Transformasi Nitogren dalam Tanah Tergenang

advertisement
6
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengaruh Penggenangan Tanah terhadap Sifat-sifat Tanah
Sifat-sifat fisik, kimia, dan biologi tanah tergenang sangat berbeda dengan
sifat-sifat tanah lahan kering.
Dalam tanah sawah, oksigen yang semakin
berkurang, pembuatan teras, dan pembentukan gundukan/pematang akan
mengubah sifat kimia tanahnya dan adanya genangan air di atas permukaan tanah
dapat melindungi tanah dari sebagian kerusakan akibat proses -proses yang
memengaruhi produktivitas jangka panjangnya, seperti erosi tanah.
2.1.1. Pengaruh Penggenangan terhadap Sifat Fisikokimia Tanah
Dengan penggenangan, air memenuhi ruang pori tanah, dan udara dalam
tanah dikeluarkan. Tiadanya oksigen dalam tanah maka organisme tanah akan
menggunakan sumber penerima elektron lain dari komponen tanah lainnya
sebagai pengganti oksigen, dan akibatnya tanah menjadi bersifat reduktif.
Oksigen terlarut dalam air genangan yang berasal dari atmosfer atau dari aktivitas
fotosintetik berbagai hidrofit, akan berdifusi ke lapisan tanah permukaan di bawah
air genangan yang bersifat oksidatif. Walaupun lapisan yang lebih dalam dari
tanah tergenang tetap tereduksi, lapisan teroksidasi tersebut sering berperan
penting dalam transformasi kimia dan siklus hara yang terjadi dalam tanah
tergenang. Pada lapisan tanah teroksidasi yang tipis tersebut, jasad renik
melakukan proses biologi yang bersifat aerobik dan berbagai senyawa mineral
berada dalam bentuk teroksidasi seperti SO 42- , NO3- , Fe3+ dan Mn4+, sedangkan
pada zona anaerob yang lebih bawah didominasi oleh bentuk-bentuk tereduksi
seperti senyawa fero (Fe 2+) dan mangano (Mn2+ ), ammonia, dan sulfida (S2-)
(Mohanty dan Dash, 1982).
Karena adanya besi feri (Fe 3+) dalam lapisan
teroksidasi, tanah sering berwarna coklat atau merah kecoklatan.
Sebaliknya
warna sedimen tereduksi yang didominasi oleh besi fero (Fe2+) sering memberikan
warna abu kebiruan sampai abu kehijauan karena adanya proses gleisasi. Sebelum
perubahan ini terjadi, organisme telah mereduksi ion nitrat menjadi gas N2O dan
N2, dan mangani (Mn4+) menjadi mangano (Mn2+) (Greenland, 1997).
7
2.1.2. Pengaruh Penggenangan terhadap Sifat Biokimia Tanah
Konsentrasi O2 di bawah lapisan tanah teroksidasi yang tipis menurun
tajam dan mendekati nol.
Laju penipisan O2 ini tergantung pada suhu,
ketersediaan bahan organik untuk respirasi jasad renik, dan kadang-kadang pada
kebutuhan O2 dari reduktan seperti besi fero (Gambrell dan Patric k, 1978). Pada
kondisi tanpa O2 jasad renik aerob mati atau menjadi tidak aktif dan jasad renik
anaerob fakultatif atau anaerob obligat menjadi aktif dalam zona anaerob.
Organisme-organisme ini menciptakan zona tereduksi dengan sistem potensial
redoks campuran yang memengaruhi sifat kimia dan elektrokimia tanah (Mitsch
dan Gosselink, 1993).
Skema dari profil tanah tergenang ditunjukkan dalam
Gambar 1.
Akibat dari penggenangan, potensial redoks dari lapisan tanah yang
tereduksi menurun tajam. Potensial redoks (Eh), suatu ukuran tekanan elektron
(atau
ketersediaan
elektron)
dalam
larutan,
sering
digunakan
untuk
mengkuantifikasi derajat reduksi elektrokimia dari tanah-tanah tergenang.
Oksidasi terjadi tidak hanya selama pengambilan oksigen tetapi juga bila ion
hidrogen dilepaskan (misalnya : H 2S
S2- + 2H +) atau, yang lebih umum bila
secara kimia memberikan elektron (misal: Fe 2+
Fe 3+ + e -). Reduksi adalah
proses yang berlawanan yaitu memberikan oksigen, menerima hidrogen
(hidrogenasi), atau menerima elektron. Potensial redoks dapat diukur dalam tanah
tergenang dan merupakan ukuran kuantitatif dari kecenderungan tanah untuk
mengoksidasi atau mereduksi bahan atau komponen tanah (Faulkner dan
Richardson, 1989). Tanah yang teraerasi dicirikan dengan potensial redoks +400
milivolt (mV) atau lebih besar. Bila proses reduksi cukup intens, tanah dapat
mempunyai potensial redoks –300 mV. Tingkat oksidasi dan reduksi dari sistem
redoks, seperti oksigen, nitrat, nitrit, mangan, besi, dan sulfur juga berbagai
senyawa organik yang mudah terdekomposisi menentukan potensial redoks tanah
(Qixiao dan Tianren, 1997).
Dalam lapisan tanah tereduksi, untuk menggantikan oksigen yang
diperlukan dalam metabolisme aerob, organisme anaerob menggunakan penerima
elektron lain yang lebih lemah. Penerima elektron yang terkuat setelah O 2 adalah
nitrat (NO3-). Nitrat direduksi menjadi gas N2 atau N2O pada potensial redoks
8
NH3
Kedalaman Tanah (cm)
Permukaan air
0
1
NH 4, NH 4OH, NH3 (aq)
2
Permukaan tanah
3
NH4+
4
HNO 2
HNO 3
La pisa n Tan ah Tero ks i dasi
Nitrifikasi
5
pencucian
6
7
HNO 3
HNO2
HNO
N 2O dan N2
Denitrifikasi
8
gas volatil
9
Lap i sa n Tan ah Tere du ks i
10
Gambar 1.
Skema dari Lapisan Oksidasi – Reduksi (Sumber: Mikkelsen,
1987)
+220 mV dan proses ini disebut denitrifikasi. Nitrat bersifat stabil hanya pada
lapisan tanah bagian atas, yaitu di bawah genangan air dan tapak-tapak mikro
yang bersifat aerob dalam lapisan anaerob seperti di sekitar perakaran tanaman
padi.
Daerah di sekitar perakaran padi, kira-kira tiga milimeter tebalnya,
merupakan zona teroksidasi (Zhiyu et al., 1990). Kondisi teroksidasi ini terjadi
karena adanya transpor oksigen melalui aerenchyma dari tanaman padi ke daerah
dekat permukaan akar. Nitrat tersebut biasanya bergerak ke bawah ke dalam
lapisan tereduksi melalui difusi dan aliran massa yang selanjutnya secara biologi
didenitrifikasi menjadi N2 dan N2O (Mikkelsen et al., 1995). Apabila O2 dan
NO3- habis terpakai, maka potensial redoks turun dan hidroksida Mn4+ dan Fe3+
akan direduks i masing-masing menjadi Mn2+ pada +200 mVdan Fe 2+ pada +120
mV. Bentuk-bentuk tereduksi dari Fe dan Mn ini mempunyai kelarutan yang
lebih besar daripada bentuk teroksidasinya. Akibatnya, ketersediaan Fe dan Mn
meningkat di bawah kondisi tergenang. Bila suplai penerima elektron lebih kecil
daripada laju suplai elektron maka kondisi reduksi yang lebih kuat akan terjadi
dan potensial redoks turun menjadi sekitar – 150 mV dan selanjutnya sulfat (SO 42-)
9
direduksi menjadi sulfida (S2-).
Bila SO42- habis maka jasad renik akan
menggunakan energi yang tersimpan dalam senyawa organik dengan mereduksi
H+ dan H2 dan bahan organik ddekomposisi secara anaerob menjadi CO 2, asamasam organik dan alkohol.
Pada kondisi sangat tereduksi dekomposisi bahan
organik menghasilkan CH 4, biasanya pada nilai Eh di bawah –250 sampai –300
mV. Tanah cenderung mempertahankan nilai Eh pada selang tertentu sampai
komponen tanah yang teroksidasi habis, misalnya tanah yang direduksi akan
cenderung mempertahankan Eh pada sekitar +220 mV selama ada NO 3-. Bila
NO3- habis, maka Eh turun dan selanjutnya terjadi reduksi penerima elektron yang
lebih lemah daripada NO3-.
Dengan penggenangan terjadi akumulasi N-NH4+ dan hilangnya N-NO3yang sebelumnya sudah ada dalam tanah. Dalam tanah-tanah tergenang, amonia,
amin, merkaptan dan sulfida dihasilkan dari dekomposisi protein. Mineralisasi N
berkorelasi
positif dengan persentase C- dan N-organik dalam tanah tetapi
berkorelasi negatif dengan nisbah C/N (Mikkelsen, 1987), nisbah lignin/nitrogen
(L/N) (Becker et al., 1994), dan nisbah tannin/nitrogen (T/N) (Clement et al.,
1995).
Salah satu akibat penting dari penurunan potensial redoks setelah
penggenangan adalah perubahan pH (Qixiao dan Tianren, 1997). Reaksi tanah
(pH) dari sebagian besar tanah-tanah setelah penggenangan cenderung mendekati
netral. Dalam sebagian besar proses reduksi yang terjadi dalam tanah, seperti
reduksi oksida -oksida besi, mangan dan sulfat, terjadi konsumsi proton. Tetapi
asam-asam organik dan karbon dioksida (CO2) ya ng dihasilkan selama
dekomposisi bahan organik dapat memberikan proton ke dalam tanah, yang
menyebabkan penurunan pH. Oleh karena itu, arah dan besarnya perubahan pH
tanah selama penggenangan ditentukan oleh jumlah relatif proton yang
dikonsumsi dan dilepaskan.
Dalam tanah sawah yang masam, pada awal
dekomposisi bahan organik tanah, dengan reduksi oksida-oksida besi dan mangan,
nilai pH meningkat tajam sebagai hasil dari konsumsi proton yang jauh lebih besar
daripada pelepasan proton. Tetapi pada tahap dekomposisi bahan organik yang
aktif, pH dapat menurun karena produksi proton yang cepat. Selanjutnya pH
tanah meningkat secara perlahan dan sampai pada tingkat tertentu stabil (Qixiao
10
dan Tianren, 1997).
Reaksi tanah (pH) tanah sawah alkalin dikendalikan oleh
kesetimbangan kimia dari sistem CaCO 3-CO 2 dalam tanah-tanah berkapur
(Ponnamperuma, 1977; Qixiao dan Tianren, 1997), sistem Na2CO 3-CO2 untuk
tanah sodik (Ponnamperuma, 1977). Biasanya nilai pH menurun karena adanya
akumulasi CO 2 selama penggenangan. Penurunan pH tanah-tanah alkalin dan
peningkatan pH tanah-tanah masam tersebut menguntungkan pertumbuhan
tanaman.
Akibat penggenangan, kekuatan ion (ionic strength) dalam larutan tanah
meningkat, kemudian menurun. Dalam tanah-tanah masam atau agak masam,
reduksi feri dan mungkin mangani yang tidak larut menjadi bentuk yang lebih
larut menyebabkan peningkatan kekuatan ion. Dalam tanah netral sampai alkalin,
Ca2+ dan Mg2+ juga menyebabkan peningkatan kekuatan ion.
meningkatkan kelarutan Fe, Ca dan Mg.
mengandung
N-NO3- ,
Bahan organik
Jika tanah yang awalnya banyak
kekuatan ion dalam tanah dapat berkurang dengan
penggenangan karena hilangnya NO3- akibat denitrifikasi (Mikkelsen, 1987).
Proses reduksi tanah yang terjadi dalam tanah tergenang merupakan proses
biokimia, dan jasad renik bertanggung jawab pada perubahan-perubahan
(transformasi) yang terjadi di dalam tanah. Proses reduksi tidak terjadi pada tanah
yang steril. Tanaman padi juga memengaruhi tingkat reduksi tanah karena adanya
sekresi O2 dari akar-akar tanaman padi.
2.2. Pengaruh Penggenangan terhadap Tanaman Padi
Padi merupakan tanaman yang unik karena dapat bertahan hidup dan
bereproduksi di bawah kondisi lahan kering, tergenang dan air dalam. Walaupun
medium berair (aquatik) cocok untuk pertumbuhan dan hasil tanaman padi, tetapi
pertumbuhan akar memerlukan suplai O2 dan melepaskan CO2 selama respirasi.
Hal ini dapat dilakukan oleh tanaman padi karena adanya sistem saluran pembawa
udara (aerenchyma ) yang mampu mengalirkan O2 dari daun ke korteks akar,
sehingga akar -akar tanaman padi dapat mengaerasi tanah tanpa mengambil O 2 dari
tanah.
11
2.3. Transformasi Nitrogen dalam Tanah Tergenang
Nitrogen (N) merupakan unsur hara pembatas pertumbuhan tanaman
dalam tanah-tanah tergenang, baik tanah-tanah tergenang tersebut merupakan
lahan basah alami ataupun pada lahan basah pertanian seperti tanah sawah
(Gambrell dan Patrick, 1978). Transformasi N dalam tanah tergenang melibatkan
berbagai proses mikrobiologi, dan beberapa proses tersebut menyebabkan hara N
menjadi kurang tersedia bagi tanaman. Ion ammonium merupakan bentuk utama
dari N yang dimineralisasi dalam sebagian besar tanah tergenang.
Gambar 2
menggambarkan interaksi kompleks yang ada dalam tanah-tanah tergenang yang
menyebabkan unsur hara N hilang dari tanah. Kehilangan N dapat terjadi dalam
lapisan tanah yang teroksidasi dan tereduksi, dari air genangan, terbawa oleh
aliran permukaan, pencucian, serapan N oleh tanaman dan karena mekanisme
lainnya.
Nitrogen mengalami beberapa transformasi fisikokimia dan biologi dalam
tanah. Transformasi fisikokimia meliputi terperangkapnya (fiksasi) NH4+ dalam
kisi-kisi minerali liat dan volatilisasi NH3. Transformasi N secara biologi meliputi
mineralisasi-imobilisasi,
fiksasi
N2
atmosfer
secara
biologi,
nitrifikasi-
denitrifikasi, dan serapan tanaman.
Sistem budidaya padi yang melibatkan penggenangan secara terus menerus dan berkala memengaruhi perilaku N tanah dan N yang diberikan ke
dalam tanah. Kondisi khusus yang terjadi di bawah lingkungan tanah tergenang
mempercepat proses amonifikasi dan menekan nitrifikasi bila tidak ada O2.
Dengan penggenangan, N-NH4+ terakumulasi dalam tanah dan N -NO 3- hilang.
Sumber-sumber pupuk N untuk tanaman padi dapat dibagi menjadi dua
kelompok, yaitu sisa-sisa tanaman (pupuk organik) dan pupuk N mineral.
Sebelum N yang terkandung dalam sisa-sisa tanaman menjadi tersedia bagi
tanaman, sisa tanaman yang diberikan ke dalam tanah harus mengalami
dekomposisi atau degradasi secara biologi lebih dulu. Urea mengalami hidrolisis
enzimatik dan diubah menjadi N -NH 4+ (Kirk dan Olk, 2000):
NH2CONH2 + 3H2O
2NH4+ + HCO3- + OH-
12
Kehilangan NH3 lewat daun
Air hujan
Pupuk N
[CO(NH 2) 2,
(NH4) 2SO4]
N2 + O2 atm
NH3
daun busuk
alga
AIR
Lapisan
N2
tanah oksida tif
bakteri
NH 4+
N-org
NO 3-
fungi
aliran
keluar
TANAH
residu tanam an
Lapisan tanah
reduktif
NH4+
NO 3-
N2 + N 2O
bakteri
N2
N-org
Tapak bajak
NH4+
NO 3-
Lapisan tanah
teroksidasi
Fraksi Pencucian
Gambar 2.
Skema Transformasi Nitrogen dalam Ekosistem Tanah Sawah
Tergenang (Sumber: Mikkelsen, 1987).
2.3.1. Pergerakan Nitrogen dalam Tanah Tergenang
Pergerakan N dalam tanah berperan penting dalam menentukan bentuk
kimia dan kete rsediaannya bagi pertumbuhan tanaman.
Menurut Mikkelsen
(1987) dua proses penting yang terlibat dalam pergerakan atau pengangkutan N
adalah (1) pergerakan bahan-bahan terlarut dalam larutan tanah karena aliran
13
massa, dan (2) difusi molekul atau ion karena adanya gradien konsentrasi. Prosesproses ini memengaruhi difusi molekul dari bahan terlarut, seperti NH4+, NO2- ,
NO3-, urea dan gas-gas termasuk O 2, NH3 , N 2 dan N 2O (Rolston et al., 1990).
Dalam tanah-tanah tergenang, pergerakan N terlarut dari lapis an tanah
tereduksi (anaerob) ke lapisan permukaan yang aerob terjadi terutama melalui
difusi dan dipengaruhi oleh gradien konsentrasi, sumber N, dan konsentrasi dalam
lapisan anaerob (Reddy dan Patrick, 1984).
Difusi ammonium dapat
menyebabkan terjadinya pergerakan ammonium terlarut dari tanah ke air
genangan, bahkan bila bahan pupuk dimasukkan ke dalam tanah (deep-placed).
Nitrat yang ada dalam air genangan, dalam lapisan aerob, atau yang ada di
lapisan oksidatif di sekitar akar padi segera berdifusi ke dalam lapisan anaerob
yang terletak di bawahnya.
Nitrogen-nitrat yang berdifusi ke dalam lapisan
anaerob tampaknya hilang melalui denitrifikasi; sedangkan N-NH4+ yang berdifusi
dari lapisan tanah aerob ke dalam air genangan rentan terhadap nitrifikasi dan
volatilisasi ammonia (Savant dan De Datta, 1982).
Pergerakan N-NH4+ dari tapak-tapak pertukaran ke dalam larutan dapat
terjadi sebagai akibat dari adanya serapan tanaman, imobilisasi N yang
membentuk jaringan tubuh jasad renik, nitrifikasi dan volatilisasi.
2.3.2. Mineralisasi dan Imobilisasi Nitrogen
Ketersediaan N bagi tanaman sebagian besar dikendalikan oleh besarnya
pengaruh dua proses di dalam tanah yang saling berlawanan, yaitu mineralisasi
dan imobilisasi N. Mineralisasi N merupakan salah satu dari berbagai proses
dalam siklus N di alam yang paling penting. Mineralisasi N adalah transformasi
biologi dari N yang terikat secara organik menjadi N-mineral (N-NH4+ dan NNO3-) selama proses dekomposisi (Gambrell dan Patrick, 1978), dan dimulai
dengan aminisasi dan amonifikasi, berturut-turut adalah konversi mikrobiologi
dari N-organik menjadi R-NH2 dan menjadi N-NH4+ (Mikkelsen et al., 1995), dan
selanjutnya menjadi N-NO3- melalui proses nitrifikasi.
Tahap aminisasi dan
amonifikasi berlangsung dengan bantuan jasad renik heterotrof, sedangkan
nitrifikasi terjadi karena peranan bakteri ototrof.
Pada kondisi tergenang,
mineralisasi berhenti pada pembentukan N-NH4+ karena kondisi oksidatif yang
diperlukan untuk nitrifikasi terhalang dengan adanya air yang tergenang.
14
Imobilisasi N merupakan proses kebalikan dari mineralisasi N, dan didefinisikan
sebagai konversi N-mineral menjadi bentuk N-organik dalam jaringan tubuh jasad
renik (Soil Science Society of America, 1987). Imobilisasi (sintesis) dan
mineralisasi atau pelepasan N dari senyawa organik dalam tanah terjadi karena
aktivitas jasad renik yang mengarah pada pertukaran secara terus -menerus antara
bentuk-bentuk N-organik dan mineral (Mikkelsen, 1987).
Mineralisasi dan
imobilisasi merupakan proses yang berlawanan yang terjadi secara serentak dan
terus-menerus dan sangat memengaruhi ketersediaan N bagi tanaman dan
konversi N dalam tanah dalam bentuk organik atau terfiksasi. Konsentrasi NNH4+ dapat meningkat atau menurun tergantung pada dominasi relatif kedua
proses tersebut. Proses amonifikasi, yang melibatkan hidrolisis enzimatik dan
deaminasi N organik tanah menjadi ammonium, terjadi secara bersamaan dengan
proses assimilatory dari imobilisasi N oleh mikrorganisme tanah.
Pembebasan N -NH4+ ke dalam tanah tergenang tergantung pada kebutuhan
N populasi jasad renik tanah, nisbah C/N dari sisa-sisa tanaman yang
terdekomposisi (Mikkelsen, 1987), komposisi kimia bahan organik dan beberapa
faktor lingkungan. Komponen organik dalam sisa-sisa tanaman umumnya dibagi
menjadi enam kategori, yaitu selulosa, hemiselulosa, lignin, fraksi larut air
(meliputi gula sederhana, asam amino, dan asam-asam alifatik), komponen larut
dalam eter dan alkohol, dan protein (Nagarajah, 1997).
Lignin merupakan
komponen organik dari sisa-sisa tanaman yang paling tahan terhadap pelapukan.
Secara agronomi, N yang dimineralisasi sangat penting dan merupakan 50-80%
dari N-total yang diasimilasi oleh tanaman padi (Mikkelsen et al, 1995).
Untuk mencapai penggunaan N tanah yang efisien da lam bentuk N
terfiksasi
secara
biologi,
sisa-sisa
tanaman,
dan
pupuk,
maka
perlu
dipertimbangkan aspek laju-waktu proses mineralisasi relatif terhadap kebutuhan
N tanaman padi. Dalam jangka pendek, suplai N untuk tanaman padi diatur oleh
laju mineralisasi N-organik menjadi N-NH4+.
Senyawa N-organik, terutama
protein dan turunannya mengalami pelapukan secara anaerob menghasilkan
bentuk-bentuk yang lebih sederhana, seperti asam amino (Nagarajah, 1997).
Nitrogen-asam amino lebih rentan terhadap mineralisasi daripada fraksi N tanah
lainnya (Mikkelsen, 1987).
Deaminasi senyawa N yang lebih sederhana
15
menghasilkan pelepasan N-NH 4+ yang merupakan bentuk akhir dari senyawa N
dan bersifat stabil dalam lapisan tereduksi.
Dalam tanah tergenang, laju
mineralisasi N sisa-sisa tanaman yang diberikan ke dalam tanah ditentukan
terutama oleh nisbah L/N-nya (Becker et al., 1994).
Suplai N melalui mineralisasi bahan organik tanah telah diteliti oleh
Stanford dan Smith (1972). Mereka melakukan percobaan di laboratorium untuk
menentukan besarnya N yang dimineralisasi atau dilepaskan dari bahan organik
tanah. Smith et al. (1977) juga telah melakukan percobaan di lapang dengan
mengukur jumlah N mineral dalam pot-pot yang berisi tanah tanpa tanaman yang
dibenamkan ke dalam tanah. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa potensi
mineralisasi N tanah di lapang sesuai dengan hasil pengukuran dari percobaan
laboratorium. Percobaan ini menunjukkan bahwa sebagian dari N dalam tanah
berasal dari proses mineralisasi senyawa N yang mudah dimineralisasi, dan
sisanya diasumsikan sebagai bentuk senyawa N yang tidak tersedia dan tetap
berada dalam bahan organik tanah yang relatif stabil.
2.3.3. Nitrogen terlarut dan dapat dipertukarkan
Nitrogen terlarut dan dapat dipertukarkan (N-tersedia) merupakan fraksi N
yang sangat penting sebagai nutrisi tanaman.
Sumber utama dari N-tersedia
berasal dari pupuk dan N hasil mineralisasi. Nitrogen-NH4+ yang dibebaskan
selama pelapukan sisa-sisa tanaman, dengan cepat dijerap pada
kompleks
pertukaran kation dan berada dalam keseimbangan dengan N-NH4+ dalam larutan
tanah. Proporsi relatif dari kedua bentuk N tersebut sebagian besar diatur oleh
kapasitas pertukaran kation (KTK) tanah (Mikkelsen, 1987; Ando et al., 1996)
dan sifat dari kompleks pertukaran kation (Nagarajah, 1997). Beberapa dari NNH4+ juga berada dalam bentuk tidak dapat dipertukarkan (terperangkap dalam
kisi-kisi mineral liat). Proses ini terjadi dalam tanah yang banyak mengandung
mineral liat 2:1 seperti vermikulit dan illit.
Setelah
beberapa
hari
penggenangan,
konsentrasi
N-NH4+
dapat
dipertukarkan dalam tanah dapat meningkat karena mineralisasi bahan organik
tanah dan pelepasan N-NH4+ yang terfiksasi dalam kisi mineral liat.
Menurut
Mikkelsen (1987) pemberian jerami padi akan menurunkan tingkat N tersedia
karena imobilisasi, segera setelah diberikan ke dalam tanah.
Tetapi setelah
16
periode waktu tertentu N yang terimobilisasi tersebut akan dilepaskan kembali
melalui mineralisasi sehingga menjadi tersedia bagi tanaman padi.
2.3.4. Penambatan (Fiksas i) N2 Secara Biologi
Dalam sistem pertanian subsisten (di banyak bagian dari Asia tropis),
usaha tani padi sawah telah dilakukan secara terus menerus selama berabad-abad
tanpa pemberian pupuk N tanpa memperlihatkan penurunan konsentrasi N tanah
yang nyata. Di antara proses-proses yang turut menyumbang suplai N di lahan
sawah, penambatan N2 secara biologi dianggap sebagai faktor penting dalam
mempertahankan kesuburan N tanah.
Data neraca N dari beberapa percobaan
jangka panjang di lapang menunjukkan bahwa sumbangan penambatan N secara
biologi ke dalam tanah selama musim pertanaman padi sawah berkisar dari 19
sampai 38 kg N ha -1 di Jepang, dan 30 sampai 52 kg N ha -1 di Philipina.
Sumbangan N ini terutama berasal dari jasad renik asli (indigenous) yang bersifat
asosiatif dan penambat N2 yang hidup bebas, yang meliputi bakteri heterotrof dan
fototrof serta cyanobakteri (alga hijau-biru) yang ada dalam sistem tanahtanaman-air genangan lahan sawah (Kundu dan Ladha, 1995).
Sumber unsur hara N terbesar adalah N2 udara yang merupakan 80% dari
atmosfer bumi. Akan tetapi sebagian besar organisme hanya dapat menggunakan
N yang bersenyawa dengan atom-atom lainnya untuk membentuk suatu ion seperti
NH4+ atau NO3-. Bentuk N sebagai N2 tidak dapat digunakan secara langsung
oleh sebagian besar tanaman karena adanya ikatan rangkap tiga yang membuatnya
menjadi molekul yang bersifat inert (Deacon, 2003). Gas N2 ini sangat stabil dan
tersedia melimpah bagi organisme yang mampu memanfaatkannya. Penambatan
atau fiksasi N2 secara biologi dapat mengkonversikan gas N2 menjadi N organik
melalui aktivitas organisme tertentu, baik aerob maupun anaerob, yang memiliki
enzim nitrogenase.
Dengan demikian penambatan N2 secara biologi menjadi
sumber N utama bagi lahan sawah dalam system pertanian padi sawah yang
bersifat tradisional dan subsisten.
Nitrogenase merupakan enzim yang sangat sensitif terhadap O2 (Bergesen,
1980). Ekosistem sawah sangat cocok untuk proses fiksasi N2 karena tegangan O2
dalam ekosistem sawah rendah. Fiksasi N2 dapat terjadi dalam air genangan,
lapisan tanah aerob, lapisan tanah anaerob, rhizosfer tanaman yang oksidatif, pada
17
permukaan daun dan batang tanaman (Reddy dan Graetz, 1988). Fiksasi N2 pada
kondisi sawah dapat dilakukan oleh bakteri non-simbiotik (alga hijau-biru), dan
pada kondisi lahan kering dilakukan oleh bakteri simbiotik dari genus Rhizobium,
atau oleh aktinomisetes. Roger dan Watanabe (1986) mengklasifikasikan
organisme penambat N2 secara ekologi menjadi : (1) tiga kelompok jasad renik
autotrof yang terdiri dari bakteri fotosintetik, alga hijau biru yang hidup bebas
(non-simbiotik), dan Anabaena azollae sp. yang berasosiasi dengan tanaman paku
air Azolla, dan (2) tiga kelompok jasad renik heterotrof yang terdiri dari bakteri
penambat N2 dalam tanah (aerob, anaerob fakultatif dan anaerob obligat) yang
hidup bebas, bakteri penambat N2 yang berasosiasi dengan akar-akar tanaman
padi, dan organisme yang bersimbiose dengan legum (Rhizobium). Sampai saat
ini hanya tanaman legum yang mampu menambat N 2 dan pupuk hijau Azolla yang
digunakan sebagai sumber N bagi tanaman padi melalui penambatan N2 secara
biologi (Mikkelsen et al., 1995).
Menurut Kundu dan Ladha (1995) tanah yang sangat reduktif (yang
tercipta karena penggenangan secara terus -menerus selama masa pertumbuhan
tanaman padi) dan pelumpuran yang intens memberikan pengaruh yang kurang
baik bagi bakteri penambat N asli (indigenous) dalam tanah sawah. Oleh karena
itu, sistem yang dapat mendorong atau meningkatkan penambatan N2 akan sangat
membantu mempertahankan kesuburan N pada tanah-tanah sawah (Ladha dan
Kundu, 1997).
Selain pemberian pupuk hijau dari tanaman yang mampu
menambat N2 seperti Sesbania dan Azolla, pemberian sisa tanaman dengan nisbah
C/N yang besar (seperti halnya jerami padi) juga dapat meningkatkan penambatan
N2. Jerami padi merupakan sumber energi yang baik bagi bakteri heterotrof, dan
pengembalian jerami padi ke dalam lahan sawah secara nyata dapat meningkatkan
fiksasi N2 oleh bakteri heterotrof maupun fototrof (Matsuguchi, 1979; Ventura et
al., 1986; Adachi et al., 1997). Roger dan Ladha (1990) juga menyatakan bahwa
pemberian jerami ke dalam tanah dapat memberikan N sebesar 2-4 kg N untuk
setiap ton jerami. Hal ini menurut Ponnamperuma (1984) karena pemberian
jerami padi dan N mineral meningkatkan populasi bakteri aerob penambat N2.
Selain itu Greenland (1997) menyatakan bahwa aktivitas bakteri penambat N2 dan
alga hijau-biru ditentukan oleh kondisi lingkungan tempat tumbuhnya. Aktivitas
18
mereka sebagian besar tergantung pada ketersediaan fosfor (P) dalam tanah sawah
tetapi konsentrasi N yang tinggi dalam tanah sawah cenderung menghambat
fiksasi N2.
2.3.5. Volatilisasi Amonia
Volatilisasi ammonia (NH 3) merupakan mekanisme kehilangan N yang
penting dalam sistem pertanaman yang dipupuk. Menurut Mikkelsen (1987)
faktor-faktor dominan yang memengaruhi volatilisasi NH3 adalah pH tanah dan pe
(- log konsentrasi elektron), tekanan parsial CO2 (pCO2) dan kimia karbonat, sifat
pertukaran kation dan aktivitas jasad renik. Selain itu, kecepatan angin,
konsentrasi NH3 terlarut dan tekanan parsial NH3 dalam air dan udara, suhu udara
dan radiasi langsung juga memengaruhi volatilisasi NH3. Menurut Zhenghu dan
Honglang (2000) laju volatilisasi ammonia berkorelasi positif dengan pH tanah,
kandungan CaCO3 , dan garam total, tetapi berorelasi negatif dengan kandungan
bahan organik, KTK, dan kandungan liat.
Dari ketiga faktor yang berkorelasi
negatif, KTK merupakan faktor yang korelasinya sangat tinggi dengan volatilisasi
ammonia, sedangkan faktor pH tanah merupakan faktor yang dominan di antara
ketiga faktor yang berkorelasi positif. Menurut Zhenghu dan Honglang (2000)
bahan organik berpengaruh secara tidak langsung pada penurunan volatilisasi
ammonia melalui pengaruhnya terhadap penurunan pH tanah dan meningkatnya
KTK tanah karena adanya pembentukan berbagai asam-asam organik dan humus
selama proses dekomposisi bahan organik. Amonia yang dihasilkan dalam sistem
karbonat aquatik melibatkan reaksi berikut (Mikkelsen et al., 1978):
NH4+ + OH-
(NH3)aq + H 2O
NH4+ + HCO 3-
(NH3) aq + H2O + CO2
2NH 4+ + CO32-
2(NH3) aq + H2O + CO2
Volatilisasi ammonia terjadi bila pH air genangan meningkat di atas pH
7,5 (Greenland, 1997). Hilangnya gas CO2 yang meningkat karena meningkatnya
suhu air genangan pada siang hari dapat menyebabkan pH meningkat.
Akan
tetapi penyebab utama peningkatan pH dalam air genangan tanah sawah adalah
pertumbuhan alga atau adanya proses biologi yang berlawanan yaitu fotosintesis
dan respirasi (Greenland, 1997). Respirasi dan fotosintesis menyebabkan
19
perubahan tekanan parsial CO2 dalam air genangan, dan sistem karbonat ini sangat
menentukan pH air. Nilai pH air genangan ditentukan oleh konsentrasi CO2 dalam
air (Manahan, 1994). Sistem karbonat atau sistem CO2 - HCO3- - CO32- dalam air
digambarkan oleh reaksi berikut dan konstanta kesetimbangannya (Manahan,
1994):
CO2 + H2O
HCO3- + H+
K1 = 4,45 x 10-7 (pK 1 = 6,35)
HCO3-
CO32- + H+
K2 = 4,69 x 10-11 (pK 2 = 10,33)
Dari persamaan di atas, bila fotosintesis aktif maka akan terjadi penurunan
konsentrasi CO2 dalam sistem dan hal ini menyebabkan persentase fraksi mol
asam karbonat meningkat, akibatnya pH sistem meningkat. Tingkat perubahan
pH yang disebabkan oleh jasad renik ditentukan oleh jumlah, jenis dan aktivitas
organisme yang ada. Korelasi antara pH air dan sistem asam karbonat bersifat
kompleks dan tidak dapat digambarkan secara lengkap tanpa mempertimbangkan
sejumlah variabel.
Dengan memperhatikan reaksi biokimia dari jasad renik
aquatik, reaksi yang paling sederhana adalah :
fotosintesis
n CO2 + n H 2O
(CH2O)n + n O2
respirasi
Setiap hari terjadi fluktuasi pH dalam air genangan dari 7,5 – 9,5 dan nilai pH
maksimum terjadi kira-kira pada pukul 14.00 dan menurun sepanjang sore hari.
Pola perubahan pH ini sesuai dengan siklus fotosintesis dan respirasi dari jasad
renik aquatik (Mikkelsen, 1987).
Amonia dan bentuk ionnya (NH4+) merupakan hasil dekomposisi bahan
organik tanah dan sisa-sisa tanaman yang terjadi dalam perairan alami.
Penggunaan pupuk N pada lahan sawah juga menyebabkan konsentrasi garam NNH4+ terlarut meningkat.
langsung,
atau
seperti
Pupuk ammonium dalam air dapat berdisosiasi
urea
terdekomposisi
melalui
hidrolisis
katalitik
menghasilkan ion-ion NH4+. Ion-ion NH4+ , yang memiliki ikatan sangat lemah
dengan molekul air, dominan dalam air dengan pH di atas 7,2.
Dengan
meningkatnya konsentrasi ion hidroksil (OH -) dalam air, maka terjadi peningkatan
perubahan ion NH4+ menjadi NH3 yang dapat menghilang dari air dalam bentuk
gas (Mikkelsen et al., 1978). Ventura dan Yoshida (1977) mengukur volatilisasi
20
NH3 dari sumber N yang berbeda pada tanah liat tergenang, dan menyatakan
bahwa kehilangan NH3 pada dasarnya terjadi selama sembilan hari pertama
setelah pemberian pupuk N. Kehilangan tersebut kecil bila pH tanah di bawah
7,4. Percobaan lapang yang mereka lakukan menunjukkan bahwa kehilangan N
setelah pemberian 100 kg N/ha dengan cara disebar adalah sebesar 3,8% untuk
ammonium sulfat (ZA) dan 8,2% dengan pemberian urea. Menurut Vlek dan
Stumpe (1978) volatilisasi NH3 dari tanah yang dipupuk urea lebih besar daripada
tanah yang dipupuk ammonium sulfat. Hal ini terjadi karena hidrolisis urea dalam
tanah mendorong terciptanya lingkungan yang ideal untuk volatilisasi, yaitu
alkalinitas dan pH yang tinggi. Volatilisasi ammonia berkurang 50% bila pupuk
dimasukkan ke dalam tanah.
2.3.6. Nitrifikasi dan Denitrifikasi
Oksidasi biologi dari N-NH4+ menjadi N-NO3- (nitrifikasi) menghasilkan
konversi atau perubahan kation NH4+ yang relatif tidak mobil menjadi bentuk
anion (NO3-) yang lebih mobil, yang pada gilirannya anion ini rentan terhadap
denitrifikasi. Menurut Kakuda et al. (1999), denitrifikasi merupakan proses utama
kehilangan N dalam tanah sawah. Tanah tergenang merupakan lingkungan yang
ideal untuk denitrifikasi karena lingkungan tanah tergenang memiliki suatu
lapisan permukaan teroksidasi yang tipis yang di bawahnya adalah lapisan
tereduksi yang tebal. Lapisan tanah teroksidasi mendukung proses nitrifikasi dan
lapisan tanah tereduksi merupakan lapisan tanah yang kekurangan oksigen dan
menyediakan bahan organik yang mudah didekomposisi untuk mendukung proses
reduksi bentuk-bentuk N teroksidasi (denitrifikasi). Adanya lapisan zona aerob
dan anaerob dalam tanah tergenang, begitu juga dalam rhizosfer (karena adanya
bagian tanaman padi yang mengangkut O 2 ke rhizosfer), memudahkan terjadinya
reaksi nitrifikasi-denitrifikasi. Sebagaimana diketahui bahwa akar-akar tanaman
tersebar dalam tanah permukaan dan tanah di bawah perm ukaan (subsurface).
Reaksi ini tampaknya terjadi secara serentak.
Denitrifikasi dalam rhizosfer
dipengaruhi oleh metabolisme tanaman dan lingkungan tanah (Kakuda et al.,
1999). Hal ini didukung oleh adanya suplai C dari akar (Mahmood et al., 1997).
Eksudat senyawa organik oleh akar-akar yang hidup merangsang respirasi bakteri
(Klemedtsson et al., 1987). Denitrifikasi tergantung pada senyawa organik yang
21
berasal dari akar bila suplai C dari tanah terbatas (Prade dan Trolldenier, 1990).
Namun demikian, pertumbuhan tanaman padi juga berpengaruh terhadap
kehilangan N melalui denitrifikasi, yaitu bahwa serapan N oleh tanaman dapat
mengurangi jumlah N yang hilang melalui denitrifikasi.
Ion nitrat (NO 3- ) merupakan ion bermuatan negatif sehingga tidak dapat
dijerap oleh partikel tanah yang bermuatan negatif dan selanjutnya menjadi sangat
mobil dalam larutan. Bila ion nitrat tidak segera diasimilasi oleh tanaman atau
jasad renik (assimilatory nitrate reduction), atau hilang melalui pencucian, maka
ion nitrat berpotensi mengalami dissimilatory nitrogenous oxide reduction, suatu
istilah yang mengacu pada beberapa jalur mekanisme reduksi nitrat (Wiebe et al.,
1981), yang paling umum adalah reduksi nitrat menjadi ammonia dan
denitrifikasi. Jasad renik yang bertanggung jawab pada proses denitrifikasi dalam
tanah adalah bakteri heterotrof. Jasad renik ini membutuhkan oksida-oksida N
sebagai penerima elektron terakhir dan C-organik sebagai donor elektron, serta
kondisi anaerob. Denitrifikasi adalah proses reduksi bentuk-bentuk N mineral
teroksidasi menjadi gas nitrogen, terutama N 2O dan N2, yang dilakukan oleh jasad
renik dalam kondisi anaerob, dimana nitrat (NO3- ) bertindak sebagai penerima
elektron terakhir atau NO 3- direduksi. Proses ini menyebabkan N-NO3- hilang
karena dikonversi menjadi gas N2O dan N2. Jalur pembentukan gas-gas tersebut
digambarkan sebagai berikut (Firestone, 1982; Ostrom et al., 2000) :
Denitrifikasi :
2 NO3-
2 NO2-
2 NO
N2O
N2
Nitrifikasi :
O2
2 NH4+
2 NH2OH
2 (NOH)
jalur 1 N2O
2 NO
2 NO2
jalur 2 NO2
Nitrifikasi – Denitrifikasi :
O2
2 NH4+
2 NH 2OH
2 (NOH)
2 NO
N2O jalur 3
2 NO 2
22
Sifat anaerob tanah tergenang menyebabkan ketidakstabilan NO 3- , NO2,
dan N2O yang berperan sebagai penerima elektron terakhir dalam respirasi
anaerob berbagai jasad renik heterotrof. Hal ini menyebabkan hilangnya N dari
ekosistem sawah dalam bentuk N2 dan N2O.
Di-nitrogen (N2) merupakan produk denitrifikasi yang paling akhir.
Peningkatan konsentrasi N2O sebagai gas rumah kaca dalam atmosfer dapat
menyebabkan terjadinya kerusakan lapisan ozon stratosfer sehingga berpengaruh
terhadap
perubahan
iklim
global
(Intergovermental
Panel
on
Climate
Change/IPCC, 1994). Terdapat dua mekanisme pembentukan gas N2O selama
nitrifikasi, yaitu sebagai hasil reduksi NO 2- pada kondisi anaerob oleh bakteri
nitrifikasi tertentu dan hasil dari berbagai reaksi antara dalam oksidasi NH4+
(Ritchie dan Nicholas, 1972).
Proses nitrifikasi dan denitrifikasi terjadi melalui suatu “pool” nitrat
(Gambar 3), dimana nitrat yang terbentuk dalam zona aerob berdifusi ke zona
anaerob dan direduksi menjadi N2O dan N2. Hasil penelitian Russow et al. (2000)
dengan menggunakan pelacak
15
N-NO3- menunjukkan bahwa NO3- merupakan
pool utama pembentukan N2O pada kondisi jenuh air melalui proses denitrifikasi.
Penelitian Russow et al. (1996) dengan metode aliran gas
15
N juga menunjukkan
bahwa sekitar 60% dari nitrat tanah direduksi menjadi N2. Sebaliknya nitrit berada
dalam dua pool yang terpisah karena kecepatan transformasinya lebih tinggi
daripada kecepatan difusinya (Russow et al., 2000).
Kehilangan N dari pupuk N yang diberikan ke dalam tanah melalui
denitrifikasi bervariasi dari 0 sampai 70% (Mikkelsen, 1987). Dengan demikian
upaya mengendalikan kehilangan N karena denitrifikasi dapat memperbaiki
efisiensi penggunaan pupuk N oleh tanaman padi sawah.
Beberapa praktek
pengelolaan tanah dan tanaman untuk mengendalikan kehilangan N karena
denitrifikasi telah banyak dilakukan misalnya dengan penempatan pupuk N pada
lapisan tanah tereduksi, penggunaan bahan penghambat (inhibitor) nitrifikasi dan
urease.
23
NO
N 2O
N2
atmosfer tanah
Zona Aerob
NH4+
BOT
Zona Anaerob
NH 4+
N2
N 2O
JALUR NITRIFIKASI
JALUR
DENITRIFIKASI
NO 2-
NO2pool nitrit
BOT = Bahan organik tanah
NO 3pool nitrat
Gambar 3.
Model Pasangan Proses Nitrifikasi – Denitrifikasi yang
Menggambarkan Mekanisme Kedua Proses Tersebut dengan
Penekanan Khusus pada Pembentukan N2O dan N 2 (Sumber :
Russow et al., 2000).
2.3.7. Kehilangan Nitrogen dari Tanaman
Kehilangan N juga dapat terjadi melalui bagian atas tanaman setahun dan
tahunan, termas uk tanaman padi.
Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa
banyak N yang hilang dari permukaan daun berkaitan dengan penguapan air
transpirasi (Stutte dan Weiland, 1978; Weiland dan Stutte, 1979; da Silva dan
Stutte, 1981). da Silva dan Stutte (1981) menyata kan bahwa laju kehilangan N
berkurang selama periode antara pembentukan anakan (tillering) dan 1-3 minggu
setelah awal pembentukan malai (panicle initiation), selanjutnya meningkat
sampai pada stadia pengisian bulir (heading ). Umumnya daun yang berkembang
penuh (matured leaf) menunjukkan laju kehilangan N yang lebih tinggi daripada
daun yang lebih tua. Namun konsentrasi N dalam larutan hara tidak memengaruhi
laju kehilangan N per satuan luas daun dari daun yang berkembang
penuh.
Sebaliknya pada daun-daun yang lebih tua dari tanaman yang disuplai dengan
takaran N tinggi (80 ppm), laju kehilangan N lebih tinggi daripada yang
24
ditumbuhkan pada medium dengan takaran N rendah (20 ppm).
Glutamin
sintetase dianggap sebagai jalur mekanisme utama dari asimilasi ammonia dan
peningkatan penambatan kembali NH3 yang dilepaskan selama fotorespirasi.
Nitrogen yang dilepaskan melalui daun-daun tanaman selama fotorespirasi berupa
NH3 dan amin. Dengan mengkuantifikasikan pengaruh fisiologi terhadap
kehilangan N dapat membantu menentukan waktu aplikasi dan jumlah pupuk N
yang diperlukan untuk produksi padi yang optimum.
2.4. Siklus Pertumbuhan Tanaman Padi Sawah
Tanaman padi biasanya memerlukan waktu 3-6 bulan dari perkecambahan
sampai stadia pematangan, tergantung pada varietas dan lingkungan dimana
tanaman padi tersebut ditumbuhkan. Menurut Yoshida (1981) secara agronomi
pertumbuhan tanaman padi dibagi menjadi tiga stadia, yaitu vegetatif, reproduktif
dan proses pematangan (ripening ). Stadia vegetatif menunjuk pada suatu masa
dari perkecambahan sampai inisiasi pembentukan malai (initiation of panicle
primordial), yang sebagian besar dicirikan oleh pembentukan anakan (tiller
formation ) (Mikkelsen et al., 1995); stadia reproduktif adalah suatu masa dari
inisiasi pembentukan malai sampai pembungaan, pada stadia ini jumlah bakal
bulir padi (spikelet) dan potensi ukurannya sebagian besar ditentukan oleh nutrisi
tanaman dan faktor -faktor lingkungan (Mikkelsen et al., 1995); dan proses
pematangan (ripening ) adalah dari pembungaan sampai matang (grain maturity)
(Gambar 4). Persentase bulir yang matang dan ukuran bulir ditentukan selama
stadia perkembangan ini. Varietas padi yang berumur 120 hari bila ditanam di
lingkungan tropika, menghabiskan waktu 60 hari untuk masa vegetatif, 30 hari
untuk masa reproduktif, dan 30 hari untuk masa pemasakan.
Stadia vegetatif dicirikan dengan pembentukan anakan yang aktif,
peningkatan tinggi tanaman secara perlahan, dan munculnya daun pada interval
yang teratur. Semua hal tersebut berkaitan dengan peningkatan luas daun yang
menerima cahaya. Stadia reproduktif dicirikan dengan pemanjangan tangkai (culm
elongation), yang meningkatkan tinggi tanaman; penurunan jumlah anakan,
munculnya daun bendera (daun terakhir), pembungaan, pembentukan bulir padi
(booting), dan pengisian bulir padi.
25
Jumlah Pertumbuhan
Jumlah Anakan
Tinggi Tanaman
Anakan yang tidak
Efektif
Jumlah malai ( panicle)
Bobot bulir
0
20
60
90
120
Vegetatif
Gambar 4.
Reproduktif
Masak (panen)
Pengisian bulir padi (heading)
Pembentukan bulir padi
(booting)
Awal munculnya malai
Pembentukan anakan
Tanam
Perkecambahan
Hari setelah Perkecambahan
Proses pematangan
Siklus Pertumbuhan Varietas Tanaman Padi Berumur 120 Hari
(Sumber: Yoshida, 1981)
2.5. Peranan dan Fungsi Nitrogen dalam Tanaman Padi
Nitrogen merupakan komponen ya ng penting dari asam amino, asam
nukleat, nukleotida, dan khlorofil.
Nitrogen yang diserap oleh tanaman akan
diasimilasi menjadi asam amino, yang berikutnya akan membentuk protein dan
asam nukleat.
Selain itu, N juga menjadi bagian integral dari khlorofil yang
merupakan komponen utama tanaman yang menyerap cahaya yang dibutuhkan
dalam proses fotosintesis. Struktur dasar dari khlorofil adalah cincin porfirin,
yang terdiri dari empat cincin pyrole, masing-masing mengandung satu N dan
empat atom C. Atom Mg diikat pada pusat cincin porfirin (Havlin et al., 1999).
26
Suplai N yang cukup berkaitan dengan aktivitas fotosintetik yang tinggi,
pertumbuhan vegetatif yang pesat, dan warna hijau gelap. Kelebihan N berkaitan
dengan unsur hara lainnya seperti P, K, dan S, dapat menunda kematangan
tanaman. Suplai N memengaruhi penggunaan karbohidrat dalam tanaman. Bila
suplai N rendah, maka karbohidrat akan dideposisikan dalam sel-sel vegetatif
yang menyebabkan sel-sel vegetatif tersebut menjadi menebal.
Tetapi bila
karbohidrat yang dideposisikan dalam bagian vegetatif lebih sedikit, akan lebih
banyak protoplasma yang terbentuk dan karena protoplasma ini sangat terhidrasi
maka akan dihasilkan tanaman yang lebih sukulen.
Bila suplai N cukup dan kondisi lingkungan sesuai untuk pertumbuhan,
maka lebih banyak protein yang terbentuk (Havlin et al., 1999). Menurut
Dobermann dan Fairhust (2000) diperlukan suplai N yang cukup selama masa
pemasakan untuk menunda penuaan daun-daun, mempertahankan fotosintesis
selama pengisian bulir, dan meningkatkan kandungan protein dalam gabah.
Selanjutnya mereka menyatakan bahwa N -NO3- dan N -NH4+ adalah sumber utama
dari serapan N mineral. Lebih lanjut menurut mereka, sebagian besar N-NH4+
yang diserap dikandung dalam senyawa organik dalam akar, sedangkan N-NO3bersifat lebih mobil dalam xylem dan juga disimpan dalam vakuola dari bagian
tanaman yang berbeda. Untuk memenuhi fungsi esensial sebagai hara tanaman,
N-NO3- harus direduksi menjadi ammonia melalui aksi reduktase nitrat dan nitrit.
Nitrogen diperlukan sepanjang masa pertumbuhan, tetapi kebutuhan N yang
terbesar adalah antara awal sampai pertengahan pembentukan anakan dan stadia
pembentukan malai. Nitrogen berfungsi dalam mendorong pertumbuhan yang
cepat (meningkatkan tinggi tanaman dan jumlah anakan) dan meningkatkan
ukuran daun, jumlah bulir per malai, persentase bulir yang berisi pada masingmasing malai, dan kandungan protein gabah. Dengan demikian N memengaruhi
semua parameter yang berhubungan dengan hasil. Konsentrasi N daun sa ngat erat
kaitannya dengan laju fotosintesis daun dan produksi biomassa tanaman.
Nitrogen juga mendorong kebutuhan akan unsur hara makro lainnya seperti P dan
K (Dobermann dan Fairhust, 2000).
Download