BAB II KAJIAN PUSTAKA Pada bab ini berisi tentang kajian teori, penelitian yang relevan dan kerangka berpikir. Kajian teori terdiri dari, pertama adalah konsep strategi guru Pendidikan Kewarganegaraan yang di dalamnya terdapat pengertian strategi, pengertian guru, Pendidikan Kewarganegaraan, dan strategi guru Pendidikan Kewarganegaraan. Kedua adalah konsep pembentukan kompetensi kewarganegaraan yang di dalamnya terdapat pengertian pembelajaran, strategi pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan, kompetensi kewarganegaraan, peserta didik, pembentukan kompetensi kewarganegaraan peserta didik, dan pembelajaran yang mendukung pembentukan kompetensi peserta didik. Ketiga adalah konsep penghargaan hak perempuan yang di dalamnya terdapat sejarah perjuangan kaum perempuan, hak perempuan, dan penghargaan hak perempuan. Selanjutnya mengenai hasil penelitian yang relevan mengambil dari beberapa penelitian yang memiliki variabel yang mendekati dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti. Kemudian untuk kerangka berpikir ditunjukkan dengan gambar dan penjelasannya. A. Kajian Teori 1. Konsep Strategi Guru Pendidikan Kewarganegaraan a. Pengertian Strategi Istilah strategi pertama kali hanya dikenal dikalangan militer, khususnya strategi perang. Dalam sebuah peperangan atau pertempuran terdapat seseorang (komandan) yang bertugas mengatur strategi untuk memenangkan peperangan. Semakin hebat strategi yang digunakan (selain kekuatan pasukan perang), semakin besar kemungkinan untuk menang. Biasanya sebuah strategi disusun dengan mempertimbankan medan perang, kekuatan pasukan, perlengkapan perang dan sebagainya (Suyadi, 2013: 13). 10 11 Menurut pendapat Simatupang yang dikutip dari Gulo (2008) istilah strategi berasal dari bahasa Yunani yaitu strategos yang berarti jenderal atau panglima, sehingga strategi diartikan sebagai “ilmu kejenderalan” atau “ilmu kepanglimaan” (Mukhamad Murdiono, 2012: 25). Konsep strategi telah digunakan dalam berbagai situasi, termasuk dalam situasi pendidikan. Implementasi konsep strategi dalam kondisi belajar mengajar ini, memunculkan pengertian sebagai berikut: 1) Strategi merupakan suatu keputusan bertindak dari guru dengan menggunakan kecakapan dan sumber daya pendidikan yang tersedia untuk mencapai tujuan melalui hubungan yang efektif antara lingkungan dan kondisi yang paling menguntungkan. Lingkungan disini adalah lingkungan yang memungkinkan peserta didik belajar dan guru mengajar. Sedangkan kondisi dimaksudkan sebagai suatu iklim kondusif dalam belajar dan mengajar seperti disiplin, kreativitas, inisiatif dan sebagainya; 2) Strategi merupakan garis besar haluan bertindak dalam mengelola proses belajar mengajar untuk mencapai tujuan pengajaran secara efektif dan efisien; 3) Strategi dalam proses belajar mengajar merupakan suatu rencana (mengandung serangkaian aktivitas) yang dipersiapkan secara seksama untuk mencapai tujuan-tujuan belajar; 4) Strategi merupakan pola umum perbuatan guru-peserta didik di dalam perwujudan kegiatan belajar-mengajar. Pola ini menunjukkan macam dan urutan perbuatan yang ditampilkan guru-peserta didik di dalam bermacam-macam peristiwa belajar (Mulyani Sumantri dan Johar Permana, 2001: 35-36). Secara sederhana selaras dengan pernyataan di atas, pendapat strategi dalam dunia pendidikan juga dikemukakan oleh J.R David yaitu “a plan, method, or series of activities designed to achieves a particular educational goal” (Wina Sanjaya, 2007: 126). Menurut pengertian ini strategi meliputi rencana, metode dan perangkat kegiatan yang direncanakan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Menurut J. Salusu (1996) merumuskan strategi sebagai suatu seni menggunakan kecakapan dari sumber daya untuk mencapai sasarannya melalui hubungan yang efektif dengan lingkungan dan kondisi yang paling mengutungkan (Mulyani Sumantri dan Johar Permana, 2001: 35). 12 Menurut Djaramah dan Zain (2010) “Strategi mempunyai pengertian suatu garis-garis besar haluan untuk bertindak dalam usaha mencapai tujuan yang telah ditentukan” (Nunuk Suryani dan Leo Agung, 2012: 2). Kemudian menurut Gulo (2002), strategi dapat diartikan sebagai ”a plan of operation achieving something” yang artinya rencana kegiatan untuk mencapai sesuatu (Nunuk Suryani dan Leo Agung, 2012: 2). Selanjutnya menurut Newman dan Legan (1971) yang dikutip oleh Supriyadi (2011: 59), strategi masuk pada proses belajar mengajar, dan jika dihubungkan maka strategi dalam hal ini bisa diartikan sebagai pola-pola umum kegiatan guru anak didik dalam perwujudan kegiatan belajar mengajar untuk mencapai tujuan yang telah digariskan. Ada empat strategi dasar dalam belajar mengajar yang meliputi hal-hal berikut: 1) Mengidentifikasi serta menetapkan spesifikasi dan kualifikasi perubahan tingkah laku dan kepribadian anak didik sebagaimana yang diharapkan. 2) Memilih sistem pendekatan belajar mengajar berdasarkan aspirasi dan pandangan hidup masyarakat. 3) Memilih dan menetapkan prosedur, metode, dan teknik belajar mengajar yang dianggap paling tepat dan efektif sehingga dapat dijadikan pegangan oleh guru dalam menunaikan kegiatan mengajarnya. 4) Menetapkan norma-norma dan batas minimal keberhasilan atau kriteria serta standar keberhasilan sehingga dapat dijadikan pedoman oleh guru dalam melakukan evaluasi hasil kegiatan belajar mengajar yang selanjutnya akan dijadikan umpan balik buat penyempurnaan sistem instruksional yang bersangkutan secara keseluruhan. Berdasarkan beberapa pendapat mengenai strategi diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa pengertian strategi adalah suatu langkah, rencana, metode dan rancangan kegiatan untuk mencapai suatu sasaran atau tujuan tertentu. Berdasarkan atas dasar tersebut, maka dalam mencapai tujuan pembelajaran, guru perlu melakukan langkah-langkah sebagai upaya untuk mencapai tujuan pembelajaran yang akan di sampaikan kepada peserta didik. 13 b. Pengertian Guru Menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 1, mengenai ketentuan butir 6, pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualitas sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, infrastruktur, fasilitator, dan sebutan lain sesuai dengan kekhususan serta berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan. Dengan kata lain guru adalah pendidik. Berkaitan dengan profesional guru, bahwa Pemerintah mengeluarkan suatu peraturan yang mengatur tentang hal tersebut yang mana terdapat pada pasal 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen menyebutkan bahwa: “Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah”. Berdasarkan Surat Edaran (SE) Mendikbud dan Kepala BAKN Nomor 57686/mpk/1989 dinyatakan lebih spesifik bahwa: “Guru ialah pegawai negri sipil (PNS) yang diberi tugas, wewenang, dan tanggung jawab oleh pejabat yang berwenang untuk melaksanakan pendidikan di sekolah (termasuk hak yang melekat dalam jabatannya)”. Sedangkan dalam Standar Nasional Pendidikan (SNP) Pasal 28, dikemukakan bahwa: “Pendidik harus memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional” (E. Mulyasa, 2007: 53). Sebagaimana ketentuan Undang-Undang diatas, maka untuk menjadi guru harus mereka yang telah memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan, dan salah satu persyaratan profesi guru adalah masalah kompetensi. Selain pengertian di atas, beberapa tokoh juga memberikan pendapatnya terkait pengertian dari guru. Menurut Sambuan (1997) secara etimologis, istilah guru berasal dari bahasa India yang artinya orang yang 14 mengajarkan tentang kelepasan dari sengsara. Dalam tradisi agama Hindu, guru dikenal sebagai maharesi guna, yakni para pengajar yang bertugas untuk mengembleng para calon biksu di bhinaya panti (tempat pendidikan bagi para biksu). Dalam bahasa Arab, guru dikenal dengan al-mu’alim atau al-ustadz yang bertugas memberikan ilmu dalam majelis taklim (tempat untuk memperoleh ilmu) (Suparlan 2008: 11-12). Selanjutnya Winarno (2013: 40) menyatakan pendapatnya mengenai guru, sebagai berikut: Guru sebagai tenaga profesional mengandung arti bahwa pekerjaan guru hanya dapat dilakukan oleh seseorang yang mempunyai kualifikasi akademik, kompetensi, dan sertifikasi pendidik sesuai dengan persyaratan untuk setiap jenis dan jenjang pendidikan tertentu. Kedudukan guru sebagai tenaga profesional ini berfungsi untuk meningkatkan martabat dan peran guru sebagai agen pembelajaran guna meningkatkan mutu pendidikan nasional. Pernyataan Winarno di atas dapat dijabarkan sebagai berikut, kualifikasi akademik diperoleh melalui pendidikan tinggi program sarjana atau diploma empat. Kompetensi merupakan gambaran hakikat kualitatif dari perilaku seseorang. Kompetensi artinya kemampuan yang dapat ditunjukkan atau ditampilkan. Kompetensi tidak hanya berarti menguasai, tetapi juga mampu menampilkan hasil penguasaan itu dalam suatu unjuk kinerja atau tampilan atau tampilan kerja (Winarno, 2013: 44). Sedangkan kompetensi menurut pendapat Cowell (1988) sebagai suatu ketrampilan atau kemahiran yang bersifat aktif. Kompetensi dikategorikan mulai dari tingkat sederhana/dasar hingga lebih sulit atau kompleks yang pada gilirannya akan berhubungan dengan proses penyususnan bahan atau pengalaman belajar yang lazimnya terdiri dari 1) penguasaan minimal kompetensi dasar, 2) praktik kompetensi dasar, dan 3) penambahan penyempurnaan/pengembangan terhadap kompetensi atau keterampilan. Ketiga proses tersebut dapat terus berlanjut selama masih ada kesempatan untuk melakukan penyempurnaan atau pengembangan kompetensinya. Jadi disimpulkan kompetensi merupakan satu kesatuan 15 yang utuh yang menggambarkan potensi, pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang dinilai, yang terkait dengan profesi tertentu, berkenaan dengan bagian-bagian yang dapat diaktualisasikan, dan diwujudkan dalam bentuk tindakan atau kinerja untuk menjalankan profesi tertentu (Winarno, 2013: 44). Berdasarkan pada Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, menyatakan kompetensi guru sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi. Keempat kompetensi tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut: 1) Kompetensi pedagogik menurut Supriyadi, (2011, 17-18) kompetensi ini terdiri dari lima subkompetensi, yaitu: a) Memahami peserta didik secara mendalam, berarti guru harus memahami peserta didik dengan memanfaatkan prinsip-prinsip perkembangan kognitif; prinsip-prinsip kepribadian dan mengidentifikasi bekal-ajar awal peserta didik b) Merancang pembelajaran termasuk memahami landasan pendidikan untuk kepentingan pembelajaran; berarti guru harus memahami landasan kependidikan; menerapkan teori belajar dan pembelajaran, menentukan strategi pembelajaran berdasarkan karakteristik peserta didik, kompetensi yang ingin dicapai dan materi ajar; serta menyusun rancangan pembelajaran berdasarkan strategi yang dipilih. c) Melaksanakan pembelajaran, berarti guru harus menata latar (setting) pembelajaran dan melaksanakan pembelajaran yang kondusif. d) Merancang dan melaksanakan evaluasi pembelajaran, berarti guru harus melakukannya secara berkesinambungan dan dengan berbagai metode untuk menentukan ketuntasan belajar (mastery learning) dan memanfaatkan hasil penilaian pembelajaran untuk perbaikan kualitas program pembelajaran secara umum. 16 e) Mengembangkan peserta didik untuk mengaktualisasi berbagai potensinya, berarti guru harus menfasilitasi peserta didik untuk pengembangan berbagai potensi akademik, dan menfasilitasi peserta didik untuk mengembangkan berbagai potensi nonakademik. 2) Kompetensi kepribadian menurut Supriyadi, (2011: 19) kompetensi ini memiliki lima subkompetensi, yaitu: a) Kepribadian yang mantap dan stabil, berarti guru harus bertindak sesuai dengan normal hukum, norma sosial, bangga sebagai guru, memiliki konsistensi dalam bertindak sesuai dengan norma; b) Dewasa, berarti guru harus menampilkan kemandirian dalam bertindak sebagai pendidik dan memiliki etos kerja sebagai guru; c) Arif, berarti guru harus menampilkan tindakan yang didasarkan pada kemanfaatan peserta didik, sekolah, dan masyarakat serta menunjukkan keterbukaan dalam berpikir dan bertindak. d) Berwibawa, berarti guru harus berperilaku yang berpengaruh positif terhadap peserta didik dan memiliki perilaku yang disegani; e) Berakhlak mulia, berarti guru harus bertindak sesuai dengan norma religius (iman, taqwa, jujur, ikhlas, suka menolong), dan memiliki perilaku yang diteladani peserta didik. 3) Kompetensi sosial Menurut Supriyadi (2011: 19) kompetensi ini terdiri dari tiga subkompetensi yaitu: a) Mampu berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik. b) Mampu berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan sesama pendidik dan tenaga kependidikan, c) Mampu berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan oran tua/wali peserta didik dan masyarakat sekitar. Pada dasarnya interaksi guru dan siswa esensialnya adalah interkasi sosial yang meniscayakan kompetensi sosial. 4) Kompetensi profesional 17 Sesuai dengan ketentuan yang tertuang di dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen ayat (1) yang menyatakan bahwa “guru adalah pendidik profesional...” maka sebagai seorang profesional, guru harus memiliki kompetensi keguruan yang cukup. Kompetensi keguruan tersebut dapat dilihat pada kemampuannya dalam melaksanakan beberapa konsep, asas kerja sebagai guru, mampu mendemontrasikan beberapa strategi maupun pendekatan pengajaran yang kreatif, menarik, interaktif, jujur, disiplin dan konsisten. Guru yang profesionalis, harus memiliki kriteria-kriteria tertentu yang positif, sepert menurut Gilbert H. Hunt (1999) yang dikutip oleh Winarno (2013: 42), menyatakan bahwa guru yang baik itu harus memenuhi tujuh kriteria, yaitu: a) b) c) d) e) f) g) sifat positif dalam membimbing siswa; pengetahuan yang memadai dalam mata pelajaran yang dibina; mampu menyampaikan materi pelajaran secara lengkap; mampu menguasai metodologi pembelajaran; mampu memberikan harapan riil terhadap siswa; mampu mereaksi kebutuhan siswa; dan mampu menguasai manajemen kelas. Jadi dari beberapa pernyataan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa guru adalah pelaksana pendidikan yang berupaya mewujudkan tujuan pendidikan nasional di mana untuk seorang guru, haruslah mereka yang memenuhi syarat untuk melaksanakan profesi guru dengan memiliki empat kompetensi, yaitu kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang didapat oleh seorang guru dengan melalui pendidikan profesi. c. Pendidikan Kewarganegaraan 1) Pengertian Pendidikan Kewarganegaraan Berdasarkan Pasal 37 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas (Sistem Pendidikan Nasional), dinyatakan bahwa Pendidikan Kewarganegaraan, yang merupakan 18 wahana pokok pendidikan kesadaran berkonstitusi, merupakan salah satu muatan wajib kurikulum pendidikan dasar dan menengah dan pendidikan tinggi. Kesadaran berkonstitusi yang dimaksud adalah sadar akan kandungan, isi dan nilai yang termuat didalam Konstitusi bangsa Indonesia, yaitu Undang-Undang Dasar 1945. Menurut Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi, Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) diartikan sebagai mata pelajaran yang menfokuskan pada pembentukan warga negara yang memahami dan mampu melaksanakan hak-hak dan kewajibannya untuk menjadi warga negara Indonesia yang cerdas, terampil, dan berkarakter yang diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945 (Winarno, 2013: 18). Pendidikan Kewarganegaraan adalah suatu bidang kajian yang mempunyai obyek telaah kebajikan dan budaya kewarganegaraan, dengan menggunakan disiplin ilmu pendidikan dan ilmu politik sebagai kerangka kerja keilmuan pokok serta disiplin ilmu lain yang relevan yang secara koheren diorganisasikan dalam bentuk program kurikuler kewarganegaraan, aktivitas sosial-kultural, dan kajian ilmiah kewarganegaraan (Syahrial Syabani dkk, 2006: 4). Menurut Winataputra (2005) mengartikan bahwa Pendidikan Kewarganegaraan sebagai suatu bidang kajian yang mempunyai objek telaah kebajikan dan budaya kewarganegaraan, menggunakan disiplin ilmu pendidikan dan ilmu politik sebagai kerangka kerja keilmuan pokok serta disiplin ilmu lain yang relevan, yang secara koheren, diorganisasikan dalam bentuk program kurikuler kewarganegaraan, aktivitas sosial-kultural kewarganegaraan, dan kajian ilmiah kewarganegaraan (Winarno, 2013: 7). Menurut Aziz Wahab, menyatakan bahwa Pendidikan Kewarganegaraan merupakan salah satu bidang kajian yang mengemban misi kemanusiaan nasional untuk mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia melalui koridor “Value-Based-Education”. Konfigurasi atau 19 kerangka sistematik Pendidikan Kewarganegaraan dibangun atau dasar paradigma atau landasan sebagai berikut: a) Pendidikan Kewarganegaraan secara kurikuler dirancang sebagai pembelajaran yang bertujuan untuk mengembangkan potensi individu agar menjadi warga negara Indonesia yang berakhlak mulia, cerdas, partisipatif, dan bertanggung jawab. b) Pendidikan Kewarganegaraan secara teoritik dirancang sebagai subjek pembelajaran yang memuat dimensi-dimensi kognitif, afektif, dan psikomotorik yang bersifat konfluen atau saling berpenetrasi dan terintegrasi dalam konteks substansi ide, nilai, konsep, dan moral Pancasila,kewarganegaraan yang demokratis, dan bela negara. c) Pendidikan kewarganegaraan secara programatik dirancang sebagai subjek pembelajaran yang menekankan pada isi yang mengusung nilai-nilai (contemtembedding value) dan pengalaman belajar (learning experiences) dalam bentuk berbagai perilaku yang perlu diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari dan merupakan tuntutan hidup bagi warga negara dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sebagai penjelmaan lebih lanjut dari ide, nilai, konsep, dan moral Pancasila, kewarganegaraan yang demokratis, dan bela negara (Winataputra dan Budimansyah, 2007: 86). Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa Pendidikan Kewarganegaraan adalah mata pelajaran yang memiliki makna mengenai kewarganegaraan, yang wajib untuk diterima peserta didik dari jenjang dasar sampai perguruan tinggi, yang bertujuan untuk membentuk dan mempersiapkan peserta didik menjadi warga negara yang baik. Sebagai warga negara yang baik maka perlu didukung kemampuan dalam berpikir kritis, bertanggung jawab, demokratis sehingga mampu berpartisipasi dan bersaing dengan tetap memegang teguh karakter bangsa Indonesia yang mampu mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 didalam berkehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. 2) Tujuan Pendidikan Kewarganegaraan Tujuan umum dan sederhana dari Pendidikan Kewarganegaraan atau civic education menurut Sapriya dan Aziz Wahab (2009) adalah membentuk warga negara yang baik (good citizen). Hampir semua orang 20 sepakat bahwa tujuan Pendidikan Kewarganegaraan adalah membentuk warga negara yang baik (Winarno dan Wijianto, 2010: 6). Merujuk pada Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) sebagai mata pelajaran di sekolah, maka berdasarkan Permendiknas Nomor 22 tahun 2006 tentang standar isi, dalam lampirannya dijelaskan bahwa tujuan Pendidikan Kewarganegaraan pada siswa sekolah ialah sebagai berikut: a) Agar peserta didik memiliki kemampuan berfikir kritis, rasional, dan kreatif dalam menanggapi isu kewarganegaraan. b) Berpartisipasi secara aktif dan bertanggung jawab dan bertindak secara cerdas dalam kegiatan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara c) Berkembang secara positif dan demokratis untuk membentuk diri berdasarkan karakter-karakter masyarakat Indonesia agar dapat hidup bersama dengan bangsa-bangsa lainya. d) Berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain dalam percaturan dunia secara langsung atau tidak langsung dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi (Badan Standar Nasional Pendidikan, 2006: 155-156). d. Strategi Guru Pendidikan Kewarganegaraan Pendidikan merupakan upaya sadar mengembangkan manusia menuju kedewasaan, baik kedewasaan intelektual, sosial, maupun kedewasaan moral. Oleh karena itu maka proses pendidikan bukan hanya mengembangkan intelektual saja, tetapi mencakup seluruh potensi yang dimiliki anak didik. Dengan demikian, pendidikan pada dasarnya memberikan pengalaman belajar untuk dapat mengembangkan seluruh potensi yang dimiliki siswa, melalui proses interaksi baik antara siswa dengan siswa, siswa dengan guru, atau siswa dengan lingkungan (Wina Sanjaya, 2008: 178). Menurut Raka Joni (1980: 2), dalam pandangan psikologi modern, belajar bukan sekedar menghafal sejumlah fakta atau informasi, akan tetapi peristiwa mental dan proses pengalaman. Oleh karena itu, setiap peristiwa pembelajaran menuntut keterlibatan intelektual-emosional siswa melalui asimilasi dan akomodasi kognitif untk mengembangkan pengetahuan, tindakan, serta pengalaman langsung dalam rangka membentuk 21 keterampilan (motorik, kognitif, dan sosial), penghayatan serta internalisasi nilai-nilai dalam pembentukan sikap. Berdasarkan pada pernyataan diatas, tentunya membuat guru memiliki posisi yang strategis pada bidang pendidikan terutama pada proses kegiatan pembelajaran yang menimbulkan pengalaman belajar pada peserta didik. Khususnya guru Pendidikan Kewarganegaraan, yang tidak hanya berfokus pada menstransfer ilmu pengetahuan saja tetapi turut menstranfer nilai-nilai yang terkandung di dalam bahan ajar. Tentunya proses dalam berkegiatan tersebut guru memerlukan suatu strategi dalam proses pembelajaran yang mendukung tercapainya tujuan pembelajaran. Guru Pendidikan Kewarganegaraan yang secara khusus turut membentuk karakter pada peserta didik perlu melaksanakan strategi-strategi untuk mencapai tujuan Pendidikan Kewarganegaraan, yaitu mewujudkan warga negara yang baik. Tentu strategi yang dilakukan guru Pendidikan Kewarganegaraan tidak terlepas untuk mewujudkan dan memenuhi kompetensi kewarganegaraan yang harus di bekali kepada setiap peserta didik, yaitu Civic Knowledge (Pengetahuan Kewarganegaraan), Civic Skills (Keterampilan Kewarganegaraan), dan Civic Disposition (Karakter/Watak Kewarganegaraan) sebagai upaya dalam membangun karakter warga negara yang baik. Perlunya strategi guru Pendidikan Kewarganegaraan dilaksanakan, tidak terlepas dari pentingnya pelaksanaan Pendidikan Kewarganegaraan itu sendiri. Pendidikan Kewarganegaraan memuat subtansi kehidupan yang luas, yang menyangkut hubungan antar manusia dalam berkehidupan, melaksanakan demokrasi dan bernegara sebagai warga negara. Pernyatan di atas mengenai strategi guru Pendidikan Kewarganegaraan, selaras dengan yang di ungkapkan oleh Margaret Stimmann Branson (1999), selaku Associate Director Center for Civic Education pada jurnalnya yang berjudul The Role of Civic Education A Forthcoming Education Policy Task Force Position Paper from the Communitarian Network, sebagai berikut: 22 Civic education, therefore, is-or should be-a prime concern. There is no more important task than the development of an informed, effective, and responsible citizenry. Democracies are sustained by citizens who have the requisite knowledge, skills, and dispositions. Absent a reasoned commitment on the part of its citizens to the fundamental values and principles of democracy, a free and open society cannot succeed. It is imperative, therefore, that educators, policymakers, and members of civil society make the case and ask for the support of civic education from all segments of society and from the widest range of institutions and governments (di akses pada tanggal 12 desember 2015 di http://www.civiced.org/papers/articles _role.html di akses pada 27 November 2015). Makna yang dapat diambil dari pernyataan Margaret di atas adalah Pendidikan Kewarganegaraan sudah seharusnya menjadi perhatian utama. Dengan tugas penting yaitu pengembang warga informasi, efektif, dan bertanggung jawab. Demokrasi yang ditopang oleh warga negara yang memiliki syarat pengetahuan, keterampilan, dan karakter. Tidak adanya komitmen pada warga negara terkait nilai-nilai dan prinsip-prinsip demokrasi yang mendasar akan menjadikan masyarakat yang bebas dan terbuka tidak dapat berhasil. Maka penting seorang pendidik, pembuat kebijakan, dan anggota masyarakat sipil berharap dukungan terhadap Pendidikan Kewarganegaraan, dari semua segmen masyarakat dan dari jangkauan terluas lembaga dan pemerintah. Pernyataan di atas mendukung bahwa melalui strategi yang diterapkan oleh guru Pendidikan Kewarganegaraan, berkontribusi pada terciptanya warga negara yang melaksanakan demokrasi. Strategi guru dalam membentuk peserta didik menjadi warga negara yang memiliki pengetahuan, keterampilan dan karakter yang mendukung pelaksanaan demokrasi. Salah satu bentuk demokrasi adalah mampu melaksanakan hak serta kewajiban sebagaimana warga negara yang baik. Jadi dengan adanya strategi yang dilakukan guru Pendidikan Kewarganegaraan kepada peserta didik adalah untuk mempersiapkan peserta didik menjadi warga negara yang baik, dengan pemenuhan pengetahuan, keterampilan, dan karakter (kompetensi kewarganegaraan) dalam hal ini mengenai hak dan kewajiban khususnya 23 mengenai pelaksanaan hak perempuan sebagai bentuk mewujudkan kehidupan demokrasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. 2. Konsep Pembentukan Kompetensi Kewarganegaraan Peserta Didik a. Pengertian Pembelajaran Pembelajaran menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, adalah “Proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar”. Undang-undang tersebut menjelaskan bahwa pembelajaran terjadi apabila ada interaksi yang tercipta antara guru dan peserta didik. Tidak adanya interaksi menandakan bahwa pembelajaran tidak berjalan dengan optimal. Pembelajaran adalah usaha sadar yang dilakukan oleh guru atau pendidik untuk membuat siswa atau peserta didik belajar (mengubah tingkah laku untuk mendapatkan kemampuan baru) yang berisi suatu sistem atau rancangan untuk mencapai suatu tujuan (Khanifatul, 2013:14). Menurut Soematri (2001) pembelajaran merupakan proses pendidikan secara utuh dan menyeluruh terhadap pembentukan karakter individu sebagai warga negara yang cerdas dan baik. Hal ini tentunya berkaitannya dengan Pendidikan Kewarganegaraan Indonesia (Winarno, 2013: 71). Selanjutnya menurut Kosasih Djahiri (2006), pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan adalah program pendidikan secara programatik prosedural berupaya memanusiakan (humanizing) dan membudayakan (culturing) serta memberdayakan (empowering) manusia/anak didik (diri dan lingkungannya) menjadi warga negara yang baik dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) (Winarno, 2013: 71). 24 Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa proses pembelajaran muncul karena adanya interaksi antara pendidik (guru) dengan yang di didik (peserta didik/siswa). Proses pembelajaran ini bertujuan untuk menjadikan peserta didik sebagai individu yang baik, dalam pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan maka berupaya memanusiakan (humanizing) dan membudayakan (culturing) serta memberdayakan (empowering) manusia/anak didik (diri dan lingkungannya) menjadi warga negara yang baik dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). b. Strategi Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan Strategi pembelajaran PKn di setiap jenjang sekolah (SD, SMP/MTs, SMA/MA) bahkan perguruan tinggi sangatlah penting. Hal ini dikarenakan penggunaan strategi akan mempermudah proses pembelajaran mencapai tujuan PKn yang optimal. Tanpa strategi yang jelas, proses pembelajaran tidak terarah sehingga tujuan pembelajaran sulit tercapai dan tidak optimal (Winarno, 2013: 71). Menurut Made Wena (2009: 73) menyatakan bahwa strategi pembelajaran didefinisikan sebagai cara dan seni untuk menggunakan semua sumber belajar dalam upaya membelajarkan siswa. Sebagai suatu cara, strategi pembelajaran dikembangkan dengan kaidah-kaidah tertentu sehingga membentuk suatu bidang pengetahuan tersendiri. Sebagai suatu seni, strategi pembelajaran kadang-kadang dimiliki seseorang tanpa pernah belajar formal tentang strategi pembelajaran. Sedangkan strategi pembelajaran menurut USAID (United States Agency for Internasional) atau Badan Bantuan Pembangunan Internasional Amerika dalam program “Aktive Learning in School” (2007) dapat dijabarkan sebagai berikut: 1) Curah pendapat, yaitu strategi pembelajaran yang efektif untuk mengetahui apa yang telah diketahui oleh siswa, misalnya seorang guru meminta siswa menjelaskan sebab dan akibat sebuah peristiwa alam seperti banjir. 25 2) Studi Kasus, yaitu strategi pembelajaran dengan memanfaatkan situasi atau masalah yang dapat memberikan siswa pembelajaran bermakna dan bermanfaat. Biasanya, guru/dosen memberikan sebuah cerita yang berkaitan dengan konsep ataupun keterampilan yang akan dipelajari. Siswa kemudian berdiskusi untuk melakukan analisis, sintesa, dan evaluasi atas fakta-fakta ataupun situasi yang ada dalam kasus tersebut. 3) Demonstrasi, yaitu strategi pembelajaran dengan memperlihatkan bagaimana kita melakukan sesuatu yang kemudian diamati dan dibahas. 4) Penemuan, yaitu strategi pembelajaran dimana siswa didorong untuk menemukan pengetahuan atau konsep baru sendiri. 5) Jigsaw, yaitu kegiatan pembelajaran yang mendorong kerjasama dalam kelompok. Setiap anggota memahami dan mendalami bagian sesuatu untuk kemudian digabung menjadi satu dengan bagian-bagian lain yang dipelajari oleh anggota-anggota kelompok lain, sehingga diperoleh suatu pemahaman bersama. 6) Kegiatan lapangan, yaitu kegiatan di luar kelas untuk mempelajari situasi baru dan berbeda. Siswa juga dapat melakukan survei untuk proyek pelajaran sosial, ataupun membuat peta lingkungan sekitar untuk matematika, ataupun menggunakan keterampilan berbahasa yang baru untuk memperoleh pengetahuan baru. 7) Ceramah, yaitu kegiatan pembelajaran yang menekankan pada penyampaian informasi secara verbal dan cenderung searah (dosen/guru kepada siswa). 8) Diskusi kelompok, yaitu kegiatan pembelajaran yang mendorong siswa untuk berinteraksi dan membantu memahami pendapat yang berbeda yang mungkin muncul selama kegiatan berlangsung. Kegiatan ini mendorong siswa untuk menghargai perbedaan pendapat. 9) Pembicara tamu, yaitu kegiatan pembelajaran dengan mendatangkan orang ahli dalam bidang tertentu yang bisa melakukan sesuatu yang guru atau dosen tidak bisa lakukan. Ini dapat memberi suasana baru dan segar. 10) Tulis Berantai, yaitu strategi yang pada dasarnya merupakan kegiatan curah pendapat, tetapi dalam bentuk tulisan. Kegiatan ini bisa antar individu dalam kelompok atau antar kelompok dalam kelas. 11) Debat, yaitu diskusi antara dua belah pihak dengan pendapat yang berbeda dan bahkan bertentangan, terutama berkaitan dengan masalah-masalah yang kontroversial. 12) Bermain peran, yaitu strategi dimana siswa memainkan peran yang berbeda-beda dalam situasi tertentu dan secara spontan memainkan peran sesuai dengan situasi atau kasus yang diberikan. Melalui kegiatan ini memungkinkan siswa untuk melakukan analisa dan memecahkan masalah. 26 13) Simulasi, yaitu kegiatan pembelajaran yang memungkinkan siswa untuk mencoba dan melakukan sesuatu pada situasi yang dikondisikan. 14) Tugas proyek, yaitu kegiatan pembelajaran dengan memberikan suatu tugas kepada siswa dalam waktu tertentu secara individu atau kelompok untuk menghasilkan sesuatu. 15) Presentasi, yaitu kegiatan pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk mempresentasikan hasil yang telah dipelajari atau diteliti. 16) Penilaian sejawat, yaitu kegiatan saling memberikan penilaian dan masukan atas hasil karya teman sendiri. Dalam kegiatan ini siswa saling bertukar hasil karya. 17) Bola salju, kegiatan pembelajaran yang memberikan kesempatan individu untuk berpendapat, kemudian dipadukan secara berpasangan atau kelompok, dan yang teakhir secara klasikal untuk mendapatkan pandangan dari seluruh siswa atau siswa di kelas. 18) Kunjung karya, yaitu kegiatan untuk saling melihat hasil karya orang lain untuk belajar bertanya, memberikan komentar dan saran. Sementara pihak yang dikunjungi menjawab, menanggapi komentar dan saran secara produktif. Dalam kegiatan ini siswa bergerak mengamati karya-karya mereka. 19) Pembelajaran dengan audio visuals, yaitu strategi pembelajaran yang menggunakan audio visual dapat memberikan dimensi lain pada pembelajaran dan selain itu materi audio visual efektif menjangkau pembelajar dengan gaya belajar yang berbeda-beda (Winarno, 2013: 79). Hal lain di ungkapkan oleh Wina Sanjaya (2007: 272), bahwa strategi pembelajaran terdiri dari empat yaitu strategi pembelajaran berbasis masalah; strategi pembelajaran kooperatif; strategi pembelajaran kontekstual; dan strategi pembelajaran afektif. Berikut penjelasannya: 1. Strategi pembelajaran berbasis masalah Pembelajaran berbasis masalah (problem based learning) adalah pembelajaran yang menggunakan masalah sebagai materi pembelajaran bagi siswa, sehingga siswa dapat belajar berpikir kritis dan terampil memecahkan berbagai masalah untuk memperoleh konsep atau pengetahuan yang esensial. 2. Strategi pembelajaran kooperatif Pembelajaran kooperatif dirancang untuk membantu terjadinya pembagian tanggung jawab ketika siswa mengikuti pembelajaran. Siswa lebih banyak belajar melalui proses pembentukan (construction) dan penciptaan, kerja dengan tim, dan berbagi pengetahuan sesama siswa. 27 3. Strategi pembelajaran kontektual Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching Learning) atau biasa di singkat CTL merupakan konsep pembelajaran dengan dunia kehidupan nyata sehingga peserta didik mampu menghubungkan dan menerapkan kompetensi hasil belajar dalam kehidupan sehari-hari. 4. Strategi pembelajaran afektif Strategi pembelajaran afektif merupakan suatu metode dalam proses pembelajaran yang menekankan pada nilai dan sikap yang diukur, oleh karena itu menyangkut kesadaran seorang yang tumbuh dari dalam. Secara kopseptual, strategi dalam citizenship education berada pada garis kontinum, bergerak dari strategi belajar tentang demokrasi, belajar melalui demokrasi dan belajar untuk membangun demokrasi. Intinya adalah pembelajaran tidak hanya mengajarkan tentang apa itu demokrasi tetapi belajar dalam suasana demokratis dan membelajarkan siswa agar mampu membangun peradaban demokratis (Winarno, 2013: 88). Strategi pembelajaran yang telah dijabarkan di atas dapat dilakukan oleh guru dalam melaksanakan strateginya terhadap proses pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn). Strategi-strategi pembelajaran tersebut dapat mendukung guru Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) untuk mencapai tujuan pembelajaran dan membentuk peserta didik menjadi warga negara yang baik serta memaksimalkan proses pembelajaran di kelas. c. Kompetensi Kewarganegaraan Menurut Branson (1998), ada tiga kompetensi kewarganegaraan, yaitu kecerdasan warga negara (Civic Intellegence), membina tanggung jawab warga negara (Civic Responsibility) dan mendorong partisipasi warga negara (Civic Participation). Tiga kompetensi warga negara tersebut sejalan dengan tiga komponen pendidikan kewarganegaraan yang baik, yaitu Pengetahuan Kewarganegaraan (Civic Knowledge), Keterampilan Kewarganegaraan (Civic Skills), dan Karakter atau Watak Kewarganegaraan (Civic Disposition) (di akses pada tanggal 27 November 2015 di http://civiced.org). 28 Warga negara yang memiliki pengetahuan kewarganegaraan akan menjadi warga negara yang cerdas. Warga negara yang memiliki keterampilan kewarganegaraan akan menjadi warga negara yang partisipasif, sedangkan warga negara yang memiliki karakter kewarganegaraan akan menjadi warga negara yang bertanggung jawab (Winarno, 2013: 19). Berikut ini merupakan penjabaran dari ketiga komponen pendidikan Kewarganegaraan yaitu Pengetahuan Kewarganegaraan (Civic Knowledge), Keterampilan Kewarganegaraan (Civic Skills), dan Karakter atau Watak Kewarganegaraan (Civic Disposition): 1) Pengetahuan Kewarganegaraan (Civic Knowledge) Menurut Udin S. Winataputra dan Dasim Budimansyah (2007: 186) berpendapat “Civic Knowledge (pengetahuan kewarganegaraan) berkaitan dengan kandungan atau apa yang seharusnya diketahui oleh warga negara”. Jadi dapat disimpulkan bahwa pengetahuan kewarganegaraan adalah pengetahuan yang harus diketahui warga negara seperti pengetahuan tentang hak dan kewajiban, pengetahuan politik, pengetahuan hukum, pengetahuan konstitusi dan sebagainya. Dikatakan bahwa, “civic-related knowledge, both historical and contemporery, such as understanding the structure and mechanics of contitutional goverment, and knowing who the local political actor are and how democratic institutions fungtion”. 2) Keterampilan Kewarganegaraan (Civic Skills) Menurut Udin S. Winataputra dan Dasim Budimansyah (2007: 188) “Civic Skills (kecakapan atau keterampilan kewarganegaraan) mencakup kecakapan atau keterampilan warga negara dalam berkomunikasi dan bekerja sama dengan orang lain serta mampu berpartisipasi akif sebagai wujud warga negara yang baik. 3) Watak Kewarganegaraan (Civic Disposition) Menurut Udin S. Winataputra dan Dasim Budimansyah (2007: 191) “Civic Disposition (watak atau karakter kewarganegaraan) 29 mengisyaratkan pada karakter publik maupun privat yang penting bagi pemeliharaan dan pengembangan demokrasi konstitusional”. Jadi dapat diambil kesimpulan bahwa karakter kewarganegaraan secara privat menekankan pada tanggung jawab moral, disiplin diri, dan dapat menghargai martabat manusia dari setiap individu. Sementara karakter publik menekankan pada kepedulian sebagai warga negara, kesopanan, mengindahkan aturan main, berpikir kritis. Guru Pendidikan Kewarganegaraan memiliki posisi yang strategis dalam mewujudkan peserta didik menjadi warga negara yang baik. Berpegang pada kompetensi yang terkandung didalam mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan yaitu civic knowledge, civic skills dan civic disposition, guru dapat menguraikan nilai-nilai yang terkandung di dalam materi atau bahan ajar pada setiap kompetensi kewarganegaraan sebagai upaya mencapai tujuan pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan. Strategi guru Pendidikan Kewargenegaraan tersebut akan berpengaruh pada terwujudnya sikap peserta didik yang berbudi baik dan luhur sebagai warga negara yang baik. d. Peserta Didik Remaja 1) Pengertian Remaja a) Remaja menurut hukum Menurut undang-undang perkawinan usia minimal untuk suatu perkawinan untuk putri 16 tahun untuk putra 19 tahun. Pada usia tersebut mereka sudah bukan lagi sebagai anak-anak tetapi dianggap sudah dewasa. Dalam ilmu-ilmu sosial usia antara 16 sampai 22 tahun disejajarkan dengan pengertian remaja (Chasiyah, Chadidjah HA, Edy Legowo, 2009: 42). b) Remaja ditinjau dari pertumbuhan fisik Dari sudut fisik remaja dikenal sebagai suatu tahap dimana alat kelamin manusia mencapai kematangan. Pematangan fisik berjalan kurang lebih 2 tahun dimulai dari saat haid pertama pada 30 wanita dan sejak mimpi basah (polusio) pada anak laki-laki masa dua tahun ini dinamakan masa pubetas, datangnya masa pubertas tiap individu tidak sama (Chasiyah, dkk., 2009: 43). c) Remaja menurut WHO Menurut WHO remaja adalah masa pertumbuhan dan perkembangan dimana individu mengalami: (1) Menunjukkan tanda-tanda kelamin sekunder sampai saat mereka mencapai kematangan seksual. (2) Mengalami perkembangan psikologi dan pola identifikasi dari anak-anak menjadi dewasa. (3) Peralihan dari ketergantungan sosial-ekonomi yang penuh kepada keadaan yang relatif mandiri. d) Remaja ditinjau dari faktor sosial psikologis Menurut Sarlito Wiryawan (1991), masa remaja adalah suatu masa perkembangan yang ditandai adanya proses perubahan dan kondisi “entropy” ke kondisi “negentropy”. Entropy adalah suatu keadaan dimana kesadaran (pengetahuan, perasaan) manusia belum tersusun rapi sehingga belum berfungsi maksimal. Negentropy adalah suatu keadaan dimana kesadaran tersusun urut masyarakat Indonesia. (Chasiyah, dkk., 2009: 43). Batasan remaja Indonesia adalah usia 11 tahun sampai 24 tahun dan belum menikah dengan alasan: (1) Usia 11 tahun umumnya sudah menunjukkan tanda-tanda kelamin sekunder. (2) Menurut agama dan adat usia 12 tahun anak sudah aqil balik. (3) Pada usia tersebut mulai ada tanda-tanda penyempurnaan perkembangan misalnya: (a) tercapai identitas diri (Ericson) (b) fase genital (Freud) (c) tercapainya puncak perkembangan kognitif (Piaget). 31 (4) Pada usia 24 tahun masih banyak anak yang belum mandiri, atau masih menggantungkan pada orangtuanya (Chasiyah, dkk., 2009: 43). e) Remaja menurut pandangan para ahli Aristoteles berpendapat bahwa aspek terpenting bagi remaja adalah kemampuannya untuk memilih dan determinasi diri (selfdetermination) sebagai tanda kematangannya (Syamsu Yusuf L. N dan Nani M. Sugandhi, 2012: 78). Menurut Jean-Jacques Rousseau berpendapat bahwa usia 1520 tahun, individu sudah matang emosinya, dan dapat mengubah sikap selfishness (memperhatikan atau memetingkan diri sendiri) ke interest in other (memperhatikan orang lain) (Syamsu Yusuf L. N dan Nani M. Sugandhi, 2012: 78). 2) Karakteristik Peserta Didik Remaja a) Perkembangan Fisik Masa remaja merupakan salah satu diantara dua masa rentangan kehidupan individu, dimana terjadi pertumbuhan fisik yang sangat pesat. Dalam perkembangan seksualitas remaja, ditandai dengan dua ciri, yaitu ciri-ciri seks primer dan ciri-ciri seks sekunder (Chasiyah, dkk., 2009: 44). b) Perkembangan Kognitif (Intelektual) Ditinjau dari perkembangan kognitif menurut Piaget, masa remaja sudah mencapai tahap operasi formal (operasi = kegiatankegiatan mental tentang berbagai gagasan). Remaja, secara mental telah dapat berpikir logis tentang berbagai gagasan yang abstrak. Dengan kata lain berpikir operasi formal lebih bersifat hipotesis dan abstrak, serta sistematis dan ilmiah dalam memecahan masalah daripada berpikir kongkret (Chasiyah, dkk., 2009: 44). Menurut Keating yang dikutip oleh Adam dan Gullota (1983) merumuskan lima hal pokok yang berkaitan dengan perkembangan berpikir operasi formal, yaitu sebagai berikut: 32 (1) Berlainan dengan cara berpikir anak-anak, yang tekanannya kepada kesadarannya sendiri di sini dan sekarang (here-and now), cara berpikir remaja berkaitan dengan dunia kemungkinan (work of possibilities). Remaja sudah mampu menggunakan abstraksi-abstraksi dan dapat membedakan antara yang nyata dan kongkret dengan yang abstrak dan mungkin. (2) Melalui kemampuannya untuk menguji hipotesis, muncul kemampuan nalar secara ilmiah. (3) Remaja dapat memikirkan tentang masa depan dengan membuat perencanaan dan mengeksplorasi berbagai kemungkinan untuk mencapainya. (4) Remaja menyadari tentang aktivitas kognitif dan mekanisme yang membuat proses kognitif itu efisien atau tidak efisien, serta menghabiskan waktunya untuk mempertimbangkan pengaturan kognitif internal tentang bagaimana dan apa yang harus dipikirkannya. Dengan demikian, intropeksi (pengujian diri) menjadi bagian kehidupannya sehari-hari. (5) Berpikir operasi formal memungkinkan terbukanya topik-topik baru, dan ekspansi (perluasan) berpikir. Horizon berpikirnya semakin luas, bisa meliputi aspek agama, keadilan, moralitas dan identitas (Chasiyah, dkk., 2009: 44). Memperhatikan kelima aspek di atas, implikasi pendidikan atau bimbingan dari periode berpikir formal ini adalah perlunya disiapkan program pendidikan atau bimbingan yang memfasilitasi perkembangan kemampuan berpikir siswa (remaja). Upaya yang dapat dilakukan seperti: (a) penggunaan metode mengajar yang mendorong anak untuk aktif bertanya, mengemukakan gagasan, atau mengujicobakan suatu materi, dan (b) melakukan dialog, diskusi, atau curahan pendapat (brain stroming) dengan siswa tentang masalah-masalah sosial, atau berbagai aspek kehidupan seperti agama, etika pergaulan dan pacaran, politik, lingkungan hidup, bahayanya minuman keras dan obat-obatan terlarang (Chasiyah, dkk., 2009: 44-45). c) Perkembangan Emosi Masa remaja merupakan puncak emosionalitas, yaitu perkembangan emosi yang tinggi. Pertumbuhan fisik, terutama organ-organ seksual mempengaruhi perkembangannya emosi dan 33 perasaan-perasaan dan dorongan-dorongan baru yang dialami sebelumnya, seperti perasaan cinta, rindu, dan keinginan untuk berkenalan lebih intim dengan lawan jenis. Pada usia remaja awal, perkembangan emosinya menunjukkan sifat yang sensitif dan reaktif yang sangat kuat terhadap berbagai peristiwa atau situasi sosial, emosinya bersifat negatif dan temperamental (mudah tersinggung/marah atau mudah sedih, murung); sedangkan remaja akhir sudah mampu mengendalikan emosinya (Chasiyah, dkk., 2009: 45-46). d) Perkembangan Sosial Pada masa remaja berkembang “social cognition”, yaitu kemampuan untuk memahami orang lain. Remaja memahami orang lain sebagai individu yang unik, baik menyangkut sifat-sifat pribadi, minat nilai-nilai maupun perasaannya. Pemahamannya ini, mendorong remaja untuk menjalin hubungan sosial yang lebih akrab dengan (mereka terutama teman sebaya), baik melalui jalinan persahabatan maupun percintaan (pacaran). Dalam hubungan persahabatan, remaja memilih teman yang memiliki kualitas psikologis yang relatif sama dengan dirinya, baik menyangkut interes, sikap, nilai, dan kepribadian (Chasiyah, dkk., 2009: 46-47). Pada masa ini juga berkembang sikap “conformity”, yaitu kecenderungan untuk menyerah atau mengikuti opini, pendapat, nilai, kebiasaan, kegemaran (hobby) atau keinginan orang lain (teman sebaya). Perkembangan sifat konformitas pada remaja dapat memberikan dampak yang positif maupun yang negatif bagi dirinya. Apabila kelompok teman sebaya yang diikuti atau imitasinya itu menampilkan sikap dan perilaku yang secara moral atau agama dapat dipertanggungjawabkan, seperti kelompok remaja yang taat beribadah, memiliki budi pekerti yang luhur, rajin belajar dan aktif dalam kegiatan-kegiatan sosial, maka kemungkinan besar remaja tersebut akan menampilkan pribadinya 34 yang baik. Sebaliknya, apabila kelompoknya itu menampilkan sikap dan perilaku malasuai atau melecehkan nilai-nilai moral, maka sangat memungkinkan remaja akan menampilkan perilaku seperti kelompok tersebut (Chasiyah, dkk., 2009: 47). e) Perkembangan Moral Pada masa ini muncul dorongan untuk melakukan perbuatanperbuatan yang dapat dinilai baik oleh orang lain. Remaja berperilaku bukan hanya untuk memenuhi kepuasan fisiknya, tetapi psikologis (rasa puas dengan adanya penerimaan dan penilaian positif dari orang lain tentang perbuatannya) (Chasiyah, dkk., 2009: 48). Keragaman tingkat moral remaja disebabkan oleh faktor penentunya yang beragam juga. Salah satu faktor penentu atau yang mempengaruhi perkembangan moral remaja itu adalah orangtua. Menurut Adam dan Gullata (1983) dalam Chasiyah, dkk., (2009: 48) terdapat beberapa beberapa hasil penelitian yang menunjukkan bahwa orangtua mempengaruhi moral remaja, yaitu sebagai berikut: (1) Terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat moral remaja dengan tingkat moral orangtua (Haan, Langer, dan Kohlberg, 1976). (2) Ibu-ibu remaja yang tidak nakal mempunyai skor yang lebih tinggi dalam tahapan nalar moralnya dari pada ibu-ibu yang anaknya nakal, dan remaja yang tidak nakal mempunyai skor yang lebih tinggi dalam kemampuan nalar moralnya dari pada remaja yang nakal (Hudgins dan Prentice, 1973). (3) Terdapat dua faktor yang dapat meningkatkan perkembangan moral anak atau remaja, yaitu (a) orangtua yang mendorong anak untuk berdiskusi secara demokratik & terbuka mengenal berbagai isu, dan (b) orangtua yang menerapkan disiplin terhadap anak dengan teknik berpikir induktif (Parikh, 1980). 35 f) Perkembangan Kepribadian Kepribadian merupakan sistem yang dinamis dari sifat, sikap dan kebiasaan yang menghasilkan tingkat konsistensi respons individu yang beragam, menurut Pikunas (1976) sifat-sifat kepribadian mencerminkan perkembangan fisik, seksual, emosional, sosial, kognitif, dan nilai-nilai (Chasiyah, dkk., 2009: 48). Masa remaja merupakan saat berkembangnya identity (jati diri). Perkembangan “identity” merupakan isu sentral pada masa remaja yang memberikan dasar bagi masa dewasa. Dapat juga dikatakan sebagai aspek sentral bagi kepribadian yang sehat yang merefleksikan kesadaran diri, kemampuan mengidentifikasi orang lain dan mempelajari tujuan-tujuan agar dapat berpartisipasi dalam kebudayaannya (Chasiyah, dkk., 2009: 49). Erikson meyakini bahwa perkembangan identity pada masa remaja dikaitkan erat dengan komitmennya terhadap okupasi masa depan, peran-peran masa dewasa dan sistem keyakinan pribadi (Nancy J. Cobb, 1992 dalam Chasiyah, dkk., 2009: 49). Menurut James Marcia dan Wterman yang dikutip oleh Anita E. Woolfolk (1995) identitas diri merujuk kepada “Pengorganisasian atau pengaturan dorongan-dorongan, kemampuan-kemampuan dan keyakinan-keyakinan ke dalam citra diri secara konsisten yang meliputi kemampuan memilih dan mengambil keputusan baik menyangkut pekerjaan orientasi seksual, dan filsafat hidup” (Chasiyah, dkk., 2009: 50). Berdasarkan dari pernyataan diatas, tentunya peserta didik remaja secara sederhana belum dikatakan mampu untuk mengimplementasikan setiap nilai yang diterimanya kedalam kehidupan sehari-hari. Posisi Guru Pendidikan Kewarganegaraan sangat berpengaruh pada proses internalisasi nilai-nilai agar membentuk sikap peserta didik yang baik. Guru Pendidikan 36 Kewarganegaraan sebagai pelaksana pendidikan yang secara langsung merupakan sosok yang tauladan atau dicontoh, seharusnya tidak sebatas pada tugasnya untuk menyalurkan pengetahuan (transfer of knowledge) tetapi juga menyalurkan nilai (tranfer of value) dalam pelaksanaan tanggung jawabnya untuk membentuk identitas peserta didik dan mempersiapkannya menjadi warga negara yang baik melalui proses pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan. e. Pembentukan Kompetensi Kewarganegaraan Peserta Didik Pembentukan kompetensi Kewarganegaraan peserta didik, dilakukan oleh guru sebagai pelaksana pendidikan dalam hal ini guru mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan. Peserta didik yang menjadi sasaran dalam penelitian ini adalah peserta didik usia remaja yaitu peserta didik yang duduk di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA). Dengan memperhatikan karakteristik yang ada pada diri peserta didik usia remaja maka guru akan lebih tahu tentang hal-hal yang dapat dijadikan pedoman oleh guru untuk melakukan membimbing strategi-strateginya peserta didik dalam usia menghadapi, remaja untuk mendidik menopang dan proses pembelajaran agar berjalan dengan efektif terutama untuk membentuk kompetensi kewarganegaraan pada peserta didik. Pembentukan kompetensi Kewarganegaraan peserta didik merupakan usaha untuk mewujudkan peserta didik agar mampu menguasai ketiga kompetensi Kewarganegaraan yaitu Pengetahuan Kewarganegaraan (Civic Knowledge), Keterampilan Kewarganegaraan (Civic Skills), dan Karakter Kewarganegaraan (Civic Disposition) melalui proses pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan yang dilakukan oleh guru Pendidikan Kewarganegaraan. Berlandaskan pada Pengetahuan Kewarganegaraan (Civic Knowledge), berikut adalah butir-butir komponen pengetahuan diselaraskan dengan upaya meningkatkan penghargaan hak perempuan sebagai bagian 37 dari hak asasi manusia, yang telah diidentifikasi oleh Udin S. Winataputra (2001), yaitu: a) Wawasan tentang manusia sebagai makhluk Tuhan YME dan sosial. b) Wawasan tentang manusia sebagai makhluk individu yang memiliki hak asasi yang harus dilindungi dan diwujudkan secara bertanggung jawab. c) Wawasan tentang landasan dan sumber hak asasi manusia. d) Wawasan tentang pelanggaran terhadap hak asasi manusia. e) Wawasan tentang jaminan dan perlindungan atas hak asasi manusia. f) Wawasan kedudukan dan pentingnya konstitusi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. g) Wawasan tentang konstitusi sebagai landasan jaminan dan perlindungan hak asasi manusia. h) Wawasan tentang Indonesia sebagai negara hukum, yang mengupayakan tegaknya supremasi hukum persamaan dihadapan hukum, peradilan yang bebas, jaminan hak asasi manusia, dan pendidikan kewarganegaraan. i) Wawasan tentang negara memiliki visi, misi, dan tanggung jawab dalam memelihara dan menegakkan keadilan dan kebenaran. j) Wawasan tetntang dinamika penerapan konsep, prinsip, nilai, dan citacita demokrasi dalam masyarakat yang berbhineka tunggal ika. k) Wawasan tenatng makna pelaksanaan kewajiban dan hak warga negara dalam berbagai bidang kehidupan. l) Wawasan tentang interaksi fungsional hak, kewajiban, dan tanggung jawab warga negara dalam berbagai konteks kehidupan. m) Wawasan tentang pentingnya pemberdayaan warga negara dalam memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa dan proses alih generasi secara bertanggung jawab (Winarno, 2013: 113-115). Berlandaskan pada Keterampilan Kewarganegaraan (Civic Skills), berikut adalah butir-butir komponen keterampilan atau kecakapan kewarganegaran, yang telah diidentifikasi oleh Udin S. Winataputra (2001), yaitu: a) Kemampuan berkomunikasi secara argumentatif dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar atas dasar tanggung jawab sosial. b) Kemampuan berpartisipasi dalam lingkungan sekolah atau masyarakat secara cerdas dan penuh tanggung jawab personal dan sosial. c) Kemampuan mengambil keputusan individual dan atau kelompok secara cerdas dan bertanggung jawab. d) Kemampuan melaksanakan keputusan individual dan atau kelompok sesuai dengan konteksnya secara bertanggung jawab. e) Kemampuan berkomunikasi secara cerdas dan etis sesuai dengan konteksnya. f) Kemampuan membangun kerjasama dengan dasar toleransi, saling pengertian, dan kepentingan bersama. 38 g) Kamampuan berlomba-lomba untuk berprestasi lebih baik dan lebih bermanfaat. h) Kemampuan turut serta aktif membahas masalah sosial secara cerdas dan bertanggung jawab. i) Kemampuan turut serta mengatasi konflik sosial dengan cara yang baik dan dapat diterima. j) Kemampuan memimpin menganalisis masalah sosial secara kritis dengan menggunakan aneka sumber yang ada. k) Kemampuan berusaha untuk meningkatkan kemampuan pribadi dan kegiatan sosial budaya dengan kesadaran untuk berbuat lebih baik Winarno, 2013: 161-115). Kesimpulan yang dapat diambil dari identifikasi keterampilan kewarganegaraan di atas, tampak bahwa yang dimaksudkan dengan keterampilan kewarganegaraan (civic skills) menurut Winarno (2013: 163), hanyalah mencakup keterampilan partisipatif peserta didik. Hal ini dapat dilihat dari berkomunikasi, beberapa rumusan berpartisipasi, kata kerja mengambil seperti: keputusan, kemampuan melaksanakan keputusan, memabngun kerjasama, turut aktif membahas dan sebagainya. Selanjutnya berlandaskan pada Karakter Kewarganegaraan (Civic Skills), menurut Budimansyah (2008) secara singkat karakter kewarganegaraan yang terdiri dari karakter publik dan privat dapat dideskripsikan, sebagai berikut: a) Menjadi anggota masyarakat yang yang independen. Karakter ini meliputi kesadaran secara pribadi untuk bertanggung jawab sesuai ketentuan, bukan karena keterpaksaan atau pengawasan dari luar, menerima tanggung jawab akan konsekuensi dari tindakan yang diperbuat dan memenuhi kewajiban moral dan legal sebagai anggota masyarakat demokrasi (Winarno, 2013: 180). b) Memenuhi tanggung jawab personal kewarganegaraan di bidang ekonomi dan politik. Tanggung jawab ini meliputi memelihara/menjaga diri, memberi nafkah dan merawat keluarga, mengasih dan mendidik anak. Termasuk pula mengikuti informasi tentang isu-isu publik, menggunakan hak pilih dalam pemilu, membayar pajak, menjadi saksi di pengadilan, kegiatan 39 pelayanan masyarakat, melakukan tugas kepemimpinan sesuai bakat msing-masing (Winarno, 2013: 180). c) Menghormati harkat dan martabat kemanusiaan tiap individu. Menghormati orang lain berarti mendengarkan pendapat mereka, bersikap sopan, menghargai hak-hak dan kepentingan-kepentingan sesama warga negara, dan mengikuti aturan musyawarah mufakat dan prinsip mayoritas namun tetap menghargai hak-hak minoritas untuk berbedaan pendapat (Winarno, 2013: 180). d) Berpartisipasi dalam urusan-urusan kewarganegaraan secara efektif dan bijaksana. Karakter ini merupakan bentuk sadar informasi sebelum menenentukan pilihan atau berpartisipasi dalam debat publik, terlibat dalam diskusi yang santun dan serius, serta memegang kendali dalam kepemimpinan bila diperlukan. Juga membuat eavluasi tentang kapan saatnya kepentingan pribadi seseorang sebagai warga negara harus dikesampingkan demi memenuhi kepentingan publik dan mengevaluasi kapan seseorang karena kewajibannya atau prinsip-prinsip konstitusional diharuskan menolak tuntutan-tuntutan kewarganegaraan tertentu (Winarno, 2013: 180). e) Mengembangkan berfungsinya demokrasi konstitusional secara sehat. Karakter ini meliputi sadar informasi dan kepekaan terhadap urusanurusan publik, melakukan penelaahan terhadap nilai-nilai dan prinsipprinsip konstitusional, memonitor keputusan para pemimpin politik dan lembaga-lembaga publik pada nilai-nilai dan prinsip-prinsip tadi serta mengambil langkah-langkah yang diperlukan bila ada kekurangan. Karakter ini mengarah warga negara bekerja dengan cara-cara yang damai dan legal dalam rangka mengubah undang-undang yang dianggap tidak adil dan tidak bijaksana (Winarno, 2013: 180-181). Identifikasi mengenai karakter kewarganegaraan (civic disposition) juga dikemukakan oleh Udin S. Winataputra (2001) dalam Winarno (2011: 189-190), sebagai berikut: 40 a) Kepedulian terhadap masalah-masalah personal dan sosial kultural antar warga negara dan antara warga negara dengan lembaga-lembaga negara. b) Toleransi terhadap perbedaan personal, sosial, ekonomi, kultural, dan spiritual. c) Penghormatan terhadap hak hidup, hak kebebasan, dan hak milik orang lain atas dasar keimanan dan ketakwaan terhadap Tuhan YME. d) Penghormatan terhadap kedudukan, peran, dan bertanggung jawab orang lain yang memegang jabatan kenegaraan, profesi, bisnis, kemasyarakatan atas dasar tanggung jawab sosial-politik warga negara. e) Penghormatan terhadap bangsa dan negara lain atas dasar persamaan derajat, persahabatan, perdamaian, menghormati. f) Kemauan dan kesiapan menerima pendapat, komentar, dan kritik orang lain tentang penampilan, pendirian, keyakinan sendiri atas dasar kesadaran bahwa setiap orang memiliki cara pandang dan keyakinan yang berbeda. g) Komitmen terhadap kedudukan, peran, dan tanggung jawab yang dipikul atas dasar hukum, kesepakatan, atau kesediaan sendiri. h) Kejujuran terhadap kesalahan sendiri selaku individu/warga negara. i) Kesediaan “saling asah, asih, dan asuh”, atas dasar keadaran dan tanggung jawab sosial sebagai warga negara, makhluk sosial, dan insan Tuhan YME. j) Toleransi terhadap perasaan orang lain atas dasar kesadaran sosial sebagai warga negara. k) Komitmen terhadap norma yang berlaku atas dasar kesadaran dan tanggung sosial. l) Kejujuran dalam pikiran, ucapan, dan perbuatan atas dasar tanggung jawab personal, sosial, spiritual sebagai individu, warga negara, dan insan Tuhan YME. m) Kemauan dan kesediaan untuk berubah menuju hari esok yang lebih baik. n) Komitmen untuk belajar sepanjang hayat yang dilandasi keyakinan. Selanjutnya pada bagian latar belakang Standar Isi Pendidikan Kewarganegaraan sebagaimana terdapat dalam Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006, karakter kewarganegaraan dapat diidentifikasi sebagai berikut: a) b) c) d) e) f) g) h) i) j) Memiliki semangat kebangsaan, Memiliki karakter demokrasi, Memiliki kesadaran bela negara, Menghargai hak asasi manusia, Sikap menghargai kemajemukan bangsa, Kesadaran akan kelestarian lingkungan hidup, Memiliki tanggung jawab sosial, Ketaatan pada hukum, Ketaatan membayar pajak, dan Sikap anti korupsi, kolusi dan nepotisme. 41 Pembentukan pengetahuan kompetensi kewarganegaraan Kewarganegaraan (civic yang knowledge), terdiri dari keterampilan kewarganegaraan (civic skills), dan karakter kewarganegaraan (civic disposition) ini adalah bentuk upaya pencapaian tujuan pelaksanaan Pendidikan Kewarganegaraan yaitu mewujudkan pribadi warga negara yang baik. Maka dari itu setiap terlaksananya proses pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan, haruslah memenuhi ketiga kompetensi kewarganegaraan tersebut sebagai bentuk terlaksananya pendidikan kewarganegaraan yang sesungguhnya. f. Pembelajaran yang Mendukung Pembentukan Kompetensi Kewarganegaraan 1) Pengetahuan Kewarganegaraan (Civic Knowledge) Pembelajaran pada pembentukan kompetensi kognitif atau pengetahuan yang dilakukan guru Pendidikan Kewarganegaraan sering identik dengan suasana ceramah yang membosankan. Agar terhindar dari hal tersebut maka pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan pada ranah kognitif (pengetahuan) harus memenuhi prinsip-prinsip pembelajaran. Berikut prinsip pembelajaran kognitif (knowledge) menurut Jean Piaget dalam Winarno (2013: 133), sebagai berikut: a) Belajar aktif Proses pembelajaran adalah proses aktif, karena pengetahuan terbentuk dari dalam subjek belajar. Untuk membantu perkembangan kognitif anak, perlu diciptakan suatu kondisi belajar yang memungkinkan anak belajar sendiri, misal melakukan percobaan sendiri; memanipulasi simbol-simbol; mengajukan pertanyaan dan mencari jawabannya sendiri; membandingkan penemuan sendiri dengan penemuan temannya. b) Belajar lewat interaksi sosial Dalam belajar perlu diciptakan suasana yang memungkinkan terjadinya interaksi di antara subjek belajar. Menurut Piaget belajar 42 bersama baik dengan teman sebaya maupun orang lebih dewasa akan membantu perkembangan kognitif mereka. Tanpa kebersamaan kognitif akan berkembang sifat egosentrisnya. Sebaliknya dengan kebersamaan, khasanah kognitif anak akan semakin beragam. c) Belajar lewat pengalaman sendiri Dengan menggunakan pengalaman nyata maka perkembangan kognitif seseorang akan lebih baik daripada hanya menggunakan bahasa untuk berkomunikasi namun jika tidak diikuti oleh penerapan dan pengalaman maka perkembangan kognitif seseorang cenderung mengarah ke verbalisme. Menurut Winarno (2013: 134), pada pembelajaran yang mendukung perkembangan pengetahuan (kognitif) kewarganegaraan ini dapat di dukung dengan pelaksanaan metode dan teknik pembelajaran sebagai berikut: a) Metode Discovery Metode belajar yang menekankan keterlibatan siswa dalam proses belajar yang aktif yang berorientasi pada “discovery” (penemuan). Suatu kegiatan “discovery” ialah suatu kegiatan atau pelajaran yang dirancang sedemikian rupa sehingga siswa dapat menemukan konsep-konsep dan prinsip-prinsip melalui proses mentalnya sendiri. Bagi seorang siswa untuk membuat penemuanpenemuan, ia harus melakukan proses-proses mental, seperti mengamati, mengolong-golongkan, membuat dugaan, menjelaskan, mengukur, menarik kesimpulan, dan sebagainya. Pengajaran “discovery” harus meliputi pengalaman-pengalaman belajar untuk menjamin siswa dapat mengembangkan proses-proses “discovery”. b) Metode Problem Solving Problem solving merupakan kegiatan mencari pemecahan suatu masalah secara rasional. Titik berat pada terpecahkannya masalah tersebut secara rasional, logis, dan tepat. 43 c) Metode Inquiry Menurut Hoge (1996), pengajaran inquiry adalah pengajaran yang membantu siswa untuk menguji pertanyaan-pertanyaan, isu-isu, atau masalah yang dihadapi siswa dan sekaligus menjadi perhatian guru. Dalam pengajaran inquiry siswa menjadi seorang investigator dalam mencari ilmu, sedangkan guru berfungsi sebagai pembantu investigator (coinvestigator). Bentuk pengajaran inquiry seperti: percobaan (experiment), studi kepustakaan (library research), wawancara (interview), dan penelitian produk (product investigation). d) Teknik Peta Konsep Peta konsep (concept map) pertama kali diperkenalkan oleh Novak pada tahun 1985 dalam bukunya Learning How to Learn, sebagai suatu alat yang efektif untuk menghadirkan secara visual hirarki generalisasi-generalisasi dan untuk mengekspresikan keterkaitan proposisi dalam sistem konsep-konsep yang saling berhubungan (Dahar, 1989 dalam Winarno 2013: 141). Novak menyatakan bahwa pemetaan konsep akan membantu para siswa membangun kebersamaan konsep-konsep dan prinsip-prinsip yang baru dan lebih kuat pada suatu bidang studi. Peta konsep merupakan strategi atau cara dalam mendesain materi (content) pelajaran. Pada wujud fisiknya, menurut Hizam Zaini (2002) peta konsep sebagai desain materi memiliki 4 karakteristik, yaitu: a) Memiliki konsep atau ide pokok atau kata kunci; b) Memiliki hubungan yang mengaitkan antara satu konsep dengan konsep lain; c) Memiliki label yang membunyikan arti hubungan yang mengaitkan antar konsep tersebut; dan d) Desain itu berwujud sebuah diagram atau peta yang merupakan satu bentuk representasi konsep-konsep dari materi pembelajaran. 44 2) Keterampilan Kewarganegaraan Suwarma al Muchtar, dkk (2007) dalam (Winarno 2013: 150) menyajikan berbagai model pembelajaran yang dapat digunakan untuk mengembangkan keterampilan kewarganegaraan siswa. Model-model tersebut adalah: a) Model Refleksi Inquiry Inti dari pengorganisasian yang berpusat pada refletif ialah pengembangan kemampuan mengambil keputusan atau decision making skills. Kemampuan ini secara esensial berfungsi saling melengkapi dengan kemampuan memecahkan masalah atau problem solving skills yang dikembangkan dalam pengajaran ilmu sosial yang berorientasi pada karakter ilmu sosial. b) Model Berpikir Induktif Model berpikir induktif dirancang dan dikembangkan oleh Hilda Taba (1996) dengan tujuan untuk mendorong para pelajar menemukan dan mengoordinasikan informasi, menciptakan nama suatu konsep, dan menunjukkan terampil dalam melakukan pengetahuan. c) Model Inquiry Training Model ini dikembangkan oleh Richard Suchman (1962), model latihan penelitian penemuan ini dirancang untuk melibatkan para pelajar dalam proses penalaran mengenai hubungan sebab akibat dan menjadikan mereka lebih fasih dan cermat dalam mengajukan pertanyaan, membangun konsep, merumuskan, dan mengetes hipotesis. d) Model Yurisprudensial Model ini melibatkan proses intelektual yang relatif rumit. Model ini menuntut para pelajar untuk menguji dirinya sendiri, perilaku kelompok dan proses sosial yang lebih besar. 45 e) Model Social Inquiry Model ini dikembangkan atas dasar kerangka konseptual yang sama dengan model penelitian ilmiah yang diterapkan dalam bidangbidang ilmu alamiah dan model penelitian sosial dalam bidang ilmuilmu sosial. Beberapa model pembelajaran lainnya yang dapat digunakan terutama dalam rangka mengembangkan keterampilan kewarganegaraan, dijabarkan secara rinci menurut Rath dan Kinchenbaum dalam Diknas (2007) mengidentifkasi model pembelajaran yang mampu mengembangkan keterampilan kewarganegaraan, dicontohkan dalam hal ini pembelajaran yang mampu mengembangkan sikap demokratis. Model-model pembelajaran tersebut adalah sebagai berikut: a) Pertemuan kelas berita baru Pertemuan kelas guna membahas berita aktual yang ada di media masa. Contoh: berita demonstran anarki. b) Cambuk bersiklus Pertemuan saling bertanya dan menjawab secara bergiliran. Setiap siswa harus mendengarkan pertanyaan dan meyiapkan pertanyaan untuk siswa lain, bukan pemberi pertanyaan sebelumnya. Contoh: Siswa A bertanya kepada siswa B “Mengapa ada tawuran di sekolah?” Siswa B menjawab pertanyaan itu. Di lanjutkan siswa B mengajukan pertanyaan kepada siswa C “Bagaimana cara menjaga kerukunan antar siswa?” dan seterusnya. c) Waktu untuk penghargaan Pertemuan untuk memberikan penghargaan atau penghormatan terhadap orang lain, karena dengan cara ini siswa akan terasah nuraninya untuk selalu menghormati orang lain karena prestasinya atau dedikasinya yang diberikan kepada kepentingan umum. d) Waktu untuk yang terhormat Melalui acara yang secara khusus diadakan atas inisiatif siswa untuk memberikan penghargaan kepada orang yang sangat dihormati. Contoh: acara perpisahan purna tugas guru di sekolah. e) Pertemuan perumusan tujuan Melalui pertemuan yang sengaja diadakan atas inisiatif guru dan atau siswa untuk merumuskan visi atau tujuan sekolah, seperti programprogram kegiatan OSIS. Karena dengan cara ini siswa mempunyai rasa memiliki dengan sekolah dan pada gilirannya menumbuhkan kecintaian dan tanggung jawab terhadap sekolahnya. 46 f) Pertemuan legislasi Melalui pertama siswa diajak untuk merumuskan atau menyusun norma atau aturan yang akan berlaku di sekolah. Melalui kegiatan ini siswa merasa memiliki kesadaran untuk mentaati aturan yang dirumuskan oleh siswa sendiri. g) Pertemuan evaluasi aturan Pertemuan untuk mengevaluasi pelaksanaan norma atau aturan yang telah disepakati dan berlaku di sekolah. h) Pertemuan perumusan langkah kegiatan Pertemuan untuk menentukan prioritas atau tahapan kegiatan yang akan dilakukan oleh siswa di bawah bimbingan sekolah. i) Pertemuan evaluasi dan balikan Memberikan masukan terhadap pelaksanaan kebijikasanaan sekolah atau dasar hasil monitoring kelompok siswa dan guru yang sengaja diduga untuk itu. j) Pertemuan refleksi belajar Pertemuan pengendapan dan evaluasi terhadap proses dan atau hasil belajar setelah selesai satu atau beberapa pertemuan. k) Forum siswa Pertemuan untuk memberi kesempatan siswa secara individu atau kelompok menyajikan pendapatnya, hasil pemahaman terhadap sumber informasi atau proyek belajar yang dilakukan atas tugas guru atau inisiatif sendiri. l) Pertemuan pemecahan masalah Pertemuan terencana untuk memecahkan masalah yang ada di lingkungan sekitar atau daerah yang menyangkut kehidupan siswa, seperti penyalahgunaan narkoba di kalangan siswa. m) Pertemuan isu akademis Pertemuan terencana untuk membahas akademis, misalnya pembahasan isu gizi, cara hidup sehat, korupsi terkait dengan lingkungan daerah atau nasional. n) Kotak saran Pengumpulan pendapat secara bebas dan rahasia untuk memecahkan masalah di lingungan sekolah. o) Pemahasan situasi pelik Pertemukan untuk memecahkan masalah yang terkait dengan keadaan pelik atau dilematis, seperti penetapan pilihan atau melarang siswa untuk melakukan pendakian gunung atau kegiatan yang mengandung resiko. p) Pertemuan perbaikan kelas Merupakn strategi pengembangan sikap demokratis dan bertanggung jawab melalui pertemukan kelas untuk membahas dan memecahkan masalah yang menyakut kehidupan siswa di kelas atau sekolahnya, seperti pemecahan masalah bolos, tata tertib, dan sebagiannya. q) Pertemukan tindak lanjut Merupakan strategi pengembangan sikap demokratis dan bertanggung jawab melalui pertemuan terencana untuk membahas tindak lanjut dari 47 suatu kegiatan berseri di sekolah. Misalnya, simulasi rapat penyusunan laporan kegiatan siswa. r) Pertemuan perencanaan Merupakan strategi pengembangan sikap demokratis dan bertanggung jawab melalui pertemuan terencana untuk menyusun suatu rencana bersama. Misalnya, merencanakan pentas seni akhir tahun. s) Pertemuan pengembangan konsep Merupakan strategi pengembangan sikap demokrasi dan bertanggung jawab melalui pertemuan terencana untuk menyusun gagasan baru yang dimaksudkan untuk mendapat bantuan atau menyarankan program. Misalnya, menyusun gagasan tentang Desa Sejahtera, Sekolah Unggulan (Winarno, 2013: 100-103). Selainnya model pembelajaran diatas, menurut Dasim Budimansyah (2009: 103) model pembelajaran PKn yang bisa digunakan untuk membentuk dan mengembangkan keterampilan kewarganegaraan adalah model pembelajaran berbasis portofolio atau yang sekarang ini dikenal dengan Project Citizen. Menurut Paulson dan Meyer (1991) mendefinisikan portofolio sebagai kumpulan pekerjaan siswa yang menunjukkan usaha, perkembangan dan kecakapan mereka dalam satu bidang atau lebih. 3) Karakter Kewarganegaraan Pada kompetensi kewarganegaraan ini sangat lekat dengan pembelajaran nilai dalam Pendidikan Kewarganegaraan. Menurut Hern (1980) terdapat empat model pendidikan nilai moral atau budi pekerti, yaitu teknik pengungkapan nilai, analisis nilai, pengembangan kognitif moral, dan tindakan sosial (Winarno, 2013: 195). Berikut adalah penejelasannya: a) Teknik pengungkapan nilai adalah teknik yang memandang pendidikan moral dalam pengertian promotion self-awarenes and self caring dan bukan mengatasi masalah moral yang membantu mengungkapkan moral yang dimiliki peserta didik tentang hal-hal tertentu. Pendekatannya dilakukan dengan cara membantu peserta didik menemukan dan menilai/menguji nilai yang mereka miliki untuk mencapai perasaan diri. 48 b) Model analisis nilai adalah model yang membantu peserta didik mempelajari pengambilan keputusan melalui proses langkah demi langkah dengan cara sistematis. Model ini akan memberikan makna bila dihadapkan pada upaya menangani isu-isu kebijakan yang kompleks. c) Pengembangan kognitif moral adalah model yang membantu peserta didik berpikir melalui pertentangan dengan cara yang lebih jelas dan menyeluruh melalui tahapan-tahapan umum dari pertimbangan moral. d) Tindakan sosial adalah model yang bertujuan meningkatkan keefektifan peserta didik mengungkap, meneliti, dan memecahkan masalah sosial. Menurut Rath (1965) terdapat empat hal penting yang perlu diperhatikan dalam menggunakan model pendidikan moral yaitu berfokus pada kehidupan, penerimaan akan sesuatu, memelurkan refleksi lebih lanjut, dan harus mengarah pada tujuan (Winarno, 2013: 196). Model-model pada pembelajaran pembentukan kompetensi karakter atau watak kewarganegaraan tersebut melihat pendidikan moral sebagai upaya menumbuhkan kesadaran diri dan kepedulian diri, bukan pemecahan. Pada dasarnya model pengungkapan nilai berakar pada dialog yang tujuannya bukan untuk mengenalkan nilai tertentu kepada peserta didik, tetapi untuk membantu menggunakan dan menerapkan nilai dalam kehidupan (Winarno, 2013: 196). Kesimpulan yang dapat diambil berdasarkan paparan terkait model, metode dan pengetahuan teknik pembelajaran kewarganegaraan yang (civic mendukung knowledge), pembentukan keterampilan kewarganegaraan (civic skills), dan karakter atau watak kewarganegaraan (civic disposition) di atas, merupakan hal yang dapat diterapkan guru sebagai strateginya dalam pelaksanaan proses pembelajaran di kelas. Di mana semua hal itu semata-mata sebagai bentuk usaha untuk mencapai tujuan pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan. 49 3. Konsep Penghargaan Hak Perempuan a. Sejarah Perjuangan Kaum Perempuan di Indonesia Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NKRI 1945) menyebutkan bahwa, kemerdekaan adalah hak segala bangsa oleh karena itu penjajahan di muka bumi harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. Hal ini menunjukkan bahwa pemahaman hak asasi manusia sebagai nilai, konsep, dan norma yang hidup dan berekambang dalam masyarakat, harus ditegakkan dan diwujudkan (Moertati Hadiati Soeroso, 2012: 44). Sejarah perjuangan kaum perempuan Indonesia menunjukkan bahwa sejak awal abad ke-19 sejumlah tokoh perempuan telah memperjuangkan kemerdekaan dan kemandirian bangsa, termasuk meningkatkan kedudukan, peran, dan kemajuan perempuan Indonesia. Sebuah organisasi wanita yang bernama “Wanita Oetomo” pada tanggal 22 Desember 1928 berhasil mengadakan Kongres Wanita Indonesia. Dalam musyawarah dihasilkan kesepakatan untuk mempersatukan seluruh organisasi kaum perempuan dengan nama Persatoean Perempoean Indonesia (PPI). Kemudian diubah menjadi Persatoean Perkoempoelan Istri Indonesia (PPII). Selanjutnya, perkumpulan tersebut jadi cikal bakal organisasi wanita Indonesia saat ini (Moertati Hadiati Soeroso, 2012: 44). Perjuangan kaum perempuan dalam mencapai kemerdekaan bergerak dan berpikir, untuk menembus ruang dan waktu yang diciptakan tradisi dan diperkukuh oleh penjajahan. Kebebasan yang semula didambakan kaum perempuan sebelum munculnya R.A. Kartini, Dewi Sartika, serta tokoh Indonesia lainnya, telah terwujud. Lahirnya persatuan kaum perempuan tersebut kemudian dikukuhkan menjadi Hari Ibu yang jatuh pada tanggal 22 Desember. Jadi, Kongres Perempuan I yang diselenggarakan pada tanggal 22 Desember 1928 tersebut merupakan tonggak sejarah yang penting bagi “Persatuan Pergerakan Indonesia” dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pergerakan perjuangan kebangsaan Indonesia. Perjuangan 50 perempuan Indonesia yang sejak awal telah memperjuangkan hak asasinya serta penegakkannya, dinyatakan melalui pengakuan persamaan hak dengan laki-laki dalam Undang-Undang Dasar 1945 (Achie Sudiarti L, 2008 dalam Moertati Hadiati Soeroso, 2012: 44). Perjuangan meningkatkan kedudukan dan menegakkan hak perempuan, terjadi pula di tingkat dunia. Dimulai pada tahun-tahun pertama setelah berakhirnya Perang Dunia I, pada tahun 1935 wakil-wakil pemerintah di Liga Bangsa-Bangsa mulai membahas permasalahan kedudukan perempuan dan mempertimbangkannya dari aspek-aspek sipil dan politik. Setelah berakhirnya Perang Dunia II, berdirilah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Dengan ditanda tanganinya Piagam PBB di San Fransisco pada tahun 1945, PBB merupakan instrumen Internasional pertama yang menyebutkan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan. Dalam pendahuluan piagam ini, antara lain ditegaskan kembali kepercayaan bangsa-bangsa di dunia akan Hak Asasi Manusia (HAM), harkat dan martabat setiap manusia dan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan (Moertati Hadiati Soeroso, 2012: 45). Pada tahun 1948 Deklarasi Hak Asasi Manusai (DUHAM) diadopsi oleh Majelis Umum Perserikatan Bnagsa-Bangsa. Hal ini menunjukkan komitmen bangsa-bangsa di dunia untuk menjunjung tinggi dan melindungi hak kemanusiaan setiap orang tanpa perkecualian apapun, seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pandangan lain, asal usul kebangsaan atau sosial, hak milik, kelahiran atau kedudukan lain (Moertati Hadiati Soeroso, 2012: 45-46). Setelah DUHAM, lahir berbagai instrumen HAM Internasional mengenai aspek-aspek khusus tentang kedudukan perempuan dalam kehidupan berkeluarga dan bermasyarakat, antara lain Konvensi tentang Hak Politik Perempuan tahun 1958, yang diratifikasi Indonesia dengan Undang-Undang Nomor 68 Tahun 1995. Pada tanggal 18 Desember 1979, Majelis PBB mengadopsi Convention of The Elimination of All Forms of Discrimination Againt Woman (Konvensi Penghapusan Segala Bentuk 51 Diskriminasi terhadap Perempuan), disebut sebagai Konvensi Wanita atau Konvensi Perempuan. Sekarang disebut dengan Konvensi CEDAW atau CEDAW saja. Konvensi tersebut dinyatakan berlaku sebagai suatu perjanjian Internasional pada tanggal 3 September 1981, setelah 20 negara meratifikasinya. Hingga kini sudah 178 negara atau lebih dari 90% negara angota PBB meratifikasi atau menyetujuai konvensi tersebut (Moertati Hadiati Soeroso, 2012: 46). Di antara perjanjian HAM Internasional, Konvensi Perempuan merupakan konvensi tentang perlindungan dan penegakan hak-hak perempuan yang paling komprehensif dan sangat penting karena menjadikan segi kemanusiaan perempuan, yang merupakan lebih dari sebagian jumlah penduduk dunia, sebagai fokus dari keprihatinan HAM. Jiwa dari Konvensi Perempuan berakar dalam tujuan dari Piagam PBB, yaitu penegasan kembali kepercayaan pada HAM, harkat dan martabat setiap diri manusia dan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan. Konvensi Perempuan secara komprehensif memberikan rincian mengenai arti persamaan hak perempuan dan laki-laki dan langkah-langkah yang diperlukan untuk mencapainya (Achie Sudiarti, 2008 dalam Moertati Hadiati Soeroso, 2012: 45). Indonesia meratifikasi Konvensi Perempuan (CEDAW) dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita. Ratifikasi oleh pemerintah dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menjadikan prinsip-prinsip dan ketentuan-ketentuan konvensi sebagai hukum formal dan bagian dari hukum nasional. Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM), menentukan bahwa, “Ketentuan hukum internasional yang telah diterima negara Republik Indonesia yang menyangkut hak asasi manusia menjadi hukum nasional”. Konsekuensi dari ratifikasi Konvensi Internasional adalah setiap negara peratifikasi konvensi harus memberikan komitmen, menjamin untuk mengikatkan diri dengan peraturang perundang- 52 undangan, mewujudkan kesetaraan dan keadilan antara laki-laki dan perempuan serta terhapusnya diskriminasi terhadap perempuan. Indonesia sebagai salah satu negara peratifikasi konvensi terikat dengan ketentuan tersebut dan harus melaksanakan isi konvensi dengan konsekuensi (Moertati Hadiati Soeroso, 2012: 46-47). b. Hak Perempuan 1) Pengertian Hak Perempuan Hak perempuan atau Hak Asasi Perempuan menurut Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, ELSAM (2005: 1) yaitu hak yang dimiliki oleh seorang perempuan, baik karena ia seorang manusia maupun sebagai seorang perempuan, dalam khasanah hukum hak asasi manusia dapat ditemui pengaturannya dalam berbagai sistem hukum tentang hak asasi manusia. 2) Bentuk Hak Perempuan didalam Konvensi Perempuan atau CEDAW Berikut adalah isi CEDAW atau yang lebih dikenal dengan Konvensi Perempuan yang berisi tentang hak-hak perempuan secara terperinci yang dikutip dari Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, ELSAM, 2005 diakses pada tanggal 21 Juni 2015 di (http://rumah iklim. org/wp-content/uploads/2011/08/konvensi_cedaw.pdf). Bagian II a) Hak perempuan terkait Hak Sipil dan Politik 1) hak hidup 2) hak bebas dari perbudakan dan perdagangan 3) hak atas kebebasan dan keamanan pribadi 4) hak diperlakukan secara manusiawi dalam situasi apapun 5) hak atas kebebasan untuk bergerak, memilih tempat tinggal 6) hak mendapat kedudukan yang sama di hadapan hukum 7) hak diakui sebagai seorang pribadi di hadapan hukum 8) hak tidak dicampuri masalah pribadi 9) hak atas kebebasan berpikir keyakinan dan beragama 53 10) hak untuk bebas berpendapat 11) hak untuk berserikat dan bergabung dengan serikat pekerja 12) hak dalam perkawinan 13) hak untuk mendapatkan kesempatan yang sama dalam pemerintahan 14) hak mendapat perlindungan yang sama dalam perlindungan hukum 15) hak untuk berbudaya. b) Hak perempuan dalam Kehidupan Politik dan Kemasyarakatan negaranya,diatur di dalam Pasal 7 Konvensi Perempuan. Termasuk di dalam hak ini adalah : 1) Hak untuk memilih dan dipilih; 2) Hak untuk berpartisipasi dalam perumusan kebijaksanaan pemerintah dan implementasinya; 3) Hak untuk memegang jabatan dalam pemerintahan dan melaksanakan segala fungsi pemerintahan di segala tingkat; 4) Hak berpartisipasi dalam organisasi-organisasi dan perkumpulanperkumpulan non pemerintah yang berhubungan dengan kehidupan masyarakat dan politik negara. c) Hak perempuan untuk mendapat kesempatan mewakili pemerintah mereka pada tingkat internasional dan berpartisipasi dalam pekerjaan organisasi-organisasi internasional, diatur di dalam pasal 8 Konvensi Perempuan. d) Hak perempuan dalam kaitan dengan Kewarganegaraannya, diatur di dalam pasal 9 Konvensi Perempuan, yang meliputi : 1) Hak yang sama dengan pria untuk memperoleh, mengubah atau mempertahankan kewarganegaraannya. 2) Hak untuk mendapat jaminan bahwa perkawinan dengan orang asing tidak secara otomatis mengubah kewarganegaraannya atau menghilangkan kewarganegaraannya. 54 3) Hak yang sama dengan pria berkenaan dengan penentuan kewarganegaan anak-anak mereka. Pasal 7-9 Konvensi Perempuan diatas dalam hal tertentu secara jelas menegaskan kembali hak-hak yang harus dimiliki oleh perempuan lebih detil daripada Kovenan Hak Sipil dan Politik. Hanya saja ada beberapa pasal yang di dalam Kovenan tidak dicantumkan di dalam Konvensi Perempuan. Hal itu tidak berarti bahwa perempuan tidak memiliki hak politik dan sipil selain yang tertera di dalam Konvensi Perempuan, namun karena sifatnya menguatkan dan saling melengkapi, apa yang ada di dalam Kovenan Hak Sipil dan Politik yang tidak tertera dalam Konvensi Perempuan tetap menjadi hak perempuan (Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, ELSAM, 2005 : 11-12). Bagian III CEDAW Pasal 2 Kovenan tersebut menyatakan bahwa hak yang sama antara laki-laki dan perempuan untuk menikmati, hak-hak ekonomi, sosial dan budaya yang secara garis besar yang meliputi : a) Hak untuk mencari nafkah dan memilih pekerjaan (pasal 6); b) Hak menikmati kondisi kerja yang adil & menguntungkan (pasal 7); c) Hak untuk membentuk serikat pekerja, terlibat dalam serikat pekerja (pasal 8); d) Hak atas jaminan sosial dan asuransi sosial (pasal 9); e) Hak mendapat perlindungan dalam membentuk keluarga (pasal 10); f) Hak mendapat perlindungan khusus terhadap kehamilan (pasal 10); g) Hak mendapat perilaku yang non diskriminatif (pasal 10); h) Hak atas standar kehidupan yang layak (pasal 11); i) Hak atas standar tertinggi kesehatan (pasal 12); j) Hak atas pendidikan (pasal 13); k) Hak berpartisipasi dalam kehidupan budaya, penikmatan manfaat teknologi dan kemajuan teknologi (pasal 15); l) Hak mendapat perlindungan atas karya dan budaya (pasal 15). 55 Bagian IV Pasal 16 Konvensi Perempuan menjamin tentang hak-hak perempuan di dalam perkawinan. Hak ini sebelumnya sudah diatur di dalam DUHAM, Kovenan Hak Sipil dan Politik dan Kovenan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Secara khusus Konvensi Perempuan memberi tekanan hak yang sama dalam : a) Memasuki jenjang perkawinan. b) Memilih suami secara bebas dan untuk memasuki jenjang perkawinan hanya dengan persetujuan yang bebas dan sepenuhnya. c) Hak dan tanggung jawab yang sama sebagai orang tua, terlepas dari status kawin mereka dalam urusan yang berhubungan dengan anak. d) Hak dan tanggung jawab yang sama selama perkawinan dan pada pemutusan perkawinan. Penjarakan kelahiran anak, mendapat penerangan, pendidikan untuk menggunakan hak tersebut. e) Hak dan tanggung jawab yang sama berkenaan dengan perwalian, pemeliharaan, pengawasan, dan pengangkatan anak. f) Hak pribadi yang sama sebagai suami isteri, termasuk untuk memilih nama keluarga, profesi dan jabatan. g) Hak sama untuk kedua suami isteri berhubungan dengan pemilikan atas perolehan, pengelolaan, penikmatan dan pemindahan harta benda. c. Penghargaan Hak Perempuan 1) Pelanggaran Hak Perempuan Perempuan merupakan salah satu golongan yang rentan akan tindak kekerasan dalam kehidupan bermasyarakat. Hal ini dapat dibuktikan dengan beberapa gambaran dalam bentuk tabel sebagai berikut: Tabel mengenai Kekerasan terhadap Perempuan (KtP) yang pernah terjadi di Indonesia menurut MB. Wijaksana dan Jaorana Amiruddin (2005: 17-20): 56 Tabel 2.1 Jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan tahun 2001 sampai dengan tahun 2004 No. Tahun Jumlah Kasus Kekerasan 1. 2004 13.968 kasus 2. 2003 7.787 kasus 3. 2002 5.163 kasus 4. 2001 3.169 kasus Sumber: Catatan Tahunan tentang Kekerasan terhadap Perempuan 2005, Komnas Perempuan Tabel 2.2 Jenis dan jumlah kekerasan dalam rumah tangga (data dari 43 organisasi perempuan, tahun 2004) No Jenis kekerasan dalam RT Jumlah 1. Kekerasan terhadap Istri 1.782 2. Kekerasan dalam Pacaran 321 3. Kekerasan terhadap Anak Perempuan 251 4. Pekerja Rumah Tangga 71 5. Kekerasan Ekonomi 28 TOTAL 2.453 Sumber: Catatan Tahunan tentang Kekerasan terhadap Perempuan 2005, Komnas Perempuan Tabel 2.3 Gambaran umum: jumlah perempuan korban kekerasan tahun 2014 Sumber : Publikasi Komnas Perempuan, Juni 2014 Keterangan KTP : Kekerasan Terhadap Perempuan 57 Selain survei yang dilakukan oleh Komnas Perempuan diatas, data terkait pelanggaran hak perempuan juga dapat ditemukan pada sumber lain yaitu BPS dan Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan. Berdasarkan survei kekerasan terhadap perempuan dan anak tahun 2006 oleh BPS dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan mengenai tindak kekerasan terhadap perempuan menurut pelaku, menunjukkan bahwa: sebanyak 51,1% (dilakukan oleh suami); 11,7% (dilakukan oleh orang tua/mertua, anak/cucu, dan famili); 19,6% (dilakukan oleh tetangga); 0,2% (dilakukan oleh guru); dan 8,0% (dilakukan oleh lainnya) (Guse Prayudi, 2012: 2). Berdasarkan keterangan yang ditunjukkan oleh tabel-tabel di atas mengenai tindak kekerasan terhadap perempuan yang merupakan tindakan pelanggaran hak perempuan, maka penghargaan hak perempuan sudah semestinya dibangun pada setiap individu-individu bangsa Indonesia agar peristiwa kekerasan terhadap perempuan dapat diminimalisasi. Secara umum, penghargaan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2002) adalah perbuatan, menghargai dan menghormati. Dapat diartikan pula mengindahkan, dan memandang penting Sedangkan menurut Muhammad Irfan F (2009) dalam artikelnya yang berjudul Arti Sebuah Penghargaan menyatakan bahwa wujud dari penghargaan atas diri manusia, menjaga harkat martabat manusia atau sekarang ini dikenal sebagai Hak Asasi Manusia (www.maknahidup. blogdetik.com/2009/11/01artisebuah-penghargaan/ yang di akses pada tanggal 19 maret 2015). Jadi dapat diambil kesimpulan bahwa penghargaan hak perempuan adalah penunjukkan sikap menghargai terhadap adanya hak perempuan sebagai bagian dari hak asasi manusia yang melekat pada setiap manusia itu sendiri. Penghargaan terhadap hak perempuan sudah seharusnya diberikan oleh setiap orang karena mereka saling memiliki hak asasi 58 manusia itu sendiri, dan hal itu telah secara lahir ada pada mereka termasuk didalamnya hak perempuan. Selain itu hak perempuan harus kita hargai, kita akui, kita junjung tinggi dan kita lindungi karena hak perempuan sebagai hak asasi manusia itu sendiri secara tegas dinyatakan didalam Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 secara umum dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1948 yang merupakan ratifikasi dari CEDAW secara khusus, dan peraturan-peraturan lain yang mendukung. Kita sebagai warga negara Indonesia sudah semestinya menaati apa yang menjadi cita-cita dan tujuan dari bangsa Indonesia, menjadi warga negara yang baik sesuai nilai-nilai luhur bangsa Indonesia dengan melaksanakan apa yang tertuang didalam Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 dan peraturan-peraturan lain dibawah Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945. Penghargaan hak perempuan bisa digambarkan bahwa kita melaksanakan hak asasi manusia khususnya hak perempuan dalam suatu tindakan, sikap, dan perilaku dalam berkehidupan berbangsa dan bernegara. Pelaksanaan penghargaan terhadap hak perempuan berupa mengakui bahwa hak perempuan sebagai bagian dari Hak Asasi Manusia ada dan dijamin oleh instrumen hukum nasional Indonesia, kemudian menunjukkan sikap menghormati, menghargai, menjunjung tinggi, melindungi dan menegakkan hak perempuan itu sendiri sehingga meminimalisasi dan bahkan meniadakan pelanggaran terhadap hak perempuan. Dengan demikian kita memberikan sebuah penempatan istimewa atau penghargaan terhadap hak perempuan dalam berkehidupan berbangsa dan bernegara. Nilai dan sikap yang baik, dalam hal mewujudkan penghargaan hak perempuan dapat dibangun melalui pendidikan sebagai sarana yang menyentuh generasi muda secara umum. Melalui guru Pendidikan Kewarganegaraan yang mengemban tugas mata pelajaran 59 Pendidikan Kewarganegaraan yang berfokus pada membentuk warga negara yang baik, diharapkan dapat secara langsung menyalurkan pengetahuan dan nilai yang berkaitan dengan hak perempuan dalam proses pembelajaran kepada peserta didik. B. Kerangka Berpikir Menurut Uma Sekaran (1992) dalam Sugiyono, (2012: 91) menyatakan bahwa kerangka berpikir merupakan “Model konseptual tentang bagaimana teori berhubungan dengan berbagai factor yang telah diidentifisi sebagai masalah yang penting”. Berikut adalah penjabaran dari peneliti terkait kerangka berpikir dalam penelitian ini. Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) merupakan mata pelajaran yang memiliki 3 kompetensi didalamnya yaitu Civic Knowledge (Pengetahuan Kewarganegaraan), Civic Skills (Keterampilan Kewarganegaraan), dan Civic Disposition (Karakter Kewarganegaraan) yang mana ketiga kompetensi tersebut menjadi tujuan yang harus dicapai dalam proses pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan. Kegiatan pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan merupakan proses interaksi antara guru sebagai pendidik dan peserta didik atau siswa sebagai yang di didik, yang berkaitan dengan penyampaian materi-materi Pendidikan dan Kewarganegaraan, serta implementasi nilai-nilai yang terkandung didalam materi mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan, yang bertujuan untuk membentuk dan mempersiapkan siswa menjadi pribadi warga negara yang baik. Guru sebagai pelaksana pendidikan, khususnya pada hal ini guru Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) harus memiliki strategi-startegi untuk diterapkan dalam proses pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) agart tercapainya tujuan pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan yang berupaya untuk mencapai kompetensi kewarganegaraan yang harus dikuasai oleh peserta didik. Pencapaian kompetensi kewarganegaraan tersebut, sebagai bentuk mencapai tujuan akhir pendidikan kewarganegaran yaitu membentuk warga negara yang baik, dalam hal 60 ini mewujudkan peserta didik untuk menghargai dan menujukkan penghargaan terhadap hak perempuan. Berikut adalah bagan dari kerangka berpikir dalam penelitian yang dilakukan oleh peneliti pada judul “Strategi Guru Pendidikan Kewarganegaraan untuk Membentuk Kompetensi Kewarganegaraan Peserta Didik dalam Upaya Meningkatkan Penghargaan Hak Perempuan (Studi di SMA Al Islam 1 Surakarta)”. Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaran Pembentukan Kompetensi PKn : (Civic Knowledge, Civic Skills, Civic Disposition) Warga Negara yang baik (Good Citizen) Guru Strategi Penghargaan terhadap Hak Perempuan Perilaku peserta didik yang menunjukkan penghargaan terhadap hak perempuan Gambar 2.1 Skema Kerangka Berpikir C. Penelitian yang Relevan Berikut ini adalah beberapa contoh penelitian yang dianggap relevan dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti: Hasil Penelitian dari Bangun Setia Budi berjudul “Strategi Guru dalam Menghadapi Kurikulum 2013 di SMA Negeri 2 Surakarata” (2014), diketahui 61 guru menerapkan strategi-strateginya dalam menghadapi kurikulum 2013, yang merupakan pembaharuan dari kurikulum 2006 atau KTSP. Hasil penelitian dari Ika Zulaicha berjudul “Strategi Guru Pendidikan Agama Islam dalam Menanggulangi Problem Pribadi Siswa Kelas XI di SMA Negeri 1 Srandakan Bantul” pada tahun 2013, diperoleh data guru melaksanakan strategi untuk menanggulangi problem pribadi pada siswa kelas XI. Hasil penelitian dari Evi Hidayatin Ni’mah yang berjudul “Strategi Guru Akhlak dalam Mengatasi Kenakalan Siswa Kelas XI di SMA Al Hikmah Kajen Margoyoso Pati” pada tahun 2012, diketahui bahwa strategi guru digunakan dalam mengatasi kenakalan pada siswa kelas xi di SMA Al Hikmah Kajen Margono Pati. Penelitian yang dilakukan oleh peneliti dengan ketiga penelitian diatas dianggap relevan karena sama-sama meneliti mengenai startegi yang dilakukan oleh guru sebagai tenaga pendidik, pelaksana pendidikan dalam upaya mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Berdasarkan pada ketiga penelitian tersebut dengan penelitian skripsi ini adalah sebagai berikut: 1. Penelitian Bangun, obyek yang diteliti adalah guru secara umum sedangkan penelitian yang dilakukan oleh peneliti adalah pada guru mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan. 2. Peneltian Ika Zulaicha yang diteliti adalah guru Pendidikan Agama Islam dalam menanggulangi problem pribadi siswa sedangkan yang diteliti oleh peneliti adalah guru Pendidikan Kewarganegaraan dalam meningkatkan penghargaan terhadap hak perempuan. 3. Penelitian Evi, meneliti strategi guru secara umum, tidak berfokus pada guru mata pelajaran tertentu, sedangkan penelitian yang dilakukan oleh peneliti adalah startegi guru Pendidikan Kewarganegaraan, yang lebih khusus karena berfokus pada guru mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan.