POLA KOMUNIKASI GURU DENGAN SISWA AUTIS KELAS IV SEKOLAH DASAR DI SEKOLAH AUTISME LABORATORIUM UNIVERSITAS NEGERI MALANG Siti Robiah1 Dawud2 Kusubakti Andajani2 E-mail: [email protected] Universitas Negeri Malang, Jalan Semarang 5 Malang ABSTRAK: Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan bentuk, fungsi, dan hambatan komunikasi guru dengan siswa autis kelas IV SD. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif jenis studi kasus. Hasil penelitian menunjukkan terdapat dua bentuk komunikasi, yaitu verbal dan nonverbal. Terdapat tujuh fungsi komunikasi, yaitu memerintah, menegaskan, menyetujui, menanyakan, menolak, menyatakan sesuatu, dan mengungkapkan. Ditemukan tiga hambatan komunikasi, yaitu ketidakselarasan keinginan guru dengan kemampuan intelektual siswa, ketidakseimbangan pilihan kata guru dengan kemampuan intelektual siswa, dan ketidaksesuaian keinginan guru dengan kondisi emosi siswa. Kata Kunci: pola komunikasi, komunikasi autisme, komunikasi guru dengan siswa. ABSTRACT: The aims of research is to describe the communication system, functions, and the obstacles of teachers and autism students grade IV of elementary school. This study uses qualitative method through a study case. The results of this study show that there are two kinds of communication system, verbal and nonverbal. There are seven functions of communication, which are ordering, explaining, agreeing, asking, rejecting, stating, expressing. Found three obstacles of communication, they are the dissimilarity between the teachers’ desire and the students’ intellectual ability, misbalanced of the teachers’ diction and the students’ intellectual ability, and inappropriateness between the teachers’ desire and the students’ emotion. Key words: Communication System, Autism Communication, TeachersStudents Communication. Komunikasi merupakan aktivitas dasar manusia. Manusia dapat saling berhubungan satu sama lain dalam kehidupan sehari-hari di rumah tangga, di tempat kerja, di pasar, dalam masyarakat atau di mana saja manusia berada. Semua manusia terlibat dalam kegiatan komunikasi dan berbahasa. Komunikasi akan berjalan dengan lancar dan berhasil bila proses itu berjalan dengan baik. Proses komunikasi terjadi melalui bahasa. Menurut Hanafi (1984:217) dan Mulyana (2009:259-341) bentuk bahasa dapat berupa isyarat, gestur, tulisan, gambar, dan wicara. Selain itu, menyebutkan bahwa komunikasi memiliki beberapa fungsi, yaitu mengenal diri sendiri dan orang lain, mengetahui dunia luar, menciptakan dan memelihara lingkungan, bermain dan mencari hiburan, dan 1 Siti Robiah adalah mahasiswa Fakultas Sastra, Universitas Negeri Malang. Artikel ini diangkat dari Skripsi Sarjana, Universitas Negeri Malang, 2012. 2 Dawud adalah dosen pembimbing I, dosen Fakultas Sastra, Universitas Negeri Malang. 2 Kusubakti Andajani adalah dosen pembimbing II, dosen Fakultas Sastra, Universitas Negeri Malang. membantu orang lain (Widjaja, 2000). Hal ini menandakan pentingnya komunikasi bagi manusia. Percakapan yang ada dalam proses pembelajaran di kelas merupakan realitas komunikasi penggunaan bahasa. Komunikasi di kelas memiliki peran yang sangat penting dalam proses pembelajaran. Selain itu, sekolah merupakan lembaga pendidikan formal yang pada hakikatnya bertujuan untuk mengubah tingkah laku siswa. Proses perubahan tingkah laku tersebut terutama terjadi melalui komunikasi. Oleh karena itu, guru memiliki peran yang sangat penting. Di sisi lain, sekolah di Indonesia ada dua jenis, yaitu sekolah umum dan sekolah khusus seperti sekolah luar biasa, sekolah inklusi, sekolah autis, dan sekolah khusus lainnya. Diketahui pula bahwa kondisi anak cukup beragam. Dalam kenyataan setidaknya terdapat dua karakter anak, yaitu anak normal dan anak yang memerlukan penanganan khusus. Salah satu kategori anak yang memerlukan penanganan khusus adalah autis. Komunikasi dan bahasa anak autis sangat berbeda dari kebanyakan anakanak seusianya. Anak-anak autis meliliki kesulitan dalam memahami komunikasi baik verbal maupun nonverbal. Sebagai contoh ketika anak autis diminta untuk melakukan tugas tertentu. “Ambil bola merah!”. Anak autis sulit untuk merespon tugas tersebut karena kesulitan memahami konsep ambil, bola, dan merah. Anakanak autis memiliki kesulitan untuk berkomunikasi dalam bahasa, sekalipun dalam bahasa isyarat atau gestur. Mereka kesulitan untuk menyampaikan pesan dan menerima pesan. Prasetyono (2008) menyebutkan autis adalah gangguan perkembangan--khususnya terjadi pada masa anak-anak---yang membuat seseorang tidak mampu mengadakan interaksi sosial dan seolah-olah hidup dalam dunianya sendiri. Dalam pernyataan tersebut jelas dikatakan bahwa anak autis mempunyai masalah dalam berkomunikasi. Autis memiliki kemungkinan untuk dapat disembuhkan. Akan tetapi, hal ini tergantung dari berat tidaknya gangguan yang ada. Melihat kenyataan tersebut, seorang guru harus berupaya keras dalam menjalin komunikasi dengan siswa autis. Selain itu, perlu ada dukungan dari orang tua, dan orang-orang yang berada di sekitarnya. Orang tua anak autis perlu memahami strategi atau teknik berkomunikasi dengan anaknya. Dengan strategi dan cara yang tepat, tentunya hal ini mendukung perkembangan komunikasi anak tersebut. Begitu pula saat ia berada di sekolah, guru autis perlu intensif, cara berkomunikasi yang tepat, dan mempunyai teknik-teknik yang bervariasi agar anak autis mampu berkomunikasi sesuai dengan tingkat perkembangannya. Pemahaman yang minim tentang kekuatan komunikasi merupakan sebuah masalah penting dalam autisme. Namun perlu diketahui oleh orang tua, guru, ataupun terapis bahwa fungsi komunikasi yang paling penting untuk dilakukan bersama anak/siswa autis adalah meminta sesuatu, meminta perhatian, menolak, membuat komentar, memberi informasi, menanyakan informasi, dan mengungkapkan emosi (Peeters, 2004). Dengan diketahuinya bentuk, fungsi, dan hambatan dalam komunikasi pada wacana komunikasi guru dengan siswa kelas IV SD maka akan ditemukan pola komunikasi yang terbentuk. Berdasarkan penjabaran di atas, penelitian ini memiliki tujuan mendeskripsikan: (1) bentuk komunikasi guru dengan siswa autis kelas IV SD, (2) fungsi komunikasi guru dengan siswa autis kelas IV, dan (3) hambatan komunikasi guru dengan siswa autis kelas IV SD. METODE Berdasarkan masalah yang telah dirumuskan, pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif dengan jenis penelitian studi kasus. Teknik pengumpulan data yang digunakan penelitian ini adalah (1) observasi, (2) perekaman, (3) pencatatan lapangan, dan (4) wawancara. Instrumen penelitian yang digunakan adalah pedoman observasi dan pedoman wawancara. Kedua pedoman ini telah diuji oleh ahli yang bersangkutan. Data berupa tuturan dan perilaku yang telah selesai dikumpulkan dalam bentuk audio visual pada wacana komunikasi yang dilakukan guru dengan siswa autis kelas IV SD di Sekolah Autisme Laboratorium Universitas Negeri Malang. Sumber data penelitian ini adalah seorang guru dan dua siswa autis kelas IV SD di Sekolah Autisme Laboratorium Universitas Negeri Malang. Data yang diperoleh dianalisis dengan tiga tahap, yaitu mereduksi data, mengodekan data, dan tahap verifikasi data. Pada tahap mereduksi data, tahapan yang dilakukan yaitu merangkum, memilih hal-hal pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema dan polanya dengan memberikan kode pada aspek-aspek tertentu. Tahap mengodekan data yaitu memberikan tanda atau kode sesuai dengan rumusan pada data yang telah dipilah-pilah dan pengklasifikasian terhadap rumusan kode pada data yang telah dipilah-pilah. Tahap terakhir yaitu tahap penyajian data. HASIL PENELITIAN Hasil penelitian ini dipaparkan sebagai berikut. Bentuk komunikasi guru dengan siswa autis kelas IV SD terbagi menjadi dua kategori, yaitu (a) verbal dengan kategori asertif, direktif, ekspresif, dan komisif, dan (b) nonverbal dengan dua jenis, yaitu isyarat dan tindakan yang mempunyai kategori, yaitu isyarat asertif, isyarat direktif, dan tindakan direktif. Terdapat fungsi komunikasi guru dengan siswa autis kelas IV SD, yaitu memerintah, menegaskan, menyetujui, menanyakan, menolak, menyatakan sesuatu, dan mengungkapkan. Ditemukan tiga hambatan komunikasi guru dengan siswa autis kelas IV SD, yaitu ketidakselarasan keinginan guru dengan kemampuan intelektual siswa, ketidakseimbangan pilihan kata guru dengan kemampuan intelektual siswa, dan ketidaksesuaian keinginan guru dengan kondisi emosi siswa. PEMBAHASAN Bentuk Komunikasi Guru dengan Siswa Autis Kelas IV SD Bentuk komunikasi ini memiliki dua macam, yaitu verbal dan nonverbal. Bentuk komunikasi verbal adalah sarana utama untuk menyatakan pikiran dan perasaan. Komunikasi verbal menggunakan kata-kata yang mempresentasikan berbagai aspek realitas individual (Mulyana, 2009). Bentuk komunikasi ini baik diikuti oleh tindakan atau isyarat atau pun verbal secara utuh. Bentuk komunikasi verbal tersebut ditemukan empat kategori, yaitu (1) asertif, (2) direktif, (3) asertif, dan (4) komisif. Bentuk komunikasi asertif dinyatakan oleh komunikator jika pernyataan komunikan dan komunikator mempunyai pendapat yang sama. Sejalan dengan hal tersebut, dalam P02 unit percakapan (307), guru menjelaskan suatu pernyataan dan hal itu disetujui atau dibenarkan oleh siswa. P02 G S2 G S2 “Aan mau dengerin lagu?” (302) “Mau. Dengerin musik.” (303) “Lagu apa?” (304) “Bunga Citra Lestari.” (305) “Ganti.” (hendak menekan tombol pada handphone) (306) G : “Nanti anu, ganti sendiri nanti.” (307) (D01/P02) S2 : “Owh, iya.” (308) “Ganti lah, cari-cari.” (309) Konteks : Guru menyatakan kepada muridnya bahwa lagu yang sedang diputar di handphone akan berganti dengan sendirinya tanpa harus menekan tombol-tombol tertentu. : : : : Pada tuturan (307) di atas, guru memberikan pernyataan itu dikarenakan pada tuturan sebelumnya siswa hendak menekan tombol handphone sambil mengatakan “ganti”. Secara otomatis guru memberikan pernyataan pada tuturan (307) tersebut dan siswa membenarkannya. Dari percakapan di atas, pernyataan guru yang disampaikan pada keadaan sebenarnya merupakan bentuk komunikasi verbal karena komunikator dalam hal ini guru mengeluarkan bunyi bahasa yang dapat di mengerti oleh orang lain khususnya siswa. Hal ini sejalan dengan pendapat Searle (dalam Leech, 1993) yang menyatakan bahwa tindak tutur asertif adalah suatu tindak tutur yang terikat pada kebenaran preposisi yang diungkapkan. Artinya, tindak tutur tersebut dinyatakan sesuai dengan keadaan sebenarnya (Saksomo, 2001). Sama halnya dengan bentuk komunikasi verbal dengan kategori asertif yang telah dijelaskan di atas, bentuk komunikasi verbal dengan kategori direktif, ekspresif, dan komisif mempunyai karakteristik sesuai dengan kategori masing-masing. Bentuk komunikasi yang kedua adalah bentuk komunikasi nonverbal, yaitu semua bentuk komunikasi yang bukan kata-kata. Bentuk komunikasi ini murni sebagai bentuk komunikasi nonverbal. Artinya, bentuk komunikasi ini tanpa diikuti atau disertai tuturan verbal. Komunikasi nonverbal terbagi menjadi dua jenis, yaitu komunikasi isyarat dan komunikasi tindakan (Mulyana, 2009). Dengan kata lain, bentuk dari komunikasi nonverbal tersebut yaitu berupa isyarat dan tindakan. Sementara bentuk komunikasi tersebut memiliki esensi atau makna yang berbeda-beda sesuai dengan yang ditemukan dalam penelitian ini, yaitu isyarat asertif, isyarat direktif, dan tindakan direktif. Telah dijelaskan di atas bahwa bentuk komunikasi asertif adalah bentuk komunikasi yang menjelaskan apa dan bagaimana sesuatu itu sesuai dengan keadaan sebenarnya. Perbedaannya dalam hal ini adalah sesuatu tersebut dijelaskan atau disampaikan dalam bentuk nonverbal. Sejalan dengan hal tersebut, dalam P04 unit percakapan (18), guru menyampaikan suatu pernyataan persetujuan dari pernyataan siswa dalam bentuk ekspresi tubuh. P04 S1 G S1 G G S2 : “O..leng.” (04) : “Heem.” (05) “Yang keras suaranya!” (06) : “Go..song.” (07) : “Heeh. Sek, stop dulu!” (08) : “Ini, ini.” (menunjukkan lembaran buku yang hendak difotokopi) (09) : “Dua kali.” (10) : “Ini juga dua kali.” (memberi isyarat tangan dua kali dengan mengacungkan dua jari) (11) S2 : “Dua kali juga. Di atas.” (12) G : “Iya.” (13) G : “Yang keras, yang keras!” (mengangkat dagu siswa) (14) “Lo..?” (15) G : “Lo?” (16) S1 : “Lo..rong..” (memandang guru) (17) G : (mengangguk menandakan benar apa yang diucapkan siswa) (18) (D12/P04) Konteks : Guru menyetujui atau membenarkan pernyataan siswa mengenai cara membaca teks. G Guru menuntun siswanya membaca teks yang ada pada buku teks. Selanjutnya pada tuturan ke (17), siswa meminta persetujuan guru untuk membenarkan bacaannya dengan ekspresi memandang guru setelah membaca teks tersebut. Sehingga pada tuturan (18), guru memberikan pernyataan persetujuan atas pernyataan yang disampaikan siswa melalui bentuk nonverbal yakni dengan menganggukan kepala menandakan kebenaran yang dikatakan oleh siswa. Hal ini sejalan dengan pendapat Hanafi (1984) yang mengatakan bahwa salah satu bentuk komunikasi adalah bentuk komunikasi nonverbal. Sejalan pula dengan bentuk komunikasi direktif, bentuk komunikasi ini menghasilkan suatu efek berupa tindakan yang dilakukan petutur atau komunikan (Leech, 1993). Perbedaannya adalah pernyataan tersebut ada dalam bentuk nonverbal. Fungsi Komunikasi Guru dengan Siswa Autis Kelas IV SD Fungsi komunikasi ini ditemukan tujuh fungsi, dalam hal ini fungsi komunikasi tersebut berupa verbal dan atau nonverbal, yaitu memerintah, menegaskan, menyetujui, menanyakan, menolak, menyatakan sesuatu, dan mengungkapkan. Pertama, fungsi komunikasi memerintah adalah fungsi yang menghasilkan efek berupa tindakan yang akan dilakukan oleh komunikan, dalam hal ini guru kepada siswanya (Leech, 1993). Fungsi komunikasi memerintah mempunyai beberapa modus yang terbagi menjadi beberapa bagian, yaitu (1) memerintah dengan modus melarang, (2) memerintah dengan modus memberi nasihat, (3) memerintah dengan modus memesan, (4) memerintah dengan modus menuntut, (5) memerintah dengan modus meminta, dan (6) memerintah dengan modus mengharap. Keenam bagian dengan modus berbeda-beda tersebut memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaannya adalah keenam modus itu ada dalam satu fungsi yaitu memerintah. Perbedaannya adalah fungsi memerintah tersebut disampaikan dengan tujuan atau modus yang bermacam-macam sesuai dengan enam bagian di atas. Fungsi komunikasi memerintah dengan modus melarang, yaitu fungsi komunikasi yang menghasilkan efek berupa tindakan yang akan dilakukan oleh komunikan, dalam hal ini guru kepada siswa dalam bentuk larangan. Pendapat ini sejalan dengan yang dinyatakan oleh Jumadi (2005) bahwa bentuk larangan juga berisi perintah, tetapi perintah negatif, yakni agar mitra tutur atau komunikan tidak melakukan sesuatu. Sejalan dengan hal tersebut, terlihat pada percakapan P01 unit tuturan (73) berikut. P01 G S2 G : “Di dapur, ibu lalu mengupas kulit pisang-pisang itu.” (71) : “Di dapuuur…” (72) : “Gak usah panjang-panjang.” (73) “Di dapur, ibu lalu mengupas kulit pisang-pisang itu.” (74) (D17/P01) : “Di dapur, ibu lalu mengupas kulit pisang-pisang itu. Setelah dikupas buahnya, lalu dibelah dua. Selanjutnya pisang itu dimasukkan ke dalam adonan tepung beras. Kemudian pisang yang sudah berlumur tepung itu digoreng. Kini Lasmi dan keluarganya sedang menikmati pisang goreng. Rasanya sungguh lezat. Mereka menikmati hasil kebun sendiri.” (75) Konteks : Guru meminta siswa untuk membacakan teks dari buku teks Bahasa Indonesia S2 Guru mencontohkan cara membaca teks kepada siswanya. Namun siswa melakukan kesalahan saat membaca teks yaitu berlebihan dalam satu vokal tertentu seperti pengucapan kata “dapur” yang diucapkan pada huruf U dengan vokal panjang. Sehingga guru memerintah dalam bentuk larangan untuk tidak membaca teks dengan nada terlalu panjang dan guru mencontohkan cara pembacaan yang benar. Akibat dari larangan tersebut, siswa kembali membaca teks namun tidak dengan nada yang panjang seperti sebelumnya. Hal ini selaras dengan penelitian Aprilianti (2008) yang mengatakan bahwa tindak tutur melarang ini digunakan oleh guru saat siswa mengerjakan tugas yang diberikan olehnya di tempat duduk masing-masing. Pada saat itulah, banyak siswa yang bertindak dan bertutur sehingga menimbulkan reaksi guru berupa tindak tutur melarang. Kedua, fungsi komunikasi menegaskan memiliki fungsi yang sama dengan fungsi memerintah. Fungsi ini sejalan dengan pendapat Hymes (dalam Jumadi, 2005) yang mengatakan bahwa penggunaan tindak menegaskan terkait dengan berbagai tujuan, misalnya untuk menghilangkan keragu-raguan, memberikan penekanan, atau yang lain. Fungsi komunikasi menegaskan memiliki dua modus yang memiliki persamaan dengan perbedaan pada tujuan dari menegaskan tersebut, yaitu menegaskan dengan modus menjelaskan dan menegaskan dengan modus meyakinkan. Fungsi komunikasi menegaskan dengan modus menjelaskan ini dapat dilihat pada percakapan P01 tuturan (56)-(60) berikut. P01 G S2 G S2 “Membaca dulu Mas Aan!” (51) “Membaca!” (52) “Yang ini.” (membawakan buku bacaan) (53) “Menikmati pisang sendiri.” (54) “Di pekarangan, rumah Lasmi, ada pohon, pisang, nangka.” (55) G : “Begini membacanya, Lek! (menunjuk bacaan yang hendak dibaca) (56) (D30/P01) “Dilihat ya, dari sini sampai disini baru ada koma, jadi gak boleh putus-putus. Begini…” (57) (D31/P01) “Di pekarangan rumah Lasmi,.. Ini kan koma, koma itu berhenti dulu.” (58) (D32/P01) “Di pekarangan rumah Lasmi,… lihat! …ada pohon pisang nangka. Titik. Di lihat ini tanda bacanya, gak boleh ngawur.” (59) (D33/P01) “Di pekarangan rumah Lasmi,.. ini kan ada koma, …ada pohon pisang nangka. Titik. Pisang itu ditanam oleh ayah. titik kan? Kini, koma, pohon itu sedang berbuah. (60) (D34/P01) S2 : (Siswa menganggukkan kepala) (61) Konteks : Guru memberi penjelasan cara membaca teks dengan memperhatikan tanda baca yang ada kepada siswanya. : : : : Guru meminta siswanya untuk membaca teks buku pelajaran saat pembelajaran telah dimulai. Namun siswa membaca dengan cara terputus-putus antarkata pada kalimat yang ada. Sehingga guru menegaskan kembali perintah untuk membaca tersebut dengan bentuk pemberian penjelasan. Hal ini tampak pada tuturan (56) sampai dengan (60) bahwa cara membaca teks harus memperhatikan tanda baca yang ada pada teks tersebut. Akibat dari penjelasan guru, siswa menyetujuinya berupa anggukan kepala. Hal ini sejalan dengan pendapat Aprilianti (2008) yang menyebutkan bahwa tindak memberi penjelasan digunakan oleh guru saat kegiatan inti pelajaran dengan cara membahas materi pembelajaran. Begitu pula pada fungsi menegaskan dengan modus meyakinkan. Ketiga, fungsi komunikasi menyetujui memiliki fungsi yang dapat menghasilkan efek berupa tindakan verbal yakni jawaban iya atau tidak. Lebih jelas dapat dilihat pada percakapan P02 tuturan (152) dan (155) berikut. P02 G : “Tanah liat dapat diubah bentuknya. Benda yang berasal dari tanah liat adalah a. genteng, b. meja kayu, c. kuku? (150) S2 : “Genteng.” (151) G : “Oke.” (152) (D41/P02) “Benda yang meleleh jika terkena panas adalah a. pensil, b. kayu, c. lilin?” (153) S2 : “Lilin.” (154) G : “Oke.” (155) (D42/P02) Konteks : Guru menyetujui jawaban siswa yang benar dari pertanyaan yang telah dibacakan. Guru membacakan soal untuk dijawab oleh siswa. Percakapan di atas terjadi saat mata pelajaran IPA berlangsung. Guru menyetujui atau membenarkan jawaban siswa dari soal yang dibacakannya dengan mengatakan “oke” pada tuturan (152) dan (155). Hal ini selaras dengan penelitian Aprilianti (2008) yang mengatakan bahwa tindak tutur menyetujui atau tindak tutur membenarkan pernyataan orang lain digunakan oleh guru pada saat membahas soal-soal yang dikerjakan siswa. Keempat, fungsi komunikasi menanyakan. Fungsi ini terbagi menjadi tiga, yaitu (1) menanyakan dengan modus menawarkan, (2) menanyakan dengan tanpa modus, dan (3) menanyakan dengan modus mengingatkan. Ketiganya memiliki fungsi yang sama. Namun, memiliki perbedaan pada tujuan dari fungsi tersebut. Fungsi komunikasi menawarkan, yaitu fungsi komunikasi berupa pernyataan yang berfungsi untuk menjanjikan suatu tindakan (Leech, 1993). Lebih lanjut, dapat dilihat pada percakapan P02 tuturan (197) berikut. P02 G : “Gambar disamping adalah contoh kegunaan, titik-titik matahari. Apa?” (192) (D44/P02) S2 : “Panas.” (193) G : “Panas.” (194) “Agar kulit terhindar dari pengaruh sinar matahari, sebaiknya kita memakai?” (195) S2 : “Jaket.” (196) G : “Jaket bisa, hand body bisa, memakai baju panjang bisa.” (197) (D45/P02) S2 : “Baju panjang.” (198) G : “Agar mata terhindar dari pengaruh buruk cahaya matahari sebaiknya kita memakai? Apa?” (199) S2 : “Kacamata.” (200) G : “Oke.” (201) Konteks : Guru menegaskan bahwa jawaban siswa benar dan menawarkan untuk alternatif jawaban lain yang bisa digunakan. Guru membacakan soal mata pelajaran IPA untuk dijawab oleh siswa. Fungsi komunikasi menawarkan tampak pada tuturan (197) yaitu ketika guru membacakan soal mengenai penggunaan sesuatu agar kulit terhindar dari pengaruh sinar matahari. Dari pertanyaan tersebut, siswa menjawab jaket. Selanjutnya guru menawarkan beberapa alternatif, sesuatu yang dapat menghindarkan dari pengaruh sinar matahari. Hal ini tampak pada tuturan (197), sehingga siswa merespon tawaran tersebut dengan pilihan baju panjang. Kelima, fungsi komunikasi menolak adalah fungsi komunikasi yang disampaikan komunikator atas penolakannya terhadap sesuatu yang disampaikan komunikan. Sehingga mengakibatkan adanya efek tindakan verbal atau nonverbal dari komunikan tersebut (Leech, 1993). Fungsi komunikasi menolak ini dapat dilihat pada percakapan P04 tuturan (101) berikut. P04 G : “Crayon.” (93) “Crayon.” (94) S1 : (terlihat tidak memahami yang dikatakan guru) (95) G : “Crayon. Crayon. Ce…” (96) S1 : (menuliskan Ce pada kolom isian jawaban yang ada) (97) G : “Heeh.” (98) S1 : (siswa terlihat bingung untuk melanjutkan menulis jawaban) (99) G : “De’e nulis colour dudu crayon.” (menyampaikan kerjaan siswa pada guru yang ada di kelas) (100) “No.” (melambaikan tangan memberikan isyarat kepada siswa atas salahnya pilihan jawaban yang ditulisnya) (101) (D52/P04) G : (mencari crayon yang ada di kelas) (102) “Rend, namanya apa ini?” (103) S1 : (siswa terlihat bingung) (104) G : “Crayon. Ayo!” (105) “Opo, Rend?” (106) S1 : (menunjukkan jawaban pilihan jawabannya dengan melingkarkan jari telunjuknya ke jari jempol tangan kiri) (107) G : (memberi isyarat tanda huruf C dengan jari tangan) (108) S1 : (mencoba menuliskan yang ia pahami) (109) G : “Iya, tulis.” (110) Konteks : Guru menolak pernyataan siswa atas pilihan jawaban yang ditunjukkannya. Tuturan (101) disampaikan guru kepada siswanya sebagai bentuk penolakan terhadap jawaban siswa pada soal yang diberikan guru tersebut. Wacana di atas terjadi ketika siswa mengerjakan tugas bahasa Inggris. Guru memberikan huruf awal pada salah satu jawaban untuk memancing siswa agar meneruskan kata yang dikehendaki. Walaupun pada tuturan sebelumnya sudah diberitahukan oleh guru bahwa jawabannya adalah crayon. Namun siswa belum memahami sehingga guru memberikan umpan dengan mengatakan huruf awal pada kata crayon. Tetapi siswa tidak mengikuti keinginan guru. Ia tidak menuliskan crayon melainkan menulis colour. Sehingga guru memberi pernyataan penolakan atas jawaban siswa tersebut serta memberikan teknik pembelajaran yang lain agar siswa mengerti yang dikehendainya. Hal ini selaras dengan pendapat Searle (dalam Leech, 1993) yang menggolongkan tindak tutur menolak ke dalam bentuk tindak direktif. Keenam, fungsi komunikasi menyatakan sesuatu adalah fungsi komunikasi yang menjelaskan apa dan bagaimana sesuatu itu sesuai dengan keadaan sebenarnya. Fungsi komunikasi ini terbagi menjadi beberapa modus, yaitu (1) menyatakan sesuatu dengan modus melaporkan, (2) menyatakan sesuatu dengan mengusulkan, (3) menyatakan sesuatu dengan modus menyapa, (4) menyatakan sesuatu dengan modus menyangkal, (5) dan menyatakan sesuatu dengan modus menuduh. Fungsi ini sama dengan fungsi-fungsi sebelumnya, yaitu memiliki persamaan dan perbedaan dari tujuan pada masing modus tersebut. Dapat dilihat pada fungsi komunikasi menyatakan sesuatu dengan modus menyapa, yang tampak pada percakapan P04 tuturan (157) berikut. P04 G S2 : “Aan...” (157) (D61/P04) : “Hem, ada apa?” (158) “Apa Bu Santi?” (159) G : “Good Morning Aan?” (160) S2 : “Good Morning Bu Santi.” (161) G : “Good Morning Arend?” (162) “Good Morning Miss Santi.” (menuntun Arend mengucapkan kata) (163) S1 : “Good Morning Miss Santi. (164) Konteks : Guru menyapa siswa dengan memanggil namanya. Tuturan (157) disampaikan guru kepada siswanya. Guru menyapa siswanya yang bernama Aan dengan memanggil namanya. Akibat dari sapaan atau panggilan tersebut, siswa yang bernama Aan memberi respon yang tampak pada tuturan (158) dan (159). Hal ini selaras dengan pendapat Saksomo (2001) yang mengolongkan tindak tutur menyatakan ke dalam bentuk tindak representatif atau asertif. Ketujuh, fungsi komunikasi mengungkapkan adalah fungsi komunikasi yang mengutarakan sikap psikologis komunikator kepada komunikan dalam hal ini guru kepada siswa (Leech, 1993). Fungsi komunikasi mengungkapkan memiliki tiga modus, yaitu (1) mengungkapkan dengan modus menjawab salam, (2) mengungkapkan dengan modus mengekspresikan pujian, dan (3) mengungkapkan dengan modus memberi ucapan terima kasih. Ketiga modus tersebut memiliki persamaan fungsi yaitu mengutarakan sikap psikologis komunikator kepada komunikan. Namun, fungsi tersebut disampaikan dengan tujuan atau modus yang berbeda. Dapat dilihat pada fungsi komunikasi mengungkapkan dengan modus mengekspresikan pujian yang tampak pada percakapan P02 tuturan (22) dan (24) berikut. P02 S2 : “Kakakku bisa berjam-jam duduk di depan komputer. Aku kuat berjam-jam main bola di lapangan.” (membaca teks pada papan tulis) (21) G : “Pintar!” (22) (D71/P02) S2 : “Kakakku gemuk sekali. Ia suka mengemil jika main komputer. Aku tidak segemuk kakakku. Kakakku tetapi tidak terlalu kurus. Badanku sehat karena senang olah raga.” (23) G : “Pintar!” (24) (D72/P02) “Tepuk tangan buat Mas Aan!” (mengajak tepuk tangan dengan memberikan contoh tepuk tangan terlebih dahulu dan diikuti kedua siswanya) (25) Konteks : Guru memuji siswa atas kemampuannya dalam membaca kalimat dengan lancar. Tuturan tersebut disampaikan ketika siswa berhasil membaca teks yang ada di papan tulis. Sehingga guru memberikan apresiasi dan mengungkapkan pujiannya terhadap siswa tersebut. Hal ini sejalan dengan penelitian Aprilianti (2008) yang mengatakan bahwa ekspresi pujian ini muncul saat penutur mengungkapkan pujian terhadap suatu hal. Tindak tutur mengekspresikan pujian ini digunakan guru pada saat siswa dapat menjawab pertanyaan guru dengan benar, sehingga guru memuji siswa tersebut. Selain itu, hal ini selaras dengan penelitian Jumadi (2005) yang menyebutkan bahwa dalam proses pembelajaran, guru tentu akan merasa senang bila siswanya mampu menjawab soal dengan baik. Rasa senang itu diwujudkan dalam tindak ekspresif. Penggunaan tindak ekspresif tersebut antara lain bagus, bagus sekali, ya pintar, Ok, tepat sekali, baik, baik sekali, hebat, dan hebat sekali. Hambatan Komunikasi Guru dengan Siswa Autis Kelas IV SD Hambatan komunikasi guru dengan siswa autis kelas IV SD ini ditemukan tiga, yaitu (1) ketidakselarasan keinginan guru dengan kemampuan intelektual siswa, (2) ketidakseimbangan pilihan kata guru dengan kemampuan intelektual siswa, dan (3) ketidaksesuaian keinginan guru dengan kondisi emosi siswa. Sesuai dengan karakterisitik anak autis yaitu sulit berkomunikasi, tampak asyik bila dibiarkan sendiri, tidak mampu membaca emosi orang lain, tidak mampu untuk memulai sesuatu pembicaraan atau memelihara suatu pembicaraan dua arah yang baik, dan tidak sesuainya perkembangan intelektual siswa dengan perkembangan psikologis maka terjadi ketidakselarasan antara keinginan guru dengan kemampuan intelektual siswa (dalam Dhelpie, 2006). Hal ini selaras pula dengan pendapat Handojo (2003). Oleh karena itu, guru perlu memilih diksi yang tepat dalam pembelajaran agar keinginan pembelajaran guru terhadap siswa dapat tersalurkan. Pendidikan siswapun berjalan sesuai dengan yang seharusnya. Sehingga target pendidikan siswa dapat terlaksana dengan waktu yang tepat. Keinginan guru tidak selaras ini sering terjadi, seperti yang terlihat pada percakapan P01 berikut. P01 G S2 G S2 : (guru menulis soal pada papan tullis) (79) : “Ayah,.. Ayah,..” (80) : “Nanti ditulis disitu!” (menunjuk buku siswa) (81) : “Ditulis dulu.” (82) : “langsung jawabannya saja. Langsung dirangkai. Itu tidak usah ditulis, langsung ditulis yang betul.” (83) “Umpamanya kayak ini ya, ini kan soalnya ini. Jawabannya ini (menunjuk hasil kerja yang sudah diselesaikan siswa di bukunya). Nah, kamu menulis jawabannya saja tapi soalnya ini (menunjuk tulisan yang ada di papan tulis)” (84) “Ngerti?” (85) S2 : “Ngerti.” (86) G : “Ayo, coba.” (87) S2 : “Coba. Bu Dewi pergi ke pasar membeli pisang.” (88) G : “Tulis disitu.” (menunjuk buku siswa) (89) G : “Ya, kamu pintar sekali An.” (90) G : “Soalnya tidak usah di?” (91) S2 : “Tulis.” (92) G : “Ya sudah, soalnya tidak usah ditulis! Langsung jawabannya saja. Sekarang nomor 2.” (93) “Langsung jawabannya saja, tidak usah ditulis soalnya.” (94) S2 : “Ayah sedang pergi ke Surabaya.” (95) G : “Ya, ditulis di buku.” (96) S2 : (siswa menulis jawaban di buku dari soal yang ada di papan tulis) (97) Konteks : Guru memerintah siswanya untuk mengerjakan soal yang ada dipapan tulis untuk ditulis jawabannya pada buku tugas. Guru menulis soal untuk merangkai kata yang diacak untuk menjadi satu kalimat utuh. Perintah guru terhadap siswa terlihat jelas yaitu soal pada papan tulis tidak perlu ditulis ulang. Siswa hanya menulis jawaban dari soal yang ada pada papan tulis tersebut dan ditulis pada buku tugasnya. Perintah guru tersebut tidak dimengerti oleh siswa. Dengan kata lain, keinginan guru agar siswa mengikuti perintahnya tidak tercapai. Hal ini dikarenakan kemampuan intelektual siswa yang tidak sesuai. Sehingga perintah itu disampaikan dan dijelaskan berulang-ulang dengan berbagai teknik agar keinginan guru terhadap soal yang diberikan dapat dipahami dan diselesaikan dengan benar oleh siswa. Percakapan di atas, sejalan dengan pendapat Cummings (2007) yang mengatakan bahwa perkembangan bahasa pada autisme mengalami banyak keterlambatan dan menyimpang secara mencolok. Begitu pula hambatan kedua dan ketiga yang ada pada guru dengan siswa autis kelas IV SD, yaitu ketidakseimbangan pilihan kata atau diksi yang digunakan guru dengan kemampuan intelektual siswa dan ketidaksesuaian keinginan guru dengan kondisi emosi siswa. Hambatan tersebut terjadi karena karakteristik anak autis itu sendiri dan kemampuan guru dalam mendidik siswanya. Sehingga guru harus bisa menyesuaikan dan membantu siswanya dalam mengembangkan komunikasi. Hal ini sejalan dengan pendapat Hadis (2006), Handojo (2003) dan Bruer (dalam Prasetyono, 2008) yang mengatakan bahwa anak autis sangat sedikit melakukan komunikasi dua arah dan kehilangan kontak mata. Selain itu kondisi emosi siswa autis sangat labil. Hal ini dapat dicermati pada karakteristiknya yang suka bermalas-malasan atau duduk menyendiri dengan tampang acuh, selalu diam sepanjang waktu, tidak punya keinginan yang bermacam-macam, tidak menyenangi sekeliling dengan lingkungannya, kecuali pada benda yang disukai (Puspita, 2004). Ketidaksesuaian keinginan guru dengan kondisi emosi siswa ini selaras dengan pendapat Maulana (2007) yang mengatakan bahwa pertumbuhan dan perkembangan individu selain dipengaruhi oleh faktor kematangan dan proses belajar atau latihan, juga dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. PENUTUP Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis penelitian didapatkan tiga kesimpulan. Pertama, bentuk komunikasi guru dengan siswa autis kelas IV SD di Sekolah Autisme Laboratorium Universitas Negeri Malang terbagi menjadi dua, yaitu (1) verbal dan (2) nonverbal. Untuk bentuk komunikasi verbal ditemukan empat kategori, yaitu asertif, direktif, ekspresif, dan komisif. Sementara untuk bentuk komunikasi nonverbal ditemukan dua, yaitu isyarat dan tindakan. Bentuk komunikasi isyarat dengan kategori isyarat asertif dan isyarat direktif. Sementara bentuk komunikasi tindakan hanya satu kategori yaitu tindakan direktif. Kedua, terdapat fungsi komunikasi guru dengan siswa autis kelas IV SD di Sekolah Autisme Laboratorium Universitas Negeri Malang, yaitu memerintah, menegaskan, menyetujui, menanyakan, menolak, menyatakan sesuatu, dan mengungkapkan. Masing-masing fungsi mempunyai modus yang terkategori berdasarkan situasi dan kondisi di lapangan. Ketiga, ditemukan tiga hambatan komunikasi guru dengan siswa autis kelas IV SD di Sekolah Autisme Laboratorium Universitas Negeri Malang, yaitu ketidakselarasan keinginan guru dengan kemampuan intelektual siswa, ketidakseimbangan pilihan kata guru dengan kemampuan intelektual siswa, dan ketidaksesuaian keinginan guru dengan kondisi emosi siswa. Berdasarkan ketiga simpulan di atas, dapat dikatakan bahwa pola komunikasi yang tercipta adalah pola komunikasi satu arah karena pada dasarnya penyampaian pesan dari komunikator, dalam hal ini guru, kepada komunikan tanpa ada umpan balik dari komunikan. Namun, beberapa kali tejadi juga komunikasi dua arah, bahkan multiarah. Saran Penelitian ini menghasilkan bentuk, fungsi, dan hambatan komunikasi guru dengan siswa autis kelas IV SD di Sekolah Autisme Laboratorium Universitas Negeri Malang. Berdasarkan simpulan di muka, ditentukan tiga saran. Pertama, bagi kepala sekolah disarankan agar melakukan koordinasi kepada semua guru guna mengkaji hasil penelitian yang terkait dengan pola komunikasi guru dalam proses pembelajaran di kelas. Hasil kajian tersebut selanjutnya perlu ditindaklanjuti dengan penentuan format pembelajaran yang seharusnya dilakukan. Kedua, bagi guru di sekolah autis, hasil penelitian ini direkomendasikan sebagai bahan untuk mengembangkan tuturan dalam proses pembelajaran di kelas dan dapat mengembangkan potensi siswa dengan memperkaya bentuk dan fungsi tuturan. Selain itu, guru juga dapat mempertimbangkan tuturannya agar wacana komunikasi dalam proses pembelajaran berjalan dengan baik, bervariasi, dan menciptakan strategi-strategi baru untuk meminimalkan terjadinya hambatan komunikasi, baik dari guru maupun siswa. Ketiga, bagi peneliti selanjutnya, hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan landasan untuk penelitian yang serupa karena proses pembelajaran pada anak autis sangat beragam dan unik untuk diteliti. DAFTAR RUJUKAN Aprilianti, Kh. 2008. Tindak Tutur Guru dalam Interaksi Kelas Bahasa Indonesia di SMP Negeri 6 Malang. Skripsi tidak diterbitkan. Malang: Universitas Negeri Malang. Cummings, L. 2007. Pragmatik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Delphie, B. 2006. Pembelajaran Anak Berkebutuhan Khusus: Dalam Setting Pendidikan Inklusi. Bandung: PT Refika Aditama. Hadis, A. 2006. Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus-Autistik. Bandung: IKAPI. Hanafi, A. 1984. Memahami Komunikasi Antar Manusia. Surabaya: Usaha Nasional. Handojo. 2003. Autisme pada Anak. Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer. Jumadi. 2005. Representasi Power dalam Wacana Kelas: Kajian Etnografi Komunikasi. Disertasi tidak diterbitkan. Malang: Universitas Negeri Malang. Leech, G. 1993. Prinsip-prinsip Pragmatik. Jakarta: UI Press. Maulana, M. 2007. Anak Autis. Jogjakarta: Katahati. Mulyana, D. 2002. Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Peeters, Th. 2004. Panduan Autisme Terlengkap. Jakarta: Dian Rakyat. Prasetyono, D. S. 2008. Serba Serbi Anak Autis. Yogyakarta: DIVA Press. Puspita, D. 2004. Untaian Duka Taburan Mutiara: Hikmah Perjuangan Ibunda Anak Autistik. Bandung: PT Mizan Pustaka. Saksomo. 2001. Pragmatik. Malang: Universitas Negeri Malang. Widjaja. 2000. Ilmu Komunikasi: Pengantar Studi. Jakarta: PT Rineka Cipta.