BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kehadiran seorang anak atau bayi merupakan dambaan setiap keluarga. Setiap keluarga menginginkan anak yang dilahirkannya mampu tumbuh dan berkembang secara optimal sesuai usianya, baik sehat secara fisik, mental, kognitif, dan sosial.1 Anak adalah generasi penerus bangsa, merekalah harapan dan masa depan bangsa ini. Akan seperti apa bangsa ini kelak? Semua itu bergantung pada peran orang tua dalam merawat dan mendidik anak-anak mereka agar menjadi generasi penerus bangsa yang berkualitas, handal, dan mimiliki jiwa pemimpin. Lima tahun pertama kehidupan seorang anak atau yang lebih sering dikenal sebagai masa balita, merupakan masa yang sangat peka terhadap lingkungan dan masa ini berlangsung sangat pendek serta tidak dapat diulang lagi. Pada masa balita ini juga disebut sebagai “masa keemasan” (golden period), “jendela kesempatan” (window of opportunity) dan “masa kritis” (critical period).2 Pada masa ini anak mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang luar biasa, baik dari segi fisik, motorik, emosi, kognitif maupun psikososial. Pada masa ini juga terjadi pertumbuhan otak sebesar 80%. Pembinaan perkembangan anak secara komprehensif dan berkualitas sangat perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya keterlambatan perkembangan anak. Pembinaan yang dilakukan pada masa ini meliputi 1 2 kegiatan stimulasi/ rangsangan, deteksi dini penyimpangan tumbuh kembang balita, dan dan intervensi bila terjadi penyimpangan tumbuh kembang balita. Dalam sebuah penelitian di Amerika Serikat menunjukkan bahwa jumlah anak-anak yang mengalami gangguan sebanyak 12-16% dari total populasi anak, 20-30 % di antaranya terjadi pada usia pra sekolah.3 Indonesia memiliki jumlah penduduk yang sangat besar. Menurut Kemenkes RI tahun 2010, jumlah balita di Indonesia sebanyak 10% dari total jumlah penduduk. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa 20-30 % anak balita di Indonesia dideteksi mengalami gangguan perkembangan, sebagian besar balita mengalami keterlambatan pada aspek motorik kasar dan bahasa. Keterlambatan yang dialami ini sebagian besar diakibatkan oleh kurangnya stimulasi yang diberikan pada balita.1 Seorang anak yang mengalami keterlambatan perkembangan akan berdampak pada kehidupan sehari-hari sang anak di masa depan. Dampak tersebut antara lain kesulitan dalam perawatan diri sendiri, gangguan dalam belajar, kesulitan bahasa, kesulitan dalam mobilitas, hingga penurunan kemampuan untuk hidup mandiri, memperlambat pertumbuhan dan perkembangan mental anak, serta penurunan IQ 10-13 poin.4 Sedangkan dampak psikologis yang timbul adalah krisis kepercayaan diri sehingga anak akan lebih nyaman untuk menyendiri. Hal ini akan berdampak pada kehidupan dan lingkungan sosial anak. Sebuah literatur menyebutkan bahwa perkembangan seorang anak dipengaruhi oleh beberapa hal, antara lain faktor hereditas (genetik), 3 kematangan individu, latihan (belajar), dan lingkungan.5 Faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi perkmbangan anak meliputi lingkungan prenatal (kehamilan), intranatal (kelahiran), dan postnatal (setelah kelahiran). Masalah tumbuh kembang ini lebih banyak ditemukan pada balita yang memiliki riwayat persalinan dengan risiko tinggi.6 Contoh persalinan dengan risiko tinggi antara lain asfiksia, prematuritas, dan bayi berat lahir rendah (BBLR). WHO menyebutkan bahwa bayi berat lahir rendah (BBLR) adalah berat bayi yang saat dilahirkan kurang dari 2500 gram. Bayi yang mengalami BBLR akan memiliki risiko kematian mencapai 20 kali lebih tinggi dibandingkan dengan bayi yang memiliki berat lahir normal (di atas 2500 gram).7 Saat ini diperkirakan 17 juta bayi lahi dengan BBLR setiap tahunnya dan 16% di antaranya lahir di negara berkembang. Dari jumlah tersebut 80% di antaranya lahir di Asia, termasuk Indonesia. Pada tahun 2011, angka BBLR yang ada di Indonesia sekitar 11,1%. Angka ini termasuk angka sangat tinggi jika dibandingkan dengan negara tetangga seperti Thailand (6,6%) dan Vietnam (5,3%). Pada tahun 2013 angka BBLR di Indonesia mengalami penurunan meenjadi 6,37%.8 Angka kelahiran BBLR di DIY pada tahun 2013 mencapai 12,1%, artinya, dari 100 bayi yang dilahirkan, 12 diantaranya mengalami BBLR.7 Sebuah jurnal juga menyebutkan bahwa anak-anak atau balita yang lahir secara prematur (usia kehamilan <37 minggu) dan/ atau dengan berat lahir rendah (berat lahir <2500 gram) dapat meningkatkan risiko masalah gangguan perkembangan.9 Menurut WHO (2013), jumlah persalinan 4 prematur di dunia mencapai 15 juta persalinan per tahunnya. Sedangkan di Indonesia, setiap 1 dari 6 bayi yang dilahirkan diperkiraan mengalami prematuritas. Hal ini menunjukkan bahwa setiap 100.000 bayi yang dilahirkan, 16.666 di antaranya mengalami kelahiran prematur. Di DIY, angka kejadian prematur yang terjadi pada tahun 2013 mencapai 119 anak dan angka kejadian persalinan prematur yang terjadi di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta dalam 3 tahun terakhir ini mencapai 667 kasus.10 Gangguan tumbuh kembang pada bayi prematur dan BBLR dapat disebabkan berbagai faktor antara lain, maturitas organ-organ yang belum sempurna, asfiksia, atau trauma persalinan. Pada proses persalinan, bayi akan mengalami fase hipoksia fisiologis akibat pengurangan sirkulasi darah fetoplasenter sewaktu his atau mengejan. Pada saat ini akan terjadi adaptasi fungsi paru-paru, sirkulasi darah, dan sistem regulasi suhu ataupun kemampuan metabolisme tubuh. Bagi bayi yang lahir secara prematur atau BBLR, mereka akan lebih berat dalam melakukan adaptasi ini mengingat kondisi organ-organ di dalam tubuhnya yang belum sempurna.11 Oleh karena itu, bayi yang lahir secara prematur atau BBLR merupakan bayi risiko tinggi yang perlu dilakukan pengawasan khusus. Bayi yang lahir dengan kondisi prematur dan BBLR membutuhkan biaya perawatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan bayi yang lahir aterm dan dengan berat lahir yang cukup. Hal ini menyebabkan penanganan dan perawatan yang diterima oleh sang anak kurang optimal sehingga dapat meningkatkan risiko gangguan perkembangan dan komplikasi kesehatan 5 yang akan terjadi pada anak tersebut. Komplikasi kesehatan yang mungkin terjadi antara lain, gangguan pernafasan, penglihatan, pendengaran, gangguan otak, jatung, saluran cerna, hiperbilirubinemia, cerebal palsi, penyakit paruparu kronis, selain itu BBLR dan prematur juga rentan terhadap hipotermi dan infeksi.12 Sebagian besar penelitian dan literatur menyebutkan bahwa semakin kecil berat lahir dan umur kehamilan saat bayi dilahirkan, maka akan semakin tinggi pula risiko terjadinya gangguan tumbuh kembang yang dialami anak tersebut. Hal itu dikarenakan faktor risiko perinatal (prematuritas dan BBLR) memiliki peranan yang sangat penting dalam menentukan perkembangan anak. Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk melakukan sebuah penelitian yang berjudul “Hubungan Prematuritas dan BBLR dengan Kejadian Gangguan Perkembangan Balita di RSUP Dr Sardjito Tahun 2016”. B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian pada latar belakang, rumusan masalah yang dibahas dalam penelitian ini adalah apakah ada hubungan antara prematuritas dan BBLR dengan kejadian gangguan perkembangan balita di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta? 6 C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Mengetahui hubungan antara prematuritas dan BBLR dengan kejadian gangguan perkembangan balita di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta. 2. Tujuan Khusus a. Mengetahui karakteristik responden penelitian. b. Mengetahui hubungan prematuritas dengan kejadian gangguan perkembangan. c. Mengetahui hubungan BBLR dengan kejadian gangguan perkembangan. d. Mengetahui insiden atau kejadian gangguan perkembangan balita dengan riwayat kelahiran prematur (usia kehamilan 34-37 minggu). e. Mengetahui insiden atau kejadian gangguan perkembangan balita dengan riwayat kelahiran sangat prematur (usia kehamilan <34 minggu). f. Mengetahui insiden atau kejadian gangguan perkembangan balita dengan riwayat kelahiran BBLR (BB 1500-2499 gram). g. Mengetahui insiden atau kejadian gangguan perkembangan balita dengan riwayat kelahiran BBLSR (BB <1500 gram). 7 D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis a. Sebagai bahan masukan dalam kegiatan proses belajar mengajar terhadap mata ajaran yang berhubungan dengan perkembangan balita, prematuritas, dan BBLR. b. Sebagai bahan referensi bagi mahasiswa kebidanan pada khususnya, maupun tenaga kesehatan pada umumnya. 2. Manfaat Praktis a. Direktur RSUP Dr. Sardjito Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi, sehingga menjadi bahan masukan dalam pengambilan keputusan/ kebijakan yang berkaitan dengan asuhan pada bayi atau balita yang lahir prematur dan BBLR. b. Tenaga Kesehatan RSUP Dr. Sardjito 1) Bidan di Pelayanan ANC Penilitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai pentingnya edukasi pada ibu hamil untuk mencegah terjadinya kelahiran prematur dan BBLR. 2) Tenaga Kesahatan di Ruang Perinatal Penilitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai pentingnya asuhan yang intensif pada bayi yang lahir dengan kondisi prematur dan BBLR serta 8 pentingnya edukasi kepada keluarga mengenai cara perawatan dan pemantauan tumbuh kembang anak di rumah. c. Orang Tua dan Keluarga Bagi orang tua yang memiliki bayi atau balita dengan riwayat kelahiran prematur dan BBLR penting untuk mengetahui dan memantau pertumbuhan dan perkembangan anak dengan memanfaatkan informasi yang terdapat pada buku kesehatan ibu dan anak (KIA), sehingga bila terdapat gangguan pada anak dapat segera dideteksi dan ditangani sedini mungkin. Bagi anggota keluarga yang lain dapat membantu dan mendukung pemantauan tumbuh kembang anak. d. Kader Kesehatan dan Masyarakat Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada para kader untuk melakukan pemantauan ketat terhadap tumbuh kembang anak yang memiliki riwayat kelahiran prematur dan BBLR di posyandu. Bagi masyarakat agar dapat mendukung upaya pencegahan kelahiran prematur dan BBLR serta bersamasama memantau balita-balita yang lahir prematur dan BBLR. 9 E. Keaslian Penelitian Penelitian sebelumnya mengenai tumbuh kembang anak dengan riwayat kelahiran prematur antara lain oleh Marlow et all tahun 2005. Suatu penelitian yang dilaksanakan di United Kingdom dan Irlandia. Desain penelitian ini adalah kohort prospektif terhadap anak-anak dengan riwayat lahir prematur ekstrim dengan umur kehamilan kurang dari 26 minggu. Anakanak ini dievaluasi tingkat disabilitasnya pada usia 30 minggu setelah kelahirannya. Sebanyak 241 anak sebagai kelompok kasus. Mereka dinilai kemempuan kognitif dan fungsi neurologisnya pada usia 6 tahun. Sedangkan untuk kelompok kontrol, terdapat 160 anak. Hasil penelitian ini adalah terdapat perbedaan yang bermakna antara BBLR dan kelompok kontrol dalam hal gangguan perkembangan. Anak dengan riwayat lahir prematur ekstrim umumnya terjadi gangguan kognitif, gangguan neurologi pada usia sekolah dibandingkan anak dengan riwayat kalahiran cukup bulan.13 Kesamaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu adalah meneliti tentang hubungan prematuritas dengan gangguan perkembangan anak. Perbedaan penelitian ini terdapat pada variabel independen, desain penelitian, dan tempat penelitian. Variabel independen penelitian saat ini adalah balita dengan riwayat kelahiran prematur dan BBLR sedangkan pada penelitian sebelumnya adalah anak dengan riwayat prematur ekstrim. Desain penelitian yang dilakukan pada peneliti sebelumnya adalah menggunakan kohort prospektif sedangkan penelitian saat ini menggunakan desain penelitian kohort retrospektif. Perbedaan lain terdapat pada tempat penelitian, penelitian 10 sebelumnya melakukan penelitian di United Kingdom dan Irlandia sedangkan penelitian saat ini dilakukan di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta. Penelitian sebelunya juga dilakukan oleh Pramudito tahun 2004 dengan judul Masa Gestasi Kurang Bulan sebagai Faktor Resiko Gangguan Perkembangan pada Usia 6 sampai 36 bulan. Penelitian ini dilaksanakan di RSUP Dr. Sardjito. Hasil dari penelitian ini adalah masa gestasi kurang bulan, terutama 32-36 minggu tidak terbukti sebagai faktor risiko gangguan perkembangan.14 Kesamaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan oleh Pramudito adalah meneliti tentang hubungan prematuritas dengan gangguan perkembangan anak di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan oleh Pramudito terdapat pada variabel independen dan variabel dependen. Variabel independen dalam penelitian yang dilakukan oleh Pramudito adalah bayi kurang bulan (prematur) sedangkan variabel independen penelitian ini adalah balita dengan riayat kelahiran prematur dan BBLR. Variabel dependen dalam penelitian yang dilakukan oleh Pramudito adalah anak usia 6-36 bulan sedangkan pada penelitian ini, variabel independennya adalah balita usia 2-3 tahun. Penelitian sebelumnya dilakukan oleh Kamadewi pada tahun 2003. Pada penelitian ini, Kamadewi hanya membandingkan luaran gangguan perkembangan bicara pada anak-anak BBLR dengan BBLC. Tiga ratus bayi diikutsertakan dalam penelitian (150 BBLR sebagai kelompok yang diteliti dan 150 BBLC sebagai kontrol). Hasil dari penelitian ini adalah tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara BBLR dan kelompok kontrol dalam hal 11 gangguan perkembangan bicara nilai RR 1,07 (IK 95% 0,94-1,22), demikian pula antar jenis kelamin dalam hal gangguan perkembangan bicara tidak berbeda bermakna pada kelompok BBLR ( RR 1,07; IK 95% 0,90-1,27).15 Perbedaan penelitian yang dilakukan oleh Kamadewi dengan penelitian ini adalah pada penelitian yang akan dilakukan ini menggunakan variabel independen balita dengan riwayat kelahiran prematur dan BBLR, sedangkan variabel independennya adalah perkembangan balita.