BAB I PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG

advertisement
 BAB I
PENDAHULUAN
1. LATAR BELAKANG MASALAH
Runtuhnya rezim Orde Baru membawa dampak yang sangat signifikan
terhadap perubahan sistem politik dan pemerintahan di Indonesia. Salah satunya
ditandai dengan liberalisasi politik di tingkat nasional dan tingkat lokal. Artinya
sistem politik Indonesia mengalami perubahan dari sistem politik nondemokratis
menjadi sistem politik yang demokratis. Namun perubahan sistem politik ini tidak
serta merta mengakhiri kekuatan politik lama yang lahir dan berkembang pada
masa Orde Baru tersebut.
Pendapat tersebut sejalan dengan pandangan Hadiz dan Robinson yang
mengemukakan bahwa berbagai kepentingan predator (penulis : kekuatan politik
lama) yang dibesarkan di bawah sistem patronase rezim Suharto yang begitu luas
dan terpusat – yang menjalar dari istana Kepresidenan di Jakarta hingga ke
propinsi-propinsi, kota-kota dan desa-desa – sebagian besar masih terus hidup dan
berpengaruh (Hadiz, 2005 : 295).
Memang menjadi sebuah anomali manakala sistem politik yang demokratis
yang dihadirkan oleh rezim Reformasi, justru memberi ruang tumbuh dan
berkembangnya berbagai dinasti politik di beberapa daerah pada berbagai level
kekuasaan. Bahkan fenomena dinasti politik ini sudah menyentuh kekuasaan
politik ditingkat desa dengan hadirnya dinasti kepala desa yang merupakan
warisan kekuasaan rezim Orde Baru, seperti yang dijumpai di Desa Puput yang
menjadi lokus penelitian dari studi ini.
1 Selanjutnya, fokus kajian dari studi ini adalah tentang dominasi kekuasaan
di tingkat desa oleh sebuah kekuatan politik lama yang disebut dengan Dinasti
Mustohfa atau dinasti kepala desa. Dinasti Mustohfa telah berkuasa di Desa Puput
sejak tahun 1971 sampai saat ini secara terus menerus. Tiga generasi dari dinasti
ini yang terdiri dari empat kepala desa, secara bergantian telah mewarnai sejarah
kepemimpinan di Desa Puput dalam kurun waktu lebih dari 41 tahun.
Fenomena dinasti kepala desa yang berdiri sejak masa Orde Baru dapat
dibaca sebagai kemampuan kekuatan politik lama bertransformasi menyikapi
perubahan-perubahan akibat peralihan rezim otoriter ke rezim demokratis. Artinya
sustainabilitas dominasi kekuasaan mereka pada masa Orde Baru berhasil
dipertahankan pada masa Reformasi. Bila disimak dengan seksama survivabilitas
Dinasti Mustohfa pasca tumbangnya rezim Orde Baru, erat kaitannya dengan
“kegagalan” rezim Reformasi dalam merestrukturisasi sistem politik, sosial dan
ekonomi secara komprehensif. Perubahan struktur politik ditingkat nasional dan
lokal tidak dibarengi dengan perubahan struktur sosial dan ekonomi secara
komprehensif sehingga masih banyak mengalami ketimpangan.
Setelah 14 tahun berdirinya rezim Reformasi, masih banyak dijumpai di
beberapa wilayah, tingkat pendidikan formal maupun pendidikan nonformal
masyarakat setempat yang masih rendah. Selain itu sumber-sumber ekonomi
utama seperti perkebunan dan pertambangan di daerah itu masih terkonsentrasi
ditangan sekelompok kecil korporasi maupun elit desa (salah satunya termasuk
Dinasti Mustohfa), sehingga menyebabkan masyarakat dalam keadaaan terpaksa
ataupun tidak harus tunduk patuh kepada keinginan-keinginan para elit tersebut,
2 termasuk ambisi politik. Tujuannya adalah untuk menjamin keberlangsungan
distribusi jasa-jasa dan sumber-sumber penghidupan mereka (sustainabilitas
subsistensi) yang dikuasai oleh dinasti politik. Kondisi tadi menyadarkan kita
bahwa
survivabilitas
sebuah
dinasti
politik
sangat
bergantung
kepada
sustainabilitas hubungan timbal balik (reciprocal) yang terjalin dalam sebuah
relasi patron-klien, yang menempatkan dinasti politik sebagai patron dan
masyarakat sebagai klien.
Terkait dengan pelaksanaan demokrasi di tingkat desa, rezim Orde Baru
maupun rezim Reformasi masing-masing memiliki karakteristik yang berbeda.
Orde Baru hadir dengan karakter yang tertutup dalam rekrutmen politik di tingkat
desa. Sedangkan Reformasi hadir dengan rekrutmen politik yang lebih terbuka.
Akibat dari rekrutmen politik yang tertutup tersebut, jabatan-jabatan politis seperti
kepala desa sering berotasi diantara elit desa dari kelompok yang sama, walaupun
dalam setiap suksesinya sudah dilakukan melalui demokrasi elektoral. Studi
Antlov di salah satu desa di Jawa Barat dengan judul Negara Dalam Desa ;
Patronase Politik Lokal (Antlov, 2003) membuktikan fenomena tersebut. Namun
dinasti kepala desa yang ditemukan Antlov tersebut hanya bertahan pada masa
Orde Baru saja.
Rezim Orde Baru memberlakukan berbagai persyaratan dan seleksi yang
ketat terhadap elit desa yang akan mengikuti Pilkades. Studi yang dilakukan oleh
Latief di Jawa Tengah (Latief, 2000 : 191) dan Suharni dkk di Jawa Tengah dan
DIY (Suharni dkk, 1992 : 36) menemukan bahwa berbagai tahapan seleksi di
tingkat kabupaten harus diikuti oleh bakal calon kepala desa. Jika dalam
3 serangkaian seleksi tersebut mereka dinyatakan lolos, maka mereka berhak untuk
mengikuti Pilkades di desanya masing-masing. Bahkan Antlov dalam salah satu
risetnya di Jawa Barat mengemukakan bahwa selain harus lolos berbagai tahapan
seleksi yang dilakukan oleh panitia skrining (screening) di tingkat kabupaten,
seorang bakal calon kepala desa harus terlebih dahulu menyatakan diri atau paling
tidak, dianggap sebagai pendukung Golkar.
Peran negara yang sangat dominan ini untuk memastikan bahwa siapa pun
yang bertarung dalam Pilkades adalah elit desa yang hanya memiliki
monoloyalitas kepada negara dan Golkar sebagai partai negara. Jika mereka
dianggap bukan pendukung setia negara maupun Golkar, maka sudah dapat
dipastikan bahwa mereka tidak akan lulus dalam serangkaian seleksi tersebut.
Loyalitas kepada negara ditunjukkan dengan kesediaan melaksanakan dan
menyukseskan berbagai program pemerintah. Seperti yang diutarakan Mas’oed
bahwa kebijakan publik dari pemerintah pusat yang melibatkan peran kepala desa
itu terdapat dalam berbagai bidang, seperti bidang pembangunan perkebunan,
kesehatan, penarikan pajak, dan lain-lain. Singkatnya hampir semua departemen
di Jakarta punya proyek pembangunan yang pelaksanaannya memerlukan kepala
desa sebagai pelaksana lapangan (Mas’oed, 2003 : 128). Kondisi itu memaksa
kepala desa menjalani dualisme fungsi ; sebagai klien dari negara sekaligus patron
bagi masyarakatnya. Sedangkan loyalitas kepada Golkar diwujudkan dengan
mendukung Golkar untuk memenangkan setiap pemilihan umum (Pemilu) di
wilayahnya.
4 Bagi sebuah dinasti politik yang dibesarkan di masa Orde Baru, dukungan
dari negara memberikan andil yang cukup besar untuk mempertahankan jabatan
kepala desa. Sebagai klien negara, kepala desa menjadi pejabat lapangan untuk
melaksanakan program-program pemerintah. Di dukung oleh kondisi itu, kepala
desa dapat menggunakan berbagai program pemerintah, sebut saja program
bantuan desa (BANDES), Inpres desa tertinggal (IDT), dan program-program
lainnya untuk melanggengkan kekuasaannya. Bantuan-bantuan tersebut bisa saja
dimanipulasi kepala desa sebagai salah satu bentuk kedermawanannya (patron)
untuk masyarakatnya (klien).
Ada dua hal yang dapat ditarik dari Pilkades pada masa orde, terkait dengan
kontestasi yang harus dilalui oleh seorang kandidat kepala desa untuk sampai
pada kursi kekuasaan. Pertama, memenangkan “restu negara” melalui
serangkaian persyaratan dan seleksi oleh pemerintah dari tingkat desa, kecamatan
dan kabupaten. Kedua, sebagai jabatan politis, jabatan kepala desa harus
dimenangkan melalui dukungan rakyat dengan suara terbanyak. Mas’oed bahkan
memiliki pandangan yang lebih ekstrem terkait dengan Pilkades, menurutnya
keberhasilan seseorang untuk menjadi pejabat desa itu (kepala desa) lebih banyak
ditentukan oleh wewenang di luar desa melalui serangkaian seleksi oleh pejabat
kabupaten daripada oleh para pemilih dalam desa (Mas’oed, 2003 : 127).
Rekrutmen politik terbuka pada masa Reformasi ditandai dengan semakin
beragamnya kontestan yang mengikuti Pilkades. Mereka berasal dari berbagai
latar belakang dan ideologi politik yang berbeda. Kondisi ini disebab oleh
dihapuskannya serangkaian persyaratan dan seleksi di tingkat kabupaten yang
5 selama ini dijadikan alat oleh pemerintah untuk menjegal bakal calon kepala desa
yang dianggap tidak sejalan dengan pemerintah Orde Baru dan Golkar. Artinya
kepala desa terpilih sudah terlepas dari kewajiban untuk memberikan loyalitas
tunggalnya kepada negara dan Golkar, sekaligus penghapusan perannya sebagai
klien bagi negara dan Golkar.
Meskipun demikian, kehilangan posisi sebagai “klien” negara menjadi
kerugian tersendiri bagi dinasti politik. Sebab, berbagai program dan bantuan
pemerintah yang rutin disalurkan pada masa Orde Baru, sudah dihapuskan atau
penggunaannya sudah lebih selektif karena pengawasan oleh lembaga baru seperti
badan perwakilan desa (BPD). Selain itu proteksi negara terhadap “klien”
setianya, dengan menjegal bakal calon kepala desa lainnya melalui sejumlah
persyaratan dan tes sudah tidak ada lagi. Melihat berbagai kondisi di atas,
pertarungan antar elit desa dalam Pilkades di masa Reformasi benar-benar
mengandalkan kekuatan politik mereka sendiri untuk meraih dukungan
masyarakat (pemilih). Elit yang menjadi kandidat kepala desa harus memiliki
berbagai keunggulan sumber daya (resources) agar para pemilih yakin bahwa
mereka layak menjadi pemimpin tertinggi di desanya. Bagi pejabat incumbent
ataupun keluarganya tantangan menjadi lebih kompleks, sebab selain harus
memiliki berbagai keunggulan sumber daya, masa kepemimpinan sebelumnya
dijadikan tolak ukur apakah mereka masih layak untuk dipilih atau tidak.
Mencermati berbagai kondisi pada masa Orde Baru dan Reformasi di atas,
mempertahankan sebuah kekuasaan bukanlah hal yang mudah terutama pada saat
transisi pergantian rezim pemerintahan. Hasrat beberapa kelompok masyarakat
6 untuk mengakhiri kekuasaan pejabat desa yang pernah menjadi “klien negara” di
masa Orde Baru bermunculan, sebagai bentuk euforia atas kemenangan rezim
Reformasi. Dalam kurun waktu 1998-1999, di Kecamatan Simpangkatis (saat itu
masih berstatus kecamatan pembantu) ada dua desa, yaitu Sungkap dan Celuak
yang mengalami kekisruhan politik. Kepala desa di dua desa itu terpaksa
mengundurkan diri dari jabatannya karena desakan kuat dari berbagai elemen
masyarakat di desanya masing-masing (Purnamawan, 12/03/2013; Syamsiar
12/03/2013; dan Sa’ib, 01/05/2013). Dua kasus tadi membuktikan bahwa pasca
tumbangnya Orde Baru, masyarakat di kedua desa kehilangan kepercayaan dan
dukungannya kepada para pemimpin desa yang merupakan produk Orde Baru dan
warisan dinasti politik sebelumnya. Sebab Kepala Desa Celuak saat itu
merupakan anak dari Kepala Desa Celuak periode sebelumnya. Sungguhpun
demikian Dinasti Mustohfa berhasil melewati berbagai tantangan dari transisi dua
rezim tersebut, dengan tetap eksis menguasai jabatan kepala desa.
Kemenangan dinasti politik dalam setiap pergulatan politik pada dua rezim
pemerintahan, disebabkan oleh sejumlah besar pendukung politik yang loyal
terhadap mereka. Masing-masing generasi kepala desa dari dinasti politik ini
mampu memelihara loyalitas pendukungnya, bahkan dari waktu ke waktu mereka
mampu memperluas jumlah konstituennya. Artinya kepala desa pertama dari
dinasti politik ini telah membangun sebuah jaringan kekuasaan, yang berhasil
dipelihara dan diperkuat oleh generasi-generasi kepala desa berikutnya dari
dinasti tersebut.
7 Loyalitas para pendukung politik ini hadir bukan tanpa sebab, mereka
punya alasan tersendiri untuk tetap mendukung Dinasti Mustohfa memimpin Desa
Puput. Ada hubungan baik yang terus dijaga oleh Dinasti Mustohfa terhadap para
pendukung politiknya, dengan memberikan berbagai keuntungan dalam bentuk
materi maupun nonmateri. Sehingga orang-orang yang berada dalam jaringan
kekuasaannya
merasa
berkepentingan
untuk
terus
mendukung
mereka
mempertahankan jabatan kepala desa, untuk menjamin sustainabilitas distribusi
materi maupun nonmateri yang mereka terima.
Dari berbagai uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa eksistensi Dinasti
Mustohfa pada posisi puncak kekuasaan di Desa Puput ditopang oleh loyalitas
para pendukung politik yang berada dalam sebuah jaringan klientelistik yang kuat
dan luas. Terkait dengan durasi kekuasaannya yang lama, bekerjanya jaringan
klientelistik Dinasti Mustohfa cenderung dinamis. Kondisi tersebut terkait dengan
berbagai perubahan yang terjadi akibat perubahan struktur sosial, ekonomi dan
politik yang terjadi di tingkat nasional maupun lokal.
2. PERUMUSAN MASALAH
Dari uraian latar belakang di atas, maka pertanyaan penelitian yang muncul
dalam penelitian ini adalah :
“Mengapa sebuah keluarga mampu mempertahankan jabatan kepala desa
dalam dua rezim pemerintahan yang berbeda ?”
8 3. TUJUAN PENELITIAN
1. Untuk melakukan pemetaan terhadap berbagai sumber daya yang digunakan
oleh dinasti kepala desa untuk mempertahankan kekuasaannya.
2. Untuk mengetahui kalangan mana saja yang menjadi pendukung politik setia,
bagi dinasti kepala desa.
3. Untuk mengetahui strategi dinasti kepala desa dalam mensiasati perubahanperubahan akibat pergantian rezim pemerintahan.
4. Untuk memotret wajah demokrasi lokal di tingkat desa masa Orde Baru dan
masa Reformasi.
4. KERANGKA TEORITIK
Untuk menganalisa eksistensi dinasti politik di tingkat desa, penulis
menggunakan dua kerangkan teori. Teori yang pertama adalah kontestasi elit
untuk membahas tentang persaingan-persaingan para elit desa memperebutkan
jabatan kepala desa melalui sistem pemilihan langsung oleh rakyat. Teori yang
kedua adalah parton-klien yang menunjukkan soliditas dan sustainabilitas
hubungan dinasti kepala desa (patron) dengan para pendukung politiknya (klien).
Walaupun kedua teori memiliki perpektif dan caranya masing-masing
dalam menganalisa sebuah fenomena sosial maupun politik, namun penulis
mengelaborasi keduanya dengan beberapa pertimbangan ; pertama, jabatan kepala
desa adalah sebuah posisi politik tertinggi di desa, dimana untuk mendapatkan
jabatan tersebut seorang kandidat harus menjadi pemenang (meraih suara
terbanyak) dalam sebuah kompetisi elektoral (Pilkades). Maksudnya seorang
9 kandidat terlebih dahulu harus berhasil menggalang dukungan masyarakat
(pemilih). Kedua, dilihat dari catatan panjang kemenangan Dinasti Mustohfa
dalam setiap Pilkades Puput sejak tahun 1971, penulis yakin bahwa mereka
memiliki pendukung politik luas dan loyal. Artinya mereka berhasil membangun
sebuah jaringan kekuasaan untuk mempertahankan jabatan kepala desa tersebut.
Jika kedua teori dikaitkan, maka loyalitas pemilih dalam kurun waktu yang lama
salah satunya dapat diraih dan dipelihara melalui relasi patron-klien. Dinasti
kepala desa sebagai patron mendistribusikan berbagai sumber daya berupa materi
ataupun jasa kepada pemilih sebagai kliennya. Sedangkan pihak klien membalas
pemberian tersebut, dengan selalu mendukung langkah-langkah politik patronnya
terutama dalam memenangkan setiap Pilkades di Desa Puput.
4.1 Kontestasi Elit Desa
Jabatan kepala desa merupakan jabatan eksekutif politis pertama di
Indonesia yang harus diperoleh melalui pemilihan langsung oleh rakyat
(demokrasi elektoral). Argumen ini didukung dengan kehadiran undang-undang
No. 14 tahun 1946 tentang perubahan dalam stbld : 1907 no. 212 tentang
pemilihan kepala desa (Pilkades). Undang-undang tentang Pilkades tersebut
merupakan revisi terhadap golongan pemilih (yang memiliki hak suara) dalam
Pilkades yang lebih diperluas lagi. Jika dalam Stb. 1907 No. 212 para pemilih
hanya terbatas pada masyarakat yang merupakan kalangan elit desa karena faktor
kekayaan, kedudukan, pekerjaan, keturunan dan lain-lainnya. Undang-undang No.
14 tahun 1946 memberikan hak memilih kepala desa, kepada setiap warga negara
10 laki-laki dan perempuan yang sudah berusia minimal 18 tahun atau sudah
menikah.
Jika undang-undang tersebut dicermati, ada perubahan yang sangat
fundamental terkait dengan Pilkades. Pada masa kolonial Belanda pemilihan
kepala desa sangat elitis, sebab para pemilih (voter) hanya terbatas pada kalangan
“tokoh” desa saja. Pasca dikeluarkannya undang-undang No. 14 tahun 1946
pemilih berdasarkan status kewarganegaraan. Lahirnya undang-undang tersebut
sebagai bentuk kepedulian negara terhadap hak-hak demokrasi rakyat dalam
menentukan pemimpinnya, walaupun hanya pada tingkat desa. Artinya, sejak
awal kemerdekaan orang-orang yang menginginkan jabatan politik tertinggi di
tingkat desa tersebut, harus melewati dan memenangkan sebuah persaingan
(kontestasi politik) antar kandidat kepala desa dalam sebuah pemilihan langsung
oleh masyarakat, yang dikenal dengan Pilkades. Bagi kepala desa terpilih
legitimasi atas kekuasaannya semakin kuat karena memenangkan sebuah
kontestasi politik dalam sistem demokrasi elektoral.
Memahami kontestasi politik dalam sistem demokrasi elektoral, Kang
dalam tulisannya Race and Democratic Contestation menyatakan bahwa
Kontestasi demokrasi adalah kompetisi deliberatif di antara para pemimpin politik
untuk membentuk dan membingkai pemahaman masyarakat tentang politik
elektif, kebijakan publik, dan urusan sipil. Ini meliputi proses dimana pemimpin
berani, mendorong, dan menantang masyarakat untuk berpikir tentang politik.
Persaingan pemilihan hanya satu elemen yang menonjol dari kompetisi yang lebih
besar ini di antara para pemimpin politik untuk mempengaruhi sosial politik -
11 sebuah proses yang sehat dari kontestasi demokrasi yang menarik dalam dan
melibatkan masyarakat dalam proses tersebut untuk memenangkan hati dan
pikiran warga negara (Kang, 2008 : 738).
Pendapat di atas mencerminkan bahwa produk dari sebuah kontestasi
politik tidak hanya hadirnya seorang pemimpin yang terpilih. Lebih jauh, dampak
dari kontestasi politik adalah tingkat pemahaman masyarakat yang lebih baik
tentang demokrasi elektoral terutama tentang segala akibat positif maupun negatif
yang muncul dari pilihan politik mereka, serta partisipasi aktif mereka dalam
setiap pengambilan kebijakan publik dan kegiatan-kegiatan yang menyangkut
kepentingan umum.
Jika dikaitkan dengan kehidupan di desa, salah satu bentuk partisipasi aktif
masyarakat adalah adanya kontrol sosial dan rasa solidaritas yang tinggi antar
sesama penduduk desa. Menyangkut kontrol sosial yang berlaku di masyarakat
desa, Said menjelaskan bahwa Kontrol sosial dalam khasanah pedesaan yaitu alat
pengawasan warga desa terhadap segala bentuk interaksi dan hubungan sosial
yang terjadi di masyarakat. Bila terjadi penyimpangan atau pelanggaran norma
sosial dan adat istiadat yang dilakukan oleh individu maupun kelompok, maka
masyarakat desa dapat menjatuhkan sanksi berdasarkan ketentuan yang berlaku di
tingkat lokal (Said, 2007 : 334).
Artinya, kontrol sosial yang berlaku di desa dapat pula digunakan oleh
masyarakat untuk turut mengawasi jalannya pemerintahan desa. Jika terjadi
pelanggaran atau penyimpangan yang dilakukan oleh kepala desa maupun elit
pemerintahan desa lainnya, maka masyarakat dapat memberikan sanksi berupa
12 sanksi moral maupun sanksi politis. Salah satunya adalah jika seorang kepala desa
melakukan penyalagunaan wewenangnya, maka dia tidak akan terpilih (menang)
pada Pilkades periode berikutnya.
Sistem yang demokratis menghendaki sebuah kontestasi politik terbuka
bagi siapa saja untuk menjadi kandidat. Hal ini untuk menjamin adanya
kesetaraan kesempatan bagi setiap masyarakat desa untuk memperebutkan jabatan
kepala desa. Pendapat ini sejalan dengan pandangan Schumpeter yang
mengartikan demokrasi dengan melibatkan suatu keadaan dimana setiap orang,
pada prinsipnya, bebas bersaing memperebutkan kepemimpinan politik (Held,
2007 : 179).
Pada prakteknya, demokrasi ala Schumpeterian tersebut hanya terbatas
kepada kalangan elit desa saja. Artinya walaupun regulasi itu lahir dengan
semangat demokrasi yang memberikan kesetaraan kesempatan bagi siapa saja
untuk mengikuti kontestasi politik, namun kenyataannya hanya segelintir orang
saja yang menjadi kontestan dalam setiap Pilkades. Kondisi ini berhubungan erat
segala persyaratan yang ditetapkan dalam undang-undang dan peraturan-peraturan
yang terkait lainnya. Selain itu yang terpenting adalah tuntutan masyarakat yang
menghendaki agar pemimpinnya adalah orang-orang yang memiliki keunggulankeunggulan yang melebihi mereka. Orang-orang dengan keunggulan lebih inilah
kemudian dikenal dengan elit. Argumen ini sejalan dengan pendapat Bottomore
yang menyatakan bahwa elit sebagai kelompok-kelompok fungsional, terutama
okupasional, yang memiliki status tinggi (demi alasan apapun juga) dalam suatu
masyarakat. (Bottomore, 2006 : 11).
13 Keunggulan-keunggulan yang dimiliki oleh kalangan elit ini beragam
karena ekonomi, kultural maupun politis. Seorang elit bisa saja memiliki salah
satu dari keunggulan tersebut,atau bisa juga ketiganya. Dalam sebuah konteks
demokrasi elektoral, semakin banyak jenis dan derajat keunggulan yang dimiliki
oleh seorang elit desa semakin besar pula kesempatannya untuk memenangkan
Pilkades. Namun yang patut dicatat adalah penggunaan keunggulan-keunggulan
elit harus disesuaikan dengan struktur sosial masyarakatnya, serta perubahanperubahan sosial yang terjadi pada masyarakat tersebut.
Pada masa Orde Baru, negara menerapkan pola rekrutmen politik yang
tertutup, bahkan sampai pada rekrutmen politik di desa. Jabatan-jabatan politik di
tingkat desa yang dipilih oleh masyarakat maupun yang berdasarkan penunjukkan,
hanya diisi oleh segelintir orang yang dianggap sebagai “orang-orang” pemerintah
atau Golkar. Pendapat ini mengacu pada pemikiran Gaffar bahwa dalam negara
yang tidak demokratis, rekrutmen politik biasanya dilakukan secara tertutup.
Artinya peluang untuk mengisi jabatan politik hanya dimiliki oleh beberapa
gelintir orang saja (Gaffar, 2006 : 8).
Rekrutmen yang bersifat tertutup ini ditandai dengan besarnya peran negara
dalam menentukan bakal calon kepala desa untuk mengikuti Pilkades. Berbagai
persyaratan dan seleksi di tingkat kecamatan maupun kabupaten adalah bentukbentuk campur tangan negara yang dapat menggagalkan bakal calon kepala desa
menjadi kontestan dalam Pilkades. Dalam studinya di salah satu desa di Jawa
Barat tahun 1990 Antlov menggambarkan kontrol negara yang begitu besar
terhadap Pilkades. Sebagai langkah pertama kontrol negara terhadap proses
14 pemilihan ini (Pilkades), semua calon harus lolos dari apa yang dikenal sebagai
skrining (screening). Riwayat hidup para calon diperiksa untuk memastikan
bahwa mereka adalah pendukung Orde Baru yang setia. Proses ini dilakukan
dengan dua cara ; pertama, setiap calon diwajibkan untuk mengisi sejumlah
dokumen yang bahan-bahannya disiapkan dan disetujui oleh pejabat kecamatan
… kedua, enam bulan sebelum pemilihan, proses skrining dilakukan dengan
memanggil semua calon ke ibukota kabupaten (Bandung) untuk diwawancarai
dan mengikuti ujian resmi lisan dan tertulis tentang Pancasila, sejarah Indonesia,
hukum nasional, dan berbagai urusan lain yang penting bagi kepala desa
Indonesia yang setia (Antlov, 2003 : 281-282.).
Melalui kontrol pada berbagai tingkatan ini pihak kecamatan maupun
kabupaten dapat menggagalkan orang yang dianggap tidak setia pada pemerintah.
Salah satunya adalah bakal calon kepala desa yang menjadi kader PPP ataupun
PDI (non Golkar). Sebab pada masa itu Golkar adalah partai pemerintah,
sehingga tidak mendukung Golkar berarti tidak setia pada pemerintahan saat itu.
Artinya siapapun yang lolos mengikuti Pilkades adalah elit-elit desa yang setia
pada negara dan sudah menjadi kader Golkar.
Peran negara yang sangat dominan tidak hanya terbatas dalam menentukan
calon kepala desa saja. Rekrutmen jabatan perangkat desa, juga menjadi
domainnya negara melalui kecamatan maupun kabupaten1. Kepala desa hanya
berhak mengajukan nama-nama calon perangkat desa. Artinya negara bisa saja
1
Untuk lebih jelasnya lihat pasal 14, 15, dan 16 UU No. 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. 15 menolak usulan kepala desa jika calon yang diajukan dianggap tidak setia kepada
negara dan Golkar. Antlov menambahkan bahwa pemimpin-pemimpin alternatif
tidak diberi akses pada kekuasaan resmi melalui berbagai jalan. Secara hukum,
monoloyalitas menjamin bahwa hanya anggota Golkar saja yang dapat menjadi
pegawai negeri dan pamong desa (Antlov, 2003 : 227).
Kelahiran rezim Reformasi membawa dampak yang besar bagi perubahan
sistem politik nasional. Rezim Reformasi menghendaki Indonesia menjadi negara
yang demokratis, dimana salah satu cirinya adanya kesetaraan kesempatan bagi
setiap warga negara untuk mengikuti kompetisi memperebutkan jabatan-jabatan
politis. Dalam konteks politik pedesaan, proses demokratisasi pada masa
Reformasi, ditandai dengan redefinisi hak-hak politik masyarakat desa. Ketika
rezim Orde Baru berakhir, setiap kalangan menuntut kembali hak-hak politiknya
yang selama puluhan tahun dikebiri. Salah satu tuntutan yang paling sering
ditemui adalah ledakan partisipasi politik dikalangan elit desa, yang ditandai
dengan munculnya sejumlah kandidat kepala desa dalam setiap pelaksanaan
Pilkades.
Pandangan ini sejalan dengan pemikiran Gaffar tentang rekrutmen politik
yang terbuka. Untuk memungkinkan terjadinya rotasi kekuasaan, diperlukan suatu
sistem rekrutmen politik yang terbuka. Artinya, setiap orang yang memenuhi
syarat untuk mengisi suatu jabatan politik yang dipilih oleh rakyat mempunyai
peluang yang sama dalam melakukan kompetisi untuk mengisi jabatan tersebut
(Gaffar, 2006 : 8). Pendapat tadi menegaskan bahwa meskipun kompetisi yang
terbuka bagi siapa saja, tetapi orang-orang yang bertarung dalam sebuah
16 kontestasi politik harus memenuhi berbagai persyaratan yang ditetapkan dengan
undang-undang, walaupun sudah lebih fleksibel dibandingkan masa Orde Baru.
Hilangnya kontrol negara atas tahapan-tahapan Pilkades dan bakal calon
kepala desa, memberikan ruang partisipasi politik yang semakin luas bagi
masyarakat. Kondisi ini telah merangsang banyak elit desa untuk berkompetisi
memperebutkan jabatan kepala desa. Pastinya kompetisi akan semakin sengit,
dengan kehadiran elit-elit desa yang pada masa Orde Baru bukan bagian dari
subordinasi negara maupun Golkar. Artinya, dalam kontestasi politik di tingkat
desa demokrasi ala Schumpeterian baru benar-benar diterapkan pasca Reformasi.
Rezim Reformasi ingin menyajikan pertarungan antar elit desa yang lebih
beragam dibandingkan Orde Baru. Mereka berasal dari kekuatan politik lama
yang ingin mempertahankan eksistensi kekuasaannya di desa. Dari sisi lain hadir
pula elit desa baru, yaitu mereka yang sebelumnya tidak berani muncul pada masa
Orde Baru, atau tidak pernah mendapatkan kesempatan karena perlakuan rezim
yang diskriminatif. Sampai pada bagian ini, dapat difahami bahwa rezim
Reformasi menghendaki persaingan yang adil (fair) dalam setiap Pilkades.
Meskipun Reformasi memberikan ruang yang luas bagi kalangan elit desa
untuk bersaing dalam Pilkades, namun tidak serta merta mereduksi kekuatankekuatan politik lama. Sebuah dinasti politik yang pernah berkuasa pada masa
lalu, memiliki basis dukungan politik yang kuat, yang telah dibangun dan
dipelihara sejak awal kekuasaannya. Pendapat ini sejalan dengan analisa Bakti
yang menyatakan bahwa kekuasaan seorang elit (Puang) di Wajo dari Orde Baru
sampai Reformasi, diperkuat melalui anggota kerabat dan kroni dalam
17 pemerintahan sehingga mencapai titik hegemoni. Dia (Puang) menunjuk kerabat
untuk menduduki jabatan birokratif yang strategis “basah” dan menguntungkan.
Melalui tempat tinggalnya orang memperoleh kenaikan pangkat, dan para
keluarga muncul sebagai birokrat-birokrat yang berkuasa … Pasca Reformasi,
organisasi-organisasi masyarakat sipil yang berpotensi mengimbangi dominasi
Puang malah dimasukkan ke dalam rezimnya dengan memberikan bantuan dalam
bentuk bangunan fisik dan dana. Demikian pula dengan kelompok-kelompok
(LSM) yang mengkritisi pemerintahannya diiming-imingi dengan uang atau
ditekan oleh Puang (Bakti, 2007 : 491-504).
Penjelasan
di
atas,
menunjukkan
bahwa
dalam
mempertahankan
kekuasaannya, elit keluarga tersebut mendistribusikan berbagai jabatan strategis
kepada anggota keluarga dan orang-orang dekatnya. Sedangkan untuk orang atau
kelompok yang berpotensi menjadi lawan politiknya didistribusikan sumber daya
dalam bentuk materi ataupun dengan paksaan (coercive). Walaupun arena
kontestasi dan kekuasaannya berbeda, yaitu desa dan kabupaten, namun hasil
studi Bakti tersebut dapat dijadikan salah satu perspektif untuk mengkaji
kontestasi elit di tingkat desa.
Kemenangan kekuatan politik lama dalam setiap Pilkades memperlihatkan
beberapa hal ; pertama, jaringan kekuasaan yang dimiliki elit lama yang terdiri
dari anggota keluarga dan orang-orang dekat masih efektif digunakan untuk
memenangkan kontestasi memperebutkan kekuasaan. Kedua, kekuatan elit lama
semakin meluas dengan bergabungnya orang-orang dan organisasi-organisasi
masyarakat yang berpotensi sebagai lawan politik, menjadi bagian dari jaringan
18 kekuasaannya. Ketiga, demokrasi yang dianggap memberikan kesempatan bagi
elit lain untuk memegang jabatan politis, kenyataannya justru memperkuat
hegemoni elit lama terhadap jabatan tersebut. Kalaupun ada elit baru yang
mengisi jabatan-jabatan politik, namun mereka hanyalah bagian dari subordinasi
dari elit lama, sehingga kehadiran mereka malah memperkuat jaringan kekuasaan
elit lama.
4.2 Patron-Klien
Untuk membaca survivabilitas sebuah dinasti politik, penulis juga
menggunakan teori patron-klien sebagai kerangka analisis. Artinya ada jaringan
kekuasaan yang sudah dibangun melalui jaringan patron-klien oleh sebuah dinasti
politik, untuk memenangkan setiap kontestasi elektoral memperebutkan jabatan
kepala desa. Beberapa literatur yang telah dihasilkan oleh beberapa ilmuwan
sosial dan politik mengakui bahwa praktek-praktek kekuasaan patron-klien yang
sudah ada pada masa pra-kolonial, tetap berlangsung pada masa Orde Baru,
bahkan hingga saat ini. Pendapat tersebut dibenarkan oleh Eko Sutoro yang
melihat adanya ciri khas seperti, kedudukan, tingkah laku dan keseluruhan
hirarkhi dalam struktur kekuasaan sebagian besar tergantung pada hubungan
personal kekeluargaan atau antara patron (bapak) dan klien (anak buah) (Sutoro,
2003 : 50).
Konsep patron-klien sebenarnya berangkat dari teori pertukaran sosial
(social
exchange
theory)
yang
dikemukakan
oleh
Blau,
bahwa
Ketidakseimbangan dalam masyarakat terhadap materi dan keadaan sosial adalah
19 menghasilkan perbedaan dalam kekuasaan (Spread, 1984 : 162). Maksudnya
struktur kekuasaan muncul karena terjadinya suatu hubungan pertukaran yang
tidak
seimbang.
Ketidakseimbangan
pertukaran
melahirkan
kesenjangan
kekuasaan dan ketidakseimbangan rasa hormat, sehingga menjadi sangat relevan
dengan dasar hubungan patron-klien. Dalam konsep pertukaran sosial,
mensyaratkan salah satu diantara dua pihak yg melakukan pertukaran harus
memiliki sumber daya yang dibutuhkan oleh pihak lainnya, sedangkan pihak
penerima (pihak lain tersebut) tidak memiliki sumber daya yang sama nilainya
untuk dipertukarkan dengan pihak pemberi. Sehingga satu-satunya cara untuk
membalas pertukaran ini adalah dengan memberikan kepatuhan (menerima posisi
sebagai subordinasi) kepada pihak pemberi sumber daya tadi.
Dalam konsepsi patron-klien membahas lebih spesifik tentang pertukaran
sosial. Salah satu ilmuwan sosial dan politik, Scott mengemukakan bahwa
Hubungan patron-klien sebagai hubungan pertukaran antara dua orang (dyadic)
yang sebagian besar melibatkan persahabatan instrumental, di mana seorang
individu yang lebih tinggi status sosial ekonominya (patron) menggunakan
pengaruh dan sumber daya yang dimiliki untuk memberikan perlindungan
dan/atau keuntungan kepada seseorang dengan status lebih rendah (klien) yang
pada gilirannya membalas pemberian tersebut dengan dukungan dan bantuan,
termasuk jasa pribadi kepada patron (Scott, 1972a : 92).
Dalam hubungan patron-klien ada pihak yang menjadi superior (patron)
dengan kelebihan status sosial dan ekonominya, dan pihak yang menjadi inferior
(klien) karena status sosial dan ekonominya lebih rendah. Orang-orang berada
20 pada posisi sebagai inferior tidak dapat memenuhi kebutuhannya, sehingga
membutuhkan bantuan orang lain untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Pada
kondisi seperti inilah sang patron membantu memenuhi kebutuhan kliennya
dengan status dan sumber dayanya. Pelras menambahkan bahwa hubungan
patron-klien digolongkan sebagai hubungan yang tidak sejajar (tetapi tidak
mengikat) antara atasan (patron atau pemimpin) dengan sejumlah bawahan (klien,
pelayan, atau pengikut), berdasarkan pertukaran pelayanan yang asimetris, di
mana secara de facto patron tergantung kepada para klien yang memberi
pelayanan cuma-cuma yang bisa mencakup kewajiban secara ekonomis, tugastugas dengan upah atau tidak, menjadi prajurit perang, dukungan politik dan
pelayanan lainnya, diimbangi dengan peran patron untuk menjadi figur pemimpin
bagi semua klien dan pemberian bantuan, termasuk pinjaman uang dan
perlindungan (Pelras, 1981 : 2-3).
Masyarakat pedesaan secara umum saling mengenal satu sama lain karena
lingkup kehidupan yang memang kecil. Frekuansi dan intensitas interaksi mereka
cukup tinggi dalam kehidupan sehari-hari, baik antar masyarakat yang setara
status sosial dan ekonominya, maupun antara masyarakat dengan status sosial dan
ekonomi yang berbeda (antara elit desa dengan masyarakat biasa).
Interaksi yang relatif mudah dilakukan di lingkungan sosial pedesaan
disebabkan oleh kedekatan emosional (perasaan) masyarakatnya karena hubungan
pertemanan maupun karena sebagian masyarakat desa masih memiliki hubungan
kekerabatan. Melalui interaksi yang sering dilakukan, mereka mengetahui
berbagai kesulitan yang dialami oleh tetangga, teman, dan kerabatnya. Demikian
21 pula sebaliknya, segala kelebihan atau keunggulan dalam berbagai aspek yang
dimiliki oleh elit desa juga diketahui oleh masyarakatnya. Akibat yang
ditimbulkan adalah munculnya
kekuasaan, sebab masing-masing pihak akan
saling “mendekat” dengan kondisinya masing-masing. Masyarakat yang tidak
mampu berusaha memenuhi kebutuhannya dengan mencari bantuan pihak lain,
sedangkan elit desa dengan segala sumber daya yang dimiliki dapat membantu
masyarakat yang membutuhkan pertolongannya.
Atas dasar kedekatan emosional dan bantuan-bantuan sumber daya itulah
Scott membagi ikatan patron-klien menjadi dua ; ikatan yang bersifat afektif dan
instrumental. Orang-orang yang terikat karena kedekatan emosional dengan
seorang patron merupakan “pengikut inti (core)” dari sebuah ikatan patron-klien
yang bersifat afektif, dan mereka begitu kuat terikat kepada patronnya. Sedangkan
orang-orang yang terikat kepada patron hanya karena hadiah materi atau jasa
dianggap sebagai “pengikut pinggiran (periphery)” dari ikatan patron-klien yang
bersifat instrumental, dan ikatan ini relatif mudah terlepas (Scott, 1972a : 99).
Walaupun demikian bukan berarti dalam ikatan afektif tidak terjadi pertukaran
sumber daya materi ataupun jasa, namun itu bukan satu-satunya alasan terjalinnya
relasi patron-klien.
Bekerjanya relasi patron-klien di sebuah desa sangat tergantung kepada
struktur ekonomi di desa tersebut. Desa-desa di mana sumber-sumber ekonomi
utama seperti perkebunan, pertambangan dan yang lainnya, yang masih dikuasai
oleh sekelompok kecil elit desa, serta angka kemiskinan yang masih tinggi,
menjadi lahan subur bagi bekerjanya relasi patron-klien. Relasi yang terbangun
22 bersifat vertikal di mana ada elit desa biasanya berperan sebagai “atasan (patron)”
dan masyarakat yang menjadi “bawahan (klien).” Patron biasanya memberikan
perlindungan, bantuan material dan spiritual kepada anak-buahnya, dan sebagai
imbalannya, para anak buah akan memberikan dukungan dan loyalitas kepada
patron (Muhaimin, 1991 : 11).
Namun, bila dicermati dalam relasi patron-klien sulit untuk menentukan
siapa yang paling diuntungkan atas pertukaran-pertukaran tersebut, sebab bisa
saja hal tersebut berlangsung secara seimbang. Patron menyediakan kebaikan,
pekerjaan, perlindungan, atau bahkan jabatan, sedangkan klien menawarkan
penghormatan dan dukungan politik. Sehingga jika dicermati hubungan semacam
ini akan terasa sulit membedakan “siapa yang memanfaatkan siapa” sebab
sebenarnya masing-masing pihak mendapatkan sesuatu yang diharapkannya
(Muhaimin, 1990 : 25).
Relasi patron-klien dapat digunakan untuk memahami dominasi sebuah
dinasti politik desa di masa Orde Baru dan Reformasi. Kemenangan dalam setiap
Pilkades dan mampu melewati transisi politik pasca pergantian rezim
pemerintahan, menjadi bukti bahwa dinasti politik itu memiliki basis loyalitas
pendukung politik yang terintegrasi ke dalam sebuah jaringan klientelistik yang
kuat, dan kemampuan bertransformasi yang baik. Artinya, elektabilitas dinasti
politik itu sangat tergantung kepada seberapa besar jaringan klientelistik yang
berhasil dibangun dan dipelihara sepanjang sejarah kekuasaannya.
Pelras mengungkapkan ada tiga cara dalam membangun jaringan patronklien, yaitu (Pelras, 1981 : 15-16) ; Pertama, dengan menunjukkan kedemawanan
23 dan membangkitkan rasa hormat dari kalangan pengikut dengan melindungi dan
menjaga kesejahteraan mereka lebih baik dibanding yang lain. Kedua, dengan
membangkitkan kebanggaan pengikut dan harapan akan masa depan yang lebih
baik dengan menduduki jabatan tinggi atau tampak sebagai orang yang paling
berpeluang untuk menduduki jabatan tersebut. Pengikut pada gilirannya akan
merasa ikut terhormat, dan berharap memperoleh keuntungan dari jabatan
pemimpinnya, karena dengan memegang jabatan tersebut meningkatkan peluang
patron mereka untuk mendistribusikan kembali kekayaan yang diperolehnya.
Ketiga, untuk memperluas jaringan pengikut adalah melalui ”perkawinan politik”
dengan menikahi anggota keluarga bangsawan. Tujuannya adalah untuk
menambah pengikut, kehormatan atau menaikkan status sosial.
Pelras menambahkan bahwa pengikut dapat pula diperoleh melalui ;
pertama, ”warisan”, ketika seorang patron meninggal dunia, pengikutnya
terkadang mengabdikan kesetiaannya kepada salah seorang anak sang pemimpin,
tetapi proses tersebut bukan hal yang terjadi secara otomatis. Kedua, dengan
memperlihatkan karisma pribadi yang luhur. Pada kedua cara tersebut lanjut
Pelras, yang harus diperhatikan adalah status sang patron, jabatan yang ia pegang,
dan kepribadiannya (Pelras, 2006 : 206)2. Koentjaraningrat menambahkan bahwa
karisma pribadi seorang pemimpin dalam masyarakat kontemporer ditandai
dengan kepemilikan lambang-lambang kepemimpinan, dan memiliki ciri-ciri
rohaniah yang disegani (Koentjaraningrat, 1984 : 140).
2
Sebenarnya menurut Pelras ada tiga cara untuk meraih pengikut, namun poin ketiga dalam manusia Bugis (2006 : 206) sama dengan poin ketiga dalam tulisan Pelras (1981) Hubungan Patron‐Klien pada Masyarakat Bugis dan Makassar di Sulawesi Selatan. 24 Kelima cara yang ditawarkan oleh Pelras berada dalam konteks kehidupan
masyarakat Sulawesi Selatan dengan sistem stratifikasi sosialnya yang masih
kaku. Sungguhpun demikian, kenyataannya kelima cara itu masih relevan berlaku
pada masyarakat dengan sistem stratifikasi sosial yang luwes dan rawan
mobilisasi sosial, di mana orang-orang yang menjadi patron hanyalah mereka
yang memiliki kekayaan, jabatan, dan pengetahuan atau keahlian.
Terkait dengan pertukaran sumber daya antara patron dengan kliennya,
Scott (1972b : 9) mengklasifikasikannya sebagai berikut : Sarana dasar
subsistensi. Dalam kehidupan di pedesaan, pelayanan utama yang diberikan oleh
patron kepada klien berupa pekerjaan, jabatan-jabatan di pemerintahan desa atau
organisasi desa3. Praktek-praktek seperti ini dapat kita temukan dalam pada masa
Orde Baru di mana seorang elit desa mempekerjakan buruh yang juga merupakan
pendukung politiknya yang setia. Disamping itu seorang kepala desa mengangkat
para elit desa yang punya pengaruh besar di masyarakat menjadi perangkat desa
atau pengurus organisasi desa lainnya.
Jaminan krisis subsistensi. Umumnya, patron diharapkan memberikan
pinjaman pada saat bencana ekonomi, membantu menghadapi krisis, atau
membantu pada saat usaha klien dalam keadaan bangkrut. Jadi, patron diharapkan
memberikan jaminan “dasar” subsistensi bagi kliennya dengan menyerap
kerugian-kerugian (dalam usaha atau pekerjaan) yang dapat merugikan kehidupan
klien jika tidak dilakukan oleh patron.
3
Organisasi desa yang dimaksudkan dalam tesis ini adalah organisasi keagamaan dalam hal ini pengurus mesjid, dan lembaga kemasyarakatan. Selanjutnya lembaga kemasyarakatan yang menjadi objek pembahasan penulis batasi menjadi tiga, yaitu ; LKMD (LPM), RT, dan RW dengan pertimbangan bahwa ketiga lembaga desa itulah yang banyak bersinggungan dengan pelayanan administrasi pemerintahan dan pembangunan di Desa. 25 Perlindungan. Perlindungan ini berarti melindungi klien dari gangguan atau
tekanan dari pihak lain. Gangguan atau tekanan bisa saja datang dari musuh
pribadi maupun dari pemerintah melalui tentara, pejabat, pengadilan, maupun
pemungut pajak). Gangguan atau tekanan tersebut tidak hanya yang mengancam
pribadi dan keluarga klien saja, namun mencakup juga ancaman terhadap usaha
atau pekerjaannya.
Perantara dan pengaruh. Jika patron melindungi kliennya dari perusakan
atau intimidasi yang datang dari luar, ia juga menggunakan kekuatan dan
pengaruhnya untuk menarik hadiah dari luar untuk kepentingan kliennya.
Perlindungan merupakan peran defensifnya dalam menghadapi dunia luar;
keperantaraan adalah peran agresifnya.
Pelayanan kolektif patron. Secara internal, patron sebagai kelompok dapat
melakukan fungsi ekonomi kolektif. Mereka bisa mengelola dan memberikan
bantuan berupa subsidi untuk badan amal setempat, menyumbangkan tanah untuk
kepentingan komunal, mendukung pelayanan publik lokal (seperti sekolah, jalanjalan kecil, dan bangunan masyarakat), tuan rumah kunjungan pejabat, dan
sponsor festival desa dan perayaan.
Arus barang dan jasa dari klien ke patron, menurut Scott pada umumnya
sangat sulit untuk mengkarakterisasikannya karena, sebagai “orang” patronnya,
seorang klien umumnya menyediakan tenaga dan keahliannya untuk kepentingan
patron apa pun bentuknya, termasuk melayani sebagai anggota setia dari faksi
patron lokal. Bagi klien, unsur kunci dari evaluasi ialah perbandingan antara jasa
yang diterimanya dengan yang diberikannya. Makin besar nilai yang diterimanya
26 dari patron dibanding biaya yang harus ia kembalikan, maka makin besar
kemungkinannya ia melihat ikatan ini sebagai sah (Scott, 1972b : 9-10).
Penjelasan di atas menunjukkan bahwa baik patron maupun klien masingmasing memiliki sumber daya berupa materi atau jasa yang dapat dipergunakan
dalam sebuah hubungan pertukaran. Artinya pertukaran dapat terjadi ketika
sumber daya yang diberikan oleh patron dapat diterima oleh klien, dan sebaliknya
patron dapat pula menerima sumber daya yang diberikan oleh kliennya. Dengan
demikian, walaupun di awal disebutkan bahwa hubungan patron-klien merupakan
hubungan pertukaran yang tidak seimbang, namun kenyatannya hubungan yang
terjalin bersifat saling menguntungkan (simbiosis mutualisme).
Bila dikontekskan dengan keperluan studi tentang dinasti kepala desa ini,
pemikiran Scott tadi dapat disederhanakan seperti berikut ini
Tabel 1.1
Arus Pertukaran Materi dan Jasa
Antara Dinasti Kepala Desa dan Klien
No
1.
2.
3.
4.
Arus Pertukaran Materi dan Jasa
Dari Dinasti Kepala Desa
No
Dari Klien ke
ke Klien
Dinasti Kepala Desa
Distribusi sumber daya
1. Dukungan suara pada setiap
ekonomi
Pilkades
Lapangan kerja
2. Dukungan terhadap kinerja
patron
Jabatan formal di desa
3. Membela patron dalam konflik
Pelayanan spiritual
Perlu diperhatikan bahwa hubungan patron-klien bukanlah hubungan
bersifat permanen dan tertulis, artinya sewaktu-waktu salah satu pihak dapat
memutuskan hubungan tersebut. Hal tersebut bisa disebabkan oleh baik patron
27 maupun klien sudah merasa tidak nyaman lagi dengan hubungan tersebut karena
berbagai alasan, atau kondisi klien yang mengalami peningkatan hidup sehingga
tidak membutuhkan bantuan patronnya lagi.
Terkait dengan pernyataan tersebut Putra menyatakan bahwa hubungan
patron-klien juga perlu didukung oleh norma-norma dalam masyarakat yang
memungkinkan pihak yang lebih rendah kedudukannya (klien) melalukan
penawaran, artinya bilamana salah satu pihak merasa bahwa pihak lain tidak
memberi seperti yang diharapkannya, dia dapat menarik diri dari hubungan
tersebut tanpa terkena sanksi masalah (Putra, 2007 : 4-9).
Hubungan kerjasama antara patron dan klien sangat dibutuhkan dalam
dunia politik terutama dalam konteks politik di pedesaan. Terlebih lagi bagi
sebuah dinasti politik yang ingin mempertahankan kekuasaannya melalui
kontestasi elektoral. Terkait hal tersebut Scott menambahkan bahwa di satu sisi,
pemilihan umum dapat dilihat sebagai pembentukan kembali mekanisme
redistributif dari pengaturan tradisional. Sekali lagi posisi patron menjadi agak
lebih tergantung pada persetujuan sosial komunitasnya-persetujuan sosial yang
kini didukung oleh kekuatan untuk mengalahkan dia atau kandidat di tempat
pemungutan suara. Tidak dapat bergantung pada paksaan langsung, dan
dihadapkan dengan pesaing, patron pemilu tahu ia harus (kecuali kalau kekuatan
ekonomi lokalnya adalah menentukan) biasanya menawarkan kliennya hal yang
lebih baik daripada saingannya jika ia berharap untuk mempertahankan
kekuasaan setempat (Scott, 1972a : 109-110).
28 Pendapat di atas menunjukkan bahwa karir politik patron sangat tergantung
kepada dukungan para kliennya. Patron harus mampu menampilkan diri sebagai
kandidat yang paling layak dipilih, berupa distribusi berbagai sumber daya
sebelum maupun setelah pemilihan dilaksanakan. Apalagi dalam sebuah
kontestasi politik, kandidat lainnya (lawan politik) juga menawarkan berbagai
sumber daya kepada para pemilih, termasuk kepada klien dari seorang patron.
Kondisi ini memaksa patron harus bisa membaca sumber daya apa yang cocok
untuk diberikan kepada kliennya, sebab mereka berasal dari berbagai latar
belakang yang berbeda. Sumber daya ekonomi atau materi mungkin cocok
diberikan kepada klien yang sedang mengalami kesulitan ekonomi.
Terkait argumen tersebut Wantchekon menjelaskan bahwa hasil empiris
menunjukkan klientelisme berhasil untuk semua jenis kandidat tetapi sangat baik
untuk kandidat regional dan incumbent. Saya berpendapat bahwa daya tarik
kredibilitas klientelis dan aksesibilitas terhadap barang klientelis sangat
mempengaruhi perilaku pemilih … Misalnya, kandidat incumbent memiliki
sarana untuk membuat daya tarik klientelis lebih kredibel dengan memberikan
sebagian barang yang dijanjikan sebelum pemilu. Kandidat oposisi dapat
mengambil keuntungan dari ketidakmampuan yang terungkap dari incumbent
dalam menyediakan barang-barang publik selama siklus pemilu sebelumnya
untuk membuat jenis barang publik yang dijanjikan lebih menarik dan lebih
kredibel (Wantchekon, 2003 : 421-422).
Distribusi jabatan formal di desa adalah salah satu langkah politik yang
tepat dalam rangka memperluas jaringan klientelisme. Klien dari elit desa
29 memiliki
pengaruh
di
kalangan
keluarga
maupun
orang-orang
dalam
kelompoknya. Merekrut mereka ke dalam jaringan klientelisme dinasti kepala
desa, maka keluarga dan orang-orang dalam kelompoknya dengan sendirinya
menjadi pendukung politik bagi dinasti kepala desa.
Selama sang patron dapat menjamin sustainabilitas pekerjaan atau jabatan
mereka, maka selama itu pula para klien selalu memberikan loyalitas politik
kepada patronnya. Sebab bila karir politik patronnya berakhir, maka para klien
juga akan kehilangan pekerjaan maupun jabatannya. Terkait hal tersebut Itoh
menambahkan bahwa Kesetiaan seorang pendukung politik kepada pemimpinnya
karena beberapa alasan diantaranya, karena keyakinan politik yang sama,
hubungan baik, kepribadian yang saling mengisi, dan yang terpenting adalah karir
seorang pendukung politik sangat tergantung kepada kesuksesan karir politik
pemimpinnya (Itoh, 2003 : 140-141).
5. STUDI TENTANG DINASTI POLITIK YANG SUDAH DIHASILKAN
Salah satu kesulitan dalam menyusun tesis ini adalah penulis belum (tidak)
berhasil menemukan literatur-literatur dengan pokok bahasan yang sama tentang
dinasti kepala desa. Meskipun lingkup kekuasaannya kecil namun posisi politik
kepala desa cukup signifikan karena bersentuhan langsung dengan kehidupan
masyarakat dan aktifitas pelayanan publik. Sehingga peran kepala desa cukup
menentukan bagi kesuksesan program-program pemerintah. Penulis mereview dua
studi yang membahas tentang dinasti politik yang telah dihasilkan oleh ilmuwan
sosial dan politik.
30 Bakti memotret peran politik seorang elit lokal di Kabupaten Wajo
Sulawesi Selatan dalam membangun dinasti politik, melalui tulisannnya yang
berjudul Kekuasaan Keluarga di Wajo Sulawesi Selatan. Perubahan rezim politik
Orde Baru ke Reformasi tidak serta merta mengakhiri dominasi politik sang
puang (nama tokoh sentral dalam tulisan Bakti). Bahkan kekuasaannya menjadi
semakin menguat pasca Reformasi dengan adanya liberalisasi politik sampai
tingkat lokal.
Beberapa jabatan penting dan strategis di eksekutif maupun di legislatif
Wajo telah dikooptasi oleh Puang dengan menempatkan orang-orang dari
kalangan keluarga maupun orang-orang yang dekat dengannya. Dominasi Puang
juga merambah dalam ranah organisasi-organisasi non pemerintah seperti KNPI
dan ICMI. Artinya berbagai sumber daya (resource) yang melekat pada jabatanjabatan tersebut turut mengalir dan dinikmati pula oleh Puang dalam rangka
memperluas jaringan politik klientelismenya.
Namun yang perlu diperhatikan adalah jaringan klientelisme yang dibangun
oleh Puang hanyalah terbatas dari kalangan keluarganya dan teman-teman
dekatnya saja. Cerita-cerita tentang lawan-lawan politik yang berhasil dia rangkul
menjadi bagian dari barisan pendukungnya tidak tergambar dalam tulisan Bakti
ini. Kalaupun ada hanyalah keberhasilan dia “berdamai” dengan kalangan LSM,
organisasi lokal, dan pers untuk tidak mengkritisi gaya pemerintahan dan politik
dinastinya. Selain itu literatur yang ditawarkan oleh Bakti ini hanya
menggambarkan tentang keberhasilan Puang menempati puncak kekuasaan di
Kabupaten Wajo sebagai Ketua DPRD dan kemudian menjadi Bupati.
31 Eksistensi dinasti politik Wajo ini masih belum teruji mengingat kekuasaan
Puang baru berumur satu periode, apalagi jabatan Bupati dimenangkannya melalui
pemilihan oleh DPRD Wajo yang sebagian besar anggotanya adalah aliansi politik
Puang dari kalangan kerabat dan kawan dekatnya. Artinya jabatan Puang sebagai
Bupati belum teruji melalui sistem pemilihan elektoral, dan survivabilitas dinasti
politik ini juga belum teruji karena belum ada keluarga dekat Puang yang berhasil
mewarisi jabatan yang sama sebagai Bupati di Wajo.
Keberhasilan Puang membangun dinasti politiknya juga tidak terlepas dari
faktor stratifkasi sosial masyarakatnya yang kaku, dengan kehadiran kaum
bangsawan dan non bangsawan. Bagaimanapun Puang juga mewarisi kekuasaan
tradisional yang mendudukkannya sebagai salah satu bangsawan di Wajo,
demikian pula dengan isterinya. Bagi masyarakat Wajo maupun Sulawesi Selatan
kaum “ningrat” ini masih dianggap layak untuk menduduki berbagai jabatan
politik setempat.
Dalam lingkup yang lebih kecil Antlov dengan karyanya yang berjudul
Negara Dalam Desa : Patronase Kepemimpinan Lokal, mencoba menganalisa
jaringan klientelisme di tingkat desa pada masa Orde Baru. Negara berperan
sebagai patron dan kepala desa sebagai klien dari negara, serta disaat yang sama
kepala desa bertidak sebagai patron bagi masyarakatnya. Peran ganda seperti ini
merupakan syarat mutlak bagi seorang elit desa untuk meraih jabatan kepala desa
maupun jabatan-jabatan di pemerintahan desa dan organisasi desa lainnya.
Cerita-cerita tentang upaya sekelompok elit desa untuk membangun sebuah
dinasti politik juga tergambar cukup jelas dalam literatur ini. Seorang kepala desa
32 yang pernah berkuasa selama 4 tahun di era 1957-1960 dan kemudian 8 tahun
(satu periode) dari tahun 1981-1990 berhasil mewariskan jabatan tersebut kepada
besannya pada periode berikutnya (1990-1998). Namun berdirinya dinasti politik
tersebut didukung oleh kekuatan patronase negara yang sangat dominan pada
masa Orde Baru. Eksistensi dinasti politik ini serta-merta berakhir pasca
runtuhnya rezim otoriarian tersebut, artinya, kekuatan dinasti kepala desa itu
sangat rentan terhadap pergantian rezim pemerintahan.
6. DEFINISI KONSEPTUAL
Agar fokus penelitian lebih jelas dan terarah, maka penulis membuat
pembatasan dan penegasan terhadap definisi konsep, yaitu sebagai berikut :
1. Dinasti politik atau dinasti kepala desa adalah sekumpulan orang atau elit desa
yang masih memiliki hubungan keluarga dekat yang saling mendukung dan
secara bergantian menduduki jabatan kepala desa melalui pemilihan kepala
desa (Pilkades) pada periodenya masing-masing.
2. Elit desa adalah sekumpulan kecil orang (minoritas) yang bertempat tinggal di
desa, yang karena keunggulan atau kelebihan berupa materi ataupun
nonmateri memiliki pengaruh atau kekuasaan atas masyarakat lainnya
(mayoritas) di desa tersebut. Biasanya elit desa menduduki berbagai jabatan
formal di desa atau kalangan tertentu dengan status sosial yang lebih tinggi
dari masyarakat desa lainnya.
33 3. Relasi adalah bentuk hubungan antara dua aktor yang berbeda dalam dunia
politik maupun lainnya, di mana terjadi hubungan tukar-menukar kepentingan
antara keduanya.
4. Patronase atau patron-klien adalah interaksi diadik yang bersifat timbal balik
(reciprocal), dan saling menguntungkan di antara individu-individu yang
berperan sebagai patron dan klien yang memiliki perbedaan penguasaan
sumber daya. Patron menawarkan kebaikan, pekerjaan, bantuan ekonomi dan
perlindungan bagi klien. Di sisi lain klien menawarkan dukungan politik dan
penghormatan kepada patron, yang ditampilkan dalam berbagai bentuk simbol
(sikap kepatuhan, bahasa yang hormat, hadiah dan seterusnya).
5. Klientelisme
adalah
jaringan
yang
digunakan
untuk
melakukan
pendistribusian sumber daya patronase, melalui transaksi antara politisi
(patron) dan warga (klien) dimana hadiah materi yang ditawarkan sebagai
imbalan atas dukungan politik dalam pemilu.
6. Kontestasi elit adalah persaingan para elit dalam memperebutkan suatu
jabatan politik melalui pemilihan langsung oleh rakyat di suatu wilayah
berdasarkan tingkatannya masing-masing.
7. DEFINISI OPERASIONAL
Untuk memudahkan pengumpulan data, maka defenisi konseptual yang ada
dioperasionalkan ke dalam indikator-indikator agar mampu menggambarkan dan
menjelaskan
gejala-gejala
yang
dapat
diuji
kebenarannya.
Adapun
operasionalisasi konsep dalam penelitian ini meliputi hal-hal sebagai berikut :
34 1. Dinasti Kepala Desa atau Dinasti Mustohfa adalah H. Mustohfa dan anak
keturunannya dari dari garis anaknya yang pertama yaitu H. Mazlah. Penulis
sengaja membatasi anggota dinasti politik ini dari keturunan Mazlah karena
beberapa hal ; pertama, pasca Mustohfa, penerus dinasti ini hanya berasal dari
garis keturunan Mazlah. Kedua, Mazlah dan keluarganya memiliki sumber
daya patronase yang lebih besar dan lebih kuat dibandingkan anak-anak
Mustohfa lainnya, dan mereka bergerak secara aktif menggunakan sumber
daya patronasenya itu terutama ekonomi, untuk memelihara dan memperluas
jaringan klientelistik yang sudah dibangun oleh Mustohfa. Mazlah beserta
anak dan menantunya secara bergantian terjun dalam kontestasi elektoral
(Pilkades) untuk mempertahankan sustainabilitas dominasi kekuasaan
keluarganya di Desa Puput pasca berakhirnya periode kekuasaan Mustohfa.
2. Elit desa yang dimaksud dalam penelitian ini adalah orang-orang yang
memiliki pengaruh dan kekuasaan atas masyarakat di Desa Puput. Oleh karena
pengaruh dan kekuasaan itu mereka bisa memobilisasi masyarakat dalam
rangka mencapai tujuan-tujuan politiknya sendiri maupun tujuan politik orang
lain, salah satunya Dinasti Mustohfa. Dalam konteks penelitian ini elit Desa
Puput terdiri dari tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh pemuda, guru, PNS,
perangkat desa, pengurus organisasi desa, pengusaha, pimpinan partai politik,
petani kaya dan lain-lain. Sebagian dari elit Desa Puput adalah anggota
jaringan klientelistik Dinasti Mustohfa, sedangkan yang lainnya merupakan
lawan politik dinasti tersebut.
35 3. Relasi dalam penelitian ini dilihat sebagai pola hubungan yang terjadi antara
Dinasti Mustohfa dengan para elit desa dan masyarakat yang menjadi bagian
dari jaringan klientelistiknya. Pada prakteknya dinasti kepala desa melakukan
beberapa pendekatan dengan kalangan elit desa maupun masyarakat agar
mereka menjadi pendukung politik yang setia ; pertama, pendekatan dan kerja
sama dengan para elit desa, di mana terjadi transaksi kepentingan antara
keduanya. Dinasti Mustohfa merangkul mereka melalui distribusi berbagai
pekerjaan, jabatan perangkat desa, dan pengurus organisasi desa, serta
distribusi materi langsung dalam berbagai bentuk. Kedua, pendekatan dan
kerja sama dengan masyarakat, di mana terjadi transaksi kepentingan antara
keduanya. Dinasti kepala desa mendistribusikan kepada mereka pekerjaan,
dan materi serta jasa dalam berbagai bentuk.
4. Patronase atau patron-klien di sini dipahami sebagai hubungan diadik yang
bersifat timbal balik (reciprocal), saling menguntungkan antara Dinasti
Mustohfa dengan elit desa dan masyarakat di Desa Puput dalam aktiftas
sehari-hari maupun aktifitas pemerintahan desa. Masing-masing pihak yang
berelasi ini menjadikan sumber daya pribadi maupun sumber daya jabatan
sebagai barang atau jasa yang saling dipertukarkan. Dinasti Mustohfa
menawarkan materi, jasa, pekerjaan, jabatan perangkat desa, dan pengurus
organisasi desa. Sedangkan elit desa dan masyarakat memberikan dukungan
politik untuk Dinasti Mustohfa berupa ; mobilisasi dan dukungan suara pada
setiap Pilkades, mendukung kinerja patron, dan membela patron pada saat
berkonflik dengan pihak lain.
36 5. Klientelisme dalam penelitian ini dipahami sebagai orang pribadi yang terdiri
dari elit desa dan masyarakat, maupun organisasi-organisasi yang ada di Desa
Puput
berupa
organisasi
keagamaan,
kemasyarakatan,
perempuan,
kepemudaan dan olahraga, yang menerima distribusi sumber daya patronase
dalam berbagai bentuk dari Dinasti Mustohfa. Selanjutnya orang-orang dan
organisasi-organisasi tersebut secara pribadi ataupun kolektif memobilisasi
orang-orang dekatnya dan anggotanya agar mendukung setiap langkahlangkah politik Dinasti Mustohfa.
6. Kontestasi elit adalah persaingan antara elit Dinasti Mustohfa dengan elit desa
lainnya dalam memperebutkan jabatan kepala desa melalui pemilihan
langsung (Pilkades) di Desa Puput dari tahun 1971 sampai dengan 2011. Pada
masa Orde Baru kontestasi elit lokal ini diwarnai dengan intervensi negara
yang sangat besar dalam setiap Pilkades melalui serangkaian persyaratan dan
tes, sehingga dukungan negara mutlak dibutuhkan untuk memenangkan
jabatan kepala desa. Di masa Reformasi intervensi negara hilang, sehingga
para kandidat hanya mengandalkan kekuatan politiknya sendiri untuk meraih
posisi puncak di sebuah desa.
8. KERANGKA FIKIR
Kerangka pikir merupakan kesatuan dari teori, dalil-dalil maupun konsepkonsep yang dijadikan acuan dalam penelitian. Dalam kerangka fikir diuraikan
hubungan dan keterkaitan antara variable-variabel dalam penelitian, dan
selanjutnya oleh penulis variabel-variabel itu diterangkan lebih mendalam agar
37 sesuai dengan keperluan penelitian yang pada akhirnya dapat menemukan
jawaban
atas
pertanyaan
penelitian.
Dalam
penelitian
ini,
penulis
mengkombinasikan dan mengelaborasi teori patron-klien dan teori kontestasi elit
menjadi sebuah kerangka analisis bagi fenomena dinasti kepala desa (dinasti
politik) beserta data-data dan temuan-temuan terkait fenomena tersebut.
Gambar 1.1
Kerangka Fikir
Dinasti Kepala
Desa (Patron)
o Dukungan pada Pilkades
o Pendukung kinerja patron
o Pembela patron dlm
konflik
Konversi
Jabatan
Kepala Desa
o Bantuan materi
o Pekerjaan
o Jabatan di desa
o Pelayanan spiritual
Pengikut
(Klien)
9. METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan salah satu penelitian kualitatif, yang mana dengan
menggunakan metode penelitian ini, penulis dapat mengeksplorasi pengalaman
subjektif orang, dan makna yang mereka hubungkan dengan pengalamanpengalaman tersebut (Marsh dan Stoker, 2010 : 242). Untuk meneliti fenomena
dinasti kepala desa, penulis menggunakan salah satu varian metode kualitatif yaitu
studi kasus. Menurut Yin studi kasus merupakan strategi yang lebih cocok bila
pokok pertanyaan suatu penelitian berkenaan dengan how atau why, bila peneliti
38 hanya memiliki sedikit peluang untuk mengontrol peristiwa-peristiwa yang
diselidiki, dan bilamana fokus penelitiannya terletak pada fenomena kontemporer
(maka kini) di dalam konteks kehidupan nyata (Yin, 2002 : 1).
Metode studi kasus sangat cocok untuk kepentingan penelitian ini dalam
mengungkap eksistensi dinasti kepala desa di desa Puput. Melacak kemampuan
dinasti kepala desa dalam mempertahankan kekuasaannya hanya bisa dilakukan
melalui riset lapangan yang mencakup kegiatan mencatat, mengamati,
mendengarkan, merasakan, mengumpulkan dan menangkap semua fenomena data
dan informasi tentang kasus yang diteliti (Salim, 2006 : 123).
Dalam rangka untuk mengumpulkan data primer maupun skunder, penulis
telah melakukan penelitian selama 40 hari dari tanggal 28 September sampai
dengan 6 November 2012. Sungguhpun demikian menyangkut kelengkapan data,
setelah waktu tersebut penulis masih melakukan beberapa wawancara via telepon
seluler (handphone) dengan beberapa informan lama maupun informan baru.
Selain itu untuk keperluan data tertulis, penulis juga menghubungi dinas atau
instansi terkait via email.
9.1 Lokasi Penelitian
Studi ini dilakukan di Desa Puput yang termasuk ke dalam wilayah
Kecamatan Simpangkatis Kabupaten Bangka Tengah Propinsi Kepulauan Bangka
Belitung. Lokus ini dipilih karena desa ini sampai saat ini masih dipimpin oleh
kepala desa yang berasal dari satu keluarga yang sama sejak lebih dari empat
dekade yang lalu. Walaupun secara prosedural proses demokrasi telah dijalankan
39 dalam setiap suksesi kepemimpinan di desa tersebut, melalui pemilihan kepala
desa. Fenomena ini relevan dengan permasalahan yang akan diteliti oleh penulis.
9.2 Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini pengumpulan data menggunakan dua sumber bukti,
yaitu ; wawancara mendalam (indepth interview) dan dokumentasi. Kedua sumber
bukti (data) tersebut sangat diperlukan untuk melacak eksistensi sebuah dinasti
kepala desa yang hidup dalam dua sistem politik yang berbeda.
a. Wawancara Mendalam (Indepth Interview)
Wawancara mendalam merupakan data primer sehingga penulis sangat
memperhatikan siapa informan yang diwawancarai dan di mana wawancara itu
dilakukan. Disamping itu, hal ini terkait dengan informan yang menjadi target
wawancara tentu saja memiliki latar belakang yang berbeda, dan pandangannya
yang berbeda pula terhadap fenomena yang diteliti. Sehingga sangat
mempengaruhi jawaban dan pemaknaan (interpretasi) terhadap pertanyaanpertanyaan yang penulis ajukan pada saat wawancara. Menurut Marsh dan
Stokker wawancara mendalam memungkin orang untuk menceritakan kisah
mereka sendiri dengan bahasa yang akrab bagi mereka. Ketika pembahasan isuisu mengalir secara alami, dimungkinkan unuk memahami logika argumen
terwawancara dan pemikiran asosiatif yang mendorong mereka pada kesimpulan
tertentu (Marsh dan Stoker, 2010 : 242).
40 Wawancara mendalam yang dilakukan juga berdasarkan pada sebuah
panduan wawancara yang telah disusun, pertanyaan-pertanyaan terbuka, dan
peyelidikan informal untuk memfasilitasi wawancara yang telah penulis lakukan
dengan informan tentang kasus yang penulis teliti ini, dan pertanyaan-pertanyaan
yang penulis buat dengan cara tidak terstruktur. Sebab panduan wawancara hanya
dibutuhkan untuk pengecekan topik yang akan dicakup, walaupun urutan
pembahasannya tidak ditentukan sebelumnya. Pertanyaan terbuka digunakan
untuk memungkinkan informan berbicara panjang lebar tentang suatu topik
permasalahan yang menjadi fokus penelitian penulis. Bahkan pada beberapa
situasi, peneliti bahkan bisa meminta responden untuk mengetengahkan
pendapatnya sendiri terhadap peristiwa tertentu dan bisa menggunakan proposisi
tersebut sebagai dasar penelitian selanjutnya (Yin, 2002 : 109).
Untuk kebutuhan data penelitian penulis telah mewawancarai 25 orang
informan secara langsung maupun via telepon seluler.
1. Tujuh orang informan utama terdiri dari ;
a. Kepala desa incumbent.
b. Mantan kepala desa periode 1996-2005 dan 2005-2011.
c. Kakak kandung kepala desa incumbent.
d. Ibu kandung kepala desa incumbent.
e. Mantan perangkat desa yang pernah menjadi kandidat kepala desa pada
Pilkades 1995.
f. Mantan ketua LKMD (LPM) 1996-2011 yang pernah menjadi kandidat
kepala desa pada Pilkades 1995.
41 g. Tokoh masyarakat yang pernah menjadi lawan politik dinasti kepala desa
pada awal Reformasi. Selanjutnya yang bersangkutan menjadi orang dekat
dan tim sukses dinasti kepala desa pada Pilkades 2005.
2. Dua orang informan dari perangkat Desa Puput.
3. Satu orang mantan perangkat Desa Puput.
4. Satu orang anggota badan permusyawaratan desa (BPD).
5. Tiga orang informan dari tokoh agama.
6. Dua orang informan dari tokoh perempuan.
7. Dua orang informan dari tokoh pemuda.
8. Dua orang informan dari mantan PNS yang pernah bertugas di Kecamatan
Simpangkatis, dan saat ini bertugas di tempat lain.
9. Dua orang informan dari PNS yang sedang bertugas di Kecamatan
Simpangkatis.
10. Dua orang dari tokoh masyarakat .
11. Satu orang ketua partai politik Desa Puput.
Penulis menemui beberapa kendala terkait pengumpulan dan kelengkapan
data, diantaranya minimnya catatatan tentang sejarah kepemimpinan dan Pilkades
di Desa Puput, termasuk masa bakti masing-masing kepala desa. Pemerintah Desa
Puput, pihak kecamatan, maupun keluarga kepala desa tidak memiliki data-data
yang lengkap. Untuk keperluan tersebut penulis melakukan crosscheck dengan
beberapa mantan perangkat desa, staf kecamatan dan mantan staf kecamatan, dan
beberapa tokoh agama dan tokoh masyarakat senior di Desa Puput. Demikian pula
dengan berbagai sumber daya patronase yang dimiliki dinasti kepala desa yang
42 penulis terima dari mereka tidak lengkap, sehingga penulis mengkonfirmasi
dengan dinas atau instansi terkait berkenaan dengan data-data tersebut. Sehingga
data yang berhasil dikumpulkan cukup akurat dan dijamin validitasnya.
b. Dokumentasi
Dokumentasi sebagai data skunder cukup penting guna menunjang
keberhasilan penelitian ini. Data-data tersebut berupa dokumen tertulis
mengenai Pilkades, pemerintah desa, dan terkait dinasti kepala desa serta datadata lainnya yang memiliki relevansi dengan kepentingan penelitian. Untuk
studi kasus, penggunaan dokumen yang paling penting adalah mendukung dan
menambah bukti dari sumber-sumber lain (Yin, 2002 : 104). Berikut ini data
skunder yang berhasil dihimpun.
No
Jenis Data
1.  Peraturan tentang
Pemerintahan Desa
 Peraturan tentang Pemilihan
Kepala Desa
 Peraturan tentang Organisasi
Kemasyarakatan
2. 


3. 



Sejarah Desa
Data Perangkat Desa
Organisasi Kemasyarakatan
Luas lahan perkebunan
Pertambangan
Perdagangan
Data perekonomian lainnya
Sumber Data
UU No. 14 / 1946
UU No. 5 / 1979
UU No. 19 / 1965
UU No. 32 / 2004
Permendagri No. 6 /
1981
 Keppres No. 28 /
1980
 Profil desa
 Potensi desa
Keterangan
 www.presidenri.go.id
 http://www.kemendagr
i.go.id
 Kecamatan Dalam
Angka
 Data perkebunan
 Potensi Desa Puput
 Profil Desa Puput
 BPS Bangka Tengah
 PPL BPK Kec.
Simpangkatis
 Kantor Kepala Desa
Puput





 Kantor Kepala Desa
Puput
43 9.3 Analisa Data
Walaupun data primer dan skunder masing-masing dapat berdiri sendiri,
namun untuk kepentingan penelitian ini penulis mengkombinasikan kedua data
tersebut agar data yang dibutuhkan dapat saling menunjang dan melengkapi. Dari
data primer dan sekunder yang masih mentah di atas, penulis menganalisis dan
menginterpretasikan secara kritis untuk menangkap serangkaian makna yang
tersembunyi di balik realitas yang ada. Proses analisis dan interpretasi data ini
penulis lakukan sejak dalam proses wawancara mendalam dengan para informan.
Setelah itu, penulis melakukan reduksi data untuk melihat data atau informasi
mana yang menurut penulis signifikan dan sesuai dengan kasus dan permasalahan
dalam penelitian ini.
Dari penjelasan tadi dapat dilihat bahwa proses penafsiran data telah
penulis lakukan melalui proses yang terjadi secara terus-menerus dan
berkelanjutan dalam rentang waktu tertentu, yakni mulai dari pengumpulan data
sampai dengan pengambilan kesimpulan. Dengan harapan bahwa penelitian yang
telah dilakukan oleh penulis dan telah terwujudkan dalam tesis ini sudah
menemukan realitas yang sesungguhnya tentang kemampuan sebuah dinasti
politik di Desa Puput mempertahankan jabatan kepala desa dalam dua rezim
pemerintahan yang berbeda.
10. SISTEMATIKA PENULISAN
Dalam rangka untuk mengantarkan penulis sampai pada jawaban atas
pertanyaan penelitian, Tesis ini disusun dalam enam bab. Bab pertama adalah
44 pendahuluan, terdiri dari ; latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan
penelitian, kerangka teoritik, studi dinasti politik yang telah dihasilkan, definisi
konseptual, definisi operasional, metode penelitian, dan yang terakhir sistematika
penulisan.
Bab kedua menggambarkan tentang struktur sosial ekonomi masyarakat
dan sejarah elit dinasti kepala desa. Bagian ini akan membahas tentang struktur
sosial dan ekonomi masyarakat Desa Puput dan sejarah elit dinasti kepala desa
sejak tahun 1971 sampai saat ini. Penulis yakin bahwa kondisi-kondisi tersebut
memberikan iklim yang kondusif bagi tumbuh dan berkembangnya sebuah dinasti
politik yang dibingkai dalam relasi patron-klien. Pembahasan pada bagian ini
terdiri dari subbab ; pertama, Mengenal sekilas Desa Puput. Kedua, struktur sosial
dan ekonomi yang terbagi dalam ; sistem kekerabatan, pendidikan, dan ekonomi.
Ketiga, sejarah elit dinasti kepala desa yang terdiri dari ; H. Mustohfa, H. Mazlah,
H. Jumrah Toha dan H. Zulkarnain. Selain itu pada subbab kedua ini penulis juga
menganggap penting untuk mengulas tentang trauma masa lalu masyarakat Desa
Puput terhadap kepemimpinan kepala desa yang berasal dari luar dinasti kepala
desa. Tujuannya untuk membandingkan kepemimpinan dinasti kepala desa
dengan elit-elit desa lainnya pada periodenya masing-masing.
Bab ketiga, mendeskripsikan tentang basis sumber daya patronase yang
dimiliki oleh dinasti kepala desa. Bagian ini akan mengulas tiga basis sumber
daya patronase yang digunakan oleh dinasti kepala desa untuk meraih dukungan
politik dari berbagai kalangan di Desa Puput. Pembahasan bagian ini terdiri dari
tiga subbab ; pertama, sumber daya ekonomi yang terbagi lagi menjadi ;
45 perkebunan, pertambangan, dan perdagangan. Kedua, kualitas personal atau
individu yang terdiri dari ; keahlian spiritual. Ketiga, jabatan politik yang terdiri
dari ; jabatan perangkat desa dan organisasi desa.
Bab keempat, arena membangun dan memelihara jaringan klientelisme.
Bagian ini akan mengulas tentang di arena mana saja dinasti kepala desa
membangun jaringan klientelisme, dan sumber daya apa saja yang didistribusikan
melalui masing-masing arena tersebut. Bab ini terdiri dari enam subbab ; pertama,
Pelayanan Spiritual (Keagamaan), kedua, Distribusi Sumber Daya Ekonomi, yang
terbagi menjadi ; Distribusi Sumber Daya Ekonomi Rutin dan Distribusi Sumber
Daya Ekonomi Insidentil. Ketiga, Rekrutmen Jabatan Formal. Keempat,
Rekrutmen Tenaga Kerja (Buruh).
Bab kelima, Efektifitas dan Dinamika Klientelisme. Bagian ini akan
mengulas tentang peran jaringan klientelisme dalam mereproduksi dukungan
politik pada setiap Pilkades di Desa Puput sejak tahun 1971. Kemudian
dilanjutkan dengan pembahasan tentang berbagai fragmentasi dalam tubuh
klientelisme serta bagaimana Dinasti Mustohfa mengkonsolidasikan kembali
jaringan klientelismenya. Bagian ini terdiri dari tiga subbab ; pertama, Efektifitas
jaringan klientelisme, yang terbagi ke dalam ; Reproduksi dukungan politik di
masa Orde Baru, dan Reproduksi dukungan politik di masa Reformasi. Kedua,
Fragmentasi klientelisme, yang terbagi menjadi ; Keretakan jaringan klientelisme
dan Konflik ; Melawan kekuatan supra desa dan intra desa. Ketiga, Potensi
konsolidasi klientelisme.
46 Bab keenam, merupakan penutup dari seluruh penulisan tesis ini, dan
merupakan jawaban atas pertanyaan penelitian. Pembahasan dalam bagian ini
menyajikan kesimpulan dan refleksi teoritik atas temuan penelitian.
47 
Download