10 BAB II KAJIAN PUSTAKA Pada bab ini berisi tentang kajian teori

advertisement
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Pada bab ini berisi tentang kajian teori, penelitian yang relevan dan
kerangka berpikir. Kajian teori terdiri dari, pertama adalah konsep strategi guru
Pendidikan Kewarganegaraan yang di dalamnya terdapat pengertian strategi,
pengertian guru, Pendidikan Kewarganegaraan, dan strategi guru Pendidikan
Kewarganegaraan.
Kedua
adalah
konsep
pembentukan
kompetensi
kewarganegaraan yang di dalamnya terdapat pengertian pembelajaran, strategi
pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan, kompetensi kewarganegaraan,
peserta didik, pembentukan kompetensi kewarganegaraan peserta didik, dan
pembelajaran yang mendukung pembentukan kompetensi peserta didik. Ketiga
adalah konsep penghargaan hak perempuan yang di dalamnya terdapat sejarah
perjuangan kaum perempuan, hak perempuan, dan penghargaan hak perempuan.
Selanjutnya mengenai hasil penelitian yang relevan mengambil dari beberapa
penelitian yang memiliki variabel yang mendekati dengan penelitian yang
dilakukan oleh peneliti. Kemudian untuk kerangka berpikir ditunjukkan dengan
gambar dan penjelasannya.
A. Kajian Teori
1. Konsep Strategi Guru Pendidikan Kewarganegaraan
a. Pengertian Strategi
Istilah strategi pertama kali hanya dikenal dikalangan militer,
khususnya strategi perang. Dalam sebuah peperangan atau pertempuran
terdapat seseorang (komandan) yang bertugas mengatur strategi untuk
memenangkan peperangan. Semakin hebat strategi yang digunakan (selain
kekuatan pasukan perang), semakin besar kemungkinan untuk menang.
Biasanya sebuah strategi disusun dengan mempertimbankan medan perang,
kekuatan pasukan, perlengkapan perang dan sebagainya (Suyadi, 2013: 13).
10
11
Menurut pendapat Simatupang yang dikutip dari Gulo (2008) istilah
strategi berasal dari bahasa Yunani yaitu strategos yang berarti jenderal atau
panglima, sehingga strategi diartikan sebagai “ilmu kejenderalan” atau
“ilmu kepanglimaan” (Mukhamad Murdiono, 2012: 25).
Konsep strategi telah digunakan dalam berbagai situasi, termasuk
dalam situasi pendidikan. Implementasi konsep strategi dalam kondisi
belajar mengajar ini, memunculkan pengertian sebagai berikut:
1) Strategi merupakan suatu keputusan bertindak dari guru dengan
menggunakan kecakapan dan sumber daya pendidikan yang tersedia
untuk mencapai tujuan melalui hubungan yang efektif antara lingkungan
dan kondisi yang paling menguntungkan. Lingkungan disini adalah
lingkungan yang memungkinkan peserta didik belajar dan guru mengajar.
Sedangkan kondisi dimaksudkan sebagai suatu iklim kondusif dalam
belajar dan mengajar seperti disiplin, kreativitas, inisiatif dan sebagainya;
2) Strategi merupakan garis besar haluan bertindak dalam mengelola proses
belajar mengajar untuk mencapai tujuan pengajaran secara efektif dan
efisien;
3) Strategi dalam proses belajar mengajar merupakan suatu rencana
(mengandung serangkaian aktivitas) yang dipersiapkan secara seksama
untuk mencapai tujuan-tujuan belajar;
4) Strategi merupakan pola umum perbuatan guru-peserta didik di dalam
perwujudan kegiatan belajar-mengajar. Pola ini menunjukkan macam dan
urutan perbuatan yang ditampilkan guru-peserta didik di dalam
bermacam-macam peristiwa belajar (Mulyani Sumantri dan Johar
Permana, 2001: 35-36).
Secara sederhana selaras dengan pernyataan di atas, pendapat strategi
dalam dunia pendidikan juga dikemukakan oleh J.R David yaitu “a plan,
method, or series of activities designed to achieves a particular educational
goal” (Wina Sanjaya, 2007: 126). Menurut pengertian ini strategi meliputi
rencana, metode dan perangkat kegiatan yang direncanakan untuk mencapai
tujuan yang telah ditetapkan.
Menurut J. Salusu (1996) merumuskan strategi sebagai suatu seni
menggunakan kecakapan dari sumber daya untuk mencapai sasarannya
melalui hubungan yang efektif dengan lingkungan dan kondisi yang paling
mengutungkan (Mulyani Sumantri dan Johar Permana, 2001: 35).
12
Menurut Djaramah dan Zain (2010) “Strategi mempunyai pengertian
suatu garis-garis besar haluan untuk bertindak dalam usaha mencapai tujuan
yang telah ditentukan” (Nunuk Suryani dan Leo Agung, 2012: 2).
Kemudian menurut Gulo (2002), strategi dapat diartikan sebagai ”a
plan of operation achieving something” yang artinya rencana kegiatan untuk
mencapai sesuatu (Nunuk Suryani dan Leo Agung, 2012: 2).
Selanjutnya menurut Newman dan Legan (1971) yang dikutip oleh
Supriyadi (2011: 59), strategi masuk pada proses belajar mengajar, dan jika
dihubungkan maka strategi dalam hal ini bisa diartikan sebagai pola-pola
umum kegiatan guru anak didik dalam perwujudan kegiatan belajar
mengajar untuk mencapai tujuan yang telah digariskan. Ada empat strategi
dasar dalam belajar mengajar yang meliputi hal-hal berikut:
1) Mengidentifikasi serta menetapkan spesifikasi dan kualifikasi perubahan
tingkah laku dan kepribadian anak didik sebagaimana yang diharapkan.
2) Memilih sistem pendekatan belajar mengajar berdasarkan aspirasi dan
pandangan hidup masyarakat.
3) Memilih dan menetapkan prosedur, metode, dan teknik belajar mengajar
yang dianggap paling tepat dan efektif sehingga dapat dijadikan
pegangan oleh guru dalam menunaikan kegiatan mengajarnya.
4) Menetapkan norma-norma dan batas minimal keberhasilan atau kriteria
serta standar keberhasilan sehingga dapat dijadikan pedoman oleh guru
dalam melakukan evaluasi hasil kegiatan belajar mengajar yang
selanjutnya akan dijadikan umpan balik buat penyempurnaan sistem
instruksional yang bersangkutan secara keseluruhan.
Berdasarkan beberapa pendapat mengenai strategi diatas, dapat
diambil kesimpulan bahwa pengertian strategi adalah suatu langkah,
rencana, metode dan rancangan kegiatan untuk mencapai suatu sasaran atau
tujuan tertentu. Berdasarkan atas dasar tersebut, maka dalam mencapai
tujuan pembelajaran, guru perlu melakukan langkah-langkah sebagai upaya
untuk mencapai tujuan pembelajaran yang akan di sampaikan kepada
peserta didik.
13
b. Pengertian Guru
Menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional Pasal 1, mengenai ketentuan butir 6, pendidik adalah
tenaga kependidikan yang berkualitas sebagai guru, dosen, konselor,
pamong belajar, widyaiswara, tutor, infrastruktur, fasilitator, dan sebutan
lain sesuai dengan kekhususan serta berpartisipasi dalam menyelenggarakan
pendidikan. Dengan kata lain guru adalah pendidik.
Berkaitan dengan profesional guru, bahwa Pemerintah mengeluarkan
suatu peraturan yang mengatur tentang hal tersebut yang mana terdapat pada
pasal 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 Tentang
Guru dan Dosen menyebutkan bahwa: “Guru adalah pendidik profesional
dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan,
melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia
dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah”.
Berdasarkan
Surat Edaran (SE) Mendikbud dan Kepala BAKN
Nomor 57686/mpk/1989 dinyatakan lebih spesifik bahwa: “Guru ialah
pegawai negri sipil (PNS) yang diberi tugas, wewenang, dan tanggung
jawab oleh pejabat yang berwenang untuk melaksanakan pendidikan di
sekolah (termasuk hak yang melekat dalam jabatannya)”.
Sedangkan dalam Standar Nasional Pendidikan (SNP) Pasal 28,
dikemukakan bahwa: “Pendidik harus memiliki kualifikasi akademik dan
kompetensi sebagai agen pembelajaran, sehat jasmani dan rohani, serta
memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional” (E.
Mulyasa, 2007: 53).
Sebagaimana ketentuan Undang-Undang diatas, maka untuk menjadi
guru harus mereka yang telah memenuhi syarat-syarat yang telah
ditentukan, dan salah satu persyaratan profesi guru adalah masalah
kompetensi.
Selain pengertian di atas, beberapa tokoh juga memberikan
pendapatnya terkait pengertian dari guru. Menurut Sambuan (1997) secara
etimologis, istilah guru berasal dari bahasa India yang artinya orang yang
14
mengajarkan tentang kelepasan dari sengsara. Dalam tradisi agama Hindu,
guru dikenal sebagai maharesi guna, yakni para pengajar yang bertugas
untuk mengembleng para calon biksu di bhinaya panti (tempat pendidikan
bagi para biksu). Dalam bahasa Arab, guru dikenal dengan al-mu’alim atau
al-ustadz yang bertugas memberikan ilmu dalam majelis taklim (tempat
untuk memperoleh ilmu) (Suparlan 2008: 11-12).
Selanjutnya Winarno (2013: 40) menyatakan pendapatnya mengenai
guru, sebagai berikut:
Guru sebagai tenaga profesional mengandung arti bahwa pekerjaan
guru hanya dapat dilakukan oleh seseorang yang mempunyai
kualifikasi akademik, kompetensi, dan sertifikasi pendidik sesuai
dengan persyaratan untuk setiap jenis dan jenjang pendidikan tertentu.
Kedudukan guru sebagai tenaga profesional ini berfungsi untuk
meningkatkan martabat dan peran guru sebagai agen pembelajaran
guna meningkatkan mutu pendidikan nasional.
Pernyataan Winarno di atas dapat dijabarkan sebagai berikut,
kualifikasi akademik diperoleh melalui pendidikan tinggi program sarjana
atau diploma empat. Kompetensi merupakan gambaran hakikat kualitatif
dari perilaku seseorang. Kompetensi artinya kemampuan yang dapat
ditunjukkan atau ditampilkan. Kompetensi tidak hanya berarti menguasai,
tetapi juga mampu menampilkan hasil penguasaan itu dalam suatu unjuk
kinerja atau tampilan atau tampilan kerja (Winarno, 2013: 44).
Sedangkan kompetensi menurut pendapat Cowell (1988) sebagai
suatu ketrampilan atau kemahiran yang bersifat aktif. Kompetensi
dikategorikan mulai dari tingkat sederhana/dasar hingga lebih sulit atau
kompleks yang pada gilirannya akan berhubungan dengan proses
penyususnan bahan atau pengalaman belajar yang lazimnya terdiri dari 1)
penguasaan minimal kompetensi dasar, 2) praktik kompetensi dasar, dan 3)
penambahan penyempurnaan/pengembangan terhadap kompetensi atau
keterampilan. Ketiga proses tersebut dapat terus berlanjut selama masih ada
kesempatan
untuk
melakukan
penyempurnaan
atau
pengembangan
kompetensinya. Jadi disimpulkan kompetensi merupakan satu kesatuan
15
yang utuh yang menggambarkan potensi, pengetahuan, keterampilan, dan
sikap yang dinilai, yang terkait dengan profesi tertentu, berkenaan dengan
bagian-bagian yang dapat diaktualisasikan, dan diwujudkan dalam bentuk
tindakan atau kinerja untuk menjalankan profesi tertentu (Winarno, 2013:
44).
Berdasarkan pada Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun
2005 tentang Guru dan Dosen, menyatakan kompetensi guru sebagaimana
dimaksud dalam pasal 8 meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi
kepribadian sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui
pendidikan profesi. Keempat kompetensi tersebut dapat dijabarkan sebagai
berikut:
1) Kompetensi pedagogik menurut Supriyadi, (2011, 17-18) kompetensi ini
terdiri dari lima subkompetensi, yaitu:
a) Memahami peserta didik secara mendalam, berarti guru harus
memahami peserta didik dengan memanfaatkan prinsip-prinsip
perkembangan
kognitif;
prinsip-prinsip
kepribadian
dan
mengidentifikasi bekal-ajar awal peserta didik
b) Merancang pembelajaran termasuk memahami landasan pendidikan
untuk kepentingan pembelajaran; berarti guru harus memahami
landasan kependidikan; menerapkan teori belajar dan pembelajaran,
menentukan strategi pembelajaran berdasarkan karakteristik peserta
didik, kompetensi yang ingin dicapai dan materi ajar; serta menyusun
rancangan pembelajaran berdasarkan strategi yang dipilih.
c) Melaksanakan pembelajaran, berarti guru harus menata latar (setting)
pembelajaran dan melaksanakan pembelajaran yang kondusif.
d) Merancang dan melaksanakan evaluasi pembelajaran, berarti guru
harus melakukannya secara berkesinambungan dan dengan berbagai
metode untuk menentukan ketuntasan belajar (mastery learning) dan
memanfaatkan hasil penilaian pembelajaran untuk perbaikan kualitas
program pembelajaran secara umum.
16
e) Mengembangkan peserta didik untuk mengaktualisasi berbagai
potensinya, berarti guru harus menfasilitasi peserta didik untuk
pengembangan berbagai potensi akademik, dan menfasilitasi peserta
didik untuk mengembangkan berbagai potensi nonakademik.
2) Kompetensi kepribadian menurut Supriyadi, (2011: 19) kompetensi ini
memiliki lima subkompetensi, yaitu:
a) Kepribadian yang mantap dan stabil, berarti guru harus bertindak
sesuai dengan normal hukum, norma sosial, bangga sebagai guru,
memiliki konsistensi dalam bertindak sesuai dengan norma;
b) Dewasa, berarti guru harus menampilkan kemandirian dalam
bertindak sebagai pendidik dan memiliki etos kerja sebagai guru;
c) Arif, berarti guru harus menampilkan tindakan yang didasarkan pada
kemanfaatan
peserta
didik,
sekolah,
dan
masyarakat
serta
menunjukkan keterbukaan dalam berpikir dan bertindak.
d) Berwibawa, berarti guru harus berperilaku yang berpengaruh positif
terhadap peserta didik dan memiliki perilaku yang disegani;
e) Berakhlak mulia, berarti guru harus bertindak sesuai dengan norma
religius (iman, taqwa, jujur, ikhlas, suka menolong), dan memiliki
perilaku yang diteladani peserta didik.
3) Kompetensi sosial
Menurut Supriyadi (2011: 19) kompetensi ini terdiri dari tiga
subkompetensi yaitu:
a) Mampu berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta
didik.
b) Mampu berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan sesama
pendidik dan tenaga kependidikan,
c) Mampu berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan oran
tua/wali peserta didik dan masyarakat sekitar.
Pada dasarnya interaksi guru dan siswa esensialnya adalah interkasi
sosial yang meniscayakan kompetensi sosial.
4) Kompetensi profesional
17
Sesuai dengan ketentuan yang tertuang di dalam Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen ayat (1) yang
menyatakan bahwa “guru adalah pendidik profesional...” maka sebagai
seorang profesional, guru harus memiliki kompetensi keguruan yang
cukup. Kompetensi keguruan tersebut dapat dilihat pada kemampuannya
dalam melaksanakan beberapa konsep, asas kerja sebagai guru, mampu
mendemontrasikan beberapa strategi maupun pendekatan pengajaran
yang kreatif, menarik, interaktif, jujur, disiplin dan konsisten.
Guru yang profesionalis, harus memiliki kriteria-kriteria tertentu
yang positif, sepert menurut Gilbert H. Hunt (1999) yang dikutip oleh
Winarno (2013: 42), menyatakan bahwa guru yang baik itu harus
memenuhi tujuh kriteria, yaitu:
a)
b)
c)
d)
e)
f)
g)
sifat positif dalam membimbing siswa;
pengetahuan yang memadai dalam mata pelajaran yang dibina;
mampu menyampaikan materi pelajaran secara lengkap;
mampu menguasai metodologi pembelajaran;
mampu memberikan harapan riil terhadap siswa;
mampu mereaksi kebutuhan siswa; dan
mampu menguasai manajemen kelas.
Jadi dari beberapa pernyataan diatas dapat diambil kesimpulan
bahwa guru adalah pelaksana pendidikan yang berupaya mewujudkan
tujuan pendidikan nasional di mana untuk seorang guru, haruslah mereka
yang memenuhi syarat untuk melaksanakan profesi guru dengan
memiliki empat kompetensi, yaitu kompetensi pedagogik, kompetensi
kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang didapat
oleh seorang guru dengan melalui pendidikan profesi.
c. Pendidikan Kewarganegaraan
1) Pengertian Pendidikan Kewarganegaraan
Berdasarkan Pasal 37 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas (Sistem Pendidikan Nasional),
dinyatakan bahwa Pendidikan Kewarganegaraan, yang merupakan
18
wahana pokok pendidikan kesadaran berkonstitusi, merupakan salah satu
muatan wajib kurikulum pendidikan dasar dan menengah dan pendidikan
tinggi. Kesadaran berkonstitusi yang dimaksud adalah sadar akan
kandungan, isi dan nilai yang termuat didalam Konstitusi bangsa
Indonesia, yaitu Undang-Undang Dasar 1945.
Menurut Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi,
Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) diartikan sebagai mata pelajaran
yang menfokuskan pada pembentukan warga negara yang memahami
dan mampu melaksanakan hak-hak dan kewajibannya untuk menjadi
warga negara Indonesia yang cerdas, terampil, dan berkarakter yang
diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945 (Winarno, 2013: 18).
Pendidikan Kewarganegaraan adalah suatu bidang kajian yang
mempunyai obyek telaah kebajikan dan budaya kewarganegaraan,
dengan menggunakan disiplin ilmu pendidikan dan ilmu politik sebagai
kerangka kerja keilmuan pokok serta disiplin ilmu lain yang relevan yang
secara koheren diorganisasikan dalam bentuk program kurikuler
kewarganegaraan,
aktivitas
sosial-kultural,
dan
kajian
ilmiah
kewarganegaraan (Syahrial Syabani dkk, 2006: 4).
Menurut Winataputra (2005) mengartikan bahwa Pendidikan
Kewarganegaraan sebagai suatu bidang kajian yang mempunyai objek
telaah kebajikan dan budaya kewarganegaraan, menggunakan disiplin
ilmu pendidikan dan ilmu politik sebagai kerangka kerja keilmuan pokok
serta
disiplin
ilmu
lain
yang
relevan,
yang
secara
koheren,
diorganisasikan dalam bentuk program kurikuler kewarganegaraan,
aktivitas
sosial-kultural
kewarganegaraan,
dan
kajian
ilmiah
kewarganegaraan (Winarno, 2013: 7).
Menurut
Aziz
Wahab,
menyatakan
bahwa
Pendidikan
Kewarganegaraan merupakan salah satu bidang kajian yang mengemban
misi kemanusiaan nasional untuk mencerdaskan kehidupan bangsa
Indonesia melalui koridor “Value-Based-Education”. Konfigurasi atau
19
kerangka sistematik Pendidikan Kewarganegaraan dibangun atau dasar
paradigma atau landasan sebagai berikut:
a) Pendidikan Kewarganegaraan secara kurikuler dirancang sebagai
pembelajaran yang bertujuan untuk mengembangkan potensi individu
agar menjadi warga negara Indonesia yang berakhlak mulia, cerdas,
partisipatif, dan bertanggung jawab.
b) Pendidikan Kewarganegaraan secara teoritik dirancang sebagai subjek
pembelajaran yang memuat dimensi-dimensi kognitif, afektif, dan
psikomotorik yang bersifat konfluen atau saling berpenetrasi dan
terintegrasi dalam konteks substansi ide, nilai, konsep, dan moral
Pancasila,kewarganegaraan yang demokratis, dan bela negara.
c) Pendidikan kewarganegaraan secara programatik dirancang sebagai
subjek pembelajaran yang menekankan pada isi yang mengusung
nilai-nilai (contemtembedding value) dan pengalaman belajar
(learning experiences) dalam bentuk berbagai perilaku yang perlu
diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari dan merupakan tuntutan
hidup bagi warga negara dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara sebagai penjelmaan lebih lanjut dari ide, nilai, konsep,
dan moral Pancasila, kewarganegaraan yang demokratis, dan bela
negara (Winataputra dan Budimansyah, 2007: 86).
Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa Pendidikan
Kewarganegaraan adalah mata pelajaran yang memiliki makna mengenai
kewarganegaraan, yang wajib untuk diterima peserta didik dari jenjang
dasar sampai perguruan tinggi, yang bertujuan untuk membentuk dan
mempersiapkan peserta didik menjadi warga negara yang baik. Sebagai
warga negara yang baik maka perlu didukung kemampuan dalam berpikir
kritis, bertanggung jawab, demokratis sehingga mampu berpartisipasi dan
bersaing dengan tetap memegang teguh karakter bangsa Indonesia yang
mampu mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang
Dasar 1945 didalam berkehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara.
2) Tujuan Pendidikan Kewarganegaraan
Tujuan umum dan sederhana dari Pendidikan Kewarganegaraan
atau civic education menurut Sapriya dan Aziz Wahab (2009) adalah
membentuk warga negara yang baik (good citizen). Hampir semua orang
20
sepakat bahwa tujuan Pendidikan Kewarganegaraan adalah membentuk
warga negara yang baik (Winarno dan Wijianto, 2010: 6).
Merujuk pada Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) sebagai mata
pelajaran di sekolah, maka berdasarkan Permendiknas Nomor 22 tahun
2006 tentang standar isi, dalam lampirannya dijelaskan bahwa tujuan
Pendidikan Kewarganegaraan pada siswa sekolah ialah sebagai berikut:
a) Agar peserta didik memiliki kemampuan berfikir kritis, rasional, dan
kreatif dalam menanggapi isu kewarganegaraan.
b) Berpartisipasi secara aktif dan bertanggung jawab dan bertindak
secara cerdas dalam kegiatan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara
c) Berkembang secara positif dan demokratis untuk membentuk diri
berdasarkan karakter-karakter masyarakat Indonesia agar dapat hidup
bersama dengan bangsa-bangsa lainya.
d) Berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain dalam percaturan dunia secara
langsung atau tidak langsung dengan memanfaatkan teknologi
informasi dan komunikasi (Badan Standar Nasional Pendidikan, 2006:
155-156).
d. Strategi Guru Pendidikan Kewarganegaraan
Pendidikan merupakan upaya sadar mengembangkan manusia menuju
kedewasaan, baik kedewasaan intelektual, sosial, maupun kedewasaan
moral.
Oleh
karena
itu
maka
proses
pendidikan
bukan
hanya
mengembangkan intelektual saja, tetapi mencakup seluruh potensi yang
dimiliki anak didik. Dengan demikian, pendidikan pada dasarnya
memberikan pengalaman belajar untuk dapat mengembangkan seluruh
potensi yang dimiliki siswa, melalui proses interaksi baik antara siswa
dengan siswa, siswa dengan guru, atau siswa dengan lingkungan (Wina
Sanjaya, 2008: 178).
Menurut Raka Joni (1980: 2), dalam pandangan psikologi modern,
belajar bukan sekedar menghafal sejumlah fakta atau informasi, akan tetapi
peristiwa mental dan proses pengalaman. Oleh karena itu, setiap peristiwa
pembelajaran menuntut keterlibatan intelektual-emosional siswa melalui
asimilasi dan akomodasi kognitif untk mengembangkan pengetahuan,
tindakan,
serta
pengalaman
langsung
dalam
rangka
membentuk
21
keterampilan (motorik, kognitif, dan sosial), penghayatan serta internalisasi
nilai-nilai dalam pembentukan sikap.
Berdasarkan pada pernyataan diatas, tentunya membuat guru memiliki
posisi yang strategis pada bidang pendidikan terutama pada proses kegiatan
pembelajaran yang menimbulkan pengalaman belajar pada peserta didik.
Khususnya guru Pendidikan Kewarganegaraan, yang tidak hanya berfokus
pada menstransfer ilmu pengetahuan saja tetapi turut menstranfer nilai-nilai
yang terkandung di dalam bahan ajar. Tentunya proses dalam berkegiatan
tersebut guru memerlukan suatu strategi dalam proses pembelajaran yang
mendukung tercapainya tujuan pembelajaran.
Guru Pendidikan Kewarganegaraan yang secara khusus turut
membentuk karakter pada peserta didik perlu melaksanakan strategi-strategi
untuk mencapai tujuan Pendidikan Kewarganegaraan, yaitu mewujudkan
warga negara yang baik. Tentu strategi yang dilakukan guru Pendidikan
Kewarganegaraan tidak terlepas untuk mewujudkan dan memenuhi
kompetensi kewarganegaraan yang harus di bekali kepada setiap peserta
didik, yaitu Civic Knowledge (Pengetahuan Kewarganegaraan), Civic Skills
(Keterampilan Kewarganegaraan), dan Civic Disposition (Karakter/Watak
Kewarganegaraan) sebagai upaya dalam membangun karakter warga negara
yang baik.
Perlunya strategi guru Pendidikan Kewarganegaraan dilaksanakan,
tidak terlepas dari pentingnya pelaksanaan Pendidikan Kewarganegaraan itu
sendiri. Pendidikan Kewarganegaraan memuat subtansi kehidupan yang
luas, yang menyangkut hubungan antar manusia dalam berkehidupan,
melaksanakan demokrasi dan bernegara sebagai warga negara.
Pernyatan
di
atas
mengenai
strategi
guru
Pendidikan
Kewarganegaraan, selaras dengan yang di ungkapkan oleh Margaret
Stimmann Branson (1999), selaku Associate Director Center for Civic
Education pada jurnalnya yang berjudul The Role of Civic Education A
Forthcoming Education Policy Task Force Position Paper from the
Communitarian Network, sebagai berikut:
22
Civic education, therefore, is-or should be-a prime concern. There is
no more important task than the development of an informed,
effective, and responsible citizenry. Democracies are sustained by
citizens who have the requisite knowledge, skills, and dispositions.
Absent a reasoned commitment on the part of its citizens to the
fundamental values and principles of democracy, a free and open
society cannot succeed. It is imperative, therefore, that educators,
policymakers, and members of civil society make the case and ask for
the support of civic education from all segments of society and from
the widest range of institutions and governments (di akses pada
tanggal 12 desember 2015 di http://www.civiced.org/papers/articles
_role.html di akses pada 27 November 2015).
Makna yang dapat diambil dari pernyataan Margaret di atas adalah
Pendidikan Kewarganegaraan sudah seharusnya menjadi perhatian utama.
Dengan tugas penting yaitu pengembang warga informasi, efektif, dan
bertanggung jawab. Demokrasi yang ditopang oleh warga negara yang
memiliki syarat pengetahuan, keterampilan, dan karakter. Tidak adanya
komitmen pada warga negara terkait nilai-nilai dan prinsip-prinsip demokrasi
yang mendasar akan menjadikan masyarakat yang bebas dan terbuka tidak
dapat berhasil. Maka penting seorang pendidik, pembuat kebijakan, dan
anggota
masyarakat
sipil
berharap
dukungan
terhadap
Pendidikan
Kewarganegaraan, dari semua segmen masyarakat dan dari jangkauan terluas
lembaga dan pemerintah.
Pernyataan di atas mendukung bahwa melalui strategi yang diterapkan
oleh guru Pendidikan Kewarganegaraan, berkontribusi pada terciptanya
warga negara yang melaksanakan demokrasi. Strategi guru dalam membentuk
peserta didik menjadi warga negara yang
memiliki pengetahuan,
keterampilan dan karakter yang mendukung pelaksanaan demokrasi. Salah
satu bentuk demokrasi adalah mampu melaksanakan hak serta kewajiban
sebagaimana warga negara yang baik. Jadi dengan adanya strategi yang
dilakukan guru Pendidikan Kewarganegaraan kepada peserta didik adalah
untuk mempersiapkan peserta didik menjadi warga negara yang baik, dengan
pemenuhan
pengetahuan,
keterampilan,
dan
karakter
(kompetensi
kewarganegaraan) dalam hal ini mengenai hak dan kewajiban khususnya
23
mengenai pelaksanaan hak perempuan sebagai bentuk mewujudkan
kehidupan demokrasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
2. Konsep Pembentukan Kompetensi Kewarganegaraan Peserta Didik
a. Pengertian Pembelajaran
Pembelajaran menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional, adalah “Proses interaksi peserta
didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan
belajar”. Undang-undang tersebut menjelaskan bahwa pembelajaran
terjadi apabila ada interaksi yang tercipta antara guru dan peserta didik.
Tidak adanya interaksi menandakan bahwa pembelajaran tidak berjalan
dengan optimal.
Pembelajaran adalah usaha sadar yang dilakukan oleh guru atau
pendidik untuk membuat siswa atau peserta didik belajar (mengubah
tingkah laku untuk mendapatkan kemampuan baru) yang berisi suatu
sistem atau rancangan untuk mencapai suatu tujuan (Khanifatul,
2013:14).
Menurut Soematri (2001) pembelajaran merupakan proses
pendidikan secara utuh dan menyeluruh terhadap pembentukan karakter
individu sebagai warga negara yang cerdas dan baik. Hal ini tentunya
berkaitannya dengan Pendidikan Kewarganegaraan Indonesia (Winarno,
2013: 71).
Selanjutnya menurut Kosasih Djahiri (2006), pembelajaran
Pendidikan Kewarganegaraan adalah program pendidikan secara
programatik prosedural berupaya memanusiakan (humanizing) dan
membudayakan
(culturing)
serta
memberdayakan
(empowering)
manusia/anak didik (diri dan lingkungannya) menjadi warga negara yang
baik dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) (Winarno,
2013: 71).
24
Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa proses
pembelajaran muncul karena adanya interaksi antara pendidik (guru)
dengan yang di didik (peserta didik/siswa). Proses pembelajaran ini
bertujuan untuk menjadikan peserta didik sebagai individu yang baik,
dalam pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan maka
berupaya
memanusiakan (humanizing) dan membudayakan (culturing) serta
memberdayakan
(empowering)
manusia/anak
didik
(diri
dan
lingkungannya) menjadi warga negara yang baik dalam Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI).
b. Strategi Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan
Strategi pembelajaran PKn di setiap jenjang sekolah (SD,
SMP/MTs, SMA/MA) bahkan perguruan tinggi sangatlah penting. Hal
ini dikarenakan penggunaan strategi akan mempermudah proses
pembelajaran mencapai tujuan PKn yang optimal. Tanpa strategi yang
jelas, proses pembelajaran tidak terarah sehingga tujuan pembelajaran
sulit tercapai dan tidak optimal (Winarno, 2013: 71).
Menurut Made Wena (2009: 73) menyatakan bahwa strategi
pembelajaran didefinisikan sebagai cara dan seni untuk menggunakan
semua sumber belajar dalam upaya membelajarkan siswa. Sebagai suatu
cara, strategi pembelajaran dikembangkan dengan kaidah-kaidah tertentu
sehingga membentuk suatu bidang pengetahuan tersendiri. Sebagai suatu
seni, strategi pembelajaran kadang-kadang dimiliki seseorang tanpa
pernah belajar formal tentang strategi pembelajaran.
Sedangkan strategi pembelajaran menurut USAID (United States
Agency
for
Internasional)
atau
Badan
Bantuan
Pembangunan
Internasional Amerika dalam program “Aktive Learning in School”
(2007) dapat dijabarkan sebagai berikut:
1) Curah pendapat, yaitu strategi pembelajaran yang efektif untuk
mengetahui apa yang telah diketahui oleh siswa, misalnya seorang
guru meminta siswa menjelaskan sebab dan akibat sebuah peristiwa
alam seperti banjir.
25
2) Studi Kasus, yaitu strategi pembelajaran dengan memanfaatkan situasi
atau masalah yang dapat memberikan siswa pembelajaran bermakna
dan bermanfaat. Biasanya, guru/dosen memberikan sebuah cerita yang
berkaitan dengan konsep ataupun keterampilan yang akan dipelajari.
Siswa kemudian berdiskusi untuk melakukan analisis, sintesa, dan
evaluasi atas fakta-fakta ataupun situasi yang ada dalam kasus
tersebut.
3) Demonstrasi, yaitu strategi pembelajaran dengan memperlihatkan
bagaimana kita melakukan sesuatu yang kemudian diamati dan
dibahas.
4) Penemuan, yaitu strategi pembelajaran dimana siswa didorong untuk
menemukan pengetahuan atau konsep baru sendiri.
5) Jigsaw, yaitu kegiatan pembelajaran yang mendorong kerjasama
dalam kelompok. Setiap anggota memahami dan mendalami bagian
sesuatu untuk kemudian digabung menjadi satu dengan bagian-bagian
lain yang dipelajari oleh anggota-anggota kelompok lain, sehingga
diperoleh suatu pemahaman bersama.
6) Kegiatan lapangan, yaitu kegiatan di luar kelas untuk mempelajari
situasi baru dan berbeda. Siswa juga dapat melakukan survei untuk
proyek pelajaran sosial, ataupun membuat peta lingkungan sekitar
untuk matematika, ataupun menggunakan keterampilan berbahasa
yang baru untuk memperoleh pengetahuan baru.
7) Ceramah, yaitu kegiatan pembelajaran yang menekankan pada
penyampaian informasi secara verbal dan cenderung searah
(dosen/guru kepada siswa).
8) Diskusi kelompok, yaitu kegiatan pembelajaran yang mendorong
siswa untuk berinteraksi dan membantu memahami pendapat yang
berbeda yang mungkin muncul selama kegiatan berlangsung. Kegiatan
ini mendorong siswa untuk menghargai perbedaan pendapat.
9) Pembicara tamu, yaitu kegiatan pembelajaran dengan mendatangkan
orang ahli dalam bidang tertentu yang bisa melakukan sesuatu yang
guru atau dosen tidak bisa lakukan. Ini dapat memberi suasana baru
dan segar.
10) Tulis Berantai, yaitu strategi yang pada dasarnya merupakan kegiatan
curah pendapat, tetapi dalam bentuk tulisan. Kegiatan ini bisa antar
individu dalam kelompok atau antar kelompok dalam kelas.
11) Debat, yaitu diskusi antara dua belah pihak dengan pendapat yang
berbeda dan bahkan bertentangan, terutama berkaitan dengan
masalah-masalah yang kontroversial.
12) Bermain peran, yaitu strategi dimana siswa memainkan peran yang
berbeda-beda dalam situasi tertentu dan secara spontan memainkan
peran sesuai dengan situasi atau kasus yang diberikan. Melalui
kegiatan ini memungkinkan siswa untuk melakukan analisa dan
memecahkan masalah.
26
13) Simulasi, yaitu kegiatan pembelajaran yang memungkinkan siswa
untuk mencoba dan melakukan sesuatu pada situasi yang
dikondisikan.
14) Tugas proyek, yaitu kegiatan pembelajaran dengan memberikan suatu
tugas kepada siswa dalam waktu tertentu secara individu atau
kelompok untuk menghasilkan sesuatu.
15) Presentasi, yaitu kegiatan pembelajaran yang memberikan kesempatan
kepada siswa untuk mempresentasikan hasil yang telah dipelajari atau
diteliti.
16) Penilaian sejawat, yaitu kegiatan saling memberikan penilaian dan
masukan atas hasil karya teman sendiri. Dalam kegiatan ini siswa
saling bertukar hasil karya.
17) Bola salju, kegiatan pembelajaran yang memberikan kesempatan
individu untuk berpendapat, kemudian dipadukan secara berpasangan
atau kelompok, dan yang teakhir secara klasikal untuk mendapatkan
pandangan dari seluruh siswa atau siswa di kelas.
18) Kunjung karya, yaitu kegiatan untuk saling melihat hasil karya orang
lain untuk belajar bertanya, memberikan komentar dan saran.
Sementara pihak yang dikunjungi menjawab, menanggapi komentar
dan saran secara produktif. Dalam kegiatan ini siswa bergerak
mengamati karya-karya mereka.
19) Pembelajaran dengan audio visuals, yaitu strategi pembelajaran yang
menggunakan audio visual dapat memberikan dimensi lain pada
pembelajaran dan selain itu materi audio visual efektif menjangkau
pembelajar dengan gaya belajar yang berbeda-beda (Winarno, 2013:
79).
Hal lain di ungkapkan oleh Wina Sanjaya (2007: 272), bahwa
strategi pembelajaran terdiri dari empat yaitu strategi pembelajaran
berbasis masalah; strategi pembelajaran kooperatif; strategi pembelajaran
kontekstual; dan strategi pembelajaran afektif. Berikut penjelasannya:
1. Strategi pembelajaran berbasis masalah
Pembelajaran berbasis masalah (problem based learning) adalah
pembelajaran yang menggunakan masalah sebagai materi
pembelajaran bagi siswa, sehingga siswa dapat belajar berpikir kritis
dan terampil memecahkan berbagai masalah untuk memperoleh
konsep atau pengetahuan yang esensial.
2. Strategi pembelajaran kooperatif
Pembelajaran kooperatif dirancang untuk membantu terjadinya
pembagian tanggung jawab ketika siswa mengikuti pembelajaran.
Siswa lebih banyak belajar melalui proses pembentukan (construction)
dan penciptaan, kerja dengan tim, dan berbagi pengetahuan sesama
siswa.
27
3. Strategi pembelajaran kontektual
Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching Learning) atau biasa
di singkat CTL merupakan konsep pembelajaran dengan dunia
kehidupan nyata sehingga peserta didik mampu menghubungkan dan
menerapkan kompetensi hasil belajar dalam kehidupan sehari-hari.
4. Strategi pembelajaran afektif
Strategi pembelajaran afektif merupakan suatu metode dalam proses
pembelajaran yang menekankan pada nilai dan sikap yang diukur, oleh
karena itu menyangkut kesadaran seorang yang tumbuh dari dalam.
Secara kopseptual, strategi dalam citizenship education berada pada
garis kontinum, bergerak dari strategi belajar tentang demokrasi, belajar
melalui demokrasi dan belajar untuk membangun demokrasi. Intinya
adalah pembelajaran tidak hanya mengajarkan tentang apa itu demokrasi
tetapi belajar dalam suasana demokratis dan membelajarkan siswa agar
mampu membangun peradaban demokratis (Winarno, 2013: 88).
Strategi pembelajaran yang telah dijabarkan di atas dapat dilakukan
oleh guru dalam melaksanakan strateginya terhadap proses pembelajaran
Pendidikan Kewarganegaraan (PKn). Strategi-strategi pembelajaran
tersebut dapat mendukung guru Pendidikan Kewarganegaraan (PKn)
untuk mencapai tujuan pembelajaran dan membentuk peserta didik
menjadi warga negara yang baik serta memaksimalkan proses
pembelajaran di kelas.
c. Kompetensi Kewarganegaraan
Menurut Branson (1998), ada tiga kompetensi kewarganegaraan,
yaitu kecerdasan warga negara (Civic Intellegence), membina tanggung
jawab warga negara (Civic Responsibility) dan mendorong partisipasi
warga negara (Civic Participation). Tiga kompetensi warga negara
tersebut sejalan dengan tiga komponen pendidikan kewarganegaraan
yang baik, yaitu Pengetahuan Kewarganegaraan (Civic Knowledge),
Keterampilan Kewarganegaraan (Civic Skills), dan Karakter atau Watak
Kewarganegaraan (Civic Disposition) (di akses pada tanggal 27
November 2015 di http://civiced.org).
28
Warga negara yang memiliki pengetahuan kewarganegaraan akan
menjadi warga negara yang cerdas. Warga negara yang memiliki
keterampilan kewarganegaraan akan menjadi warga negara yang
partisipasif,
sedangkan
warga
negara
yang
memiliki
karakter
kewarganegaraan akan menjadi warga negara yang bertanggung jawab
(Winarno, 2013: 19).
Berikut ini merupakan penjabaran dari ketiga komponen
pendidikan Kewarganegaraan yaitu Pengetahuan Kewarganegaraan
(Civic Knowledge), Keterampilan Kewarganegaraan (Civic Skills), dan
Karakter atau Watak Kewarganegaraan (Civic Disposition):
1) Pengetahuan Kewarganegaraan (Civic Knowledge)
Menurut Udin S. Winataputra dan Dasim Budimansyah (2007:
186) berpendapat “Civic Knowledge (pengetahuan kewarganegaraan)
berkaitan dengan kandungan atau apa yang seharusnya diketahui oleh
warga
negara”.
Jadi
dapat
disimpulkan
bahwa
pengetahuan
kewarganegaraan adalah pengetahuan yang harus diketahui warga
negara seperti pengetahuan tentang hak dan kewajiban, pengetahuan
politik, pengetahuan hukum, pengetahuan konstitusi dan sebagainya.
Dikatakan bahwa, “civic-related knowledge, both historical and
contemporery, such as understanding the structure and mechanics of
contitutional goverment, and knowing who the local political actor
are and how democratic institutions fungtion”.
2) Keterampilan Kewarganegaraan (Civic Skills)
Menurut Udin S. Winataputra dan Dasim Budimansyah (2007:
188) “Civic Skills (kecakapan atau keterampilan kewarganegaraan)
mencakup kecakapan atau keterampilan warga negara dalam
berkomunikasi dan bekerja sama dengan orang lain serta mampu
berpartisipasi akif sebagai wujud warga negara yang baik.
3) Watak Kewarganegaraan (Civic Disposition)
Menurut Udin S. Winataputra dan Dasim Budimansyah (2007:
191) “Civic Disposition (watak atau karakter kewarganegaraan)
29
mengisyaratkan pada karakter publik maupun privat yang penting bagi
pemeliharaan dan pengembangan demokrasi konstitusional”. Jadi
dapat diambil kesimpulan bahwa karakter kewarganegaraan secara
privat menekankan pada tanggung jawab moral, disiplin diri, dan
dapat menghargai martabat manusia dari setiap individu. Sementara
karakter publik menekankan pada kepedulian sebagai warga negara,
kesopanan, mengindahkan aturan main, berpikir kritis.
Guru Pendidikan Kewarganegaraan memiliki posisi yang strategis
dalam mewujudkan peserta didik menjadi warga negara yang baik.
Berpegang pada kompetensi yang terkandung didalam mata pelajaran
Pendidikan Kewarganegaraan yaitu civic knowledge, civic skills dan civic
disposition, guru dapat menguraikan nilai-nilai yang terkandung di dalam
materi atau bahan ajar pada setiap kompetensi kewarganegaraan sebagai
upaya mencapai tujuan pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan.
Strategi guru Pendidikan Kewargenegaraan tersebut akan berpengaruh
pada terwujudnya sikap peserta didik yang berbudi baik dan luhur
sebagai warga negara yang baik.
d. Peserta Didik Remaja
1) Pengertian Remaja
a) Remaja menurut hukum
Menurut undang-undang perkawinan usia minimal untuk
suatu perkawinan untuk putri 16 tahun untuk putra 19 tahun. Pada
usia tersebut mereka sudah bukan lagi sebagai anak-anak tetapi
dianggap sudah dewasa. Dalam ilmu-ilmu sosial usia antara 16
sampai 22 tahun disejajarkan dengan pengertian remaja (Chasiyah,
Chadidjah HA, Edy Legowo, 2009: 42).
b) Remaja ditinjau dari pertumbuhan fisik
Dari sudut fisik remaja dikenal sebagai suatu tahap dimana
alat kelamin manusia mencapai kematangan. Pematangan fisik
berjalan kurang lebih 2 tahun dimulai dari saat haid pertama pada
30
wanita dan sejak mimpi basah (polusio) pada anak laki-laki masa
dua tahun ini dinamakan masa pubetas, datangnya masa pubertas
tiap individu tidak sama (Chasiyah, dkk., 2009: 43).
c) Remaja menurut WHO
Menurut WHO remaja adalah masa pertumbuhan dan
perkembangan dimana individu mengalami:
(1) Menunjukkan tanda-tanda kelamin sekunder sampai saat
mereka mencapai kematangan seksual.
(2) Mengalami perkembangan psikologi dan pola identifikasi dari
anak-anak menjadi dewasa.
(3) Peralihan dari ketergantungan sosial-ekonomi yang penuh
kepada keadaan yang relatif mandiri.
d) Remaja ditinjau dari faktor sosial psikologis
Menurut Sarlito Wiryawan (1991), masa remaja adalah suatu
masa perkembangan yang ditandai adanya proses perubahan dan
kondisi “entropy” ke kondisi “negentropy”. Entropy adalah suatu
keadaan dimana kesadaran (pengetahuan, perasaan) manusia belum
tersusun rapi sehingga belum berfungsi maksimal. Negentropy
adalah suatu keadaan dimana kesadaran tersusun urut masyarakat
Indonesia. (Chasiyah, dkk., 2009: 43).
Batasan remaja Indonesia adalah usia 11 tahun sampai 24
tahun dan belum menikah dengan alasan:
(1) Usia 11 tahun umumnya sudah menunjukkan tanda-tanda
kelamin sekunder.
(2) Menurut agama dan adat usia 12 tahun anak sudah aqil balik.
(3) Pada usia tersebut mulai ada tanda-tanda penyempurnaan
perkembangan misalnya: (a) tercapai identitas diri (Ericson)
(b) fase genital (Freud) (c) tercapainya puncak perkembangan
kognitif (Piaget).
31
(4) Pada usia 24 tahun masih banyak anak yang belum mandiri,
atau masih menggantungkan pada orangtuanya (Chasiyah,
dkk., 2009: 43).
e) Remaja menurut pandangan para ahli
Aristoteles berpendapat bahwa aspek terpenting bagi remaja
adalah kemampuannya untuk memilih dan determinasi diri (selfdetermination) sebagai tanda kematangannya (Syamsu Yusuf L. N
dan Nani M. Sugandhi, 2012: 78).
Menurut Jean-Jacques Rousseau berpendapat bahwa usia 1520 tahun, individu sudah matang emosinya, dan dapat mengubah
sikap selfishness (memperhatikan atau memetingkan diri sendiri)
ke interest in other (memperhatikan orang lain) (Syamsu Yusuf L.
N dan Nani M. Sugandhi, 2012: 78).
2) Karakteristik Peserta Didik Remaja
a) Perkembangan Fisik
Masa remaja merupakan salah satu diantara dua masa
rentangan kehidupan individu, dimana terjadi pertumbuhan fisik
yang sangat pesat. Dalam perkembangan seksualitas remaja,
ditandai dengan dua ciri, yaitu ciri-ciri seks primer dan ciri-ciri
seks sekunder (Chasiyah, dkk., 2009: 44).
b) Perkembangan Kognitif (Intelektual)
Ditinjau dari perkembangan kognitif menurut Piaget, masa
remaja sudah mencapai tahap operasi formal (operasi = kegiatankegiatan mental tentang berbagai gagasan). Remaja, secara mental
telah dapat berpikir logis tentang berbagai gagasan yang abstrak.
Dengan kata lain berpikir operasi formal lebih bersifat hipotesis
dan abstrak, serta sistematis dan ilmiah dalam memecahan masalah
daripada berpikir kongkret (Chasiyah, dkk., 2009: 44).
Menurut Keating yang dikutip oleh Adam dan Gullota (1983)
merumuskan lima hal pokok yang berkaitan dengan perkembangan
berpikir operasi formal, yaitu sebagai berikut:
32
(1) Berlainan dengan cara berpikir anak-anak, yang tekanannya
kepada kesadarannya sendiri di sini dan sekarang (here-and
now), cara berpikir remaja berkaitan dengan dunia
kemungkinan (work of possibilities). Remaja sudah mampu
menggunakan abstraksi-abstraksi dan dapat membedakan
antara yang nyata dan kongkret dengan yang abstrak dan
mungkin.
(2) Melalui kemampuannya untuk menguji hipotesis, muncul
kemampuan nalar secara ilmiah.
(3) Remaja dapat memikirkan tentang masa depan dengan
membuat perencanaan dan mengeksplorasi berbagai
kemungkinan untuk mencapainya.
(4) Remaja menyadari tentang aktivitas kognitif dan mekanisme
yang membuat proses kognitif itu efisien atau tidak efisien,
serta menghabiskan waktunya untuk mempertimbangkan
pengaturan kognitif internal tentang bagaimana dan apa yang
harus dipikirkannya. Dengan demikian, intropeksi (pengujian
diri) menjadi bagian kehidupannya sehari-hari.
(5) Berpikir operasi formal memungkinkan terbukanya topik-topik
baru, dan ekspansi (perluasan) berpikir. Horizon berpikirnya
semakin luas, bisa meliputi aspek agama, keadilan, moralitas
dan identitas (Chasiyah, dkk., 2009: 44).
Memperhatikan kelima aspek di atas, implikasi pendidikan
atau bimbingan dari periode berpikir formal ini adalah perlunya
disiapkan program pendidikan atau bimbingan yang memfasilitasi
perkembangan kemampuan berpikir siswa (remaja). Upaya yang
dapat dilakukan seperti: (a) penggunaan metode mengajar yang
mendorong anak untuk aktif bertanya, mengemukakan gagasan,
atau mengujicobakan suatu materi, dan (b) melakukan dialog,
diskusi, atau curahan pendapat (brain stroming) dengan siswa
tentang masalah-masalah sosial, atau berbagai aspek kehidupan
seperti agama, etika pergaulan dan pacaran, politik, lingkungan
hidup, bahayanya minuman keras dan obat-obatan terlarang
(Chasiyah, dkk., 2009: 44-45).
c) Perkembangan Emosi
Masa remaja merupakan puncak emosionalitas, yaitu
perkembangan emosi yang tinggi. Pertumbuhan fisik, terutama
organ-organ seksual mempengaruhi perkembangannya emosi dan
33
perasaan-perasaan dan dorongan-dorongan baru yang dialami
sebelumnya, seperti perasaan cinta, rindu, dan keinginan untuk
berkenalan lebih intim dengan lawan jenis. Pada usia remaja awal,
perkembangan emosinya menunjukkan sifat yang sensitif dan
reaktif yang sangat kuat terhadap berbagai peristiwa atau situasi
sosial, emosinya bersifat negatif dan temperamental (mudah
tersinggung/marah atau mudah sedih, murung); sedangkan remaja
akhir sudah mampu mengendalikan emosinya (Chasiyah, dkk.,
2009: 45-46).
d) Perkembangan Sosial
Pada masa remaja berkembang “social cognition”, yaitu
kemampuan untuk memahami orang lain. Remaja memahami orang
lain sebagai individu yang unik, baik menyangkut sifat-sifat
pribadi, minat nilai-nilai maupun perasaannya. Pemahamannya ini,
mendorong remaja untuk menjalin hubungan sosial yang lebih
akrab dengan (mereka terutama teman sebaya), baik melalui jalinan
persahabatan maupun percintaan (pacaran). Dalam hubungan
persahabatan, remaja memilih teman yang memiliki kualitas
psikologis yang relatif sama dengan dirinya, baik menyangkut
interes, sikap, nilai, dan kepribadian (Chasiyah, dkk., 2009: 46-47).
Pada masa ini juga berkembang sikap “conformity”, yaitu
kecenderungan untuk menyerah atau mengikuti opini, pendapat,
nilai, kebiasaan, kegemaran (hobby) atau keinginan orang lain
(teman sebaya). Perkembangan sifat konformitas pada remaja dapat
memberikan dampak yang positif maupun yang negatif bagi
dirinya. Apabila kelompok teman sebaya yang diikuti atau
imitasinya itu menampilkan sikap dan perilaku yang secara moral
atau agama dapat dipertanggungjawabkan, seperti kelompok
remaja yang taat beribadah, memiliki budi pekerti yang luhur, rajin
belajar
dan
aktif
dalam
kegiatan-kegiatan
sosial,
maka
kemungkinan besar remaja tersebut akan menampilkan pribadinya
34
yang baik. Sebaliknya, apabila kelompoknya itu menampilkan
sikap dan perilaku malasuai atau melecehkan nilai-nilai moral,
maka sangat memungkinkan remaja akan menampilkan perilaku
seperti kelompok tersebut (Chasiyah, dkk., 2009: 47).
e) Perkembangan Moral
Pada masa ini muncul dorongan untuk melakukan perbuatanperbuatan yang dapat dinilai baik oleh orang lain. Remaja
berperilaku bukan hanya untuk memenuhi kepuasan fisiknya, tetapi
psikologis (rasa puas dengan adanya penerimaan dan penilaian
positif dari orang lain tentang perbuatannya) (Chasiyah, dkk., 2009:
48).
Keragaman tingkat moral remaja disebabkan oleh faktor
penentunya yang beragam juga. Salah satu faktor penentu atau
yang mempengaruhi perkembangan moral remaja itu adalah
orangtua. Menurut Adam dan Gullata (1983) dalam Chasiyah, dkk.,
(2009: 48) terdapat beberapa beberapa hasil penelitian yang
menunjukkan bahwa orangtua mempengaruhi moral remaja, yaitu
sebagai berikut:
(1) Terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat moral
remaja dengan tingkat moral orangtua (Haan, Langer, dan
Kohlberg, 1976).
(2) Ibu-ibu remaja yang tidak nakal mempunyai skor yang lebih
tinggi dalam tahapan nalar moralnya dari pada ibu-ibu yang
anaknya nakal, dan remaja yang tidak nakal mempunyai skor
yang lebih tinggi dalam kemampuan nalar moralnya dari pada
remaja yang nakal (Hudgins dan Prentice, 1973).
(3) Terdapat dua faktor yang dapat meningkatkan perkembangan
moral anak atau remaja, yaitu (a) orangtua yang mendorong
anak untuk berdiskusi secara demokratik & terbuka mengenal
berbagai isu, dan (b) orangtua yang menerapkan disiplin
terhadap anak dengan teknik berpikir induktif (Parikh, 1980).
35
f) Perkembangan Kepribadian
Kepribadian merupakan sistem yang dinamis dari sifat, sikap
dan kebiasaan yang menghasilkan tingkat konsistensi respons
individu yang beragam, menurut Pikunas (1976) sifat-sifat
kepribadian
mencerminkan
perkembangan
fisik,
seksual,
emosional, sosial, kognitif, dan nilai-nilai (Chasiyah, dkk., 2009:
48).
Masa remaja merupakan saat berkembangnya identity (jati
diri). Perkembangan “identity” merupakan isu sentral pada masa
remaja yang memberikan dasar bagi masa dewasa. Dapat juga
dikatakan sebagai aspek sentral bagi kepribadian yang sehat yang
merefleksikan kesadaran diri, kemampuan mengidentifikasi orang
lain dan mempelajari tujuan-tujuan agar dapat berpartisipasi dalam
kebudayaannya (Chasiyah, dkk., 2009: 49).
Erikson meyakini bahwa perkembangan identity pada masa
remaja dikaitkan erat dengan komitmennya terhadap okupasi masa
depan, peran-peran masa dewasa dan sistem keyakinan pribadi
(Nancy J. Cobb, 1992 dalam Chasiyah, dkk., 2009: 49).
Menurut James Marcia dan Wterman yang dikutip oleh Anita
E. Woolfolk (1995) identitas diri merujuk kepada
“Pengorganisasian atau pengaturan dorongan-dorongan,
kemampuan-kemampuan dan keyakinan-keyakinan ke dalam
citra diri secara konsisten yang meliputi kemampuan memilih
dan mengambil keputusan baik menyangkut pekerjaan
orientasi seksual, dan filsafat hidup” (Chasiyah, dkk., 2009:
50).
Berdasarkan dari pernyataan diatas, tentunya peserta didik
remaja
secara
sederhana
belum
dikatakan
mampu
untuk
mengimplementasikan setiap nilai yang diterimanya kedalam
kehidupan sehari-hari. Posisi Guru Pendidikan Kewarganegaraan
sangat berpengaruh pada proses internalisasi nilai-nilai agar
membentuk sikap peserta didik yang baik. Guru Pendidikan
36
Kewarganegaraan sebagai pelaksana pendidikan yang secara
langsung
merupakan
sosok
yang tauladan
atau
dicontoh,
seharusnya tidak sebatas pada tugasnya untuk menyalurkan
pengetahuan (transfer of knowledge) tetapi juga menyalurkan nilai
(tranfer of value) dalam pelaksanaan tanggung jawabnya untuk
membentuk identitas peserta didik dan mempersiapkannya menjadi
warga negara yang baik melalui proses pembelajaran Pendidikan
Kewarganegaraan.
e. Pembentukan Kompetensi Kewarganegaraan Peserta Didik
Pembentukan kompetensi Kewarganegaraan peserta didik, dilakukan
oleh guru sebagai pelaksana pendidikan dalam hal ini guru mata pelajaran
Pendidikan Kewarganegaraan. Peserta didik yang menjadi sasaran dalam
penelitian ini adalah peserta didik usia remaja yaitu peserta didik yang
duduk di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA). Dengan memperhatikan
karakteristik yang ada pada diri peserta didik usia remaja maka guru akan
lebih tahu tentang hal-hal yang dapat dijadikan pedoman oleh guru untuk
melakukan
membimbing
strategi-strateginya
peserta
didik
dalam
usia
menghadapi,
remaja
untuk
mendidik
menopang
dan
proses
pembelajaran agar berjalan dengan efektif terutama untuk membentuk
kompetensi kewarganegaraan pada peserta didik.
Pembentukan kompetensi Kewarganegaraan peserta didik merupakan
usaha untuk mewujudkan peserta didik agar mampu menguasai ketiga
kompetensi Kewarganegaraan yaitu Pengetahuan Kewarganegaraan (Civic
Knowledge), Keterampilan Kewarganegaraan (Civic Skills), dan Karakter
Kewarganegaraan
(Civic
Disposition)
melalui
proses
pembelajaran
Pendidikan Kewarganegaraan yang dilakukan oleh guru Pendidikan
Kewarganegaraan.
Berlandaskan
pada
Pengetahuan
Kewarganegaraan
(Civic
Knowledge), berikut adalah butir-butir komponen pengetahuan diselaraskan
dengan upaya meningkatkan penghargaan hak perempuan sebagai bagian
37
dari hak asasi manusia, yang telah diidentifikasi oleh Udin S. Winataputra
(2001), yaitu:
a) Wawasan tentang manusia sebagai makhluk Tuhan YME dan sosial.
b) Wawasan tentang manusia sebagai makhluk individu yang memiliki hak
asasi yang harus dilindungi dan diwujudkan secara bertanggung jawab.
c) Wawasan tentang landasan dan sumber hak asasi manusia.
d) Wawasan tentang pelanggaran terhadap hak asasi manusia.
e) Wawasan tentang jaminan dan perlindungan atas hak asasi manusia.
f) Wawasan kedudukan dan pentingnya konstitusi dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
g) Wawasan tentang konstitusi sebagai landasan jaminan dan perlindungan
hak asasi manusia.
h) Wawasan tentang Indonesia sebagai negara hukum, yang mengupayakan
tegaknya supremasi hukum persamaan dihadapan hukum, peradilan yang
bebas, jaminan hak asasi manusia, dan pendidikan kewarganegaraan.
i) Wawasan tentang negara memiliki visi, misi, dan tanggung jawab dalam
memelihara dan menegakkan keadilan dan kebenaran.
j) Wawasan tetntang dinamika penerapan konsep, prinsip, nilai, dan citacita demokrasi dalam masyarakat yang berbhineka tunggal ika.
k) Wawasan tenatng makna pelaksanaan kewajiban dan hak warga negara
dalam berbagai bidang kehidupan.
l) Wawasan tentang interaksi fungsional hak, kewajiban, dan tanggung
jawab warga negara dalam berbagai konteks kehidupan.
m) Wawasan tentang pentingnya pemberdayaan warga negara dalam
memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa dan proses alih generasi
secara bertanggung jawab (Winarno, 2013: 113-115).
Berlandaskan pada Keterampilan Kewarganegaraan (Civic Skills),
berikut adalah butir-butir komponen keterampilan atau kecakapan
kewarganegaran, yang telah diidentifikasi oleh Udin S. Winataputra (2001),
yaitu:
a) Kemampuan berkomunikasi secara argumentatif dalam bahasa Indonesia
yang baik dan benar atas dasar tanggung jawab sosial.
b) Kemampuan berpartisipasi dalam lingkungan sekolah atau masyarakat
secara cerdas dan penuh tanggung jawab personal dan sosial.
c) Kemampuan mengambil keputusan individual dan atau kelompok secara
cerdas dan bertanggung jawab.
d) Kemampuan melaksanakan keputusan individual dan atau kelompok
sesuai dengan konteksnya secara bertanggung jawab.
e) Kemampuan berkomunikasi secara cerdas dan etis sesuai dengan
konteksnya.
f) Kemampuan membangun kerjasama dengan dasar toleransi, saling
pengertian, dan kepentingan bersama.
38
g) Kamampuan berlomba-lomba untuk berprestasi lebih baik dan lebih
bermanfaat.
h) Kemampuan turut serta aktif membahas masalah sosial secara cerdas dan
bertanggung jawab.
i) Kemampuan turut serta mengatasi konflik sosial dengan cara yang baik
dan dapat diterima.
j) Kemampuan memimpin menganalisis masalah sosial secara kritis dengan
menggunakan aneka sumber yang ada.
k) Kemampuan berusaha untuk meningkatkan kemampuan pribadi dan
kegiatan sosial budaya dengan kesadaran untuk berbuat lebih baik
Winarno, 2013: 161-115).
Kesimpulan yang dapat diambil dari identifikasi keterampilan
kewarganegaraan di atas, tampak bahwa yang dimaksudkan dengan
keterampilan kewarganegaraan (civic skills) menurut Winarno (2013: 163),
hanyalah mencakup keterampilan partisipatif peserta didik. Hal ini dapat
dilihat
dari
berkomunikasi,
beberapa
rumusan
berpartisipasi,
kata
kerja
mengambil
seperti:
keputusan,
kemampuan
melaksanakan
keputusan, memabngun kerjasama, turut aktif membahas dan sebagainya.
Selanjutnya berlandaskan pada Karakter Kewarganegaraan (Civic
Skills),
menurut
Budimansyah
(2008)
secara
singkat
karakter
kewarganegaraan yang terdiri dari karakter publik dan privat dapat
dideskripsikan, sebagai berikut:
a) Menjadi anggota masyarakat yang yang independen.
Karakter ini meliputi kesadaran secara pribadi untuk bertanggung jawab
sesuai ketentuan, bukan karena keterpaksaan atau pengawasan dari luar,
menerima tanggung jawab akan konsekuensi dari tindakan yang
diperbuat dan memenuhi kewajiban moral dan legal sebagai anggota
masyarakat demokrasi (Winarno, 2013: 180).
b) Memenuhi tanggung jawab personal kewarganegaraan di bidang
ekonomi dan politik.
Tanggung jawab ini meliputi memelihara/menjaga diri, memberi nafkah
dan merawat keluarga, mengasih dan mendidik anak. Termasuk pula
mengikuti informasi tentang isu-isu publik, menggunakan hak pilih
dalam pemilu, membayar pajak, menjadi saksi di pengadilan, kegiatan
39
pelayanan masyarakat, melakukan tugas kepemimpinan sesuai bakat
msing-masing (Winarno, 2013: 180).
c) Menghormati harkat dan martabat kemanusiaan tiap individu.
Menghormati orang lain berarti mendengarkan pendapat mereka,
bersikap sopan, menghargai hak-hak dan kepentingan-kepentingan
sesama warga negara, dan mengikuti aturan musyawarah mufakat dan
prinsip mayoritas namun tetap menghargai hak-hak minoritas untuk
berbedaan pendapat (Winarno, 2013: 180).
d) Berpartisipasi dalam urusan-urusan kewarganegaraan secara efektif dan
bijaksana.
Karakter ini merupakan bentuk sadar informasi sebelum menenentukan
pilihan atau berpartisipasi dalam debat publik, terlibat dalam diskusi
yang santun dan serius, serta memegang kendali dalam kepemimpinan
bila diperlukan. Juga membuat eavluasi tentang kapan saatnya
kepentingan
pribadi
seseorang
sebagai
warga
negara
harus
dikesampingkan demi memenuhi kepentingan publik dan mengevaluasi
kapan seseorang karena kewajibannya atau prinsip-prinsip konstitusional
diharuskan
menolak
tuntutan-tuntutan
kewarganegaraan
tertentu
(Winarno, 2013: 180).
e) Mengembangkan berfungsinya demokrasi konstitusional secara sehat.
Karakter ini meliputi sadar informasi dan kepekaan terhadap urusanurusan publik, melakukan penelaahan terhadap nilai-nilai dan prinsipprinsip konstitusional, memonitor keputusan para pemimpin politik dan
lembaga-lembaga publik pada nilai-nilai dan prinsip-prinsip tadi serta
mengambil langkah-langkah yang diperlukan bila ada kekurangan.
Karakter ini mengarah warga negara bekerja dengan cara-cara yang
damai dan legal dalam rangka mengubah undang-undang yang dianggap
tidak adil dan tidak bijaksana (Winarno, 2013: 180-181).
Identifikasi mengenai karakter kewarganegaraan (civic disposition)
juga dikemukakan oleh Udin S. Winataputra (2001) dalam Winarno (2011:
189-190), sebagai berikut:
40
a) Kepedulian terhadap masalah-masalah personal dan sosial kultural antar
warga negara dan antara warga negara dengan lembaga-lembaga negara.
b) Toleransi terhadap perbedaan personal, sosial, ekonomi, kultural, dan
spiritual.
c) Penghormatan terhadap hak hidup, hak kebebasan, dan hak milik orang
lain atas dasar keimanan dan ketakwaan terhadap Tuhan YME.
d) Penghormatan terhadap kedudukan, peran, dan bertanggung jawab orang
lain yang memegang jabatan kenegaraan, profesi, bisnis, kemasyarakatan
atas dasar tanggung jawab sosial-politik warga negara.
e) Penghormatan terhadap bangsa dan negara lain atas dasar persamaan
derajat, persahabatan, perdamaian, menghormati.
f) Kemauan dan kesiapan menerima pendapat, komentar, dan kritik orang
lain tentang penampilan, pendirian, keyakinan sendiri atas dasar
kesadaran bahwa setiap orang memiliki cara pandang dan keyakinan
yang berbeda.
g) Komitmen terhadap kedudukan, peran, dan tanggung jawab yang dipikul
atas dasar hukum, kesepakatan, atau kesediaan sendiri.
h) Kejujuran terhadap kesalahan sendiri selaku individu/warga negara.
i) Kesediaan “saling asah, asih, dan asuh”, atas dasar keadaran dan
tanggung jawab sosial sebagai warga negara, makhluk sosial, dan insan
Tuhan YME.
j) Toleransi terhadap perasaan orang lain atas dasar kesadaran sosial
sebagai warga negara.
k) Komitmen terhadap norma yang berlaku atas dasar kesadaran dan
tanggung sosial.
l) Kejujuran dalam pikiran, ucapan, dan perbuatan atas dasar tanggung
jawab personal, sosial, spiritual sebagai individu, warga negara, dan
insan Tuhan YME.
m) Kemauan dan kesediaan untuk berubah menuju hari esok yang lebih baik.
n) Komitmen untuk belajar sepanjang hayat yang dilandasi keyakinan.
Selanjutnya pada bagian latar belakang Standar Isi Pendidikan
Kewarganegaraan sebagaimana terdapat dalam Permendiknas Nomor 22
Tahun 2006, karakter kewarganegaraan dapat diidentifikasi sebagai berikut:
a)
b)
c)
d)
e)
f)
g)
h)
i)
j)
Memiliki semangat kebangsaan,
Memiliki karakter demokrasi,
Memiliki kesadaran bela negara,
Menghargai hak asasi manusia,
Sikap menghargai kemajemukan bangsa,
Kesadaran akan kelestarian lingkungan hidup,
Memiliki tanggung jawab sosial,
Ketaatan pada hukum,
Ketaatan membayar pajak, dan
Sikap anti korupsi, kolusi dan nepotisme.
41
Pembentukan
pengetahuan
kompetensi
kewarganegaraan
Kewarganegaraan
(civic
yang
knowledge),
terdiri
dari
keterampilan
kewarganegaraan (civic skills), dan karakter kewarganegaraan (civic
disposition) ini adalah bentuk upaya pencapaian tujuan pelaksanaan
Pendidikan Kewarganegaraan yaitu mewujudkan pribadi warga negara yang
baik. Maka dari itu setiap terlaksananya proses pembelajaran Pendidikan
Kewarganegaraan, haruslah memenuhi ketiga kompetensi kewarganegaraan
tersebut sebagai bentuk terlaksananya pendidikan kewarganegaraan yang
sesungguhnya.
f. Pembelajaran
yang
Mendukung
Pembentukan
Kompetensi
Kewarganegaraan
1) Pengetahuan Kewarganegaraan (Civic Knowledge)
Pembelajaran pada pembentukan kompetensi
kognitif atau
pengetahuan yang dilakukan guru Pendidikan Kewarganegaraan sering
identik dengan suasana ceramah yang membosankan. Agar terhindar dari
hal tersebut maka pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan pada ranah
kognitif (pengetahuan) harus memenuhi prinsip-prinsip pembelajaran.
Berikut prinsip pembelajaran kognitif (knowledge) menurut Jean Piaget
dalam Winarno (2013: 133), sebagai berikut:
a) Belajar aktif
Proses pembelajaran adalah proses aktif, karena pengetahuan
terbentuk dari dalam subjek belajar. Untuk membantu perkembangan
kognitif
anak,
perlu
diciptakan
suatu
kondisi
belajar
yang
memungkinkan anak belajar sendiri, misal melakukan percobaan
sendiri; memanipulasi simbol-simbol; mengajukan pertanyaan dan
mencari jawabannya sendiri; membandingkan penemuan sendiri
dengan penemuan temannya.
b) Belajar lewat interaksi sosial
Dalam belajar perlu diciptakan suasana yang memungkinkan
terjadinya interaksi di antara subjek belajar. Menurut Piaget belajar
42
bersama baik dengan teman sebaya maupun orang lebih dewasa akan
membantu perkembangan kognitif mereka. Tanpa kebersamaan
kognitif akan berkembang sifat egosentrisnya. Sebaliknya dengan
kebersamaan, khasanah kognitif anak akan semakin beragam.
c) Belajar lewat pengalaman sendiri
Dengan menggunakan pengalaman nyata maka perkembangan
kognitif seseorang akan lebih baik daripada hanya menggunakan
bahasa untuk berkomunikasi namun jika tidak diikuti oleh penerapan
dan pengalaman maka perkembangan kognitif seseorang cenderung
mengarah ke verbalisme.
Menurut
Winarno
(2013:
134),
pada
pembelajaran
yang
mendukung perkembangan pengetahuan (kognitif) kewarganegaraan ini
dapat di dukung dengan pelaksanaan metode dan teknik pembelajaran
sebagai berikut:
a) Metode Discovery
Metode belajar yang menekankan keterlibatan siswa dalam
proses belajar yang aktif yang berorientasi pada “discovery”
(penemuan). Suatu kegiatan “discovery” ialah suatu kegiatan atau
pelajaran yang dirancang sedemikian rupa sehingga siswa dapat
menemukan konsep-konsep dan prinsip-prinsip melalui proses
mentalnya sendiri. Bagi seorang siswa untuk membuat penemuanpenemuan, ia harus melakukan proses-proses mental, seperti
mengamati, mengolong-golongkan, membuat dugaan, menjelaskan,
mengukur,
menarik
kesimpulan,
dan
sebagainya.
Pengajaran
“discovery” harus meliputi pengalaman-pengalaman belajar untuk
menjamin siswa dapat mengembangkan proses-proses “discovery”.
b) Metode Problem Solving
Problem solving merupakan kegiatan mencari pemecahan suatu
masalah secara rasional. Titik berat pada terpecahkannya masalah
tersebut secara rasional, logis, dan tepat.
43
c) Metode Inquiry
Menurut Hoge (1996), pengajaran inquiry adalah pengajaran
yang membantu siswa untuk menguji pertanyaan-pertanyaan, isu-isu,
atau masalah yang dihadapi siswa dan sekaligus menjadi perhatian
guru. Dalam pengajaran inquiry siswa menjadi seorang investigator
dalam mencari ilmu, sedangkan guru berfungsi sebagai pembantu
investigator (coinvestigator). Bentuk pengajaran inquiry seperti:
percobaan (experiment), studi kepustakaan (library research),
wawancara (interview), dan penelitian produk (product investigation).
d) Teknik Peta Konsep
Peta konsep (concept map) pertama kali diperkenalkan oleh
Novak pada tahun 1985 dalam bukunya Learning How to Learn,
sebagai suatu alat yang efektif untuk menghadirkan secara visual
hirarki
generalisasi-generalisasi
dan
untuk
mengekspresikan
keterkaitan proposisi dalam sistem konsep-konsep yang saling
berhubungan (Dahar, 1989 dalam Winarno 2013: 141). Novak
menyatakan bahwa pemetaan konsep akan membantu para siswa
membangun kebersamaan konsep-konsep dan prinsip-prinsip yang
baru dan lebih kuat pada suatu bidang studi.
Peta konsep merupakan strategi atau cara dalam mendesain
materi (content) pelajaran. Pada wujud fisiknya, menurut Hizam Zaini
(2002) peta konsep sebagai desain materi memiliki 4 karakteristik,
yaitu:
a) Memiliki konsep atau ide pokok atau kata kunci;
b) Memiliki hubungan yang mengaitkan antara satu konsep dengan
konsep lain;
c) Memiliki label yang membunyikan arti hubungan yang mengaitkan
antar konsep tersebut; dan
d) Desain itu berwujud sebuah diagram atau peta yang merupakan
satu bentuk representasi konsep-konsep dari materi pembelajaran.
44
2) Keterampilan Kewarganegaraan
Suwarma al Muchtar, dkk (2007) dalam (Winarno 2013: 150)
menyajikan berbagai model pembelajaran yang dapat digunakan untuk
mengembangkan keterampilan kewarganegaraan siswa. Model-model
tersebut adalah:
a) Model Refleksi Inquiry
Inti dari pengorganisasian yang berpusat pada refletif ialah
pengembangan kemampuan mengambil keputusan atau decision
making skills. Kemampuan ini secara esensial
berfungsi saling
melengkapi dengan kemampuan memecahkan masalah atau problem
solving skills yang dikembangkan dalam pengajaran ilmu sosial yang
berorientasi pada karakter ilmu sosial.
b) Model Berpikir Induktif
Model berpikir induktif dirancang dan dikembangkan oleh
Hilda Taba (1996) dengan tujuan untuk mendorong para pelajar
menemukan dan mengoordinasikan informasi, menciptakan nama
suatu konsep, dan menunjukkan terampil dalam melakukan
pengetahuan.
c) Model Inquiry Training
Model ini dikembangkan oleh Richard Suchman (1962), model
latihan penelitian penemuan ini dirancang untuk melibatkan para
pelajar dalam proses penalaran mengenai hubungan sebab akibat dan
menjadikan mereka lebih fasih dan cermat dalam mengajukan
pertanyaan, membangun konsep, merumuskan, dan mengetes
hipotesis.
d) Model Yurisprudensial
Model ini melibatkan proses intelektual yang relatif rumit.
Model ini menuntut para pelajar untuk menguji dirinya sendiri,
perilaku kelompok dan proses sosial yang lebih besar.
45
e) Model Social Inquiry
Model ini dikembangkan atas dasar kerangka konseptual yang
sama dengan model penelitian ilmiah yang diterapkan dalam bidangbidang ilmu alamiah dan model penelitian sosial dalam bidang ilmuilmu sosial.
Beberapa model pembelajaran lainnya yang dapat digunakan terutama
dalam rangka mengembangkan keterampilan kewarganegaraan, dijabarkan
secara rinci menurut Rath dan Kinchenbaum dalam Diknas (2007)
mengidentifkasi model pembelajaran yang mampu mengembangkan
keterampilan kewarganegaraan, dicontohkan dalam hal ini pembelajaran
yang
mampu
mengembangkan
sikap
demokratis.
Model-model
pembelajaran tersebut adalah sebagai berikut:
a) Pertemuan kelas berita baru
Pertemuan kelas guna membahas berita aktual yang ada di media masa.
Contoh: berita demonstran anarki.
b) Cambuk bersiklus
Pertemuan saling bertanya dan menjawab secara bergiliran. Setiap siswa
harus mendengarkan pertanyaan dan meyiapkan pertanyaan untuk siswa
lain, bukan pemberi pertanyaan sebelumnya. Contoh: Siswa A bertanya
kepada siswa B “Mengapa ada tawuran di sekolah?” Siswa B menjawab
pertanyaan itu. Di lanjutkan siswa B mengajukan pertanyaan kepada
siswa C “Bagaimana cara menjaga kerukunan antar siswa?” dan
seterusnya.
c) Waktu untuk penghargaan
Pertemuan untuk memberikan penghargaan atau penghormatan terhadap
orang lain, karena dengan cara ini siswa akan terasah nuraninya untuk
selalu menghormati orang lain karena prestasinya atau dedikasinya yang
diberikan kepada kepentingan umum.
d) Waktu untuk yang terhormat
Melalui acara yang secara khusus diadakan atas inisiatif siswa untuk
memberikan penghargaan kepada orang yang sangat dihormati. Contoh:
acara perpisahan purna tugas guru di sekolah.
e) Pertemuan perumusan tujuan
Melalui pertemuan yang sengaja diadakan atas inisiatif guru dan atau
siswa untuk merumuskan visi atau tujuan sekolah, seperti programprogram kegiatan OSIS. Karena dengan cara ini siswa mempunyai rasa
memiliki dengan sekolah dan pada gilirannya menumbuhkan kecintaian
dan tanggung jawab terhadap sekolahnya.
46
f) Pertemuan legislasi
Melalui pertama siswa diajak untuk merumuskan atau menyusun norma
atau aturan yang akan berlaku di sekolah. Melalui kegiatan ini siswa
merasa memiliki kesadaran untuk mentaati aturan yang dirumuskan
oleh siswa sendiri.
g) Pertemuan evaluasi aturan
Pertemuan untuk mengevaluasi pelaksanaan norma atau aturan yang
telah disepakati dan berlaku di sekolah.
h) Pertemuan perumusan langkah kegiatan
Pertemuan untuk menentukan prioritas atau tahapan kegiatan yang akan
dilakukan oleh siswa di bawah bimbingan sekolah.
i) Pertemuan evaluasi dan balikan
Memberikan masukan terhadap pelaksanaan kebijikasanaan sekolah atau
dasar hasil monitoring kelompok siswa dan guru yang sengaja diduga
untuk itu.
j) Pertemuan refleksi belajar
Pertemuan pengendapan dan evaluasi terhadap proses dan atau hasil
belajar setelah selesai satu atau beberapa pertemuan.
k) Forum siswa
Pertemuan untuk memberi kesempatan siswa secara individu atau
kelompok menyajikan pendapatnya, hasil pemahaman terhadap sumber
informasi atau proyek belajar yang dilakukan atas tugas guru atau
inisiatif sendiri.
l) Pertemuan pemecahan masalah
Pertemuan terencana untuk memecahkan masalah yang ada di
lingkungan sekitar atau daerah yang menyangkut kehidupan siswa,
seperti penyalahgunaan narkoba di kalangan siswa.
m) Pertemuan isu akademis
Pertemuan terencana untuk membahas akademis, misalnya pembahasan
isu gizi, cara hidup sehat, korupsi terkait dengan lingkungan daerah atau
nasional.
n) Kotak saran
Pengumpulan pendapat secara bebas dan rahasia untuk memecahkan
masalah di lingungan sekolah.
o) Pemahasan situasi pelik
Pertemukan untuk memecahkan masalah yang terkait dengan keadaan
pelik atau dilematis, seperti penetapan pilihan atau melarang siswa untuk
melakukan pendakian gunung atau kegiatan yang mengandung resiko.
p) Pertemuan perbaikan kelas
Merupakn strategi pengembangan sikap demokratis dan bertanggung
jawab melalui pertemukan kelas untuk membahas dan memecahkan
masalah yang menyakut kehidupan siswa di kelas atau sekolahnya,
seperti pemecahan masalah bolos, tata tertib, dan sebagiannya.
q) Pertemukan tindak lanjut
Merupakan strategi pengembangan sikap demokratis dan bertanggung
jawab melalui pertemuan terencana untuk membahas tindak lanjut dari
47
suatu kegiatan berseri di sekolah. Misalnya, simulasi rapat penyusunan
laporan kegiatan siswa.
r) Pertemuan perencanaan
Merupakan strategi pengembangan sikap demokratis dan bertanggung
jawab melalui pertemuan terencana untuk menyusun suatu rencana
bersama. Misalnya, merencanakan pentas seni akhir tahun.
s) Pertemuan pengembangan konsep
Merupakan strategi pengembangan sikap demokrasi dan bertanggung
jawab melalui pertemuan terencana untuk menyusun gagasan baru yang
dimaksudkan untuk mendapat bantuan atau menyarankan program.
Misalnya, menyusun gagasan tentang Desa Sejahtera, Sekolah Unggulan
(Winarno, 2013: 100-103).
Selainnya model pembelajaran diatas, menurut Dasim Budimansyah
(2009: 103) model pembelajaran PKn yang bisa digunakan untuk
membentuk dan mengembangkan keterampilan kewarganegaraan adalah
model pembelajaran berbasis portofolio atau yang sekarang ini dikenal
dengan Project Citizen. Menurut Paulson dan Meyer (1991) mendefinisikan
portofolio sebagai kumpulan pekerjaan siswa yang menunjukkan usaha,
perkembangan dan kecakapan mereka dalam satu bidang atau lebih.
3) Karakter Kewarganegaraan
Pada kompetensi kewarganegaraan ini sangat lekat dengan
pembelajaran nilai dalam Pendidikan Kewarganegaraan. Menurut Hern
(1980) terdapat empat model pendidikan nilai moral atau budi pekerti,
yaitu teknik pengungkapan nilai, analisis nilai, pengembangan kognitif
moral, dan tindakan sosial (Winarno, 2013: 195). Berikut adalah
penejelasannya:
a) Teknik pengungkapan nilai adalah teknik yang memandang
pendidikan moral dalam pengertian promotion self-awarenes and
self caring dan bukan mengatasi masalah moral yang membantu
mengungkapkan moral yang dimiliki peserta didik tentang hal-hal
tertentu. Pendekatannya dilakukan dengan cara membantu peserta
didik menemukan dan menilai/menguji nilai yang mereka miliki
untuk mencapai perasaan diri.
48
b) Model analisis nilai adalah model yang membantu peserta didik
mempelajari pengambilan keputusan melalui proses langkah demi
langkah dengan cara sistematis. Model ini akan memberikan makna
bila dihadapkan pada upaya menangani isu-isu kebijakan yang
kompleks.
c) Pengembangan kognitif moral adalah model yang membantu peserta
didik berpikir melalui pertentangan dengan cara yang lebih jelas dan
menyeluruh melalui tahapan-tahapan umum dari pertimbangan
moral.
d) Tindakan sosial adalah model yang bertujuan meningkatkan
keefektifan peserta didik mengungkap, meneliti, dan memecahkan
masalah sosial. Menurut Rath (1965) terdapat empat hal penting
yang perlu diperhatikan dalam menggunakan model pendidikan
moral yaitu berfokus pada kehidupan, penerimaan akan sesuatu,
memelurkan refleksi lebih lanjut, dan harus mengarah pada tujuan
(Winarno, 2013: 196).
Model-model pada pembelajaran pembentukan kompetensi
karakter atau watak kewarganegaraan tersebut melihat pendidikan
moral sebagai upaya menumbuhkan kesadaran diri dan kepedulian
diri, bukan pemecahan. Pada dasarnya model pengungkapan nilai
berakar pada dialog yang tujuannya bukan untuk mengenalkan nilai
tertentu kepada peserta didik, tetapi untuk membantu menggunakan
dan menerapkan nilai dalam kehidupan (Winarno, 2013: 196).
Kesimpulan yang dapat diambil berdasarkan paparan terkait model,
metode
dan
pengetahuan
teknik
pembelajaran
kewarganegaraan
yang
(civic
mendukung
knowledge),
pembentukan
keterampilan
kewarganegaraan (civic skills), dan karakter atau watak kewarganegaraan
(civic disposition) di atas, merupakan hal yang dapat diterapkan guru
sebagai strateginya dalam pelaksanaan proses pembelajaran di kelas. Di
mana semua hal itu semata-mata sebagai bentuk usaha untuk mencapai
tujuan pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan.
49
3. Konsep Penghargaan Hak Perempuan
a. Sejarah Perjuangan Kaum Perempuan di Indonesia
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik
Indonesia Tahun 1945 (UUD NKRI 1945) menyebutkan bahwa,
kemerdekaan adalah hak segala bangsa oleh karena itu penjajahan di muka
bumi harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan
perikeadilan. Hal ini menunjukkan bahwa pemahaman hak asasi manusia
sebagai nilai, konsep, dan norma yang hidup dan berekambang dalam
masyarakat, harus ditegakkan dan diwujudkan (Moertati Hadiati Soeroso,
2012: 44).
Sejarah perjuangan kaum perempuan Indonesia menunjukkan bahwa
sejak awal abad ke-19 sejumlah tokoh perempuan telah memperjuangkan
kemerdekaan dan kemandirian bangsa, termasuk meningkatkan kedudukan,
peran, dan kemajuan perempuan Indonesia. Sebuah organisasi wanita yang
bernama “Wanita Oetomo” pada tanggal 22 Desember 1928 berhasil
mengadakan Kongres Wanita Indonesia. Dalam musyawarah dihasilkan
kesepakatan untuk mempersatukan seluruh organisasi kaum perempuan
dengan nama Persatoean Perempoean Indonesia (PPI). Kemudian diubah
menjadi Persatoean Perkoempoelan Istri Indonesia (PPII). Selanjutnya,
perkumpulan tersebut jadi cikal bakal organisasi wanita Indonesia saat ini
(Moertati Hadiati Soeroso, 2012: 44).
Perjuangan kaum perempuan dalam mencapai kemerdekaan bergerak
dan berpikir, untuk menembus ruang dan waktu yang diciptakan tradisi dan
diperkukuh oleh penjajahan. Kebebasan yang semula didambakan kaum
perempuan sebelum munculnya R.A. Kartini, Dewi Sartika, serta tokoh
Indonesia lainnya, telah terwujud. Lahirnya persatuan kaum perempuan
tersebut kemudian dikukuhkan menjadi Hari Ibu yang jatuh pada tanggal 22
Desember. Jadi, Kongres Perempuan I yang diselenggarakan pada tanggal
22 Desember 1928 tersebut merupakan tonggak sejarah yang penting bagi
“Persatuan Pergerakan Indonesia” dan merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari pergerakan perjuangan kebangsaan Indonesia. Perjuangan
50
perempuan Indonesia yang sejak awal telah memperjuangkan hak asasinya
serta penegakkannya, dinyatakan melalui pengakuan persamaan hak dengan
laki-laki dalam Undang-Undang Dasar 1945 (Achie Sudiarti L, 2008 dalam
Moertati Hadiati Soeroso, 2012: 44).
Perjuangan
meningkatkan
kedudukan
dan
menegakkan
hak
perempuan, terjadi pula di tingkat dunia. Dimulai pada tahun-tahun pertama
setelah berakhirnya Perang Dunia I, pada tahun 1935 wakil-wakil
pemerintah di Liga Bangsa-Bangsa mulai membahas permasalahan
kedudukan perempuan dan mempertimbangkannya dari aspek-aspek sipil
dan politik. Setelah berakhirnya Perang Dunia II, berdirilah Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB). Dengan ditanda tanganinya Piagam PBB di San
Fransisco pada tahun 1945, PBB merupakan instrumen Internasional
pertama yang menyebutkan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan.
Dalam pendahuluan piagam ini, antara lain ditegaskan kembali kepercayaan
bangsa-bangsa di dunia akan Hak Asasi Manusia (HAM), harkat dan
martabat setiap manusia dan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan
(Moertati Hadiati Soeroso, 2012: 45).
Pada tahun 1948 Deklarasi Hak Asasi Manusai (DUHAM) diadopsi
oleh Majelis Umum Perserikatan Bnagsa-Bangsa. Hal ini menunjukkan
komitmen bangsa-bangsa di dunia untuk menjunjung tinggi dan melindungi
hak kemanusiaan setiap orang tanpa perkecualian apapun, seperti ras, warna
kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pandangan lain, asal usul
kebangsaan atau sosial, hak milik, kelahiran atau kedudukan lain (Moertati
Hadiati Soeroso, 2012: 45-46).
Setelah DUHAM, lahir berbagai instrumen HAM Internasional
mengenai aspek-aspek khusus tentang kedudukan perempuan dalam
kehidupan berkeluarga dan bermasyarakat, antara lain Konvensi tentang
Hak Politik Perempuan tahun 1958, yang diratifikasi Indonesia dengan
Undang-Undang Nomor 68 Tahun 1995. Pada tanggal 18 Desember 1979,
Majelis PBB mengadopsi Convention of The Elimination of All Forms of
Discrimination Againt Woman (Konvensi Penghapusan Segala Bentuk
51
Diskriminasi terhadap Perempuan), disebut sebagai Konvensi Wanita atau
Konvensi Perempuan. Sekarang disebut dengan Konvensi CEDAW atau
CEDAW saja. Konvensi tersebut dinyatakan berlaku sebagai suatu
perjanjian Internasional pada tanggal 3 September 1981, setelah 20 negara
meratifikasinya. Hingga kini sudah 178 negara atau lebih dari 90% negara
angota PBB meratifikasi atau menyetujuai konvensi tersebut (Moertati
Hadiati Soeroso, 2012: 46).
Di antara perjanjian HAM Internasional, Konvensi Perempuan
merupakan konvensi tentang perlindungan dan penegakan hak-hak
perempuan yang paling komprehensif dan sangat penting karena
menjadikan segi kemanusiaan perempuan, yang merupakan lebih dari
sebagian jumlah penduduk dunia, sebagai fokus dari keprihatinan HAM.
Jiwa dari Konvensi Perempuan berakar dalam tujuan dari Piagam PBB,
yaitu penegasan kembali kepercayaan pada HAM, harkat dan martabat
setiap diri manusia dan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan.
Konvensi Perempuan secara komprehensif memberikan rincian mengenai
arti persamaan hak perempuan dan laki-laki dan langkah-langkah yang
diperlukan untuk mencapainya (Achie Sudiarti, 2008 dalam Moertati
Hadiati Soeroso, 2012: 45).
Indonesia meratifikasi Konvensi Perempuan (CEDAW) dengan
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi
Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita.
Ratifikasi oleh pemerintah dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR) menjadikan prinsip-prinsip dan ketentuan-ketentuan konvensi
sebagai hukum formal dan bagian dari hukum nasional. Pasal 7 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
(HAM), menentukan bahwa, “Ketentuan hukum internasional yang telah
diterima negara Republik Indonesia yang menyangkut hak asasi manusia
menjadi
hukum
nasional”.
Konsekuensi
dari
ratifikasi
Konvensi
Internasional adalah setiap negara peratifikasi konvensi harus memberikan
komitmen, menjamin untuk mengikatkan diri dengan peraturang perundang-
52
undangan, mewujudkan kesetaraan dan keadilan antara laki-laki dan
perempuan serta terhapusnya diskriminasi terhadap perempuan. Indonesia
sebagai salah satu negara peratifikasi konvensi terikat dengan ketentuan
tersebut dan harus melaksanakan isi konvensi dengan konsekuensi (Moertati
Hadiati Soeroso, 2012: 46-47).
b. Hak Perempuan
1) Pengertian Hak Perempuan
Hak perempuan atau Hak Asasi Perempuan menurut Lembaga
Studi dan Advokasi Masyarakat, ELSAM (2005: 1) yaitu hak yang
dimiliki oleh seorang perempuan, baik karena ia seorang manusia
maupun sebagai seorang perempuan, dalam khasanah hukum hak asasi
manusia dapat ditemui pengaturannya dalam berbagai sistem hukum
tentang hak asasi manusia.
2) Bentuk Hak Perempuan didalam Konvensi Perempuan atau CEDAW
Berikut adalah isi CEDAW atau yang lebih dikenal dengan
Konvensi Perempuan yang berisi tentang hak-hak perempuan secara
terperinci yang dikutip dari Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat,
ELSAM, 2005 diakses pada tanggal 21 Juni 2015 di (http://rumah iklim.
org/wp-content/uploads/2011/08/konvensi_cedaw.pdf).
Bagian II
a) Hak perempuan terkait Hak Sipil dan Politik
1) hak hidup
2) hak bebas dari perbudakan dan perdagangan
3) hak atas kebebasan dan keamanan pribadi
4) hak diperlakukan secara manusiawi dalam situasi apapun
5) hak atas kebebasan untuk bergerak, memilih tempat tinggal
6) hak mendapat kedudukan yang sama di hadapan hukum
7) hak diakui sebagai seorang pribadi di hadapan hukum
8) hak tidak dicampuri masalah pribadi
9) hak atas kebebasan berpikir keyakinan dan beragama
53
10) hak untuk bebas berpendapat
11) hak untuk berserikat dan bergabung dengan serikat pekerja
12) hak dalam perkawinan
13) hak untuk mendapatkan kesempatan yang sama dalam
pemerintahan
14) hak mendapat perlindungan yang sama dalam perlindungan
hukum
15) hak untuk berbudaya.
b) Hak perempuan dalam Kehidupan Politik dan Kemasyarakatan
negaranya,diatur di dalam Pasal 7 Konvensi Perempuan. Termasuk di
dalam hak ini adalah :
1) Hak untuk memilih dan dipilih;
2) Hak
untuk
berpartisipasi
dalam
perumusan
kebijaksanaan
pemerintah dan implementasinya;
3) Hak
untuk
memegang
jabatan
dalam
pemerintahan
dan
melaksanakan segala fungsi pemerintahan di segala tingkat;
4) Hak berpartisipasi dalam organisasi-organisasi dan perkumpulanperkumpulan non pemerintah yang berhubungan dengan kehidupan
masyarakat dan politik negara.
c) Hak perempuan untuk mendapat kesempatan mewakili pemerintah
mereka pada tingkat internasional dan berpartisipasi dalam pekerjaan
organisasi-organisasi internasional, diatur di dalam pasal 8 Konvensi
Perempuan.
d) Hak perempuan dalam kaitan dengan Kewarganegaraannya, diatur di
dalam pasal 9 Konvensi Perempuan, yang meliputi :
1) Hak yang sama dengan pria untuk memperoleh, mengubah atau
mempertahankan kewarganegaraannya.
2) Hak untuk mendapat jaminan bahwa perkawinan dengan orang
asing tidak secara otomatis mengubah kewarganegaraannya atau
menghilangkan kewarganegaraannya.
54
3) Hak yang sama dengan pria berkenaan dengan penentuan
kewarganegaan anak-anak mereka.
Pasal 7-9 Konvensi Perempuan diatas dalam hal tertentu secara jelas
menegaskan kembali hak-hak yang harus dimiliki oleh perempuan lebih
detil daripada Kovenan Hak Sipil dan Politik. Hanya saja ada beberapa
pasal yang di dalam Kovenan tidak dicantumkan di dalam Konvensi
Perempuan. Hal itu tidak berarti bahwa perempuan tidak memiliki hak
politik dan sipil selain yang tertera di dalam Konvensi Perempuan,
namun karena sifatnya menguatkan dan saling melengkapi, apa yang ada
di dalam Kovenan Hak Sipil dan Politik yang tidak tertera dalam
Konvensi Perempuan tetap menjadi hak perempuan (Lembaga Studi dan
Advokasi Masyarakat, ELSAM, 2005 : 11-12).
Bagian III
CEDAW Pasal 2 Kovenan tersebut menyatakan bahwa hak yang
sama antara laki-laki dan
perempuan untuk menikmati, hak-hak
ekonomi, sosial dan budaya yang secara garis besar yang meliputi :
a) Hak untuk mencari nafkah dan memilih pekerjaan (pasal 6);
b) Hak menikmati kondisi kerja yang adil & menguntungkan (pasal 7);
c) Hak untuk membentuk serikat pekerja, terlibat dalam serikat pekerja
(pasal 8);
d) Hak atas jaminan sosial dan asuransi sosial (pasal 9);
e) Hak mendapat perlindungan dalam membentuk keluarga (pasal 10);
f) Hak mendapat perlindungan khusus terhadap kehamilan (pasal 10);
g) Hak mendapat perilaku yang non diskriminatif (pasal 10);
h) Hak atas standar kehidupan yang layak (pasal 11);
i) Hak atas standar tertinggi kesehatan (pasal 12);
j) Hak atas pendidikan (pasal 13);
k) Hak berpartisipasi dalam kehidupan budaya, penikmatan manfaat
teknologi dan kemajuan teknologi (pasal 15);
l) Hak mendapat perlindungan atas karya dan budaya (pasal 15).
55
Bagian IV
Pasal
16
Konvensi
Perempuan
menjamin
tentang
hak-hak
perempuan di dalam perkawinan. Hak ini sebelumnya sudah diatur di
dalam DUHAM, Kovenan Hak Sipil dan Politik dan Kovenan Hak
Ekonomi, Sosial dan Budaya. Secara khusus Konvensi Perempuan
memberi tekanan hak yang sama dalam :
a) Memasuki jenjang perkawinan.
b) Memilih suami secara bebas dan untuk memasuki jenjang perkawinan
hanya dengan persetujuan yang bebas dan sepenuhnya.
c) Hak dan tanggung jawab yang sama sebagai orang tua, terlepas dari
status kawin mereka dalam urusan yang berhubungan dengan anak.
d) Hak dan tanggung jawab yang sama selama perkawinan dan pada
pemutusan perkawinan. Penjarakan kelahiran anak, mendapat
penerangan, pendidikan untuk menggunakan hak tersebut.
e) Hak dan tanggung jawab yang sama berkenaan dengan perwalian,
pemeliharaan, pengawasan, dan pengangkatan anak.
f) Hak pribadi yang sama sebagai suami isteri, termasuk untuk memilih
nama keluarga, profesi dan jabatan.
g) Hak sama untuk kedua suami isteri berhubungan dengan pemilikan
atas perolehan, pengelolaan, penikmatan dan pemindahan harta benda.
c. Penghargaan Hak Perempuan
1) Pelanggaran Hak Perempuan
Perempuan merupakan salah satu golongan yang rentan akan
tindak kekerasan dalam kehidupan bermasyarakat. Hal ini dapat
dibuktikan dengan beberapa gambaran dalam bentuk tabel sebagai
berikut: Tabel mengenai Kekerasan terhadap Perempuan (KtP) yang
pernah terjadi di Indonesia menurut MB. Wijaksana dan Jaorana
Amiruddin (2005: 17-20):
56
Tabel 2.1 Jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan tahun 2001
sampai dengan tahun 2004
No.
Tahun
Jumlah Kasus Kekerasan
1.
2004
13.968 kasus
2.
2003
7.787 kasus
3.
2002
5.163 kasus
4.
2001
3.169 kasus
Sumber: Catatan Tahunan tentang Kekerasan terhadap Perempuan
2005, Komnas Perempuan
Tabel 2.2 Jenis dan jumlah kekerasan dalam rumah tangga (data dari
43 organisasi perempuan, tahun 2004)
No
Jenis kekerasan dalam RT
Jumlah
1.
Kekerasan terhadap Istri
1.782
2.
Kekerasan dalam Pacaran
321
3.
Kekerasan terhadap Anak Perempuan
251
4.
Pekerja Rumah Tangga
71
5.
Kekerasan Ekonomi
28
TOTAL
2.453
Sumber: Catatan Tahunan tentang Kekerasan terhadap Perempuan
2005, Komnas Perempuan
Tabel 2.3 Gambaran umum: jumlah perempuan korban kekerasan
tahun 2014
Sumber : Publikasi Komnas Perempuan, Juni 2014
Keterangan KTP : Kekerasan Terhadap Perempuan
57
Selain survei yang dilakukan oleh Komnas Perempuan diatas,
data terkait pelanggaran hak perempuan juga dapat ditemukan pada
sumber lain yaitu BPS dan Kementerian Negara Pemberdayaan
Perempuan. Berdasarkan survei kekerasan terhadap perempuan dan
anak tahun 2006 oleh BPS dan Kementerian Pemberdayaan
Perempuan mengenai tindak kekerasan terhadap perempuan menurut
pelaku, menunjukkan bahwa: sebanyak 51,1% (dilakukan oleh suami);
11,7% (dilakukan oleh orang tua/mertua, anak/cucu, dan famili);
19,6% (dilakukan oleh tetangga); 0,2% (dilakukan oleh guru); dan
8,0% (dilakukan oleh lainnya) (Guse Prayudi, 2012: 2).
Berdasarkan keterangan yang ditunjukkan oleh tabel-tabel di
atas mengenai tindak kekerasan terhadap perempuan yang merupakan
tindakan pelanggaran hak perempuan, maka penghargaan hak
perempuan sudah semestinya dibangun pada setiap individu-individu
bangsa Indonesia agar peristiwa kekerasan terhadap perempuan dapat
diminimalisasi.
Secara umum, penghargaan menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia (2002) adalah perbuatan, menghargai dan menghormati.
Dapat diartikan pula mengindahkan, dan memandang penting
Sedangkan menurut Muhammad Irfan F (2009) dalam artikelnya yang
berjudul Arti Sebuah Penghargaan menyatakan bahwa wujud dari
penghargaan atas diri manusia, menjaga harkat martabat manusia atau
sekarang ini dikenal sebagai Hak Asasi Manusia (www.maknahidup.
blogdetik.com/2009/11/01artisebuah-penghargaan/ yang di akses
pada tanggal 19 maret 2015).
Jadi dapat diambil kesimpulan bahwa penghargaan hak
perempuan adalah penunjukkan sikap menghargai terhadap adanya
hak perempuan sebagai bagian dari hak asasi manusia yang melekat
pada setiap manusia itu sendiri.
Penghargaan terhadap hak perempuan sudah seharusnya
diberikan oleh setiap orang karena mereka saling memiliki hak asasi
58
manusia itu sendiri, dan hal itu telah secara lahir ada pada mereka
termasuk didalamnya hak perempuan. Selain itu hak perempuan harus
kita hargai, kita akui, kita junjung tinggi dan kita lindungi karena hak
perempuan sebagai hak asasi manusia itu sendiri secara tegas
dinyatakan didalam Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 1999 secara umum dan Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1948 yang merupakan ratifikasi dari CEDAW secara khusus,
dan peraturan-peraturan lain yang mendukung.
Kita sebagai warga negara Indonesia sudah semestinya menaati
apa yang menjadi cita-cita dan tujuan dari bangsa Indonesia, menjadi
warga negara yang baik sesuai nilai-nilai luhur bangsa Indonesia
dengan melaksanakan apa yang tertuang didalam Undang-Undang
Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 dan
peraturan-peraturan lain dibawah Undang-Undang Dasar Negara
Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945.
Penghargaan hak perempuan bisa digambarkan bahwa kita
melaksanakan hak asasi manusia khususnya hak perempuan dalam
suatu tindakan, sikap, dan perilaku dalam berkehidupan berbangsa dan
bernegara. Pelaksanaan penghargaan terhadap hak perempuan berupa
mengakui bahwa hak perempuan sebagai bagian dari Hak Asasi
Manusia ada dan dijamin oleh instrumen hukum nasional Indonesia,
kemudian menunjukkan sikap menghormati, menghargai, menjunjung
tinggi, melindungi dan menegakkan hak perempuan itu sendiri
sehingga meminimalisasi dan bahkan meniadakan pelanggaran
terhadap hak perempuan. Dengan demikian kita memberikan sebuah
penempatan istimewa atau penghargaan terhadap hak perempuan
dalam berkehidupan berbangsa dan bernegara.
Nilai dan sikap yang baik, dalam hal mewujudkan penghargaan
hak perempuan dapat dibangun melalui pendidikan sebagai sarana
yang menyentuh generasi muda secara umum. Melalui guru
Pendidikan Kewarganegaraan yang mengemban tugas mata pelajaran
59
Pendidikan Kewarganegaraan yang berfokus pada membentuk warga
negara yang baik, diharapkan dapat secara langsung menyalurkan
pengetahuan dan nilai yang berkaitan dengan hak perempuan dalam
proses pembelajaran kepada peserta didik.
B. Kerangka Berpikir
Menurut Uma Sekaran (1992) dalam Sugiyono, (2012: 91) menyatakan
bahwa kerangka berpikir merupakan “Model konseptual tentang bagaimana teori
berhubungan dengan berbagai factor yang telah diidentifisi sebagai masalah yang
penting”. Berikut adalah penjabaran dari peneliti terkait kerangka berpikir dalam
penelitian ini. Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) merupakan mata pelajaran
yang memiliki 3 kompetensi didalamnya yaitu Civic Knowledge (Pengetahuan
Kewarganegaraan), Civic Skills (Keterampilan Kewarganegaraan), dan Civic
Disposition (Karakter Kewarganegaraan) yang mana ketiga kompetensi tersebut
menjadi tujuan yang harus dicapai dalam proses pembelajaran Pendidikan
Kewarganegaraan.
Kegiatan pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan merupakan proses
interaksi antara guru sebagai pendidik dan peserta didik atau siswa sebagai yang
di didik, yang berkaitan dengan penyampaian materi-materi Pendidikan dan
Kewarganegaraan, serta implementasi nilai-nilai yang terkandung didalam materi
mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan, yang bertujuan untuk membentuk
dan mempersiapkan siswa menjadi pribadi warga negara yang baik.
Guru sebagai pelaksana pendidikan, khususnya pada hal ini guru Pendidikan
Kewarganegaraan (PKn) harus memiliki strategi-startegi untuk diterapkan dalam
proses pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) agart tercapainya tujuan
pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan yang berupaya untuk mencapai
kompetensi kewarganegaraan yang harus dikuasai oleh peserta didik. Pencapaian
kompetensi kewarganegaraan tersebut, sebagai bentuk mencapai tujuan akhir
pendidikan kewarganegaran yaitu membentuk warga negara yang baik, dalam hal
60
ini mewujudkan peserta didik untuk menghargai dan menujukkan penghargaan
terhadap hak perempuan.
Berikut adalah bagan dari kerangka berpikir dalam penelitian yang
dilakukan oleh peneliti pada judul “Strategi Guru Pendidikan Kewarganegaraan
untuk Membentuk Kompetensi Kewarganegaraan Peserta Didik dalam Upaya
Meningkatkan Penghargaan Hak Perempuan (Studi di SMA Al Islam 1
Surakarta)”.
Pembelajaran Pendidikan
Kewarganegaran
Pembentukan
Kompetensi PKn :
(Civic Knowledge,
Civic Skills, Civic
Disposition)
Warga Negara
yang baik (Good
Citizen)
Guru
Strategi
Penghargaan terhadap
Hak Perempuan
Perilaku peserta didik
yang menunjukkan
penghargaan terhadap hak
perempuan
Gambar 2.1 Skema Kerangka Berpikir
C. Penelitian yang Relevan
Berikut ini adalah beberapa contoh penelitian yang dianggap relevan dengan
penelitian yang dilakukan oleh peneliti:
Hasil Penelitian dari Bangun Setia Budi berjudul “Strategi Guru dalam
Menghadapi Kurikulum 2013 di SMA Negeri 2 Surakarata” (2014), diketahui
61
guru menerapkan strategi-strateginya dalam menghadapi kurikulum 2013, yang
merupakan pembaharuan dari kurikulum 2006 atau KTSP.
Hasil penelitian dari Ika Zulaicha berjudul “Strategi Guru Pendidikan
Agama Islam dalam Menanggulangi Problem Pribadi Siswa Kelas XI di SMA
Negeri 1 Srandakan Bantul” pada tahun 2013, diperoleh data guru melaksanakan
strategi untuk menanggulangi problem pribadi pada siswa kelas XI.
Hasil penelitian dari Evi Hidayatin Ni’mah yang berjudul “Strategi Guru
Akhlak dalam Mengatasi Kenakalan Siswa Kelas XI di SMA Al Hikmah Kajen
Margoyoso Pati” pada tahun 2012, diketahui bahwa strategi guru digunakan
dalam mengatasi kenakalan pada siswa kelas xi di SMA Al Hikmah Kajen
Margono Pati.
Penelitian yang dilakukan oleh peneliti dengan ketiga penelitian diatas
dianggap relevan karena sama-sama meneliti mengenai startegi yang dilakukan
oleh guru sebagai tenaga pendidik, pelaksana pendidikan dalam upaya
mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Berdasarkan pada ketiga penelitian
tersebut dengan penelitian skripsi ini adalah sebagai berikut:
1. Penelitian Bangun, obyek yang diteliti adalah guru secara umum sedangkan
penelitian yang dilakukan oleh peneliti adalah pada guru mata pelajaran
Pendidikan Kewarganegaraan.
2. Peneltian Ika Zulaicha yang diteliti adalah guru Pendidikan Agama Islam
dalam menanggulangi problem pribadi siswa sedangkan yang diteliti oleh
peneliti adalah guru Pendidikan Kewarganegaraan dalam meningkatkan
penghargaan terhadap hak perempuan.
3. Penelitian Evi, meneliti strategi guru secara umum, tidak berfokus pada guru
mata pelajaran tertentu, sedangkan penelitian yang dilakukan oleh peneliti
adalah startegi guru Pendidikan Kewarganegaraan, yang lebih khusus karena
berfokus pada guru mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan.
Download