FENOMENA DINASTI POLITIK PEMERINTAH DESA (Studi Desa Malang Rapat Kecamatan Gunung Kijang Kabupaten Bintan Tahun 2012) NASKAH PUBLIKASI Oleh ROZALI NIM. 090565201053 PROGRAM STUDI ILMU PEMERINTAHAN FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI TANJUNGPINANG 2015 FENOMENA DINASTI POLITIK PEMERINTAH DESA (Studi Desa Malang Rapat Kecamatan Gunung Kijang Kabupaten Bintan Tahun 2012) ROZALI Mahasiswa Ilmu Pemerintahan, FISIP UMRAH Tujuan Penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor apa saja yang menjadi penyebab bertahannya sistem dinasti politik di pemerintahan desa hingga saat ini, terutama di desa Malang Rapat Kecamatan Gunung Kijang Kabupaten Bintan kemudian juga untuk mengetahui manfaat dan kerugian apa yang ditimbulkan dengan adanya sistem dinasti politik pemerintahan desa khususnya di desa Malang Rapat Kecamatan Gunung Kijang Kabupaten Bintan. Metode Penelitian yang penulis gunakan adalah metode penelitian deskritif kualitatif. Teknik penelitian dan pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu teknik wawancara dan observatif. Teknik analisis yang penulis gunakan adalah dengan menggunakan analisa interaktif meliputi penelaahan data melalui Reduksi data dan Sajian Data. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa bertahannya sistem dinasti politik di Desa Malang Rapat Kecamatan Gunung Kijang Kabupaten Bintan disebabkan relasi patron dan klien sangat kuat. Bapak Sakri yang memiliki pengaruh besar di Desa Malang Rapat dikarenakan dukungan kerabat yang secara estafet memimpin desa, dukungan kemapanan secara ekonomi yang kuat serta juga berpengaruh terhadap terciptanya posisi patron yang melekat pada bapak Sakri dan kerabat. Sistem dinasti Politik yang terlaksana di Desa Malang Rapat hingga saat ini tidak menjamin pemimpin selanjutnya sistem kepemimpinan yang baik apabila patron tersebut hanya bertopang pada kekuatan perekonomian pribadi saja. Jika sistem dinasti politik terus berjalan tanpa pengawasan melalui regulasi peraturan, maka penyalagunaan kewenangan kemungkinan besar dapat terjadi. Hal inilah yang akan merugikan rakyat jika sistem dinasti politik di Desa Malang Rapat terus berjalan. Kata Kunci : Relasi Patron Klien PHENOMENA DYNASTY POLITICS GOVERNMENT OF THE VILLAGE (Study village of Malang Rapat Gunung Kijang Bintan Regency in 2012) ROZALI Students of Science Of Government, FISIP, UMRAH Purpose of this study was to determine what the cause of the persistence of system political dynasty in the village administration to date, particularly in the village of Malang Rapat of Gunung Kijang Bintan Regency then also to know the benefits and disadvantages of what is generated by the system of political dynasties village administration especially in the village of Malang Rapat of Gunung Kijang Bintan Regency. Methods used by the writer is descriptive qualitative research methods. Research and data collection techniques used in this study, the interview and observational techniques. Analytical techniques that I use is to use interactive analysis includes a review of the data through data reduction and data dish. Based on the results of this study concluded that the survival of the system of political dynasties in the village of Malang Rapat Gunung Kijang Bintan Regency caused patron and client relationships are very strong. Mr. Sakri which has great influence in the village of Malang Rapat due to the support of relatives in the relay lead the village, support the establishment of strong economic basis and also influence the creation of the position of patron inherent in Sakri father and relatives. Political dynasties systems are implemented in the village of Malang Rapat today does not guarantee the next leader good leadership system where patrons only rely on the strength of the private economy only. If the system of political dynasties continue to run unattended through regulatory legislation, then the likely misuse of authority may occur. This will be detrimental to the people if the system of political dynasties in the village of Malang Rapat continues to run. Keywords: Patron Klien Relations FENOMENA DINASTI POLITIK PEMERINTAH DESA (Studi Desa Malang Rapat Kecamatan Gunung Kijang Kabupaten Bintan Tahun 2012) A. Latar Belakang Pemerintah daerah merupakan sub sistem Pemerintah Republik Indonesia yang terendah, walaupun begitu desa mempunyai kedudukan yang cukup strategis, karena sebagian besar penduduk ada di pedesaan, sehingga pemerintah sangat memperhatikan terhadap perkembangan maupun pembangunan desa, seperti yang di kemukakan oleh Suhartono (2001:9) bahwa orang kebanyakan (umum) memahami desa sebagai tempat dimana bermukim penduduk dengan “peradaban” yang lebih terbelakang ketimbang kota. Biasanya dicirikan dengan bahasa ibu yang kental, tingkat pendidikan yang relatif rendah, mata pencaharian yang umumnya di sektor pertanian. Bahkan terdapat rakyat, bahwa pemahaman umum memandang desa sebagai tempat bermukim para petani. Pasca reformasi setelah tahun 1998 untuk pengaturan desa diawali pada Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, dimana dalam undang-undang tersebut desa didefinisikan adalah “desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dalam sistem pemerintahan nasional dan berada di Daerah Kabupaten”. Kemudian lebih lanjut Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah diganti dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah, terkait dengan pemerintahan desa dapat di lihat pada Bab XI (pasal 200 sampai dengan pasal 216), dan sebagai peraturan pelaksana dari undang-undang tersebut dapat juga dilihat pengaturannya pada Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa. Untuk lebih lanjut pengaturan tentang desa, pada tanggal 15 Januari 2014 telah disahkan dan diundangkannya undang-undang tentang desa secara khusus, yaitu Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Dalam pasal 121 undang-undang tersebut menyebutkan bahwa “Pada saat undang-undang ini mulai berlaku, Pasal 200 sampai dengan Pasal 216 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku”. Desa pada dasarnya merupakan cerminan dari negara, karena desa adalah bagian pemerintahan terkecil dan yang paling bawah dari negara. Desa merupakan satuan pemerintahan terkecil yang melaksanakan fungsi-fungsi pelayanan kepada masyarakat. Di samping itu, desa juga merupakan wadah partisipasi rakyat dalam aktivitas politik dan pemerintahan. Desa seharusnya merupakan media interaksi politik yang simpel dan dengan demikian sangat potensial untuk dijadikan cerminan kehidupan demokrasi dalam suatu masyarakat negara. Pemilihan kepala desa secara langsung yang telah ditegaskan dan diatur di dalam pasal 203 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian selanjutnya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang desa telah mencabut pasal-pasal terkait dengan desa yang termuat di dalam undang-undang sebelumnya tersebut. Hal ini tentunya merupakan wujud dari sebuah demokratisasi desa sebagai sub sistem Pemerintah Republik Indonesia yang terendah. Namun realitas yang terjadi, bahwa proses demokrasi yang di aplikasikan pada pemilihan kepala desa di setiap daerah terkadang sering diwarnai dengan kecurangan-kecurangan, baik itu dalam bentuk money politik, tawar-menawar penyelenggara pemilihan dengan calon, dan hal yang sangat merusak proses demokratisasi adalah adanya dominasi politik kekeluargaan atau kekerabatan yang mengakibatkannya terciptanya dinasti-dinasti politik pada pemerintahan di desa. Demokrasi esensial seharusnya berkorelasi positif terhadap terciptanya pluralisme aktor. Dalam politik kekerabatan, yang terjadi justru sebaliknya. Artinya, aktor yang muncul dalam proses demokrasi ini berputar di sekitar itu-itu saja. Tidak muncul variasi aktor. Sudah bisa dipastikan bahwa pola politik kekerabatan sebenarnya telah membajak demokrasi. Para elite itu "menunggangi" prinsip demokrasi yang memberikan peluang seluas-luasnya kepada setiap warga negara yang memiliki hak konstitusional untuk dipilih atau memilih. Mereka berperilaku seolah-olah mengikuti proses demokrasi. Padahal, mereka membajak demokrasi itu sendiri. Mengentalnya politik kekerabatan itu, dikhawatirkan akan membawa banyak efek negatif. Politik kekerabatan ini pada dasarnya memberi peluang menguatnya nepotisme, patron-klien, patrimonalisme, dan sistem rekrutmen yang tidak transparan dengan berbagai turunannya. Sudah saatnya kita belajar dari dampak negatif dinasti politik di beberapa daerah. Pada masa Orde Baru, dinasti politik telah menjadi ”momok” dan diyakini menjadi penyebab utama maraknya korupsi, kolusi, dan nepotisme. Besarnya pengaruh politik kekerabatan pada pemilihan kepala desa pada desa Malang Rapat Kecamatan Gunung Kijang memiliki dampak pada tertutupnya kemungkinan untuk calon-calon yang sedikit memiliki hubungan keluarga pada masyarakat desa tersebut namun disisi lain calon ini memiliki program yang jauh lebih baik untuk desa akan terhambat maju menjadi kepala desa setempat. Melihat hal ini, karena rendahnya rata-rata taraf pendidikan masyarakat setempat, membuat pilihan warga terhadap pemimpinnya terkadang tidak objektif. Masyarakat desa malang rapat terkenal dengan tingginya rasa kekeluargaan. Memungkinkan menjadikan seorang pemimpin dari suatu keluarga yang memiliki pengaruh dari keluarga yang kuat. Sejak tahun 1996 hingga saat ini, yang menjabat kepala desa malang rapat masih memiliki hubungan persaudaraan. Hal ini tentunya membuktikan kuatnya pengaruh politik kekeluargaan pada pemilihan kepala desa Malang Rapat. Desa Malang Rapat berada di Kecamatan Gunung Kijang Kabupaten Bintan yang memiliki jumlah penduduk atau Daftar Pemilih Tetap dalam pemilihan kepala desa adalah berjumlah ±1280 jiwa. Berdasarkan uraian diatas penulis ingin mengetahui dan mempelajari data dan fakta sebenarnya yang terjadi dilapangan terhadap keberlangsungan dinasti politik di pemerintahan desa dilihat dari proses demokrasi pada pemilihan kepala desa, desa Malang Rapat Kecamatan Gunung Kijang Kabupaten Bintan, oleh karena itu penulis mengambil judul penelitian: “FENOMENA DINASTI POLITIK PEMERINTAH DESA (Studi Desa Malang Rapat Kecamatan Gunung Kijang Kabupaten Bintan Tahun 2012)”. B. Landasan Teoritis 1. Dinasti Politik Dinasti politik merupakan sekumpulan orang atau elit penguasa yang masih memiliki hubungan keluarga dekat yang saling mendukung dan secara bergantian menduduki kekuasaan melalui pemilihan pada periodenya masingmasing (Komar, 2013: 33). Dinasti politik dalam dunia politik modern dikenal sebagai elit politik yang berbasiskan pertalian darah atau perkawinan sehingga sebagian pengamat politik menyebutnya sebagai oligarkhi politik. Dalam konteks Indonesia, kelompok elit adalah kelompok yang memiliki kemampuan untuk yang mempengaruhi proses pembuatan keputusan politik. Sehingga mereka kadang relatif mudah menjangkau kekuasaan atau bertarung merperebutkan kekuasaan. Sebelum munculnya gejala dinasti politik, kelompok elit tersebut diasosiasikan elit partai politik, elit militer dan polisi, elit pengusaha atau pemodal, elit agama, elit preman atau mafia, elit artis, serta elit Aktifis. 2. Patron Klien Menurut Patrick Spread (dalam Samsul Komar, 2013: 19-20) bahwa konsep patron-klien berangkat dari teori pertukaran sosial (social exchange theory) yang dikemukakan oleh Blau, bahwa ketidakseimbangan dalam masyarakat terhadap materi dan keadaan sosial adalah menghasilkan perbedaan dalam kekuasaan. Maksudnya struktur kekuasaan muncul karena terjadinya suatu hubungan pertukaran yang tidak seimbang. Ketidakseimbangan pertukaran melahirkan kesenjangan kekuasaan dan ketidakseimbangan rasa hormat, sehingga menjadi sangat relevan dengan dasar hubungan patron-klien. Dalam konsep pertukaran sosial, mensyaratkan salah satu diantara dua pihak yg melakukan pertukaran harus memiliki sumber daya yang dibutuhkan oleh pihak lainnya, sedangkan pihak penerima (pihak lain tersebut) tidak memiliki sumber daya yang sama nilainya untuk dipertukarkan dengan pihak pemberi. Sehingga satu-satunya cara untuk membalas pertukaran ini adalah dengan memberikan kepatuhan (menerima posisi sebagai subordinasi) kepada pihak pemberi sumber daya tadi. Bekerjanya relasi patron-klien di sebuah desa sangat tergantung kepada struktur ekonomi di desa tersebut. Desa-desa di mana sumber-sumber ekonomi utama seperti perkebunan, pertambangan dan yang lainnya, yang masih dikuasai oleh sekelompok kecil elit desa, serta angka kemiskinan yang masih tinggi, menjadi lahan subur bagi bekerjanya relasi patron-klien. Relasi yang terbangun bersifat vertikal di mana ada elit desa biasanya berperan sebagai “atasan (patron)” dan masyarakat yang menjadi “bawahan (klien).” Patron biasanya memberikan perlindungan, bantuan material dan spiritual kepada anak-buahnya, dan sebagai imbalannya, para anak buah akan memberikan dukungan dan loyalitas kepada patron (Muhaimin, 1991 : 11). Dalam hubungan patron-klien menurut Pelras bahwa ada pihak yang menjadi superior (patron) dengan kelebihan status sosial dan ekonominya, dan pihak yang menjadi inferior (klien) karena status sosial dan ekonominya lebih rendah. Orang-orang berada pada posisi sebagai inferior tidak dapat memenuhi kebutuhannya, sehingga membutuhkan bantuan orang lain untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Pada kondisi seperti inilah sang patron membantu memenuhi kebutuhan klien-nya dengan status dan sumber dayanya. Pelras menambahkan bahwa hubungan patron-klien digolongkan sebagai hubungan yang tidak sejajar (tetapi tidak mengikat) antara atasan (patron atau pemimpin) dengan sejumlah bawahan (klien, pelayan, atau pengikut), berdasarkan pertukaran pelayanan yang asimetris, di mana secara de facto, patron tergantung kepada para klien yang memberi pelayanan cuma-cuma yang bisa mencakup kewajiban secara ekonomis, tugas-tugas dengan upah atau tidak, menjadi prajurit perang, dukungan politik dan pelayanan lainnya, diimbangi dengan peran patron untuk menjadi figur pemimpin bagi semua klien dan pemberian bantuan, termasuk pinjaman uang dan perlindungan (dalam Samsul Komar, 2013: 20-21). 3. Pemerintahan Desa Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 pasal 1 angka 2 memberikan definisi dari pemerintahan desa adalah “penyelenggaraan urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Lalu pada angka 3 memberikan definisi pemerintah desa adalah “Kepala desa atau yang disebut dengan nama lain dibantu perangkat desa sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan desa”. Penyelenggaraan pemerintahan desa merupakan sub sistem penyelenggaraan pemerintahan, sehingga desa memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakatnya. Dalam pemerintahan daerah kabupaten/kota dibentuk pemerintahan desa yang terdiri dari Pemerintah Desa dan Badan Permusyawatan Desa. Pemerintah desa terdiri atas kepala desa dan perangkat desa. Kepala desa menurut undang-undang dipilih seacara langsung oleh dan dari penduduk desa warga negara Republik Indonesia. Jika pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 menyebutkan bahwa “masa jabatan kepala desa adalah 6 (enam) tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya” namun kemudian di dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 pada pasal 39 bahwa “Kepala desa memegang jabatan selama 6 (enam) tahun terhitung sejak tanggal pelantikan dan kepala desa dapat menjabat paling banyak 3 (tiga) kali masa jabatan secara berturut-turut atau tidak secara berturut-turut”. Menurut Undang-Undang Permusyawaratan Desa (BPD) Nomor berfungsi 6 Tahun 2014, Badan membahas dan menyepakati Rancangan Peraturan Desa bersama Kepala Desa; menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat desa; dan melakukan pengawasan kinerja kepala desa. C. Hasil Penelitian A. Faktor Sosiologis Masyarakat Desa Malang Rapat Faktor sosiologis masyarakat Desa Malang Rapat dapat dilihat dari beberapa aspek. Sebagaimana pada paparan terkait bab tentang gambaran umum Desa Malang Rapat. Jika dilihat dari aspek mata pencahariannya, mayoritas mata pencaharian masyarakat Desa Malang Rapat adalah nelayan yaitu sebesar 17%, selanjutnya adalah karyawan di berbagai usaha baik berbadan hukum maupun tidak berbadan hukum sebesar 13%, kemudian buruh tani sebesar 10%, lalu wiraswasta adalah sebesar 11% dan kemudian ada beberapa mata pencaharian atau pekerjaan masyarakat Desa Malang Rapat yang tidak terlalu dominan diantaranya PNS, PTT, Honorer, Petani, Tukang semen, pedagang dan lain-lain. Dengan ini, maka dapat disimpulkan bahwa mayoritas mata pencaharian masyarakat Desa Malang Rapat adalah nelayan. Namun yang perlu diketahui juga bahwa tingkat tertinggi persentase masyarakat yang tidak bekerja adalah berstatus sebagai Ibu Rumah Tangga yaitu sebesar 47%. Selanjutnya apabila dilihat dari aspek tingkat pendidikan dari masyarakat Desa Malang Rapat, dapat dilihat bahwa masih sangat sedikit sekali warga dari masyarakat Desa Malang Rapat yang lulus dari perguruan tinggi dan menjadi sarjana. Rata-rata lulusan pendidikan dari warga setempat adalah lulusan SD, SLTP dan SLTA. Bahkan untuk yang tidak lulus dari tingkat SD juga banyak. Persentase lulusan SD adalah sebesar 19%, lulusan SLTP sebesar 20%, lulusan SLTA sebesar 12%. Namun untuk warga setempat yang tidak lulus pada tingkat SD adalah sebesar 30%, kemudian untuk tingkat buta huruf adalah sebesar 2%, untuk yang belum menginjak ke pada jenjang pendidikan atau tidak sekolah adalah sebesar 16%. Dan kemudian untuk lulusan S1 hanya sejumlah 1%. Berdasarkan sumber data dari kantor Desa Malang Rapat, dapat penulis menyimpulkan sementara bahwa tingkat pendidikan masyarakat Desa Malang Rapat masih cukup rendah. Apabila kita lihat dari kehidupan beragama masyarakat Desa Malang Rapat, dapat dikatakan bahwa mayoritas agama yang dipeluk oleh masyarakat Desa Malang Rapat adalah beragama Islam yaitu sebesar 86%, lalu untuk pemeluk agama Kristen Khatolik adalah sebesar 9%, untuk Budha adalah sejumlah 3%, kemudian untuk agama Kristen Protestan adalah sejumlah 2%. Lalu apabila dilihat pada kesukuan warga setempat adalah mayoritas bersuku melayu yaitu sejumlah 62%, selanjutnya suku jawa sejumlah 16%, lalu untuk suku flores sejumlah 13%, suku sunda sejumlah 4%, suku bugis sejumlah 3%, dan untuk suku buton, batak, minang dan suku lainnya berjumlah rata-rata 2%. B. Pemilihan Kepala Desa Malang Rapat Tahun 2012 Pemilihan kepala Desa Malang Rapat pada tahun 2012 dilaksanakan pada tanggal 8 April 2012. Peserta Pemilihan kepala desa pada saat itu berjumlah 3 (tiga) calon diantaranya adalah : 1) Nomor urut 1 yaitu Bapak Yusran munir 2) Nomor urut 2 yaitu Bapak Sakri 3) Nomor urut 3 yaitu Bapak Rasidi. Kemudian setelah pemungutan suara dilakukan, perolehan suara yang dihasilkan oleh masing-masing calon kepala Desa Malang Rapat Tahun 2012 adalah sebagai berikut : - Nomor urut 1, Bapak Yusran munir : 234 suara - Nomor urut 2, Bapak Sakri : 923 suara - Nomor urut 3, Bapak Rasidi : 84 suara Karena bapak Sakri mendapatkan perolehan suara tertinggi, maka pada saat itu ditetapkanlah Bapak Sakri sebagai kepala desa terpilih periode 2012-2018. Apabila di lihat dari jumlah pemilih tetap pada pemilihan kepala desa tersebut adalah berjumlah 1.480 yang terdiri dari 773 untuk jumlah pemilih laki-laki dan 707 untuk jumlah pemilih perempuan, kemudian pemilih yang menggunakan hak suaranya adalah berjumlah 1.250 (84,46%) dan yang tidak menggunakan hak pilih atau surat suara tidak sah adalah berjumlah 230 (15,54%). Dengan ini maka dapat dikatakan bahwa partisipasi pemilih dalam pemilihan kepala Desa Malang Rapat tahun 2012 cukup tinggi, karena persentase pemilih yang menggunakan hak suaranya melebihi 60 % dari jumlah pemilih tetapnya. C. Relasi Patron dan Klien Dalam Menjaga Sistem Dinasti Politik Desa Malang Rapat. Dari semua pernyataan yang disampaikan oleh para informan, bahwa kehidupan sosiologis masyarakat di Desa Malang Rapat telah dapat diukur baik dari aspek mata pencaharian atau pekerjaan, pendidikan, agama, suku dan yang lainnya. Apabila dilihat dari aspek mata pencaharian dapat diketahui bahwa mayoritas mata pencaharian atau pekerjaan masyarakat Desa Malang Rapat di dominasi oleh pekerjaan sebagai nelayan yaitu sebesar 17% dan yang tidak bekerja sebanyak 47% yang di dominasi oleh Ibu Rumah Tangga. Dari aspek pendidikan juga terdapat stratifikasi, yang mana berdasarkan persentase bahwa masyarakat yang tidak lulus SD adalah sebanyak 30%, lalu untuk masyarakat yang lulus SD adalah sebanyak 19%, lulus SLTP sebanyak 20%, lulus SLTA sebanyak 12% dan lulus S1 sebanyak 1%. Terkait paparan penulis tersebut diatas, dengan ini maka dapat dikatakan bahwa tingkat pendidikan masyarakat Desa Malang Rapat masih sangat rendah dan kemudian pada aspek pekerjaan, mayoritas pekerjaan masyarakat Desa Malang Rapat adalah nelayan walau disisi lain hampir sebagian besar adalah berstatus tidak bekerja yaitu dari kalangan ibu rumah tangga. Menurut penulis untuk pekerjaan atau mata pencaharian nelayan pada dasarnya tidak dapat memberikan jaminan kesejahteraan atau kemakmuran dalam menghidupi keluarga bagi sebagian warga yang bekerja sebagai nelayan. Melihat kondisi seperti ini, maka dapat diidentifikasi bahwa jenis kelompok masyarakat seperti ini adalah masuk pada kelompok klien. Jika dilihat dari aspek kehidupan sosial budaya yaitu dari kesukuan masyarakat Desa Malang Rapat, mayoritas suku di desa tersebut adalah melayu dan mayoritas agama yang dianut oleh masyarakat Desa Malang Rapat adalah Islam. Dengan ini kehidupan spritual dan kesukuan tentunya sangat berpengaruh kuat terhadap pola kehidupan masyarakat tersebut. Pada intinya kehidupan beragama dan kesukuan di Desa Malang Rapat berjalan harmonis. Berdasarkan informasi yang disampaikan oleh beberapa informan tersebut baik dari pemilih maupun RT, dapat penulis menarik kesimpulan sementara bahwa telah terjadi transaksi politik tanpa disadari klien yang dilakukan oleh patron, terutama pada calon kepala desa yang bernama Sakri. Dalam hal ini, transaksi politik disini telah muncul apa yang disebut dengan politik uang (money politics) yang dilakukan oleh patron. Sebagaimana yang telah disampaikan oleh Ismawan, bahwa politik uang diartikan sebagai upaya mempengaruhi perilaku orang lain dengan menggunakan imbalan tertentu atau bisa dikatakan sebagai jual beli suara pada proses politik demokratisasi atau pemilihan umum seperti pemilihan tingkat nasional maupun pemilihan tingkat desa (Ismawan, 1999 : 5). Kemudian dapat dipahami bahwa politik uang adalah pemberian berupa apapun untuk mempengaruhi keputusan pilihan seseorang atas pemimpin di dalam kontestasi pemilihan umum dalam rangka memperoleh kekuasaan. (Wibowo, 2013 : 186). Jual beli suara pada pemilihan kepala desa di Desa Malang Rapat tersebut, menurut penulis sangat merugikan, dengan adanya money politics, pada dasarnya akan melatih masyarakat untuk bertindak curang. Suara hati nurani seseorang dalam bentuk aspirasi yang murni dapat dibeli demi kepentingan. Prinsi-prinsip demokrasi telah tercemari dalam praktik politik uang Menurut penulis, politik uang sangat berbahaya dalam membangun sebuah proses demokrasi yang bersih karena perannya yang sangat berdampak merusak, diantaranya : pertama, politik uang merendahkan martabat rakyat. Para calon yang menggunakan politik uang untuk menentukan siapa yang harus dipilih dalam pemilu telah secara nyata merendahkan martabat masyarakat dalam berdemokrasi. Suara dan martabat masyarakat dinilai dengan bahan makanan atau uang yang sebenarnya nilainya tidak sebanding dengan apa yang akan didapat selama periodesasi sang calon ketika menduduki jabatan yang berhasil direbut dengan cara ini. ; kedua, politik uang mematikan kaderisasi politik. Kaderisasi politik akan mati total jika terjadi politik uang dalam pemilihan. Sang calon merasa tidak terbeban kepada pemilih karena akan menganggap keheberhasilannya sebagai sesuatu yang telah dibeli dari rakyat saat terjadi transaksi jual-beli suara. Sebagai konsekuensinya sang calon akan sibuk mempertahankan kekuasaannya di posisi tersebut dan akan tetap maju sebagai kandidat di periode selanjutnya ; ketiga, politik uang akan berujung pada korupsi. Korupsi yang marak terjadi adalah sebuah bentuk penyelewengan anggaran. Motivasi dilakukannya korupsi adalah untuk mengembalikan kerugian yang terjadi saat kampanye dimana sang calon telah melakukan politik uang dalam rangka membodohi rakyat untuk kepentingan meraup suara. ; keempat, politik uang membunuh transformasi masyarakat. Transformasi atau perubahan sebuah masyarakat ke arah yang lebih baik akan terhambat, bahkan mati jika proses demokrasi didominasi dengan politik uang. Perubahan yang diimpikan jelas tidak akan tercapai karena sang calon, ketika menang, akan menghabiskan seluruh energinya untuk mengembalikan semua kerugian yang telah dikeluarkan selama kampanye, utamanya kerugian yang terjadi akibat jual-beli suara dalam kerangka politik uang. Sang calon secara nyata tidak akan merasa terbebani karena menganggap bahwa dia telah membeli suara dan kondisi keterpurukan masyarakat tidak menjadi urusan dia. . Walau diketahui bahwa walaupun sebagian masyarakat Desa Malang rapat yang berkerja sebagai nelayan terlihat tercukupi kebutuhannya sehari-hari namun perubahan kehidupan yang lebih baik tidaklah terlalu berubah signifikan. Namun pada sebagian keluarga yang bergantung pada perkerjaan nelayan, masih sebagian besar menggantungkan hidupnya pada salah seorang elite Desa setempat yang mana elite Desa tersebut yang juga kebetulan menjadi salah satu Calon Kepala desa Malang Rapat pada tahun 2012, dengan ini pertukaran kebutuhan pada saat pemilihan Kepala Desa pun terjadi. Elit Desa tersebut yang memposisikan dirinya sebagai patron meminta dukungan moril terhadap niatnya untuk menjadi kepala desa sementara masyarakat setempat selaku klien bersedia karena pengaruh tekanan ekonomi untuk mengabdi atau memberikan dukungannya kepada patronnya. Maka dengan ini, pengaruh rendahnya taraf perekonomian masyarakat di suatu daerah pada saat pemilihan pemimpin di komunitasnya sangat mudah dipengaruhi dengan adanya bantuan-bantuan yang diberikan oleh elit di komunitasnya tersebut dimana elit komunitas tersebut bermaksud untuk menjadi pemimpin di komunitas tersebut. Faktor spiritualitas dalam hal pemeluk agama di Desa Malang Rapat di dominasi muslim atau, dapat diketahui juga bahwa Sakri yang beragama Islam serta kerabatnya memiliki pengaruh yang besar terhadap masyarakat Desa Malang Rapat. Hal ini dapat diketahui bahwa beberapa orang kerabat dari keluarga Sakri adalah seorang alim ulama dan sering memberikan ceramah atau tausyah di beberapa Mesjid di daerah setempat. Sesuai dengan teori yang disampaikan oleh Peter M. Blau (dalam Philipus, Nurul Aini, 2011: 42) terkait hubungan patron-klien, bahwa antara bapak Sakri sebagai patron dan warga Desa Malang Rapat sebagai klien baik bersifat afektif maupun instrumental memang sudah terjadi pertukaran kebutuhan, artinya disini telah terjadinya proses simbiosis mutualisme. Dan lebih lanjut menurut Peter M. Blau, pertukaran yang terjadi antara patron-klien jika di gambarkan pada kondisi sosial Desa Malang Rapat memang sudah sesuai yaitu adanya imbalan satu sama lain yaitu uang, persetujuan sosial, penghormatan/penghargaan dan kepatuhan. Jika dilihat dari ciri-ciri hubungan patron-klien di Desa Malang Rapat dapat dijabarkan : 1. Adanya ketidakseimbangan status antara patron dan klien, dimana patron dalam hal ini Sakri dan keluarga memiliki tingkat kemapanan ekonomi yang cukup mampu, sedangkan pada posisi klien dalam hal ini warga Desa Malang rapat dapat diketahui bersama tingkat perekonomian rata-rata masih rendah, yang mana rata-rata warga Desa Malang Rapat kebanyakan bekerja sebagai nelayan dan masyarakat yang tidak bekerja justru lebih banyak persentasenya yaitu dari kalangan ibu rumah tangga. 2. Meskipun patron juga mengharapkan bantuan dari klien, tetapi kedudukan patron dalam hal ini Bapak Sakri dan kerabat justru tetap lebih tinggi dari klien. 3. Ketergantungan klien dalam hal ini warga Desa Malang Rapat pada patron dalam hal ini Sakri dan kerabatnya adalah karena adanya pemberian barangbarang seperti sembako, pemberian pinjaman dana untuk kepentingan usaha dan lain-lain yang dibutuhkan klien dari patron yang menyebabkan adanya rasa utang budi klien pada patron. 4. Dengan adanya utang budi seperti ini menyebabkan terjadinya hubungan saling ketergantungan. Sesuai pemikiran Pelras, bahwa dalam membangun hubungan patronklien, dapat kita lihat bahwa patron dalam hal ini Bapak Sakri telah menunjukkan kedermawanan kepada warga Desa Malang Rapat dan membangkitkan rasa hormat dari kalangan pengikut dengan melindungi dan menjaga kesejahteraan mereka lebih baik dibanding yang lain, hal ini dapat dilihat dari hasil perolehan suara yang didapat oleh Sakri pada pemilihan kepala Desa Malang Rapat Tahun 2012, bahwa jumlah pemilih tetap adalah 1.480, namun perolehan suara yang di dapat oleh sakri adalah sebesar 923 suara. Maka dengan ini sudah cukup jelas bahwa relasi patron dan klien di Desa Malang Rapat dengan parameter pada pemilihan kepala Desa Malang Rapat tahun 2012 memang sudah terjalin kuat, sehingga sistem dinasti politik mampu bertahan cukup lama. Baik dari sebelum Sakri memimpin menjadi kepala desa, yang mana Bapak Bakhtiar dan M. Nazar yaitu pendahulunya yang memiliki hubungan kekerabatan dengan Sakri. Dengan menguatkan Dinasti Politik di Desa Malang Rapat Kecamatan Gunung Kijang Kabupaten Bintan, penulis berpendapat bahwa terdapat dua dampak apabila Dinasti Politik tersebut tetap berjalan, yaitu berdampak positif dan juga berdampak negatif Menurut penulis, dampak positif dari keberlangsungan Dinasti Politik terutama di Desa Malang Rapat Kecamatan Gunung Kijang Kabupaten Bintan adalah sebagai berikut : 1. Figur yang tampil pada saat pemilihan kepala desa sudah lebih dikenal masyarakat dan sudah menjalani pendidikan politik di dalam keluarganya, sehingga sudah memiliki modal politik. Figur calon sudah memiliki rekam jejak politik yang panjang sesuai dengan perjalanan keluarganya. 2. Sistem politiknya lebih berstruktur karena diperoleh dari turun temurun. 3. Sistem pemerintahan yang dijalankan lebih mendapat kepercayaan dari masyarakat. 4. Stabilitas sistem pemerintahan dapat berjalan dengan baik jika relasi atau hubungan timbak balik antara kepala desa maupun kerabat kerabat kepala desa sebagai Patron dengan masyarakat sebagai Klien selalu terjaga. Sedangkan dampak negatif dari keberlangsungan Dinasti Politik tersebut adalah : 1. Tidak adanya keselarasan antara tuntutan profesi dengan kemampuan. 2. Segala kebijakan politik pemerintahan lebih cenderung mengutamakan kepentingan pribadi atau sekelompok golongan tertentu daripada kepentingan khlayak (umum). 3. Tertutupnya kesempatan calon di dalam masyarakat yang merupakan kader handal dan berkualitas. Sirkulasi kekuasaan hanya berputar di lingkungan elit dinasti semata sehingga sangat potensial terjadinya negosiasi dan penyusunan konspirasi kepentingan dalam menjalankan tugas kenegaraan. 4. Sulitnya mewujudkan cita-cita demokrasi karena tidak terciptanya pemerintahan yang baik dan bersih (clean and good governance). Fungsi kontrol kekuasaan melemah dan tidak berjalan efektif sehingga kemungkinan terjadinya penyimpangan kekuasaan seperti korupsi, kolusi dan nepotisme sangat besar. Efek negatif dari Politik Dinasti yang paling sering kita dengar adalah nepotisme dimana hubungan keluarga membuat orang yang tidak kompeten memiliki kekuasaan. Tapi hal sebaliknya pun bisa terjadi, dimana orang yang kompeten menjadi tidak dipakai karena alasan tidak memiliki hubungan keluarga. D. Penutup 1. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang penulis lakukan tentang Fenomena Dinasti Politik Pemerintah Desa (Studi Desa Malang Rapat Kecamatan Gunung Kijang Kabupaten Bintan Tahun 2012), maka dengan ini dapat penulis tarik kesimpulan adalah sebagai berikut : 1. Bertahannya sistem dinasti politik di Desa Malang Rapat Kecamatan Gunung Kijang Kabupaten Bintan disebabkan relasi patron dan klien sangat kuat. Bapak Sakri yang memiliki pengaruh besar di Desa Malang Rapat di dukung juga dari keluarga kerabat yang secara estafet memimpin desa tersebut. Kemudian dukungan kemapanan secara ekonomi yang kuat serta juga berpengaruh terhadap terciptanya posisi patron yang melekat pada bapak Sakri dan kerabat. Sementara itu, dalam posisi klien yaitu warga masyarakat Desa Malang Rapat yang sebahagian banyak bergantung kepada Bapak Sakri dan kerabatnya yang tentunya dengan berbagai motif seperti misalnya kebutuhan ekonomi, perlindungan keamanan dan lain-lain. Hubungan ketergantungan antara patron dan klien, dimana posisi patron yang melekat pada bapak Sakri dan klien pada warga Desa Malang Rapat terdapat hubungan saling ketergantungan satu sama lain. Hal inilah yang membuat sistem dinasti politik di Desa Malang Rapat terus bertahan. 2. Pada dasarnya sistem dinasti politik terkhusus di Desa Malang Rapat tentunya memiliki nilai manfaat dan juga kerugian. Walau di Desa Malang Rapat dengan berjalannya sistem dinasti politik dalam masa ke masa di sebabkan kuatnya hubungan patron dan klien, tidak menimbulkan permasalahan yang serius, karena jika dilihat dari faktor sosiologis baik dari segi perekonomian dan rendahnya tingkat pendidikan, justru masyarakat setempat dengan sukarela menerima keadaan sistem dinasti politik tersebut. Disisi lain, sistem dinati politik yang terlaksana di Desa Malang Rapat hingga saat ini tidak menjamin, apabila pemimpin selanjutnya yang memimpin memiliki sistem kepemimpinan yang baik apabila patron tersebut hanya bertopang pada kekuatan perekonomian pribadi saja. Artinya jika sistem dinasti politik dibiarkan terus berjalan tanpa pengawasan melalui regulasi peraturan, maka penyalagunaan kewenangan akan kemungkinan besar dapat terjadi. Dan hal inilah yang akan menjadi hal yang merugikan rakyat jika sistem dinasti politik di Desa Malang Rapat terus terlaksana. 2. Saran Berdasarkan kesimpulan tersebut diatas, maka penulis dapat memberikan saran dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Berkaitan dengan budaya sistem dinasti politik di desa, terkhusus di Desa Malang Rapat, diharapkan agar peraturan daerah maupun peraturan Bupati terkhusus di Kabupaten Bintan dibuatkan pengaturan pasal terkait persyaratan untuk menjadi kepala desa agar memperhatikan baik buruknya terkait calon kepala desa yang mencalonkan memiliki hubungan keluarga dan kerabat dengan kepala desa yang sebelumnya. 2. Pada kesempatan ini juga penulis menyarankan agar dalam berjalannya pelaksanaan pemilihan kepala desa terkhusus di Desa Malang Rapat kedepannya agar perangkat desa, baik kepala desa, BPD, Panitia Pemilihan Kepala Desa sekiranya sebaik mungkin mengawasi pelaksanaan pemilihan kepala desa yang jujur, adil dan bertanggung jawab, tentunya agar terhindarnya permainan politik uang yang merusak citra dan sistem demokrasi di desa tersebut. DAFTAR PUSTAKA Budiardjo, Miriam. 2000. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Hadiz, Vedi R. 2005. Dinamika Kekuasaan ; Ekonomi Politik Indonesia PascaSoeharto, LP3ES : Jakarta. Hamdi, Muchlis. 2006. Memahami Ilmu Pemerintahan, suatu kajian, teori, konsep, dan perkembangannya. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Ismawan, Indra. (1999). Money politik (pengaruh uang dalam pemilu).Yogyakarta : Media Pressindo. Kamus Besar Bahasa Indonesia. 2005. Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. Jakarta: Balai Pustaka. Kartono, Kartini. 1989. Pendidikan Politik: Sebagai Bagian Dari Pendidikan Orang Dewasa, Bandung: CV Mandar Maju. Koentjaraningrat. 1984. “Kepemimpinan dan Kekuasaan : Tradisional, Masa Kini, Resmi dan Tak Resmi,” Aneka Pemikiran Tentang Kuasa dan Wibawa, Jakarta ; Pustaka Sinar Harapan. Maksudi, Beddy Iriawan. 2012. Sistem Politik Indoensia:Pemahaman secara Teoritik dan Empirik. Jakarta:Rajawali Pers. Moleong, Lexy J. 2004. Metode Penelitian Kualitatif edisi Revisi. Bandung: Remaja Rosda Karya. Muhaimin, Yahya. 1991. Bisnis dan Politik, Jakarta ;LP3ES. Ndraha T, 1997. Prospek Pemerintahan Desa Pada Mellenium Ketiga. Jakarta: Jurnal Ilmu Pemerintahan, edisi 6. Ng. Philipus dan Nurul Aini. 2011. Sosiologi dan Politik. Jakarta : Rajawali Pers. Pelras, Christian. 2006. Manusia Bugis, Jakarta ; Nalar. Rasyid, Ryas. 1997. Makna Pemerintahan. Jakarta: Yarsif Watampone. S, Nasution. 2001. Metode Resech. Jakarta: Bumi Aksara. Sugiyono. 2005. Metode Penelitian administrasi. Bandung: CV. Alfabeta. Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta. Suhartono, et. al, 2001. Politik Lokal. Yogyakarta: Lapera Pustaka Utama. Sorensen, Georg. 2003. Demokrasi dan demokratisasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar bekerja sama dengan CCSS Sutoro, Eko. 2003. Transisi demokrasi Indonesia, Yogyakarta : APMD Pres. Wibowo, P.A (2013). Mahalnya demokrasi memudarnya ideologi. Jakarta: Kompas Media Nusantara. Widjaja, HAW. 2003. Otonomi Desa Merupakan Otonomi Asli, Bulat Dan Utuh. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Tesis : Komar, Samsul. 2013. Dinasti Kepala Desa : Studi tentang Survivabilitas Dinasti Politik Di Desa Puput Kecamatan Simpangkatis Kabupaten Bangka Tengah. Yogyakarta : Program Pasca Sarjana Jurusan Politik dan Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada. Peraturan : Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004. Pemerintahan Daerah. Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 Tentang Desa Peraturan Daerah Kabupaten Bintan Nomor 7 Tahun 2007 tentang Badan Pemusyawaratan Desa (BPD). Peraturan Daerah Kabupaten Bintan Nomor 8 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pencalonan, Pemilihan, Pengangkatan, Pelantikan dan Pemberhentian Kepala Desa. Peraturan Daerah Kabupaten Bintan Nomor 10 Tahun 2010 tentang Pedoman Penyususunan Organisasi dan Tata Kerja Pemerintah Desa. Internet : (http://id.scribd.com/doc/105224306/Definisi-Politik-Dinasti), Ivan Fauzan, diunduh tanggal 08 Januari 2013. (http://otda.kemendagri.go.id/index.php/categoryblog/748-ambang-batas-dinastipolitik), diunduh tanggal 08 Januari 2013.