TINJAUAN PUSTAKA Kepuasan Kepuasan

advertisement
TINJAUAN PUSTAKA
Kepuasan
Kepuasan merupakan hal yang bersifat individu. Setiap individu akan
memiliki tingkat kepuasan yang berbeda-beda sesuai dengan situasi nilai-nilai
yang berlaku pada dirinya. Menurut Anorog dan Widiyanti (1990) diacu dalam
Hanifa (2005), semakin banyak yang sesuai dengan aspek keinginan individu,
semakin tinggi tingkat kepuasan yang dirasakan dan sebaliknya, semakin banyak
aspek-aspek yang tidak sesuai dengan keinginan individu, semakin rendah
tingkat kepuasan yang dirasakan. Menurut Worldnet Dictionary dalam Hardiono
(2008), kepuasan merupakan perasaan senang ketika telah berhasil memenuhi
kebutuhan atau keinginan.
Kepuasan hidup juga didefinisikan sebagai penilaian subjektif seseorang
terhadap kualitas hidupnya baik secara keseluruhan atau hanya pada bagian
tertentu saja, serta merupakan kekuatan psikologi yang dapat membantu individu
untuk mengembangkan kemampuan beradaptasi. Kepuasan hidup merupakan
kualitas dari kehidupan seseorang yang telah teruji secara keseluruhan
berdasarkan kriteria yang telah ditentukan (Antaramian et all 2008). Menurut
Schrodt, Witt, dan Messermith (2008) kepuasan dalam hubungannya dengan
keluarga adalah pengalaman atau persepsi yang dirasakan seseorang mengenai
kualitas hubungannya dengan keluarga. Tipe komunikasi yang digunakan untuk
berinteraksi dengan anggota keluarga akan mempengaruhi persepsi mengenai
kepuasan hubungan.
Teori whole life satisfaction menyatakan bahwa setiap orang di setiap
tahapan usia dalam hidupnya memiliki tujuan yang ingin dicapai. Seiring
berubahnya tahapan usia tersebut, maka akan berubah pula tujuan yang
diterapkan dalam kehidupannya. Meskipun dalam setiap tahapan kehidupan
seorang individu memiliki tujuan yang berbeda, namun tetap saja individu
tersebut ingin mencapai semua tujuannya dengan sukses. Kepuasan hidup yang
dirasakan akan tercermin dari seberapa besar individu tersebut mampu
merealisasikan tujuan-tujuannya (Suikkanen 2011).
Terdapat lima aspek yang berpengaruh terhadap kepuasan hidup remaja
dalam hubungan orang tua-anak, yaitu kelekatan, konflik orang tua-anak, gaya
pengasuhan demokratis, kehangatan, dan dukungan orang tua. Remaja yang
mendapatkan kehangatan yang cukup, penerimaan serta dukungan dari orang
tua akan memiliki kepuasan hidup yang tinggi. Sebaliknya, remaja yang banyak
7
memiliki konflik dengan orang tuanya akan memiliki kepuasan hidup yang rendah
(Chappel 2011).
Gaya Pengasuhan
Orang tua mempunyai peranan pertama dan utama bagi anak-anaknya
selama anak-anak belum dewasa dan mampu berdiri sendiri. Untuk mengajarkan
remaja pada kedewasaan, orang tua harus memberi contoh yang baik karena
sifat dasar anak-anak adalah suka meniru yang lebih tua atau orang tuanya.
Dalam memberikan pengarahan kepada anak, hendaknya menggunakan cara
demokratis, sebab memungkinkan untuk menghasilkan anak yang percaya diri,
mandiri, imajinatif, mudah beradaptasi dan disukai banyak orang (Karamoy
2008).
Baumrind (1967) mengemukakan gaya pengasuhan dengan elemen gaya
pendisiplinan (parental disciplinary styles). Menurut Baumrind, gaya pengasuhan
memiliki
dua
komponen
utama,
yaitu
demandingness
(kontrol)
dan
responsiveness (kehangatan). Demandingness adalah kecendrungan untuk
menetapkan peraturan secara ketat dan kontrol yang kuat agar anak berlaku
matang dan dewasa, sedangkan responsiveness merupakan kecendrungan
bersikap hangat dan menerima permintaan serta perasaan anak.
Pada praktek pengasuhan, Baumrind lebih menyoroti segi pelimpahan
kekuasaan antara orang tua dan anak atau gaya pengasuhan dimensi arahan
(disiplin). Gaya pengasuhan dimensi arahan (disiplin) dikelompokkan menjadi 4
(empat) macam gaya pengasuhan orang tua, yaitu authoritarian (otoriter),
authoritative (demokratis), permissive (permisif), dan uninfolved (tak terlibat).
Keempat gaya pengasuhan itu memiliki ciri khasnya sendiri-sendiri dan masingmasing memberikan efek yang berbeda terhadap tingkah laku anak.
1.
Authoritarian (otoriter)
Gaya pengasuhan otoriter merupakan suatu bentuk pengasuhan orang
tua yang pada umumnya sangat ketat dan kaku ketika berinteraksi dengan
anaknya. Orang tua yang bergaya otoriter menekankan adanya kepatuhan
seorang anak terhadap peraturan yang mereka buat tanpa banyak basabasi, tanpa penjelasan kepada anaknya mengenai sebab dan tujuan
diberlakukannya peraturan tersebut, cenderung menghukum anaknya yang
melanggar peraturan atau menyalahi norma yang berlaku. Orang tua yang
demikian yakin bahwa cara yang keras merupakan cara yang terbaik dalam
mendidik anaknya. Gaya pengasuhan ini menyebabkan seorang anak akan
8
kehilangan aktivitas kreatifnya dan akan tumbuh menjadi anak yang tidak
efektif dalam kehidupan dan interaksinya dengan lingkungan sosial
(Santrock 2003).
2. Authoritative (demokratis)
Bentuk perlakuan orang tua saat berinteraksi dengan anaknya dengan
cara melibatkan anak dalam mengambil keputusan yang berkaitan dengan
keluarga dan diri anaknya merupakan gaya pengasuhan otoritatif. Orang tua
yang otoritatif bersikap terbuka, fleksibel dan memberikan kesempatan
kepada anaknya untuk dapat tumbuh dan berkembang dengan peraturan
yang rasional (Baumrind 1967). Hal ini menyebabkan orang tua mempunyai
hubungan yang dekat dengan anak-anaknya dan selalu mendorong anaknya
untuk ikut terlibat dalam membuat peraturan dan melaksanakan peraturan
dengan penuh kesadaran.
Orang tua yang memiliki gaya pengasuhan otoritatif bertingkah laku
hangat tetapi tetap tegas (Baumrind 1967). Kebiasaan-kebiasaan demokrasi,
saling menghargai dan menghormati hak-hak orang tua dan anak-anak
ditanamkan dalam keluarga yang otorotatif. Keputusan-keputusan yang
penting akan diputuskan secara bersama-sama walaupun keputusan akhir
seringkali berasa di tangan orang tua. Anak-anak diberi kesempatan untuk
memberikan alasan mengapa mereka ingin memutuskan atau akan
melakukan sesuatu. Apabila alasan-alasan itu masuk akal dan dapat
diterima, maka orang tua yang otoritatif akan memberikan dukungan. Tetapi
jika orang tua tidak menerima, maka orang tua akan menjelaskan alasannya
mengapa dirinya tidak menerima keputusan anaknya tersebut. Orang tua
yang otoritatif selalu berusaha menanamkan nilai-nilai kemandirian dan
pengendalian diri yang tinggi pada anaknya, sekaligus tetap bertanggung
jawab penuh terhadap tingkah laku anak-anaknya. Kebiasaan yang rasional,
berorientasi pada masalah, terlibat dalam perbincangan dan penjelasan
dengan anak-anak, dan memegang teguh tingkah laku yang disiplin selalu
ditanamkan oleh orang tua yang menerapkan gaya pengasuhan otoritatif.
Santrock (2003) berpendapat bahwa kualitas pola interaksi dan gaya
pengasuhan orang tua yang otoritatif akan memunculkan keberanian,
motivasi,
dan
kemandirian
anak-anaknya
dalam
menghadapi
masa
depannya. Gaya pengasuhan seperti ini dapat mendorong tumbuhnya
9
kemampuan sosial, meningkatnya rasa percaya diri, dan tanggung jawab
sosial pada seorang anak.
3.
Permissive (permisif)
Pola-pola perlakuan orang tua saat berinteraksi dengan anaknya
dengan memberikan kelonggaran atau kebebasan kepada anaknya tanpa
kontrol atau pengawasan yang ketat merupakan gaya pengasuhan yang
permisif (Baumrind 1967). Orang tua yang permisif akan memberikan
kebebasan penuh kepada anak-anaknya untuk bertindak sesuai dengan
keinginan anaknya. Orang tua membuat sebuah peraturan tertentu, namun
anak-anak tidak menyetujui atau tidak memamtuhinya, maka orang tua yang
permisif cenderung akan bersikap mengalah dan akan mengikuti kemauan
anak-anaknya.
Ketika anak-anaknya melanggar suatu peraturan di dalam keluarga,
orang tua dengan gaya pengasuhan permisif jarang menghukum anakanaknya, bahkan cenderung berusaha untuk mencari pembenaran terhadap
tingkah laku anaknya yang melanggar peratauran tersebut. Orang tua yang
seperti demikian umumnya membiarkan anak untuk menentukan tingkah
lakunya sendiri. Mereka tidak menggunakan kekuasaan atau wewenangnya
sebagai orang tua dengan tegas saat mengasuh dan membesarkan anaknya
(Baumrind 1967). Akibatnya tingkah laku sosial anak kurang matang,
kadang-kadang menunjukkan tingkah laku agresif, pengendalian dirinya
amat buruk, tidak mampu mengarahkan diri, dan tidak bertanggung jawab
(Santrock 2003).
4.
Uninvolved (tak terlibat)
Gaya pengasuhan tidak terlibat adalah gaya pengasuhan dimana orang
tua tidak mau terlibat dan tidak mau pula pusing-pusing dengan kehidupan
anaknya (Baumrind 1967). Gaya pengasuhan orang tua yang tidak terlibat
lebih berdampak buruk dibandingkan dengan gaya pengasuhan permisif
karena tidak adanya ikatan emosi ditambah dengan penerapan batasan
kabur. Orang tua yang demikian hanya fokus pada pemenuhan kebutuhan
materi atau fisik saja terhadap anak-anaknya, pemenuhan kebutuhan
immateri atau psikis anaknya terabaikan atau bahkan sama sekali tidak
pernah diperhatikan (Baumrind 1967).
10
Pola Komunikasi
Komunikasi didefinisikan sebagai suatu proses simbolik transaksional dan
menciptakan berbagai makna. Simbol dalam komunikasi terdiri dari berbagai
bentuk, yaitu verbal atau kata-kata dan nonverbal seperti ekpresi wajah, kontak
mata, gerakan, postur tubuh, penampilan, dan jarak spasial. Komunikasi
keluarga merupakan suatu simbiosis, proses transaksional menciptakan dan
membagi arti dalam keluarga. Seperti halnya setiap orang yang mempunyai gaya
komunikasi yang berbeda, setiap keluarga pun mempunyai gaya dan pola
komunikasi yang unik dan berbeda. Komunikasi merupakan cara individu untuk
bisa berbagi ide dan perasaannya atau menanggapi ide dan perasaan orang lain.
Dengan adanya komunikasi akan membantu individu untuk mendefinisikan
dirinya sendiri dan cara individu itu bergaul dengan orang lain (Galvin dan
Brommel 2008).
Dalam komunikasi keluarga terdapat proses intersubjektivitas dan
interaktivitas. Intersubjektivitas terkait dengan kemampuan kognitif dalam
menangkap
dan
menerima
pesan
antar
anggota
keluarga,
sedangkan
interaktivitas terkait dengan perilaku keluarga yang membuat bentuk interaksi
dan memelihara unit sosial (Koerner dan Fitzpatrick 2002).
Tipe Komunikasi
Penelitian mengenai komunikasi keluarga telah dilakukan lebih dari tiga
dekade dan dirasakan memiliki banyak manfaat baik bagi kalangan akademisi
maupun praktisi. Komunikasi dalam keluarga menghasilkan berbagai efek. Efek
tersebut yaitu menyangkut gaya konflik, kemampuan berkomunikasi, sosialisasi
anak, kepuasan keluarga, kebiasaan gaya hidup sehat, dan masih banyak lagi
(Burns dan Pearson 2011).
Penelitian mengenai skema komunikasi keluarga merupakan hasil dari
pengembangan dua teori umum yaitu Fitzpatrick (1988) mengenai tipologi
komunikasi pasangan menikah dan Ritchie (1991) mengenai pola komunikasi
keluarga. Kedua peneliti ini setuju bahwa tipe komunikasi pasangan menikah dan
tipe komunikasi antara orangtua – anak menggambarkan skema komunikasi
keluarga. Adanya kesamaan pada kedua penelitian tersebut Fitzpatrik dan
Ritchie
(1994)
dalam
Burns
dan
Pearson
(2011)
menganalisis
dan
mengidentifikasi tiga dimensi berdasarkan pada skema komunikasi pasangan
menikah dan hubungan orang tua – anak. Dimensi ini mewakili bentuk dari family
11
communication environment (FCE) atau lingkungan komunikasi keluarga. FCE ini
terdiri dari tiga dimensi yaitu, family expresiveness, structural traditionalism, dan
conflict avoidance.
Dimensi family expresiveness menunjukkan komunikasi keluarga yang
tinggi
dalam
diskusi
dan
mendorong
setiap
anggota
keluarga
untuk
mengeluarkan pendapatnya. Keluarga yang menerapkan tipe komunikasi family
expresiveness lebih sering mendorong anggota keluarganya untuk berdiskusi
mengenai ide dan perasaannya daripada kedua tipe komunikasi lainnya.
Anggota keluarga yang sering menerapkan tipe ini akan memiliki kemampuan
komunikasi yang baik.
Dimensi
structural
traditionalism
menggunakan
pemaksaan
dan
kekuasaan orang tua dalam mengkomunikasikan berbagai hal kepada anaknya.
Keluarga yang menggunakan tipe komunikasi ini cenderung masih memegang
teguh nilai-nilai tradisional dalam kehidupan keluarga dan pernikahan. Tipe
komunikasi
ini
juga
digunakan
untuk
menghindari
topik
yang
tidak
menyenangkan serta untuk menyamakan nilai dan kepercayaan dalam keluarga.
Anggota keluarga structural traditionalism ini hanya memiliki sedikit kemampuan
mengenai komunikasi interpersonal dan lebih rendah dari keluarga yang
menerapkan family expresiveness.
Dimensi yang terakhir adalah conflict avoidance, pada dimensi ini orang
tua sebisa mungkin menghindari konflik dengan anaknya yaitu dengan
menggunakan kekuasaannya. Tidak pernah ada penjelasan bagi setiap masalah
sehingga tidak pernah terselesaikan dengan baik. Dimensi ini merupakan
dimensi dengan level terendah dalam kemampuan komunikasi interpersonal dan
menyelesaikan masalah (Burns dan Pearson 2011).
Alokasi Waktu Komunikasi
Sumber daya waktu adalah sumber daya yang tidak dapat dimasukkan
sebagai sumber daya materi ataupun sumber daya manusia. Biasanya yang
menjadi titik perhatian dari masalah sumber daya waktu adalah penggunaannya
oleh setiap individu yang belum optimal. Hal ini mengingat bahwa konsep waktu
adalah sumber daya yang tidak dapat diperbaharui dan tidak dapat digantikan,
bersifat terbatas serta dimiliki oleh setiap individu dalam jumlah yang sama yaitu
24 jam dalam sehari (Guharja, et all 1992).
Pemanfaatan waktu antara satu individu dengan individu lainnya berbeda.
Dilihat dari jenis penggunaannya, waktu dibagi dalam empat tipe yaitu :
12
1. Waktu produktif atau waktu bekerja
2. Waktu subsisten atau waktu yang digunakan untuk makan, tidur,
perawatan diri dan kesehatan
3. Waktu antara yaitu waktu yang digunakan selama perjalanan ke tempat
kerja (work related time), dan
4. Waktu luang (free time)
Komunikasi sangat dibutuhkan baik dari segi kualitas maupun kuantitas.
Untuk dapat memenuhi kuantitas dalam komunikasi, orang tua bekerja tetap bisa
menjalin komunikasi secara hangat dengan anak-anak baik melalui telepon
ataupun email. Sebab pada dasarnya anak sangat membutuhkan kedekatan
dengan orang tuanya baik kedekatan fisik, seperti mengobrol, bersenda gurau,
memeluk, mencium, dan mengusap, maupun kedekatan psikis, seperti rasa kasih
sayang dan kehangatan (Chomaria 2011).
Selain komunikasi dengan kuantitas yang cukup, kualitas komunikasi
antara ibu dan anak juga perlu diciptakan agar dapat mencapai hubungan yang
harmonis. Pembagian waktu yang tepat antara pekerjaan dan keluarga perlu
disiasati dengan cermat agar dapat mencapai komunikasi yang berkualitas,
sebab jika ibu lebih banyak mengalokasikan waktunya untuk pekerjaan maka
sudah pasti anaknya akan terabaikan. Namun tidak ada jaminan pula bagi ibu
yang tidak bekerja atau ibu rumah tangga untuk dapat melakukan komunikasi
yang berkualitas, jika ibu hanya mementingkan dirinya sendiri dan tidak
memperdulikan anaknya, meskipun secara fisik berada pada tempat yang sama
(Barrazidni 2011).
Orang tua harus memiliki waktu khusus untuk berkomunikasi dengan
anaknya. Akan sangat sulit jika orang tua menggunakan waktu sisa dalam
berkomunikasi dengan anak. Sebab kondisi orang tua harus dalam keadaan
yang prima agar dapat memberikan anak nasehat dan ilmu yang berguna untuk
kehidupannya kelak (Syarbini dan Khusaeri 2012).
Kelekatan
Secara umum kelekatan didefinisikan sebagai ikatan afeksional yang
terbentuk akibat adanya intensitas hubungan yang sering antara anak dengan
figur lekatnya. Salah satu ahli kelekatan yaitu John Bolwby, mencetuskan konsep
mengenai bentuk kelekatan individu saat bayi dan pengaruhnya terhadap
kehidupan individu tersebut di masa depan. Bowlby menyatakan bahwa adanya
13
gangguan emosi atau psikologi yang terjadi pada individu saat ini, bisa dilihat
penyebabnya dengan menelusuri hubungan individu tersebut dengan figur
lekatnya di masa kecil. Mary Ainsworth, sebagai ahli kelekatan lainnya
mengklasifikasikan kelekatan individu kedalam dua jenis yaitu secure dan
insecure (ambivalent atau avoidant). Jika Bowlby melakukan penelitian pada
bayi, Ainsworth melakukan penelitian pada anak usia pra sekolah. Peneliti
selanjutnya yang melihat kelekatan saat ini merupakan pengaruh dari kehidupan
masa lalunya dalah Weiss. Penelitian Weiss dilakukan pada anak remaja. Weiss
menyatakan bahwa remaja yang matang dan percaya diri mempunyai orang tua
yang konsisten dan percaya diri dalam mengasuh remajanya. Artinya remaja
mencontoh apa yang dilakukan oleh orang tuanya (Armsdern dan Greenberg
1987).
Remaja tidak dapat dengan mudahnya keluar dari pengaruh orang tua
menuju kebebasan untuk dapat membuat keputusan sendiri. Seiring dengan
menjadi lebih bebasnya remaja, sebaiknya secara psikologis remaja memiliki
kelekatan yang kuat dengan orang tuanya (Santrock, 2003). Kelekatan
(attachment) adalah pengalaman seseorang dalam hubungan antar pribadi yang
terjadi secara berkesinambungan terhadap figur tertentu yang membentuk suatu
ikatan dan berperan terhadap kualitas dari hubungan tersebut (Utami 2007).
Para ahli teori kelekatan seperti berpendapat bahwa kelekatan yang
aman pada masa bayi adalah pokok bagi perkembangan kecakapan sosial.
Dalam
kelekatan
yang
aman
(secure
attachment),
bayi
menggunakan
pengasuhnya, biasanya ibu sebagai landasan rasa aman untuk memulai
mengeksplorasi lingkungan. Kelekatan yang aman dicirikan sebagai landasan
penting bagi perkembangan psikologis berikutnya pada masa kanak-kanak,
remaja, dan dewasa. Pada kelekatan yang tak aman (insecure attachment), bayi
agak menghindari pengasuhnya, atau menunjukkan perlawanan atau keduanya,
terhadap pengasuhnya. Kelekatan tak aman berkaitan dengan kesulitan
berhubungan dan masalah-masalah perkembangan selanjutnya.
Mengacu pada teori kelekatan sebelumnya, Armsden dan Greenberg
(1987) membuat tiga dimensi mengenai kelekatan antara orang tua dengan
anak.
Dimensi
tersebut
mencakup
kepercayaan
(trust),
komunikasi
(communication), dan pengasingan (alienation). Dimensi kepercayaan (trust)
didefinisikan sebagai perasaan aman dan percaya bahwa orang lain bisa
memenuhi kebutuhannya, serta timbulnya perasaan saling tergantung terhadap
14
orang lain. Kepercayaan merupakan salah satu komponen hubungan yang kuat
antara anak dengan figur lekatnya. Rasa percaya ini dibangun oleh pembelajaran
dan pengalaman anak yang positif terhadap figur lekatnya secara konsisten.
Dimensi yang kedua adalah komunikasi (communication). Komunikasi
yang baik antara ibu dan anak akan membantu menciptakan ikatan emosi yang
kuat diantara keduanya. Ikatan tersebut dapat terbentuk dengan adanya
harmonisasi dan timbal balik antara pemberi dan penerima pesan (ibu dan anak).
Untuk menciptakan iklim komunikasi yang bagus dibutuhkan keterbukaan antara
ibu dan anak. Keterbukaan ini merupakan modal penting dalam menjalin
hubungan antara ibu dengan anak remaja, sehingga kemampuan untuk dapat
berkomunikasi secara terbuka harus sudah dilatih sejak dini. Kemampuan untuk
menciptakan komunikasi yang terbuka antara ibu dan anak dipengaruhi oleh rasa
aman diantara keduanya.
Dimensi terakhir dalam kelekatan adalah pengasingan. Pengasingan
diartikan sebagai penghindaran dan penolakan oleh figur lekat dimana kedua hal
tersebut merupakan hal yang sangat mempengaruhi kelekatan anaknya. Ketika
sosok figur lekat menjadi tidak berfungsi sebagaimana mestinya, maka hal ini
dapat menciptakan kelekatan yang tidak aman antara anak dengan figur
lekatnya.
Remaja
Masa remaja merupakan transisi dari kanak-kanak menuju dewasa.
Dalam
masa
ini,
remaja
berkembang
ke
arah
kematangan
seksual,
memantapkan identitas sebagai individu yang terpisah dari keluarga, dan
menghadapi tugas menentukan cara mencari mata pencaharian. Suatu tahap
transisi menuju ke status dewasa mempunyai beberapa keuntungan. Tahap
transisi
memberi
remaja
itu
suatu
masa
yang
lebih
panjang
untuk
mengembangkan berbagai keterampilan serta untuk mempersiapkan masa
depan, tetapi masa itu cenderung menimbulkan masa pertentangan (konflik)
kebimbangan antara ketergantungan dan kemandirian.
Sulit untuk merasakan sepenuhnya kemampuan memenuhi kebutuhan
sendiri jika masih tinggal di rumah atau menerima bantuan keuangan dari orang
tua. Masa remaja merupakan masa untuk mencari identitas diri. Persepsi
mengenai identitas para remaja berkembang secara perlahan-lahan melalui
berbagai identifikasi masa kanak-kanak. Nilai dan standar moral anak-anak
15
sebagian besar merupakan nilai dan standar dari orang tuanya. Pada saat
remaja sudah mengenal dunia yang lebih luas nilai-nilai kelompok sebaya
menjadi lebih penting. Jika pandangan orang tua sangat berbeda dengan nilai
teman sebaya serta tokoh penting lain, kemungkinan akan terjadi konflik dan
remaja akan mengalami kebingungan peran (Atkinson,Atkinson 1987).
Agar dapat memperkecil terjadinya konflik antara orang tua dan remaja
dibutuhkan kerjasama antara ayah dan ibu dalam pengasuhan, meskipun pada
kenyataannya tanggung jawab utama pengasuhan berada pada pundak ibu.
Selama ini masyarakat meyakini bahwa ibu merupakan pengasuh utama dalam
membesarkan
anak-anaknya,
sehingga
apabila
terjadi
gangguan
pada
perkembangan anaknya maka masyarakat akan dengan mudah menyalahkan
ibu, meskipun sebenarnya hal itu bukan merupakan faktor utama. Ibu
membutuhkan pengetahuan yang luas agar dapat mendidik anak remajanya
dengan tepat. Remaja tidak suka dikekang, namun remaja juga tidak ingin
dibiarkan begitu saja. Oleh sebab itu ibu harus mengetahui kapan remaja butuh
diatur dan butuh dilepas (Santrock 2003).
Disisi lain tugas dan tanggung jawab ibu di rumah tidak hanya sekedar
mengasuh anak-anaknya melainkan harus juga mengerjakan pekerjaan rumah
tangga seperti memasak, mencuci dan merapikan rumah. Untuk itu adalah
keputusan yang bijak jika ayah dan ibu secara seimbang berbagi tanggung jawab
dalam membesarkan anak (Santrock 2003).
Download