7 dalam proses reaksi alergik karena sel ini mengandung heparin, histamin, bradikinin, dan serotonin yang dilepaskan di daerah peradangan untuk mencegah pembekuan dan stasis darah (Frandson 1992). Jumlah eosinofil dalam darah domba terinfeksi selama pengamatan lebih tinggi dari jumlah eosinofil normal pada domba, yaitu 5%. Hal ini terjadi akibat adanya infeksi dari parasit terutama nematoda atau nilainya mungkin tetap tinggi akibat infeksi-infeksi parasit pada waktu sebelumnya. Eosinofil diduga berperan dalam membunuh larva cacing yang menginfeksi domba. Jumlah eosinofil yang tinggi berperan dalam meningkatkan mekanisme respon kebal protektif domba ekor tipis terhadap infeksi Fasciola gigantica (Wiedosari 2006). Jumlah eosinofil juga berkaitan dengan resistensi domba yang terinfeksi Trichostrongylus colubriformis (Rothwell et al. 1993) dan Ostertagia circumcincta (Stear et al. 1995). Eosinofil merupakan penciri khas adanya infeksi nematoda yang memasuki tubuh dan merusak jaringan inangnya karena sel ini dapat menghasilkan enzim yang dapat menghancurkan kutikula nematoda serta dapat menempel dan memfagosit cacing parasit dengan adanya IgE dan IgG. Sel ini kemudian juga dapat mensekresikan mediator kompleks peroksidase yang menghasilkan histamin untuk menetralkan peradangan yang dilepaskan oleh sel mast (Douch et al. 1996). Jumlah neutrofil dalam darah domba yang terinfeksi selama pengamatan relatif tidak berbeda dari jumlah neutrofil normal pada domba, yaitu 25-30%. Neutrofil merupakan sel pertahanan dalam melawan infeksi terutama serangan bakteri dengan cara migrasi ke daerah yang mengalami serangan bakteri yang melepaskan zat kemotoksik. Enzim lisosom dari neutrofil berperan dalam mencerna material asing tersebut (Frandson 1992). Infeksi H. contortus pada abomasum menimbulkan peradangan dan rentan terhadap serangan bakteri. Neutrofil berperan utama pada proses yang berhubungan dengan peradangan akibat infeksi dan jumlahnya meningkat selama periode paten akibat infeksi Haemonchus (Adams 1993). Seluruh nilai rataan aspek yang diamati, yaitu nilai PBBH, nilai FEC, nilai PCV, kadar Hb, jumlah SDM, jumlah SDP, dan persentase jumlah jenis-jenis SDP, kecuali nilai PCV domba betina memiliki hubungan peningkatan maupun penurunan yang tidak bisa dibedakan antara domba jantan dan domba betina terhadap kontrol (P>0.05). Hal ini menunjukkan bahwa infeksi L3 H. contortus pada domba ekor tipis selama 42 hari tidak memberikan pengaruh yang signifikan walaupun nilai-nilai amatan cenderung mengalami penurunan maupun peningkatan. Nilai ini menunjukkan juga bahwa tidak ada domba perlakuan yang terlihat mengalami ciri-ciri anemia bahkan kematian akibat diinfeksi H. contortus. Berdasarkan semua nilai rataan ukuran yang dilakukan dalam penelitian ini, domba ekor tipis menunjukkan adanya potensi kekebalan terhadap infeksi cacing H. contortus. Hal ini menunjukkan adanya peluang domba ekor tipis memiliki gen yang dapat terekspresi dan berpengaruh terhadap mekanisme ketahanan domba terhadap infeksi H. contortus. Beberapa jenis domba di dunia juga banyak dilaporkan memiliki ketahanan terhadap infeksi H. contortus seperti domba Merino (Gill 1991), domba Creole (Bambou et al. 2009), domba Xhosa, dan domba Nguni (Marume et al. 2011). Domba yang berasal dari Indonesia seperti domba Sumatera dan domba persilangan Sumatera-Ekor Gemuk dilaporkan tidak memiliki ketahanan terhadap infeksi H. contortus (Romjali et al. 1996). Studi pada tingkat molekuler tentang gen yang terkait kekebalan ruminansia terhadap infeksi nematoda gastrointestinal telah banyak dilakukan. Beberapa QTLs (Quality Trait Loci) bagi kekebalan terhadap nematoda parasit gastrointestinal telah teridentifikasi. Setidaknya ada dua gen yang menunjukkan hubungan kekebalan hewan ruminansia terhadap infeksi nematoda gastrointestinal. Gen yang pertama ialah gen DRB, yaitu kelas II dari Major Histocompatibility Complex (MHC) dan gen yang kedua ialah Interferon Gamma Gene (IFNG), yaitu gen pada kromosom. Gen IFNG dan DRB mengatur respon-respon kekebalan terhadap infeksi nematoda gastrointestinal (Charon 2004). SIMPULAN Infeksi H. contortus pada domba cenderung menurunkan nilai PCV, kadar Hb darah, jumlah SDM, dan meningkatkan jumlah SDP, namun tidak sampai menyebabkan kondisi anemia. Bobot badan domba tetap meningkat selama masa infeksi. Nilai-nilai PBBH, FEC, dan gambaran darah diatas mengisyaratkan bahwa domba ekor 8 tipis memiliki potensi kekebalan terhadap infeksi H. contortus. SARAN Domba ekor tipis disarankan sebagai ternak untuk daerah-daerah yang pandemik cacing H. contortus. Pencarian gen-gen kekebalan terhadap cacing sangat cocok untuk menggunakan domba ekor tipis. DAFTAR PUSTAKA Adams DB. 1993. Systemic responses to challenge infection with Haemonchus contortus in immune Merino sheep. Vet Res Comm 17:25-35. Bambou et al. 2009. Peripheral immune response in resistant and susceptible Creole kids experimentally infected with Haemonchus contortus. Small Rum Res 82:34-39. Banks WJ. 1993. Applied Veterinary Histology. Texas:Mosby Inc. Beriajaya, Murdiati TB, Herawaty. 1998. Efek antelmintik infus dari ekstrak rimpang bangle (Zingiber purpureum) terhadap cacing Haemonchus contortus secara in vitro. J Ilmu Ternak Vet 3:277-282. Beriajaya. 2005. Gastrointestinal nematode infections on sheep and goats in West Java, Indonesia. J Ilmu Ternak Vet 10:293304. Charon KM. 2004. Genes controlling resistance to gastrointestinal nematodes in ruminants. Anim Sci Papers and Reports 22:135-139. Douch GBC, Morum PE, Rabel B. 1996. Secretions of antiparasites substances and leukotrienes from ovine gastrointestinal tissue and issolated mucosa mast cells. Int J Parasitol 26:205-211. Egbe-Nwiyi TN, Nwaosu SC, Salami HA. 2000. Haematological values of appararently healthy sheep and goats as influenced by age and sex in arid zone of Nigeria. Afr J Biomed Res 3:109-115. Estuningsih S, Retnani EB, Esfandiari A. 1996. Gambaran patologi beberapa organ tubuh kambing jantan akibat infeksi Haemonchus contortus (Rudolphi, 1803). Med Vet 3:39-52. Frandson RD. 1992. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Yogyakarta:Gadjah Mada Univ Pr. Gill HS. 1991. Genetic control of acquired resistance to haemonchosis in Merino lambs. Parasite Immunol 13:617-628. Lapage G. 1984. Moonig’s Veterinary Helminthology and Entomology. London:Bailliere Tindall. Marume U, Chimonyo M, Dzama K. 2011. A preliminary study on the responses to experimental Haemonchus contortus infection in indigenous genotypes. Small Rum Res 95:70-74. Romjali E, Pandey VS, Batubara A, Gatenby RM, Verhulst A. 1996. Comparison of resistance of four genotypes of rams to experimental infection with Haemonchus contortus. Vet Parasitol 65:127-137. Rothwell TLW, Windon RG, Horsburgh BA, Anderson BH. 1993. Relationship between eosinophilia and responsiveness to infection with Trichostrongylus colubriformis in sheep. Int J Parasitol 23:203-211. Satrija F, Ridwan Y, Tiuria R, Retnani EB. 1999. Dampak pemberian getah pepaya dengan dosis berulang terhadap domba yang diinfeksi Haemonchus contortus. Hemera Zoa 81:9-15. Soulsby EJL. 1982. Helminths, Arthropods, and Protozoa of Domesticated Animals. London:Bailliere Tindall. Stear MJ, Bishop SC, Duncan JL, McKellar, Murray M. 1995. The repeatability of faecal egg counts, peripheral eosinophil counts and plasma pepsinogen concentration during deliberate infection with Ostertagia circumcincta. Int J Parasitol 25:375-380. Tizard I. 1988. Pengantar Immunologi Veteriner. Surabaya:Universitas Airlangga Pr. Wiedosari E. 2006. Mekanisme imunologi dari resistensi domba ekor tipis terhadap infeksi Fasciola gigantica. Berita Biol 8:99-105.