Templat tugas akhir S1

advertisement
PERUBAHAN BERAT BADAN DOMBA EKOR TIPIS
YANG DIINFEKSI Haemonchus contortus
ENIZA RUKISTI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Perubahan Berat Badan
Domba Ekor Tipis yang Diinfeksi Haemonchus contortus adalah benar karya saya
dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun
kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Desember 2014
Eniza Rukisti
NIM B04100064
ABSTRAK
ENIZA RUKISTI. Perubahan Berat Badan Domba Ekor Tipis yang Diinfeksi
Haemonchus contortus. Dibimbing oleh YUSUF RIDWAN dan FADJAR
SATRIJA.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh infeksi Haemonchus
contortus terhadap perubahan berat badan domba ekor tipis. Dua puluh domba
yang sebelumnya telah dibebas cacingkan dikelompokkan menjadi lima kelompok
yaitu kelompok kontrol, kelompok infeksi 500, 1000, 2000, dan 4000 H.
contortus. Selama delapan minggu domba ditimbang berat badannya setiap
minggu. Pada akhir penelitian semua domba disembelih, kemudian dinekropsi
dan dihitung jumlah cacing H. contortus yang terdapat pada abomasumnya.
Berdasarkan kategori derajat infeksi dan jumlah cacing terdapat penurunan berat
badan kelompok kontrol, kelompok ringan (1-250), kelompok sedang (251-500)
dan kelompok berat (>500) masing-masing sebesar 1170 g, 1703 g, 1633 g, 2680
g. Presentase penurunan berat badan domba yang diinfeksi H. contortus pada
kelompok ringan sebesar 10%, kelompok sedang 11% dan kelompok berat 16%
dari berat badan awal.
Kata kunci: Haemonchus contortus, jumlah cacing, perubahan berat badan, dan
derajat infeksi
ABSTRACT
ENIZA RUKISTI. Body Weight Change Of The Thin Tail Sheep
Experimentally Infected With Haemonchus contortus. Supervised by YUSUF
RIDWAN and FADJAR SATRIJA.
The aim of this research was to investigate the influence of Haemonchus
contortus infection on the weight gain of thin tail sheep. Twenty thin tail sheep,
which have previously been freed from helminth infection were devided into five
groups. One group served as uninfected controls, whereas the other four groups
were infected experimentaly with 500, 1000, 2000, and 4000 H. contortus. The
animal were weighed weekly for eigth weeks. At the end of the study all sheep
were slaugtered for worm counting of H. contortus in abomasum. Degrees of
infection were catagorized based on the number of worm into three groups namely
mild (1-250), moderate (251-500), and heavy infection (>500). Results of this
study showed there were decreased weight gain of 1170 g, 1703 g, 1633 g, 2680 g
for control, mild, moderat and heavy infection. The percentage decline of weight
gain on mild group was 10 %, moderat group was 11 % and 16 % heavy infection
group was compared with at begining of experiment.
Keywords: Haemonchus contortus, the worm, changes in weight, and the degree
of infection.
PERUBAHAN BERAT BADAN DOMBA EKOR TIPIS
YANG DIINFEKSI Haemonchus contortus
ENIZA RUKISTI
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan
pada
Fakultas Kedokteran Hewan
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juli 2013 ini adalah
Perubahan Berat Badan Domba Ekor Tipis yang Diinfeksi Haemonchus contortus.
Tanpa bantuan dari beberapa pihak tertentu penulisan karya ilmiah ini sulit
terselesaikan. Oleh karena itu, dengan rasa hormat yang yang setulus-tulusnya
Penulis mengucapkan terima kasih Dr Drh Yusuf Ridwan, MSi dan Drh Fadjar
Satrija, MSc PhD selaku pembimbing yang telah membantu, memberikan
wawasan dan memberikan dorongan dalam pengerjaaan karya ilmiah ini. Ucapan
terima kasih saya sampaikan kepada Dr Drh Joko Pamungkas, MSc selaku dosen
pembimbing akademik yang telah banyak memberikan motivasi selama ini.
Terima kasih untuk Pak Sulaeman selaku laboran di Laboratorium Helminthologi,
Pak Kosasih yang banyak membantu selama penelitian di kandang Unit Pengelola
Hewan Laboratorium, Fakultas Kedokteran Hewan IPB, serta staf Laboratorium
Fisiologi, dan staf Laboratorium Patologi Klinik. Terima kasih banyak kepada
teman-teman seperjuangan Siti Holijah Rangkuti, Pika Sati Suryani, dan
Hayatuloh Frio Marten yang telah berkerja sama selama penelitian. Rasa bangga
dan terima kasih kepada keluargaku tercinta, Bapak (Zulkarnain MPd), Emak
(Dana), (Inga) Nora Arseta, (Abang) Nasrullah yang selalu siap berbagi suka dan
duka kepada Penulis dalam perjuangan penulisan karya ilmiah ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tulisan ini masih jauh untuk
dikatakan sempurna, untuk itu kritik dan saran yang konstruktif guna perbaikan
skripsi ini sangatlah Penulis harapkan. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi
para pembaca yang budiman.
Bogor, Desember 2014
Eniza Rukisti
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
ABSTRAK
x
x
iiv
ABSTRACT
iiv
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Tujuan Penelitian
1
Manfaat Penelitian
1
TINJAUAN PUSTAKA
2
Klasifikasi Haemonchus contortus
2
Siklus Hidup
3
Epidemiologi
3
Patogenesis Haemonchosis
4
METODE
5
Tempat dan Waktu
5
Hewan Coba
5
Desain Penelitian
5
Penyiapan Larva Infektif Haemonchus contortus
5
Infeksi Domba
6
Penghitungan Jumlah Cacing Dewasa
6
Analisis Data
6
HASIL DAN PEMBAHASAN
6
SIMPULAN DAN SARAN
9
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
9
10
10
DAFTAR TABEL
1. Tabel 1 Rata-rata berat badan tiap hari pada empat kelompok domba
percobaan (g).
8
DAFTAR GAMBAR
1. Gambar 1 Morfologi Haemonchus contortus jantan dan betina.
2. Gambar 2 Grafik rata-rata berat badan domba setiap minggu
3. Gambar 3 Kolerasi antara perubahan berat badan domba dan jumlah
cacing.
3
7
8
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Di antara ternak ruminansia yang banyak dipelihara di Indonesia adalah
domba. Usaha peternakan domba banyak diminati karena mudah dalam
pemeliharaan, tidak membutuhkan lahan yang luas, dan memiliki kemampuan
reproduksi yang tinggi (Sitorus dan Subandriyo 1982). Populasi ternak domba di
Indonesia pada tahun 2010 mencapai 10 637 237 ekor (Direktorat Jenderal
Peternakan dan Kesehatan Hewan 2011). Seiring peningkatan populasi, tingkat
pendidikan, dan juga pendapatan membuat masyarakat sadar akan pentingnya gizi
makanan, maka terjadi peningkatan konsumsi protein hewani. Protein hewani
dapat diperoleh salah satunya berasal dari domba. Daging domba memberikan
sumbangan terhadap kebutuhan daging nasional sebanyak 0.02 % (Departemen
Pertanian 1999).
Masalah yang umum terjadi dalam pemeliharaan domba adalah infeksi
parasit berupa cacing saluran pencernaan, di antaranya Haemonchus contortus.
Infeksi H. contortus pada domba disebut haemonchosis. Haemonchosis yaitu
penyakit parasiter yang bersifat endemis pada domba. Tingkat prevalensi infeksi
cacing H. contortus pada domba di Indonesia sekitar 80 % (Satrija dan Beriajaya
1998). Tingginya tingkat prevalensi ini disebabkan oleh sistem pemeliharaan
ternak yaitu domba yang digembalakan. Iklim tropis Indonesia juga merupakan
faktor yang dapat menjadi pendukung penularan dan kelangsungan siklus hidup
cacing H. contortus. Hal ini dikarenakan iklim tropis memiliki perbedaaan yang
signifikan antar antara musim panas dan musim hujan.
Infeksi cacing H. contortus dapat menyebabkan kekurusan dan pertumbuhan
yang terhambat, selain itu terjadinya imunosupresi sehingga domba mudah
terkena penyakit yang berujung kematian. Kerugian ekonomi yang langsung
dialami peternak yaitu harga jual domba yang rendah disebabkan oleh turunnya
berat badan. Kerugian ekonomi yang dialami oleh peternak tidak diketahui secara
pasti karena belum adanya data dan cara perhitungan kerugian akibat
haemonchosis. Selain itu kerugian ekonomi berdasarkan kategori infeksi berupa
penurunan berat badan domba lokal belum diketahui, oleh karena itu sangat
diperlukan penelitian tentang penurunan berat badan domba lokal yang
diakibatkan oleh H. contortus.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perubahan berat badan domba
ekor tipis yang terinfeksi cacing H. contortus.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tingkat perubahan
berat badan akibat infeksi H. contortus, yang dapat digunakan untuk menduga
kerugian ekonomi. Informasi ini dapat digunakan oleh pemangku kebijakan untuk
pengendalian haemonchosis.
2
TINJAUAN PUSTAKA
Klasifikasi Haemonchus contortus
Menurut Soulsby (1986), klasifikasi Haemonchus contortus sebagai berikut:
Phylum
: Nemathelminthes
Class
: Nematoda
Ordo
: Strongyloidea
Famili
: Trichostrongylidae
Genus
: Haemonchus
Species
: Haemonchus contortus
Haemonchus contortus biasa disebut dengan istilah barberpole worm,
cacing lambung berpilin, atau cacing kawat pada ruminansia. Ciri-ciri umum dari
H. contortus adalah kepala kecil dengan rongga mulut yang rudimenter, berupa
celah yang dilengkapi dengan sebuah lancet (Gambar 1, keterangan A). Pada leher
terdapat dua papil yang berbentuk runcing seperti duri pada bagian dasarnya
(Soulsby 1986). Lanset di bagian dorsal dari bagian mulut dan papila cervical
tersebut berfungsi sebagai kait untuk menempel pada mukosa abomasum.
Permukaan luar tubuh dilapisi oleh kutikula. Kutikula adalah selubungi yang
kental, kenyal, resisten terhadap enzim percernaan induk semang (Smith 1976).
Dalam keadaan segar, tubuh H. contortus berwarna kemerahan karena adanya
darah dalam usus.
Cacing jantan panjangnya 10-12 mm dengan diameter 400 mikron, dan
memiliki spikula dan bursa. Bursanya ditemukan di bagian posterior tubuh
tersusun oleh dua lobus lateral yang simetris dan satu lobus orsal yang tidak
simetris, sehingga membentuk percabangan seperti huruf Y (Gambar 1,
keterangan B).
Cacing betina mempunyai ukuran lebih panjang dari cacing jantan yaitu 1830 mm dengan diameter 500 mikron, nampak adanya anyaman-anyaman yang
membentuk spiral antara organ genital (ovarium) yang berwarna putih dengan
usus yang berwarna merah karena penuh berisi darah, sehingga akan nampak
berwarna merah putih secara berselang seling sehingga disering disebut
barbelpole worm. Cacing betina mempunyai anterior flap yang menutupi
permukaan vulva yang umumnya besar dan menonjol (Gambar 1, keterangan C).
Cacing betina dewasa mampu bertelur sebanyak 5000 – 10 000 butir setiap hari.
Telur berbentuk lonjong dan berukuran 70-85 mikron dengan diameter 41–48
mikron. Telur yang keluar bersama tinja telah mencapai stadium morula (didalam
telur telah mengandung 16-32 sel) (Soulsby 1986).
3
Gambar 1 Morfologi Haemonchus contortus jantan dan betina
Keterangan : Ujung anterior (A), Bursa cacing jantan (B), Daerah vulva cacing betina (C), Ekor
cacing betina (D) (Levine 1990).
Siklus Hidup
Siklus hidup H. contortus dan nematoda lain pada ruminansia bersifat
langsung, tidak membutuhkan inang antara. Cacing betina dewasa hidup di
abomasum, memproduksi telur antara 5000-10 000 butir setiap hari. Telur yang
telah berisi embrio yang terdiri dari 16-32 sel dikeluarkan oleh ternak bersama
tinja (Soulsby 1986). Setelah 12 jam di luar tubuh inang definitif, pada kondisi
yang sesuai, telur menetas, dan larva stadium 1 (L1) keluar. Kondisi optimum
untuk perkembangan telur H. contortus sampai menjadi larva infektif adalah
antara suhu 26-30oC dengan kelembaban antara 70-80%. Larva stadium pertama
(L1) berkembang menjadi larva stadium dua (L2) dan selanjutnya menjadi Larva
stadium tiga (L3) yang merupakan stadium infektif. Dalam kondisi optimum,
stadium ini dapat dicapai 4-6 hari (Soulsby 1986).
Larva stadium tiga akan menempel pada rumput-rumputan. Domba
terinfeksi pada saat memakan rumput yang terkontaminasi. Saat berada di
lambung L3 akan segera melepaskan kulit yang membungkusnya. Setelah 48 jam
di abomasum, L3 mengalami ekdisis menjadi L4. Larva stadium empat dilengkapi
dengan bucal capsul yang akan menyusup ke dalam mukosa dan menghisap
darah. Larva stadium empat kemudian molting menjadi cacing muda (L5) dan
akhirnya menjadi cacing dewasa di dalam abomasum.
Epidemiologi
Penyebaran infeksi cacing H. contortus di Indonesia cukup luas dengan
tingkat prevalensi di Sumatera 88.5% (Partoutomo et al. 1971), Sulawesi Selatan
70.5 % (Beriajaya & Soetedjo 1979), Bali 80% (Sukarsih & Handoko 1980),
Pulau Jawa 67% (Kusumamihardja & Partoutomo 1997), di Lampung Tengah dan
Lampung Selatan sebesar 86.2% (Chotiah 1983), dan RPH Bogor mencapai 80%
(Darmono 1982). Menurut Kusumamiharja (1992) larva nematoda berada di
4
pucuk rumput lebih banyak di pagi hari dibandingkan siang dan sore hari sehingga
menyebabkan infeksi tertinggi di pagi hari. Derajat infeksi H. contortus di musim
hujan juga akan lebih tinggi dibandingkan musim kemarau. Tingkat prevalensi H.
contortus pada musim hujan mencapai 100%. Tingginya tingkat prevalensi ini
karena perkembangan dan ketahanan larva di padang rumput dipengaruhi oleh
kondisi iklim dan cuaca, tipe tanah, letak geografis, sifat dan jumlah populasi
ternak di tempat tersebut.
Patogenesis Haemonchosis
Larva stadium empat (L4) dan stadium lima (L5) H. contortus ketika migrasi
akan merusak jaringan mukosa abomasum. Cacing melekatkan diri pada mukosa
abomasum dan menghisap darah selama kurang lebih 12 menit, lalu melepaskan
diri, dan menimbulkan luka yang masih tetap mengeluarkan darah kurang lebih
selama 7 menit (Soulsby 1986). Pendarahan yang berlangsung lama ini
disebabkan terdapat antikoagulan yang dikeluarkan oleh kelenjar pada bagian
kranial cacing. Anemia merupakan gangguan yang khas akibat infeksi cacing H.
contortus yang ditandai dengan penurunan kadar haemoglobin, nilai hematokrit
dan jumlah eritrosit, dengan disertai peningkatan jumlah leukosit (Arifin 1982).
Anemia akibat haemonchosis pada domba sendiri terbagi menjadi tiga tahap
(Dargie & Allonby 1975). Tahap pertama dikenal sebagai tahap haemonchosis
akut yang berlangsung selama 7-25 hari sesudah infeksi. Pada tahap ini domba
akan kehilangan darah dalam jumlah besar sebelum sistem eritropoiesisnya
mampu menghasilkan darah pengganti. Setiap ekor H. contortus dapat
menyebabkan domba kehilangan darah sebanyak 0.049 ml per hari (Clark et al.
1962). Kehilangan darah ini diikuti dengan menurunnya jumlah eritrosit, nilai
hematokrit dan kadar haemoglobin pada inang. Tahap kedua berupa kehilangan
darah yang diimbangi dengan peningkatan eritropoiesis sehingga terjadi
keseimbangan antara kehilangan darah dan produksi darah meski berada di bawah
normal. Tahap kedua ini berlangsung antara hari keenam dan empat belas sesudah
infeksi. Meningkatnya produksi eritrosit ini menyebabkan peningkatan turn over
zat besi di dalam plasma bersamaan dengan laju kehilangan zat besi di tinja,
sehingga cadangan zat besi di tubuh inang akan semakin turun. Tahap tiga terjadi
akibat kelelahan dari sistem eritropoiesis karena kekurangan besi dan protein.
Kekurangan zat besi dan protein ini diperparah oleh penurunan nafsu makan pada
inang (Abbot et al. 1986).
Menurut Kusumamihardja et al. (1990) sebanyak 58-230 ekor cacing
dewasa mampu menghentikan pertumbuhan domba, sedangkan jumlah 300 cacing
dewasa mampu menurunkan berat badan domba. Penurunan berat badan domba
juga diperparah karena adanya absorbsi makanan kurang efektif akibat keasaman
lambung dan peningkatan gastrik serta kolesistokinin yang menyebabkan
pengosongan lambung secara cepat. Kerusakan mukosa akibat migrasi larva dan
kerusakan fisik oleh cacing dewasa menimbulkan peradangan pada abomasum
atau abomasitis sehingga menimbulkan gangguan pencernaan. Peradangan pada
abomasum ini meningkatkan permeabilitas dari mukosa abomasum dan diikuti
dengan penurunan pH lambung. Menurut Abbott et al. (1986) penurunan pH akan
menyebabkan proses perubahan pepsinogen menjadi pepsin terhambat. Perubahan
ini akan menyebabkan proses pencernaan protein di dalam lambung akan
5
terganggu karena pepsin berfungsi untuk memecah protein menjadi peptides.
Meningkatnya kadar pepsinogen di dalam darah bersamaan dengan peningkatan
pH lambung terjadi pada hari kelima pasca infeksi (Coop 1971). Adanya
peningkatan permeabilitas sel-sel mukosa abomasum menyebabkan
makromolekul seperti plasma protein dapat bebas ke dalam lumen. Sebaliknya
pepsinogen akan kembali ke sistem sirkulasi dan menyebabkan konsentrasi
pepsinogen di dalam darah meningkat. Keluarnya plasma protein dari sirkulasi ke
dalam saluran pencernaan menyebabkan hipoproteinemia khususnya
hipoalbuminemiakarena terjadi peningkatan katabolisme albumin.
METODE
Tempat dan Waktu
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Helmintologi, Fakultas Kedokteran
Hewan, Institut Pertanian Bogor. Domba dipelihara di kandang Ruminansia Kecil
milik Unit Pengelola Hewan Laboratorium FKH IPB. Penelitian berlangsung
selama 3 bulan, dari bulan Juli sampai dengan bulan Oktober 2013.
Hewan Coba
Hewan percobaan yang digunakan sebanyak dua puluh domba jantan lokal
ekor tipis yang sehat secara klinis, berumur antara 6-8 bulan dengan berat badan
antara 14 sampai 19 kg. Selama periode persiapan semua domba diberikan
anthelmintik yang diberikan tiga kali, yaitu pada hari pertama, keempat dan
kelima dengan tujuan membebaskan domba dari infeksi cacing parasit yang
dibuktikan dengan tidak ditemukannya telur pada pemeriksaan tinja. Hewan
percobaan tersebut diberi pakan berupa rumput sebanyak dua kali sehari dan air
minum secara ad libitum.
Desain Penelitian
Hewan percobaan dibagi menjadi lima kelompok. Domba percobaan
diperihara dalam kandang baterai masing-masing empat ekor untuk setiap
kandangnya. Kelompok pertama setiap ekor domba diinfeksi dengan dosis 500 L3,
kelompok kedua 1000 L3, kelompok ketiga 2000 L3, kelompok keempat 4000 L3
dan kelompok kontrol (tidak diinfeksi). Setiap minggu selama delapan minggu
dilakukan penimbangan berat badan pada pagi hari sebelum pemberian pakan.
Pada akhir penelitian hewan disembelih untuk menghitung jumlah cacing yang
berada di abomasum.
Penyiapan Larva Infektif Haemonchus contortus
Larva infektif diperoleh dari hasil pupukan telur cacing H. contortus yang
diambil di abomasum domba dari tempat pemotongan hewan di Empang, Bogor.
Telur cacing diperoleh dari cacing betina dewasa yang kemudian digerus
menggunakan gerusan hypofise. Telur cacing dipupuk dalam media tinja segar
6
bebas cacing dicampur dengan vermikulit dengan rasio 1:3 (Steffan et al. 1989).
Pupukan telur tersebut dibiarkan selama seminggu pada suhu kamar. Larva hasil
pemupukan dipanen dengan menggunakan metode Baermann. Pupukan tinja
dibungkus dengan kain kasa, digantung pada gelas Baermann yang telah berisi
akuades sehingga posisi bungkusan pupukan tinja terendam selama satu malam.
Larva yang terdapat pada dasar gelas tersebut dipindahkan ke tabung reaksi dan
disimpan pada suhu 4-5oC sampai digunakan. Sebelum digunakan L3 dihitung
terlebih dahulu untuk mengetahui konsentrasi L3/ml.
Infeksi Domba
Larva infektif L3 yang telah siap diinfeksikan dimasukkan ke dalam kapsul
gelatin sesuai dengan dosis infeksi yaitu kelompok pertama dosis 500, kelompok
kedua 1000, kelompok ketiga 2000, dan kelompok keempat 4000 L3. Infeksi
larva dilakukan pada pagi hari sebelum domba diberi makan dengan
menggunakan aplikator kapsul.
Penghitungan Jumlah Cacing Dewasa
Pada minggu terakhir (minggu kedelapan) domba disembelih kemudian
dinekropsi. Abomasum dipisahkan dari organ lainnya, kemudian dibuka dengan
menyayat pada bagian kurvatura major. Isi abomasum dikeluarkan, dicuci dan
ditampung dalam ember, kemudian disaring menggunakan saringan dengan
diameter pori berukuran 250 µm. Cacing yang terdapat pada abomasum diambil
menggunakan kerokan mukosa dan diletakkan pada wadah yang telah berisi NaCl
fisiologis. Kemudian dilakukan penghitungan jumlah cacing yang berasal dari
hasil penampungan dan hasil kerokan mukosa.
Analisis Data
Data berupa jumlah cacing, pertambahan berat badan diinput ke dalam
Microsoft Excel 2010. Data jumlah cacing sebagai peubah X dan perubahan
berat badan sebagai peubah Y. Data tersebut kemudian dianalisis dengan
menggunakan metode statistik uji Anova
dan metode Regresi Linier
menggunakan software SPSS 16.0 untuk mengetahui hubungan jumlah cacing
dengan perubahan berat badan domba.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil penghitungan jumlah cacing pada setiap domba sangat bervariasi.
Pada kelompok infeksi 500 L3 terdapat rata-rata 251±272 ekor cacing, kelompok
1000 L3 terdapat 146±144 ekor cacing, kelompok 2000 L3 sebanyak 123±119 ekor
cacing, dan kelompok 4000 L3 terdapat 147±136 ekor cacing. Jumlah cacing
terkecil pada seekor domba hanya 4 ekor dan jumlah cacing terbanyak mencapai
630 ekor. Oleh karena bervariasinya jumlah cacing maka dilakukan
pengelompokkan kembali hewan coba yaitu pengelompokan katagori derajat
infeksi berdasarkan jumlah cacing menurut Kusumamihardja et al. (1990).
7
Berat
Badan (Gram)
AXIS TITLE
Kategori kelompok infeksi ringan dengan jumlah cacing 1-250 ekor, kelompok
terinfeksi sedang dengan jumlah cacing 251-500 ekor, dan kelompok terinfeksi
berat dengan jumlah cacing lebih dari 500 ekor.
Hasil pengelompokkan ulang diperoleh data terdapat 12 ekor domba
mengalami infeksi ringan, 3 ekor domba terinfeksi sedang dan 1 ekor domba
terinfeksi berat.
18250
18000
17750
17500
17250
17000
16750
16500
16250
16000
15750
15500
15250
15000
14750
14500
14250
14000
13750
13500
13250
13000
0
1
2
3
4
5
6
7
8
AXIS TITLE
Minggu kenon infeksi
infeksi ringan
infeksi sedang
infeksi berat
Gambar 2 Grafik rata-rata berat badan domba setiap minggu
Rata-rata berat badan pada domba setiap minggu berdasarkan kategori
infeksi dapat dilihat pada Gambar 2. Semua kelompok kategori infeksi
mengalami kenaikan berat badan pada minggu ketiga dan mengalami penurunan
berat badan secara drastis pada minggu keempat (Gambar 2). Berat-badan
kelompok kontrol selama delapan minggu penelitian berfluktuasi akan tetapi
diakhir penelitian berat badannya kembali meningkat. Kelompok infeksi ringan
juga mengalami kenaikan berat badan pada minggu kedua dan ketiga, tetapi berat
badannya langsung menurun tajam pada minggu keempat. Kelompok infeksi
ringan kembali mengalami penurunan pada minggu kelima dan kembali stabil
sampai minggu terakhir. Kelompok infeksi sedang dan kelompok infeksi berat
mengalami perubahan berat badan yang sama seperti kelompok infeksi ringan,
akan tetapi pada minggu terakhir berat badan kelompok ini semakin turun.
Penurunan berat badan tertinggi terjadi pada kelompok infeksi berat dibandingkan
dengan kelompok infeksi lain (Gambar 2).
8
Y=-1403,406+(-1,740)X
Gambar 3 Kolerasi antara perubahan berat badan domba dan jumlah cacing
Hubungan antara perubahan berat badan domba dan jumlah cacing dapat
dilihat pada Gambar 3. Hasil analisis regresi pada Gambar 3 menunjukkan
terdapat korelasi positif antara jumlah cacing dengan penurunan berat badan (α <
0.05), dengan persamaan Y= -1403.406+(-1.740) X. Berdasarkan persamaan Y= 1403.406+(-1.740) X didapatkan penurunan berat badan yang dialami setiap
kelompok. Kelompok ringan mengalami penurunan berat badan sebesar 807.1 g
sampai 950.23 g. Kelompok sedang mengalami penurunan berat badan 951 g
sampai 1093.9 g. Kelompok berat mengalami penurunan berat badan lebih dari
1094 gram. Bedasarkan hasil analisis diatas, penurunan jumlah cacing
berpengaruh terhadap penurunan berat badan domba.
Tabel 1 Rata-rata penurunan berat badan (g) pada empat kelompok domba
percobaan berdasarkan selisih berat awal - berat akhir penelitian.
Kelompok
Kontrol
Ringan
Sedang
Berat
Jumlah
cacing
dewasa
0
1-250
251-500
>500
Minggu ke0
Minggu ke8
15780
17095
15253
16280
14610
15392
13620
13600
Penurunan berat badan
(g)
(%)
1170
1703
1633
2680
7
10
11
16
Presentase penurunan berat badan selama penelitian berdasarkan derajat
infeksi dapat dilihat pada Tabel 1. Presentase penurunan berat badan terbesar
dialami oleh kelompok infeksi berat yang mengalami penurunan sebesar 2680 g
atau 16%. Kelompok sedang mengalami penurunan sebesar 1633 gram atau
sekitar 11% dari berat badan awal. Kelompok ringan mengalami penurunan berat
badan sebesar 1703 g atau sekitar 10% dari berat badan awal. Kelompok kontrol
juga mengalami penurunan berat badan sebesar 7% atau 1170 g dari berat badan
awal. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian dari Arifin (1982) yang
9
menyatakan bahwa semakin banyak jumlah cacing yang terinfeksi maka semakin
tinggi penurunan berat badan. Menurut Kusumamihardja et al. (1990) pada
kelompok ringan domba mengalami perubahan berat badan sebesar 30 g. Pada
kelompok sedang domba mengalami penurunan berat badan sebesar 620 g dan
kelompok berat kehilangan berat badan sebesar 880 g.
Penurunan berat badan dapat disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya
adalah pakan, kelembaban, cahaya, air dan juga genetik dari domba sendiri.
Penurunan berat badan pada kelompok kontrol diduga disebabkan oleh kondisi
lingkungan kandang. Pada penelitian ini domba dipelihara pada kandang dengan
memiliki suhu yang relatif tinggi dengan kelembaban rendah. Suhu yang tinggi ini
disebabkan kondisi kandang yang tertutup dan jarang terdapat pepohonan
disekitar kandang. Kondisi ini menyebabkan kondisi fisiologis kelompok kontrol
menurun. Secara fisiologis, ternak yang mengalami cekaman panas akan berakibat
pada penurunan nafsu makan, peningkatan konsumsi minum, penurunan
metabolisme dan peningkatan katabolisme, peningkatan pelepasan panas melalui
penguapan, penurunan konsentrasi hormon dalam darah, peningkatan temperatur
tubuh, respirasi dan denyut jantung serta perubahan tingkah laku (Ingram dan
Dauncey 1985). Selain akibat infeksi, kondisi lingkungan yang buruk dapat
menyebabkan penurunan berat badan yang lebih besar sebagaimana kelompok
kontrol.
Kelompok infeksi ringan, sedang, dan berat mengalami penurunan berat
badan lebih tinggi dibandingkan kelompok kontrol karena adanya pengaruh
infeksi H. contortus. Penurunan berat badan pada domba yang menderita
haemonchosis sebagai akibat dari anoreksia yang disertai kehilangan banyak
protein serta adanya gangguan pencernaan dan penyerapan makanan. Anoreksia
menyebabkan pemanfaatan energi yang dapat dicerna berkurang sehingga
penimbunan protein dan lemak tubuh menurun. Aktivitas larva dan cacing dewasa
H. contortus yang menghisap darah domba serta perdarahan beberapa saat dari
luka-luka abomasum yang ditinggalkan parasit menyebabkan domba banyak
kehilangan protein dan eritosit. Anoreksia dan hilangnya banyak protein juga
menyebabkan terganggunya pemanfaatan energi makanan. Oleh karena itu terlihat
dari Gambar 2, kelompok infeksi mengalami penurunan berat badan sampai akhir
penelitian.
Kenaikan berat badan kembali setiap kelompok pada minggu kelima
(Gambar 2) menunjukkan tubuh inang sudah dapat beradaptasi terhadap
haemonchosis setelah mengalami penurunan sebelumnya pada minggu keempat.
Adaptasi terhadap infeksi H. contortus ini disertai dengan metabolisme
pencernaan kembali lancar sehingga tubuh mulai pertambahan berat badan
kembali.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Infeksi Haemonchus contortus menyebabkan penurunan berat badan.
Besarnya penurunan berat badan dipengaruhi oleh derajat infeksi. Presentase
10
penurunan berat badan untuk kelompok kontrol sebesar 7% dari kelompok infeksi
ringan, kelompok sedang dan berat adalah 10%, 11% dan 16% dari bobot awal.
Saran
Perlu dilakukan pemeliharaan hewan coba dengan menggunakan kandang
yang mempunyai sirkulasi dan pencahayaan yang baik sehingga tidak
mempengaruhi kondisi fisiologis hewan percobaan.
DAFTAR PUSTAKA
Abbot EM, Parkins, Holmes P. 1986. The effect of dietary protein on the
pathophysiology of acute haemonchosis. Veterinary Parasitology 20:291306.
Angus MD. 1978. Veterinary Helminthology 2nd Ed. London(GB): Bailliere
Tindal.
Arifin MZ. 1982. Pengaruh infestasi Haemonchus contortus (Rudolphi, 1803)
pada gambaran darah domba jantan local [Tesis]. Bogor (ID):Institut
Pertanian Bogor.
Beriajaya, Soetedjo R. 1979. Penyakit parasit cacing pada ternak di Sulawesi
Selatan [Laporan Penelitian]. Bogor: BPPH Bogor.
Clark CH, Kiesel GK, Gorby CH. 1962. Measurement of blood loss caused by
Haemonchus contortus in sheep. American Journal Of Veterinary Research
23:997-980.
Chotiah S. 1983. Penyidikan infestasi Haemonchus contortus pada sapi, kerbau,
kambing dan domba di Lampung Tengah dan Lampung Selatan. Laporan
tahunan hasil penyidikan penyakit hewan di Indonesia periode tahun 19811982. Direktorat Kesehatan Hewan, Ditjennak, Deptan. Jakarta.
Coop RL. 1971. The effect of large dosis of Haemonchus contortus the level of
plasma pepsinogen and concentration of electrolytes in abomasal fluid of
sheep. Journal Comparative Pathology.81:213-219.
Darmono. 1982. Persentase kejadian haemonchosis serta perbandingan jumlah
cacing jantan dengan cacing betina Haemonchus contortus pada domba di
RPH kodya Bogor [Laporan Penelitian]. Balai Penelitian Penyakit Hewan.
Bogor (ID). 24:43-45.
Departemen Pertanian. 1999. Buku Statistik Dirjen Peternakan. Jakarta (ID):
Departemen Pertanian RI.
Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. 2011. Populasi dan
Produksi Peternakan Di Indonesia. Jakarta (ID): Kementerian Pertanian
Direktorat Jenderal Peternakan Dan Kesehatan Hewan.
Ingram DL, Dauncey MJ. 1985. Thermoregulatory Behavior, in Stress Physiology
of Livestock. Volume ke-1. Florida (US): CRC Press.
Kusumamihardja S, Partoutomo S. 1971. Survey Inventarisasi Parasit pada Ternak
(Sapi, Kerbau, Domba, Kambing dan Babi) di Beberapa Pembantaian di
Pulau Jawa [Laporan Penelitian]. Bogor (ID): BPPH Bogor.
Kusumamihardja S, L Zalizar, EB Retnani dan R Tiuria. 1990. Hubungan antara
jumlah telur cacing Haemonchus contortus dengan derajat kesakitan pada
11
domba jantan lokal [Laporan Penelitian]. Bogor (ID): Institut Pertanian
Bogor.
Kusumamihardja S. 1992. Parasit dan parasitosis pada hewan ternak dan hewan
piaraan di Indonesia [Laporan Penelitian]. Bogor (ID): Pusat Antar
Universitas, Bioteknologi IPB.
Levine ND. 1990. Buku Pelajaran Parasitologi Veteriner. Gatut Ashadi
penerjemah. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Press.
Partoutomo S, Soetedjo R, Radjaguk BPA, Kalsid E, Adiwinata G, Sanubari.
1976. Penyakit parasit cacing pada ternak di Sumatera [Laporan Penelitian].
Bogor (ID): BPPH Bogor.
Satrija F, Beriajaya. 1998. The epidemiology and control of gastrointestinal
nematodes in Indonesia, with special refence of small ruminants in West
Java. FAO production and Animal Health Paper 141:66-71.
Sitorus P, Subandriyo. 1982. Penampilan domba ekor gemuk dan turunan
silangnya dengan pejatan pernakan Suffolk dan peranakan Dormer. Seminar
Penelitian Peternakan; 1982 Februari 8-11; Cisarua, Indonesia. Bogor (ID)
BPPH Bogor. hlm 95-103.
Smith JO. 1976. Introduction to Animal Parasitology. London (GB): Hodder and
Stougton.
Soulsby EJL. 1986. Helminths, Artropods and Protozoa of Domesticated Animal.
Seventh Ed. London (GB): Bailliere Tindall.
Steffan P, Henriksen SVAA And Nansen P. 1989. A comparison of two methods
and two additives for faecal cultivation of bovine trichostrongyle.
Veterinary Parasitology 31:269-273.
Sukarsih, Handoko. 1981. Penyakit parasit cacing pada ternak di Pulau Bali
[Laporan Penelitian]. Bogor (ID): BPPH Bogor.
12
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Manna, Bengkulu Selatan pada tanggal 4 Juli 1992
sebagai anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Zulkarnain dan Dana.
Penulis menyelesaikan pendidikan dasar pada tahun 2004 di SDN 8 Manna.
Kemudian melanjutkan pendidikan menengah pertama di SMPN 1 Kota Manna
dan lulus pada tahun 2007. Sedangkan pada tahun 2010 penulis menamatkan
pendididkan menengah atas di SMAN 2 Bengkulu Selatan. Kemudian penulis
melanjutkan pendidikanke IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB
(USMI) tahun 2010.
Diawal perkuliahan penulis aktif pada kegiatan PASKIBRAKA IPB tahun
2010. Selama perkuliahan penulis juga aktif dalam kepanitian serta menjadi
kepala divisi pendidikan di Himpro Ornithologi dan Unggas tahun 2013. Penulis
selama menempuh pendidikan di Fakultas Kedokteran Hewan penulis menjadi
asisten praktikum Ilmu Bedah Khusus Veteriner 1 semester genap tahun 2014.
Download