FARMASI SOSIAL DAN ADMINISTRATIF DI NEGARA BERKEMBANG Anshar Saud Fakultas Farmasi, Universitas Hasanuddin, Makassar ABSTRAK Saat ini tersebar setidaknya dua juta farmasis di seluruh belahan dunia. Perubahan yang signifikan selama beberapa dasawarsa terakhir terhadap lingkungan ekonomi, politik, hukum dan sosial yang sedemikian cepat turut mengubah arah praktek kefarmasian termasuk kurikulum pendidikannya. Farmasi yang pada mulanya merupakan ilmu meracik dan membuat obat yang berorientasi produk, telah mengalami evolusi menjadi ilmu penting dalam layanan kesehatan yang berorientasi pada manusia. Dalam konteks ini, peranan farmasis juga menjadi semakin meluas untuk mengikuti perubahan tersebut. Interaksi langsung dengan pasien dan masyarakat dalam hal penyediaan informasi kesehatan dan juga bimbingan terhadap penggunaan obat yang aman dan rasional bahkan turut bertanggungjawab dalam pembuatan kebijakan kesehatan berbasis sosial dan ekonomi menjadi panggilan profesi. Untuk menjalankan peranan ini secara efektif, farmasis harus menyiapkan diri dengan baik dalam hal bagaimana menghadapi perilaku, psikologi pasien, psikososial masyarakat dan juga pada saat yang sama membangun komunikasi efektif dan kemitraan egaliter antar sesama tim pelayanan kesehatan. Pemahaman terhadap aspek sosiobehavioral, ekonomi, politik, hukum dan sejarah - yang tidak hanya melulu mengandalkan ilmu biomedik, farmasi dan klinis tentang obat merupakan hal yang sangat penting untuk mencapai hasil terapi yang optimal bagi individu dan masyarakat. Perguruan tinggi farmasi di negara-negara maju telah lama mengadopsi konsep ilmu farmasi sosial dan administratif dalam kurikulum standar pendidikan mereka. Namun berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa di negara-negara berkembang termasuk Indonesia konsep farmasi dan administratif masih belum menjadi perhatian dalam kurikulum standar pendidikan farmasi. Kata kunci : farmasi sosial, farmasi sosial administratif, pendidikan, kurikulum, negara berkembang FARMASI SOSIAL yang mengoptimalkan terapi pengobatan; untuk mengarahkan sumber daya dalam sistem pelayanan kesehatan untuk memperbaiki hasil terapi; dan untuk meningkatkan perbaikan kesehatan, derajat kesehatan dan pencegahan penyakit. Pencapaian visi ini akan memacu farmasis untuk mengembangkan dan mempertahankan komitmen untuk peduli dan perhatian terhadap pasien; pengetahuan yang mendalam tentang pengobatan, dan farmasi, biomedik, sosio behavioral dan ilmu klinis; kemampuan untuk menerapkan prinsip dan pedoman pengobatan berbasis bukti (evidence-based therapeutic), mengembangkan sains dan teknologi, dan isu-isu hukum, etika, sosial, budaya, ekonomi dan profesional terhadap pelayanan farmasi kontemporer. Untuk memberikan fondasi ilmu dalam mencapai kompetensi profesional, kurikulum sekolah farmasi terdiri dari ilmu-ilmu: biomedik; farmasi; sosial/behavioral/administratif; dan klinik. Adapun ilmu-ilmu farmasi sosial/behavioral/administratif yang meliputi sistem pelayanan kesehatan, farmakoekonomi, praktek manajemen, farmakoepidemiologi, hukum farmasi, sejarah farmasi, etika, komunikasi profesional, dan aspek-aspek praktek sosial/behavioral (5). Tujuan utama penelitian farmasi sosial adalah untuk menyelidiki pertanyaan dan tema tentang praktek kefarmasian dan penggunaan obat. Konsep ini merupakan bidang gabungan Farmasi sosial secara ringkas didefinisikan sebagai disiplin yang berkenaan dengan ilmu perilaku yang berhubungan dengan penggunaan obat, baik oleh konsumen maupun tenaga kesehatan (1,2). Dalam hubungannya dengan administrasi, farmasi sosial merupakan sub disiplin ilmu farmasi yang menitikberatkan perhatiannya pada penelitian dan pendidikan bidang sosial terapan, perilaku, administrasi dan hukum terhadap sifat dan dampak dari pelayanan farmasi terhadap lingkungan dimana pelayanan tersebut dilakukan (3). Ilmu ini sering kali disebut juga dengan istilah farmasi administratif atau digabungkan menjadi farmasi sosial dan administratif. Secara lengkap, sebagaimana dikutip oleh Evanson (4), Smith & Knapp (1981) menyebutkan bahwa farmasi administratif adalah area pengetahuan yang berciri ilmu sosial dan terutama berhubungan dengan fungsi, prinsip dan praktek administratif, ekonomi, politik, perilaku, distribusi, hukum dan manajemen dalam hubungannya dengan obat terhadap pasien, dokter, institusi dan industri pelayanan kesehatan. American Council of Pharmaceutical Education yang telah menetapkan visi farmasi tahun 2015 menyebutkan bahwa pendidikan farmasi akan menyiapkan farmasis untuk memberikan pelayanan berbasis pasien dan berbasis masyarakat 55 56 Majalah Farmasi dan Farmakologi, Vol. 16, No. 1 – Maret 2012, hlm. 55 – 58 yang menggunakan teori dan metode dari berbagai disiplin ilmu sosial dan humanistik untuk mengeksplorasi segala aspek layanan kefarmasian. Karena sifat interdisipliner inilah, sangat penting bagi seorang peneliti farmasi sosial untuk menjadi familiar dengan beragam disiplin ilmu dan keterampilan dalam menerapkan metode penelitian mereka. Farmasi sosial terutama mempergunakan disiplin ilmu sosiologi, psikologi sosial, psikologi, ilmu politik, ilmu pendidikan, komunikasi, sejarah, ekonomi dan antropologi. Ilmu ini bersandar pada psikologi, psikologi sosial, ilmu politik dan ekonomi, utamanya isu-isu kesehatan masyarakat dan sosial politik (6,7). Gambar 1 memperlihatkan hirarki sistem alam, tingkat organisasi dan disiplin ilmu dalam pendidikan farmasi. Ini merupakan cara untuk menjelaskan hubungan antara berbagai cabang disiplin berbeda dalam ilmu farmasi. Hal ini juga untuk menunjukkan bahwa farmasi klinik bertindak sebagai penghubung antara ilmu alam (kimia/ biologi) dengan farmasi sosial (8). Gambar 1. Tingkatan Organisasi dan Disiplin yang terlibat dalam Pendidikan Farmasi. (Diadaptasi dari Sorensen EW, 2003 (8)) NEGARA BERKEMBANG Setelah lebih dari 30 tahun, institusi farmasi di negara berkembang meningkat dalam memperbaharui pendidikannya dengan fasilitas yang lebih moderen, meningkatkan kapasitas staf pengajar dengan penekanan pada mata pelajaran farmasi rumah sakit, farmasi klinis, biofarmasi dan toksikologi serta pelayanan kefarmasian. Kurikulum farmasi juga berubah dengan menggabungkan komponen farmasi sosial untuk memungkinkan para mahasiswa farmasi berinteraksi secara teratur dengan masyarakat. Akan tetapi kondisi kurikulum standar yang mengadopsi farmasi sosial di beberapa negara berkembang seperti Malaysia, Thailand, India, Cuba, Libya, dan Indonesia me- nunjukkan hal yang kurang menggembirakan (9, 10,11,12,13). Hassali (2011) menemukan bahwa beberapa negara berkembang khususnya di Asia dan Afrika seperti Thailand, Pakistan, India dan Libia dimana kondisi kesehatan masyarakatnya yang tidak stabil, program sarjana farmasi 4 tahunnya digantikan dengan sistem 5 – 6 tahun program farmasis, tetapi tidak ada perubahan berarti yang dibuat terhadap kurikulum farmasi untuk menekankan pada kesehatan masyarakat dan mata pelajaran yang berhubungan secara langsung dengan sosial farmasi, farmakoepidemiologi dan promosi kesehatan. Inspeksi sederhana telah dilakukan terhadap 10 website sekolah farmasi di Malaysia dan ditemukan bahwa kurang dari setengahnya yang memiliki farmasi sosial dalam kurikulumnya. Kuliah perkenalan terhadap farmasi sosial sangat dibutuhkan oleh calon-calon praktisi sehingga mereka lebih sadar terhadap peran mereka terhadap kesehatan masyarakat melebihi efek klinis dari obat (14). Sementara untuk di Indonesia, telah dilakukan inspeksi sederhana terhadap 10 website sekolah farmasi negeri di Indonesia dan satu website Asosiasi Pendidikan Tinggi Farmasi Indonesia (APTFI) (15). Dari pengamatan sederhana ditemukan bahwa tidak lebih dari setengah (hanya 40%) sekolah farmasi ini yang memasukkan muatan farmasi sosial, farmasi kesehatan masyarakat atau farmakoepidemiologi di dalam kurikulumnya. Sedangkan website APTFI telah mencantumkan dan merekomendasikan adanya kuliah farmasi sosial sebanyak 2 SKS (Sistem Kredit Semester) dalam silabus kurikulum institusional program pendidikan profesi apoteker (15,16). Hal ini tentu saja porsinya tidak mencukupi untuk menghasilkan farmasis yang peka secara sosial. Padahal lima belas tahun yang lalu, World Health Organization Consultative Group dalam pertemuan ketiganya di Vancouver tahun 1997 telah menetapkan bagaimana seharusnya peran seorang farmasis. Disebutkan bahwa farmasis sebagai “The Seven Star Pharmacist” yaitu: Care giver; Decision maker; Communicator; Leader; Manager; Life-long learner; and Teacher (17) Begitu pentingnya penguasaan aspek sosio/behavioral/administratif untuk digunakan sebagai bekal profesi melayani individu dan masyarakat dalam pelayanan kesehatan, pendidikan sejak tahun pertama perkuliahan hingga selesai akan sangat membantu mahasiswa membentuk pengetahuan, keterampilan serta percaya diri mereka (18). Walaupun jarang terdengar, sebenarnya pakar di bidang ilmu farmasi sosial di Indonesia bukan tidak ada. Professor Ahmad Fuad Afdhal, MS, Ph.D., adalah salah satunya. Beliau menulis buku "Farmasi Sosial: Membuka Sisi Baru dari Farmasi" dan juga "Farmakoekonomi: Pisau Analisis Terbaru dalam Farmasi". Mantan Direktur PT. Bimantara Citra dan juga mantan Rektor Institut Sains dan Teknologi Nasional Jakarta ini sekarang menjabat sebagai President International Society Anshar Saud, Farmasi Sosial Dan Administratif Di Negara Berkembang for Pharmacoeconomics and Outcomes Research (ISPOR) Indonesia Regional Chapter. Ahmad Fuad Afdhal adalah sarjana farmasi lulusan Institut Teknologi Bandung kemudian mendapatkan gelar MS dan Ph.D. dalam bidang farmasi sosial di College of Pharmacy University of Minnesota, Amerika pada tahun 1983 dengan disertasi berjudul “Patterns of Innovative Behavior of Community Pharmacists” (19,20). Tidak ketinggalan salah seorang pengajar sekolah farmasi Institut Teknologi Bandung - Peraih Habibie Award 2007, Prof. Dr. Elin Yulinah Sukandar juga dalam pidato pengukuhan guru besarnya menyebutkan bahwa farmasis sebagai mitra dokter perlu memacu diri untuk menguasai lebih mendalam ilmu farmakologi klinis dan farmakoterapi serta ilmu farmasi sosial dan komunikasi (21). KESIMPULAN Pencapaian kompetensi yang diharapkan dari seorang farmasis profesional tidak bisa dilepaskan dari pengetahuan dan keterampilan yang cukup dalam bidang farmasi sosial. Ilmu farmasi sosial merupakan salah satu pilar penting dari pendidikan farmasi disamping ilmu biomedik, farmasi dan klinik. Namun disayangkan di sebagian besar negara-negara yang masih berkembang termasuk Indonesia, cakupan gagasan farmasi sosial dan administratif belum terdiseminasi dengan baik atau belum cukup memenuhi kadar yang seharusnya dalam kurikulum standar pendidikan tinggi farmasi. Diperlukan kesadaran dan kebijakan dari para pemangku kepentingan seperti pihak Asosiasi Pendidikan Tinggi Farmasi Indonesia dan terutama para pimpinan dan pengajar sekolah tinggi farmasi untuk memasukkan ilmu farmasi sosial dan administratif ke dalam kurikulum standar mereka agar segera tercipta generasi farmasis yang kompeten di masa depan. DAFTAR PUSTAKA 1. Wertheimer, A.I. 1991. Sosial/behavioural Pharmacy-The Minnesota Experience. J Clin Pharm Ther 16:381-383. 2. Wertheimer, A.I. and Smith, M.C., 1989. Pharmacy Practice: Social and Behavioural Aspects. Wiiliams and Wilkins, Philadelphia. 3. Manasse, H.R. and Rucker, T.D. 1984. Pharmacy Administration and its Relationship to Education, Research and Practice. Sosial Adm Pharm 2(3):127-135. 4. Evanson, R.V., editor, 1985. A History of Pharmacy Administration, American Association College of Pharmacy, 26-29 57 5. Accreditation Council For Pharmacy Education, 2006, Accreditation Standards and Guidelines for the Profesional Program in Pharmacy Leading to the Doctor of Pharmacy Degree, Chicago, Illinois, 18,20 6. Harding, G., Nettleton, S., and Taylor, K., 1990. Sociology for Pharmacist: An Introduction. Mc Millan, London. 7. Taylor, K. and Harding, G., 2001, Pharmacy Practice, Taylor & Francis, New York, 54, 60, 339 8. Sorensen, E.W. and Mount, J.K., 2003. The Concept of Social Pharmacy, The Chronic Ill, Summer Edition. 1-2 9. Saad-Omar, S.A. and Hassali, M.A., 2012. Perceptions towards the Need of Social Pharmacy Courses in Libya: Findings from CrossSectional Survey among Senior Pharmacy Students, Prime Research on Education (PRE) Journals, ISSN: 2251-1253. Vol. 2(3), pp. 237243 10. Saad-Omar, S.A., and Hassali, M.A., 2012. Importance of social pharmacy education in Libyan pharmacy schools: perspectives from pharmacy practitioners, J Educ Eval Health Prof Vol 9;2012 11. Hassali, M.A., 2011. Challenges and Future Directions for Public Health Pharmacy Education Developing Countries, American Journal of Pharmaceutical Education 2011; 75 (10) Article 195 12. Anderson, C., 2008. Social Pharmacy – The Current Scenario. Indian Journal of Pharmacy Practice. Bangalore, 1-5 13. Alina de las Mercedes, M.S., 2011. Bachelor of Pharmacy Degree in Cuba: New Educational Challenges, American Journal of Pharmaceutical Education 2011; 75 (1) Article 13. 14. Hassali, M.A., 2011. Social pharmacy as a field of study: the needs and challenges in global pharmacy education, Res Social Adm Pharm. 2011 Dec;7(4):415-20. 15. Saud, A. 2012. Farmasi Sosial di Indonesia, belum diterbitkan. 16. Asosiasi Pendidikan Tinggi Farmasi Indonesia 2008. Silabus Kurikulum Institusional Program Pendidikan Apoteker, http://aptfi.or.id/?s=far masi+sosial&x=11&y=9 (diakses 15 Juni 2012) 17. World Health Organisation (WHO), 1997. The Role of The Pharmacist in The Health Care System: Preparing The Future Pharmacist: Curricular Development. Vancouver, Canada, 3,4,27-29 August 1997. 18. Saad-Omar, S.A., 2011, Social Pharmacy Courses Are Often Neglected in the Developing World, American Journal of Pharmaceutical Education 2011; 75 (4) Article 65. 19. International Society for Pharmacoeconomics and Outcomes Research, 2012. ISPOR Indonesia Regional Chapter, http://www.ispor.org/ regional_chapters/Indonesia/index.asp (diakses 15 Juni 2012) 58 Majalah Farmasi dan Farmakologi, Vol. 16, No. 1 – Maret 2012, hlm. 55 – 58 20. Pharmaceutical Care and Health System, 2011. Graduates and Current Student Directory: Ph.D. Degrees Awarded (1974-present), http://www.pharmacy.umn.edu/pchs/saph/alum ni/home.html (diakses 15 Juni 2012) 21. Sukandar EY (2010). Tren dan paradigma dunia farmasi: Industri – Klinik - Teknologi Kesehatan, Bandung. Pidato Pengukuhan Guru Besar, Sekolah Farmasi Institut Teknologi Bandung, 11