POLA KOMUNIKASI GURU DENGAN SISWA

advertisement
POLA KOMUNIKASI GURU DENGAN SISWA AUTIS
KELAS IV SEKOLAH DASAR
DI SEKOLAH AUTISME LABORATORIUM
UNIVERSITAS NEGERI MALANG
Siti Robiah1
Dawud2
Kusubakti Andajani2
E-mail: [email protected]
Universitas Negeri Malang, Jalan Semarang 5 Malang
ABSTRAK: Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan bentuk, fungsi, dan
hambatan komunikasi guru dengan siswa autis kelas IV SD. Penelitian ini
menggunakan pendekatan kualitatif jenis studi kasus. Hasil penelitian
menunjukkan terdapat dua bentuk komunikasi, yaitu verbal dan nonverbal.
Terdapat tujuh fungsi komunikasi, yaitu memerintah, menegaskan, menyetujui,
menanyakan, menolak, menyatakan sesuatu, dan mengungkapkan. Ditemukan tiga
hambatan komunikasi, yaitu ketidakselarasan keinginan guru dengan kemampuan
intelektual siswa, ketidakseimbangan pilihan kata guru dengan kemampuan
intelektual siswa, dan ketidaksesuaian keinginan guru dengan kondisi emosi siswa.
Kata Kunci:
pola komunikasi, komunikasi autisme, komunikasi guru dengan
siswa.
ABSTRACT: The aims of research is to describe the communication system,
functions, and the obstacles of teachers and autism students grade IV of
elementary school. This study uses qualitative method through a study case. The
results of this study show that there are two kinds of communication system,
verbal and nonverbal. There are seven functions of communication, which are
ordering, explaining, agreeing, asking, rejecting, stating, expressing. Found three
obstacles of communication, they are the dissimilarity between the teachers’ desire
and the students’ intellectual ability, misbalanced of the teachers’ diction and the
students’ intellectual ability, and inappropriateness between the teachers’ desire
and the students’ emotion.
Key words:
Communication System, Autism Communication, TeachersStudents Communication.
Komunikasi merupakan aktivitas dasar manusia. Manusia dapat saling
berhubungan satu sama lain dalam kehidupan sehari-hari di rumah tangga, di
tempat kerja, di pasar, dalam masyarakat atau di mana saja manusia berada.
Semua manusia terlibat dalam kegiatan komunikasi dan berbahasa. Komunikasi
akan berjalan dengan lancar dan berhasil bila proses itu berjalan dengan baik.
Proses komunikasi terjadi melalui bahasa. Menurut Hanafi (1984:217) dan
Mulyana (2009:259-341) bentuk bahasa dapat berupa isyarat, gestur, tulisan,
gambar, dan wicara. Selain itu, menyebutkan bahwa komunikasi memiliki
beberapa fungsi, yaitu mengenal diri sendiri dan orang lain, mengetahui dunia
luar, menciptakan dan memelihara lingkungan, bermain dan mencari hiburan, dan
1
Siti Robiah adalah mahasiswa Fakultas Sastra, Universitas Negeri Malang. Artikel ini diangkat
dari Skripsi Sarjana, Universitas Negeri Malang, 2012.
2
Dawud adalah dosen pembimbing I, dosen Fakultas Sastra, Universitas Negeri Malang.
2
Kusubakti Andajani adalah dosen pembimbing II, dosen Fakultas Sastra, Universitas Negeri
Malang.
membantu orang lain (Widjaja, 2000). Hal ini menandakan pentingnya
komunikasi bagi manusia. Percakapan yang ada dalam proses pembelajaran di
kelas merupakan realitas komunikasi penggunaan bahasa. Komunikasi di kelas
memiliki peran yang sangat penting dalam proses pembelajaran. Selain itu,
sekolah merupakan lembaga pendidikan formal yang pada hakikatnya bertujuan
untuk mengubah tingkah laku siswa. Proses perubahan tingkah laku tersebut
terutama terjadi melalui komunikasi. Oleh karena itu, guru memiliki peran yang
sangat penting. Di sisi lain, sekolah di Indonesia ada dua jenis, yaitu sekolah
umum dan sekolah khusus seperti sekolah luar biasa, sekolah inklusi, sekolah
autis, dan sekolah khusus lainnya. Diketahui pula bahwa kondisi anak cukup
beragam. Dalam kenyataan setidaknya terdapat dua karakter anak, yaitu anak
normal dan anak yang memerlukan penanganan khusus. Salah satu kategori anak
yang memerlukan penanganan khusus adalah autis.
Komunikasi dan bahasa anak autis sangat berbeda dari kebanyakan anakanak seusianya. Anak-anak autis meliliki kesulitan dalam memahami komunikasi
baik verbal maupun nonverbal. Sebagai contoh ketika anak autis diminta untuk
melakukan tugas tertentu. “Ambil bola merah!”. Anak autis sulit untuk merespon
tugas tersebut karena kesulitan memahami konsep ambil, bola, dan merah. Anakanak autis memiliki kesulitan untuk berkomunikasi dalam bahasa, sekalipun
dalam bahasa isyarat atau gestur. Mereka kesulitan untuk menyampaikan pesan
dan menerima pesan.
Prasetyono (2008) menyebutkan autis adalah gangguan perkembangan--khususnya terjadi pada masa anak-anak---yang membuat seseorang tidak mampu
mengadakan interaksi sosial dan seolah-olah hidup dalam dunianya sendiri.
Dalam pernyataan tersebut jelas dikatakan bahwa anak autis mempunyai masalah
dalam berkomunikasi. Autis memiliki kemungkinan untuk dapat disembuhkan.
Akan tetapi, hal ini tergantung dari berat tidaknya gangguan yang ada. Melihat
kenyataan tersebut, seorang guru harus berupaya keras dalam menjalin
komunikasi dengan siswa autis. Selain itu, perlu ada dukungan dari orang tua, dan
orang-orang yang berada di sekitarnya. Orang tua anak autis perlu memahami
strategi atau teknik berkomunikasi dengan anaknya. Dengan strategi dan cara
yang tepat, tentunya hal ini mendukung perkembangan komunikasi anak tersebut.
Begitu pula saat ia berada di sekolah, guru autis perlu intensif, cara berkomunikasi
yang tepat, dan mempunyai teknik-teknik yang bervariasi agar anak autis mampu
berkomunikasi sesuai dengan tingkat perkembangannya.
Pemahaman yang minim tentang kekuatan komunikasi merupakan sebuah
masalah penting dalam autisme. Namun perlu diketahui oleh orang tua, guru,
ataupun terapis bahwa fungsi komunikasi yang paling penting untuk dilakukan
bersama anak/siswa autis adalah meminta sesuatu, meminta perhatian, menolak,
membuat komentar, memberi informasi, menanyakan informasi, dan
mengungkapkan emosi (Peeters, 2004). Dengan diketahuinya bentuk, fungsi, dan
hambatan dalam komunikasi pada wacana komunikasi guru dengan siswa kelas
IV SD maka akan ditemukan pola komunikasi yang terbentuk.
Berdasarkan penjabaran di atas, penelitian ini memiliki tujuan
mendeskripsikan: (1) bentuk komunikasi guru dengan siswa autis kelas IV SD, (2)
fungsi komunikasi guru dengan siswa autis kelas IV, dan (3) hambatan
komunikasi guru dengan siswa autis kelas IV SD.
METODE
Berdasarkan masalah yang telah dirumuskan, pendekatan yang digunakan
dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif dengan jenis penelitian studi
kasus. Teknik pengumpulan data yang digunakan penelitian ini adalah (1)
observasi, (2) perekaman, (3) pencatatan lapangan, dan (4) wawancara. Instrumen
penelitian yang digunakan adalah pedoman observasi dan pedoman wawancara.
Kedua pedoman ini telah diuji oleh ahli yang bersangkutan. Data berupa tuturan
dan perilaku yang telah selesai dikumpulkan dalam bentuk audio visual pada
wacana komunikasi yang dilakukan guru dengan siswa autis kelas IV SD di
Sekolah Autisme Laboratorium Universitas Negeri Malang. Sumber data
penelitian ini adalah seorang guru dan dua siswa autis kelas IV SD di Sekolah
Autisme Laboratorium Universitas Negeri Malang.
Data yang diperoleh dianalisis dengan tiga tahap, yaitu mereduksi data,
mengodekan data, dan tahap verifikasi data. Pada tahap mereduksi data, tahapan
yang dilakukan yaitu merangkum, memilih hal-hal pokok, memfokuskan pada
hal-hal yang penting, dicari tema dan polanya dengan memberikan kode pada
aspek-aspek tertentu. Tahap mengodekan data yaitu memberikan tanda atau kode
sesuai dengan rumusan pada data yang telah dipilah-pilah dan pengklasifikasian
terhadap rumusan kode pada data yang telah dipilah-pilah. Tahap terakhir yaitu
tahap penyajian data.
HASIL PENELITIAN
Hasil penelitian ini dipaparkan sebagai berikut. Bentuk komunikasi guru
dengan siswa autis kelas IV SD terbagi menjadi dua kategori, yaitu (a) verbal
dengan kategori asertif, direktif, ekspresif, dan komisif, dan (b) nonverbal dengan
dua jenis, yaitu isyarat dan tindakan yang mempunyai kategori, yaitu isyarat
asertif, isyarat direktif, dan tindakan direktif. Terdapat fungsi komunikasi guru
dengan siswa autis kelas IV SD, yaitu memerintah, menegaskan, menyetujui,
menanyakan, menolak, menyatakan sesuatu, dan mengungkapkan. Ditemukan tiga
hambatan komunikasi guru dengan siswa autis kelas IV SD, yaitu
ketidakselarasan keinginan guru dengan kemampuan intelektual siswa,
ketidakseimbangan pilihan kata guru dengan kemampuan intelektual siswa, dan
ketidaksesuaian keinginan guru dengan kondisi emosi siswa.
PEMBAHASAN
Bentuk Komunikasi Guru dengan Siswa Autis Kelas IV SD
Bentuk komunikasi ini memiliki dua macam, yaitu verbal dan nonverbal.
Bentuk komunikasi verbal adalah sarana utama untuk menyatakan pikiran dan
perasaan. Komunikasi verbal menggunakan kata-kata yang mempresentasikan
berbagai aspek realitas individual (Mulyana, 2009). Bentuk komunikasi ini baik
diikuti oleh tindakan atau isyarat atau pun verbal secara utuh. Bentuk komunikasi
verbal tersebut ditemukan empat kategori, yaitu (1) asertif, (2) direktif, (3) asertif,
dan (4) komisif.
Bentuk komunikasi asertif dinyatakan oleh komunikator jika pernyataan
komunikan dan komunikator mempunyai pendapat yang sama. Sejalan dengan hal
tersebut, dalam P02 unit percakapan (307), guru menjelaskan suatu pernyataan
dan hal itu disetujui atau dibenarkan oleh siswa.
P02
G
S2
G
S2
“Aan mau dengerin lagu?” (302)
“Mau. Dengerin musik.” (303)
“Lagu apa?” (304)
“Bunga Citra Lestari.” (305)
“Ganti.” (hendak menekan tombol pada handphone) (306)
G
: “Nanti anu, ganti sendiri nanti.” (307)
(D01/P02)
S2
: “Owh, iya.” (308)
“Ganti lah, cari-cari.” (309)
Konteks : Guru menyatakan kepada muridnya bahwa lagu yang sedang diputar di handphone
akan berganti dengan sendirinya tanpa harus menekan tombol-tombol tertentu.
:
:
:
:
Pada tuturan (307) di atas, guru memberikan pernyataan itu dikarenakan
pada tuturan sebelumnya siswa hendak menekan tombol handphone sambil
mengatakan “ganti”. Secara otomatis guru memberikan pernyataan pada tuturan
(307) tersebut dan siswa membenarkannya. Dari percakapan di atas, pernyataan
guru yang disampaikan pada keadaan sebenarnya merupakan bentuk komunikasi
verbal karena komunikator dalam hal ini guru mengeluarkan bunyi bahasa yang
dapat di mengerti oleh orang lain khususnya siswa. Hal ini sejalan dengan
pendapat Searle (dalam Leech, 1993) yang menyatakan bahwa tindak tutur asertif
adalah suatu tindak tutur yang terikat pada kebenaran preposisi yang diungkapkan.
Artinya, tindak tutur tersebut dinyatakan sesuai dengan keadaan sebenarnya
(Saksomo, 2001). Sama halnya dengan bentuk komunikasi verbal dengan kategori
asertif yang telah dijelaskan di atas, bentuk komunikasi verbal dengan kategori
direktif, ekspresif, dan komisif mempunyai karakteristik sesuai dengan kategori
masing-masing.
Bentuk komunikasi yang kedua adalah bentuk komunikasi nonverbal,
yaitu semua bentuk komunikasi yang bukan kata-kata. Bentuk komunikasi ini
murni sebagai bentuk komunikasi nonverbal. Artinya, bentuk komunikasi ini
tanpa diikuti atau disertai tuturan verbal. Komunikasi nonverbal terbagi menjadi
dua jenis, yaitu komunikasi isyarat dan komunikasi tindakan (Mulyana, 2009).
Dengan kata lain, bentuk dari komunikasi nonverbal tersebut yaitu berupa isyarat
dan tindakan. Sementara bentuk komunikasi tersebut memiliki esensi atau makna
yang berbeda-beda sesuai dengan yang ditemukan dalam penelitian ini, yaitu
isyarat asertif, isyarat direktif, dan tindakan direktif.
Telah dijelaskan di atas bahwa bentuk komunikasi asertif adalah bentuk
komunikasi yang menjelaskan apa dan bagaimana sesuatu itu sesuai dengan
keadaan sebenarnya. Perbedaannya dalam hal ini adalah sesuatu tersebut
dijelaskan atau disampaikan dalam bentuk nonverbal. Sejalan dengan hal tersebut,
dalam P04 unit percakapan (18), guru menyampaikan suatu pernyataan
persetujuan dari pernyataan siswa dalam bentuk ekspresi tubuh.
P04
S1
G
S1
G
G
S2
: “O..leng.” (04)
: “Heem.” (05)
“Yang keras suaranya!” (06)
: “Go..song.” (07)
: “Heeh. Sek, stop dulu!” (08)
: “Ini, ini.” (menunjukkan lembaran buku yang hendak difotokopi) (09)
: “Dua kali.” (10)
: “Ini juga dua kali.” (memberi isyarat tangan dua kali dengan mengacungkan dua jari)
(11)
S2
: “Dua kali juga. Di atas.” (12)
G
: “Iya.” (13)
G
: “Yang keras, yang keras!” (mengangkat dagu siswa) (14)
“Lo..?” (15)
G
: “Lo?” (16)
S1
: “Lo..rong..” (memandang guru) (17)
G
: (mengangguk menandakan benar apa yang diucapkan siswa) (18)
(D12/P04)
Konteks : Guru menyetujui atau membenarkan pernyataan siswa mengenai cara membaca teks.
G
Guru menuntun siswanya membaca teks yang ada pada buku teks.
Selanjutnya pada tuturan ke (17), siswa meminta persetujuan guru untuk
membenarkan bacaannya dengan ekspresi memandang guru setelah membaca teks
tersebut. Sehingga pada tuturan (18), guru memberikan pernyataan persetujuan
atas pernyataan yang disampaikan siswa melalui bentuk nonverbal yakni dengan
menganggukan kepala menandakan kebenaran yang dikatakan oleh siswa. Hal ini
sejalan dengan pendapat Hanafi (1984) yang mengatakan bahwa salah satu bentuk
komunikasi adalah bentuk komunikasi nonverbal. Sejalan pula dengan bentuk
komunikasi direktif, bentuk komunikasi ini menghasilkan suatu efek berupa
tindakan yang dilakukan petutur atau komunikan (Leech, 1993). Perbedaannya
adalah pernyataan tersebut ada dalam bentuk nonverbal.
Fungsi Komunikasi Guru dengan Siswa Autis Kelas IV SD
Fungsi komunikasi ini ditemukan tujuh fungsi, dalam hal ini fungsi
komunikasi tersebut berupa verbal dan atau nonverbal, yaitu memerintah,
menegaskan, menyetujui, menanyakan, menolak, menyatakan sesuatu, dan
mengungkapkan.
Pertama, fungsi komunikasi memerintah adalah fungsi yang menghasilkan
efek berupa tindakan yang akan dilakukan oleh komunikan, dalam hal ini guru
kepada siswanya (Leech, 1993). Fungsi komunikasi memerintah mempunyai
beberapa modus yang terbagi menjadi beberapa bagian, yaitu (1) memerintah
dengan modus melarang, (2) memerintah dengan modus memberi nasihat, (3)
memerintah dengan modus memesan, (4) memerintah dengan modus menuntut,
(5) memerintah dengan modus meminta, dan (6) memerintah dengan modus
mengharap. Keenam bagian dengan modus berbeda-beda tersebut memiliki
persamaan dan perbedaan. Persamaannya adalah keenam modus itu ada dalam
satu fungsi yaitu memerintah. Perbedaannya adalah fungsi memerintah tersebut
disampaikan dengan tujuan atau modus yang bermacam-macam sesuai dengan
enam bagian di atas. Fungsi komunikasi memerintah dengan modus melarang,
yaitu fungsi komunikasi yang menghasilkan efek berupa tindakan yang akan
dilakukan oleh komunikan, dalam hal ini guru kepada siswa dalam bentuk
larangan. Pendapat ini sejalan dengan yang dinyatakan oleh Jumadi (2005) bahwa
bentuk larangan juga berisi perintah, tetapi perintah negatif, yakni agar mitra tutur
atau komunikan tidak melakukan sesuatu. Sejalan dengan hal tersebut, terlihat
pada percakapan P01 unit tuturan (73) berikut.
P01
G
S2
G
: “Di dapur, ibu lalu mengupas kulit pisang-pisang itu.” (71)
: “Di dapuuur…” (72)
: “Gak usah panjang-panjang.” (73)
“Di dapur, ibu lalu mengupas kulit pisang-pisang itu.” (74)
(D17/P01)
: “Di dapur, ibu lalu mengupas kulit pisang-pisang itu. Setelah dikupas buahnya, lalu
dibelah dua. Selanjutnya pisang itu dimasukkan ke dalam adonan tepung beras.
Kemudian pisang yang sudah berlumur tepung itu digoreng. Kini Lasmi dan
keluarganya sedang menikmati pisang goreng. Rasanya sungguh lezat. Mereka
menikmati hasil kebun sendiri.” (75)
Konteks : Guru meminta siswa untuk membacakan teks dari buku teks Bahasa Indonesia
S2
Guru mencontohkan cara membaca teks kepada siswanya. Namun siswa
melakukan kesalahan saat membaca teks yaitu berlebihan dalam satu vokal
tertentu seperti pengucapan kata “dapur” yang diucapkan pada huruf U dengan
vokal panjang. Sehingga guru memerintah dalam bentuk larangan untuk tidak
membaca teks dengan nada terlalu panjang dan guru mencontohkan cara
pembacaan yang benar. Akibat dari larangan tersebut, siswa kembali membaca
teks namun tidak dengan nada yang panjang seperti sebelumnya. Hal ini selaras
dengan penelitian Aprilianti (2008) yang mengatakan bahwa tindak tutur
melarang ini digunakan oleh guru saat siswa mengerjakan tugas yang diberikan
olehnya di tempat duduk masing-masing. Pada saat itulah, banyak siswa yang
bertindak dan bertutur sehingga menimbulkan reaksi guru berupa tindak tutur
melarang.
Kedua, fungsi komunikasi menegaskan memiliki fungsi yang sama dengan
fungsi memerintah. Fungsi ini sejalan dengan pendapat Hymes (dalam Jumadi,
2005) yang mengatakan bahwa penggunaan tindak menegaskan terkait dengan
berbagai tujuan, misalnya untuk menghilangkan keragu-raguan, memberikan
penekanan, atau yang lain. Fungsi komunikasi menegaskan memiliki dua modus
yang memiliki persamaan dengan perbedaan pada tujuan dari menegaskan
tersebut, yaitu menegaskan dengan modus menjelaskan dan menegaskan dengan
modus meyakinkan. Fungsi komunikasi menegaskan dengan modus menjelaskan
ini dapat dilihat pada percakapan P01 tuturan (56)-(60) berikut.
P01
G
S2
G
S2
“Membaca dulu Mas Aan!” (51)
“Membaca!” (52)
“Yang ini.” (membawakan buku bacaan) (53)
“Menikmati pisang sendiri.” (54)
“Di pekarangan, rumah Lasmi, ada pohon, pisang, nangka.” (55)
G
: “Begini membacanya, Lek! (menunjuk bacaan yang hendak dibaca) (56)
(D30/P01)
“Dilihat ya, dari sini sampai disini baru ada koma, jadi gak boleh putus-putus.
Begini…” (57)
(D31/P01)
“Di pekarangan rumah Lasmi,.. Ini kan koma, koma itu berhenti dulu.” (58)
(D32/P01)
“Di pekarangan rumah Lasmi,… lihat! …ada pohon pisang nangka. Titik. Di
lihat ini tanda bacanya, gak boleh ngawur.” (59)
(D33/P01)
“Di pekarangan rumah Lasmi,.. ini kan ada koma, …ada pohon pisang nangka.
Titik. Pisang itu ditanam oleh ayah. titik kan? Kini, koma, pohon itu sedang
berbuah. (60)
(D34/P01)
S2
: (Siswa menganggukkan kepala) (61)
Konteks : Guru memberi penjelasan cara membaca teks dengan memperhatikan tanda baca yang
ada kepada siswanya.
:
:
:
:
Guru meminta siswanya untuk membaca teks buku pelajaran saat
pembelajaran telah dimulai. Namun siswa membaca dengan cara terputus-putus
antarkata pada kalimat yang ada. Sehingga guru menegaskan kembali perintah
untuk membaca tersebut dengan bentuk pemberian penjelasan. Hal ini tampak
pada tuturan (56) sampai dengan (60) bahwa cara membaca teks harus
memperhatikan tanda baca yang ada pada teks tersebut. Akibat dari penjelasan
guru, siswa menyetujuinya berupa anggukan kepala. Hal ini sejalan dengan
pendapat Aprilianti (2008) yang menyebutkan bahwa tindak memberi penjelasan
digunakan oleh guru saat kegiatan inti pelajaran dengan cara membahas materi
pembelajaran. Begitu pula pada fungsi menegaskan dengan modus meyakinkan.
Ketiga, fungsi komunikasi menyetujui memiliki fungsi yang dapat
menghasilkan efek berupa tindakan verbal yakni jawaban iya atau tidak. Lebih
jelas dapat dilihat pada percakapan P02 tuturan (152) dan (155) berikut.
P02
G
: “Tanah liat dapat diubah bentuknya. Benda yang berasal dari tanah liat adalah a.
genteng, b. meja kayu, c. kuku? (150)
S2
: “Genteng.” (151)
G
: “Oke.” (152)
(D41/P02)
“Benda yang meleleh jika terkena panas adalah a. pensil, b. kayu, c. lilin?” (153)
S2
: “Lilin.” (154)
G
: “Oke.” (155)
(D42/P02)
Konteks : Guru menyetujui jawaban siswa yang benar dari pertanyaan yang telah dibacakan.
Guru membacakan soal untuk dijawab oleh siswa. Percakapan di atas
terjadi saat mata pelajaran IPA berlangsung. Guru menyetujui atau membenarkan
jawaban siswa dari soal yang dibacakannya dengan mengatakan “oke” pada
tuturan (152) dan (155). Hal ini selaras dengan penelitian Aprilianti (2008) yang
mengatakan bahwa tindak tutur menyetujui atau tindak tutur membenarkan
pernyataan orang lain digunakan oleh guru pada saat membahas soal-soal yang
dikerjakan siswa.
Keempat, fungsi komunikasi menanyakan. Fungsi ini terbagi menjadi tiga,
yaitu (1) menanyakan dengan modus menawarkan, (2) menanyakan dengan tanpa
modus, dan (3) menanyakan dengan modus mengingatkan. Ketiganya memiliki
fungsi yang sama. Namun, memiliki perbedaan pada tujuan dari fungsi tersebut.
Fungsi komunikasi menawarkan, yaitu fungsi komunikasi berupa pernyataan yang
berfungsi untuk menjanjikan suatu tindakan (Leech, 1993). Lebih lanjut, dapat
dilihat pada percakapan P02 tuturan (197) berikut.
P02
G
: “Gambar disamping adalah contoh kegunaan, titik-titik matahari. Apa?” (192)
(D44/P02)
S2
: “Panas.” (193)
G
: “Panas.” (194)
“Agar kulit terhindar dari pengaruh sinar matahari, sebaiknya kita memakai?” (195)
S2
: “Jaket.” (196)
G
: “Jaket bisa, hand body bisa, memakai baju panjang bisa.” (197) (D45/P02)
S2
: “Baju panjang.” (198)
G
: “Agar mata terhindar dari pengaruh buruk cahaya matahari sebaiknya kita memakai?
Apa?” (199)
S2
: “Kacamata.” (200)
G
: “Oke.” (201)
Konteks : Guru menegaskan bahwa jawaban siswa benar dan menawarkan untuk alternatif
jawaban lain yang bisa digunakan.
Guru membacakan soal mata pelajaran IPA untuk dijawab oleh siswa.
Fungsi komunikasi menawarkan tampak pada tuturan (197) yaitu ketika guru
membacakan soal mengenai penggunaan sesuatu agar kulit terhindar dari
pengaruh sinar matahari. Dari pertanyaan tersebut, siswa menjawab jaket.
Selanjutnya guru menawarkan beberapa alternatif, sesuatu yang dapat
menghindarkan dari pengaruh sinar matahari. Hal ini tampak pada tuturan (197),
sehingga siswa merespon tawaran tersebut dengan pilihan baju panjang.
Kelima, fungsi komunikasi menolak adalah fungsi komunikasi yang
disampaikan komunikator atas penolakannya terhadap sesuatu yang disampaikan
komunikan. Sehingga mengakibatkan adanya efek tindakan verbal atau nonverbal
dari komunikan tersebut (Leech, 1993). Fungsi komunikasi menolak ini dapat
dilihat pada percakapan P04 tuturan (101) berikut.
P04
G
: “Crayon.” (93)
“Crayon.” (94)
S1
: (terlihat tidak memahami yang dikatakan guru) (95)
G
: “Crayon. Crayon. Ce…” (96)
S1
: (menuliskan Ce pada kolom isian jawaban yang ada) (97)
G
: “Heeh.” (98)
S1
: (siswa terlihat bingung untuk melanjutkan menulis jawaban) (99)
G
: “De’e nulis colour dudu crayon.” (menyampaikan kerjaan siswa pada guru yang ada
di kelas) (100)
“No.” (melambaikan tangan memberikan isyarat kepada siswa atas salahnya pilihan
jawaban yang ditulisnya) (101)
(D52/P04)
G
: (mencari crayon yang ada di kelas) (102)
“Rend, namanya apa ini?” (103)
S1
: (siswa terlihat bingung) (104)
G
: “Crayon. Ayo!” (105)
“Opo, Rend?” (106)
S1
: (menunjukkan jawaban pilihan jawabannya dengan melingkarkan jari telunjuknya ke
jari jempol tangan kiri) (107)
G
: (memberi isyarat tanda huruf C dengan jari tangan) (108)
S1
: (mencoba menuliskan yang ia pahami) (109)
G
: “Iya, tulis.” (110)
Konteks : Guru menolak pernyataan siswa atas pilihan jawaban yang ditunjukkannya.
Tuturan (101) disampaikan guru kepada siswanya sebagai bentuk
penolakan terhadap jawaban siswa pada soal yang diberikan guru tersebut.
Wacana di atas terjadi ketika siswa mengerjakan tugas bahasa Inggris. Guru
memberikan huruf awal pada salah satu jawaban untuk memancing siswa agar
meneruskan kata yang dikehendaki. Walaupun pada tuturan sebelumnya sudah
diberitahukan oleh guru bahwa jawabannya adalah crayon. Namun siswa belum
memahami sehingga guru memberikan umpan dengan mengatakan huruf awal
pada kata crayon. Tetapi siswa tidak mengikuti keinginan guru. Ia tidak
menuliskan crayon melainkan menulis colour. Sehingga guru memberi pernyataan
penolakan atas jawaban siswa tersebut serta memberikan teknik pembelajaran
yang lain agar siswa mengerti yang dikehendainya. Hal ini selaras dengan
pendapat Searle (dalam Leech, 1993) yang menggolongkan tindak tutur menolak
ke dalam bentuk tindak direktif.
Keenam, fungsi komunikasi menyatakan sesuatu adalah fungsi komunikasi
yang menjelaskan apa dan bagaimana sesuatu itu sesuai dengan keadaan
sebenarnya. Fungsi komunikasi ini terbagi menjadi beberapa modus, yaitu (1)
menyatakan sesuatu dengan modus melaporkan, (2) menyatakan sesuatu dengan
mengusulkan, (3) menyatakan sesuatu dengan modus menyapa, (4) menyatakan
sesuatu dengan modus menyangkal, (5) dan menyatakan sesuatu dengan modus
menuduh. Fungsi ini sama dengan fungsi-fungsi sebelumnya, yaitu memiliki
persamaan dan perbedaan dari tujuan pada masing modus tersebut. Dapat dilihat
pada fungsi komunikasi menyatakan sesuatu dengan modus menyapa, yang
tampak pada percakapan P04 tuturan (157) berikut.
P04
G
S2
: “Aan...” (157)
(D61/P04)
: “Hem, ada apa?” (158)
“Apa Bu Santi?” (159)
G
: “Good Morning Aan?” (160)
S2
: “Good Morning Bu Santi.” (161)
G
: “Good Morning Arend?” (162)
“Good Morning Miss Santi.” (menuntun Arend mengucapkan kata) (163)
S1
: “Good Morning Miss Santi. (164)
Konteks : Guru menyapa siswa dengan memanggil namanya.
Tuturan (157) disampaikan guru kepada siswanya. Guru menyapa
siswanya yang bernama Aan dengan memanggil namanya. Akibat dari sapaan
atau panggilan tersebut, siswa yang bernama Aan memberi respon yang tampak
pada tuturan (158) dan (159). Hal ini selaras dengan pendapat Saksomo (2001)
yang mengolongkan tindak tutur menyatakan ke dalam bentuk tindak representatif
atau asertif.
Ketujuh, fungsi komunikasi mengungkapkan adalah fungsi komunikasi
yang mengutarakan sikap psikologis komunikator kepada komunikan dalam hal
ini guru kepada siswa (Leech, 1993). Fungsi komunikasi mengungkapkan
memiliki tiga modus, yaitu (1) mengungkapkan dengan modus menjawab salam,
(2) mengungkapkan dengan modus mengekspresikan pujian, dan (3) mengungkapkan
dengan modus memberi ucapan terima kasih. Ketiga modus tersebut memiliki
persamaan fungsi yaitu mengutarakan sikap psikologis komunikator kepada komunikan. Namun,
fungsi tersebut disampaikan dengan tujuan atau modus yang berbeda. Dapat
dilihat pada fungsi komunikasi mengungkapkan dengan modus mengekspresikan
pujian yang tampak pada percakapan P02 tuturan (22) dan (24) berikut.
P02
S2
: “Kakakku bisa berjam-jam duduk di depan komputer. Aku kuat berjam-jam main bola
di lapangan.” (membaca teks pada papan tulis) (21)
G
: “Pintar!” (22)
(D71/P02)
S2
: “Kakakku gemuk sekali. Ia suka mengemil jika main komputer. Aku tidak segemuk
kakakku. Kakakku tetapi tidak terlalu kurus. Badanku sehat karena senang olah raga.”
(23)
G
: “Pintar!” (24)
(D72/P02)
“Tepuk tangan buat Mas Aan!” (mengajak tepuk tangan dengan memberikan contoh
tepuk tangan terlebih dahulu dan diikuti kedua siswanya) (25)
Konteks : Guru memuji siswa atas kemampuannya dalam membaca kalimat dengan lancar.
Tuturan tersebut disampaikan ketika siswa berhasil membaca teks yang
ada di papan tulis. Sehingga guru memberikan apresiasi dan mengungkapkan
pujiannya terhadap siswa tersebut. Hal ini sejalan dengan penelitian Aprilianti
(2008) yang mengatakan bahwa ekspresi pujian ini muncul saat penutur
mengungkapkan pujian terhadap suatu hal. Tindak tutur mengekspresikan pujian
ini digunakan guru pada saat siswa dapat menjawab pertanyaan guru dengan
benar, sehingga guru memuji siswa tersebut. Selain itu, hal ini selaras dengan
penelitian Jumadi (2005) yang menyebutkan bahwa dalam proses pembelajaran,
guru tentu akan merasa senang bila siswanya mampu menjawab soal dengan baik.
Rasa senang itu diwujudkan dalam tindak ekspresif. Penggunaan tindak ekspresif
tersebut antara lain bagus, bagus sekali, ya pintar, Ok, tepat sekali, baik, baik
sekali, hebat, dan hebat sekali.
Hambatan Komunikasi Guru dengan Siswa Autis Kelas IV SD
Hambatan komunikasi guru dengan siswa autis kelas IV SD ini ditemukan
tiga, yaitu (1) ketidakselarasan keinginan guru dengan kemampuan intelektual
siswa, (2) ketidakseimbangan pilihan kata guru dengan kemampuan intelektual
siswa, dan (3) ketidaksesuaian keinginan guru dengan kondisi emosi siswa.
Sesuai dengan karakterisitik anak autis yaitu sulit berkomunikasi, tampak
asyik bila dibiarkan sendiri, tidak mampu membaca emosi orang lain, tidak
mampu untuk memulai sesuatu pembicaraan atau memelihara suatu pembicaraan
dua arah yang baik, dan tidak sesuainya perkembangan intelektual siswa dengan
perkembangan psikologis maka terjadi ketidakselarasan antara keinginan guru
dengan kemampuan intelektual siswa (dalam Dhelpie, 2006). Hal ini selaras pula
dengan pendapat Handojo (2003). Oleh karena itu, guru perlu memilih diksi yang
tepat dalam pembelajaran agar keinginan pembelajaran guru terhadap siswa dapat
tersalurkan. Pendidikan siswapun berjalan sesuai dengan yang seharusnya.
Sehingga target pendidikan siswa dapat terlaksana dengan waktu yang tepat.
Keinginan guru tidak selaras ini sering terjadi, seperti yang terlihat pada
percakapan P01 berikut.
P01
G
S2
G
S2
: (guru menulis soal pada papan tullis) (79)
: “Ayah,.. Ayah,..” (80)
: “Nanti ditulis disitu!” (menunjuk buku siswa) (81)
: “Ditulis dulu.” (82)
: “langsung jawabannya saja. Langsung dirangkai. Itu tidak usah ditulis, langsung
ditulis yang betul.” (83)
“Umpamanya kayak ini ya, ini kan soalnya ini. Jawabannya ini (menunjuk hasil kerja
yang sudah diselesaikan siswa di bukunya). Nah, kamu menulis jawabannya saja tapi
soalnya ini (menunjuk tulisan yang ada di papan tulis)” (84)
“Ngerti?” (85)
S2
: “Ngerti.” (86)
G
: “Ayo, coba.” (87)
S2
: “Coba. Bu Dewi pergi ke pasar membeli pisang.” (88)
G
: “Tulis disitu.” (menunjuk buku siswa) (89)
G
: “Ya, kamu pintar sekali An.” (90)
G
: “Soalnya tidak usah di?” (91)
S2
: “Tulis.” (92)
G
: “Ya sudah, soalnya tidak usah ditulis! Langsung jawabannya saja. Sekarang nomor 2.”
(93)
“Langsung jawabannya saja, tidak usah ditulis soalnya.” (94)
S2
: “Ayah sedang pergi ke Surabaya.” (95)
G
: “Ya, ditulis di buku.” (96)
S2
: (siswa menulis jawaban di buku dari soal yang ada di papan tulis) (97)
Konteks : Guru memerintah siswanya untuk mengerjakan soal yang ada dipapan tulis untuk
ditulis jawabannya pada buku tugas.
Guru menulis soal untuk merangkai kata yang diacak untuk menjadi satu
kalimat utuh. Perintah guru terhadap siswa terlihat jelas yaitu soal pada papan
tulis tidak perlu ditulis ulang. Siswa hanya menulis jawaban dari soal yang ada
pada papan tulis tersebut dan ditulis pada buku tugasnya. Perintah guru tersebut
tidak dimengerti oleh siswa. Dengan kata lain, keinginan guru agar siswa
mengikuti perintahnya tidak tercapai. Hal ini dikarenakan kemampuan intelektual
siswa yang tidak sesuai. Sehingga perintah itu disampaikan dan dijelaskan
berulang-ulang dengan berbagai teknik agar keinginan guru terhadap soal yang
diberikan dapat dipahami dan diselesaikan dengan benar oleh siswa. Percakapan
di atas, sejalan dengan pendapat Cummings (2007) yang mengatakan bahwa
perkembangan bahasa pada autisme mengalami banyak keterlambatan dan
menyimpang secara mencolok.
Begitu pula hambatan kedua dan ketiga yang ada pada guru dengan siswa
autis kelas IV SD, yaitu ketidakseimbangan pilihan kata atau diksi yang
digunakan guru dengan kemampuan intelektual siswa dan ketidaksesuaian
keinginan guru dengan kondisi emosi siswa. Hambatan tersebut terjadi karena
karakteristik anak autis itu sendiri dan kemampuan guru dalam mendidik
siswanya. Sehingga guru harus bisa menyesuaikan dan membantu siswanya dalam
mengembangkan komunikasi. Hal ini sejalan dengan pendapat Hadis (2006),
Handojo (2003) dan Bruer (dalam Prasetyono, 2008) yang mengatakan bahwa
anak autis sangat sedikit melakukan komunikasi dua arah dan kehilangan kontak
mata. Selain itu kondisi emosi siswa autis sangat labil. Hal ini dapat dicermati
pada karakteristiknya yang suka bermalas-malasan atau duduk menyendiri dengan
tampang acuh, selalu diam sepanjang waktu, tidak punya keinginan yang
bermacam-macam, tidak menyenangi sekeliling dengan lingkungannya, kecuali
pada benda yang disukai (Puspita, 2004). Ketidaksesuaian keinginan guru dengan
kondisi emosi siswa ini selaras dengan pendapat Maulana (2007) yang
mengatakan bahwa pertumbuhan dan perkembangan individu selain dipengaruhi
oleh faktor kematangan dan proses belajar atau latihan, juga dipengaruhi oleh
faktor internal dan eksternal.
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis penelitian didapatkan tiga kesimpulan. Pertama,
bentuk komunikasi guru dengan siswa autis kelas IV SD di Sekolah Autisme
Laboratorium Universitas Negeri Malang terbagi menjadi dua, yaitu (1) verbal
dan (2) nonverbal. Untuk bentuk komunikasi verbal ditemukan empat kategori,
yaitu asertif, direktif, ekspresif, dan komisif. Sementara untuk bentuk komunikasi
nonverbal ditemukan dua, yaitu isyarat dan tindakan. Bentuk komunikasi isyarat
dengan kategori isyarat asertif dan isyarat direktif. Sementara bentuk komunikasi
tindakan hanya satu kategori yaitu tindakan direktif. Kedua, terdapat fungsi
komunikasi guru dengan siswa autis kelas IV SD di Sekolah Autisme
Laboratorium Universitas Negeri Malang, yaitu memerintah, menegaskan,
menyetujui, menanyakan, menolak, menyatakan sesuatu, dan mengungkapkan.
Masing-masing fungsi mempunyai modus yang terkategori berdasarkan situasi
dan kondisi di lapangan. Ketiga, ditemukan tiga hambatan komunikasi guru
dengan siswa autis kelas IV SD di Sekolah Autisme Laboratorium Universitas
Negeri Malang, yaitu ketidakselarasan keinginan guru dengan kemampuan
intelektual siswa, ketidakseimbangan pilihan kata guru dengan kemampuan
intelektual siswa, dan ketidaksesuaian keinginan guru dengan kondisi emosi
siswa.
Berdasarkan ketiga simpulan di atas, dapat dikatakan bahwa pola
komunikasi yang tercipta adalah pola komunikasi satu arah karena pada dasarnya
penyampaian pesan dari komunikator, dalam hal ini guru, kepada komunikan
tanpa ada umpan balik dari komunikan. Namun, beberapa kali tejadi juga
komunikasi dua arah, bahkan multiarah.
Saran
Penelitian ini menghasilkan bentuk, fungsi, dan hambatan komunikasi
guru dengan siswa autis kelas IV SD di Sekolah Autisme Laboratorium
Universitas Negeri Malang. Berdasarkan simpulan di muka, ditentukan tiga saran.
Pertama, bagi kepala sekolah disarankan agar melakukan koordinasi kepada
semua guru guna mengkaji hasil penelitian yang terkait dengan pola komunikasi
guru dalam proses pembelajaran di kelas. Hasil kajian tersebut selanjutnya perlu
ditindaklanjuti dengan penentuan format pembelajaran yang seharusnya
dilakukan. Kedua, bagi guru di sekolah autis, hasil penelitian ini
direkomendasikan sebagai bahan untuk mengembangkan tuturan dalam proses
pembelajaran di kelas dan dapat mengembangkan potensi siswa dengan
memperkaya bentuk dan fungsi tuturan. Selain itu, guru juga dapat
mempertimbangkan tuturannya agar wacana komunikasi dalam proses
pembelajaran berjalan dengan baik, bervariasi, dan menciptakan strategi-strategi
baru untuk meminimalkan terjadinya hambatan komunikasi, baik dari guru
maupun siswa. Ketiga, bagi peneliti selanjutnya, hasil penelitian ini diharapkan
dapat dijadikan landasan untuk penelitian yang serupa karena proses pembelajaran
pada anak autis sangat beragam dan unik untuk diteliti.
DAFTAR RUJUKAN
Aprilianti, Kh. 2008. Tindak Tutur Guru dalam Interaksi Kelas Bahasa Indonesia
di SMP Negeri 6 Malang. Skripsi tidak diterbitkan. Malang: Universitas
Negeri Malang.
Cummings, L. 2007. Pragmatik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Delphie, B. 2006. Pembelajaran Anak Berkebutuhan Khusus: Dalam Setting
Pendidikan Inklusi. Bandung: PT Refika Aditama.
Hadis, A. 2006. Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus-Autistik. Bandung:
IKAPI.
Hanafi, A. 1984. Memahami Komunikasi Antar Manusia. Surabaya: Usaha
Nasional.
Handojo. 2003. Autisme pada Anak. Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer.
Jumadi. 2005. Representasi Power dalam Wacana Kelas: Kajian Etnografi
Komunikasi. Disertasi tidak diterbitkan. Malang: Universitas Negeri
Malang.
Leech, G. 1993. Prinsip-prinsip Pragmatik. Jakarta: UI Press.
Maulana, M. 2007. Anak Autis. Jogjakarta: Katahati.
Mulyana, D. 2002. Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Peeters, Th. 2004. Panduan Autisme Terlengkap. Jakarta: Dian Rakyat.
Prasetyono, D. S. 2008. Serba Serbi Anak Autis. Yogyakarta: DIVA Press.
Puspita, D. 2004. Untaian Duka Taburan Mutiara: Hikmah Perjuangan Ibunda
Anak Autistik. Bandung: PT Mizan Pustaka.
Saksomo. 2001. Pragmatik. Malang: Universitas Negeri Malang.
Widjaja. 2000. Ilmu Komunikasi: Pengantar Studi. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Download