BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Definisi Bunyi Bunyi adalah suatu efek

advertisement
5
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Definisi Bunyi
Bunyi adalah suatu efek yang dihasilkan pada organ pendengaran yang
disebabkan oleh vibrasi udara atau media lainnya yang berasal dari suatu sumber
bunyi. Vibrasi atau getaran media ini digambarkan sebagai suatu gelombang
dengan frekuensi dan amplitudo tertentu tergantung nada dan intensitas bunyi.
Gelombang ini merupakan pemampatan dan perenggangan media yang merambat
menjauhi sumber bunyi. Dalam proses penghantaran bunyi, keberadaan media
sangat penting. Media tempat gelombang bunyi merambat harus mempunyai
massa dan elastisitas. Pada umumnya medianya adalah udara. Gelombang bunyi
tidak dihantarkan di ruang hampa. Media perantara padat lebih cepat
menghantarkan bunyi dibandingkan udara (Agarwal, 1992).
2.2 Anatomi Telinga dan Fisiologi Pendengaran
Telinga terdiri atas 3 bagian yaitu bagian luar, tengah dan dalam. Telinga
luar terdiri atas daun telinga dan liang telinga. Telinga luar dan tengah
menghantarkan suara ke koklea, yang memisahkan suara sesuai frekuensi sebelum
suara ditransduksi oleh sel rambut menjadi kode neural dalam serat saraf
pendengaran. Pada telinga luar terdapat konka yang paling penting secara akustik
(Moller, 2006).
5
6
Sepertiga bagian lateral dari liang telinga adalah tulang rawan. Mengandung
kelenjar seruminosa dan kelenjar rambut. Bagian dua pertiga medial liang telinga
meliputi tulang. Liang telinga berbentuk tuba yang terbuka pada satu ujung dan
tertutup pada sisi lainnya, dikatakan sebagai resonator seperempat gelombang
(Mills dkk., 2006).
Telinga tengah merupakan rongga berisi udara yang terbagi atas kavum
timpani dan air cell mastoid (Probst dkk., 2006). Telinga tengah terdiri dari
membran timpani dan 3 tulang kecil yaitu maleus, inkus dan stapes. Di dalam
telinga tengah juga terdapat dua otot kecil yaitu m. tensor timpani yang melekat
pada manubrium maleus dan m. stapedius yang melekat pada stapes. M. tensor
timpani dipersarafi oleh n. trigeminus sedangkan m. stapedius dipersarafi oleh n.
fasialis. Korda timpani adalah cabang n. fasialis yang berjalan menyeberangi
rongga telinga tengah. Tuba Eustachius menghubungkan rongga telinga tengah
dengan faring (Moller, 2006).
Membran timpani berbentuk agak oval dan merupakan selaput tipis pada
ujung liang telinga. Gendang telinga berbentuk kerucut dan agak cekung bila
dilihat dari liang telinga. Bagian utama dari gendang telinga disebut pars tensa dan
bagian kecilnya disebut pars flasida yang lebih tipis dan terletak di atas
manubrium maleus. Gendang telinga ditutupi oleh selapis sel epidermis yang
berlanjut dari kulit liang telinga. Tuba Eustachius terdiri dari bagian tulang atau
protimpanum yang berlokasi dekat rongga telinga tengah dan bagian tulang rawan
yang membentuk celah tertutup saat berakhir di nasofaring (Moller, 2006).
7
Telinga dalam atau labirin terletak di dalam tulang temporal, terdiri dari
koklea dan vestibular seperti disajikan pada Gambar 2.1. Koklea atau rumah
siput berupa dua setengah lingkaran dan vestibular terdiri dari 3 buah kanalis
semisirkularis. Koklea memiliki 3 saluran yang terisi cairan yaitu skala vestibuli,
skala timpani dan skala media. Skala media yang berlokasi di tengah koklea,
dipisahkan dari skala vestibuli oleh membran Reissner dan dari skala timpani oleh
membran basilar. Pada membran basilar ini terdapat organ Corti yang
mengandung sel rambut (Moller, 2006).
Gambar 2.1 Anatomi Telinga (Ganong, 2009).
Organ Corti adalah organ sensori yang terstruktur baik. Terdapat 1 baris sel
rambut dalam dan 3 baris sel rambut luar pada bagian atas membran basilar
dengan berbagai sel pendukung yang bervariasi. Sel rambut adalah sel reseptor
sensori dari pendengaran dan keseimbangan serta sel yang paling penting dalam
telinga dalam. Sel rambut memiliki mekanoreseptor khusus yang mengubah
8
stimulus mekanik yang berkaitan dengan pendengaran dan keseimbangan menjadi
informasi neural yang diteruskan ke otak (Oghalai dan Brownell, 2004).
Koklea pada manusia membentuk 2 ½ sampai 2 ¾ putaran dimana panjang
keseluruhannya sekitar 3,1-3,3 cm dan tinggi sekitar 0,5 cm (Moller, 2006).
Koklea adalah bagian telinga yang paling penting dan bisa dimengerti apa yang
terjadi dalam koklea bisa mengakibatkan banyaknya kunci permasalahan
pendengaran. Koklea terisi oleh cairan yang hampir tidak bertekanan dan juga
memiliki dinding tulang yang kaku. Terbagi dua panjangnya oleh dua membran,
yaitu membran Reissner dan membran basilar seperti disajikan pada Gambar 2.2
(Mills dkk., 2006).
Gambar 2.2 Potongan melintang koklea (Mills dkk., 2006).
Energi akustik memasuki koklea melalui kerja seperti piston dari kaki stapes
pada tingkap lonjong dan diteruskan langsung pada perilimfe dari skala vestibuli.
Perilimfe dari skala vestibuli berhubungan dengan perilimfe dari skala timpani
9
melalui sebuah bukaan kecil dari apeks koklea yang dikenal sebagai helikotrema
(Mills dkk., 2006).
Ketika tingkap lonjong bergerak dengan adanya suara, perbedaaan tekanan
diaplikasikan menyeberangi membran basilar, yang mengakibatkan pergerakan
membran basilar. Perbedaan tekanan dan pola pergerakan membran basilar
memerlukan waktu untuk berkembang dan bervariasi tergantung panjangnya
membran basilar. Pola yang muncul tidak tergantung pada ujung mana dari koklea
yang distimulasi (Mills dkk., 2006).
Telinga luar mendapat aliran darah cabang aurikulotemporal a. temporalis
superfisial di bagian anterior dan di bagian posterior mendapat aliran darah oleh
cabang aurikuloposterior a. karotis eksterna. Kavum timpani mendapat aliran
darah oleh berbagai cabang a. karotis eksterna (a. meningea media, a. faringeal
ascenden, a. maksilaris dan a. stilomastoid). Telinga dalam mendapat aliran darah
oleh a. labirin yang berasal dari a. antero inferior cerebellar atau a. basilaris. Arteri
labirin ini berjalan bersama n. vestibulokoklearis melalui kanalis auditorius
internus, yang kemudian terbagi menjadi a. vestibularis dan a. koklearis (Probst
dkk., 2006). Arteri labirin adalah end-artery dengan sedikit atau tanpa suplai
darah kolateral ke koklea. Penting untuk dicatat bahwa a. labirin yang berjalan di
kanalis auditorius internus bukan arteri tunggal namun berupa beberapa arteriol
kecil, hampir seperti pleksus arteri (Moller, 2006).
Proses mendengar diawali dengan ditangkapnya energi bunyi oleh daun
telinga dalam bentuk gelombang suara dan liang telinga meneruskan gelombang
ini yang akan menggetarkan gendang telinga. Daun telinga juga membantu
10
lokalisasi suara dan lebih efisien dalam menyampaikan suara frekuensi tinggi
dibanding frekuensi rendah. Gelombang suara yang mencapai gendang telinga
akan berjalan sepanjang rantai pendengaran yang terdiri dari tulang inkus, maleus
dan stapes. Gendang telinga dalam rantai pendengaran paling efisien dalam
mentransmisikan suara antara 500 Hz dan 3000 Hz yang merupakan frekuensi
yang paling penting untuk mengerti percakapan (Lee, 2003).
Dalam penerimaan bunyi, proses transmisi dibedakan menjadi dua bagian
sesuai organ penerima, yaitu transmisi aerodinamik dimana stimulus bunyi
berpindah dari liang telinga ke membran timpani dan dari membran timpani ke
tulang pendengaran. Transmisi yang ke dua adalah transmisi hidrodinamik yaitu
stimulus bunyi berpindah dari foramen ovale ke telinga dalam melalui cairan
perilimfe dan endolimfe (Mills dkk., 2006).
Telinga tengah mentransformasikan energi akustik dari media udara ke
media cairan. Hal ini merupakan sistem pencocokan impedans untuk memastikan
energi tidak hilang. Dengan bergetarnya membran timpani, rantai pendengaran
akan bergerak 1 rotasi aksis dari processus anterior maleus melewati processus
inkus. Ketika energi suara mencapai tingkap lonjong, koklea mentransformasikan
sinyal dari energi mekanik menjadi energi hidrolik dan akhirnya sel-sel rambut
menjadi energi bioelektrik. Seiring dengan keluar dan masuknya footplate stapes
dari tingkap lonjong, sebuah gelombang yang berjalan diciptakan dalam koklea
melalui teori gelombang Bekessy (Lee, 2003).
Sepanjang perjalanan gelombang melalui koklea, gelombang ini akan
mengakibatkan pergerakan membran basilar dan membran tektorial. Perbedaan
11
gerakan ke dua membran mengakibatkan terlipatnya sel rambut stereosilia.
Lipatan ini mendepolarisasi sel rambut yang akibatnya memulai impuls aferen
saraf (Lee, 2003).
Gelombang suara berjalan dari dasar ke apeks sepanjang membran basilar
sampai gelombang mencapai maksimum. Perjalanan gelombang ini ditentukan
oleh interaksi frekuensi suara dan membran basilar. Sel rambut luar mudah
bergerak, bereaksi mekanik pada sinyal yang datang dengan memendek dan
memanjang tergantung karakteristik frekuensi. Sel rambut luar adalah bagian dari
umpan balik mekanisme aktif, menyesuaikan kekuatan fisik dari membran
basilaris sehingga frekuensi yang diberikan secara maksimal menstimulasi sel
rambut dalam (Lee, 2003).
Neuron frekuensi tertentu mentransmisikan kode neural dari sel rambut ke
sistem auditorius. Sekali impuls saraf terinisiasi, sinyal ini akan berjalan
sepanjang jaras pendengaran dari sel ganglion spiral dalam koklea ke modiolus, di
mana serat ini membentuk cabang koklea dari N. VIII. Lalu dilanjutkan ke
nukleus auditorius sampai ke korteks pendengaran atau area 39-40 di lobus
temporalis (Lee, 2003).
2.3 Epidemiologi
Gangguan pendengaran tentunya dapat mengakibatkan penurunan fungsi
komunikasi dan penurunan kualitas hidup bagi penderitanya. Tuli akibat bising
merupakan tuli sensorineural yang paling sering dijumpai setelah presbikusis.
Lebih dari 28 juta orang Amerika mengalami ketulian dengan berbagai macam
12
derajat, di mana 10 juta orang di antaranya mengalami ketulian akibat terpapar
bunyi yang keras pada tempat kerjanya (Rabinowitz, 2000). Sebanyak 35 juta
orang di Amerika menderita ketulian dan 8 juta orang diantaranya merupakan tuli
akibat kerja (Heggins, 1998).
Penelitiannya terhadap 105 karyawan pabrik dengan intensitas bising antara
79 s/d 100 dB didapatkan bahwa sebanyak 74 telinga belum terjadi pergeseran
nilai ambang, sedangkan sebanyak 136 telinga telah mengalami pergeseran nilai
ambang dengar, derajat ringan sebanyak 116 telinga (55,3%), derajat sedang 17
(8%) dan derajat berat 3 (1,4%) (Oetomo dan Suyitno, 1993). Sebanyak 32,2%
dalam suatu penelitian terhadap karyawan pabrik gula menderita dugaan NIHL
(Harnita, 1995). Penelitian di Singapura yang dilakukan terhadap 40 karyawan
diskotik didapatkan 41,9% karyawannya menderita tuli akibat bising (Airlangga
dan Nahrawi, 2007).
2.4 Definisi Bising
Bising secara subjektif dapat didefinisikan sebagai bunyi yang mengganggu,
tidak disenangi dan tidak diinginkan. Secara objektif bising adalah kumpulan
getaran bunyi yang terdiri dari berbagai frekuensi dan amplitudo baik berifat
periodik atau non periodik (Roestam, 2004). Dalam kesehatan kerja bising
merupakan bunyi yang dapat menyebabkan penurunan pendengaran secara
kuantitatif berupa peningkatan ambang dengar maupun secara kualitatif berupa
penyempitan spektrum pendengaran di mana berkaitan dengan faktor intensitas,
frekuensi, durasi dan pola waktu (Alberti, 2003; Brasto, 2008).
13
Secara psikologik bising dapat menggangu seseorang namun tidak dapat
dirasakan oleh orang lain. Berbagai macam jenis musik yang memekakkan telinga
tidak dirasakan menggangu oleh para penggemarnya, walaupun berakibat
gangguan fungsi pendengaran, sebaliknya musik yang intensitasya rendah dapat
dirasakan mengganggu bagi yang tidak menyukainya (Roestam 2004).
Tabel 2.1.
Batas pajanan bising yang diperkenankan sesuai
Keputusan Menteri Tenaga Kerja 1999 (Soetirto dan Bashirudin, 2007).
Waktu
Lama pajan/hari
Intensitas (dB)
Jam
Menit
Detik
24
80
16
82
8
85
4
88
2
91
1
94
30
97
15
100
7,5
103
3,75
106
1,88
109
0,94
112
28,12
115
14,06
118
7,03
121
3,52
124
1,76
127
0,88
130
0,44
133
0,22
136
0,11
139
14
Bising dapat dibagi dalam beberapa macam. Bising kontinyu merupakan
bising dengan spektrum luas dan menetap dengan batas amplitudo kurang lebih 5
dB untuk periode waktu 0,5 detik atau disebut steady wide band noise. Bising
kontinyu dapat berspektrum sempit dan menetap atau disebut steady narow band
noise. Bising terputus-putus atau intermiten noise adalah bising yang tidak
berlangsung terus menerus namun terdapat periode relatif berkurang. Bising yang
disebabkan pukulan yang kurang dari 0,1 detik sering disebut impact noise atau
bila bising tersebut berulang disbut repeated impact noise. Bising yang berasal
dari ledakan tunggal disebut explosive noise. Apabila berulang disebut repeated
explosive noise. Bising ini dapat menimbulkan rasa kejut pada pendengarnya
karena memliki perubahan tekanan bunyi melebihi 40 dB dalam waktu yang
sangat cepat (Roestam, 2004).
Berdasarkan Keputusan Menteri Tenaga Kerja 1999 maka batas waktu
pajanan bising yang diperkenankan di Indonesia dapat dilihat dalam Tabel 2.1
(Soetirto dan Bashirudin, 2007).
2.5 Pemangku dan Genta
Pemangku atau Jro Mangku sering disebut sebagai Pinandita merupakan
jabatan suci yang diberikan kepada seseorang untuk menjalankan tugas-tugas suci
yang berkaitan dengan pelaksanaan Yadnya atau upacara keagamaan Hindu.
Pemangku berasal dari kata ‘Pangku’ yang memiliki makna yang sama dengan
menyangga atau memikul tanggung jawab melayani umat Hindu dalam
pelaksanaan Yadnya atau upacara keagamaan Hindu (Suhardana, 2008).
15
Pemangku terdiri dari beberapa macam yaitu 1) Pemangku Widhi dimana
pemangku ini bertugas di Pura Khayangan Tiga, Pura Dangkhayangan serta Pura
Dadia berawal dari keturunan dan di sudi oleh masyarakat, 2) Pemangku
Pinandita yang bertugas nganteb banten tingkat Dewa Yadnya, Manusa Yadnya
dan Bhuta Yadnya, 3) Pemangku Balian yang dalam tugasnya mengobati
masyarakat yang sakit, 4) Pemangku Tapakan yang tugasnya melayani Pura yang
di emong, 5) Pemangku Sadeg yang tugasnya sebagai pengayah setelah upacara
piodalan, 6) Pemangku Dalang yang tugasnya sebagai Dalang, pewayangan dan
memohon pembersihan ‘Sudha Mala” dalam upacara ‘Sapuh Leger’ dan 7)
Pemangku Tapini yang tugasnya sebagai tukang banten (Suhardana, 2008).
Sudah menjadi tradisi atau kebiasaan bagi umat Hindu dalam menyelesaikan
suatu upacara agama dengan skala yang cukup besar, umumnya meminta bantuan
pemangku. Dengan bantuan pemangku yang diiringi mantra dan genta, upacara
yang dilaksanakan dapat berlangsung dengan baik. Dalam pelaksanaan upacara,
seorang pemangku selalu menggunakan genta di tangan kirinya setinggi
epigastrium. Genta tersebut dibunyikan oleh pemangku sambil membaca mantra
dalam mengiringi jalannya suatu upacara (Suhardana, 2008).
Genta terbuat dari kuningan yang dicampur perunggu. Genta ini
menghasilkan suara dentingan yang panjang serta bernada tinggi. Terdapat tiga
macam cara membunyikan genta. Ketiga jenis bunyi genta itu dinamakan 1)
Lembu Mangan Dukut. Dalam hal ini genta dibunyikan seperti suara keroncongan
sapi ketika makan rumput. Setiap siklus, genta dibunyikan tiga kali dan
seterusnya. Jenis ini dipergunakan pada waktu upacara Dewa Yadnya; 2) Bramara
16
Ngisep Sari. Disini genta dibunyikan seperti dengung suara kumbang ketika
menghisap sari bunga. Setiap siklus, genta dibunyikan enam kali dan seterusnya.
Jenis upacara ini dipergunakan pada waktu upacara Manusa Yadnya, Pitra Yadnya
dan Rsi Yadnya; 3) Bima Kroda. Dalam hal ini genta dibunyikan seperti suara
genta yang ribut, seperti Bima yang sedang mengamuk. Jenis ini dipergunakan
pada waktu upacara Bhuta Yadnya. Berdasarkan hasil observasi intensitas bunyi
genta didapatkan yaitu berkisar 100-103,7 dB (Suhardana, 2008).
2.6 Pengaruh Kebisingan Terhadap Kerusakan Telinga Dalam
Efek suara atau bunyi dapat menimbulkan respon adaptasi, peningkatan
ambang dengar sementara atau peningkatan ambang dengar menetap yang
dilakukan sebagai respon terhadap rangsangan auditori. Respon adaptasi terjadi
apabila terdapat rangsangan bunyi pada telinga yang merupakan suatu fenomena
fisiologis. Rangsangan bunyi dengan paparan sebesar 70 dB atau kurang akan
terjadi pemulihan selama kurang dari setengah detik. Peningkatan ambang dengar
sementara akan muncul bila terdapat rangsangan atau paparan bising dengan
intensitas yang cukup tinggi. Umumnya pemulihan dapat berlangsung dalam
hitungan menit atau jam. Secara umum dapat dibagi menjadi 2 yaitu reaksi lelah
yang secara fisiologis dapat berlangsung lebih dari 2 menit dimana respon
pemulihan lengkap terjadi selama kurang dari 16 jam dan kelelahan patologis atau
peningkatan ambang dengar sementara berjalan lama dimana waktu pemulihan
berlangsung lama dan pemulihan kadang tidak sempurna. Pada peningkatan
ambang dengar menetap sering diakibatkan oleh adanya paparan bunyi yang
17
sangat tinggi dan berlangsung singkat atau paparan dengan instensitas yang cukup
tinggi namun dengan waktu paparan yang berlangsung cukup lama (Alberti, 2003;
Dobie, 2006).
Bising dapat mengakibatkan kerusakan pada telinga dalam. Lesi dapat
terjadi bervariasi dari disosiasi organ Corti, membrana rusak atau pecah,
perubahan stereosilia dan organ subseluler. Bising juga berpengaruh terhadap sel
ganglion saraf, membrana tektoria, pembuluh darah dan stria vaskularis. Pada
observasi kerusakan organ Corti dengan mikroskop elektron dapat diketahui
bahwa sel-sel sensori dan sel penunjang merupakan bagian yang paling peka di
telinga dalam (Soetirto dan Bashirudin, 2007).
Jenis kerusakan pada struktur organ tertentu yang ditimbulkan bergantung
pada intensitas, lama pajanan dan frekuensi bising. Penelitian menggunakan
intensitas bunyi 120 dB dan kualitas bunyi nada murni sampai bising dengan
waktu pajanan 1-4 jam menimbulkan beberapa tingkat kerusakan sel rambut.
Kerusakan juga dapat dijumpai pada sel penyangga, pembuluh darah dan serat
aferen (Soetirto dan Bashirudin, 2007).
Stimulasi bising pada tingkat intensitas sedang dapat mengakibatkan
perubahan ringan pada silia dan Hensen’s body, sedangkan stimulasi dengan
intensitas yang lebih keras dengan pajanan yang lebih lama akan mengakibatkan
kerusakan struktur sel rambut lain seperti mitokondria, granula lisosom, lisis sel
dan robekan di membran Reisner. Pajanan bunyi dengan efek destruksi yang tidak
begitu besar menyebabkan terjadinya floppy silia yang sebagian masih reversibel.
18
Kerusakan silia menetap ditandai dengan fraktur rootlet silia pada lamina
retikularis (Soetirto dan Bashirudin, 2007).
Sepuluh milimeter dari foramen ovale terdapat sel rambut yang memiliki
amplitudo paling besar dan menerima energi terbesar terhadap paparan bising,
sehingga bagian tersebut akan mudah cedera akibat paparan bising yang disebut
sebagai 4000 Hz receptors. Karena hubungannya dengan serabut saraf sering juga
disebut 4000 Hz nerve fiber. Tempat ini merupakan lokus minoris pada organ
Corti (Alberti, 2003).
2.7 Pemeriksaan Gangguan Pendengaran
Pemeriksaan telinga dan pendengaran dimulai dengan anamnesis yang
mencakup riwayat gangguan pendengaran herediter, riwayat penyakit telinga
sebelumnya, paparan bising dan obat-obat ototoksik. Pemeriksaan dilanjutkan
dengan inspeksi yang menyeluruh dari daun telinga dan sekitarnya. Pemeriksaan
otoskopi kemudian dilakukan untuk dapat menilai kondisi liang telinga dan
membran timpani (Probst dkk., 2006). Pemeriksaan hidung, nasofaring dan jalan
nafas atas perlu dilakukan dengan seksama.
Evaluasi pendengaran dapat ditentukan dengan berbagai cara mulai dari
pengukuran sederhana sampai pengukuran dengan alat khusus. Contoh alat
pengukuran sederhana atau kualitatif adalah garpu tala, sedangkan alat khusus
atau kuantitatif misalnya dengan audiometri, Oto Acoustic Emission atau OAE,
Auditory Brainstem Response atau ABR dan Auditory Steady State Response atau
19
ASSR (Soetirto dan Bashirudin, 2007). Dalam penelitian ini, gangguan
pendengaran dievaluasi dengan menggunakan audiometri nada murni.
2.7.1 Audiometri Nada Murni
Audiometri nada murni adalah pengukuran sensitivitas pendengaran dengan
frekuensi yang dimulai dari 250 Hz sampai 8000 Hz. Pemeriksaan ini adalah dasar
dari evaluasi pendengaran dan dilaksanakan dalam ruang kedap suara.
Pemeriksaan audiometri digunakan untuk memeriksa seluruh sistem auditorius
mulai dari telinga luar sampai korteks auditorius (Sweetow dan Bold, 2004).
Pada audiometri nada murni, ambang didapatkan baik melalui konduksi
udara maupun konduksi tulang. Pada pengukuran konduksi udara, perbedaan
stimulus nada murni yang berbeda-beda ditransmisikan melalui earphone. Sinyal
melewati liang telinga masuk ke dalam kavum timpani melalui tulang
pendengaran ke koklea dan kemudian menuju sistem auditorius pusat. Ambang
konduksi udara menggambarkan mekanisme integritas auditorius perifer.
Sedangkan pada pengukuran konduksi tulang, sinyal ditransmisikan melalui
getaran tulang yang biasanya diletakkan pada prominentia mastoid. Nada murni
secara langsung menstimulus koklea setelah melewati liang telinga dan telinga
tengah. Hasil pemeriksaan audiometri berupa audiogram dalam bentuk grafik
yang menggambarkan ambang pendengaran dalam frekuensi (Bess dan Humes,
2008).
Satuan stimulus diberikan dalam satuan desibel atau dB. Secara klinis, batas
normal untuk audiogram adalah 0-20 dB Hearing Level atau HL, dan 0-15 dB HL
untuk anak-anak (Hall dan Lewis, 2003). Sedangkan derajat gangguan
20
pendengaran sesuai World Health Organization atau WHO (1991) adalah ambang
≤ 25 dB dikategorikan normal, ambang 26-40 dB dikategorikan gangguan
pendengaran derajat ringan, ambang 41-60 dB mencerminkan gangguan
pendengaran sedang, ambang 61-80 dB dikategorikan gangguan pendengaran
berat, ≥ 81 dB dikategorikan gangguan pendengaran sangat berat. Frekuensi yang
penting untuk mengerti percakapan adalah di antara 500-8000 Hz. Pada tuli
konduksi, didapatkan hantaran tulang yang normal dan gangguan terdapat pada
hantaran udara sedangkan pada tuli sensorineural tidak terdapat gap antara
hantaran udara dan tulang (Hall dan Lewis, 2003).
2.8 Diagnosis Gangguan Pendengaran Akibat Bising
Diagnosis
gangguan
pendengaran
akibat
bising
dapat
ditegakkan
berdasarkan anamnesis, riwayat pekerjaan, pemeriksaan fisik dan otoskopi serta
pemeriksaan penunjang berupa audiometri (Soetirto dan Bashirudin, 2007).
Pada anamnesis seseorang pernah bekerja atau sedang bekerja di lingkungan
bising dalam jangka waktu cukup lama umumnya 5 tahun atau lebih (Soetirto dan
Bashirudin, 2007). Ketulian timbul secara bertahap yang biasanya terjadi dalam 510 tahun pertama paparan (Heggins, 1998). Tuli ini umumnya mengenai ke dua
telinga (Probst dkk., 2006). Penting untuk ditanyakan adalah riwayat pajanan
bising termasuk intensitas bising, lama paparan dalam sehari dan lama paparan
dalam seminggu serta lama kerja dalam lingkungan bising tersebut. Perlu juga
diperhatikan mengenai riwayat ketulian dalam keluarga, penggunaan zat atau obat
yang bersifat ototoksik serta trauma kepala. Penderita tuli akibat bising biasanya
21
datang dengan keluhan utama kurang pendengaran. Bila sudah cukup berat
disertai keluhan sukar menangkap percakapan dengan kekerasan biasa dan bila
lebih berat lagi maka percakapan yang keraspun sulit dimengerti. Selain itu,
penderita tuli akibat bising juga sering mengeluh tinitus nada tinggi yang hilang
timbul. Bila terjadi paparan bising berulang, maka tinitus akan menetap. Tinitus
menjadi lebih mengganggu pada saat suasana sunyi atau pada saat penderita akan
tidur, sehingga penderita mengeluh sukar tidur dan sulit berkonsentrasi (Dobie,
2006; Soetirto dan Bashirudin, 2007).
Pada pemeriksaan fisik telinga dan otoskopi tidak didapatkan adanya
kelainan. Pada pemeriksaan tes penala didapatkan tes Rinne hasil positif, tes
Weber lateralisasi ke telinga yang sehat, tes Schwabach memendek pada telinga
yang terkena. Kesan jenis ketuliannya adalah sensorineural. Pada pemeriksaan
audiometri nada murni didapatkan dengan tuli sensorineural pada frekuensi antara
3000-6000 Hz dan pada frekuensi 4000 Hz didapatkan takik (notch) yang
patognomonik untuk jenis ketulian ini (Soetirto dan Bashirudin, 2007).
Berdasarkan Komisi Konservasi Pendengaran dan Bising dari The American
College of Occupational Medicine atau ACOM maka definisi tuli akibat bising
adalah sebagai gangguan pendengaran yang timbul secara perlahan sebagai akibat
paparan bising yang berlangsung lama secara terus-menerus ataupun terputusputus dengan karakteristik sebagai berikut: 1) Tuli saraf koklea; 2) Sebagian besar
kasus bilateral dengan gambaran audiogram yang hampir serupa; 3) Hampir
sebagian besar tidak menunjukkan gangguan pendengaran yang berat (pada
frekuensi rendah sekitar 40 dB dan frekuensi tinggi 75 dB); 4) Bila paparan bising
22
hilang maka progresivitas kelainan terhenti pula; 5) Riwayat paparan sebelumnya
tidak menyebabkan telinga menjadi lebih sensitif terhadap paparan yang didapat
kemudian; 6) Kerusakan awal terjadi pada frekuensi 3000, 4000 dan 6000 Hz
dengan penurunan terbesar pada frekuensi 4000 Hz; 6) Gangguan pendengaran
maksimal timbul setelah paparan berlangsung sekitar 10-15 tahun, setelah itu
gambaran audiogram relatif menetap; 7) Kerusakan akibat paparan bising yang
terus menerus lebih berat dibanding kerusakan akibat paparan bising yang
terputus (Alberti, 2003; Dobie, 2006; Probst dkk., 2006).
Download