BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG SANKSI PIDANA PENGGANTI DENDA, KORPORASI, DAN TINDAK PIDANA KHUSUS 2.1 Sanksi pidana sebagai pengganti denda 2.1.1 Sanksi dalam Hukum pidana Hukum pidana di Indonesia memiliki dua jenis sanksi yaitu sanksi pidana dan sanksi tindakan. Sanksi pidana (punishment) didefinisikan sebagai suatu nestapa atau penderitaan yang ditimpakan kepada seseorang yang bersalah melakukan perbuatan yang dilarang oleh hukum pidana. dengan adanya sanksi tersebut, diharapkan orang yang tidak melakukan pidana. Herbert L. Packer menyatakan bahwa sanksi pidana sebagai : Criminal punishment means simply any particular disposition or the range or permissible disposition that the law authorizes (or appears to authorize) in cases of person who have been judged through the distinctive processes of the criminal law to be guilty of crime. Berdasarkan pengertian tersebut, sanksi pidana pada dasarnya merupakan suatu pengenaan suatu derita kepada seseorang yang dinyatakan bersalah melakukan suatu kejahatan (tindak pidana) melalui suatu rangkaian proses peradilan oleh kekuasaan (hukum) yang secara khusus diberikan untuk hal itu.38 Jenis-jenis sanksi pidana dibedakan antara pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana pokok terdiri dari pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, dan pidana denda sedangkan pidana tambahan hanya diberikan jika pidana pokok tersebut dijatuhkan. 38 Mahrus Ali. Op.cit. Hlm. 251 30 31 M. Sholehuddin memberikan pengertian mengenai sanksi tindakan yaitu : sanksi yang bersifat antisipatif bukan reaktif terhadap pelaku tindak pidana yang berbasis pada filsafat determinasime dalam ragam bentuk sanksi dinamis (open system) dan spesifikasi non-penderitaan atau perampasan kemerdekaan, dengan tujuan untuk memulihkan keadaan tertentu bagi pelaku maupun korban baik perseorangan, badan hukum publik maupun perdata.39 Sanksi tindakan dalam KUHP memiliki beberapa jenis, yaitu: 1. Penempatan di rumah sakit jiwa bagi orang yang tidak dapat dipertanggung jawabkan karena jiwanya cacat dalam tubuhnya atau terganggu penyakit. (Pasal 44 ayat (2) KUHP) 2. Bagi anak yang belum berumur 16 tahun melakukan tindak pidana, hakim dapat mengenakan tindakan berupa: (Pasal 45 KUHP) a. Mengembalikan kepada orang tuanya, walinya atau pemeliharanya, atau; b. Memerintahkan agar anak tersebut diserahkan kepada pemerintah c. Dalam hal ini yang ke-2, anak tersebut dimasukkan dalam rumah pendidikan Negara yang penyelenggaraannya diatur dalam Peraturan Pendidikan Paksa d. Penempatan di tempat bekerja Negara bagi penganggur yang malas bekerja dan tidak mempunyai mata pencaharian, serta menggangu ketertiban umum dengan melakukan pengemisan, bergelandangan atau perbuatan asosial. Jenis-jenis tersebut berlaku juga bagi delik-delik yang tercantum dalam perundang-undangan pidana di luar KUHP, kecuali ketentuan perundangundangan itu menyimpang. 39 M. Sholehuddin, 2003, Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana Ide Dasar Double Track System dan Implementasinya, Rajawali Pers, Jakarta. Hlm. 210 32 Sanksi pidana dan sanksi tindakan memiliki perbedaan, pertama sanksi pidana pada dasarnya besifat reaktif terhadap suatu perbuatan, sedangkan sanksi tindakan lebih bersifat antisipatif terhadap pelaku perbuatan tersebut, jika fokus sanksi pidana tertuju pada perbuatan salah seorang lewat pengenaan penderitaan (agar yang bersangkutan menjadi jera), maka fokus saksi tindakan terarah pada upaya pemberian pertolongan agar pelaku berubah.40 Sanksi pidana lebih menekankan unsur pembalasan (pengimbalan). Ia merupakan penderitaan yang sengaja dibebankan kepada si pelanggar, sedangkan sanksi tindakan, menurut Sudarto bersumber dari ide dasar perlindungan masyarakat dan pembinaan atau perawatan si pelangar.41 Kedua, dilihat dari tujuannya sanksi pidana bertujuan member penderitaan istimewa kepada pelanggar supaya ia merasakan akibat perbuatannya, dan merupakan bentuk pernyataan pencelaan terhadap perbuatan si pelaku, sedangkan sanksi tindakan tujuannya lebih bersifat mendidik. Ketiga, ditinjau dari sudut teori-teori pemidanaan, maka sanksi tindakan merupakan sanksi yang tidak membalas, ia semata-mata ditujukan pada prevensi khusus, yakni melindungi masyarakat dari ancaman yang dapat merugikan kepentingannya. Keempat, perbedaanya terdapat pada orientasi dasar dari dua jenis sanksi tersebut sebenarnya memiliki kaitan pula dengan paham filsafat yang memayunginya, yakni filsafat indeterminisme sebagai sumber sanksi pidana dan 40 Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, 2005, Poitik Hukum Pidana: Kajian Kebijakan Kriminalisasi dan Dekriminalisasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hlm. 88 41 Sudarto, 1973, Hukum Pidana, I (Jilid 1A), Badan Penyediaan Kuliah FH UNDIP, Semarang, Hlm 7. 33 filsafat determinisme sebagai sumber sanksi tindakan. Asumsi dasar filsafat inderteminisme adalah sejatinya manusia memiliki kehendak bebas, termasuk ketika melakukan kejahatan. Konsekuensinya bebas merupakan pilihan, maka setiap pemidanaan harus diarahkan pada pencelaan moral dan pengenaan penderitaan pelaku.42 Filsafat determinisme bertolak dari asumsi bahwa keadaan hidup dan prilaku manusia, baik sebagai perorangan maupun sebagai kelompok masyarakat, ditentukan oleh faktor-faktor fisik, geografis, biologis, psikologis, sosiologis, ekonomis dan keagamaan yang ada. Perilaku jahat seseorang ataupun masyarakat ditentukan oleh berbagai faktor itu, dan karenanya setiap pemidanaan hanya dapat dibenarkan dengan maksud merehabilitasi pelaku, atau kejahatan sebenarnya merupakan manifestasi dari keadaan jiwa seseorang yang abnormal. 43 Perbedaan ide dasar antara sanksi pidana dan sanksi tindakan seperti tersebut di atas, dapat pula ditemukan dalam teori-teori pemidanaan. Substansi teori absolute dan teori relative sesungguhnya berkisar pada perbedaan hakikat ide dasar sanksi pidana dan sanksi tindakan. Teori absolute memandang bahwa pemidanaan merupakan pembalasan dari kesalahan yang telah dilakukan. Teori retribusi mencari pendasaran pemidanaan dengan memandang ke masa lampau (backward looking), yakni memusatkan argumennya pada tindakan kejahatan yang telah dilakukan. Menurut teori ini, pemidanaan diberikan karena si pelaku 42 43 Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Op.Cit. Hlm. 89 Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Op.cit., Hlm. 89-90 34 harus menerima sanksi itu demi kerugian yang sudah diakibatkan, demi alasan itu pemidanaan dibenarkan secara moral.44 2.1.2 Pengertian Pidana Pada dasarnya pidana dan tindakan adalah sama, yaitu berupa penderitaan. Perbedaanya hanyalah, penderitaan pada tindakan yang lebih kecil atau ringan daripada penderitaan yang diakibatkan oleh penjatuhan pidana. Pidana berasal dari kata straf (Belanda) yang adakalanya disebut dengann istilah hukuman. Istilah pidana lebih tepat dari istilah hukuman, karena hukum sudah lazim merupakan terjemahan dari recht45. Berikut pendapat para ahli mengenai sanksi pidana : 1. Sudarto memberikan pengertian pidana yaitu : Pidana sebagai pederitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu. 46 2. Roeslan Saleh mendefinisikan pidana sebagai : Reaksi atas delik, dan ini berwujud suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpalkan Negara pada pelaku delik itu.47 44 Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah.,Op.cit Hlm. 90-91 Adama Chazawi.2013, Pelajaran Hukum Pidana I,Rajawali Pers, Jakarta. Hlm. 23-24. 46 Sudarto.1986.Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung. Hlm. 109-110. 47 Ibid. 45 35 3. Immanuel Kant memberikan pengertian sebagai berikut: Perbuatan yang melahirkan sanksi pidana bagi pelakunya hanyalah perbuatan dengannya pelaku memiliki kebebasan ketika melakukannya. Negara memiliki justifikasi untuk menjatuhkan pidana kepada pelaku bila ia memiliki kebebasan bertindak. Dengan demikian, Kant mengartikan pidana sebagai suatu yang tidak menyenangkan yang dijatuhkan kepada individu yang melakukan perbuatan terlarang. 48 Pidana lebih tepat didefinisikan sebagai suatu penderitaan yang sengaja dijatuhkan/diberikan oleh Negara pada seseorang ataupun beberapa orang sebagai akibat hukum (sanksi) baginya atas perbuatannya yang telah melanggar larangan hukum pidana. Secara khusus larangan dalam hukum pidana ini disebut sebagai tindak pidana (strafbaar feit). 2.1.3 Jenis-Jenis Pidana KUHP sebagai induk atau sumber utama hukum pidana telah merinci jenis-jenis pidana, sebagaimana dirumuskan dalam pasal 10 KUHP yaitu: Pidana terdiri atas : a. Pidana Pokok : 1. Pidana mati 2. Pidana penjara 3. Pidana kurungan 4. Pidana denda 48 Ibid. 36 b. Pidana tambahan 1. Pidana pencabutan hak-hak tertentu 2. Pidana perampasan 3. Pidana pengumuman putusan hakim Stelsel pidana Indonesia berdasarkan KUHP mengelompokan jenis-jenis pidana ke dalam Pidana Pokok dan Pidana Tambahan. Ada pun perbedaan antara jenis-jenis pidana pokok dengan jenis pidana tambahan sebagai berikut. 1. Penjatuhan salah satu jenis pidana pokok bersifat keharusan (imperative), sedangkan penjatuhan pidana tambahan sifatnya fakultatif. 2. Penjatuhan pidana pokok tidak harus dengan demikian menjatuhkan jenis pidana tambahan (berdiri sendiri), tetapi menjatuhkan jenis pidana tambahan tidak boleh tanpa dengan menjatuhkan jenis pidana pokok. 3. Jenis pidana pokok yang dijatuhkan, bila telah mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde zaak) diperlukan suatu tindakan pelaksanaan (executive).49 a. Jenis-jenis Pidana Pokok 1. Pidana Mati Pidana mati merupakan pidana terberat, yang pelaksanaannya berupa penyerangan terhadap hak hidup bagi manusia, yang sesungguhnya hak ini hanya berada di tangan Tuhan, maka tidak heran dari dulu sampai sekarang 49 Adami Chazawi, Op.cit. hlm. 25-28 37 menimbulkan pro dan kontra, bergantung dari kepentingan dan cara memandang pidana mati itu sendiri. Kelemahan dan keberatan pidana mati ini ialah apabila telah dijalankan, maka tidak dapat memberi harapan lagi untuk perbaikan, baik revisi atas jenis pidananya maupun perbaikan atas diri terpidananya apabila kemudian teryata penjatuhan pidana itu terdapat kekeliruan terhadap orang atau pelakunya, maupun keliru atas tindak pidana pidana yang mengakibatkan pidana mati itu dijatuhkan dan dijalankan atau juga kekeliruan atas kesalahan terpidana. Sejak tahun 1870, di Negara Belanda (tempat asal KUHP) tidak lagi mengenal pidana mati karena pidana mati telah dihapuskan dari WvS-nya, kecuali masih dipertahankan dalam hukum militernya. Di Hindia Belanda pada saat berlakunya WvS voor Nederlandsch Indie (KUHP sekarang) tanggal 1 Januari 1918, pidana mati dicantumkan di dalamnya, dan setelah kita memproklamirkan kemerdekaan, melalui Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945, pidana mati tetap dipertahankan sampai kini, bahkan dalam Rancangan KUHP juga masih dikenal pidana mati walaupun tidak disebutkan sebagai salah satu jenis pidana dalam kelompok pidana pokok, melainkan dikategorikan sebagai pidana yang bersifat khusus dan selalu bersifat alternatif. Pencantuman pidana mati dalam Undang-Undang harus dipandang sebagai tindakan darurat atau noodrecht. Tiada lain maksudnya agar pidana 38 mati dijatuhkan pada keadaan-keadaan tertentu khusus yang dipandang sangat mendesak saja. Oleh karena itu, dalam KUHP yang diancamkan kejahatankejahatan yang diancam dengan pidana mati hanyalah pada kejahatankejahatan yang dipandang sangat berat saja, yang jumlahnya sangat terbatas, seperti : 1) 2) 3) 4) Kejahatan-kejahatan yang mengancam keamanan Negara ( Pasal 104,111 ayat (2), dan 124 ayat (3) jo 129) Kejahatan-kejahatan pembunuhan terhadap orang tertentu dan atau dilakukan dengan faktor-faktor pemberat, misalnya Pasal 140 ayat (3),dan 340. Kejahatan terhadap harta benda yang disertai unsure/factor yang sangat memberatkan (Pasal 365 ayat (4), 368 ayat (2)) Kejahatan-kejahatan pembajakan laut, sungai dan pantai (Pasal 444).50 Sedangkan Undang-Undang Pidana di luar KUHP yang mengatur pidana mati, adalah: Undang-Undang Drt. No. 12 tahun 1951 tentang senjata api, Penetapan Presiden No. 5 tahun 1959 tetang Wewenang Jaksa Agung/Jaksa Tentara Agung dalam hal memperberat ancaman hukuman mati terhadap tindak pidana membahayakan perengkapan sandang pangan, Perpu No. 21 tahun 1959 tentang memperberat hukuman terhadap tindak pidana ekonomi, Undang-Undang No. 4 Tahun 1976 tentang Perubahan dan Penambahan beberapa pasal dalam KUHP bertalian dengan perluasan berlakunya ketentuan perundang-undangan pidana kejahatan penerbangan dan kejahatan terhadap sarana/prasarana penerbangan, Undang-Undang No. 5 tahun 1997 tentang Psikotropika, Undang-Undang no.22 tahun 1997 tentang 50 Adami Chazawi , Op.cit. hlm. 29-31. 39 Narkotika, Undang-Undang No. 31 tahun 1999 jo Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pembrantasan Korupsi, Undang-Undang No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, Undang-Undang no.15 Tahun 2003 tentang. 51 2. Pidana Penjara Menurut Andi Hamzah, menegaskan bahwa “Pidana penjara merupakan bentuk pidana yang berupa kehilangan kemerdekaan”. Pidana penjara atau pidana kehilangan kemerdekaan itu bukan hanya dalam bentuk pidana penjara tetapi juga berupa pengasingan 52. Dalam Pasal 10 KUHP, ada dua jenis pidana hilang kemerdekaan bergerak, yakni pidana penjara dan pidana kurungan. Dari sifatnya menghilangkan dan atau membatasi kemerdekaan bergerak, dalam arti menempatkan terpidana dalam suatu tempat (Lembaga Pemasyarakatan) di mana terpidana tidak bebas keluar masuk dan di dalamnya wajib untuk tunduk, menaati dan menjalankan semua peraturan tata tertib yang berlaku, maka kedua jenis pidana itu tampaknya sama. Akan tetapi, dua jenis pidana itu sesunggunya berbeda jauh, adapun perbedaanya yaitu sebagai berikut. 1. Pidana kurungan mengancam pada tindak pidana yang lebih ringan dari pada pidana penjara. pidana kurungan banyak diancam pada jenis 51 Tolib Setiady.2010. Pokok-Pokok Hukum Penitensier Indonesia, Alfabeta, Bandung, Hlm. 85-86 52 Andi Hamzah. 1993, Sistem Pidana Dan Pemidanaan Di Indonesia. Pradnya Paramita. Jakarta. hal. 36. 40 2. 3. 4. 5. pelanggaran. Sementara pidana penjara banyak diancamkan pada jenis kejahatan. Ancaman hukuman maksimum umum dari pidana penjara (yakni 15 tahun) lebih tinggi dari pada ancaman maksimum umum pidana kurungan (yakni 1 tahun). Pada keadaan pemberatan pidana kurungan dapat diperberat namun tidak lebih dari 1 tahun 4 bulan (18 ayat (2)), sedangkan untuk pidana penjara dapat diperberat, misalnya dalam pembarengan dan pengulangan dapat dijatuhi pidana penjara dengan ditambah sepertiganya, olah karena itu pidana penjara maksimum 15 tahun bisa menjadi 20 tahun. Pelaksanaan pidana penjara dapat dilakukan di Lembaga Pemasyarakatan di seluruh Indonesia (dapat berpindah-pindah). Pidana kurungan dilaksanakan di Lembaga Permasyarakatan di mana ia berdiam ketika putusan hakim dijalankan. Narapidana kurungan dengan biaya sediri dapat sekadar meringankan nasibnya dalam mejalankan pidananya menurut aturan yang ditetapkan (hak pistole). Pelaksanaan pidana denda tidak dapat diganti dengan pelaksanaan pidana penjara, namum bisa diganti dengan pidana kurungan disebut kurungan pengganti denda Stelsel pidana penjara, menurut Pasal 12 ayat (1), dibedakan menjadi pidana penjara seumur hidup dan pidana penjara sementara waktu. Pidana penjara seumur hidup diancamkan pada kejahatan-kejahatan yang sangat berat, yakni sebagai pidana alternatif dari pidana mati, seperti pada Pasal 104, 365 ayat (4), 368 ayat (2) dan berdiri sendiri dalam arti tidak sebagai alternatif pidana mati tetapi sebagai alternatifnya adalah pidana penjara sementara setinggi-tingginya 20 tahun, misalnya Pasal 106, 108 ayat (2). Pada pidana penjara sementara waktu, paling rendah 1 hari dan paling tinggi 15 tahun. pidana penjara sementara waktu dapat (mugkin) dijatuhkan melebihi dari 15 tahun secara berturut-turut, yakni dalam hal yang ditentukan dalam Pasal 12 ayat (3) yakni sebagai berikut. 41 1. Dalam hal kejahatan-kejahatanyang hakim boleh memilih : (1) apakah akan menjatuhkan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara maksimum 20 tahun, atau (2) dalam hal kejahatan-kejahatan tertentu yang memang diancam dengan pidana penjara maksimum 20 tahun sebagai alternatif dari pidana penjara seumur hidup. 2. Dalam hal telah terjadinya : (1) perbarengan, atau (2) pengulangan atau (3) kejahatan-kejahatan yang berkaitan dengan pasal 52 (pada kejahatan-kejahatan yang diancam dengan pidana penjara sementara maksimum 15 tahun. Sejak tahun 1964, istilah penjara bagi suatu tempat untuk menjalankan pidana penjara sudah diganti dengan istilah Lembaga Pemasyarakatan walaupun pelaksanaanya tetap memakai dasar peraturan kepenjaraan lama. Perubahan nama menjadi Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) itu mempunyai hubungan dengan gagasan Dr.Saharjo (Menteri Kehakiman waktu itu) untuk menjadikan LAPAS bukan sebagai suatu tempat yang semata-mata menghukum dan menderitakan orang, tetapi suatu tempat untuk membina atau mendidik orang-orang yang telah berkelakuan menyimpang agar setelah menjalani pembinaan di dalam LAPAS dapat menjadi orang-orang baik dan dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan masyarakat.53 3. Pidana Kurungan Dalam beberapa hal pidana kurungan adalah sama dengan pidana penjara, yaitu sebagai berikut. 1. Mengenal maksimum umum, maksimum khusus dan minimum umum. Maksimum umum pidana penjara 15 tahun dalam keadaan tertentu bisa diperberat maksimum 20 tahun, dan pidana kurungan maksimum 53 Adami Chazawi, Op.cit. hlm. 32-38 42 umum 1 tahun yang dapat diperpanjang maksimum 1 tahun 4 bulan. Minimum umum sama-sama 1 hari. Sementara maksimum khusus disebutkan pada setiap rumusan tindak pidana tertentu sendiri-sendiri, yang tidak sama bagi setiap tindak pidana, bergantung dari pertimbangan berat ringannya tindak pidana yang bersangkutan. 2. Orang yang dipidana kurungan dan pidana penjara diwajibkan untuk menjalankan (berkerja) pekerjaan tertentu walaupun narapidana kurungan lebih ringan dari narapidana penjara. 3. Pidana kurungan dan pidana penjara mulai berlaku apabila terpidana tidak ditahan, yaitu pada hari putusan hakim (setelah mempunyai kekuatan tetap) dijalankan/dieksekusi, yaitu pada saat pejabat kejaksaan mengeksekusi dengan cara melakukan tindakan paksa memasukan terpidana ke dalam Lembaga Pemasyarakatan.54 Menurut Vos dalam Andi Hamzah dijelaskan bahwa, pidana kurungan pada dasarnya mempunyai dua tujuan, yaitu: 1) Sebagai custodia honesta untuk tindak pidana yang tidak menyangkut kejahatan kesusilaan, yaitu delicculpa dan beberapa delic dolus, seperti perkelahian satu lawan satu (Pasal 182 KUHP) dan pailit sederhana (Pasal 396 KUHP). Pasal-pasal tersebut diancam pidana penjara, contoh yang dikemukakan Vos sebagai delik yang tidak menyangkut kejahatan kesusilaan. 2) Sebagai custodia simplex, suatu perampasan kemerdekaan untuk delik pelanggaran. Dengan demikian bagi delik-delik pelanggaran, maka pidana kurungan menjadi pidana pokok, khususnya di Belanda pidana tambahan khusus untuk pelanggaran, yaitu penempatan di tempat kerja negara.55 4. Pidana Denda P.A.F. Lamintang menerangkan bahwa pidana denda dapat dijumpai di dalam Buku I dan Buku II KUHP yang telah diancamkan baik bagi kejahatan-kejahatan maupun bagi pelanggaran-pelanggaran. Pidana denda ini 54 55 Adami Chazawi , Op.cit hlm. 38-39. Andi Hamzah, Op. Cit. hal. 48-49. 43 juga diancamkan baik satu-satunya pidana pokok maupun secara alternatif dengan pidana penjara saja, atau alternatif dengan kedua pidana pokok tersebut secara bersama-sama.56 Pidana denda diancamkan pada banyak jenis pelanggaraan, baik sebagai alternatif dari pidana kurungan maupun berdiri sendiri. Begitu juga terhadap jenis-jenis kejahatan ringan maupun kejahatan culpa, pidana denda sering diancamkan sebagai alternatif dari pidana kurungan. Sementara itu, bagi kejahatan-kejahatan selebihnya jarang sekali diancam dengan pidana denda baik sebagai alternatif dari pidana penjara maupun berdiri sendiri. Ada beberapa keistimewaan tertentu dari pidana denda, jika dibandingkan dengan jeis-jenis lain dalam kelompok pidana pokok Keistimewaan itu adalah sebagai berikut. 1. Dalam hal pelaksanaan pidana, denda tidak menutup kemungkinan dilakukan atau dibayar oleh orang lain, yang dalam hal pelaksanaan pidana lainnya kemungkinan seperti ini tidak bisa terjadi. Jadi dalam hal pelaksanaan pidana denda dapat melanggar prinsip dasar dari pemidanaan sebagai akibat yang harus dipikul diderita oleh pelaku sebagai orang yang harus bertanggug jawab atas perbuatan (tindak pidana) yang dilakukannya 2. Pelaksanaan pidana denda boleh diganti dengan menjalani pidana kurungan (kurungan pengganti denda, pasal 30 ayat 2). Dalam putusan hakim yang menjatuhkan pidana denda, dijatuhkan juga pidana kurungan pengganti denda sebagai alternatif pelaksanaannya, dalam arti jika denda tidak dibayar terpidana wajib menjalani pidana kurungan pengganti denda itu. Dalam hal ini terpidana bebas memilihnya. Lama pidana kurungan pengganti denda ini minimal 1 hari dan maksimal umum enam bulan. 56 P.A.F. Lamintang. 1997. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Citra Aditya Bandung.Hlm . 712. 44 3. Dalam hal pidana denda tidak terdapat maksimum umumnya, yang ada hanyalah minimum umum yang menurut pasal 30 ayat 1 adalah tiga rupiah tujuh puluh lima sen. Sementara itu maksimum khususnya ditentukan pada masing-masing rumusan tindak pidana yang bersangkutan, yang dalam hal ini sama dengan jenis lain dari kelompok pidana pokok. Seperti diterangkan diatas, jika pidana denda tidak dibayar, maka harus menjalani kurungan pengganti denda. Pidana kurungan pengganti denda ini dapat ditetapkan lamanya berkisar antara satu hari sampai enam bulan. Dalam keadaan-keadaan tertentu yang memberatkan, batas waktu maksimum enam bulan ini dapat dilampaui sampai paling tinggi menjadi delapan bulan (Pasal 30 ayat (5) dan (6)) Terpidana yang dijatuhi pidana denda boleh segera menjalani kurungan pengganti denda dengan tidak perlu menunggu sampai habis waktu untuk membayar denda. Akan tetapi, bila kemudian ia membayar denda, ketika itu demi hukum ia harus dilepaskan dari kurungan pengganti denda. Mengapa pidana denda ditentukan harus ada jaminan penggantinya? Karena dalam pelaksanaan pidana denda tidak dapat dijalankan dengan paksaan secara langsung seperti penyitaan atas barang-barang terpidana, dalam hal ini berbeda dengan hukuman yang dijatuhkan dalam perkara perdata, yang dilakukan dengan melelang barang-barang milik terhukum setelah dilakukan penyitaan oleh pengadilan kapankah denda itu harus dibayar? Pasal 237 (1) KUHP menentukan bahwa jika putusan pengadilan 45 menjatuhkan pidana denda, kepada terpidana diberikan jangka waktu satu bulan untuk membayar denda tersebut kecuali dalam putusan acara pemeriksaan cepat yang harus seketika dilunasi. Sementara itu, pada ayat Pasal 237 ayat (2) menyatakan bahwa dalam hal terdapat alasan kuat, jangka waktu sebagaimana tersebut ayat (1) dapat diperpanjang untuk paling lama satu bulan. Uang denda yang dibayar terpidana menjadi milik Negara. Oleh karena itu, kejaksaan setelah menerima dari terpidana, uang itu harus disetor ke kas Negara.57 b. Jenis-Jenis Pidana Tambahan 1. Pidana Pencabutan Hak-Hak Tertentu Menurut hukum, pencabutan seluruh hak yang dimiliki seseorang yang dapat mengakibatkan kematian perdata tidak diperkenankan. UndangUndang hanya memberikan kepada Negara wewenang melakukan pencabutan hak tertentu saja, yang menurut Pasal 35 ayat (1) KUHP, hakhak yang dapat dicabut tersebut adalah : a. Hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan yang tertentu; b. Hak menjalankan jabatan dalam Angakatan Bersenjata/TNI; c. Hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-aturan umum; d. Hak menjadi penasehat hukum atau pengurus atas penetapan pengadilan, hak menjadi wali, wali pengawas, pengampu atau pengampu pengawas atas anak yang bukan anak sendiri. e. Hak menjalankan kekuasaan bapak, menjalankan pewalian atau pengampuan atas anak sendiri. 57 Adami Chazawi , Op.cit, hlmn. 40-42 46 Hak ini dapat dicabut apabila terjadi pemidanaan karena, pertama pemegang hak tersebut dengan sengaja melakukan kejahatan bersama dengan anak yang kurang cukup umur yang berada di bawah kekuasaannya. Kedua pemegang hak tersebut melakukan kejahatan penggelapan asal-usul, kesusilaan, meninggalkan seseorang padahal memerlukan pertolongan, perampasan kemerdekaan, perampasan jiwa, atau penganiayaan terhadap anak yang kurang cukup umur yang berada dibawah kuasanya. 58 f. Hak menjalankan mata pencaharian. Sifat hak-hak tertentu yang dapat dicabut oleh hakim, tidak untuk selama-lamanya melainkan dalam waktu tertentu saja, kecuali bila yang bersangkutan dijatuhi pidana seumur hidup atau pidana mati. Pasal 38 KUHP menentukan tentang lamanya waktu bila hakim menjatuhkan juga pidana pencabutan hak-hak tertentu, yaitu sebagai berikut. 1) Bila pidana pokok yang dijatuhkan hakim pada yang bersangkutan berupa pidana mati atau pidana seumur hidup, maka lamanya pencabutan hak-hak tertentu itu berlaku seumur hidup. 2) Jika pidana pokok yang dijatuhkan berupa pidana penjara sementara atau kurungan, maka lamanya pencabutan hak-hak tertentu maksimum lima tahun dan minimum dua tahun lebih lama dari pada pidana pokoknya. 3) Jika pidana pokok yang dijatuhkan adalah berupa pidana denda, maka pidana pencabutan hak-hak tertentu adalah paling sedikit dua tahun dan paling lama lima tahun. 58 Tolib Setiady,Op.cit Hlm. 106. 47 Perlu diperhatikan bahwa hakim baru boleh menjatuhkan pidana pencabutan hak-hak tertentu sebagaimana diterangkan di atas apabila secara tegas diberi wewenang oleh Undang-Undang yang diacamkan pada rumusan tindak pidana yang bersangkutan. Tindak pidana yang diancam dengan pidana pencabutan hak-hak tertentu antara lain tindak pidana yang dirumuskan dalam pasal-pasal : 317, 318, 334, 347, 348, 350, 362, 363, 365, 372, 374, 375 KUHP.59 2. Pidana Perampasan Barang Tertentu Perampasan barang sebagai suatau pidana hanya diperkanankan atas barang-barang tertentu saja, tidak diperkenankan untuk semua barang. Undang-Undang tidak mengenal perampasan untuk semua kekayaan. Ada dua jenis barang yang dapat dirampas melalui putusan hakim pidana, (Pasal 39 KUHP), yaitu: 1) Barang-barang yang berasal/diperoleh dari suatu kejahatan (bukan dari pelanggaran), yang disebut dengan corpora delictie, misalnya uang palsu dari kejahatan pemalsuan uang, surat cek palsu dari kejahatan-kejahatan pemalsuan surat; dan 2) Barang-barang yang digunakan dengan melakukan kejahatan, yang disebut dengan instrumenta delictie, misalnya pisau yang digunakan 59 Adami Chazawi Op.cit. hlm. 44 -45 48 dalam kejahatan pembunuhan atau penganiayaan, anak kunci palsu yang digunakan dalam pencurian, dan lain sebagainya Ada tiga prinsip dasar dari pidana perampasan barang tertentu, ialah : 1) Hanya diancamkan dan dapat dijatuhkan terhadap dua jenis barang tersebut dalam pasal 39 KUHP itu saja; 2) Hanya diancamkan dan dapat dijatuhkan oleh hakim ada kejahatan saja, dan tidak pada pelanggaran 3) Hanya diancamkan dan dapat dijatuhkan oleh hakim atas barangbarang milik terpidana saja. Kecuali ada beberapa ketentuan : (a) yang menyatakan secara tegas terhadap barang yang bukan milik terpidana, (b) tidak secara tegas meyebutkan terhadap, baik barang milik terpidana atau bukan.60 3. Pidana Pengumuman Putusan Hakim Pidana pengumuman putusan hakim ini hanya dapat dijatuhkan dalam hal-hal yang telah ditentukan oleh Undang-Undang, misalnya terdapat dalam Pasal: 128, 206, 361, 377, 395, 405 KUHP. Pidana tambahan “Pengumuman Putusan Hakim” dimaksudkan terutama untuk pencegahan agar msayarakat terhindar dari keilahaian busuk atau kesembronoan dari seorang pelaku. Pidana Tambahan ini hanya dapat dijatuhkan apabila secara tegas ditentukan berlaku untuk pasal-pasal tindak pidana tertentu.61Setiap putusan hakim memang harus diucapkan dalam persidangan yang terbuka untuk umum (Pasal 195 KUHAP). Bila tidak, putusan itu batal demi hukum, tetapi pengumuman putusan hakim sebagai suatu pidana bukanlah seperti yang 60 61 Adami Chazawi,Op.cit hlm. 49-50 Tolib Setiady. Op.cit Hlm. 109 49 disebutkan di atas. Pidana pengumuman putusan hakim ini merupakan suatu publikasi ekstra dari suatu putusan pemidanaan seseorang dari pengadilan pidana. Pidana putusan hakim ini, hakim bebas menentukan perihal cara melaksanakan pengumuman itu. Maksud dari pengumuman putusan hakim yang demikian ini adalah sebagai usaha preventif, mencegah bagi orangorang tertentu agar tidak melakukan tindak pidana, maksud lainnya adalah memberitahukan kepada masyarakat untuk berhati-hati dalam bergaul dan berhubungan dengan orang-orang yang dapat disangka tidak jujur sehingga tidak menjadi korban dalam kejahatan (tindak pidana).62 Sanksi pidana yang digunakan sebagai sanksi pidana pengganti denda dalam KUHP adalah pidana kurungan dimana dinyatakan dalam Pasal 30 ayat (2), sanksi pidana denda yang tidak mampu dibayar akan diganti dengan pidana kurungan. Pidana kurungan ini hanya bisa dikenakan kepada subyek hukum orang sedangkan untuk subyek hukum berupa badan hukum belum ada pengaturan sanksi pidana pengganti denda yang dapat menjeratnya. 62 Adami Chasawi Op.cit, hlm 53-54 50 2.1.4 Tujuan Pidana Berbagai pendapat ahli muncul mengenai tujuan dari adanya pemidanaan yaitu sebagai berikut: Menurut Ricard D. Schwartz dan Jerome H. Sholnick yang dikutp oleh Barda Nawawi sanksi pidana dimaksudkan untuk :63 a. Mencegah terjadinya pengulangan tindak pidana. (to prevent recidivism) b. Mencegah orang melakukan perbuatan yang sama seperti yang dilakukan si terpidana (to deterother from the perforcemance of sillar act) c. Menyediakan saluran untuk mewujudkan motif-motif balas dendam (to provide a chanel for the expression of retaliotary motives). Menurut pendapat lamintang, terdapat 3 pokok pemikiran tentang tujuan yang ingin dicapai dengan adanya pemberian sanksi pidana, yaitu:64 a. Untuk memperbaiki pribadi dari penjahatnya itu sendiri b. Untuk membuat orang menjadi jera untuk melakkukan kejahatan-kejahatan. c. Untuk membuat penjahat tertentu menjadi tidak mampu untuk melakukan kejahatan-kejahatan lain, yakni penjahat-penjahat yang dengan cara lain sudah tidak dapat lagi diperbaiki. Tujuan pemberian sanksi pidana yang berupa perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat, merupakan tujuan yang umum yang sangat luas. Tujuan umum tersebut menurut Barda Nawawi Arief merupakan induk dari keseluruhan pendapat dan teori-teori mengenai tujuan pidana dan pemidanaan sebenarnya hanya merupakan perincian atau pengindentifikasian dari tujuan 63 64 Barda Nawawi 2, Op.cit. H.20 Barda Nawawi 2, Op.cit H.21 51 umum tersebut. Adapun identifikasi dari tujuan utama dari pidana dan pemidanaan yaitu perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat dapat dikemukakan sebagai berikut :65 1. Tujuan pidana adalah penanggulangan kejahatan. Perumusan tujuan pidana demikian ini dilator belakangi perlunya perlindungan masyarakat terhadap perbuatan anti sosial yang merugikan dan membahayakan masyarakat. 2. Tujuan pidana adalah untuk memperbaiki si pelaku. Tujuan ini dilatar belakangi perlunya perlindungan masyarakat terhadap sifat berbahayanya orang (si pelaku). Istilah lain yang digunakan untuk merefelksikan tujuan ini adalah rehabilitasi, reformasi, treatment of offenders, reduksi, readaptasi sosial, resosialisasi pemasyarakat, maupun pembebasan. 3. Dilihat dari sudut perlunya perlindungan masyarakat terhadap penyalahgunaan kekuasaan dalam menggunakan sanksi pidana atau reaksi terhadap pelanggaran pidana, maka tujuan pidana sering dirumuskan untuk mengatur atau membatasi kewenangan penguasa maupun warga masyarakat pada umumnya. Perumusan pidana lain yang sejalan dengan tujuan ini antara lain : “policing the police”, “menyediakan saluran untuk motif-motif balas dendam” atau “menghindari balas dendam”, maupun “tujuan menteror” yang melindungi pelanggaran terhadap pembalasan sewenangwenang di luar hukum. 65 Barda Nawawi 2, Op.cit Hlm. 85-86 52 4. Tujuan pidana adalah untuk memulihkan keseimbang masyarakat. Tujuan ini dilatar belakangi perlunya perlindungan masyarakat dengan mempertahankan keseimbangan atau keselarasan berbagai kepentinngan dan nilai yang terganggu oleh adanya kejahatan. Perumusan tujuan pidana lainnya yang mencerminkan tujuan antara lain: “untuk menghilangkan noda-noda yang diakibatkan oleh tindak pidana”, untuk mnyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbanga untuk mendatangkan rasa damai dalam masyarakat. 2.2 Tindak Pidana Khusus 2.2.1 Definisi Tindak Pidana Khusus Tidak ada pendefisian Tindak Pidana Khusus secara baku. Berdasarka MvT dari pasal 103 KUHP, istilah “Pidana Khusus” dapat diartikan sebagai perbuatan pidana yang ditentukan dalam perundangan tertentu di luar KUHP. K. Wantjik Saleh Ihwal latar belakang timbulnya tindak pidana Khusus: “ Apa yang tercantum dalam KUHP pasti tidak dapat mengikuti perkembangan zaman. Selalu timbul berbagai perbuatan yang tidak disebut oleh KUHP sebagai suatu perbuatan yang merugikan masyarakat dan melawan hukum, maka Penguasa/Pemerintah dapat mengeluarkan suatu peraturan atau undang-undang yang menyatakan bahwa suatu perbuatan menjadi tindak pidana. Berhubungan tindak pidana tersebut tidak berada di dalam KUHP, maka disebut Tindak Pidana diluar KUHP. 53 Rochmat Soemitro, mendefinisikan tindak pidana khusus sebagai tindak pidana yang diatur tersendiri dalam undang-undang khusus, yang memberikan peraturan khusus tentang tata cara penyidikannya, tuntutannya, pemeriksaanya, maupun sanksinya yang menyimpang dari ketentuan yang dimuat dalam KUHP. 66 2.2.2 Latar Belakang, Tujuan, dan Ruang Lingkup Pengaturan Tindak Pidana Khusus Perkembangan kriminalitas dalam masyarakat telah mendorong lahirnya Undang-Undang Tindak Pidana Khusus, yaitu Undang-Undang Hukum Pidana yang ada diluar KUHP. Kedudukan Undang-Undang Hukum Pidana Khusus dalam sistem hukum pidana adalah sebagai pelengkap dari hukum pidana yang dikodifikasi dalam KUHP. KUHP sendiri menyatakan tetang kemungkinan adanya Undang-Undang di luar KUHP itu, sebagaimana dapat disimpulkan dari ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Pasal 103 KUHP. Bertitik tolak dari hal itu, Andi Hamzah berpendapat di Indonesia dapat timbul Undang-Undang tersendiri di luar KUHP karena dua faktor yaitu: a. Adanya ketentuan-ketentuan lain diluar KUHP: Pasal 103 KUHP yang memungkinkan pemberlakuan ketentuan pidana dan sanksinya terhadap suatu perbuatan pidana yang menurut Undang-Undang dan peraturanperaturan lain di luar KUHP diancam dengan pidana, kecuali ditentukan lain oleh Undang-Undang, dan b. Adanya pasal 1 s.d. pasal 85 KUHP tentang Ketentuan Umum yang memungkinkan penerapan aturan-aturan pidana umum bagi perbuatanperbuatan pidana yang ditentukan di luar KUHP, kecuali peraturan yang menyimpang 66 Adama Chazawi, Op.cit H. 13 54 Tujuan pengaturan terhadap tindak-tindak pidana yang bersifat khusus adalah mengisi kekurangan ataupun kekosongan hukum tidak tercakup pengaturannya dalm KUHP, namun dengan pengertian bahwa pengaturan itu masih tetap dan berada dalam batas-batas yang diperkenankan oleh hukum pidana formil dan materiil. Titik tolak kekhususan suatu peraturan perundang-undangan khusus dapat dilihat dari perbuatan yang diatur, masalah subjek tindak pidana, pidana dan pemidanaanya. Subjek hukum Tindak Pidana Khusus diperluas, tidak saja meliputi orang pribadi melainkan juga badan hukum (Korporasi). Sedangkan dari aspek masalah pemidanaan, dilihat dari pola perumusan ataupun pola ancaman sanksi, Tindak Pidana Khusus dapat menyimpang dari ketentuan KUHP. Substansi Tindak Pidana Khusus menyangkut 3 permasalahan yakni tindak pidana, pertanggungjawaban pidana, serta pidana dan pemidanaan. Ruang lingkup Tindak Pidana Khusus tidak bersifat tetap, tetapai dapat berubah sesuai dengan apakah ada penyimpangan atau menetapkan sendiri ketentuan khusus dari Undang-Undang pidana yang mengatur substansi tersebut.67 2.3 Korporasi 2.3.1 Pengertian Korporasi Secara etimologi tentang kata berasal dari kata “corporation” dala bahasa latin. Seperti halnya dengan kata-kata lain yang berakhir dengan “tio”, maka 67 Aziz Syamsuddin,2011, Tindak Pidana Khusus, Sinar Grafika, jakarta, h.10-13 55 corporation sebagai kata benda (substantivum), berasal dari kata kerja corporare, yang banyak dipakai orang pada zaman abad pertengahan atau sesudah itu. Corporare sendiri berasal kata “corpus” (Indonesia=badan), yang berarti memberikan badan atau membadankan, dengan demikian Corporatio itu berarti hasil dari pekerjaan membadankan, dengan perkataan lain badan dijadikan orang, badan yang diperoleh dengan perbuatan manusia sebagai lawan terhadap badan manusia, yang telah terjadi menurut alam.68 Muladi dan Dwidja Priyatno menyatakan bahwa korporasi berasal dari kata corporate, yaitu suatu badan yang mempunyai sekumpulan anggota dan anggotaanggota tersebut mempunyai hak dan kewajiban sendiri yang terpisahkan dari hak dan kewajiban tiap-tiap anggota.69 Korporasi merupakan sebutan yang lazim digunakan di kalangan ahli hukum pidana untuk menyebut apa yang biasa dalam hukum lain khususnya dalam hukum perdata, sebagai badan hukum atau yang dalam bahasa Belanda disebut rechts person,dan dalam bahasa inggris disebut legal entities atau corporation. Secara istilah, korporasi diartikan sebagai suatu gabungan orang yang dalam pergaulan hukum bertindak bersama-sama sebagai subjek hukum tersendiri atau suatu personifikasi. Korporasi adalah badan hukum 68 Soetan K. Malikoel Adil, 1955, Pembaharuan Hukum Perdata, PT Pembangunan, Jakarta, H. 83 69 Muladi dan Dwidja Priyatno, 1991, Pertangggungjawaban Pidana Korporasi dalam Hukum Pidana, STIH, Bandung, H. 19-20. 56 yang beranggota serta memiliki hak dan kewajiban sendiri terpisah dari hak dan kewajiban anggota masing-masing.70 Jadi, korporasi adalah badan hukum yang tidak memiliki fisik dan oleh karena itu tidak dapat bertindak atau memiliki kehendak kecuali melalui direktur atau karyawannya. Direktur atau karyawannya juga merupakan entitias hukum yang berbeda dengan korporasi, karena semua bentuk pertanggungjawaban hukum korporasi adalah melalui pertanggung jawaban pengganti. Pemikiran ini berarti bahwa korporasi tidak bisa melakukan kejahatan, tapi orang-orang yang bertindak untuk dan/atau atas nama korporasilah yang bisa melakukan kejahatan. Terkait dengan pemikiran bahwa korporasi tidak bisa melakukan tindakan hukum tanpa melalui orang-orang tertentu, Chidir Ali menyatakan bahwa hukum memberi kemungkinan dengan memenuhi syarat-syarat tertentu, bahwa suatau perkumpulan atau badan lain dianggap sebagai orang yang merupakan pembawa hak dan karenannya dapat menjalankan hak-hak seperti orang biasa serta dapat dipertanggungjawabkan. Namun demikian, badan hukum (korporasi) bertindak harus dengan perantara orang biasa, akan tetapi orang yang bertindak itu tidak untuk dirinya sendiri, akan tetapi orang yang bertindak itu tidak untuk dirinya sendiri, melainkan untuk dan atas pertanggunggugutan korporasi.71 Alasan memasukkan korporasi sebagai badan hukum karena memiliki usurunsur : (a) mempunyai harta sendiri yang terpisah; (b) ada suatu organisasi yang 70 71 Mahrus Ali, 2013, Op.cit, H.2 Chidir Ali, 1991, Badan Hukum, Alumni, Bandung, H. 18-21 57 ditetapkan oleh suatu tujuan di mana kekayaan terpisah itu diperuntukkan; dan (c) ada pengurus yang menguasai dan mengurusnya. 72 Arti korporasi bisa juga diketahui dari jawaban atas pertayaan, “Apakah subyek hukum?” Pengertian subjek hukum pada pokonya manusia dan segala sesuatu yang berdasarkan tuntutan kebutuhan masyarakat yang oleh hukum diakui sebagai pendukung hak dan kewajiban. Pengertian yang kedua inilah yang dinamakan badan hukum. 73 Dengan demikian, jika korporasi dianggap sebagai subjek hukum seperti halnya manusia, konsekuensi logis yang melekat padanya adalah bahwa korporasi bisa melakukan perbuatan-perbuatan hukum, seperti melakukan transaksi bisnis, mengadakan perjanjian kredit, hak untuk memiliki barang dan harta kekayaan, hak untuk menuntut dan dituntut. Namun demikian, ada beberapa jenis tindakan hukum yang tidak bisa dilakukan korporasi antara lain melakukan perkawinan, pewarisan, dan sebagainya.74 2.3.2 Tahap-Tahap Perkembangan dan Perubahan Korporasi Sebagai Subjek Hukum Pidana Perubahan dan perkembangan kedudukan korporasi sebagai subjek hukum pidana mengalami perkembangan secara bertahap. Pada umumnya secara garis besarnya dapat dibedakan dalam tiga tahap. 75 72 Ali Rido, 1986, Badan Hukum dan Kedudukan Badan Hukum Bagi Perseroan Perkumpulan, Koperasi, Yayasan, Wakaf, Alumni, Bandung, H.1-9. 73 Chidir Ali, Op.cit, H. 18 74 Mahrus Ali, Op.cit, H. 5 75 Muladi dan Dwidja Priyatno, Op.cit.H. 53 58 1. Tahap Pertama Tahap ini ditandai dengan usaha-usaha agar sifat delik yang dilakukan korporasi dibatasi pada perorangan (naturlijk persoon). Sehingga apabila suatu tindak pidana terjadi dalam lingkungan korporasi, maka tindak pidana itu dianggap dilakukan oleh pengurus korporasi tersebut. Dalam tahap ini membebankan “tugas mengurus” (zorgplicht) kepada pengurus. Dengan demikian, tahap ini merupakan dasar bagi Pasal 59 KUHP yang berbunyi: Dalam hal-hal di mana karena pelanggaran ditentukan pidana terhadap pengurus, anggota badan pengurus, atau komisaris, maka pengurus, anggota badan pengurus, atau komisaris yang teryata tidak ikut campur melakukan pelanggaran tindak pidana.” Dengan melihat ketentuan tersebut, maka para penyusun Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dahulu dipengaruhi oleh asas societas delinquere nonpotest, yaitu badan hukum tidak dapat melakukan tindak pidana. Menurut, Enschede, ketentuan universitas delinquere nonpotest, adalah contoh khas dari pemikiran secara dogmatis dari abad XIX, di mana kesalahan menurut hukum pidana selalu disyaratkan dan sesungguhnya hanya kesalahan dari manusia, sehingga erat kaitannya dengan sifat individualisasi KUHP. Pada tahap pertama ini bahwa pengurus yang tidak memenuhi kewajiban yang sebenarnya merupakan kewajiban korporasi dapat dinyatakan bertanggungjawab. Dalam Pasal 59 KUHP diatas memuaat 59 alasan pengapusan pidana. Kesulitan yang timbul dengan Pasal 59 KUHP ini adalah sehubungan dengan ketentuan-ketentuan dalam hukum pidana yang menimbulkan kewajiban bagi seorang pemilik atau seorang pengusaha. Dalam hal pemilik atau pengusahanya adalah korporasi, sedangkan tidak ada pengaturan bahwa pengurusnya bertanggungjawab maka bagaimana memutuskan tentang pembuat dan pertanggungjawabnya? Kesulitan ini dapat diatasi dengan perkembangan tentang kedudukan korporasi sebagai subjek tindak pidana tahap kedua.76 2. Tahap Kedua Tahap kedua ini ditandai dengan pengakuan yang timbul sesudah perang dunia pertama dalam perumusan undang-undang bahwa suatu tindak pidana, dapat dilakukan oleh perserikatan atau badan usaha (korporasi). Tanggung jawab untuk itu juga menjadi beban dari pengurus badan hukum. Perumusan khusus untuk ini adalah apakah jika suatu tindak pidana dilakukan oleh atau karena suatu badan hukum, tuntutan pidana dan hukuman pidana harus dijatuhkan terhadap pengurusnya. Secara perlahanlahan tanggung jawab pidana beralih dari anggota pengurus kepada mereka yang memerintah, atau dengan larangan melakukan apabila melalaikan memimpin secara sesungguhnya. Dalam tahap ini korporasi dapat menjadi delik, akan tetapi yang dipertanggungjawabkan adalah para anggota pengurus, asal saja dengan tegas dinyatakan demikian dalam peraturan itu. 76 Muladi dan Dwidja Priyatno, Op.cit. H. 53-54. 60 Pada tahap kedua ini belum adanya pertanggungjawaban pidan secara langsung.77 3. Tahap Ketiga Tahap ketiga ini merupakan permulaan adanya tanggung jawab yang langsung dari korporasi yang dimulai pada waktu dan setelah Perang Dunia II. Dalam tahap ini dibuka kemungkinan untuk menuntut korporasi dan meminta pertanggungjawabannya menurut hukum pidana. Alasan lain adalah karena misalnya dalam delik-delik ekonomi dan fisika keuntungan yang diperoleh korporasi atau kerugian yang diderita masyarakat dapat demikian besarnya, sehingga tidak akan mungkin seimbang bilamana pidana yang dijatuhkan kepada pengurus korporasi saja. Diajukan alasan bahwa dengan hanya memidana para pengurus tidak atau belum tentu ada jaminan bahwa korporasi tidak akan mengulangi delik tersebut. Memidana korporasi dengan jenis dan beratnya yang sesuai dengan sifat korporasi itu, diharapkan dapat dipaksa korporasi untuk mentaati peraturan bersangkutan. Peraturan perundang-undangan yang menempatkan korporasi sebagai subjek hukum dan secara langsung dapat dipertanggungjawabkan secara pidana adalah Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang No.7 Drt 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi, yaitu berbunyi: “Jika suatu tindak pidana ekonomi dilakukan oleh atau atas nama suatu badan hukum, suatu perseroan, suatu perserikatan orang atau yayasan, 77 Muladi dan Dwidja Priyatno, Op.cit H. 55-56. 61 maka tuntutan pidana dilakukan dan hukuman pidana serta tindakan tata tertib dijatuhkan, baik terhadap badan hukum perseroan, perserikatan atau yayasan itu, baik terhadap mereka yang memberi perintah melakukan tindak pidana ekonomi itu atau bertindak sebagai pemimpin dalam perbuatan atau kelalaian itu, maupun terhadap kedua-duanya.” Perumusan serupa dapat kita jumpai dalam Undang-Undang No. 6 Tahun 1984, LN 1984-28, yaitu Undang-Undang tentang Pos dalam pasal 19 ayat (3) Undang-Undang Lingkungan Hidup, Pasal 46 ayat (1) dan ayat (2), Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Pasal 20 ayat (1) tentang Tindak Pidana Korupsi, dan peraturanperaturan lainnya. Perumusan di atas menyatakan bahwa yang dapat melakukan maupun yang dapat dipertanggungjawabkan adalah orang dan/atau perserikatan/korporasi itu sendiri. Sehingga dalam tahap ini (tahap ketiga) peraturan perundang-undangan di Indonesia yang mencantumkan tanggung jawab langsung dari korporasi hanya terbatas dalam perundangundangan khusus diluar KUHP.