10 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kajian Pustaka Beberapa penelitian terkait kekalahan partai politik di daerah di Indonesia telah dikaji oleh beberapa peneliti sebelumnya, namun berbeda dengan penelitian ini. Penelitian-penelitian sebelumnya mempunyai perbedaan dari segi wilayah penelitian maupun partai yang mendominasi di daerahnya masing-masing. Selain itu dalam penelitian sebelumnya hanya mengkaji runtuhnya dominasi partai politik disebabkan karena runtuhnya sebuah rezim di Indonesia yang menyebabkan jatuhnya kepercayaan masyarakat terhadap partai politik tersebut. Sedangkan dalam penelitian ini penulis ingin lebih jauh melihat penyebabpenyebab kekalahan partai politik pada Pemilukada Klungkung 2013. Adapun penelitian lain yang sudah dilakukan dapat digunakan sebagai acuan maupun refrensi dala penelitian ini. Dari beberapa penelitian yang sudah ada, penulis mengambil tiga sampel penelitian dan dua buah buku sebagai sumber maupun tambahan referensi untuk penelitian ini. Berikut tiga penelitian yang terkait dengan Kekalahan Partai Politik: Pertama dalam penelitian Khairunnisa Lubis (2014) ”Eksistensi Partai Golkar dalam Politik Lokal: Studi Kasus Dewan Pimpinan Daerah Partai Golkar Kabupaten Simalungun 2004-2009”. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sejak berakhirnya pemerintahan Orde Baru, tingkat kepercayaan masyarakat terhadap Partai Golkar cenderung menurun. Penurunan ini mulai terlihat terutama 11 sejak diadakannya pemilihan umum secara langsung pada tahun 2004, dimana fenomena ini berbanding lurus dengan penurunan perolehan suara dan kursi yang diperoleh Partai Golkar. Dalam hasil penelitian khairunnisa juga dijelaskan tentang penyebab turunnya tingkat kepercayaan masyarakat disebabkan oleh beberapa faktor yang merujuk pada banyaknya janji-janji partai yang belum terealisasi secara keseluruhan, hal ini mengakibatkan rasa loyalitas dan kepercayaan masyarakat Kabupaten Simalungun itu sendiri semakin merosot turun. Penurunan kepercayaan masyarakat terhadap partai berlambang pohon berigin ini juga dipacu oleh kemajuan teknologi yang semakin maju. Banyaknya kampanye maupun pengenalan figur calon menggunakan media elektronik seperti televisi maupun sosial media seikit kurangnya berimplikasi pada daya tarik maupun pilihan masyarakat Kabupaten Simalungun. Penyebab lain yang menyebakan penurunan eksistensi Partai Golkar dalam perolehan suara maupun jumlah kursi didapat adalah adanya degenerasi dalam tubuh Partai Golkar. Banyaknya anggota maupun wajah lama yang masih bertahan tanpa disertai regenerasi kader-kader menciptakan kejenuhan tersendiri di dalam masyarakat Kabupaten Simalungun dalam memilih caon-calon dari Partai Golkar. Kesamaan calon maupun figur pemimpin ini mendorong masyarakat mencoba pilihan baru dalam Pemilihan Kepala Daerah Kabupaten Simalungun tahun 2009. Hasil dari Pemilukada Kabupaten Simalungun tahun 2009 menunjukkan bahwa Bupati yang terpilih tidak lagi berasal dari Partai Golkar yang berefek pada penurunan tingkat keberhasilan dalam merealisasikan 12 strategi yang diusung Partai Golkar dalam setiap kegiatan pemenangan pemilu dan merealisasikan program unggulan yang selama ini menjadi kebanggan masyarakat Kabupaten Simalungun kepada Partai Golkar. Kedua yakni penelitian yang dilakukan Farhan Saliman (2015) “Faktorfaktor Dibalik Kekalahan Cagub-Cawagub Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Pada Pilgub DKI Jakarta Tahun 2012” mengemukakan bahwa PKS merupakan partai yang menduduki posisi nomor dua terbanyak dalam raihan perolehan suara dan jumlah kursi yang di dapat di DPRD DKI. Jumlah kursi yang didapatkan PKS mecnapai 18 kursi. Dengan perolehan jumlah 18 kursi ini PKS sudah memenuhi syarat sebuah partai politik untuk bisa mengajukan pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur yang memiliki syarat hanya 15 kursi saja. Hal ini lah yang mendorong mengajukan calonnya tanpa berkoalisi dengan partai politik lain. Dalam proses Pemilihan Gubernur DKI Jakarta Tahun 2012 tersebut PKS memiliki tujuan untuk menegakkan prinsip ishlamafis (perbaikan individu) dan ishanulmujtama’ (perbaikan masyarakat). Dengan demikian maka nilai-nilai islam yang universal akan tegak di masyarakat, bangsa dan negara. Walaupun memiliki prinsip yang mumpuni serta syarat pencalonan yang kuat, ternyata pada tahun 2012 PKS gagal dan kalah bersaing dalam Pilgub DKI Tahun 2012. Dalam penelitian ini dijelaskan mengenai faktor-faktor yang menyebabkan kekalahan Partai Keadilan Sejahtera ini disebabkan oleh dua faktor, dari faktor internal partai dan eksternal partai. Masalah dari internal partai yang saat itu menerpa partai PKS adalah terpaan badai korupsi yang menjerat Presiden Partai 13 PKS Lutfi Hasan Ishak yang diduga menerima suap kuota impor daging sapi, hal ini sendiri menjadi salah satu penyebab menurunnya elektabilitas PKS dalam Pilgub DKI Tahun 2012, selain itu kurang efektifnya komunikasi politik yang dibangun disebut juga sebagai penyebab kekalahan PKS dalam edisi Pilgub Jakarta Tahun 2012. Faktr-faktor yang menyebabkan kekalahan PKS dari segi eksternal pun disebut juga memegang peran vital dalam hasil yang diperoleh, dimana di dalam penelitian ini disebutkan oleh Jazuli Juwaeni bahwa terdapat lima faktor penyebab kekalahan dan penurunan elektabilitas PKS dari Pilgub 2007 ke Pilgub Jakarta Tahun 2012. Pertama pilgub sebelumnya hanya diikuti oleh dua kandidat sehingga suara tidak terlalu terpecah-pecah. Kedua semakin sering Pemilukada dilaksanakan di Indonesia, masyarakat terpolarisasi secara pragmatis. Ketiga persoalan DPT juga menjadi persoalan yang signifikan, karena besar kemungkinan telah diatur, dimana potensi pemilih kandidat tertentu tidak terdaftar di daerah-daerah basis pada Pilgub dan Pemilu sebelumnya banyak yang tidak terdaftar. Keempat Netralitas PNS dan birokrasi masih sangat menyedihkan, banyak timses Hidayat diintimidasi bahkan atribut partai yang dipasang malam hari besok harinya sudah hilang. Kelima PKS tidak melakukan money politik karena bertentangan dengan UU. Ketiga, penelitian Dedi Alamsyah (2010) “Kekalahan Partai Golkar Pada Pemilukada Di kabupaten Toraja Utara 2010”. Dedi dalam penelitiannya ingin mengkaji faktor-faktor penyebab Kekalahan Partai Golkar pada Pemilukada Toraja Utara tahun 2010. Adapun hasil penelitiannya membuktikan bahwa parpol besar tidak mutlak memenangkan calon. Sesuai hasil perhitungan suara, dua 14 pasangan yang berhasil melenggang ke putaran kedua adalah YS Dalipang-Simon Liling dan Frederik Batti Sorring-Frederik Buntang Rombe Layuk. Frederik Batti Sorring-Frederik Rombe Layuk diusung oleh tujuh partai kecil, di antaranya PDK, PKPI, Patriot, dan Kedaulatan. Bahkan, pasangan YS Dalipang-Simon Liling maju lewat jalur perseorangan atau independen. Sedangkan calon yang diusung partai besar seperti Demokrat, Golkar dan PDI-Perjuangan, harus mengakui keunggulan lawannya, dan justru menyalahkan calonnya. Kekalahan Partai Golkar pada pemilihan Bupati/Wakil Bupati di kabupaten Toraja Utara 2010 di sebabkan oleh beberapa faktor, yaitu : Pertama Lemahnya militansi kader partai, mesin politik Partai Golkar yang tidak bekerja secara maksimal menjadi faktor krusial terhadap kekalahan pasangan yang mereka usung. Hal tersebut tak lepas dari lemahnya militansi kader partai berlambang pohon beringin tersebut, disamping figur, militansi kader partai politik juga sangat penting. Tanpa militansi, figur yang populer pun dapat keropos. Kelemahan Golkar adalah hilangnya militansi partai untuk menjaga dan meningkatkan dukungan atas calon Golkar. Kedua Kurang solidnya Kader Partai mendukung calon yang diusung. Sepertinya masalah internal Partai Golkar yang berusaha ditutupi oleh elite yang bersangkutan namun hal ini tetap bisa terbaca baik oleh orang dalam Partai Golkar maupun orang-orang diluar Partai Golkar, sebab ditemui di tempat yang berbeda, seseorang narasumber yang bukan dari Partai Golkar mengungkapkan hal yang hampir sama dengan pandangan yang penulis peroleh dari seseorang yang berasal dari dalam Partai Golkar sendiri. Ketiga Rakyat Ingin Perubahan. 15 Kekalahan pasangan yang diusung Partai Golkar disebabkan masyarakat Toraja Utara menginginkan perubahan terhadap kondisi Toraja Utara itu sendiri. Rakyat telah lelah dan jenuh dengan kondisi yang ada. Dan dengan adanya Pemilukada ini, rakyat berhak memilih calon pasangan yang mempunyai visi dan misi yang di anggap dapat membawa perubahan dalam pemerintahannya ke depan. Yang mereka tunggu adalah perbaikan kehidupan. Jika parpol besar (termasuk Golkar) tidak bisa memberi harapan, dan incumbent tidak mampu berbuat apa-apa, rakyat tentu berpaling kepada pemimpin baru. Tidak peduli parpol mana yang mengusung. Keempat Figur yang menjadi calon kepala daerah juga sangat menentukan dalam sebuah pelaksanaan Pemilukada. Rakyat telah bosan dengan calon-calon yang wajahnya sudah familiar bagi mereka. Rakyat berkeinginan calon yang diusung dalam Pemilukada adalah wajah-wajah baru yang lebih muda dan bersemangatkan jiwa muda. Pada Pemilukada, sebagian besar rakyat memilih bukan karena faktor calon tersebut didukung oleh Partai. Namun, kepopuleran dan figur calon juga berpengaruh terhadap hasil pemilihan. Kemenangan dalam pemilihan kepala daerah, juga bergantung pada ketokohan calon yang diusung. Jika calon yang diusung memiliki kharisma dan diakui ketokohannya, maka kemungkinan menang akan sangat besar karena disukai dan diinginkan masyarakat. Kelima Program kerja calon kurang menarik perhatian masyarakat. Program kerja yang lemah akan mempengaruhi keputusan masyarakat dalam menentukan pilihan, apalagi Toraja Utara yang merupakan kabupaten baru hasil pemekaran yang benar-benar harus memiliki visi dan misi untuk lebih maju kedepannya. 16 Berdasarkan penelitian diatas terdapat beberapa persamaan dengan penelitian ini yaitu berkaitan dengan kekalahan maupun hilangnya dominasi suatu partai di daerahnya. Namun terdapat juga perbedaan yang lebih mendalam dari penelitian diatas. Adapun perbedaan yang paling terlihat dari perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah dari kendaraan politik yang digunakan dalam Pemilihan Kepala Daerah. Pada penelitian yang diteliti oleh Khairunnisa Partai yang dipilih menjadi studi partainya adalah yaitu Partai Golongan Karya yang mengambil objek penelitian pada Dewan Perwakilan Daerah, sedangkan pada penelitian ini lebih mendalami penelitian pada Pemilihan Kepala Daerah pada Pemilihan Bupati dan Calon Wakil Bupati. Selain itu dari segi lokasi penelitian pun terdapat perbedaan, Khairunnisa mengambil lokasi penelitiannya di Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara dan penelitian ini mengambil lokasi penelitian di Kabupaten Klungkung Bali. Farhan Saliman dalam penelitiannya memang sama-sama menjelaskan dan meneliti mengenai faktor-faktor penyebab kekalahan partai politik dalam Pemilihan Kepala Daerah, akan tetapi dari luas cakupan Pemilukada yang dijelaskan terdapat perbedaan yakni, penelitian Farhan mengambil objek kajian pada Pilgub DKI Jakarta tahun 2012 sedangkan dalam penelitian ini mengambil Pemilihan Kepala Daerah Kabupaten Klungkung tahun 2013 untuk diteliti. Dari segi partai dan ruang lingkup politik yang diteliti pun berbeda dalam penelitian Farhan jauh lebih luas kajian penelitiannya dengan menjelaskan tentang faktorfaktor peyebab kekalahan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur yang diusung 17 partai PKS, sedagkan dalam penelitian ini lebih mendalami penyebab-penyebab kekalahan PDI-P dalam Pemilukada Klungkung 2013. Selanjutnya jika dibandingkan dengan penelitian Dedy, dari segi kajian maupun studi yang dibahas penelitian ini juga memiliki kesamaan, tetapi masih terdapat juga perbedaan yang lebih mendalam dari partai politik yang digunakan, dimana pada penelitian yang dilakukan Dedy menggunakan Partai Golongan Karya sebagai objek yang diteliti, sedangkan pada penelitian lebih mendalami Partai PDI-P sebagai partai yang akan dijadikan objek penelitian. Dari segi lokasi dan Pemilukada yang dilakukan pun berbeda yaitu penelitian sebelumnya ini dilakukan pada Pilkada Tahun 2010 pada pemilihan Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati di Toraja Utara, sedangkan dalam penelitian ini mengambil lokasi penelitian di Kabupaten Klungkung dengan Pemilukada Klungkung Tahun 2013 sebagai objek kajiannya. Dalam penelitian Dedy juga tidak dijelaskan tentang adanya dominasi partai politik di daerahnya dan lebih membahas tidak terdapat pengaruh Partai Golkar sebagai partai besar di Indonesia dalam hasil Pilkada Toraja Utara tahun 2010, sedangkan dalam penelitian ini PDI-P merupakan partai yang sudah pernah memenangkan Pilkada Klungkung tahun 2003 dan Pemilukada tahun 2008 dimana pada tahun 2013 merupakan titik balik dari PDI-P dengan kekalahannya pada Pemilukada Klungkung saat itu. Pada penelitian ini penulis juga menggunakan dua buah buku terkait dengan politik lokal dan simbol politik. Dua buku ini digunakan penulis sebagai tinjauan pustaka, yaitu pertama buku yang berjudul Kuasa Negara Pada Ranah Politik Lokal, dari Dr. Siti Aminah (2014). Isi dalam buku memuat tentang 18 dinamika politik dan pemerintahan lokal di Indonesia yang tak lain mengungkapkan sedikit persoalan benang kusut kuasa negara terhadap pemerintah lokal yang berada dalam gerak dalam koridor otonomi daerah. Buku ini juga mendeskripsikan lebih jauh kajian tentang relasi negara dengan pemerintah lokal dalam masa Orde Lama, Orde Baru, dan sesudahnya dilihat atau ditarik secara politik lokal. Selain itu, terdapat penjelasan mengenai awal dari pemerintahan lokal masa Orde Baru dilihat dari implementasi UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah, kemudian masa transisi dengan diterbitkannya UU No. 22 Tahun 1999 sampai dengan berlakunya UU No. 32 tahun 2004. Kedua, yakni buku dari F.W Dillistone (2002) yang berjudul Memahami Makna dan Kuasa Simbol. Buku ini menemukan eksistensi simbol dan pemaknaan terhadapnya. Pada perkembangannya hampir tidak mungkin masyarakat ada tanpa simbol-simbol seperti: bahasa, penunjuk jalan, lambang-lambang kebangsaan, partai politik, warna dan yang lain. Maka dari itu simbol menjadi entitas yang sangat penting dalam berbagai bidang ilmu, filsafat, politik sosiologi, kesenian dan bahkan budaya. Keberadaan simbol sebagai bagian dari masyarakat tampil luar biasa sejak dahulu sampai sekarang. Di masa lalu. Ia menjadi bagian yang terpisahkan dari relasi manusia dengan keberadaan Tuhan Yang Maha Esa. Pada saat ini, simbol telah menjadi istilah yang berkali-kali diungkapkan dan digunakan hampir begitu saja dalam dunia iklan, berita, pidato politik, prakiraan cuaca dan analisa ekonomi. Dalam hal ini penulis menggunakan kedua buku tersebut untuk menentukan arah pemikiran terhadap politik lokal dan simbol politik. 19 Setelah melihat pada pembahasan maupun penjelasan dari tiga penelitian dan dua buku yang terdapat pada kajian pustaka diatas, dapat diketahui bahwa penelitian yang sejenis sudah pernah dikaji oleh peneliti lain. Namun pada penelitiannya tersebut terdapat beberapa perbedaan yang mendalam yaitu jika tiga penelitian diatas lebih banyak membahas pada permasalahan dalam tubuh Partai Golongan Karya, dimana partai ini tadinya merupakan partai yang mendominasi dalam konstelasi politik nasional Indonesia selama kurang lebih tiga puluh dua tahun. Dalam pencarian sumber yang peneliti cari terkait masalah penelitian kekalahan PDI-P baik ditingkat nasional maupun lokal daerah, ternyata masih belum ada yang mengangkat penelitian sejenis yang merujuk pada penggunaan partai yang sama. Inkonsistensi maupun kekalahan PDI-P dalam Pemilukada belum pernah diangkat dalam sejarah perpolitikan di Indonesia. Kekuatan PDI-P yang masih stabil mungkin ditunjukkan di beberapa daerah di Indonesia yang mengakibatkan kajian mengenai kekalahan terhadap partai berlambang banteng ini masih jarang diangkat dalam penelitian. Hal ini menjadikan penelitian penulis memiliki nilai tambah dalam orisinalitas. 2.2 Kerangka Konseptual Dalam penelitian ini untuk mebahas dan menjelaskan mengenai Kekalahan PDI-P dalam Pemilukada Kabupaten Klungkung tahun 2013 sebagai arah tujuan penelitian ini, maka dari itu diperlukan adanya pemahaman terkait konsep yang akan dikaji pada penelitian ini. Dalam penjabaran konsep yang akan diteliti tentunya memiliki banyak pengertian yang berbeda-beda dari beberapa ahli, oleh 20 karena itu peneliti hanya akan memaparkan penjelasan dari konsep yang berhubungan dan poin yang terkait dalam penelitian ini. Konsep yang terdapat dalam penelitian ini, yakni: Partai Politik, PDI-P dan Pemilukada. 2.2.1 Partai Politik Pada era reformasi seperti saat ini partai politik tidak lagi menjadi sesuatu yang langka untuk dilihat di Indonesia. Pembatasan jumlah partai politik yang dilakukan pada saat Orde Baru tidak lagi terjadi pada kontelasi politik negara ini. Secara umum partai politik diartikan sebagai sebuah kelompok masyarakat yang berusaha masuk jalur kekuasaan di dalam pemerintahan. Dalam partai politik sendiri diperlukan juga persamaan visi dan misi diantara para anggotanya agar tercipta sikap kelanggengan dan harmonisasi dalam mencapai tujuan yang sama. Menurut Rojer H. Soltau (1961: 199) mendeskripsikan partai politik sebagai sekelompok warga negara yang terorganisir yang bertindak sebagai kesatuan politik dengan memanfaatkan kekuasaannya untuk memilih bertujuan menguasai pemerintahan dan melakukan kebijakan mereka sendiri. Di dalam bukunya Sigmun Neumann yang dikutip Harry Eckstein dan David E. Apter (1963: 352) juga memberikan pandangannya mengenai partai politik sebagai organisasi artikulasi dalam masyarakat yang berusaha memusatkan pada pengendalian kekuasaan pemerintah yang bersaing untuk mendapat dukungan rakyat dengan kelompok lain yang mempunyai pandangan yang berbeda. Selain itu Menurut Carl Friendrich yang dikutip oleh Ramlan Surbakti (2010: 148) dalam bukunya, memberi batasan partai politik sebagai kelompok 21 manusia yang terorganisasi secara stabil dengan tujuan untuk merebut atau mempertahankan kekuasaan dalam pemerintahan bagi pemimpin materiil dan idiil kepada para anggotanya. Maka dari itu penulis dapat menyimpulkan bahwa partai politik sebenanrnya merupakan gabungan kelompok masyarakat yang memiliki tujuan yang sama dalam menguasai pemerintahan suatu negara dengan cara memberikan dominasinya atas kelompok-kelompok lain melalui kekuasaan yang dimilikinya. Dalam sejarah partai politik atau yang lebih dikenal parpol awalnya berkembang pada abad ke 17 di Inggris. Pembentukan partai politik di dunia barat awalnya bertujuan dalam rangka pikiran barat bahwa Negara adalah organisasi kekuasaan untuk menjamin bahwa kehidupan antara Individu yang bebas dan berkuasa tidak mengakibatkan masalah sekuriti atau keamanan pada setiap individu warga negara. Di dalam bukunya Miriam budiarjo (2006:160) dijelaskan Partai politik adalah suatu kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai dan cita-cita yang sama. Tujuan kelompok ini ialah memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik biasanya dengan cara konstitusional untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan mereka. Suatu partai politik, atau setiap organisasi dapat dikategorikan sebagai partai politik, apabila: a. Terwujud dalam identitas, dapat berupa nama, bendera dan yang terpenting ideologi yang menjadi dasar nilai bagi pedoman dan aktifitas partai politik, 22 b. Ketika sekelompok orang-orang bergabung, tentunya bukan sekedar berkumpul biasa tetapi sebagai kelompok yang terorganisasi, artinya mereka membentuk asosiasi yang memenuhi syarat-syarat organisasi, c. Keberadaan partai politik diakui memiliki hak oleh sebagian besar masyarakat untuk mengorganisasikan dirinya sekaligus mengembangkan dirinya dengan berbagai aktivitas. Secara sederhana, partai politik biasa mengatasnamakan kelompok masyarakat tertentu yang merupakan pendukung-pendukung atau anggotanya, d. Partai politik berupaya mengembangkan aktivitas-aktivitas melalui mekanisme kerja yang mencerminkan pilihan rakyat. Partai politik dalam berbagai kegiatan, bekerja berdasarkan prinsip representatif government atau pemerintah yang mencerminkan pilihan rakyat. Hal ini dimungkinkan oleh keberadaan partai politik yang harus selalu berhubungan dengan rakyat. Dengan posisi seperti ini, partai politik diharuskan mengembangkan mekanisme hubungan yang aspiratif, responsive, dan partisipasive terhadap rakyat, terutama pendukungnya, sehingga apapun yang menjadi aktifitas politik partai merupakan gambaran suara rakyat. e. Aktivitas inti dari partai politik adalah melakukan seleksi bagi rakyat, baik dari kalangan partai politik yang dipilih sebagai kandidat untuk menduduki jabatan-jabatan publik dalam pemerintahan. Pembentukkan partai politik memiliki fungsi utama yaitu, partai mencari dan mempertahankan kekuasaan guna mewujudkan program-program yang disusun berdasarkan ideologi tertentu dan tujuan utama dari partai politik adalah 23 untuk mendapatkan simpati rakyat. Artinya, kekuasaan yang diperoleh partai politik bukan bersumber dari langit, melainkan datang karena adanya legitimasi rakyat melalui sebuah pemilihan umum. Jadi sebesar atau sekecil apapun kekuasaan itu, yang perlu diingat bahwa sumbernya berasal dari rakyat maka dari itupun, partai politik seharusnya lebih mengutamakan kepentingan rakyat di atas kepentingan golongannya. 2.2.2 PDI-P di Bali Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan merupakan salah satu partai politik yang ada di Indonesia. Partai ini didirikan pada tanggal 10 januari 1999 oleh Megawati Soekarnoputri. PDI-P sendiri merupakan gabungan dari 5 partai politik yakni, PNI, Parkindo, Partai katolik, Murba dan IPKI. Sebagai partai poltik di Indonesia PDI-P merupakan partai yang masih eksis dan kuat hngga saat ini. Kuatnya PDI-P tentunya tidak lepas dari banyaknya basis massa yang dimiliki. Salah satu daerah di Indonesia yang merupakan basis massa kuat PDI-P adalah Provinsi Bali. PDI-P muncul sebagai partai yang kuat di Bali pada tahun 1998. Hal ini ditandai dengan terpilihnya kader PDI-P Drs. Dewa Made Beratha sebagai Gubernur Bali dalam dua periode kepemimpinan mulai dari tahun 1998-2003 dan 2003-2008. Bentuk dominasi PDI-P dalam kontelasi politik lokal daerah Bali pun kembali ditunjukkan pada tahun 2008 dengan terpilihnya kembali kader PDI-P Made Mangku Pastika sebagai Gubernur Bali saat itu (news.okezone.com). Kuatnya PDI-P di Bali sendiri tidak lepas dari adanya pengaruh trah Soekarno. Bung Karno sendiri merupakan keturunan asli Bali dari Ibunya yang 24 berasal dari Buleleng. Hal ini tentunya berlaku pula pada anaknya Megawati Soekarnoputri yang menggunakan faktor ini menjadi daya tarik terhadap masyarakat Bali dalam menggalang basis massa pendukung PDI-P. Hampir seluruh kabupaten dan kota di Bali menunjukkan adanya basis massa kuat PDI-P, salah satunya adalah Kabupaten Klungkung. Dalam pentas politik di Klungkung PDI-P merupakan partai kuat. Ini dibuktikan dengan kemenangan dalam dua pilkada edisi terkahir yaitu pilkada tahun 2003 dan pemilukada tahun 2008. Tidak hanya dalam pemilukada, PDI-P juga merupakan partai yang memperoleh jumlah kursi terbanyak di Kabupaten Klungkung dalam dua periode terakhir, yakni pada pemilihan legislatif tahun 2004 dan 2009. Akan tetapi dalam realitas pemilukada Kabupaten Klungkung tahun 2013 kekuatan PDI-P mengalami penurunan yang signifikan yang ditandai dengan Kekalahan PDI-P saat itu. Kekalahan PDI-P di Kabupaten Klungkung tentunya memiliki penyebab-penyebab yang mengakibatkan, hal inilah yang mendorong peneliti ingin mengkaji maupun meneliti mengenai penyebab Kekalahan PDI-P dalam pemilukada Kabupaten Klungkung tahun 2013. 2.2.3. Pemilukada Pemilihan Kepala Daerah atau yang lebih dikenal Pemilukada merupakan salah satu proses pemilihan Kepala Daerah dalam sistem pemerintahan Negara Republik Indonesia. Dari sejarahnya Pemilihan Kepala Daerah sebenarnya sejak dulu sudah dilakukan di Indonesia, akan tetapi dalam prosesnya rakyat tidak turut serta menyumbangkan aspirasinya untuk memilih pemimpin yang dikehendaki. Pemilihan Kepala Daerah pada era Orde Baru dapat dikatakan merupakan 25 Pemilihan yang sifatnya sentralistik, dimana para Calon Pemimpin Kepala Daerah Dipilih oleh DPR (dewan Perwakila Rakyat) dan tidak melalui rakyat secara langsung. DPR sebagai lembaga yang memiliki hak pilih dalam Pilkada tentunya didasarkan pada posisnya yang sebagai wakil rakyat di parlemen pemerintahan dalam menyalurkan aspirasi masyarakat Indoneia. Dalam era reformasi seperti saat ini sifat dan cara Pemilihan Kepala Daerah yang sentralistik kini sudah tidak lagi digunakan. Karena pada sistem pemerintahan yang berlaku di Indonesia kini sudah menjunjung tinggi asas demokrasi. Dalam asas demokrasi ini rakyat dipandang memiliki porsi yang lebih banyak dalam menentukan pemimpin yang dikehendaki. Masyarakat kini diasumsikan sebagai aktor penting dalam proses pemilihan yang ada. Selain itu dalam era reformasi sekarang ini pemilukada juga dipandang sebagai upaya demokrasi untuk mencari pimpinan daerah yang berkualitas dengan cara-cara yang damai, jujur dan adil. Adapun peraturan perundang-undangan yang mengatur terkait masalah Pemilukada terdapat dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah adalah “Bahwa pelaksanaan pilkada langsung pada hakikatnya tidak hanya untuk tujuan mengoptimalkan demokratisasi di daerah, melainkan merupakan perwujudan dari prinsip otonomi daerah seluas-luasnya”. Dan pasal 56 ayat 1 UU No. 32 tahun 2004 berbunyi “Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil”. Terciptanya UU No. 32 Tahun 2004 mengenai pemerintahan daerah yang memuat ketentuan tentang Pemilihan Kepala Daerah secara langsung adalah 26 merupakan proses penentuan pilihan masyarakat terhadap calon yang mereka akan angkat sebagai pemimpin daerah mereka. Proses yang dimaksudkan dalam hal ini tetap dikemas dalam sebuah mekanisme sebagaimana pemilihan umum. Dalam pemilihan kepala daerah masyarakatlah yang kini memegang peranan kunci, mereka bisa menentukan dan sekaligus langsung memilih calon yang mereka anggap paling tepat. Pemilukada adalah momentum yang paling strategis untuk memilih kepala daerah yang berkualitas. Keberhasilannya tidak hanya diukur dari proses penyelenggaraannya yang berlangsung lancar dan damai, tetapi juga diukur dari hasil yang diperoleh, apakah telah menghasilkan pemimpin yang berkualitas terutama dari sisi manajerial dan kompetensi. Bila pemilihan ini hanya dijadikan sebagai ajang perebutan kekuasaan melalui mekanisme voting saja tanpa memerhatikan output yang dihasilkan, maka dalam praktekknya pemimpin yang terpilih tidak akan mempunyai kecakapan dan kemampuan dalam mengelola daerah dengan baik. Selain itu proses Pemilukada juga menjadi kesempatan yang penting bagi rakyat Indonesia dalam proses demokratisasi politik di tingkat lokal. Adanya keterlibatan antara masyarakat dan lembaga pemerintahan daerah secara langsung menunjukkan adanya interaksi yang aktif antara masyarakat dan pemerintahnya. Selain itu Penguatan demokrasi lokal melalui pemilihan ini adalah bagian dari pemberian otonomi luas, nyata, dan bertanggung jawab. Upaya penguatan demokrasi lokal melalui pemilukada langsung ini adalah mekanisme yang tepat 27 sebagai bentuk terobosan atas mandegnya pembangunan demokrasi di tingkat lokal. Demokrasi sebagai pilar utama negara harus menjadi sebuah cerminan bagi suatu bentuk pemerintahan, maka pendekatan prosedur untuk membentuk pemerintahan melibatkan partisipasi secara demokratis bagi setiap unsur di dalam masyarakat yang pluralistik. Dengan pendekatan tersebut, pemilihan para pemimpin secara kompetitif oleh rakyat dapat dijadikan sebagai prosedur yang utama. Proses pemilihan kepala daerah secara langsung senantiasa diharapkan dapat membawa perubahan berdemokrasi kearah yang lebih baik, serta dapat pula memperkokoh semangat demokrasi di daerah khususnya. Menurut Supriyanto (2008) dalam proses penyelenggaraannya pemilihan kepala daerah berlangsung secara bertahap. Tahapan dalam pelaksanaannya dapat dilihat sebagai berikut : 1. Pendaftaran pemilih calon bupati dan wakil bupati 2. Penentuan calon bupati dan wakil bupati 3. Proses administrasi pengadaan dan pendistribusian logistik 4. Pengadaan kampanye 5. Pemungutan dan penghitungan suara 6. Tahap penyelesaian (tahap evaluasi hasil pelaksanaan pemilihan kepala daerah). 2.3 Landasan Teori Pada bagian ini peneliti akan mengemukakan teori-teori yang digunakan dalam penelitian ini. Dalam pemilihan teori-teori didasari dari konsep yang digunakan dalam penelitian ini. Teori dalam penelitian berfungsi sebagai landasan 28 untuk menjawab pertanyaan dari rumusan masalah yang ada dalam penelitian ini. Penulis menggunakan teori interaksi simbolis yang terkonstruksi berdasarkan konsep yang dijelaskan oleh pemikiran tokoh-tokoh, seperti: George Herbert Mead, dan George Ritzer mengenai suatu hubungan yang terjadi secara alami antara manusia dalam masyarakat dan hubungan masyarakat dengan individu. Berikut penjelasan terkait teori yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu: 2.3.1 Teori Interaksi Simbolik Dari sejarah terciptanya Teori Interaksi simbolik sebagai salah satu pendekatan dalam sosiologi diperkenalkan pertama kali oleh Herbert Mead tahun 1934 di Universitas Chicago Amerika Serikat (Suprapto, 2002:127). Menurut Mead, interaksi sosial dalam masyarakat terjadi dalam bentuk utama yaitu: Pertama percakapan isyarat (interaksi nonsimbolik) dan Kedua penggunaan simbol-simbol penting (interaksi simbolik). Dari pernyataan diatas tersebut menegaskan bahwa penekanan interaksi simbolik adalah pada konteks simbol, sebab di sini orang mencoba memahami makna atau maksud dari suatu aksi yang dilakukan satu dengan yang lain. Secara perspektif, interaksi simbolik dapat diartikan juga sebagai interaksi yang terjadi antar-individu yang berkembang melalui simbol-simbol yang mereka ciptakan. Dalam kamus kmonukasi, Interaksi simbolik menurut Effendy (1989: 352) adalah suatu faham yang menyatakan bahwa hakekat terjadinya interaksi sosial antara individu dan antar individu dengan kelompok, kemudian antara kelompok dengan kelompok dalam masyarakat, ialah karena komunikasi, suatu kesatuan pemikiran di mana sebelumnya pada diri masing-masing yang terlibat 29 dan berlangsung internalisasi atau pembatinan. Munculnya simbol PDI-P sebagai wujud partai masyarakat Bali merupakan sebuah bentuk dari adanya interaksi simbolik yang tercipta di dalam tubuh masyarakat Bali sendiri. Adanya kedekatan historis yang menunjukkan bahwa Bali merupakan daerah basis partai PDI-P yang syarat akan perjuangan menunjukkan adanya interaksi simbolik antar partai dengan masyarakat. Kedekatan antar figur penting partai dengan masyarakat Bali juga menambah lekat dan kuatnya simbol yang ada. Figur Partai PDI-P yang masih memiliki hubungan garis keturunan yang sama dengan masyarakat Bali tentu menjadi daya tarik lebih terhadap masyarakat dalam memberikan dukungannya. Seperti yang diketahui Soekarno merupakan figur tokoh nasional Indonesia yang merupakan keturunan asli Bali dari ibunya. Kedekatan dalam hubungan hubungan darah ini tentuanya berlanjut hingga ke keturunnya. Megawati Soekarnoputri merupakan figur penting partai PDI-P yang selalu menggunakan dan mengaitkan aspek kedekatan keturunan ini dengan masyarakat Bali. Kedekatan historis dan keturunan yang diciptakan ini secara tidak langsung menciptakan sebuah daya magnet terhadap masyarakat Bali dalam memberikan dukungan suaranya terhadap Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan ini, baik dalam skala nasional maupun daerah. Dari segi stuktur masyarakatnya, penduduk Bali masih memegang erat dan teguh budaya lokal nenek moyang yang mereka miliki sejak dahulu. Hal ini tentu menjadi nilai tambah semakin memperkuatnya interaksi simbolik yang terbentuk diantara parpol dan masyarakat. Menurut I.B Wirawan (2015:110) Interaksi yang dilakukan antar-individu itu sebenarnya berlangsung secara sadar. Interaksi 30 simbolik juga dapat berkaitan dengan gerak tubuh, anatara lain suara atau vokal, gerakan fisik, ekspresi tubuh, yang semuanya itu mempunyai maksud dan disebut dengan “simbol”. Sebenarnya esensi dari interaksi simbolik adalah suatu aktivitas yang merupakan ciri khas manusia yakni komunikasi atau pertukaran simbol yang diberi makna (Mulyana, 2003: 59). Paham interaksionisme simbolik menganggap bahwa segala sesuatu tersebut adalah virtual. Semua interaksi antar individu manusia melibatkan suatu pertukaran simbol. Ketika kita berinteraksi dengan yang lainnya, kita secara konstan mencari “petunjuk” mengenai tipe perilaku apakah yang cocok dalam konteks itu dan mengenai bagaimana menginterpretasikan apa yang dimaksudkan oleh orang lain. Interaksionisme simbolik, mengarahkan perhatian kita pada interaksi antar individu, dan bagaimana hal ini dipergunakan untuk mengerti apa yang orang lain katakan dan lakukan kepada kita sebagai individu. Dalam terminologi Mead yang dikutip Rabo (2007) menjelaskan, setiap isyarat non verbal dan pesan verbal yang dimaknai berdasarkan kesepakatan bersama oleh semua pihak yang terlibat dalam suatu interaksi merupakan satu bentuk simbol yang mempunyai arti yang sangat penting. Perilaku seseorang dipengaruhi oleh simbol yang diberikan oleh orang lain, demikian pula perilaku orang tersebut. Melalui pemberian isyarat berupa simbol, maka kita dapat mengutarakan perasaan, pikiran, maksud, dan sebaliknya dengan cara membaca simbol yang ditampilkan oleh orang lain. Sesuai dengan pemikiran-pemikiran Mead, definisi singkat dari tiga ide dasar dari interaksi simbolik adalah : 31 a. Mind (pikiran) - kemampuan untuk menggunakan simbol yang mempunyai makna sosial yang sama, dimana tiap individu harus mengembangkan pikiran mereka melalui interaksi dengan individu lain Rabo (20017:101). b. Self (diri pribadi) - kemampuan untuk merefleksikan diri tiap individu dari penilaian sudut pandang atau pendapat orang lain, dan teori interaksionisme simbolis adalah salah satu cabang dalam teori sosiologi yang mengemukakan tentang diri sendiri (the-self) dan dunia luarnya. Dalam hubungannya dengan Self ini, Charles Horton Cooley mengembangkan satu konsep baru yang ia sebut dengan looking- glass self. Dengan looking- glass self ini, Cooley bermaksud mengatakan bahwa manusia memiliki kemampuan untuk melihat dirinya sebagaimana ia melihat obyek yang berada di luar dirinya. Hal ini berarti bahwa pertama, kita bisa membayangkan bagaimana kita tampil di hadapan orang lain; kedua, kita dapat membayangkan bagaimana penilaian orang lain terhadap penampilan kita; ketiga, kita dapat mengembangkan perasaan- perasaan tertentu sebagai akibat dari bayangan kita terhadap perasaan oran lain. (Bernard Raho, 2007: 105) c. Society (masyarakat) - hubungan sosial yang diciptakan, dibangun, dan dikonstruksikan oleh tiap individu ditengah masyarakat, dan tiap individu tersebut terlibat dalam perilaku yang mereka pilih secara aktif dan sukarela, yang pada akhirnya mengantarkan manusia dalam proses pengambilan peran di tengah masyarakatnya. 32 Dalam bukunya Ritzer (1992:209) juga menyatakan bahwa teori interaksionisme simbolik mengandung beberapa prinsip dasar sebagai berikut: a. Manusia tidak seperti binatang yang lebih rendah, karena manusia dikarunia kapasitas berpikir b. Kapasitas berpikir tersebut terbentuk oleh adanya interaksi sosial. c. Dalam interaksi sosial, manusia mempelajari arti simbol-simbol yang memungkinkan mereka menggunakan kemampuan khusus untuk berpikir. d. Makna-makna dan simbol-simbol memungkinkan manusia secara khusus membedakan aksi dan interaksi. e. Manusia dapat mengubah makna-makna dan simbol-simbol yang mereka gunakan dalam aksi dan interaksi berdasarkan interpretasi mereka terhadap situasi tertentu, f. Manusia dapat membuat modifikasi dan perubahan-perubahan karena kemampuan mereka berinteraksi dengan diri mereka sendiri, yang memungkinkan mereka menguji aksi yang mana yang mungkin dapat dijalankan, menilai kerugian dan keuntungan, serta memilih salah satunya, g. Pola-pola aksi dan interaksi yang telah jalin menjalin membentuk kelompok-kelompok dan masyarakat. Dalam literatur lain Charron (1979) menyebutkan pentingnya pemahaman terhadap simbol-simbol ketika seseorang menggunakan teori interaksionisme simbolis. Simbol adalah objek sosial dalam suatu interaksi. Ia digunakan sebagai perwakilan dan komunikasi yang ditentukan oleh orang-orang yang menggunakannya. Orang-orang tersebut memberi arti, menciptakan dan 33 mengubah objek tersebut di dalam interaksi. Simbol sosial tersebut dapat mewujud dalam bentuk objek fisik (benda-benda kasat mata), kata-kata (untuk mewakili objek fisik, perasaan, ide-ide, dan nilai-nilai), serta tindakan yang dilakukan orang untuk memberi arti dalam berkomunikasi dengan orang lain (Soeprapto, 2002: 126). Dari berbagai penjelasan diatas mengenai Teori Interaksi Simbolik penulis menarik sebuah intisari yang menerangkan bahwa esensi dari interaksi simbolik yakni adalah suatu aktivitas yang merupakan ciri khas manusia yakni komunikasi atau pertukaran simbol yang diberi makna. Paham interaksionisme simbolik memberikan banyak penekanan pada individu yang aktif dan kreatif ketimbang pendekatan-pendekatan teoritis lainnya. Paham interaksionisme simbolik menganggap bahwa segala sesuatu tersebut adalah virtual. Semua interaksi antar individu manusia melibatkan suatu pertukaran simbol. Menurut penulis, di setiap lingkungan memiliki kontrak khusus yang terbentuk karena budaya masyarakat yang ada mengenai pemahaman interaksi pada suatu simbol. Yang mana pemahaman simbol itu terbentuk karena adanya interaksi sosial dan budaya dari suatu tempat tertentu. Dari mulai rumah, lingkungan sekitar rumah, sekolah atau kampus pada sebuah kota, interaksi partai politik dengan masyarakat di tingkat nasional maupu lokal bahkan perspektif interaksi simbolik yang dikomuniskan pemahamannya diseluruh negara. Berdasarkan teori interaksi simbolik George Herbert Mead di atas, penulis mencoba menggunakan konsep perubahan makna simbol dalam kekalahans partai politik. Lebih jauh teori ini digunakan untuk melihat bagaimana penyebab 34 Kekalahan PDI-P dalam Pemilukada Kabupaten Klungkung tahun 2013. 2.4 Kerangka Pemikiran Hasil Pemilukada Kekalahan Pemilukada Klungkung 2013 PDI-P Penyebab-penyebab yang mempengaruhi Penyebab-penyebab yang mempengaruhi: 1. Kesadaran masyarakat Kabupaten Klungkung yang tidak melihat Partai Politik sebagai prasyarat utama dalam pemilihan. 2. Kurang populernya figur yang diusung pada saat itu yang mengakibatkan menurunnya elektabilitas PDI-P di Kabupaten Klungkung pada Pemilukada 2013. 3. Kurang solidnya mesin partai PDI-P pada saat Pemilukada 2013 di Kabupaten Klungkung. 4. Kekecewaan masyarakat dengan penetapan calon PDI-P.