PRIMER SPESIFIK GEN HEAT SHOCK PROTEIN 70 SEBAGAI

advertisement
JRSKT Vol. 4 No. 2 Desember 2014
M. Nurjayadi. et. al.
PRIMER SPESIFIK GEN HEAT SHOCK PROTEIN 70 SEBAGAI ALAT DETEKSI BAKTERI S. TYPHI
DENGAN POLYMERASE CHAIN REACTION
Muktiningsih Nurjayadi, Irma Ratna Kartika dan Nilam Pratiwi
Department of Chemistry, Faculty of Mathematis and Science,Universitas Negeri Jakarta. Jalan Pemuda No.
10, Rawamangun 13220, Jakarta, Indonesia
Corresponding author: [email protected]
ABSTRAK
Salmonella typhi merupakan bakteri patogen penyebab demam tifoid pada manusia. Mekanisme
patogenesitas Salmonella typhi merupakan sistem yang kompleks dan diatur oleh sejumlah gen dan faktorfaktor virulen. Salah satu gen-nya adalah dnaK yang mengatur sintesis Heat Shock Protein 70 (HSP70).
Penelitian ini bertujuan untuk merancang dan menguji primer HSP70 Salmonella typhi dalam mendeteksi
bakteri Salmonella typhi dari biakan murni. Metode yang digunakan adalah metode eksperimen dengan
teknik Polymerase Chain Reaction (PCR). Penelitian ini telah berhasil merancang dan mensintesis tiga pasang
primer yaitu primer HSP70-1, primer HSP70-2, dan primer HSP70-3, hal ini ditunjukan dengan hasil
elektroforesis, bahwa ketiga primer tersebut dapat mengamplifikasi daerah gen HSP70 Salmonella typhi
berukuran 302 bp, 273 bp, dan 213 bp. Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk studi pengembangan
metode deteksi bakteri S. typhi berbasis HSP sebagai bakteri penyebab demam tifoid dan metode deteksi
bakteri Salmonella typhi sebagai bakteri penyebab keracunan makan yang spesifik dengan metode PCR.
ABSTRACT
Salmonella typhi is a pathogen causing typhoid fever in humans. Pathogenicity mechanism of Salmonella
typhi is complex and regulated by a number of genes and virulence factors. DnaK is the one that regulated the
synthesis of Heat Shock Protein 70 (HSP 70). This research purpose to designing and testing the primer pairs in
the detection of Salmonella typhi bacteria from pure cultures. The method used was experimental by
Polymerase Chain Reaction (PCR). This research has successfully designed three primaries namely HSP70-1,
HSP70-2, and HSP70-3 were in electrophoresis results showed that the three primary can amplify HS 70 of
Salmonella typhi with sized 302 base pairs, 273 base pairs and 213 base pairs. The results could be used to
study the development of Salmonella typhi bacteria detection method based HSP as the bacteria which cause
typhoid fever and Salmonella bacteria detection method as the bacteria that cause food poisoning by specific
PCR method.
Keywords: Salmonella typhi, HSP70, detection methods, PCR.
1. Introduction/Pendahuluan
Demam tifoid merupakan penyakit
sistemik yang disebabkan oleh infeksi bakteri
Salmonella typhi. Terdapat sekitar 17 juta kasus
demam tifoid di seluruh dunia. Kasus ini terjadi
di seluruh provinsi Indonesia dengan insidensi
kematian
mencapai
180/100.000
penduduk/tahun [13]. Diagnosis klinis demam
tifoid menjadi tantangan medis karena
kemiripannya dengan penyakit demam lainnya
[4]. Oleh sebab itu, metode laboratorium yang
cepat dan sensitif untuk diagnosis demam tifoid
sangat penting. Meskipun telah diterapkan
beberapa tes serologi, namun tes yang terbukti
sangat sensitif dan spesifik untuk mendeteksi
demam tifoid masih terus dikembangkan. Salah
satu metode alternatif untuk mendeteksi
418
ISSN: 2302-8467
demam tifoid adalah Polymerase Chain
Reaction (PCR). Metode genetik yang
didasarkan pada PCR cukup sensitif untuk
mendeteksi 100 CFU/ml bakteri, bahkan pada
saat yang sama dapat mendeteksi sel-sel mati
setelah pengolahan karena sensitivitasnya yang
tinggi [5]. Penelitian sebelumnya juga telah
membuktikan bahwa dengan metode PCR
menggunakan pasangan primer Fim-C-S. typhi
mampu mendeteksi 1.295 x 10-39 μg/mL DNA
kromosom dan memiliki spesifisitas yang tinggi
[8, 10].
Penelitian sebelumnya telah berhasil
mengamplifikasi daerah variabel gen HSP 70 S.
typhi berukuran 1,9 kb [11]. Namun sebagai
alat deteksi molekuler daerah variabel gen
HSP70 S. typhi tersebut masih memiliki tingkat
Jurnal Riset Sains dan Kimia Terapan
M. Nurjayadi. et. al.
homologi yang tinggi bila dibandingkan dengan
bakteri lain. Oleh sebab itu, dilakukan
pencarian daerah variabel gen HSP70 S. typhi
yang memiliki tingkat homologi rendah
terhadap bakteri lain serta dilakukan
perancangan dan pengujian primer spesifiknya
dengan metode PCR sehingga metode deteksi
yang dikembangkan ini diharapkan dapat
mendeteksi keberadaan bakteri S. typhi baik
dari biakan murni maupun dari sampel pasien
atau sampel pangan. Hasil penelitian ini
diharapkan
dapat
berkontribusi
dalam
pengembangan ilmu pengertahuan dan
pengembangan metode deteksi penyebab
penyakit typhus yang pada akhirnya dapat
meningkatkan kualitas hidup masyarakat
Indonesia.
2. Experimental/Metodologi Penelitian
2.1. Isolasi DNA dan Karakterisasinya
Bakteri S. typhi, S. typhimurium, V.
cholerae, E. coli, dan S. dysentriae dalam
medium padat miring diperoleh dari
Laboratorium Mikrobiologi FK-UI di kultur
dalam media LB Broth suhu 37°C [1]. Media
selektif SSA digunakan untuk memeriksa hasil
kultur S. typhi dan S. typhimurium [2]. DNA
bakteri diisolasi menggunakan kit wizard
purifikasi DNA (Promega). Konsentrasi DNA
hasil isolasi diukur pada nilai rasio A260/A280
dengan nanodrop (Maestro Gen) [9].
Gambar 1. Hasil Elektroforesis DNA (1) Marker 1 kb
(2) DNA Genom S. typhi, (3) S. typhimurim, (4) E.
coli, (5) Vibrio cholerae, dan (6) Shigella dysentriae.
Elektroforesis dilakukan pada tegangan 100 volt,
selama 30 menit, dan pewarnaan dengan ethidium
bromide
Jurnal Riset Sains dan Kimia Terapan
JRSKT Vol. 4 No. 2 Desember 2014
2.2. Perancangan dan Sintesis Primer Gen HSP
70 S. typhi
Sekuen data gen HSP 70 S. typhi diperoleh
dari GenBank NCBI [10]. Daerah yang
menunjukkan persentase “Query Cover 0%” bila
dibandingkan dengan bakteri S. typhimurium,
V. cholerae, E. coli, dan S. dysentriae adalah
parameter yang dipilih untuk menjadi DNA
template yang kemudian akan dirancang
primernya. Parameter perancangan primer
dipilih karena daerah tersebut tidak memiliki
kesamaan dengan gen HSP 70 S. typhi sehingga
pada saat hasil akhir proses PCR hanya gen HSP
70 S. typhi 70 yang dapat teramplifikasi dan
akan menghasilkan pita saat pengecekan
dengan menggunakan elektroforesis gel
agarosa [3]. Primer hasil rancangan selanjutnya
di sintesis di Laboratorium komersial
Macrogen, Inc – Korea [8]. Selanjutnya primer
hasil sintesis akan diuji spesifisitasnya.
Gambar 2. Optimasi Suhu Annealing Primer
HSP70-1 pada Template DNA S. typhi. Optimasi pada
suhu annealing (1) Marker DNA (2) 48°C, (3) 50°C,
(4) 52°C, (5) 54°C, (6) 56°C, (7) 58°C, (8) 60°C, (9)
62°C (10) 64°C, (11) 66°C, (12) 68°C, (13) 70°C, (14)
72°C, (15) Kontrol (-). Elektroforesis dilakukan pada
tegangan 100 volt, selama 30 menit, dan pewarnaan
dengan ethidium bromide.
Primer Hasil Rancangan
Primer hasil rancangan yaitu primer HSP701 dengan urutan (5’-GGA TCC GAC GCA TGG
CTT GAT GTG AA-3’) (forward) dan 5’–AAG CTT
AAA GTA CCA CCA CC GAG GTC-3’ (reverse)
dengan lokasi penempelan lokus STY0012
11891-12192, dan menghasilkan amplikon
berukuran 302 pasang basa (pb); Primer
ISSN: 2302-8467
419
JRSKT Vol. 4 No. 2 Desember 2014
HSP70-2 dengan urutan 5’-GGA TCC AAG ACT
TCG ATA CCC GCC TG -3’ (forward) dan 5’–AAG
CTT TCA GCG GCT CGA TAG AAC G-3’(reverse)
dengan lokasi penempelan lokus STY0012
12282-12536, dengan menghasilkan amplikon
berukuran 273 pasang basa (pb); Primer
HSP70-3 dengan urutan 5’-GGA TCC TAC TGC
TGC TGG ACG TTA CC-3’ (forward) dan 5’–AAG
CTT CCA GGT TGA ACT GAC CCA GA -3’(reverse)
dengan lokasi penempelan lokus STY0012
12759-12852, dengan menghasilkan amplikon
berukuran 213 pasang basa (pb).
2.3. Optimasi Kondisi Suhu Annealing PCR
dengan
Template
S.
typhi
dan
Karakterisasinya
Diuji beberapa kondisi suhu annealing
dengan rentang suhu 46 °C - 72 °C dengan
metode. Proses PCR dilakukan selama30 siklus,
dengan kondisi: denaturasi pada suhu 95oC
selama 1 menit, anneling pada rentang suhu 46
°C - 72 °C selama 1 menit, pemanjangan rantai
pada suhu 72°C selama 1 menit, serta
pemantapan hasil reaksi pada akhir siklus pada
suhu 72°C selama 4 menit. Proses pelaksaaan
PCR menggunakan mesin PCR gradient
(Biometra-T Advanced) [5]. Hasil PCR
dikarakterisasi dengan elektroforesis gel
agarosa 1.5 % menggunakan pewarna ethidium
bromide [11].
2.4. Uji Spesifikasi Primer dengan Metode PCR
dan Karakterisasinya
Ketiga primer hasil rancangan diuji
spesifikasinya dengan menggunakan PCR
dengan sampel hasil isolasi DNA. Hasil PCR
dikarakterisasi dengan elektroforesis agarosa
1.5 % dan dibandingkan. Primer dikatakan
spesifik jika hanya dapat mengamplifikasi DNA
genom S. typhi, tetapi tidak dapat
mengamplifikasi bakteri uji lainnya [1].
3. Results
and
discussion/Hasil
Dan
Pembahasan
3.1. Isolasi DNA Genom dan Karakterisasinya
420
ISSN: 2302-8467
M. Nurjayadi. et. al.
DNA genom bakteri berasal dari pembiakan
bakteri dalam medium padat miring diperoleh
dari laboratorium Mikrobiologi UI yaitu bakteri
S. typhi, S. typhimurium, V. cholerae, E. coli, dan
S. dysentriae. Selanjutnya bakteri-bakteri
tersebut dibiakkan di Laboratorium BiokimiaBioteknologi FMIPA UNJ menggunakan media
LB Broth. Pellet bakteri yang telah dipisahkan
ditambah dengan Nuclei Lysis Solution untuk
memecahkan inti sel, lalu ditambahkan dengan
RNase Solution untuk menghancurkan RNA.
Protein Precipitation Solution ditambahkan
setelahnya untuk mengendapkan protein [8].
DNA yang telah terpisah dengan protein
lalu diendapkan dan dipekatkan dengan
penambahan isopropanol. Pellet DNA yang
telah didapat kemudian ditambahkan dengan
etanol 70% untuk mencuci benang DNA yang
telah didapat. Setelah etanol dibuang, pellet
DNA yang didapat dikering anginkan agar
benar-benar bebas dari etanol karena dapat
mengganggu kerja enzim pada proses
amplifikasi. Setelah itu pellet DNA ditambahkan
dengan DNA Rehydration Solution sehingga
didapat larutan DNA genom. Hasil isolasi
kemudian disimpan pada suhu sekitar -4˚C yang
selanjutnya akan digunakan pada amplifikasi
genom bakteri [8].
Kemurnian DNA genom hasil isolasi
selanjutnya diukur dengan spektrofotometer
Nanodrop. Hasil pengukuran disajikan pada
tabel 1.
Tabel 1. Hasil Pengukuran Konsentrasi DNA
dengan Nanodrop
Pita DNA menyerap spektrum UV pada ʎ=
260nm, sedangkan kontaminan protein dan
fenol menyerap UV pada ʎ= 270nm. Oleh
Jurnal Riset Sains dan Kimia Terapan
M. Nurjayadi. et. al.
karena itu kemurnian sampel DNA dapat diukur
dengan menghitung nilai absorbansi pada ʎ
260nm dan ʎ 280nm. Nilai kemurnian DNA
yang baik adalah yang berada pada rentang
nilai 1,80-2,00. Jadi sampel DNA hasil isolasi
memiliki kemurnian yang baik [9].
Gambar 3. Optimasi Suhu Annealing Primer HSP702 pada template DNA S. typhi. Optimasi pada suhu
annealing (1) Marker DNA (2) 48°C, (3) 50°C, (4)
52°C, (5) 54°C, (6) 56°C, (7) 58°C, (8) 60°C, (9) 62°C
(10) 64°C, (11) 66°C, (12) 68°C, (13) 70°C, (14) 72°C,
(15) Kontrol (-). Elektroforesis dilakukan pada
tegangan 100 volt, selama 30 menit, dan pewarnaan
dengan ethidium bromide.
Hasil isolasi DNA genom bakteri-bakteri
selanjutnya dikarakterisasi untuk memastikan
keberhasilan isolasi dengan elektroforesis gel
agarosa 1,5% pada arus 100 Volt selama 30
menit dengan menggunakan pewarna etidium
bromida[11].. Karakterisasi menggunakan DNA
Ladder 1 kb sebagai marker DNA, dan DNA
genom bakteri S. typhi, S. typhimurim, E. coli,
Vibrio cholerae dan Shigella dysentriae hasil
isolasi sebagai sampel. Dokumentasi hasil
karakterisasi dengan elektroforesis agarosa
disajikan pada gambar 1.
Berdasarkan data hasil elektroforesis pada
gambar 1
diketahui bahwa DNA genom
bakteri-bakteri telah berhasil diisolasi. Hal ini
ditandai dengan munculnya pita-pita DNA pada
gel. Pita DNA semua bakteri terletak pada posisi
yang lebih tinggi dari garis pertama marker
DNA atau lebih dari 1,5 kb. Munculnya pita
DNA pada ukuran >1,5kb menunjukkan bahwa
hasil ini sesuai dengan hasil pencarian informasi
tentang ukuran DNA genom bakteri dari
beberapa genom database. Hasil analisis data
Jurnal Riset Sains dan Kimia Terapan
JRSKT Vol. 4 No. 2 Desember 2014
dari beberapa literatur menunjukkan bahwa
ukuran DNA genom bakteri S. typhi sebesar
4,81 mega base pairs (mb), S. typhimurium
sebesar 4,86 mb, E. coli sebesar 4,8 mb, Vibrio
cholerae sebesar 4,03 mb, dan Shigella
dysentriae sebesar 4,34 mb [12].
3.2. Optimasi Kondisi Suhu Annealing PCR
Primer Hasil Rancangan
Optimasi suhu annealing menunjukkan
bahwa semua suhu annealing 46°C-72°C
menghasilkan pita spesifik secara jelas pada
template DNA genom bakteri S. typhi dari hasil
amplifikasi dengan ketiga primer. Foto hasil
optimasi
suhu
anneling
menggunakan
pasangan primer HSP70-1, HSP70-2, dan
HSP70-3 dengan masing-masing amplikon
berukuran 302 pasang basa (pb), 273 pb dan
213pb disajikan pada gambar 2, gambar 3 dan
gambar 4.
Gambar 4. Optimasi Suhu Annealing Primer
HSP70-3 pada template DNA S. typhi. Optimasi pada
suhu annealing (1) Marker DNA (2) 48°C, (3) 50°C,
(4) 52°C, (5) 54°C, (6) 56°C, (7) 58°C, (8) 60°C, (9)
62°C (10) 64°C, (11) 66°C, (12) 68°C, (13) 70°C, (14)
72°C, (15) Kontrol (-). Elektroforesis dilakukan pada
tegangan 100 volt, selama 30 menit, dan pewarnaan
dengan ethidium bromide.
Hasil
optimasi
suhu
annealing
menggunakan pasangan primer HSP70-1
menunjukkan adanya pita DNA yang tebal pada
rentang suhu 46-72oC, berdasarkan hal tersebut
maka optimasi pasangan primer lainnya
dilakukan dengan rentang suhu annealing 46°C72°C. Seperti diketahui bahwa suhu annealing
yang ideal berkaitan dengan Tm primer yang
ISSN: 2302-8467
421
JRSKT Vol. 4 No. 2 Desember 2014
M. Nurjayadi. et. al.
murni S. Typhi. Uji spesifisitas pada penelitian
ini dilakukan pada suhu annealing 72°C. Hal ini
didasarkan pada amplikon yang dihasilkan pada
suhu tersebut memiliki ketebaln pita yang
optimum.
Gambar 5. Hasil Amplifikasi dengan Pasangan
Primer Gen HSP70-1. (1) Marker DNA, (2) Hasil
PCR DNA Genom S. typhi, (3) Hasil PCR DNA
genom S. typhimurium, (4) Hasil PCR DNA genom
E. Coli, (5) Hasil PCR DNA genom Shigella
dysentriae, dan (6) Hasil PCR DNA genom Vibrio
cholera, (7) Kontrol (-). Elektroforesis dilakukan
digunakan
untuk
proses
PCR.
Suhu annealing yang
digunakan
dapat
dihitung berdasarkan (Tm –5) °C sampai
dengan
(Tm +
5) °C. Secara
teoritis Tm primer dapat dihitung dengan
menggunakan
rumus
[2(A+T)+4(C+G)].
Sehingga rentang suhu 46°C - 72°C merupakan
suhu yang ideal untuk proses annealing primer
[3], sehingga dari hasil yang diperoleh dapat
disimpulkan bahwa proses amplifikasi genom S.
typhi dari biakan murni telah berhasil dilakukan
pada rentang suhu tersebut. Selanjutnya akan
dipilih satu suhu yang paling optimum untuk
tahap uji selanjutnya sesuai standar
pengembangan alat deteksi molekular.
3.3. Uji Spesifikasi Primer HSP70-1, HSP70-2
dan HSP70-3 dengan Metode PCR dan
Karakterisasinya
Uji spesifisitas bertujuan untuk mengecek
pasangan primer berfungsi secara selektif dan
dapat membedakan template bakteri S. typhi
dengan template bakteri lainnya. Tahap ini
merupakan salah satu syarat standar uji untuk
alat deteksi molekular yang harus dilakukan.
Primer dapat dikatakan spesifik apabila hanya
dapat mengamplifikasi DNA genom biakan
422
ISSN: 2302-8467
Gambar 6.Hasil Amplifikasi dengan Pasangan Primer Gen
HSP70-2. (1) Marker DNA, (2) Hasil PCR DNA Genom S.
typhi, (3) Hasil PCR DNA Genom S. typhimurium, (4) Hasil
PCR DNA Genom E. Coli, (5) Hasil PCR DNA Genom Shigella
dysentriae, dan (6) Hasil PCR DNA Genom Vibrio cholera,
(7) Kontrol (-). Elektroforesis dilakukan pada tegangan 100
volt, selama 30 menit, dan pewarnaan dengan ethidium
bromide.
Amplikon berukuran ± 302 bp diperoleh
dari DNA genom bakteri S typhi dan S
typhimurium pada pasangan primer HSP70-1.
Hal ini ditunjukkan dengan munculnya pita DNA
pada hasil karakterisasi dengan elektroforesis
gel agarosa 2%. Pita DNA tunggal (tanpa smear)
untuk hasil PCR dengan template DNA genom S.
typhi dan S typhimurium hasil isolasi muncul
pada daerah ± 0,3 kb atau 302 pb sesuai
dengan ukuran pita DNA S. Typhi yang dihitung
secara in silico. Untuk template DNA bakteri uji
lainnya yaitu E. Coli, Shigella dysentriae dan
Vibrio cholera tidak dihasilkan pita pada ukuran
tertentu.
Hasil uji spesfisitas dengan pasangan
primer HSP70-1 menunjukkan bahwa telah
berhasil di rancang pasangan primer HSP-70
yang dapat membedakan template bakteri S.
Typhi dengan bakteri
E. Coli, Shigella
dysentriae dan Vibrio cholera sebagi template,
Jurnal Riset Sains dan Kimia Terapan
M. Nurjayadi. et. al.
namun belum dapat membedakan bakteri S.
Typhi dengan S. Typhimurium. Hasil analisis
literature menunjukkan bahwa urutan genome
bakteri S. Typhi dan S. Typhimurium memiliki
kesamaan 98% [6,7,8, 10], sehingga pada
fragmen gen HSP-70 diperkirakan juga memiliki
tingkat homologi atau kesamaan urutan
sekuens nukletioda yang tinggi. Foto hasil
elektroforesis uji spesifisitas pasangan primer
HSP70-1 disajikan pada gambar 5.
Amplikon berukuran ± 273 bp diperoleh pada
DNA genom bakteri S typhi dan S typhimurium
pada pasangan primer HSP70-2. Hal ini
ditunjukkan dengan munculnya pita DNA pada
hasil karakterisasi dengan elektroforesis gel
agarosa 2%. Pita DNA tunggal (tanpa smear)
untuk hasil PCR dengan template DNA genom S.
typhi dan S typhimurium hasil isolasi muncul
pada daerah ± 0,3 kb atau 273 pb. Sama
dengan pasangan primer HSP70-1, maka hasil
uji spesfisitas dengan pasangan primer HSP70-2
menunjukkan bahwa telah berhasil di rancang
pasangan primer HSP-70 yang dapat
membedakan template bakteri S. Typhi dengan
bakteri E. Coli, Shigella dysentriae dan Vibrio
cholera sebagi template, namun belum dapat
membedakan bakteri S. Typhi dengan S.
Typhimurium.
Hasil
analisis
literature
menunjukkan bahwa urutan Genome bakteri S.
Typhi dan S. Typhimurium memiliki kesamaan
98% [8, 10], sehingga pada fragmen gen HSP-70
diperkirakan juga memiliki tingkat homologi
atau kesamaan urutan sekuens nuknletida yang
tinggi. Foto hasil elektroforesis uji spesifisitas
pasangan primer HSP70-2 disajikan pada
gambar 6.
Amplikon berukuran ± 213 bp diperoleh
pada DNA genom bakteri S typhi, S
typhimurium, E. Coli dan Shigella dysentriae
pada hasil apmlifikasi dengan pasangan primer
HSP70-3. Hal ini ditunjukkan dengan munculnya
pita DNA pada hasil karakterisasi dengan
elektroforesis gel agarosa 2%. Pita DNA tunggal
(tanpa smear) untuk hasil PCR dengan template
DNA genom S typhi, S typhimurium, E. Coli dan
Jurnal Riset Sains dan Kimia Terapan
JRSKT Vol. 4 No. 2 Desember 2014
Shigella dysentriae hasil isolasi muncul pada
daerah ± 0,2 kb atau 213 pb. Berdasarkan hasil
amplifikasi dan elektrofeoresis yang dilakukan
maka dapat disimpulkan bahwa pasangan
primer HSP70-3 tidak bersifat spesifik, karena
dapat mengenali template bakteri lainnya. Foto
hasil elektroforesis dari amplifikasi pasangan
primer HSP70-3 dengan template bakteri S.
Typhi, S. Typhimurium dan bakteri lainnya
disajikan pada gambar 7.
Gambar 7. Hasil Amplifikasi dengan Pasangan Primer
Gen HSP70-3. (1) Marker DNA, (2) Hasil PCR DNA Genom
S. typhi, (3) Hasil PCR DNA Genom S. typhimurium, (4)
Hasil PCR DNA Genom E. Coli, (5) Hasil PCR DNA Genom
Shigella dysentriae, dan (6) Hasil PCR DNA Genom Vibrio
cholera, (7) Kontrol (-). Elektroforesis dilakukan pada
tegangan 100 volt, selama 30 menit, dan pewarnaan
dengan ethidium bromide.
4. Kesimpulan
Penelitian ini telah berhasil menemukan
dua pasangan primer spesifik yang dapat
mengamplifikasi gen HSP 70 S typhi dan S.
typhimurium berukuran 302 bp dan 273 bp
dengan sampel DNA genom dari biakan murni,
menemukan satu pasangan primer yang dapat
mengamplifikasi gen HSP 70 S. typhi, S.
typhimurium, E coli, dan Shigella dysentriae
berukuran 213 bp dengan sampel DNA genom
dari biakan murni.Hasil penelitian ini dapat
digunakan untuk studi pengembangan metode
deteksi bakteri S. typhi berbasis Heat Shock
Protein sebagai bakteri penyebab demam tifoid
dan metode deteksi bakteri S. typhimurium dan
bakteri lainnya sebagai bakteri penyebab
keracunan makan (food poisoning) yang spesifik
ISSN: 2302-8467
423
JRSKT Vol. 4 No. 2 Desember 2014
M. Nurjayadi. et. al.
dengan metode Polymerase Chain Reaction
(PCR). Uji tahap selanjutnya yang berkaitan
dengan sensitivitas dan uji terhadap sampel
pasien sedang dalam proses pengembangan.
5. Ucapan Terima Kasih
Ucapan terimakasih kami haturkan kepada
DP2M Kemenristek Dikti yang telah mendanai
penelitian ini dengan skim Hibah Penelitian
Unggulan Perguruan Tinggi (PUPT 2016), Rektor
UNJ, Ketua lembaga Penelitian UNJ, Prodi
Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam, Universitas Negeri Jakarta,
dan PT Sentra Biodinamika Sains atas segala
saran dan bantuannya, serta Tim salmonella
2010, 2011, dan 2012 yang dengan semangat
tinggi, dan kolaborasinya sehingga penelitian
dapatberjalanlancar.
Daftar Pustaka
[1]
[2]
[3]
[4]
[5]
[6]
[7]
[8]
[9]
[10]
[11]
[12]
[13]
424
Hatta, M., and Smits, L. H. Journal of Tropical Medicine Hygine, Vol. 76, No. 1, (2007) 139143.
Hardy Diagnostics. 2015. Instruction for Use SS Agar. https://catalog.
hardydiagnostics.com/cp_prod/Content/hugo/SSAgar.html, Accessed 12 Juli, at 23.28
GMT+7 (2015).
Innis, M. A. and Gelfand, H. 1990. Optimization of PCR: PCR Protocols. A Guide to
Methods and Applications, 30. Academic Press Inc, California.
Khan, S., Harish, N. B G., Menezes, A. G., Acharya, S. N., and Parija, C. S. Indian Journal of
Medicine Res, Vol. 136, (2012) 850-854.
McPherson, M., and Moller, S. PCR Second Edition. Vol. 2 (2006) 1-20.
Muktiningsih, Dewi, F. K., Sukmawati, D. S., Sandra, R. N., dan Wulansari, F., (2009).
Laporan Penelitian. Lembaga Penelitian UNJ, Jakarta.
Muktiningsih Nurjayadi1, Fera Kurniadewi, Irma Ratna Kartika, Suhartono, Restu Nidia
Sandra, Fitri Wulandari, Taufan Ardianto, Dalia Sukmawati, and Wibowo
Mangunwardoyo, AIP Conf. Proc. 1729, (2015) 020060-1–020060-4; doi:
10.1063/1.4946963.
Muktiningsih, Fera Kurniadewi, Imanuelle Orchidea R.P., Jurnal Kimia Dan Pendidikan
Kimia (JKPK), Vol.1, No.1(2016) 32-40.
NanoDrop Technologies Inc. 2007. 260/280 and 260/230 Ratios. Wilmington-Delaware,
USA.
NCBI. Basic Local Alignment Search Tools, http://blast.ncbi.nlm.nih.gov/Blast.cgi,
Accessed 24 December, at 22.20 GMT+7
(2011).
Pal, G. 2013. Principles of Electrophoresis. http://elte.prompt.hu/sites/de
fault/files/tananyagok/practical_biochemistry/ch07.html, Accessed 2 November at 15.03
GMT+7 (2014).
Parkhil,l. J., Dougan, G., James, K. D., Thomson, N. R., Pickard, D., Wain, J., Churcher, C.,
Mungall, K. L., Bentley, S. D., Holden, M.T., Sebaihia, M., Baker, S., Basham, D., Brooks, K.,
Chillingworth, T., Connerton, P., Cronin, A., Davis, P., Davies, R. M., Dowd, L., White, N.,
Farrar, J., Feltwell, T., Hamlin , N., Haque, A., Hien, T. T., Holroyd, S., Jagels, K., Krogh, A.,
Larsen, T. S., Leather, S., Moule, S., O'Gaora, P., Parry, C., Quail, M., Rutherford, K.,
Simmonds, M., Skelton, J., Stevens, K., Whitehead, S., and Barrell, B. G. 2001. Complete
genome sequence of a multiple drug resistant Salmonella enterica serovar Typhi CT18.
Journal of Nature, Vol. 413, 848-852.
WHO.
2014.
Focus
on
Typhoid
Fever
http://www.wpro.who.int/philippines/typhoon_haiyan/media/Typhoid_fever.pdf?ua=1,
Accessed 11 November, at 15.03 GMT+7 (2014).
ISSN: 2302-8467
Jurnal Riset Sains dan Kimia Terapan
Download