang melakukan follow-up 163 pasien penderita virus hepatitis B dan 432 pasien yang mengalami infeksi virus hepatitis C, didapatkan superinfeksi virus hepatitis A terkait dengan risiko lebi tinggi gagal hati fulminan. Angka mortalitasnya 35% pada pasien hepatitis kronis C dan superinfeksi virus hepatitis A (angka fatalitas 350 kali lipat lebih tinggi daripada yang diduga pada pasien-pasien tanpa infeksi kronis virus hepatitis C). Pada suatu penelitian seri lain yang lebih besar, kematian terjadi pada 381 dari 115.551 pasien penderita infeksi akut hepatitis A. Dari pasien-pasien yang meninggal, 107 (28%) mengalami penyakit hati kronis yang mendasari. Bukti-bukti kuat mendukung vaksinasi terhadap virus hepatitis A dan B pada penderita penyakit hati kronis., semua penderita penyakit hati kronis harus diperiksa adanya antibodi total hepatitis A dan antibodi permukaan dan inti hepatitis B. Jika tidak ada imunitas, pasien ini haruis diberi vaksin hepatitis A (dua dosis, selang 6 bulan) dan vaksin hepatitis B (3 dosis, dengan dosis kedua satu bulan dari dosis pertama, dan dosis ketiga 6 bulan sesudah dosis pertama). Kedua vaksin dapat diberikan secara aman pada waktu yang bersamaan, pada otot deltoid yang berlawanan. Perlu dicatat bahwa pada suatu populasi yang mempunyai insiden rendah pada paparan lampaunya (misalnya pasien yang tidak ada faktor risiko klasik terhadap kontak infeksi hepatitis), akan lebih hemat biaya untuk melakukan lebih dahulu pengujian antibodi dan dilanjutkan vaksinasi. Pada keadaan adanya dan tidak adanya penyakit hati kronis, serokonversi terjadi pada 94% pasien yang telah mendapat vaksinasi hepatitis A dan 100% pada pasien-pasien yang telah mendapat vaksinasi hepatitis B. Penting untuk memahami bahwa pasien-pasien yang mengalami sirosis dekompensata dan pasien yang mengalami penurunan daya tahan tubuh dapat memperlihatkan penurunan angka keberhasilan serokonversi. Sekarang, tidak ada vaksin hepatitis C tersedia untuk penggunaan di klinik. EVALUASI TOKSISITAS OBAT Zat yang paling banyak dicerna dimetabolisir dan diubah secara kimiawi ketika melewati hati. Terutama, hati merupakan tempat sentral untuk pembersihan, detoksifikasi, ekskresi dan pengaktifan sebagian besar obat-obatan. Hati rentan terhadap kerusakan akibat beberapa obat, vitamin, dan obat-obatan herbal. Medikasi Pasien penyakit hati kronis bisa mempunyai fungsi hati yang bervariasi. Pada dosis yang direkomendasikan, sebagian besar medikasi aman pada pasien-pasien ini meskipun terdapat perubahan metabolisme dan fungsi hati. Namun, pasien-pasien penyakit hati kronis dapat berisiko terhadap reaksi-reaksi obat idiosinkratik dan kurang mampu mentoleransi hepatoksisitas ketika hal ini terjadi. Golongan obat umum yang disertai dengan hepatotoksisitas mencakup antidepresan, nonsteroidal anti-inflammatory drugs (NSAID termasuk cyclooxygenase-2 inhibitors), muscle relaxant, psikotropika, antikonvulsan, obat-obat penurun lipid, obat-obat antidiabetes, estrogen, steroid anabolik dan obat antituberkulosis. Obat-obat yang diketahui mempunyai reaksi idiosinkrasi mencakup antibiotika, anti-jamur, antivirus, antiprotozoa dan NSAID. Semua medikasi harus dievaluasi adanya efek toksik terhadap hati. Jika data menunjukkan bahwa suatu obat dapat bersifat hepatotoksik, harus dicari obat alternatif yang kurang atau tanpa hepatotoksisitas. Ketika pengobatan memakai medikasi yang potensial hepatotoksik diperlukan, obat tersebut harus digunakan dengan hati-hati dan dengan supervisi yang ketat. Pasien harus sadar akan gejala-gejala kerusakan hatinya, misalnya ikterik, anoreksia, mual-mual, pruritus, keletihan, dan nyeri abdomen kuadran atas kanan. Kadar transaminase, bilirubin total dan alkali fosfatase digunakan untuk mengukur pasien adanya kemungkinan hepatotoksisitas yang terkait dengan obat. Kadar-kadar ini harus diperoleh pada baseline, setiap dua minggu pada bulan pertama terapi obat, setiap bulan untuk tiga bulan selanjutnya dan kemudian setiap tiga bulan. Medikasi tersebut harus dihentikan jika nilai2 yang diukur meningkat menjadi lebih dari dua kali dari kadar baseline atau pasiennya mengalami gejala yang terkait dengan hati.Jika suatu masalah timbul mengenai keamanan medikasi utama, konsultasi ke dokter ahli hepatologi dapat membantu. Penulisan resep dan obat-obat bebas serta medikasi nyeri digunakan secara luas. NSAID, yang dimakan untuk meringankan sakit kepala dan berbagai gejala nyeri, dapat menyebabkan toksisitas hati idiosinkratik. Kefatalan-kefatalan yang terkait dengan penggunaan NSAID telah dilaporkan. Pada satu penelitian, penggunaan ibuprofen terkait dengan peningkatan lebih dari 20 kali lipat pada nilainilai fungsi hati pada 3 pasien penderita infeksi virus hepatitis C. Karena hepatotoksisitas NSAID tidak dapat diprediksi, pasien-pasien yang telah mempunyai penyakit hati kronis tidak boleh menggunakan medikasi-medikasi ini. Asetaminofen mempunyai hepatotoksisitas yang terprediksi dan menjangkiti hati dengan cara bergantung kepada dosis. Pada pasien penyakit hati kronis yang mempunyai gejala nyeri, asetaminofen dapat digunakan secara aman dalam dosis tidak lebih dari 2 g per hari. Namun, hepatotoksisitas asetaminofen telah dilaporkan memakai dosis kurang dari 4 g per hari, biasanya dalam hubungan dengan kelaparan atau meminum alkohol. Vitamin dan Obat-obat Herbal Penjualan tahunan vitamin dan obat-obat herbal mendekati 1,6 juta dolar di Amerika Serikat. Dari suatu penelitian ditemukan bahwa sampai dengan 31 persen pasien di suatu klinik hati menggunakan obat herbal. Suplemen OTC (over the counter) tertentu yang potensial hepatotoksik tercantum pada. Vitamin A diketahui merupakan hepatotoksin yang tersedia di toko-toko obat. Banyak kasus hepatotoksisitas telah didokumentasikan sehubungan dengan memakan vitamin A dalam dosis tinggi, biasanya lebih dari 100.000 IU per hari, dan jarang terjadi pada dosis mendekati 25.000 IU per hari. Derajat kerusakan hati yang terkait dengan vitamin A bergantung kepada dosisnya. Alkohol berpotensiasi hepatotoksisitas dengan vitamin ini. Vitamin A dapat menyebabkan steatosis, fibrosis perisinusoidal, hepatitis kronis dan sirosis. Pasien penderita penyakit hati kronis harus mengkonsumsi kurang dari 25.000 IU vitamin A per hari. Sebagian besar preparat multivitamin mengandung 4.000 IU vitamin A, yang baik dalam kisaran aman untuk dikonsumsi harian. Pasien penderita penyakit hati kronis harus ditanya secara spesifik mengenai penggunaan milk thistle (Silybum marianum). Tidak terdapat bukti toksisitas yang terkait dengan bentuk murni milk thistle, dan terdapat bukti lemah efek protektifnya pada membran sel plasma hepatosit. Atas alasan ini, beralasan untuk tidak mendukung penggunaan milk thistle. PENGARUH BESI Pasien penderita penyakit hati kronis mempunyai cenderung mengakumulasi sejumlah berlebihan besi dalam parenkhim hati. Mereka yang mengalami penyakit hati alkoholik, nonalcoholic steatohepatitis atau infeksi virus hepatitis C cenderung ke arah hemosiderosis sekunder. Pasien yang mengalami kelebihan zat besi sekunder, harus dibedakan dari mereka yang mengalami hemosikromatosis herediter, dimana defek genetik primernya mengakibatkan beban besi hepatik dan besi tubuh-total. Tingkat pembebanan besi jauh lebih besar pada pasien-pasien penderita hemokromatosis primer daripada mereka yang mengalami hemosiderosis seunder. Sebanyak 30% pasien penderita penyakit hati mempunyai kadar besi serum yang tinggi, dan 10% mempunyai jumlah besi berlebihan dalam jaringan hatinya. Alasan besi berlebihan tidak diketahui, tapi mekanisme yang dipostulasikan mencakup pelepasan besi dari sel-sel hati yang rusak dan gangguan uptake oleh sel Kupffer, reaksi-reaksi fase akut yang terkait dengan keadan peradangan kronis, peningkatan uptake besi melalui traktus gastrointestinal, dan eritropoiesis yang tidak efektif disertai dengan redistribusi besi dari tempat-tempat pemakaian ke tempattempat penyimpanan. mekanisme yang paling mungkin dari kerusakan hati akibat kelebihan besi adalah produksi radikal bebas yang meningkat dan peningkatan peroksidasi lipid, yang pada gilirannya, mengakibatkan disfungsi mitokhondria, kerapuhan lisosom, dan kematian sel. Besi telah terlihat mempengaruhi riwayat alami infeksi virus hepatitis C dan respon terhadap pengobatan penyakit hepatitis C kronis. Beberapa penelitian pada pasien-pasien infeksi virus hepatitis C kronis telah menemukan konsentrasi besi yang tinggi dalam hati sebagai prediktif untuk kegagalan berespon terhadap terapi interferon. Beberapa bukti menunjukkan bahwa flebotomi memperbaiki tes fungsi hati pada pasien-pasien yang mengalami infeksi virus hepatitis C kronis. Penelitian baru-baru ini juga telah memperlihatkan peningkatan respon virus hepatitis C terhadap interferon yang dikombinasikan dengan flebotomi, walaupun tidak semua penelitian mendukungnya. Namun, dampak praktis temuan-temuan ini belum dapat ditentukan. Sampai sekarang, tidak ada bukti menyatakan bahwa besi dalam makanan bersifat membahayakan. Penelitian-penelitian lebih jauh diperlukan untuk meneliti efek kekurangan besi pada penyakit hati kronis. DIET DAN OLAH RAGA Suatu keadaan hati diistilahkan fatty liver jika lipid terdapat lebih dari 5% dari berat hati. Mekanisme untuk timbulnya fatty liver beragam. Suatu penurunan oksidasi hati asam-asam lemak sebagai akibat dari disfungsi mitokhondria dapat mengakibatkan steatosis mikrovaskuler. Mekanisme lain terkait dengan ketidakseimbangan antara uptake dan sekresi lemak, disertai dengan keadaan rasio insulin terhadap glukagon yang mengakibatkan steatosis makrovaskuler. Fatty liver dapat merupakan akibat dari banyak penyakit, termasuk ekses alkohol, nonalcoholic steatohepatitis, infeksi virus hepatitis C, gangguan metabolik (misalnya penyakit Wilson), efek medikasi dan gangguan nutrisi. Faktor redisposisi mencakup diabetes melitus, peningkatan kadar trigliserida serum, dan obesitas. Sebagian besar pasien penderita fatty liver bersifat asimtomatik, dan kondisinya biasanya terungkap karena hepatomegali atau keabnormalankeabnormalan ringan pada kadar aminotransferase atau alkali fosfatase yang ditemukan pada pemeriksaan fisik rutin. Namun, pada beberapa pasien, dapat ditemukan nekroinflamasi berat, sehingga mengakibatkan fibrosis dan sirosis. Satu penelitian terkontrol menunjukkan bahwa program penurunan berat badan (yang mengkombinasikan diet dan latihan) dapat memperbaiki hasil-hasil tes fungsi hati dan histologi hati pada pasien-pasien yang mengalami nonalcoholic steatohepatitis. Dengan pengurangan berat badan 4,5 sampai 6,8 kg (10-15 pon), kadar transaminase hati sering kembali ke normal. Peneliti pada penelitian lain menemukan suatu korelasi antara konsumsi tinggi lemak dan minyak dengan peningkatan kadar transaminase hati. Temuan-temuan penelitian-penelitian ini menyatakan bahwa makanan rendah lemak dan latihan (yang disupervisi oleh seorang dokter untuk ketepatannya) dapat meminimalkan steatosis hepatik. Penurunan berat badan bertahap harus direkomendasikan pada pasien-pasien penyakit hati kronis dan obesitas. Cara-cara yang dapat efektif dalam mencegah perkembangan penyakit hati kronis menjadi sirosis diringkas pada Tabel 1. Tabel 1. Cara efektif pencegahan pada penyakit hati kronik KESIMPULAN Banyak penyakit hati mempunyai riwayat alami yang panjang, dan terdapat sedikit pengobatan yang dapat secara langsung mengubah perkembangan penyakit tersebut. Untuk memaksimalkan waktu terjadinya sirosis, menurunkan kebutuhan transplantasi hati, dan memperlambat pada kematian, penting untuk menghindari kerusakan lain pada hati. Data yang ada memperlihatkan bahwa strategi preventif menghindari alkohol, vaksinasi hepatitis, menghindari NSAID, suplementasi besi hanya ketika ditemukan adanya defisiensi besi, dan diet rendah lemak adalah hal yang perlu dilakukan pada pasien penyakit hati kronis. Begitu timbul sirosis, skrining adanya kanker hepatoseluler memakai AFP dan ultrasound serta skrining adanya varises dalam mengurangi risiko perdarahan varises pertama akibat pengobatan memakai nonselective blocker bisa tepat. Profilaksis terhadap peritonitis bakterial spontan kambuhan memakai siproflokasasin 500 mg harian sepanjang hidup dapat diterapkan. DAFTAR PUSTAKA Garcia-Tsao et al. Management and Treatment of Patients With Cirrhosis and Portal Hypertension: Recommendations From the Department of Veterans Affairs Hepatitis C Resource Center Program and the National Hepatitis C Program. Am J Gastroenterol 2009; 104:1802–1829 Riley TR, e tal. Preventive Strategies in Chronic Liver Disease: Part I. Alcohol, Vaccines, Toxic Medications and Supplements, Diet and Exercise. Am Fam Phys 2001; 64: 1555-60. Riley TR, e tal. Preventive Strategies in Chronic Liver Disease: Part II. Cirrhosis. Am Fam Phys 2001; 64: 1735-40. Riley TR, e tal. Preventive care in chronic liver disease. J Gen Intern Med 1999; 14: 699 – 704.