BAB I PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG MASALAH Runtuhnya rezim Orde Baru membawa dampak yang sangat signifikan terhadap perubahan sistem politik dan pemerintahan di Indonesia. Salah satunya ditandai dengan liberalisasi politik di tingkat nasional dan tingkat lokal. Artinya sistem politik Indonesia mengalami perubahan dari sistem politik nondemokratis menjadi sistem politik yang demokratis. Namun perubahan sistem politik ini tidak serta merta mengakhiri kekuatan politik lama yang lahir dan berkembang pada masa Orde Baru tersebut. Pendapat tersebut sejalan dengan pandangan Hadiz dan Robinson yang mengemukakan bahwa berbagai kepentingan predator (penulis : kekuatan politik lama) yang dibesarkan di bawah sistem patronase rezim Suharto yang begitu luas dan terpusat – yang menjalar dari istana Kepresidenan di Jakarta hingga ke propinsi-propinsi, kota-kota dan desa-desa – sebagian besar masih terus hidup dan berpengaruh (Hadiz, 2005 : 295). Memang menjadi sebuah anomali manakala sistem politik yang demokratis yang dihadirkan oleh rezim Reformasi, justru memberi ruang tumbuh dan berkembangnya berbagai dinasti politik di beberapa daerah pada berbagai level kekuasaan. Bahkan fenomena dinasti politik ini sudah menyentuh kekuasaan politik ditingkat desa dengan hadirnya dinasti kepala desa yang merupakan warisan kekuasaan rezim Orde Baru, seperti yang dijumpai di Desa Puput yang menjadi lokus penelitian dari studi ini. 1 Selanjutnya, fokus kajian dari studi ini adalah tentang dominasi kekuasaan di tingkat desa oleh sebuah kekuatan politik lama yang disebut dengan Dinasti Mustohfa atau dinasti kepala desa. Dinasti Mustohfa telah berkuasa di Desa Puput sejak tahun 1971 sampai saat ini secara terus menerus. Tiga generasi dari dinasti ini yang terdiri dari empat kepala desa, secara bergantian telah mewarnai sejarah kepemimpinan di Desa Puput dalam kurun waktu lebih dari 41 tahun. Fenomena dinasti kepala desa yang berdiri sejak masa Orde Baru dapat dibaca sebagai kemampuan kekuatan politik lama bertransformasi menyikapi perubahan-perubahan akibat peralihan rezim otoriter ke rezim demokratis. Artinya sustainabilitas dominasi kekuasaan mereka pada masa Orde Baru berhasil dipertahankan pada masa Reformasi. Bila disimak dengan seksama survivabilitas Dinasti Mustohfa pasca tumbangnya rezim Orde Baru, erat kaitannya dengan “kegagalan” rezim Reformasi dalam merestrukturisasi sistem politik, sosial dan ekonomi secara komprehensif. Perubahan struktur politik ditingkat nasional dan lokal tidak dibarengi dengan perubahan struktur sosial dan ekonomi secara komprehensif sehingga masih banyak mengalami ketimpangan. Setelah 14 tahun berdirinya rezim Reformasi, masih banyak dijumpai di beberapa wilayah, tingkat pendidikan formal maupun pendidikan nonformal masyarakat setempat yang masih rendah. Selain itu sumber-sumber ekonomi utama seperti perkebunan dan pertambangan di daerah itu masih terkonsentrasi ditangan sekelompok kecil korporasi maupun elit desa (salah satunya termasuk Dinasti Mustohfa), sehingga menyebabkan masyarakat dalam keadaaan terpaksa ataupun tidak harus tunduk patuh kepada keinginan-keinginan para elit tersebut, 2 termasuk ambisi politik. Tujuannya adalah untuk menjamin keberlangsungan distribusi jasa-jasa dan sumber-sumber penghidupan mereka (sustainabilitas subsistensi) yang dikuasai oleh dinasti politik. Kondisi tadi menyadarkan kita bahwa survivabilitas sebuah dinasti politik sangat bergantung kepada sustainabilitas hubungan timbal balik (reciprocal) yang terjalin dalam sebuah relasi patron-klien, yang menempatkan dinasti politik sebagai patron dan masyarakat sebagai klien. Terkait dengan pelaksanaan demokrasi di tingkat desa, rezim Orde Baru maupun rezim Reformasi masing-masing memiliki karakteristik yang berbeda. Orde Baru hadir dengan karakter yang tertutup dalam rekrutmen politik di tingkat desa. Sedangkan Reformasi hadir dengan rekrutmen politik yang lebih terbuka. Akibat dari rekrutmen politik yang tertutup tersebut, jabatan-jabatan politis seperti kepala desa sering berotasi diantara elit desa dari kelompok yang sama, walaupun dalam setiap suksesinya sudah dilakukan melalui demokrasi elektoral. Studi Antlov di salah satu desa di Jawa Barat dengan judul Negara Dalam Desa ; Patronase Politik Lokal (Antlov, 2003) membuktikan fenomena tersebut. Namun dinasti kepala desa yang ditemukan Antlov tersebut hanya bertahan pada masa Orde Baru saja. Rezim Orde Baru memberlakukan berbagai persyaratan dan seleksi yang ketat terhadap elit desa yang akan mengikuti Pilkades. Studi yang dilakukan oleh Latief di Jawa Tengah (Latief, 2000 : 191) dan Suharni dkk di Jawa Tengah dan DIY (Suharni dkk, 1992 : 36) menemukan bahwa berbagai tahapan seleksi di tingkat kabupaten harus diikuti oleh bakal calon kepala desa. Jika dalam 3 serangkaian seleksi tersebut mereka dinyatakan lolos, maka mereka berhak untuk mengikuti Pilkades di desanya masing-masing. Bahkan Antlov dalam salah satu risetnya di Jawa Barat mengemukakan bahwa selain harus lolos berbagai tahapan seleksi yang dilakukan oleh panitia skrining (screening) di tingkat kabupaten, seorang bakal calon kepala desa harus terlebih dahulu menyatakan diri atau paling tidak, dianggap sebagai pendukung Golkar. Peran negara yang sangat dominan ini untuk memastikan bahwa siapa pun yang bertarung dalam Pilkades adalah elit desa yang hanya memiliki monoloyalitas kepada negara dan Golkar sebagai partai negara. Jika mereka dianggap bukan pendukung setia negara maupun Golkar, maka sudah dapat dipastikan bahwa mereka tidak akan lulus dalam serangkaian seleksi tersebut. Loyalitas kepada negara ditunjukkan dengan kesediaan melaksanakan dan menyukseskan berbagai program pemerintah. Seperti yang diutarakan Mas’oed bahwa kebijakan publik dari pemerintah pusat yang melibatkan peran kepala desa itu terdapat dalam berbagai bidang, seperti bidang pembangunan perkebunan, kesehatan, penarikan pajak, dan lain-lain. Singkatnya hampir semua departemen di Jakarta punya proyek pembangunan yang pelaksanaannya memerlukan kepala desa sebagai pelaksana lapangan (Mas’oed, 2003 : 128). Kondisi itu memaksa kepala desa menjalani dualisme fungsi ; sebagai klien dari negara sekaligus patron bagi masyarakatnya. Sedangkan loyalitas kepada Golkar diwujudkan dengan mendukung Golkar untuk memenangkan setiap pemilihan umum (Pemilu) di wilayahnya. 4 Bagi sebuah dinasti politik yang dibesarkan di masa Orde Baru, dukungan dari negara memberikan andil yang cukup besar untuk mempertahankan jabatan kepala desa. Sebagai klien negara, kepala desa menjadi pejabat lapangan untuk melaksanakan program-program pemerintah. Di dukung oleh kondisi itu, kepala desa dapat menggunakan berbagai program pemerintah, sebut saja program bantuan desa (BANDES), Inpres desa tertinggal (IDT), dan program-program lainnya untuk melanggengkan kekuasaannya. Bantuan-bantuan tersebut bisa saja dimanipulasi kepala desa sebagai salah satu bentuk kedermawanannya (patron) untuk masyarakatnya (klien). Ada dua hal yang dapat ditarik dari Pilkades pada masa orde, terkait dengan kontestasi yang harus dilalui oleh seorang kandidat kepala desa untuk sampai pada kursi kekuasaan. Pertama, memenangkan “restu negara” melalui serangkaian persyaratan dan seleksi oleh pemerintah dari tingkat desa, kecamatan dan kabupaten. Kedua, sebagai jabatan politis, jabatan kepala desa harus dimenangkan melalui dukungan rakyat dengan suara terbanyak. Mas’oed bahkan memiliki pandangan yang lebih ekstrem terkait dengan Pilkades, menurutnya keberhasilan seseorang untuk menjadi pejabat desa itu (kepala desa) lebih banyak ditentukan oleh wewenang di luar desa melalui serangkaian seleksi oleh pejabat kabupaten daripada oleh para pemilih dalam desa (Mas’oed, 2003 : 127). Rekrutmen politik terbuka pada masa Reformasi ditandai dengan semakin beragamnya kontestan yang mengikuti Pilkades. Mereka berasal dari berbagai latar belakang dan ideologi politik yang berbeda. Kondisi ini disebab oleh dihapuskannya serangkaian persyaratan dan seleksi di tingkat kabupaten yang 5 selama ini dijadikan alat oleh pemerintah untuk menjegal bakal calon kepala desa yang dianggap tidak sejalan dengan pemerintah Orde Baru dan Golkar. Artinya kepala desa terpilih sudah terlepas dari kewajiban untuk memberikan loyalitas tunggalnya kepada negara dan Golkar, sekaligus penghapusan perannya sebagai klien bagi negara dan Golkar. Meskipun demikian, kehilangan posisi sebagai “klien” negara menjadi kerugian tersendiri bagi dinasti politik. Sebab, berbagai program dan bantuan pemerintah yang rutin disalurkan pada masa Orde Baru, sudah dihapuskan atau penggunaannya sudah lebih selektif karena pengawasan oleh lembaga baru seperti badan perwakilan desa (BPD). Selain itu proteksi negara terhadap “klien” setianya, dengan menjegal bakal calon kepala desa lainnya melalui sejumlah persyaratan dan tes sudah tidak ada lagi. Melihat berbagai kondisi di atas, pertarungan antar elit desa dalam Pilkades di masa Reformasi benar-benar mengandalkan kekuatan politik mereka sendiri untuk meraih dukungan masyarakat (pemilih). Elit yang menjadi kandidat kepala desa harus memiliki berbagai keunggulan sumber daya (resources) agar para pemilih yakin bahwa mereka layak menjadi pemimpin tertinggi di desanya. Bagi pejabat incumbent ataupun keluarganya tantangan menjadi lebih kompleks, sebab selain harus memiliki berbagai keunggulan sumber daya, masa kepemimpinan sebelumnya dijadikan tolak ukur apakah mereka masih layak untuk dipilih atau tidak. Mencermati berbagai kondisi pada masa Orde Baru dan Reformasi di atas, mempertahankan sebuah kekuasaan bukanlah hal yang mudah terutama pada saat transisi pergantian rezim pemerintahan. Hasrat beberapa kelompok masyarakat 6 untuk mengakhiri kekuasaan pejabat desa yang pernah menjadi “klien negara” di masa Orde Baru bermunculan, sebagai bentuk euforia atas kemenangan rezim Reformasi. Dalam kurun waktu 1998-1999, di Kecamatan Simpangkatis (saat itu masih berstatus kecamatan pembantu) ada dua desa, yaitu Sungkap dan Celuak yang mengalami kekisruhan politik. Kepala desa di dua desa itu terpaksa mengundurkan diri dari jabatannya karena desakan kuat dari berbagai elemen masyarakat di desanya masing-masing (Purnamawan, 12/03/2013; Syamsiar 12/03/2013; dan Sa’ib, 01/05/2013). Dua kasus tadi membuktikan bahwa pasca tumbangnya Orde Baru, masyarakat di kedua desa kehilangan kepercayaan dan dukungannya kepada para pemimpin desa yang merupakan produk Orde Baru dan warisan dinasti politik sebelumnya. Sebab Kepala Desa Celuak saat itu merupakan anak dari Kepala Desa Celuak periode sebelumnya. Sungguhpun demikian Dinasti Mustohfa berhasil melewati berbagai tantangan dari transisi dua rezim tersebut, dengan tetap eksis menguasai jabatan kepala desa. Kemenangan dinasti politik dalam setiap pergulatan politik pada dua rezim pemerintahan, disebabkan oleh sejumlah besar pendukung politik yang loyal terhadap mereka. Masing-masing generasi kepala desa dari dinasti politik ini mampu memelihara loyalitas pendukungnya, bahkan dari waktu ke waktu mereka mampu memperluas jumlah konstituennya. Artinya kepala desa pertama dari dinasti politik ini telah membangun sebuah jaringan kekuasaan, yang berhasil dipelihara dan diperkuat oleh generasi-generasi kepala desa berikutnya dari dinasti tersebut. 7 Loyalitas para pendukung politik ini hadir bukan tanpa sebab, mereka punya alasan tersendiri untuk tetap mendukung Dinasti Mustohfa memimpin Desa Puput. Ada hubungan baik yang terus dijaga oleh Dinasti Mustohfa terhadap para pendukung politiknya, dengan memberikan berbagai keuntungan dalam bentuk materi maupun nonmateri. Sehingga orang-orang yang berada dalam jaringan kekuasaannya merasa berkepentingan untuk terus mendukung mereka mempertahankan jabatan kepala desa, untuk menjamin sustainabilitas distribusi materi maupun nonmateri yang mereka terima. Dari berbagai uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa eksistensi Dinasti Mustohfa pada posisi puncak kekuasaan di Desa Puput ditopang oleh loyalitas para pendukung politik yang berada dalam sebuah jaringan klientelistik yang kuat dan luas. Terkait dengan durasi kekuasaannya yang lama, bekerjanya jaringan klientelistik Dinasti Mustohfa cenderung dinamis. Kondisi tersebut terkait dengan berbagai perubahan yang terjadi akibat perubahan struktur sosial, ekonomi dan politik yang terjadi di tingkat nasional maupun lokal. 2. PERUMUSAN MASALAH Dari uraian latar belakang di atas, maka pertanyaan penelitian yang muncul dalam penelitian ini adalah : “Mengapa sebuah keluarga mampu mempertahankan jabatan kepala desa dalam dua rezim pemerintahan yang berbeda ?” 8 3. TUJUAN PENELITIAN 1. Untuk melakukan pemetaan terhadap berbagai sumber daya yang digunakan oleh dinasti kepala desa untuk mempertahankan kekuasaannya. 2. Untuk mengetahui kalangan mana saja yang menjadi pendukung politik setia, bagi dinasti kepala desa. 3. Untuk mengetahui strategi dinasti kepala desa dalam mensiasati perubahanperubahan akibat pergantian rezim pemerintahan. 4. Untuk memotret wajah demokrasi lokal di tingkat desa masa Orde Baru dan masa Reformasi. 4. KERANGKA TEORITIK Untuk menganalisa eksistensi dinasti politik di tingkat desa, penulis menggunakan dua kerangkan teori. Teori yang pertama adalah kontestasi elit untuk membahas tentang persaingan-persaingan para elit desa memperebutkan jabatan kepala desa melalui sistem pemilihan langsung oleh rakyat. Teori yang kedua adalah parton-klien yang menunjukkan soliditas dan sustainabilitas hubungan dinasti kepala desa (patron) dengan para pendukung politiknya (klien). Walaupun kedua teori memiliki perpektif dan caranya masing-masing dalam menganalisa sebuah fenomena sosial maupun politik, namun penulis mengelaborasi keduanya dengan beberapa pertimbangan ; pertama, jabatan kepala desa adalah sebuah posisi politik tertinggi di desa, dimana untuk mendapatkan jabatan tersebut seorang kandidat harus menjadi pemenang (meraih suara terbanyak) dalam sebuah kompetisi elektoral (Pilkades). Maksudnya seorang 9 kandidat terlebih dahulu harus berhasil menggalang dukungan masyarakat (pemilih). Kedua, dilihat dari catatan panjang kemenangan Dinasti Mustohfa dalam setiap Pilkades Puput sejak tahun 1971, penulis yakin bahwa mereka memiliki pendukung politik luas dan loyal. Artinya mereka berhasil membangun sebuah jaringan kekuasaan untuk mempertahankan jabatan kepala desa tersebut. Jika kedua teori dikaitkan, maka loyalitas pemilih dalam kurun waktu yang lama salah satunya dapat diraih dan dipelihara melalui relasi patron-klien. Dinasti kepala desa sebagai patron mendistribusikan berbagai sumber daya berupa materi ataupun jasa kepada pemilih sebagai kliennya. Sedangkan pihak klien membalas pemberian tersebut, dengan selalu mendukung langkah-langkah politik patronnya terutama dalam memenangkan setiap Pilkades di Desa Puput. 4.1 Kontestasi Elit Desa Jabatan kepala desa merupakan jabatan eksekutif politis pertama di Indonesia yang harus diperoleh melalui pemilihan langsung oleh rakyat (demokrasi elektoral). Argumen ini didukung dengan kehadiran undang-undang No. 14 tahun 1946 tentang perubahan dalam stbld : 1907 no. 212 tentang pemilihan kepala desa (Pilkades). Undang-undang tentang Pilkades tersebut merupakan revisi terhadap golongan pemilih (yang memiliki hak suara) dalam Pilkades yang lebih diperluas lagi. Jika dalam Stb. 1907 No. 212 para pemilih hanya terbatas pada masyarakat yang merupakan kalangan elit desa karena faktor kekayaan, kedudukan, pekerjaan, keturunan dan lain-lainnya. Undang-undang No. 14 tahun 1946 memberikan hak memilih kepala desa, kepada setiap warga negara 10 laki-laki dan perempuan yang sudah berusia minimal 18 tahun atau sudah menikah. Jika undang-undang tersebut dicermati, ada perubahan yang sangat fundamental terkait dengan Pilkades. Pada masa kolonial Belanda pemilihan kepala desa sangat elitis, sebab para pemilih (voter) hanya terbatas pada kalangan “tokoh” desa saja. Pasca dikeluarkannya undang-undang No. 14 tahun 1946 pemilih berdasarkan status kewarganegaraan. Lahirnya undang-undang tersebut sebagai bentuk kepedulian negara terhadap hak-hak demokrasi rakyat dalam menentukan pemimpinnya, walaupun hanya pada tingkat desa. Artinya, sejak awal kemerdekaan orang-orang yang menginginkan jabatan politik tertinggi di tingkat desa tersebut, harus melewati dan memenangkan sebuah persaingan (kontestasi politik) antar kandidat kepala desa dalam sebuah pemilihan langsung oleh masyarakat, yang dikenal dengan Pilkades. Bagi kepala desa terpilih legitimasi atas kekuasaannya semakin kuat karena memenangkan sebuah kontestasi politik dalam sistem demokrasi elektoral. Memahami kontestasi politik dalam sistem demokrasi elektoral, Kang dalam tulisannya Race and Democratic Contestation menyatakan bahwa Kontestasi demokrasi adalah kompetisi deliberatif di antara para pemimpin politik untuk membentuk dan membingkai pemahaman masyarakat tentang politik elektif, kebijakan publik, dan urusan sipil. Ini meliputi proses dimana pemimpin berani, mendorong, dan menantang masyarakat untuk berpikir tentang politik. Persaingan pemilihan hanya satu elemen yang menonjol dari kompetisi yang lebih besar ini di antara para pemimpin politik untuk mempengaruhi sosial politik - 11 sebuah proses yang sehat dari kontestasi demokrasi yang menarik dalam dan melibatkan masyarakat dalam proses tersebut untuk memenangkan hati dan pikiran warga negara (Kang, 2008 : 738). Pendapat di atas mencerminkan bahwa produk dari sebuah kontestasi politik tidak hanya hadirnya seorang pemimpin yang terpilih. Lebih jauh, dampak dari kontestasi politik adalah tingkat pemahaman masyarakat yang lebih baik tentang demokrasi elektoral terutama tentang segala akibat positif maupun negatif yang muncul dari pilihan politik mereka, serta partisipasi aktif mereka dalam setiap pengambilan kebijakan publik dan kegiatan-kegiatan yang menyangkut kepentingan umum. Jika dikaitkan dengan kehidupan di desa, salah satu bentuk partisipasi aktif masyarakat adalah adanya kontrol sosial dan rasa solidaritas yang tinggi antar sesama penduduk desa. Menyangkut kontrol sosial yang berlaku di masyarakat desa, Said menjelaskan bahwa Kontrol sosial dalam khasanah pedesaan yaitu alat pengawasan warga desa terhadap segala bentuk interaksi dan hubungan sosial yang terjadi di masyarakat. Bila terjadi penyimpangan atau pelanggaran norma sosial dan adat istiadat yang dilakukan oleh individu maupun kelompok, maka masyarakat desa dapat menjatuhkan sanksi berdasarkan ketentuan yang berlaku di tingkat lokal (Said, 2007 : 334). Artinya, kontrol sosial yang berlaku di desa dapat pula digunakan oleh masyarakat untuk turut mengawasi jalannya pemerintahan desa. Jika terjadi pelanggaran atau penyimpangan yang dilakukan oleh kepala desa maupun elit pemerintahan desa lainnya, maka masyarakat dapat memberikan sanksi berupa 12 sanksi moral maupun sanksi politis. Salah satunya adalah jika seorang kepala desa melakukan penyalagunaan wewenangnya, maka dia tidak akan terpilih (menang) pada Pilkades periode berikutnya. Sistem yang demokratis menghendaki sebuah kontestasi politik terbuka bagi siapa saja untuk menjadi kandidat. Hal ini untuk menjamin adanya kesetaraan kesempatan bagi setiap masyarakat desa untuk memperebutkan jabatan kepala desa. Pendapat ini sejalan dengan pandangan Schumpeter yang mengartikan demokrasi dengan melibatkan suatu keadaan dimana setiap orang, pada prinsipnya, bebas bersaing memperebutkan kepemimpinan politik (Held, 2007 : 179). Pada prakteknya, demokrasi ala Schumpeterian tersebut hanya terbatas kepada kalangan elit desa saja. Artinya walaupun regulasi itu lahir dengan semangat demokrasi yang memberikan kesetaraan kesempatan bagi siapa saja untuk mengikuti kontestasi politik, namun kenyataannya hanya segelintir orang saja yang menjadi kontestan dalam setiap Pilkades. Kondisi ini berhubungan erat segala persyaratan yang ditetapkan dalam undang-undang dan peraturan-peraturan yang terkait lainnya. Selain itu yang terpenting adalah tuntutan masyarakat yang menghendaki agar pemimpinnya adalah orang-orang yang memiliki keunggulankeunggulan yang melebihi mereka. Orang-orang dengan keunggulan lebih inilah kemudian dikenal dengan elit. Argumen ini sejalan dengan pendapat Bottomore yang menyatakan bahwa elit sebagai kelompok-kelompok fungsional, terutama okupasional, yang memiliki status tinggi (demi alasan apapun juga) dalam suatu masyarakat. (Bottomore, 2006 : 11). 13 Keunggulan-keunggulan yang dimiliki oleh kalangan elit ini beragam karena ekonomi, kultural maupun politis. Seorang elit bisa saja memiliki salah satu dari keunggulan tersebut,atau bisa juga ketiganya. Dalam sebuah konteks demokrasi elektoral, semakin banyak jenis dan derajat keunggulan yang dimiliki oleh seorang elit desa semakin besar pula kesempatannya untuk memenangkan Pilkades. Namun yang patut dicatat adalah penggunaan keunggulan-keunggulan elit harus disesuaikan dengan struktur sosial masyarakatnya, serta perubahanperubahan sosial yang terjadi pada masyarakat tersebut. Pada masa Orde Baru, negara menerapkan pola rekrutmen politik yang tertutup, bahkan sampai pada rekrutmen politik di desa. Jabatan-jabatan politik di tingkat desa yang dipilih oleh masyarakat maupun yang berdasarkan penunjukkan, hanya diisi oleh segelintir orang yang dianggap sebagai “orang-orang” pemerintah atau Golkar. Pendapat ini mengacu pada pemikiran Gaffar bahwa dalam negara yang tidak demokratis, rekrutmen politik biasanya dilakukan secara tertutup. Artinya peluang untuk mengisi jabatan politik hanya dimiliki oleh beberapa gelintir orang saja (Gaffar, 2006 : 8). Rekrutmen yang bersifat tertutup ini ditandai dengan besarnya peran negara dalam menentukan bakal calon kepala desa untuk mengikuti Pilkades. Berbagai persyaratan dan seleksi di tingkat kecamatan maupun kabupaten adalah bentukbentuk campur tangan negara yang dapat menggagalkan bakal calon kepala desa menjadi kontestan dalam Pilkades. Dalam studinya di salah satu desa di Jawa Barat tahun 1990 Antlov menggambarkan kontrol negara yang begitu besar terhadap Pilkades. Sebagai langkah pertama kontrol negara terhadap proses 14 pemilihan ini (Pilkades), semua calon harus lolos dari apa yang dikenal sebagai skrining (screening). Riwayat hidup para calon diperiksa untuk memastikan bahwa mereka adalah pendukung Orde Baru yang setia. Proses ini dilakukan dengan dua cara ; pertama, setiap calon diwajibkan untuk mengisi sejumlah dokumen yang bahan-bahannya disiapkan dan disetujui oleh pejabat kecamatan … kedua, enam bulan sebelum pemilihan, proses skrining dilakukan dengan memanggil semua calon ke ibukota kabupaten (Bandung) untuk diwawancarai dan mengikuti ujian resmi lisan dan tertulis tentang Pancasila, sejarah Indonesia, hukum nasional, dan berbagai urusan lain yang penting bagi kepala desa Indonesia yang setia (Antlov, 2003 : 281-282.). Melalui kontrol pada berbagai tingkatan ini pihak kecamatan maupun kabupaten dapat menggagalkan orang yang dianggap tidak setia pada pemerintah. Salah satunya adalah bakal calon kepala desa yang menjadi kader PPP ataupun PDI (non Golkar). Sebab pada masa itu Golkar adalah partai pemerintah, sehingga tidak mendukung Golkar berarti tidak setia pada pemerintahan saat itu. Artinya siapapun yang lolos mengikuti Pilkades adalah elit-elit desa yang setia pada negara dan sudah menjadi kader Golkar. Peran negara yang sangat dominan tidak hanya terbatas dalam menentukan calon kepala desa saja. Rekrutmen jabatan perangkat desa, juga menjadi domainnya negara melalui kecamatan maupun kabupaten1. Kepala desa hanya berhak mengajukan nama-nama calon perangkat desa. Artinya negara bisa saja 1 Untuk lebih jelasnya lihat pasal 14, 15, dan 16 UU No. 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. 15 menolak usulan kepala desa jika calon yang diajukan dianggap tidak setia kepada negara dan Golkar. Antlov menambahkan bahwa pemimpin-pemimpin alternatif tidak diberi akses pada kekuasaan resmi melalui berbagai jalan. Secara hukum, monoloyalitas menjamin bahwa hanya anggota Golkar saja yang dapat menjadi pegawai negeri dan pamong desa (Antlov, 2003 : 227). Kelahiran rezim Reformasi membawa dampak yang besar bagi perubahan sistem politik nasional. Rezim Reformasi menghendaki Indonesia menjadi negara yang demokratis, dimana salah satu cirinya adanya kesetaraan kesempatan bagi setiap warga negara untuk mengikuti kompetisi memperebutkan jabatan-jabatan politis. Dalam konteks politik pedesaan, proses demokratisasi pada masa Reformasi, ditandai dengan redefinisi hak-hak politik masyarakat desa. Ketika rezim Orde Baru berakhir, setiap kalangan menuntut kembali hak-hak politiknya yang selama puluhan tahun dikebiri. Salah satu tuntutan yang paling sering ditemui adalah ledakan partisipasi politik dikalangan elit desa, yang ditandai dengan munculnya sejumlah kandidat kepala desa dalam setiap pelaksanaan Pilkades. Pandangan ini sejalan dengan pemikiran Gaffar tentang rekrutmen politik yang terbuka. Untuk memungkinkan terjadinya rotasi kekuasaan, diperlukan suatu sistem rekrutmen politik yang terbuka. Artinya, setiap orang yang memenuhi syarat untuk mengisi suatu jabatan politik yang dipilih oleh rakyat mempunyai peluang yang sama dalam melakukan kompetisi untuk mengisi jabatan tersebut (Gaffar, 2006 : 8). Pendapat tadi menegaskan bahwa meskipun kompetisi yang terbuka bagi siapa saja, tetapi orang-orang yang bertarung dalam sebuah 16 kontestasi politik harus memenuhi berbagai persyaratan yang ditetapkan dengan undang-undang, walaupun sudah lebih fleksibel dibandingkan masa Orde Baru. Hilangnya kontrol negara atas tahapan-tahapan Pilkades dan bakal calon kepala desa, memberikan ruang partisipasi politik yang semakin luas bagi masyarakat. Kondisi ini telah merangsang banyak elit desa untuk berkompetisi memperebutkan jabatan kepala desa. Pastinya kompetisi akan semakin sengit, dengan kehadiran elit-elit desa yang pada masa Orde Baru bukan bagian dari subordinasi negara maupun Golkar. Artinya, dalam kontestasi politik di tingkat desa demokrasi ala Schumpeterian baru benar-benar diterapkan pasca Reformasi. Rezim Reformasi ingin menyajikan pertarungan antar elit desa yang lebih beragam dibandingkan Orde Baru. Mereka berasal dari kekuatan politik lama yang ingin mempertahankan eksistensi kekuasaannya di desa. Dari sisi lain hadir pula elit desa baru, yaitu mereka yang sebelumnya tidak berani muncul pada masa Orde Baru, atau tidak pernah mendapatkan kesempatan karena perlakuan rezim yang diskriminatif. Sampai pada bagian ini, dapat difahami bahwa rezim Reformasi menghendaki persaingan yang adil (fair) dalam setiap Pilkades. Meskipun Reformasi memberikan ruang yang luas bagi kalangan elit desa untuk bersaing dalam Pilkades, namun tidak serta merta mereduksi kekuatankekuatan politik lama. Sebuah dinasti politik yang pernah berkuasa pada masa lalu, memiliki basis dukungan politik yang kuat, yang telah dibangun dan dipelihara sejak awal kekuasaannya. Pendapat ini sejalan dengan analisa Bakti yang menyatakan bahwa kekuasaan seorang elit (Puang) di Wajo dari Orde Baru sampai Reformasi, diperkuat melalui anggota kerabat dan kroni dalam 17 pemerintahan sehingga mencapai titik hegemoni. Dia (Puang) menunjuk kerabat untuk menduduki jabatan birokratif yang strategis “basah” dan menguntungkan. Melalui tempat tinggalnya orang memperoleh kenaikan pangkat, dan para keluarga muncul sebagai birokrat-birokrat yang berkuasa … Pasca Reformasi, organisasi-organisasi masyarakat sipil yang berpotensi mengimbangi dominasi Puang malah dimasukkan ke dalam rezimnya dengan memberikan bantuan dalam bentuk bangunan fisik dan dana. Demikian pula dengan kelompok-kelompok (LSM) yang mengkritisi pemerintahannya diiming-imingi dengan uang atau ditekan oleh Puang (Bakti, 2007 : 491-504). Penjelasan di atas, menunjukkan bahwa dalam mempertahankan kekuasaannya, elit keluarga tersebut mendistribusikan berbagai jabatan strategis kepada anggota keluarga dan orang-orang dekatnya. Sedangkan untuk orang atau kelompok yang berpotensi menjadi lawan politiknya didistribusikan sumber daya dalam bentuk materi ataupun dengan paksaan (coercive). Walaupun arena kontestasi dan kekuasaannya berbeda, yaitu desa dan kabupaten, namun hasil studi Bakti tersebut dapat dijadikan salah satu perspektif untuk mengkaji kontestasi elit di tingkat desa. Kemenangan kekuatan politik lama dalam setiap Pilkades memperlihatkan beberapa hal ; pertama, jaringan kekuasaan yang dimiliki elit lama yang terdiri dari anggota keluarga dan orang-orang dekat masih efektif digunakan untuk memenangkan kontestasi memperebutkan kekuasaan. Kedua, kekuatan elit lama semakin meluas dengan bergabungnya orang-orang dan organisasi-organisasi masyarakat yang berpotensi sebagai lawan politik, menjadi bagian dari jaringan 18 kekuasaannya. Ketiga, demokrasi yang dianggap memberikan kesempatan bagi elit lain untuk memegang jabatan politis, kenyataannya justru memperkuat hegemoni elit lama terhadap jabatan tersebut. Kalaupun ada elit baru yang mengisi jabatan-jabatan politik, namun mereka hanyalah bagian dari subordinasi dari elit lama, sehingga kehadiran mereka malah memperkuat jaringan kekuasaan elit lama. 4.2 Patron-Klien Untuk membaca survivabilitas sebuah dinasti politik, penulis juga menggunakan teori patron-klien sebagai kerangka analisis. Artinya ada jaringan kekuasaan yang sudah dibangun melalui jaringan patron-klien oleh sebuah dinasti politik, untuk memenangkan setiap kontestasi elektoral memperebutkan jabatan kepala desa. Beberapa literatur yang telah dihasilkan oleh beberapa ilmuwan sosial dan politik mengakui bahwa praktek-praktek kekuasaan patron-klien yang sudah ada pada masa pra-kolonial, tetap berlangsung pada masa Orde Baru, bahkan hingga saat ini. Pendapat tersebut dibenarkan oleh Eko Sutoro yang melihat adanya ciri khas seperti, kedudukan, tingkah laku dan keseluruhan hirarkhi dalam struktur kekuasaan sebagian besar tergantung pada hubungan personal kekeluargaan atau antara patron (bapak) dan klien (anak buah) (Sutoro, 2003 : 50). Konsep patron-klien sebenarnya berangkat dari teori pertukaran sosial (social exchange theory) yang dikemukakan oleh Blau, bahwa Ketidakseimbangan dalam masyarakat terhadap materi dan keadaan sosial adalah 19 menghasilkan perbedaan dalam kekuasaan (Spread, 1984 : 162). Maksudnya struktur kekuasaan muncul karena terjadinya suatu hubungan pertukaran yang tidak seimbang. Ketidakseimbangan pertukaran melahirkan kesenjangan kekuasaan dan ketidakseimbangan rasa hormat, sehingga menjadi sangat relevan dengan dasar hubungan patron-klien. Dalam konsep pertukaran sosial, mensyaratkan salah satu diantara dua pihak yg melakukan pertukaran harus memiliki sumber daya yang dibutuhkan oleh pihak lainnya, sedangkan pihak penerima (pihak lain tersebut) tidak memiliki sumber daya yang sama nilainya untuk dipertukarkan dengan pihak pemberi. Sehingga satu-satunya cara untuk membalas pertukaran ini adalah dengan memberikan kepatuhan (menerima posisi sebagai subordinasi) kepada pihak pemberi sumber daya tadi. Dalam konsepsi patron-klien membahas lebih spesifik tentang pertukaran sosial. Salah satu ilmuwan sosial dan politik, Scott mengemukakan bahwa Hubungan patron-klien sebagai hubungan pertukaran antara dua orang (dyadic) yang sebagian besar melibatkan persahabatan instrumental, di mana seorang individu yang lebih tinggi status sosial ekonominya (patron) menggunakan pengaruh dan sumber daya yang dimiliki untuk memberikan perlindungan dan/atau keuntungan kepada seseorang dengan status lebih rendah (klien) yang pada gilirannya membalas pemberian tersebut dengan dukungan dan bantuan, termasuk jasa pribadi kepada patron (Scott, 1972a : 92). Dalam hubungan patron-klien ada pihak yang menjadi superior (patron) dengan kelebihan status sosial dan ekonominya, dan pihak yang menjadi inferior (klien) karena status sosial dan ekonominya lebih rendah. Orang-orang berada 20 pada posisi sebagai inferior tidak dapat memenuhi kebutuhannya, sehingga membutuhkan bantuan orang lain untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Pada kondisi seperti inilah sang patron membantu memenuhi kebutuhan kliennya dengan status dan sumber dayanya. Pelras menambahkan bahwa hubungan patron-klien digolongkan sebagai hubungan yang tidak sejajar (tetapi tidak mengikat) antara atasan (patron atau pemimpin) dengan sejumlah bawahan (klien, pelayan, atau pengikut), berdasarkan pertukaran pelayanan yang asimetris, di mana secara de facto patron tergantung kepada para klien yang memberi pelayanan cuma-cuma yang bisa mencakup kewajiban secara ekonomis, tugastugas dengan upah atau tidak, menjadi prajurit perang, dukungan politik dan pelayanan lainnya, diimbangi dengan peran patron untuk menjadi figur pemimpin bagi semua klien dan pemberian bantuan, termasuk pinjaman uang dan perlindungan (Pelras, 1981 : 2-3). Masyarakat pedesaan secara umum saling mengenal satu sama lain karena lingkup kehidupan yang memang kecil. Frekuansi dan intensitas interaksi mereka cukup tinggi dalam kehidupan sehari-hari, baik antar masyarakat yang setara status sosial dan ekonominya, maupun antara masyarakat dengan status sosial dan ekonomi yang berbeda (antara elit desa dengan masyarakat biasa). Interaksi yang relatif mudah dilakukan di lingkungan sosial pedesaan disebabkan oleh kedekatan emosional (perasaan) masyarakatnya karena hubungan pertemanan maupun karena sebagian masyarakat desa masih memiliki hubungan kekerabatan. Melalui interaksi yang sering dilakukan, mereka mengetahui berbagai kesulitan yang dialami oleh tetangga, teman, dan kerabatnya. Demikian 21 pula sebaliknya, segala kelebihan atau keunggulan dalam berbagai aspek yang dimiliki oleh elit desa juga diketahui oleh masyarakatnya. Akibat yang ditimbulkan adalah munculnya kekuasaan, sebab masing-masing pihak akan saling “mendekat” dengan kondisinya masing-masing. Masyarakat yang tidak mampu berusaha memenuhi kebutuhannya dengan mencari bantuan pihak lain, sedangkan elit desa dengan segala sumber daya yang dimiliki dapat membantu masyarakat yang membutuhkan pertolongannya. Atas dasar kedekatan emosional dan bantuan-bantuan sumber daya itulah Scott membagi ikatan patron-klien menjadi dua ; ikatan yang bersifat afektif dan instrumental. Orang-orang yang terikat karena kedekatan emosional dengan seorang patron merupakan “pengikut inti (core)” dari sebuah ikatan patron-klien yang bersifat afektif, dan mereka begitu kuat terikat kepada patronnya. Sedangkan orang-orang yang terikat kepada patron hanya karena hadiah materi atau jasa dianggap sebagai “pengikut pinggiran (periphery)” dari ikatan patron-klien yang bersifat instrumental, dan ikatan ini relatif mudah terlepas (Scott, 1972a : 99). Walaupun demikian bukan berarti dalam ikatan afektif tidak terjadi pertukaran sumber daya materi ataupun jasa, namun itu bukan satu-satunya alasan terjalinnya relasi patron-klien. Bekerjanya relasi patron-klien di sebuah desa sangat tergantung kepada struktur ekonomi di desa tersebut. Desa-desa di mana sumber-sumber ekonomi utama seperti perkebunan, pertambangan dan yang lainnya, yang masih dikuasai oleh sekelompok kecil elit desa, serta angka kemiskinan yang masih tinggi, menjadi lahan subur bagi bekerjanya relasi patron-klien. Relasi yang terbangun 22 bersifat vertikal di mana ada elit desa biasanya berperan sebagai “atasan (patron)” dan masyarakat yang menjadi “bawahan (klien).” Patron biasanya memberikan perlindungan, bantuan material dan spiritual kepada anak-buahnya, dan sebagai imbalannya, para anak buah akan memberikan dukungan dan loyalitas kepada patron (Muhaimin, 1991 : 11). Namun, bila dicermati dalam relasi patron-klien sulit untuk menentukan siapa yang paling diuntungkan atas pertukaran-pertukaran tersebut, sebab bisa saja hal tersebut berlangsung secara seimbang. Patron menyediakan kebaikan, pekerjaan, perlindungan, atau bahkan jabatan, sedangkan klien menawarkan penghormatan dan dukungan politik. Sehingga jika dicermati hubungan semacam ini akan terasa sulit membedakan “siapa yang memanfaatkan siapa” sebab sebenarnya masing-masing pihak mendapatkan sesuatu yang diharapkannya (Muhaimin, 1990 : 25). Relasi patron-klien dapat digunakan untuk memahami dominasi sebuah dinasti politik desa di masa Orde Baru dan Reformasi. Kemenangan dalam setiap Pilkades dan mampu melewati transisi politik pasca pergantian rezim pemerintahan, menjadi bukti bahwa dinasti politik itu memiliki basis loyalitas pendukung politik yang terintegrasi ke dalam sebuah jaringan klientelistik yang kuat, dan kemampuan bertransformasi yang baik. Artinya, elektabilitas dinasti politik itu sangat tergantung kepada seberapa besar jaringan klientelistik yang berhasil dibangun dan dipelihara sepanjang sejarah kekuasaannya. Pelras mengungkapkan ada tiga cara dalam membangun jaringan patronklien, yaitu (Pelras, 1981 : 15-16) ; Pertama, dengan menunjukkan kedemawanan 23 dan membangkitkan rasa hormat dari kalangan pengikut dengan melindungi dan menjaga kesejahteraan mereka lebih baik dibanding yang lain. Kedua, dengan membangkitkan kebanggaan pengikut dan harapan akan masa depan yang lebih baik dengan menduduki jabatan tinggi atau tampak sebagai orang yang paling berpeluang untuk menduduki jabatan tersebut. Pengikut pada gilirannya akan merasa ikut terhormat, dan berharap memperoleh keuntungan dari jabatan pemimpinnya, karena dengan memegang jabatan tersebut meningkatkan peluang patron mereka untuk mendistribusikan kembali kekayaan yang diperolehnya. Ketiga, untuk memperluas jaringan pengikut adalah melalui ”perkawinan politik” dengan menikahi anggota keluarga bangsawan. Tujuannya adalah untuk menambah pengikut, kehormatan atau menaikkan status sosial. Pelras menambahkan bahwa pengikut dapat pula diperoleh melalui ; pertama, ”warisan”, ketika seorang patron meninggal dunia, pengikutnya terkadang mengabdikan kesetiaannya kepada salah seorang anak sang pemimpin, tetapi proses tersebut bukan hal yang terjadi secara otomatis. Kedua, dengan memperlihatkan karisma pribadi yang luhur. Pada kedua cara tersebut lanjut Pelras, yang harus diperhatikan adalah status sang patron, jabatan yang ia pegang, dan kepribadiannya (Pelras, 2006 : 206)2. Koentjaraningrat menambahkan bahwa karisma pribadi seorang pemimpin dalam masyarakat kontemporer ditandai dengan kepemilikan lambang-lambang kepemimpinan, dan memiliki ciri-ciri rohaniah yang disegani (Koentjaraningrat, 1984 : 140). 2 Sebenarnya menurut Pelras ada tiga cara untuk meraih pengikut, namun poin ketiga dalam manusia Bugis (2006 : 206) sama dengan poin ketiga dalam tulisan Pelras (1981) Hubungan Patron‐Klien pada Masyarakat Bugis dan Makassar di Sulawesi Selatan. 24 Kelima cara yang ditawarkan oleh Pelras berada dalam konteks kehidupan masyarakat Sulawesi Selatan dengan sistem stratifikasi sosialnya yang masih kaku. Sungguhpun demikian, kenyataannya kelima cara itu masih relevan berlaku pada masyarakat dengan sistem stratifikasi sosial yang luwes dan rawan mobilisasi sosial, di mana orang-orang yang menjadi patron hanyalah mereka yang memiliki kekayaan, jabatan, dan pengetahuan atau keahlian. Terkait dengan pertukaran sumber daya antara patron dengan kliennya, Scott (1972b : 9) mengklasifikasikannya sebagai berikut : Sarana dasar subsistensi. Dalam kehidupan di pedesaan, pelayanan utama yang diberikan oleh patron kepada klien berupa pekerjaan, jabatan-jabatan di pemerintahan desa atau organisasi desa3. Praktek-praktek seperti ini dapat kita temukan dalam pada masa Orde Baru di mana seorang elit desa mempekerjakan buruh yang juga merupakan pendukung politiknya yang setia. Disamping itu seorang kepala desa mengangkat para elit desa yang punya pengaruh besar di masyarakat menjadi perangkat desa atau pengurus organisasi desa lainnya. Jaminan krisis subsistensi. Umumnya, patron diharapkan memberikan pinjaman pada saat bencana ekonomi, membantu menghadapi krisis, atau membantu pada saat usaha klien dalam keadaan bangkrut. Jadi, patron diharapkan memberikan jaminan “dasar” subsistensi bagi kliennya dengan menyerap kerugian-kerugian (dalam usaha atau pekerjaan) yang dapat merugikan kehidupan klien jika tidak dilakukan oleh patron. 3 Organisasi desa yang dimaksudkan dalam tesis ini adalah organisasi keagamaan dalam hal ini pengurus mesjid, dan lembaga kemasyarakatan. Selanjutnya lembaga kemasyarakatan yang menjadi objek pembahasan penulis batasi menjadi tiga, yaitu ; LKMD (LPM), RT, dan RW dengan pertimbangan bahwa ketiga lembaga desa itulah yang banyak bersinggungan dengan pelayanan administrasi pemerintahan dan pembangunan di Desa. 25 Perlindungan. Perlindungan ini berarti melindungi klien dari gangguan atau tekanan dari pihak lain. Gangguan atau tekanan bisa saja datang dari musuh pribadi maupun dari pemerintah melalui tentara, pejabat, pengadilan, maupun pemungut pajak). Gangguan atau tekanan tersebut tidak hanya yang mengancam pribadi dan keluarga klien saja, namun mencakup juga ancaman terhadap usaha atau pekerjaannya. Perantara dan pengaruh. Jika patron melindungi kliennya dari perusakan atau intimidasi yang datang dari luar, ia juga menggunakan kekuatan dan pengaruhnya untuk menarik hadiah dari luar untuk kepentingan kliennya. Perlindungan merupakan peran defensifnya dalam menghadapi dunia luar; keperantaraan adalah peran agresifnya. Pelayanan kolektif patron. Secara internal, patron sebagai kelompok dapat melakukan fungsi ekonomi kolektif. Mereka bisa mengelola dan memberikan bantuan berupa subsidi untuk badan amal setempat, menyumbangkan tanah untuk kepentingan komunal, mendukung pelayanan publik lokal (seperti sekolah, jalanjalan kecil, dan bangunan masyarakat), tuan rumah kunjungan pejabat, dan sponsor festival desa dan perayaan. Arus barang dan jasa dari klien ke patron, menurut Scott pada umumnya sangat sulit untuk mengkarakterisasikannya karena, sebagai “orang” patronnya, seorang klien umumnya menyediakan tenaga dan keahliannya untuk kepentingan patron apa pun bentuknya, termasuk melayani sebagai anggota setia dari faksi patron lokal. Bagi klien, unsur kunci dari evaluasi ialah perbandingan antara jasa yang diterimanya dengan yang diberikannya. Makin besar nilai yang diterimanya 26 dari patron dibanding biaya yang harus ia kembalikan, maka makin besar kemungkinannya ia melihat ikatan ini sebagai sah (Scott, 1972b : 9-10). Penjelasan di atas menunjukkan bahwa baik patron maupun klien masingmasing memiliki sumber daya berupa materi atau jasa yang dapat dipergunakan dalam sebuah hubungan pertukaran. Artinya pertukaran dapat terjadi ketika sumber daya yang diberikan oleh patron dapat diterima oleh klien, dan sebaliknya patron dapat pula menerima sumber daya yang diberikan oleh kliennya. Dengan demikian, walaupun di awal disebutkan bahwa hubungan patron-klien merupakan hubungan pertukaran yang tidak seimbang, namun kenyatannya hubungan yang terjalin bersifat saling menguntungkan (simbiosis mutualisme). Bila dikontekskan dengan keperluan studi tentang dinasti kepala desa ini, pemikiran Scott tadi dapat disederhanakan seperti berikut ini Tabel 1.1 Arus Pertukaran Materi dan Jasa Antara Dinasti Kepala Desa dan Klien No 1. 2. 3. 4. Arus Pertukaran Materi dan Jasa Dari Dinasti Kepala Desa No Dari Klien ke ke Klien Dinasti Kepala Desa Distribusi sumber daya 1. Dukungan suara pada setiap ekonomi Pilkades Lapangan kerja 2. Dukungan terhadap kinerja patron Jabatan formal di desa 3. Membela patron dalam konflik Pelayanan spiritual Perlu diperhatikan bahwa hubungan patron-klien bukanlah hubungan bersifat permanen dan tertulis, artinya sewaktu-waktu salah satu pihak dapat memutuskan hubungan tersebut. Hal tersebut bisa disebabkan oleh baik patron 27 maupun klien sudah merasa tidak nyaman lagi dengan hubungan tersebut karena berbagai alasan, atau kondisi klien yang mengalami peningkatan hidup sehingga tidak membutuhkan bantuan patronnya lagi. Terkait dengan pernyataan tersebut Putra menyatakan bahwa hubungan patron-klien juga perlu didukung oleh norma-norma dalam masyarakat yang memungkinkan pihak yang lebih rendah kedudukannya (klien) melalukan penawaran, artinya bilamana salah satu pihak merasa bahwa pihak lain tidak memberi seperti yang diharapkannya, dia dapat menarik diri dari hubungan tersebut tanpa terkena sanksi masalah (Putra, 2007 : 4-9). Hubungan kerjasama antara patron dan klien sangat dibutuhkan dalam dunia politik terutama dalam konteks politik di pedesaan. Terlebih lagi bagi sebuah dinasti politik yang ingin mempertahankan kekuasaannya melalui kontestasi elektoral. Terkait hal tersebut Scott menambahkan bahwa di satu sisi, pemilihan umum dapat dilihat sebagai pembentukan kembali mekanisme redistributif dari pengaturan tradisional. Sekali lagi posisi patron menjadi agak lebih tergantung pada persetujuan sosial komunitasnya-persetujuan sosial yang kini didukung oleh kekuatan untuk mengalahkan dia atau kandidat di tempat pemungutan suara. Tidak dapat bergantung pada paksaan langsung, dan dihadapkan dengan pesaing, patron pemilu tahu ia harus (kecuali kalau kekuatan ekonomi lokalnya adalah menentukan) biasanya menawarkan kliennya hal yang lebih baik daripada saingannya jika ia berharap untuk mempertahankan kekuasaan setempat (Scott, 1972a : 109-110). 28 Pendapat di atas menunjukkan bahwa karir politik patron sangat tergantung kepada dukungan para kliennya. Patron harus mampu menampilkan diri sebagai kandidat yang paling layak dipilih, berupa distribusi berbagai sumber daya sebelum maupun setelah pemilihan dilaksanakan. Apalagi dalam sebuah kontestasi politik, kandidat lainnya (lawan politik) juga menawarkan berbagai sumber daya kepada para pemilih, termasuk kepada klien dari seorang patron. Kondisi ini memaksa patron harus bisa membaca sumber daya apa yang cocok untuk diberikan kepada kliennya, sebab mereka berasal dari berbagai latar belakang yang berbeda. Sumber daya ekonomi atau materi mungkin cocok diberikan kepada klien yang sedang mengalami kesulitan ekonomi. Terkait argumen tersebut Wantchekon menjelaskan bahwa hasil empiris menunjukkan klientelisme berhasil untuk semua jenis kandidat tetapi sangat baik untuk kandidat regional dan incumbent. Saya berpendapat bahwa daya tarik kredibilitas klientelis dan aksesibilitas terhadap barang klientelis sangat mempengaruhi perilaku pemilih … Misalnya, kandidat incumbent memiliki sarana untuk membuat daya tarik klientelis lebih kredibel dengan memberikan sebagian barang yang dijanjikan sebelum pemilu. Kandidat oposisi dapat mengambil keuntungan dari ketidakmampuan yang terungkap dari incumbent dalam menyediakan barang-barang publik selama siklus pemilu sebelumnya untuk membuat jenis barang publik yang dijanjikan lebih menarik dan lebih kredibel (Wantchekon, 2003 : 421-422). Distribusi jabatan formal di desa adalah salah satu langkah politik yang tepat dalam rangka memperluas jaringan klientelisme. Klien dari elit desa 29 memiliki pengaruh di kalangan keluarga maupun orang-orang dalam kelompoknya. Merekrut mereka ke dalam jaringan klientelisme dinasti kepala desa, maka keluarga dan orang-orang dalam kelompoknya dengan sendirinya menjadi pendukung politik bagi dinasti kepala desa. Selama sang patron dapat menjamin sustainabilitas pekerjaan atau jabatan mereka, maka selama itu pula para klien selalu memberikan loyalitas politik kepada patronnya. Sebab bila karir politik patronnya berakhir, maka para klien juga akan kehilangan pekerjaan maupun jabatannya. Terkait hal tersebut Itoh menambahkan bahwa Kesetiaan seorang pendukung politik kepada pemimpinnya karena beberapa alasan diantaranya, karena keyakinan politik yang sama, hubungan baik, kepribadian yang saling mengisi, dan yang terpenting adalah karir seorang pendukung politik sangat tergantung kepada kesuksesan karir politik pemimpinnya (Itoh, 2003 : 140-141). 5. STUDI TENTANG DINASTI POLITIK YANG SUDAH DIHASILKAN Salah satu kesulitan dalam menyusun tesis ini adalah penulis belum (tidak) berhasil menemukan literatur-literatur dengan pokok bahasan yang sama tentang dinasti kepala desa. Meskipun lingkup kekuasaannya kecil namun posisi politik kepala desa cukup signifikan karena bersentuhan langsung dengan kehidupan masyarakat dan aktifitas pelayanan publik. Sehingga peran kepala desa cukup menentukan bagi kesuksesan program-program pemerintah. Penulis mereview dua studi yang membahas tentang dinasti politik yang telah dihasilkan oleh ilmuwan sosial dan politik. 30 Bakti memotret peran politik seorang elit lokal di Kabupaten Wajo Sulawesi Selatan dalam membangun dinasti politik, melalui tulisannnya yang berjudul Kekuasaan Keluarga di Wajo Sulawesi Selatan. Perubahan rezim politik Orde Baru ke Reformasi tidak serta merta mengakhiri dominasi politik sang puang (nama tokoh sentral dalam tulisan Bakti). Bahkan kekuasaannya menjadi semakin menguat pasca Reformasi dengan adanya liberalisasi politik sampai tingkat lokal. Beberapa jabatan penting dan strategis di eksekutif maupun di legislatif Wajo telah dikooptasi oleh Puang dengan menempatkan orang-orang dari kalangan keluarga maupun orang-orang yang dekat dengannya. Dominasi Puang juga merambah dalam ranah organisasi-organisasi non pemerintah seperti KNPI dan ICMI. Artinya berbagai sumber daya (resource) yang melekat pada jabatanjabatan tersebut turut mengalir dan dinikmati pula oleh Puang dalam rangka memperluas jaringan politik klientelismenya. Namun yang perlu diperhatikan adalah jaringan klientelisme yang dibangun oleh Puang hanyalah terbatas dari kalangan keluarganya dan teman-teman dekatnya saja. Cerita-cerita tentang lawan-lawan politik yang berhasil dia rangkul menjadi bagian dari barisan pendukungnya tidak tergambar dalam tulisan Bakti ini. Kalaupun ada hanyalah keberhasilan dia “berdamai” dengan kalangan LSM, organisasi lokal, dan pers untuk tidak mengkritisi gaya pemerintahan dan politik dinastinya. Selain itu literatur yang ditawarkan oleh Bakti ini hanya menggambarkan tentang keberhasilan Puang menempati puncak kekuasaan di Kabupaten Wajo sebagai Ketua DPRD dan kemudian menjadi Bupati. 31 Eksistensi dinasti politik Wajo ini masih belum teruji mengingat kekuasaan Puang baru berumur satu periode, apalagi jabatan Bupati dimenangkannya melalui pemilihan oleh DPRD Wajo yang sebagian besar anggotanya adalah aliansi politik Puang dari kalangan kerabat dan kawan dekatnya. Artinya jabatan Puang sebagai Bupati belum teruji melalui sistem pemilihan elektoral, dan survivabilitas dinasti politik ini juga belum teruji karena belum ada keluarga dekat Puang yang berhasil mewarisi jabatan yang sama sebagai Bupati di Wajo. Keberhasilan Puang membangun dinasti politiknya juga tidak terlepas dari faktor stratifkasi sosial masyarakatnya yang kaku, dengan kehadiran kaum bangsawan dan non bangsawan. Bagaimanapun Puang juga mewarisi kekuasaan tradisional yang mendudukkannya sebagai salah satu bangsawan di Wajo, demikian pula dengan isterinya. Bagi masyarakat Wajo maupun Sulawesi Selatan kaum “ningrat” ini masih dianggap layak untuk menduduki berbagai jabatan politik setempat. Dalam lingkup yang lebih kecil Antlov dengan karyanya yang berjudul Negara Dalam Desa : Patronase Kepemimpinan Lokal, mencoba menganalisa jaringan klientelisme di tingkat desa pada masa Orde Baru. Negara berperan sebagai patron dan kepala desa sebagai klien dari negara, serta disaat yang sama kepala desa bertidak sebagai patron bagi masyarakatnya. Peran ganda seperti ini merupakan syarat mutlak bagi seorang elit desa untuk meraih jabatan kepala desa maupun jabatan-jabatan di pemerintahan desa dan organisasi desa lainnya. Cerita-cerita tentang upaya sekelompok elit desa untuk membangun sebuah dinasti politik juga tergambar cukup jelas dalam literatur ini. Seorang kepala desa 32 yang pernah berkuasa selama 4 tahun di era 1957-1960 dan kemudian 8 tahun (satu periode) dari tahun 1981-1990 berhasil mewariskan jabatan tersebut kepada besannya pada periode berikutnya (1990-1998). Namun berdirinya dinasti politik tersebut didukung oleh kekuatan patronase negara yang sangat dominan pada masa Orde Baru. Eksistensi dinasti politik ini serta-merta berakhir pasca runtuhnya rezim otoriarian tersebut, artinya, kekuatan dinasti kepala desa itu sangat rentan terhadap pergantian rezim pemerintahan. 6. DEFINISI KONSEPTUAL Agar fokus penelitian lebih jelas dan terarah, maka penulis membuat pembatasan dan penegasan terhadap definisi konsep, yaitu sebagai berikut : 1. Dinasti politik atau dinasti kepala desa adalah sekumpulan orang atau elit desa yang masih memiliki hubungan keluarga dekat yang saling mendukung dan secara bergantian menduduki jabatan kepala desa melalui pemilihan kepala desa (Pilkades) pada periodenya masing-masing. 2. Elit desa adalah sekumpulan kecil orang (minoritas) yang bertempat tinggal di desa, yang karena keunggulan atau kelebihan berupa materi ataupun nonmateri memiliki pengaruh atau kekuasaan atas masyarakat lainnya (mayoritas) di desa tersebut. Biasanya elit desa menduduki berbagai jabatan formal di desa atau kalangan tertentu dengan status sosial yang lebih tinggi dari masyarakat desa lainnya. 33 3. Relasi adalah bentuk hubungan antara dua aktor yang berbeda dalam dunia politik maupun lainnya, di mana terjadi hubungan tukar-menukar kepentingan antara keduanya. 4. Patronase atau patron-klien adalah interaksi diadik yang bersifat timbal balik (reciprocal), dan saling menguntungkan di antara individu-individu yang berperan sebagai patron dan klien yang memiliki perbedaan penguasaan sumber daya. Patron menawarkan kebaikan, pekerjaan, bantuan ekonomi dan perlindungan bagi klien. Di sisi lain klien menawarkan dukungan politik dan penghormatan kepada patron, yang ditampilkan dalam berbagai bentuk simbol (sikap kepatuhan, bahasa yang hormat, hadiah dan seterusnya). 5. Klientelisme adalah jaringan yang digunakan untuk melakukan pendistribusian sumber daya patronase, melalui transaksi antara politisi (patron) dan warga (klien) dimana hadiah materi yang ditawarkan sebagai imbalan atas dukungan politik dalam pemilu. 6. Kontestasi elit adalah persaingan para elit dalam memperebutkan suatu jabatan politik melalui pemilihan langsung oleh rakyat di suatu wilayah berdasarkan tingkatannya masing-masing. 7. DEFINISI OPERASIONAL Untuk memudahkan pengumpulan data, maka defenisi konseptual yang ada dioperasionalkan ke dalam indikator-indikator agar mampu menggambarkan dan menjelaskan gejala-gejala yang dapat diuji kebenarannya. Adapun operasionalisasi konsep dalam penelitian ini meliputi hal-hal sebagai berikut : 34 1. Dinasti Kepala Desa atau Dinasti Mustohfa adalah H. Mustohfa dan anak keturunannya dari dari garis anaknya yang pertama yaitu H. Mazlah. Penulis sengaja membatasi anggota dinasti politik ini dari keturunan Mazlah karena beberapa hal ; pertama, pasca Mustohfa, penerus dinasti ini hanya berasal dari garis keturunan Mazlah. Kedua, Mazlah dan keluarganya memiliki sumber daya patronase yang lebih besar dan lebih kuat dibandingkan anak-anak Mustohfa lainnya, dan mereka bergerak secara aktif menggunakan sumber daya patronasenya itu terutama ekonomi, untuk memelihara dan memperluas jaringan klientelistik yang sudah dibangun oleh Mustohfa. Mazlah beserta anak dan menantunya secara bergantian terjun dalam kontestasi elektoral (Pilkades) untuk mempertahankan sustainabilitas dominasi kekuasaan keluarganya di Desa Puput pasca berakhirnya periode kekuasaan Mustohfa. 2. Elit desa yang dimaksud dalam penelitian ini adalah orang-orang yang memiliki pengaruh dan kekuasaan atas masyarakat di Desa Puput. Oleh karena pengaruh dan kekuasaan itu mereka bisa memobilisasi masyarakat dalam rangka mencapai tujuan-tujuan politiknya sendiri maupun tujuan politik orang lain, salah satunya Dinasti Mustohfa. Dalam konteks penelitian ini elit Desa Puput terdiri dari tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh pemuda, guru, PNS, perangkat desa, pengurus organisasi desa, pengusaha, pimpinan partai politik, petani kaya dan lain-lain. Sebagian dari elit Desa Puput adalah anggota jaringan klientelistik Dinasti Mustohfa, sedangkan yang lainnya merupakan lawan politik dinasti tersebut. 35 3. Relasi dalam penelitian ini dilihat sebagai pola hubungan yang terjadi antara Dinasti Mustohfa dengan para elit desa dan masyarakat yang menjadi bagian dari jaringan klientelistiknya. Pada prakteknya dinasti kepala desa melakukan beberapa pendekatan dengan kalangan elit desa maupun masyarakat agar mereka menjadi pendukung politik yang setia ; pertama, pendekatan dan kerja sama dengan para elit desa, di mana terjadi transaksi kepentingan antara keduanya. Dinasti Mustohfa merangkul mereka melalui distribusi berbagai pekerjaan, jabatan perangkat desa, dan pengurus organisasi desa, serta distribusi materi langsung dalam berbagai bentuk. Kedua, pendekatan dan kerja sama dengan masyarakat, di mana terjadi transaksi kepentingan antara keduanya. Dinasti kepala desa mendistribusikan kepada mereka pekerjaan, dan materi serta jasa dalam berbagai bentuk. 4. Patronase atau patron-klien di sini dipahami sebagai hubungan diadik yang bersifat timbal balik (reciprocal), saling menguntungkan antara Dinasti Mustohfa dengan elit desa dan masyarakat di Desa Puput dalam aktiftas sehari-hari maupun aktifitas pemerintahan desa. Masing-masing pihak yang berelasi ini menjadikan sumber daya pribadi maupun sumber daya jabatan sebagai barang atau jasa yang saling dipertukarkan. Dinasti Mustohfa menawarkan materi, jasa, pekerjaan, jabatan perangkat desa, dan pengurus organisasi desa. Sedangkan elit desa dan masyarakat memberikan dukungan politik untuk Dinasti Mustohfa berupa ; mobilisasi dan dukungan suara pada setiap Pilkades, mendukung kinerja patron, dan membela patron pada saat berkonflik dengan pihak lain. 36 5. Klientelisme dalam penelitian ini dipahami sebagai orang pribadi yang terdiri dari elit desa dan masyarakat, maupun organisasi-organisasi yang ada di Desa Puput berupa organisasi keagamaan, kemasyarakatan, perempuan, kepemudaan dan olahraga, yang menerima distribusi sumber daya patronase dalam berbagai bentuk dari Dinasti Mustohfa. Selanjutnya orang-orang dan organisasi-organisasi tersebut secara pribadi ataupun kolektif memobilisasi orang-orang dekatnya dan anggotanya agar mendukung setiap langkahlangkah politik Dinasti Mustohfa. 6. Kontestasi elit adalah persaingan antara elit Dinasti Mustohfa dengan elit desa lainnya dalam memperebutkan jabatan kepala desa melalui pemilihan langsung (Pilkades) di Desa Puput dari tahun 1971 sampai dengan 2011. Pada masa Orde Baru kontestasi elit lokal ini diwarnai dengan intervensi negara yang sangat besar dalam setiap Pilkades melalui serangkaian persyaratan dan tes, sehingga dukungan negara mutlak dibutuhkan untuk memenangkan jabatan kepala desa. Di masa Reformasi intervensi negara hilang, sehingga para kandidat hanya mengandalkan kekuatan politiknya sendiri untuk meraih posisi puncak di sebuah desa. 8. KERANGKA FIKIR Kerangka pikir merupakan kesatuan dari teori, dalil-dalil maupun konsepkonsep yang dijadikan acuan dalam penelitian. Dalam kerangka fikir diuraikan hubungan dan keterkaitan antara variable-variabel dalam penelitian, dan selanjutnya oleh penulis variabel-variabel itu diterangkan lebih mendalam agar 37 sesuai dengan keperluan penelitian yang pada akhirnya dapat menemukan jawaban atas pertanyaan penelitian. Dalam penelitian ini, penulis mengkombinasikan dan mengelaborasi teori patron-klien dan teori kontestasi elit menjadi sebuah kerangka analisis bagi fenomena dinasti kepala desa (dinasti politik) beserta data-data dan temuan-temuan terkait fenomena tersebut. Gambar 1.1 Kerangka Fikir Dinasti Kepala Desa (Patron) o Dukungan pada Pilkades o Pendukung kinerja patron o Pembela patron dlm konflik Konversi Jabatan Kepala Desa o Bantuan materi o Pekerjaan o Jabatan di desa o Pelayanan spiritual Pengikut (Klien) 9. METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan salah satu penelitian kualitatif, yang mana dengan menggunakan metode penelitian ini, penulis dapat mengeksplorasi pengalaman subjektif orang, dan makna yang mereka hubungkan dengan pengalamanpengalaman tersebut (Marsh dan Stoker, 2010 : 242). Untuk meneliti fenomena dinasti kepala desa, penulis menggunakan salah satu varian metode kualitatif yaitu studi kasus. Menurut Yin studi kasus merupakan strategi yang lebih cocok bila pokok pertanyaan suatu penelitian berkenaan dengan how atau why, bila peneliti 38 hanya memiliki sedikit peluang untuk mengontrol peristiwa-peristiwa yang diselidiki, dan bilamana fokus penelitiannya terletak pada fenomena kontemporer (maka kini) di dalam konteks kehidupan nyata (Yin, 2002 : 1). Metode studi kasus sangat cocok untuk kepentingan penelitian ini dalam mengungkap eksistensi dinasti kepala desa di desa Puput. Melacak kemampuan dinasti kepala desa dalam mempertahankan kekuasaannya hanya bisa dilakukan melalui riset lapangan yang mencakup kegiatan mencatat, mengamati, mendengarkan, merasakan, mengumpulkan dan menangkap semua fenomena data dan informasi tentang kasus yang diteliti (Salim, 2006 : 123). Dalam rangka untuk mengumpulkan data primer maupun skunder, penulis telah melakukan penelitian selama 40 hari dari tanggal 28 September sampai dengan 6 November 2012. Sungguhpun demikian menyangkut kelengkapan data, setelah waktu tersebut penulis masih melakukan beberapa wawancara via telepon seluler (handphone) dengan beberapa informan lama maupun informan baru. Selain itu untuk keperluan data tertulis, penulis juga menghubungi dinas atau instansi terkait via email. 9.1 Lokasi Penelitian Studi ini dilakukan di Desa Puput yang termasuk ke dalam wilayah Kecamatan Simpangkatis Kabupaten Bangka Tengah Propinsi Kepulauan Bangka Belitung. Lokus ini dipilih karena desa ini sampai saat ini masih dipimpin oleh kepala desa yang berasal dari satu keluarga yang sama sejak lebih dari empat dekade yang lalu. Walaupun secara prosedural proses demokrasi telah dijalankan 39 dalam setiap suksesi kepemimpinan di desa tersebut, melalui pemilihan kepala desa. Fenomena ini relevan dengan permasalahan yang akan diteliti oleh penulis. 9.2 Teknik Pengumpulan Data Dalam penelitian ini pengumpulan data menggunakan dua sumber bukti, yaitu ; wawancara mendalam (indepth interview) dan dokumentasi. Kedua sumber bukti (data) tersebut sangat diperlukan untuk melacak eksistensi sebuah dinasti kepala desa yang hidup dalam dua sistem politik yang berbeda. a. Wawancara Mendalam (Indepth Interview) Wawancara mendalam merupakan data primer sehingga penulis sangat memperhatikan siapa informan yang diwawancarai dan di mana wawancara itu dilakukan. Disamping itu, hal ini terkait dengan informan yang menjadi target wawancara tentu saja memiliki latar belakang yang berbeda, dan pandangannya yang berbeda pula terhadap fenomena yang diteliti. Sehingga sangat mempengaruhi jawaban dan pemaknaan (interpretasi) terhadap pertanyaanpertanyaan yang penulis ajukan pada saat wawancara. Menurut Marsh dan Stokker wawancara mendalam memungkin orang untuk menceritakan kisah mereka sendiri dengan bahasa yang akrab bagi mereka. Ketika pembahasan isuisu mengalir secara alami, dimungkinkan unuk memahami logika argumen terwawancara dan pemikiran asosiatif yang mendorong mereka pada kesimpulan tertentu (Marsh dan Stoker, 2010 : 242). 40 Wawancara mendalam yang dilakukan juga berdasarkan pada sebuah panduan wawancara yang telah disusun, pertanyaan-pertanyaan terbuka, dan peyelidikan informal untuk memfasilitasi wawancara yang telah penulis lakukan dengan informan tentang kasus yang penulis teliti ini, dan pertanyaan-pertanyaan yang penulis buat dengan cara tidak terstruktur. Sebab panduan wawancara hanya dibutuhkan untuk pengecekan topik yang akan dicakup, walaupun urutan pembahasannya tidak ditentukan sebelumnya. Pertanyaan terbuka digunakan untuk memungkinkan informan berbicara panjang lebar tentang suatu topik permasalahan yang menjadi fokus penelitian penulis. Bahkan pada beberapa situasi, peneliti bahkan bisa meminta responden untuk mengetengahkan pendapatnya sendiri terhadap peristiwa tertentu dan bisa menggunakan proposisi tersebut sebagai dasar penelitian selanjutnya (Yin, 2002 : 109). Untuk kebutuhan data penelitian penulis telah mewawancarai 25 orang informan secara langsung maupun via telepon seluler. 1. Tujuh orang informan utama terdiri dari ; a. Kepala desa incumbent. b. Mantan kepala desa periode 1996-2005 dan 2005-2011. c. Kakak kandung kepala desa incumbent. d. Ibu kandung kepala desa incumbent. e. Mantan perangkat desa yang pernah menjadi kandidat kepala desa pada Pilkades 1995. f. Mantan ketua LKMD (LPM) 1996-2011 yang pernah menjadi kandidat kepala desa pada Pilkades 1995. 41 g. Tokoh masyarakat yang pernah menjadi lawan politik dinasti kepala desa pada awal Reformasi. Selanjutnya yang bersangkutan menjadi orang dekat dan tim sukses dinasti kepala desa pada Pilkades 2005. 2. Dua orang informan dari perangkat Desa Puput. 3. Satu orang mantan perangkat Desa Puput. 4. Satu orang anggota badan permusyawaratan desa (BPD). 5. Tiga orang informan dari tokoh agama. 6. Dua orang informan dari tokoh perempuan. 7. Dua orang informan dari tokoh pemuda. 8. Dua orang informan dari mantan PNS yang pernah bertugas di Kecamatan Simpangkatis, dan saat ini bertugas di tempat lain. 9. Dua orang informan dari PNS yang sedang bertugas di Kecamatan Simpangkatis. 10. Dua orang dari tokoh masyarakat . 11. Satu orang ketua partai politik Desa Puput. Penulis menemui beberapa kendala terkait pengumpulan dan kelengkapan data, diantaranya minimnya catatatan tentang sejarah kepemimpinan dan Pilkades di Desa Puput, termasuk masa bakti masing-masing kepala desa. Pemerintah Desa Puput, pihak kecamatan, maupun keluarga kepala desa tidak memiliki data-data yang lengkap. Untuk keperluan tersebut penulis melakukan crosscheck dengan beberapa mantan perangkat desa, staf kecamatan dan mantan staf kecamatan, dan beberapa tokoh agama dan tokoh masyarakat senior di Desa Puput. Demikian pula dengan berbagai sumber daya patronase yang dimiliki dinasti kepala desa yang 42 penulis terima dari mereka tidak lengkap, sehingga penulis mengkonfirmasi dengan dinas atau instansi terkait berkenaan dengan data-data tersebut. Sehingga data yang berhasil dikumpulkan cukup akurat dan dijamin validitasnya. b. Dokumentasi Dokumentasi sebagai data skunder cukup penting guna menunjang keberhasilan penelitian ini. Data-data tersebut berupa dokumen tertulis mengenai Pilkades, pemerintah desa, dan terkait dinasti kepala desa serta datadata lainnya yang memiliki relevansi dengan kepentingan penelitian. Untuk studi kasus, penggunaan dokumen yang paling penting adalah mendukung dan menambah bukti dari sumber-sumber lain (Yin, 2002 : 104). Berikut ini data skunder yang berhasil dihimpun. No Jenis Data 1. Peraturan tentang Pemerintahan Desa Peraturan tentang Pemilihan Kepala Desa Peraturan tentang Organisasi Kemasyarakatan 2. 3. Sejarah Desa Data Perangkat Desa Organisasi Kemasyarakatan Luas lahan perkebunan Pertambangan Perdagangan Data perekonomian lainnya Sumber Data UU No. 14 / 1946 UU No. 5 / 1979 UU No. 19 / 1965 UU No. 32 / 2004 Permendagri No. 6 / 1981 Keppres No. 28 / 1980 Profil desa Potensi desa Keterangan www.presidenri.go.id http://www.kemendagr i.go.id Kecamatan Dalam Angka Data perkebunan Potensi Desa Puput Profil Desa Puput BPS Bangka Tengah PPL BPK Kec. Simpangkatis Kantor Kepala Desa Puput Kantor Kepala Desa Puput 43 9.3 Analisa Data Walaupun data primer dan skunder masing-masing dapat berdiri sendiri, namun untuk kepentingan penelitian ini penulis mengkombinasikan kedua data tersebut agar data yang dibutuhkan dapat saling menunjang dan melengkapi. Dari data primer dan sekunder yang masih mentah di atas, penulis menganalisis dan menginterpretasikan secara kritis untuk menangkap serangkaian makna yang tersembunyi di balik realitas yang ada. Proses analisis dan interpretasi data ini penulis lakukan sejak dalam proses wawancara mendalam dengan para informan. Setelah itu, penulis melakukan reduksi data untuk melihat data atau informasi mana yang menurut penulis signifikan dan sesuai dengan kasus dan permasalahan dalam penelitian ini. Dari penjelasan tadi dapat dilihat bahwa proses penafsiran data telah penulis lakukan melalui proses yang terjadi secara terus-menerus dan berkelanjutan dalam rentang waktu tertentu, yakni mulai dari pengumpulan data sampai dengan pengambilan kesimpulan. Dengan harapan bahwa penelitian yang telah dilakukan oleh penulis dan telah terwujudkan dalam tesis ini sudah menemukan realitas yang sesungguhnya tentang kemampuan sebuah dinasti politik di Desa Puput mempertahankan jabatan kepala desa dalam dua rezim pemerintahan yang berbeda. 10. SISTEMATIKA PENULISAN Dalam rangka untuk mengantarkan penulis sampai pada jawaban atas pertanyaan penelitian, Tesis ini disusun dalam enam bab. Bab pertama adalah 44 pendahuluan, terdiri dari ; latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, kerangka teoritik, studi dinasti politik yang telah dihasilkan, definisi konseptual, definisi operasional, metode penelitian, dan yang terakhir sistematika penulisan. Bab kedua menggambarkan tentang struktur sosial ekonomi masyarakat dan sejarah elit dinasti kepala desa. Bagian ini akan membahas tentang struktur sosial dan ekonomi masyarakat Desa Puput dan sejarah elit dinasti kepala desa sejak tahun 1971 sampai saat ini. Penulis yakin bahwa kondisi-kondisi tersebut memberikan iklim yang kondusif bagi tumbuh dan berkembangnya sebuah dinasti politik yang dibingkai dalam relasi patron-klien. Pembahasan pada bagian ini terdiri dari subbab ; pertama, Mengenal sekilas Desa Puput. Kedua, struktur sosial dan ekonomi yang terbagi dalam ; sistem kekerabatan, pendidikan, dan ekonomi. Ketiga, sejarah elit dinasti kepala desa yang terdiri dari ; H. Mustohfa, H. Mazlah, H. Jumrah Toha dan H. Zulkarnain. Selain itu pada subbab kedua ini penulis juga menganggap penting untuk mengulas tentang trauma masa lalu masyarakat Desa Puput terhadap kepemimpinan kepala desa yang berasal dari luar dinasti kepala desa. Tujuannya untuk membandingkan kepemimpinan dinasti kepala desa dengan elit-elit desa lainnya pada periodenya masing-masing. Bab ketiga, mendeskripsikan tentang basis sumber daya patronase yang dimiliki oleh dinasti kepala desa. Bagian ini akan mengulas tiga basis sumber daya patronase yang digunakan oleh dinasti kepala desa untuk meraih dukungan politik dari berbagai kalangan di Desa Puput. Pembahasan bagian ini terdiri dari tiga subbab ; pertama, sumber daya ekonomi yang terbagi lagi menjadi ; 45 perkebunan, pertambangan, dan perdagangan. Kedua, kualitas personal atau individu yang terdiri dari ; keahlian spiritual. Ketiga, jabatan politik yang terdiri dari ; jabatan perangkat desa dan organisasi desa. Bab keempat, arena membangun dan memelihara jaringan klientelisme. Bagian ini akan mengulas tentang di arena mana saja dinasti kepala desa membangun jaringan klientelisme, dan sumber daya apa saja yang didistribusikan melalui masing-masing arena tersebut. Bab ini terdiri dari enam subbab ; pertama, Pelayanan Spiritual (Keagamaan), kedua, Distribusi Sumber Daya Ekonomi, yang terbagi menjadi ; Distribusi Sumber Daya Ekonomi Rutin dan Distribusi Sumber Daya Ekonomi Insidentil. Ketiga, Rekrutmen Jabatan Formal. Keempat, Rekrutmen Tenaga Kerja (Buruh). Bab kelima, Efektifitas dan Dinamika Klientelisme. Bagian ini akan mengulas tentang peran jaringan klientelisme dalam mereproduksi dukungan politik pada setiap Pilkades di Desa Puput sejak tahun 1971. Kemudian dilanjutkan dengan pembahasan tentang berbagai fragmentasi dalam tubuh klientelisme serta bagaimana Dinasti Mustohfa mengkonsolidasikan kembali jaringan klientelismenya. Bagian ini terdiri dari tiga subbab ; pertama, Efektifitas jaringan klientelisme, yang terbagi ke dalam ; Reproduksi dukungan politik di masa Orde Baru, dan Reproduksi dukungan politik di masa Reformasi. Kedua, Fragmentasi klientelisme, yang terbagi menjadi ; Keretakan jaringan klientelisme dan Konflik ; Melawan kekuatan supra desa dan intra desa. Ketiga, Potensi konsolidasi klientelisme. 46 Bab keenam, merupakan penutup dari seluruh penulisan tesis ini, dan merupakan jawaban atas pertanyaan penelitian. Pembahasan dalam bagian ini menyajikan kesimpulan dan refleksi teoritik atas temuan penelitian. 47