10 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kajian Pustaka Beberapa

advertisement
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kajian Pustaka
Beberapa penelitian terkait kekalahan partai politik di daerah di Indonesia
telah dikaji oleh beberapa peneliti sebelumnya, namun berbeda dengan penelitian
ini. Penelitian-penelitian sebelumnya mempunyai perbedaan dari segi wilayah
penelitian maupun partai yang mendominasi di daerahnya masing-masing. Selain
itu dalam penelitian sebelumnya hanya mengkaji runtuhnya dominasi partai
politik disebabkan karena runtuhnya sebuah rezim di Indonesia yang
menyebabkan jatuhnya kepercayaan masyarakat terhadap partai politik tersebut.
Sedangkan dalam penelitian ini penulis ingin lebih jauh melihat penyebabpenyebab kekalahan partai politik pada Pemilukada Klungkung 2013. Adapun
penelitian lain yang sudah dilakukan dapat digunakan sebagai acuan maupun
refrensi dala penelitian ini. Dari beberapa penelitian yang sudah ada, penulis
mengambil tiga sampel penelitian dan dua buah buku sebagai sumber maupun
tambahan referensi untuk penelitian ini. Berikut tiga penelitian yang terkait
dengan Kekalahan Partai Politik:
Pertama dalam penelitian Khairunnisa Lubis (2014) ”Eksistensi Partai
Golkar dalam Politik Lokal: Studi Kasus Dewan Pimpinan Daerah Partai Golkar
Kabupaten Simalungun 2004-2009”. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
sejak berakhirnya pemerintahan Orde Baru, tingkat kepercayaan masyarakat
terhadap Partai Golkar cenderung menurun. Penurunan ini mulai terlihat terutama
11
sejak diadakannya pemilihan umum secara langsung pada tahun 2004, dimana
fenomena ini berbanding lurus dengan penurunan perolehan suara dan kursi yang
diperoleh Partai Golkar.
Dalam hasil penelitian khairunnisa juga dijelaskan tentang penyebab
turunnya tingkat kepercayaan masyarakat disebabkan oleh beberapa faktor yang
merujuk pada banyaknya janji-janji partai yang belum terealisasi secara
keseluruhan, hal ini mengakibatkan rasa loyalitas dan kepercayaan masyarakat
Kabupaten Simalungun itu sendiri semakin merosot turun. Penurunan
kepercayaan masyarakat terhadap partai berlambang pohon berigin ini juga dipacu
oleh kemajuan teknologi yang semakin maju. Banyaknya kampanye maupun
pengenalan figur calon menggunakan media elektronik seperti televisi maupun
sosial media seikit kurangnya berimplikasi pada daya tarik maupun pilihan
masyarakat Kabupaten Simalungun.
Penyebab lain yang menyebakan penurunan eksistensi Partai Golkar dalam
perolehan suara maupun jumlah kursi didapat adalah adanya degenerasi dalam
tubuh Partai Golkar. Banyaknya anggota maupun wajah lama yang masih
bertahan tanpa disertai regenerasi kader-kader menciptakan kejenuhan tersendiri
di dalam masyarakat Kabupaten Simalungun dalam memilih caon-calon dari
Partai Golkar. Kesamaan calon maupun figur pemimpin ini mendorong
masyarakat mencoba pilihan baru dalam Pemilihan Kepala Daerah Kabupaten
Simalungun tahun 2009. Hasil dari Pemilukada Kabupaten Simalungun tahun
2009 menunjukkan bahwa Bupati yang terpilih tidak lagi berasal dari Partai
Golkar yang berefek pada penurunan tingkat keberhasilan dalam merealisasikan
12
strategi yang diusung Partai Golkar dalam setiap kegiatan pemenangan pemilu
dan merealisasikan program unggulan yang selama ini menjadi kebanggan
masyarakat Kabupaten Simalungun kepada Partai Golkar.
Kedua yakni penelitian yang dilakukan Farhan Saliman (2015) “Faktorfaktor Dibalik Kekalahan Cagub-Cawagub Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Pada
Pilgub DKI Jakarta Tahun 2012” mengemukakan bahwa PKS merupakan partai
yang menduduki posisi nomor dua terbanyak dalam raihan perolehan suara dan
jumlah kursi yang di dapat di DPRD DKI. Jumlah kursi yang didapatkan PKS
mecnapai 18 kursi. Dengan perolehan jumlah 18 kursi ini PKS sudah memenuhi
syarat sebuah partai politik untuk bisa mengajukan pasangan calon Gubernur dan
Wakil Gubernur yang memiliki syarat hanya 15 kursi saja.
Hal ini lah yang mendorong mengajukan calonnya tanpa berkoalisi dengan
partai politik lain. Dalam proses Pemilihan Gubernur DKI Jakarta Tahun 2012
tersebut PKS memiliki tujuan untuk menegakkan prinsip ishlamafis (perbaikan
individu) dan ishanulmujtama’ (perbaikan masyarakat). Dengan demikian maka
nilai-nilai islam yang universal akan tegak di masyarakat, bangsa dan negara.
Walaupun memiliki prinsip yang mumpuni serta syarat pencalonan yang kuat,
ternyata pada tahun 2012 PKS gagal dan kalah bersaing dalam Pilgub DKI Tahun
2012.
Dalam penelitian ini dijelaskan mengenai faktor-faktor yang menyebabkan
kekalahan Partai Keadilan Sejahtera ini disebabkan oleh dua faktor, dari faktor
internal partai dan eksternal partai. Masalah dari internal partai yang saat itu
menerpa partai PKS adalah terpaan badai korupsi yang menjerat Presiden Partai
13
PKS Lutfi Hasan Ishak yang diduga menerima suap kuota impor daging sapi, hal
ini sendiri menjadi salah satu penyebab menurunnya elektabilitas PKS dalam
Pilgub DKI Tahun 2012, selain itu kurang efektifnya komunikasi politik yang
dibangun disebut juga sebagai penyebab kekalahan PKS dalam edisi Pilgub
Jakarta Tahun 2012. Faktr-faktor yang menyebabkan kekalahan PKS dari segi
eksternal pun disebut juga memegang peran vital dalam hasil yang diperoleh,
dimana di dalam penelitian ini disebutkan oleh Jazuli Juwaeni bahwa terdapat
lima faktor penyebab kekalahan dan penurunan elektabilitas PKS dari Pilgub
2007 ke Pilgub Jakarta Tahun 2012. Pertama pilgub sebelumnya hanya diikuti
oleh dua kandidat sehingga suara tidak terlalu terpecah-pecah. Kedua semakin
sering Pemilukada dilaksanakan di Indonesia, masyarakat terpolarisasi secara
pragmatis. Ketiga persoalan DPT juga menjadi persoalan yang signifikan, karena
besar kemungkinan telah diatur, dimana potensi pemilih kandidat tertentu tidak
terdaftar di daerah-daerah basis pada Pilgub dan Pemilu sebelumnya banyak yang
tidak terdaftar. Keempat Netralitas PNS dan birokrasi masih sangat menyedihkan,
banyak timses Hidayat diintimidasi bahkan atribut partai yang dipasang malam
hari besok harinya sudah hilang. Kelima PKS tidak melakukan money politik
karena bertentangan dengan UU.
Ketiga, penelitian Dedi Alamsyah (2010) “Kekalahan Partai Golkar Pada
Pemilukada Di kabupaten Toraja Utara 2010”. Dedi dalam penelitiannya ingin
mengkaji faktor-faktor penyebab Kekalahan Partai Golkar pada Pemilukada
Toraja Utara tahun 2010. Adapun hasil penelitiannya membuktikan bahwa parpol
besar tidak mutlak memenangkan calon. Sesuai hasil perhitungan suara, dua
14
pasangan yang berhasil melenggang ke putaran kedua adalah YS Dalipang-Simon
Liling dan Frederik Batti Sorring-Frederik Buntang Rombe Layuk. Frederik Batti
Sorring-Frederik Rombe Layuk diusung oleh tujuh partai kecil, di antaranya PDK,
PKPI, Patriot, dan Kedaulatan. Bahkan, pasangan YS Dalipang-Simon Liling
maju lewat jalur perseorangan atau independen. Sedangkan calon yang diusung
partai besar seperti Demokrat, Golkar dan PDI-Perjuangan, harus mengakui
keunggulan lawannya, dan justru menyalahkan calonnya. Kekalahan Partai Golkar
pada pemilihan Bupati/Wakil Bupati di kabupaten Toraja Utara 2010 di sebabkan
oleh beberapa faktor, yaitu : Pertama Lemahnya militansi kader partai, mesin
politik Partai Golkar yang tidak bekerja secara maksimal menjadi faktor krusial
terhadap kekalahan pasangan yang mereka usung. Hal tersebut tak lepas dari
lemahnya militansi kader partai berlambang pohon beringin tersebut, disamping
figur, militansi kader partai politik juga sangat penting.
Tanpa militansi, figur yang populer pun dapat keropos. Kelemahan Golkar
adalah hilangnya militansi partai untuk menjaga dan meningkatkan dukungan atas
calon Golkar. Kedua Kurang solidnya Kader Partai mendukung calon yang
diusung. Sepertinya masalah internal Partai Golkar yang berusaha ditutupi oleh
elite yang bersangkutan namun hal ini tetap bisa terbaca baik oleh orang dalam
Partai Golkar maupun orang-orang diluar Partai Golkar, sebab ditemui di tempat
yang berbeda,
seseorang narasumber
yang
bukan
dari
Partai
Golkar
mengungkapkan hal yang hampir sama dengan pandangan yang penulis peroleh
dari seseorang yang berasal dari dalam Partai Golkar sendiri. Ketiga Rakyat Ingin
Perubahan.
15
Kekalahan pasangan yang diusung Partai Golkar disebabkan masyarakat
Toraja Utara menginginkan perubahan terhadap kondisi Toraja Utara itu sendiri.
Rakyat telah lelah dan jenuh dengan kondisi yang ada. Dan dengan adanya
Pemilukada ini, rakyat berhak memilih calon pasangan yang mempunyai visi dan
misi yang di anggap dapat membawa perubahan dalam pemerintahannya ke
depan. Yang mereka tunggu adalah perbaikan kehidupan. Jika parpol besar
(termasuk Golkar) tidak bisa memberi harapan, dan incumbent tidak mampu
berbuat apa-apa, rakyat tentu berpaling kepada pemimpin baru. Tidak peduli
parpol mana yang mengusung. Keempat Figur yang menjadi calon kepala daerah
juga sangat menentukan dalam sebuah pelaksanaan Pemilukada. Rakyat telah
bosan dengan calon-calon yang wajahnya sudah familiar bagi mereka. Rakyat
berkeinginan calon yang diusung dalam Pemilukada adalah wajah-wajah baru
yang lebih muda dan bersemangatkan jiwa muda.
Pada Pemilukada, sebagian besar rakyat memilih bukan karena faktor
calon tersebut didukung oleh Partai. Namun, kepopuleran dan figur calon juga
berpengaruh terhadap hasil pemilihan. Kemenangan dalam pemilihan kepala
daerah, juga bergantung pada ketokohan calon yang diusung. Jika calon yang
diusung memiliki kharisma dan diakui ketokohannya, maka kemungkinan menang
akan sangat besar karena disukai dan diinginkan masyarakat. Kelima Program
kerja calon kurang menarik perhatian masyarakat. Program kerja yang lemah akan
mempengaruhi keputusan masyarakat dalam menentukan pilihan, apalagi Toraja
Utara yang merupakan kabupaten baru hasil pemekaran yang benar-benar harus
memiliki visi dan misi untuk lebih maju kedepannya.
16
Berdasarkan penelitian diatas terdapat beberapa persamaan dengan
penelitian ini yaitu berkaitan dengan kekalahan maupun hilangnya dominasi suatu
partai di daerahnya. Namun terdapat juga perbedaan yang lebih mendalam dari
penelitian diatas. Adapun perbedaan yang paling terlihat dari perbedaan penelitian
ini dengan penelitian sebelumnya adalah dari kendaraan politik yang digunakan
dalam Pemilihan Kepala Daerah. Pada penelitian yang diteliti oleh Khairunnisa
Partai yang dipilih menjadi studi partainya adalah yaitu Partai Golongan Karya
yang mengambil objek penelitian pada Dewan Perwakilan Daerah, sedangkan
pada penelitian ini lebih mendalami penelitian pada Pemilihan Kepala Daerah
pada Pemilihan Bupati dan Calon Wakil Bupati. Selain itu dari segi lokasi
penelitian pun terdapat perbedaan, Khairunnisa mengambil lokasi penelitiannya di
Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara dan penelitian ini mengambil lokasi
penelitian di Kabupaten Klungkung Bali.
Farhan Saliman dalam penelitiannya memang sama-sama menjelaskan dan
meneliti mengenai faktor-faktor penyebab kekalahan partai politik dalam
Pemilihan Kepala Daerah, akan tetapi dari luas cakupan Pemilukada yang
dijelaskan terdapat perbedaan yakni, penelitian Farhan mengambil objek kajian
pada Pilgub DKI Jakarta tahun 2012 sedangkan dalam penelitian ini mengambil
Pemilihan Kepala Daerah Kabupaten Klungkung tahun 2013 untuk diteliti. Dari
segi partai dan ruang lingkup politik yang diteliti pun berbeda dalam penelitian
Farhan jauh lebih luas kajian penelitiannya dengan menjelaskan tentang faktorfaktor peyebab kekalahan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur yang diusung
17
partai PKS, sedagkan dalam penelitian ini lebih mendalami penyebab-penyebab
kekalahan PDI-P dalam Pemilukada Klungkung 2013.
Selanjutnya jika dibandingkan dengan penelitian Dedy, dari segi kajian
maupun studi yang dibahas penelitian ini juga memiliki kesamaan, tetapi masih
terdapat juga perbedaan yang lebih mendalam dari partai politik yang digunakan,
dimana pada penelitian yang dilakukan Dedy menggunakan Partai Golongan
Karya sebagai objek yang diteliti, sedangkan pada penelitian lebih mendalami
Partai PDI-P sebagai partai yang akan dijadikan objek penelitian. Dari segi lokasi
dan Pemilukada yang dilakukan pun berbeda yaitu penelitian sebelumnya ini
dilakukan pada Pilkada Tahun 2010 pada pemilihan Calon Bupati dan Calon
Wakil Bupati di Toraja Utara, sedangkan dalam penelitian ini mengambil lokasi
penelitian di Kabupaten Klungkung dengan Pemilukada Klungkung Tahun 2013
sebagai objek kajiannya. Dalam penelitian Dedy juga tidak dijelaskan tentang
adanya dominasi partai politik di daerahnya dan lebih membahas tidak terdapat
pengaruh Partai Golkar sebagai partai besar di Indonesia dalam hasil Pilkada
Toraja Utara tahun 2010, sedangkan dalam penelitian ini PDI-P merupakan partai
yang sudah pernah memenangkan Pilkada Klungkung tahun 2003 dan Pemilukada
tahun 2008 dimana pada tahun 2013 merupakan titik balik dari PDI-P dengan
kekalahannya pada Pemilukada Klungkung saat itu.
Pada penelitian ini penulis juga menggunakan dua buah buku terkait
dengan politik lokal dan simbol politik. Dua buku ini digunakan penulis sebagai
tinjauan pustaka, yaitu pertama buku yang berjudul Kuasa Negara Pada Ranah
Politik Lokal, dari Dr. Siti Aminah (2014). Isi dalam buku memuat tentang
18
dinamika politik dan pemerintahan lokal di Indonesia yang tak lain
mengungkapkan sedikit persoalan benang kusut kuasa negara terhadap pemerintah
lokal yang berada dalam gerak dalam koridor otonomi daerah. Buku ini juga
mendeskripsikan lebih jauh kajian tentang relasi negara dengan pemerintah lokal
dalam masa Orde Lama, Orde Baru, dan sesudahnya dilihat atau ditarik secara
politik lokal. Selain itu, terdapat penjelasan mengenai awal dari pemerintahan
lokal masa Orde Baru dilihat dari implementasi UU No. 5 Tahun 1974 tentang
Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah, kemudian masa transisi dengan
diterbitkannya UU No. 22 Tahun 1999 sampai dengan berlakunya UU No. 32
tahun 2004. Kedua, yakni buku dari F.W Dillistone (2002) yang berjudul
Memahami Makna dan Kuasa Simbol. Buku ini menemukan eksistensi simbol
dan pemaknaan terhadapnya.
Pada perkembangannya hampir tidak mungkin masyarakat ada tanpa
simbol-simbol seperti: bahasa, penunjuk jalan, lambang-lambang kebangsaan,
partai politik, warna dan yang lain. Maka dari itu simbol menjadi entitas yang
sangat penting dalam berbagai bidang ilmu, filsafat, politik sosiologi, kesenian
dan bahkan budaya. Keberadaan simbol sebagai bagian dari masyarakat tampil
luar biasa sejak dahulu sampai sekarang. Di masa lalu. Ia menjadi bagian yang
terpisahkan dari relasi manusia dengan keberadaan Tuhan Yang Maha Esa. Pada
saat ini, simbol telah menjadi istilah yang berkali-kali diungkapkan dan digunakan
hampir begitu saja dalam dunia iklan, berita, pidato politik, prakiraan cuaca dan
analisa ekonomi. Dalam hal ini penulis menggunakan kedua buku tersebut untuk
menentukan arah pemikiran terhadap politik lokal dan simbol politik.
19
Setelah melihat pada pembahasan maupun penjelasan dari tiga penelitian
dan dua buku yang terdapat pada kajian pustaka diatas, dapat diketahui bahwa
penelitian yang sejenis sudah pernah dikaji oleh peneliti lain. Namun pada
penelitiannya tersebut terdapat beberapa perbedaan yang mendalam yaitu jika tiga
penelitian diatas lebih banyak membahas pada permasalahan dalam tubuh Partai
Golongan Karya, dimana partai ini tadinya merupakan partai yang mendominasi
dalam konstelasi politik nasional Indonesia selama kurang lebih tiga puluh dua
tahun. Dalam pencarian sumber yang peneliti cari terkait masalah penelitian
kekalahan PDI-P baik ditingkat nasional maupun lokal daerah, ternyata masih
belum ada yang mengangkat penelitian sejenis yang merujuk pada penggunaan
partai yang sama. Inkonsistensi maupun kekalahan PDI-P dalam Pemilukada
belum pernah diangkat dalam sejarah perpolitikan di Indonesia. Kekuatan PDI-P
yang masih stabil mungkin ditunjukkan di beberapa daerah di Indonesia yang
mengakibatkan kajian mengenai kekalahan terhadap partai berlambang banteng
ini masih jarang diangkat dalam penelitian. Hal ini menjadikan penelitian penulis
memiliki nilai tambah dalam orisinalitas.
2.2 Kerangka Konseptual
Dalam penelitian ini untuk mebahas dan menjelaskan mengenai Kekalahan
PDI-P dalam Pemilukada Kabupaten Klungkung tahun 2013 sebagai arah tujuan
penelitian ini, maka dari itu diperlukan adanya pemahaman terkait konsep yang
akan dikaji pada penelitian ini. Dalam penjabaran konsep yang akan diteliti
tentunya memiliki banyak pengertian yang berbeda-beda dari beberapa ahli, oleh
20
karena itu peneliti hanya akan memaparkan penjelasan dari konsep yang
berhubungan dan poin yang terkait dalam penelitian ini. Konsep yang terdapat
dalam penelitian ini, yakni: Partai Politik, PDI-P dan Pemilukada.
2.2.1 Partai Politik
Pada era reformasi seperti saat ini partai politik tidak lagi menjadi sesuatu
yang langka untuk dilihat di Indonesia. Pembatasan jumlah partai politik yang
dilakukan pada saat Orde Baru tidak lagi terjadi pada kontelasi politik negara ini.
Secara umum partai politik diartikan sebagai sebuah kelompok masyarakat yang
berusaha masuk jalur kekuasaan di dalam pemerintahan. Dalam partai politik
sendiri diperlukan juga persamaan visi dan misi diantara para anggotanya agar
tercipta sikap kelanggengan dan harmonisasi dalam mencapai tujuan yang sama.
Menurut Rojer H. Soltau (1961: 199) mendeskripsikan partai politik sebagai
sekelompok warga negara yang terorganisir yang bertindak sebagai kesatuan
politik dengan memanfaatkan kekuasaannya untuk memilih bertujuan menguasai
pemerintahan dan melakukan kebijakan mereka sendiri.
Di dalam bukunya Sigmun Neumann yang dikutip Harry Eckstein dan
David E. Apter (1963: 352) juga memberikan pandangannya mengenai partai
politik sebagai organisasi artikulasi dalam masyarakat yang berusaha memusatkan
pada pengendalian kekuasaan pemerintah yang bersaing untuk mendapat
dukungan rakyat dengan kelompok lain yang mempunyai pandangan yang
berbeda. Selain itu Menurut Carl Friendrich yang dikutip oleh Ramlan Surbakti
(2010: 148) dalam bukunya, memberi batasan partai politik sebagai kelompok
21
manusia yang terorganisasi secara stabil dengan tujuan untuk merebut atau
mempertahankan kekuasaan dalam pemerintahan bagi pemimpin materiil dan idiil
kepada para anggotanya. Maka dari itu penulis dapat menyimpulkan bahwa partai
politik sebenanrnya merupakan gabungan kelompok masyarakat yang memiliki
tujuan yang sama dalam menguasai pemerintahan suatu negara dengan cara
memberikan dominasinya atas kelompok-kelompok lain melalui kekuasaan yang
dimilikinya.
Dalam sejarah partai politik atau yang lebih dikenal parpol awalnya
berkembang pada abad ke 17 di Inggris. Pembentukan partai politik di dunia barat
awalnya bertujuan dalam rangka pikiran barat bahwa Negara adalah organisasi
kekuasaan untuk menjamin bahwa kehidupan antara Individu yang bebas dan
berkuasa tidak mengakibatkan masalah sekuriti atau keamanan pada setiap
individu warga negara. Di dalam bukunya Miriam budiarjo (2006:160) dijelaskan
Partai politik adalah suatu kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya
mempunyai orientasi, nilai-nilai dan cita-cita yang sama. Tujuan kelompok ini
ialah memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik biasanya
dengan cara konstitusional untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan mereka.
Suatu partai politik, atau setiap organisasi dapat dikategorikan sebagai partai
politik, apabila:
a. Terwujud dalam identitas, dapat berupa nama, bendera dan yang
terpenting ideologi yang menjadi dasar nilai bagi pedoman dan aktifitas
partai politik,
22
b. Ketika sekelompok orang-orang bergabung, tentunya bukan sekedar
berkumpul biasa tetapi sebagai kelompok yang terorganisasi, artinya
mereka membentuk asosiasi yang memenuhi syarat-syarat organisasi,
c. Keberadaan partai politik diakui memiliki hak oleh sebagian besar
masyarakat untuk mengorganisasikan dirinya sekaligus mengembangkan
dirinya dengan berbagai aktivitas. Secara sederhana, partai politik biasa
mengatasnamakan kelompok masyarakat tertentu yang merupakan
pendukung-pendukung atau anggotanya,
d. Partai politik berupaya mengembangkan aktivitas-aktivitas melalui
mekanisme kerja yang mencerminkan pilihan rakyat. Partai politik dalam
berbagai kegiatan, bekerja berdasarkan prinsip representatif government
atau pemerintah yang mencerminkan pilihan rakyat. Hal ini dimungkinkan
oleh keberadaan partai politik yang harus selalu berhubungan dengan
rakyat.
Dengan
posisi
seperti
ini,
partai
politik
diharuskan
mengembangkan mekanisme hubungan yang aspiratif, responsive, dan
partisipasive terhadap rakyat, terutama pendukungnya, sehingga apapun
yang menjadi aktifitas politik partai merupakan gambaran suara rakyat.
e. Aktivitas inti dari partai politik adalah melakukan seleksi bagi rakyat, baik
dari kalangan partai politik yang dipilih sebagai kandidat untuk
menduduki jabatan-jabatan publik dalam pemerintahan.
Pembentukkan partai politik memiliki fungsi utama yaitu, partai mencari
dan mempertahankan kekuasaan guna mewujudkan program-program yang
disusun berdasarkan ideologi tertentu dan tujuan utama dari partai politik adalah
23
untuk mendapatkan simpati rakyat. Artinya, kekuasaan yang diperoleh partai
politik bukan bersumber dari langit, melainkan datang karena adanya legitimasi
rakyat melalui sebuah pemilihan umum. Jadi sebesar atau sekecil apapun
kekuasaan itu, yang perlu diingat bahwa sumbernya berasal dari rakyat maka dari
itupun, partai politik seharusnya lebih mengutamakan kepentingan rakyat di atas
kepentingan golongannya.
2.2.2 PDI-P di Bali
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan merupakan salah satu partai
politik yang ada di Indonesia. Partai ini didirikan pada tanggal 10 januari 1999
oleh Megawati Soekarnoputri. PDI-P sendiri merupakan gabungan dari 5 partai
politik yakni, PNI, Parkindo, Partai katolik, Murba dan IPKI. Sebagai partai poltik
di Indonesia PDI-P merupakan partai yang masih eksis dan kuat hngga saat ini.
Kuatnya PDI-P tentunya tidak lepas dari banyaknya basis massa yang dimiliki.
Salah satu daerah di Indonesia yang merupakan basis massa kuat PDI-P adalah
Provinsi Bali.
PDI-P muncul sebagai partai yang kuat di Bali pada tahun 1998. Hal ini
ditandai dengan terpilihnya kader PDI-P Drs. Dewa Made Beratha sebagai
Gubernur Bali dalam dua periode kepemimpinan mulai dari tahun 1998-2003 dan
2003-2008. Bentuk dominasi PDI-P dalam kontelasi politik lokal daerah Bali pun
kembali ditunjukkan pada tahun 2008 dengan terpilihnya kembali kader PDI-P
Made Mangku Pastika sebagai Gubernur Bali saat itu (news.okezone.com).
Kuatnya PDI-P di Bali sendiri tidak lepas dari adanya pengaruh trah
Soekarno. Bung Karno sendiri merupakan keturunan asli Bali dari Ibunya yang
24
berasal dari Buleleng. Hal ini tentunya berlaku pula pada anaknya Megawati
Soekarnoputri yang menggunakan faktor ini menjadi daya tarik terhadap
masyarakat Bali dalam menggalang basis massa pendukung PDI-P. Hampir
seluruh kabupaten dan kota di Bali menunjukkan adanya basis massa kuat PDI-P,
salah satunya adalah Kabupaten Klungkung. Dalam pentas politik di Klungkung
PDI-P merupakan partai kuat. Ini dibuktikan dengan kemenangan dalam dua
pilkada edisi terkahir yaitu pilkada tahun 2003 dan pemilukada tahun 2008. Tidak
hanya dalam pemilukada, PDI-P juga merupakan partai yang memperoleh jumlah
kursi terbanyak di Kabupaten Klungkung dalam dua periode terakhir, yakni pada
pemilihan legislatif tahun 2004 dan 2009. Akan tetapi dalam realitas pemilukada
Kabupaten Klungkung tahun 2013 kekuatan PDI-P mengalami penurunan yang
signifikan yang ditandai dengan Kekalahan PDI-P saat itu. Kekalahan PDI-P di
Kabupaten
Klungkung
tentunya
memiliki
penyebab-penyebab
yang
mengakibatkan, hal inilah yang mendorong peneliti ingin mengkaji maupun
meneliti mengenai penyebab Kekalahan PDI-P dalam pemilukada Kabupaten
Klungkung tahun 2013.
2.2.3. Pemilukada
Pemilihan Kepala Daerah atau yang lebih dikenal Pemilukada merupakan
salah satu proses pemilihan Kepala Daerah dalam sistem pemerintahan Negara
Republik Indonesia. Dari sejarahnya Pemilihan Kepala Daerah sebenarnya sejak
dulu sudah dilakukan di Indonesia, akan tetapi dalam prosesnya rakyat tidak turut
serta menyumbangkan aspirasinya untuk memilih pemimpin yang dikehendaki.
Pemilihan Kepala Daerah pada era Orde Baru dapat dikatakan merupakan
25
Pemilihan yang sifatnya sentralistik, dimana para Calon Pemimpin Kepala Daerah
Dipilih oleh DPR (dewan Perwakila Rakyat) dan tidak melalui rakyat secara
langsung. DPR sebagai lembaga yang memiliki hak pilih dalam Pilkada tentunya
didasarkan pada posisnya yang sebagai wakil rakyat di parlemen pemerintahan
dalam menyalurkan aspirasi masyarakat Indoneia.
Dalam era reformasi seperti saat ini sifat dan cara Pemilihan Kepala
Daerah yang sentralistik kini sudah tidak lagi digunakan. Karena pada sistem
pemerintahan yang berlaku di Indonesia kini sudah menjunjung tinggi asas
demokrasi. Dalam asas demokrasi ini rakyat dipandang memiliki porsi yang lebih
banyak dalam menentukan pemimpin yang dikehendaki. Masyarakat kini
diasumsikan sebagai aktor penting dalam proses pemilihan yang ada.
Selain itu dalam era reformasi sekarang ini pemilukada juga dipandang
sebagai upaya demokrasi untuk mencari pimpinan daerah yang berkualitas dengan
cara-cara yang damai, jujur dan adil. Adapun peraturan perundang-undangan yang
mengatur terkait masalah Pemilukada terdapat dalam UU No. 32 Tahun 2004
tentang pemerintahan daerah adalah “Bahwa pelaksanaan pilkada langsung pada
hakikatnya tidak hanya untuk tujuan mengoptimalkan demokratisasi di daerah,
melainkan merupakan perwujudan dari prinsip otonomi daerah seluas-luasnya”.
Dan pasal 56 ayat 1 UU No. 32 tahun 2004 berbunyi “Kepala Daerah dan Wakil
Kepala Daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara
demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil”.
Terciptanya UU No. 32 Tahun 2004 mengenai pemerintahan daerah yang
memuat ketentuan tentang Pemilihan Kepala Daerah secara langsung adalah
26
merupakan proses penentuan pilihan masyarakat terhadap calon yang mereka akan
angkat sebagai pemimpin daerah mereka. Proses yang dimaksudkan dalam hal ini
tetap dikemas dalam sebuah mekanisme sebagaimana pemilihan umum. Dalam
pemilihan kepala daerah masyarakatlah yang kini memegang peranan kunci,
mereka bisa menentukan dan sekaligus langsung memilih calon yang mereka
anggap paling tepat.
Pemilukada adalah momentum yang paling strategis untuk memilih kepala
daerah yang berkualitas. Keberhasilannya tidak hanya diukur dari proses
penyelenggaraannya yang berlangsung lancar dan damai, tetapi juga diukur dari
hasil yang diperoleh, apakah telah menghasilkan pemimpin yang berkualitas
terutama dari sisi manajerial dan kompetensi. Bila pemilihan ini hanya dijadikan
sebagai ajang perebutan kekuasaan melalui mekanisme voting saja tanpa
memerhatikan output yang dihasilkan, maka dalam praktekknya pemimpin yang
terpilih tidak akan mempunyai kecakapan dan kemampuan dalam mengelola
daerah dengan baik.
Selain itu proses Pemilukada juga menjadi kesempatan yang penting bagi
rakyat Indonesia dalam proses demokratisasi politik di tingkat lokal. Adanya
keterlibatan antara masyarakat dan lembaga pemerintahan daerah secara langsung
menunjukkan adanya interaksi yang aktif antara masyarakat dan pemerintahnya.
Selain itu Penguatan demokrasi lokal melalui pemilihan ini adalah bagian dari
pemberian otonomi luas, nyata, dan bertanggung jawab. Upaya penguatan
demokrasi lokal melalui pemilukada langsung ini adalah mekanisme yang tepat
27
sebagai bentuk terobosan atas mandegnya pembangunan demokrasi di tingkat
lokal.
Demokrasi sebagai pilar utama negara harus menjadi sebuah cerminan
bagi suatu bentuk pemerintahan, maka pendekatan prosedur untuk membentuk
pemerintahan melibatkan partisipasi secara demokratis bagi setiap unsur di dalam
masyarakat yang pluralistik. Dengan pendekatan tersebut, pemilihan para
pemimpin secara kompetitif oleh rakyat dapat dijadikan sebagai prosedur yang
utama.
Proses pemilihan kepala daerah secara langsung senantiasa diharapkan
dapat membawa perubahan berdemokrasi kearah yang lebih baik, serta dapat pula
memperkokoh semangat demokrasi di daerah khususnya. Menurut Supriyanto
(2008) dalam proses penyelenggaraannya pemilihan kepala daerah berlangsung
secara bertahap. Tahapan dalam pelaksanaannya dapat dilihat sebagai berikut :
1. Pendaftaran pemilih calon bupati dan wakil bupati
2. Penentuan calon bupati dan wakil bupati
3. Proses administrasi pengadaan dan pendistribusian logistik
4. Pengadaan kampanye
5. Pemungutan dan penghitungan suara
6. Tahap penyelesaian (tahap evaluasi hasil pelaksanaan pemilihan kepala daerah).
2.3 Landasan Teori
Pada bagian ini peneliti akan mengemukakan teori-teori yang digunakan
dalam penelitian ini. Dalam pemilihan teori-teori didasari dari konsep yang
digunakan dalam penelitian ini. Teori dalam penelitian berfungsi sebagai landasan
28
untuk menjawab pertanyaan dari rumusan masalah yang ada dalam penelitian ini.
Penulis menggunakan teori interaksi simbolis yang terkonstruksi berdasarkan
konsep yang dijelaskan oleh pemikiran tokoh-tokoh, seperti: George Herbert
Mead, dan George Ritzer mengenai suatu hubungan yang terjadi secara alami
antara manusia dalam masyarakat dan hubungan masyarakat dengan individu.
Berikut penjelasan terkait teori yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu:
2.3.1 Teori Interaksi Simbolik
Dari sejarah terciptanya Teori Interaksi simbolik sebagai salah satu
pendekatan dalam sosiologi diperkenalkan pertama kali oleh Herbert Mead tahun
1934 di Universitas Chicago Amerika Serikat (Suprapto, 2002:127). Menurut
Mead, interaksi sosial dalam masyarakat terjadi dalam bentuk utama yaitu:
Pertama percakapan isyarat (interaksi nonsimbolik) dan Kedua penggunaan
simbol-simbol penting (interaksi simbolik). Dari pernyataan diatas tersebut
menegaskan bahwa penekanan interaksi simbolik adalah pada konteks simbol,
sebab di sini orang mencoba memahami makna atau maksud dari suatu aksi yang
dilakukan satu dengan yang lain.
Secara perspektif, interaksi simbolik dapat diartikan juga sebagai interaksi
yang terjadi antar-individu yang berkembang melalui simbol-simbol yang mereka
ciptakan. Dalam kamus kmonukasi, Interaksi simbolik menurut Effendy (1989:
352) adalah suatu faham yang menyatakan bahwa hakekat terjadinya interaksi
sosial antara individu dan antar individu dengan kelompok, kemudian antara
kelompok dengan kelompok dalam masyarakat, ialah karena komunikasi, suatu
kesatuan pemikiran di mana sebelumnya pada diri masing-masing yang terlibat
29
dan berlangsung internalisasi atau pembatinan. Munculnya simbol PDI-P sebagai
wujud partai masyarakat Bali merupakan sebuah bentuk dari adanya interaksi
simbolik yang tercipta di dalam tubuh masyarakat Bali sendiri. Adanya kedekatan
historis yang menunjukkan bahwa Bali merupakan daerah basis partai PDI-P yang
syarat akan perjuangan menunjukkan adanya interaksi simbolik antar partai
dengan masyarakat. Kedekatan antar figur penting partai dengan masyarakat Bali
juga menambah lekat dan kuatnya simbol yang ada. Figur Partai PDI-P yang
masih memiliki hubungan garis keturunan yang sama dengan masyarakat Bali
tentu menjadi daya tarik lebih terhadap masyarakat dalam memberikan
dukungannya. Seperti yang diketahui Soekarno merupakan figur tokoh nasional
Indonesia yang merupakan keturunan asli Bali dari ibunya. Kedekatan dalam
hubungan hubungan darah ini tentuanya berlanjut hingga ke keturunnya.
Megawati Soekarnoputri merupakan figur penting partai PDI-P yang selalu
menggunakan dan mengaitkan aspek kedekatan keturunan ini dengan masyarakat
Bali. Kedekatan historis dan keturunan yang diciptakan ini secara tidak langsung
menciptakan sebuah daya magnet terhadap masyarakat Bali dalam memberikan
dukungan suaranya terhadap Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan ini, baik
dalam skala nasional maupun daerah.
Dari segi stuktur masyarakatnya, penduduk Bali masih memegang erat dan
teguh budaya lokal nenek moyang yang mereka miliki sejak dahulu. Hal ini tentu
menjadi nilai tambah semakin memperkuatnya interaksi simbolik yang terbentuk
diantara parpol dan masyarakat. Menurut I.B Wirawan (2015:110) Interaksi yang
dilakukan antar-individu itu sebenarnya berlangsung secara sadar. Interaksi
30
simbolik juga dapat berkaitan dengan gerak tubuh, anatara lain suara atau vokal,
gerakan fisik, ekspresi tubuh, yang semuanya itu mempunyai maksud dan disebut
dengan “simbol”.
Sebenarnya esensi dari interaksi simbolik adalah suatu aktivitas yang
merupakan ciri khas manusia yakni komunikasi atau pertukaran simbol yang
diberi makna (Mulyana, 2003: 59). Paham interaksionisme simbolik menganggap
bahwa segala sesuatu tersebut adalah virtual. Semua interaksi antar individu
manusia melibatkan suatu pertukaran simbol. Ketika kita berinteraksi dengan
yang lainnya, kita secara konstan mencari “petunjuk” mengenai tipe perilaku
apakah
yang
cocok
dalam
konteks
itu
dan
mengenai
bagaimana
menginterpretasikan apa yang dimaksudkan oleh orang lain. Interaksionisme
simbolik, mengarahkan perhatian kita pada interaksi antar individu, dan
bagaimana hal ini dipergunakan untuk mengerti apa yang orang lain katakan dan
lakukan kepada kita sebagai individu.
Dalam terminologi Mead yang dikutip Rabo (2007) menjelaskan, setiap
isyarat non verbal dan pesan verbal yang dimaknai berdasarkan kesepakatan
bersama oleh semua pihak yang terlibat dalam suatu interaksi merupakan satu
bentuk simbol yang mempunyai arti yang sangat penting. Perilaku seseorang
dipengaruhi oleh simbol yang diberikan oleh orang lain, demikian pula perilaku
orang tersebut. Melalui pemberian isyarat berupa simbol, maka kita dapat
mengutarakan perasaan, pikiran, maksud, dan sebaliknya dengan cara membaca
simbol yang ditampilkan oleh orang lain. Sesuai dengan pemikiran-pemikiran
Mead, definisi singkat dari tiga ide dasar dari interaksi simbolik adalah :
31
a. Mind (pikiran) - kemampuan untuk menggunakan simbol yang
mempunyai makna sosial yang sama, dimana tiap individu harus
mengembangkan pikiran mereka melalui interaksi dengan individu lain
Rabo (20017:101).
b. Self (diri pribadi) - kemampuan untuk merefleksikan diri tiap individu dari
penilaian
sudut
pandang
atau
pendapat
orang
lain,
dan
teori
interaksionisme simbolis adalah salah satu cabang dalam teori sosiologi
yang mengemukakan tentang diri sendiri (the-self) dan dunia luarnya.
Dalam
hubungannya
dengan
Self
ini,
Charles
Horton
Cooley
mengembangkan satu konsep baru yang ia sebut dengan looking- glass
self. Dengan looking- glass self ini, Cooley bermaksud mengatakan bahwa
manusia memiliki kemampuan untuk melihat dirinya sebagaimana ia
melihat obyek yang berada di luar dirinya. Hal ini berarti bahwa pertama,
kita bisa membayangkan bagaimana kita tampil di hadapan orang lain;
kedua, kita dapat membayangkan bagaimana penilaian orang lain terhadap
penampilan kita; ketiga, kita dapat mengembangkan perasaan- perasaan
tertentu sebagai akibat dari bayangan kita terhadap perasaan oran lain.
(Bernard Raho, 2007: 105)
c. Society (masyarakat) - hubungan sosial yang diciptakan, dibangun, dan
dikonstruksikan oleh tiap individu ditengah masyarakat, dan tiap individu
tersebut terlibat dalam perilaku yang mereka pilih secara aktif dan
sukarela, yang pada akhirnya mengantarkan manusia dalam proses
pengambilan peran di tengah masyarakatnya.
32
Dalam bukunya Ritzer (1992:209) juga menyatakan bahwa teori
interaksionisme simbolik mengandung beberapa prinsip dasar sebagai berikut:
a. Manusia tidak seperti binatang yang lebih rendah, karena manusia
dikarunia kapasitas berpikir
b. Kapasitas berpikir tersebut terbentuk oleh adanya interaksi sosial.
c. Dalam interaksi sosial, manusia mempelajari arti simbol-simbol yang
memungkinkan mereka menggunakan kemampuan khusus untuk berpikir.
d. Makna-makna dan simbol-simbol memungkinkan manusia secara khusus
membedakan aksi dan interaksi.
e. Manusia dapat mengubah makna-makna dan simbol-simbol yang mereka
gunakan dalam aksi dan interaksi berdasarkan interpretasi mereka terhadap
situasi tertentu,
f. Manusia dapat membuat modifikasi dan perubahan-perubahan karena
kemampuan mereka berinteraksi dengan diri mereka sendiri, yang
memungkinkan mereka menguji aksi yang mana yang mungkin dapat
dijalankan, menilai kerugian dan keuntungan, serta memilih salah satunya,
g. Pola-pola aksi dan interaksi yang telah jalin menjalin membentuk
kelompok-kelompok dan masyarakat.
Dalam literatur lain Charron (1979) menyebutkan pentingnya pemahaman
terhadap simbol-simbol ketika seseorang menggunakan teori interaksionisme
simbolis. Simbol adalah objek sosial dalam suatu interaksi. Ia digunakan sebagai
perwakilan
dan
komunikasi
yang
ditentukan
oleh
orang-orang
yang
menggunakannya. Orang-orang tersebut memberi arti, menciptakan dan
33
mengubah objek tersebut di dalam interaksi. Simbol sosial tersebut dapat
mewujud dalam bentuk objek fisik (benda-benda kasat mata), kata-kata (untuk
mewakili objek fisik, perasaan, ide-ide, dan nilai-nilai), serta tindakan yang
dilakukan orang untuk memberi arti dalam berkomunikasi dengan orang lain
(Soeprapto, 2002: 126).
Dari berbagai penjelasan diatas mengenai Teori Interaksi Simbolik penulis
menarik sebuah intisari yang menerangkan bahwa esensi dari interaksi simbolik
yakni adalah suatu aktivitas yang merupakan ciri khas manusia yakni komunikasi
atau pertukaran simbol yang diberi makna. Paham interaksionisme simbolik
memberikan banyak penekanan pada individu yang aktif dan kreatif ketimbang
pendekatan-pendekatan
teoritis
lainnya.
Paham
interaksionisme
simbolik
menganggap bahwa segala sesuatu tersebut adalah virtual. Semua interaksi antar
individu manusia melibatkan suatu pertukaran simbol.
Menurut penulis, di setiap lingkungan memiliki kontrak khusus yang
terbentuk karena budaya masyarakat yang ada mengenai pemahaman interaksi
pada suatu simbol. Yang mana pemahaman simbol itu terbentuk karena adanya
interaksi sosial dan budaya dari suatu tempat tertentu. Dari mulai rumah,
lingkungan sekitar rumah, sekolah atau kampus pada sebuah kota, interaksi partai
politik dengan masyarakat di tingkat nasional maupu lokal bahkan perspektif
interaksi simbolik yang dikomuniskan pemahamannya diseluruh negara.
Berdasarkan teori interaksi simbolik George Herbert Mead di atas, penulis
mencoba menggunakan konsep perubahan makna simbol dalam kekalahans partai
politik. Lebih jauh teori ini digunakan untuk melihat bagaimana penyebab
34
Kekalahan PDI-P dalam Pemilukada Kabupaten Klungkung tahun 2013.
2.4 Kerangka Pemikiran
Hasil
Pemilukada
Kekalahan
Pemilukada
Klungkung
2013
PDI-P
Penyebab-penyebab
yang mempengaruhi
Penyebab-penyebab yang mempengaruhi:
1. Kesadaran masyarakat Kabupaten Klungkung yang tidak melihat Partai
Politik sebagai prasyarat utama dalam pemilihan.
2. Kurang populernya figur yang diusung pada saat itu yang mengakibatkan
menurunnya
elektabilitas
PDI-P
di
Kabupaten
Klungkung
pada
Pemilukada 2013.
3. Kurang solidnya mesin partai PDI-P pada saat Pemilukada 2013 di
Kabupaten Klungkung.
4. Kekecewaan masyarakat dengan penetapan calon PDI-P.
Download