TINJAUAN PUSTAKA Kepuasan Kepuasan merupakan hal yang bersifat individu. Setiap individu akan memiliki tingkat kepuasan yang berbeda-beda sesuai dengan situasi nilai-nilai yang berlaku pada dirinya. Menurut Anorog dan Widiyanti (1990) diacu dalam Hanifa (2005), semakin banyak yang sesuai dengan aspek keinginan individu, semakin tinggi tingkat kepuasan yang dirasakan dan sebaliknya, semakin banyak aspek-aspek yang tidak sesuai dengan keinginan individu, semakin rendah tingkat kepuasan yang dirasakan. Menurut Worldnet Dictionary dalam Hardiono (2008), kepuasan merupakan perasaan senang ketika telah berhasil memenuhi kebutuhan atau keinginan. Kepuasan hidup juga didefinisikan sebagai penilaian subjektif seseorang terhadap kualitas hidupnya baik secara keseluruhan atau hanya pada bagian tertentu saja, serta merupakan kekuatan psikologi yang dapat membantu individu untuk mengembangkan kemampuan beradaptasi. Kepuasan hidup merupakan kualitas dari kehidupan seseorang yang telah teruji secara keseluruhan berdasarkan kriteria yang telah ditentukan (Antaramian et all 2008). Menurut Schrodt, Witt, dan Messermith (2008) kepuasan dalam hubungannya dengan keluarga adalah pengalaman atau persepsi yang dirasakan seseorang mengenai kualitas hubungannya dengan keluarga. Tipe komunikasi yang digunakan untuk berinteraksi dengan anggota keluarga akan mempengaruhi persepsi mengenai kepuasan hubungan. Teori whole life satisfaction menyatakan bahwa setiap orang di setiap tahapan usia dalam hidupnya memiliki tujuan yang ingin dicapai. Seiring berubahnya tahapan usia tersebut, maka akan berubah pula tujuan yang diterapkan dalam kehidupannya. Meskipun dalam setiap tahapan kehidupan seorang individu memiliki tujuan yang berbeda, namun tetap saja individu tersebut ingin mencapai semua tujuannya dengan sukses. Kepuasan hidup yang dirasakan akan tercermin dari seberapa besar individu tersebut mampu merealisasikan tujuan-tujuannya (Suikkanen 2011). Terdapat lima aspek yang berpengaruh terhadap kepuasan hidup remaja dalam hubungan orang tua-anak, yaitu kelekatan, konflik orang tua-anak, gaya pengasuhan demokratis, kehangatan, dan dukungan orang tua. Remaja yang mendapatkan kehangatan yang cukup, penerimaan serta dukungan dari orang tua akan memiliki kepuasan hidup yang tinggi. Sebaliknya, remaja yang banyak 7 memiliki konflik dengan orang tuanya akan memiliki kepuasan hidup yang rendah (Chappel 2011). Gaya Pengasuhan Orang tua mempunyai peranan pertama dan utama bagi anak-anaknya selama anak-anak belum dewasa dan mampu berdiri sendiri. Untuk mengajarkan remaja pada kedewasaan, orang tua harus memberi contoh yang baik karena sifat dasar anak-anak adalah suka meniru yang lebih tua atau orang tuanya. Dalam memberikan pengarahan kepada anak, hendaknya menggunakan cara demokratis, sebab memungkinkan untuk menghasilkan anak yang percaya diri, mandiri, imajinatif, mudah beradaptasi dan disukai banyak orang (Karamoy 2008). Baumrind (1967) mengemukakan gaya pengasuhan dengan elemen gaya pendisiplinan (parental disciplinary styles). Menurut Baumrind, gaya pengasuhan memiliki dua komponen utama, yaitu demandingness (kontrol) dan responsiveness (kehangatan). Demandingness adalah kecendrungan untuk menetapkan peraturan secara ketat dan kontrol yang kuat agar anak berlaku matang dan dewasa, sedangkan responsiveness merupakan kecendrungan bersikap hangat dan menerima permintaan serta perasaan anak. Pada praktek pengasuhan, Baumrind lebih menyoroti segi pelimpahan kekuasaan antara orang tua dan anak atau gaya pengasuhan dimensi arahan (disiplin). Gaya pengasuhan dimensi arahan (disiplin) dikelompokkan menjadi 4 (empat) macam gaya pengasuhan orang tua, yaitu authoritarian (otoriter), authoritative (demokratis), permissive (permisif), dan uninfolved (tak terlibat). Keempat gaya pengasuhan itu memiliki ciri khasnya sendiri-sendiri dan masingmasing memberikan efek yang berbeda terhadap tingkah laku anak. 1. Authoritarian (otoriter) Gaya pengasuhan otoriter merupakan suatu bentuk pengasuhan orang tua yang pada umumnya sangat ketat dan kaku ketika berinteraksi dengan anaknya. Orang tua yang bergaya otoriter menekankan adanya kepatuhan seorang anak terhadap peraturan yang mereka buat tanpa banyak basabasi, tanpa penjelasan kepada anaknya mengenai sebab dan tujuan diberlakukannya peraturan tersebut, cenderung menghukum anaknya yang melanggar peraturan atau menyalahi norma yang berlaku. Orang tua yang demikian yakin bahwa cara yang keras merupakan cara yang terbaik dalam mendidik anaknya. Gaya pengasuhan ini menyebabkan seorang anak akan 8 kehilangan aktivitas kreatifnya dan akan tumbuh menjadi anak yang tidak efektif dalam kehidupan dan interaksinya dengan lingkungan sosial (Santrock 2003). 2. Authoritative (demokratis) Bentuk perlakuan orang tua saat berinteraksi dengan anaknya dengan cara melibatkan anak dalam mengambil keputusan yang berkaitan dengan keluarga dan diri anaknya merupakan gaya pengasuhan otoritatif. Orang tua yang otoritatif bersikap terbuka, fleksibel dan memberikan kesempatan kepada anaknya untuk dapat tumbuh dan berkembang dengan peraturan yang rasional (Baumrind 1967). Hal ini menyebabkan orang tua mempunyai hubungan yang dekat dengan anak-anaknya dan selalu mendorong anaknya untuk ikut terlibat dalam membuat peraturan dan melaksanakan peraturan dengan penuh kesadaran. Orang tua yang memiliki gaya pengasuhan otoritatif bertingkah laku hangat tetapi tetap tegas (Baumrind 1967). Kebiasaan-kebiasaan demokrasi, saling menghargai dan menghormati hak-hak orang tua dan anak-anak ditanamkan dalam keluarga yang otorotatif. Keputusan-keputusan yang penting akan diputuskan secara bersama-sama walaupun keputusan akhir seringkali berasa di tangan orang tua. Anak-anak diberi kesempatan untuk memberikan alasan mengapa mereka ingin memutuskan atau akan melakukan sesuatu. Apabila alasan-alasan itu masuk akal dan dapat diterima, maka orang tua yang otoritatif akan memberikan dukungan. Tetapi jika orang tua tidak menerima, maka orang tua akan menjelaskan alasannya mengapa dirinya tidak menerima keputusan anaknya tersebut. Orang tua yang otoritatif selalu berusaha menanamkan nilai-nilai kemandirian dan pengendalian diri yang tinggi pada anaknya, sekaligus tetap bertanggung jawab penuh terhadap tingkah laku anak-anaknya. Kebiasaan yang rasional, berorientasi pada masalah, terlibat dalam perbincangan dan penjelasan dengan anak-anak, dan memegang teguh tingkah laku yang disiplin selalu ditanamkan oleh orang tua yang menerapkan gaya pengasuhan otoritatif. Santrock (2003) berpendapat bahwa kualitas pola interaksi dan gaya pengasuhan orang tua yang otoritatif akan memunculkan keberanian, motivasi, dan kemandirian anak-anaknya dalam menghadapi masa depannya. Gaya pengasuhan seperti ini dapat mendorong tumbuhnya 9 kemampuan sosial, meningkatnya rasa percaya diri, dan tanggung jawab sosial pada seorang anak. 3. Permissive (permisif) Pola-pola perlakuan orang tua saat berinteraksi dengan anaknya dengan memberikan kelonggaran atau kebebasan kepada anaknya tanpa kontrol atau pengawasan yang ketat merupakan gaya pengasuhan yang permisif (Baumrind 1967). Orang tua yang permisif akan memberikan kebebasan penuh kepada anak-anaknya untuk bertindak sesuai dengan keinginan anaknya. Orang tua membuat sebuah peraturan tertentu, namun anak-anak tidak menyetujui atau tidak memamtuhinya, maka orang tua yang permisif cenderung akan bersikap mengalah dan akan mengikuti kemauan anak-anaknya. Ketika anak-anaknya melanggar suatu peraturan di dalam keluarga, orang tua dengan gaya pengasuhan permisif jarang menghukum anakanaknya, bahkan cenderung berusaha untuk mencari pembenaran terhadap tingkah laku anaknya yang melanggar peratauran tersebut. Orang tua yang seperti demikian umumnya membiarkan anak untuk menentukan tingkah lakunya sendiri. Mereka tidak menggunakan kekuasaan atau wewenangnya sebagai orang tua dengan tegas saat mengasuh dan membesarkan anaknya (Baumrind 1967). Akibatnya tingkah laku sosial anak kurang matang, kadang-kadang menunjukkan tingkah laku agresif, pengendalian dirinya amat buruk, tidak mampu mengarahkan diri, dan tidak bertanggung jawab (Santrock 2003). 4. Uninvolved (tak terlibat) Gaya pengasuhan tidak terlibat adalah gaya pengasuhan dimana orang tua tidak mau terlibat dan tidak mau pula pusing-pusing dengan kehidupan anaknya (Baumrind 1967). Gaya pengasuhan orang tua yang tidak terlibat lebih berdampak buruk dibandingkan dengan gaya pengasuhan permisif karena tidak adanya ikatan emosi ditambah dengan penerapan batasan kabur. Orang tua yang demikian hanya fokus pada pemenuhan kebutuhan materi atau fisik saja terhadap anak-anaknya, pemenuhan kebutuhan immateri atau psikis anaknya terabaikan atau bahkan sama sekali tidak pernah diperhatikan (Baumrind 1967). 10 Pola Komunikasi Komunikasi didefinisikan sebagai suatu proses simbolik transaksional dan menciptakan berbagai makna. Simbol dalam komunikasi terdiri dari berbagai bentuk, yaitu verbal atau kata-kata dan nonverbal seperti ekpresi wajah, kontak mata, gerakan, postur tubuh, penampilan, dan jarak spasial. Komunikasi keluarga merupakan suatu simbiosis, proses transaksional menciptakan dan membagi arti dalam keluarga. Seperti halnya setiap orang yang mempunyai gaya komunikasi yang berbeda, setiap keluarga pun mempunyai gaya dan pola komunikasi yang unik dan berbeda. Komunikasi merupakan cara individu untuk bisa berbagi ide dan perasaannya atau menanggapi ide dan perasaan orang lain. Dengan adanya komunikasi akan membantu individu untuk mendefinisikan dirinya sendiri dan cara individu itu bergaul dengan orang lain (Galvin dan Brommel 2008). Dalam komunikasi keluarga terdapat proses intersubjektivitas dan interaktivitas. Intersubjektivitas terkait dengan kemampuan kognitif dalam menangkap dan menerima pesan antar anggota keluarga, sedangkan interaktivitas terkait dengan perilaku keluarga yang membuat bentuk interaksi dan memelihara unit sosial (Koerner dan Fitzpatrick 2002). Tipe Komunikasi Penelitian mengenai komunikasi keluarga telah dilakukan lebih dari tiga dekade dan dirasakan memiliki banyak manfaat baik bagi kalangan akademisi maupun praktisi. Komunikasi dalam keluarga menghasilkan berbagai efek. Efek tersebut yaitu menyangkut gaya konflik, kemampuan berkomunikasi, sosialisasi anak, kepuasan keluarga, kebiasaan gaya hidup sehat, dan masih banyak lagi (Burns dan Pearson 2011). Penelitian mengenai skema komunikasi keluarga merupakan hasil dari pengembangan dua teori umum yaitu Fitzpatrick (1988) mengenai tipologi komunikasi pasangan menikah dan Ritchie (1991) mengenai pola komunikasi keluarga. Kedua peneliti ini setuju bahwa tipe komunikasi pasangan menikah dan tipe komunikasi antara orangtua – anak menggambarkan skema komunikasi keluarga. Adanya kesamaan pada kedua penelitian tersebut Fitzpatrik dan Ritchie (1994) dalam Burns dan Pearson (2011) menganalisis dan mengidentifikasi tiga dimensi berdasarkan pada skema komunikasi pasangan menikah dan hubungan orang tua – anak. Dimensi ini mewakili bentuk dari family 11 communication environment (FCE) atau lingkungan komunikasi keluarga. FCE ini terdiri dari tiga dimensi yaitu, family expresiveness, structural traditionalism, dan conflict avoidance. Dimensi family expresiveness menunjukkan komunikasi keluarga yang tinggi dalam diskusi dan mendorong setiap anggota keluarga untuk mengeluarkan pendapatnya. Keluarga yang menerapkan tipe komunikasi family expresiveness lebih sering mendorong anggota keluarganya untuk berdiskusi mengenai ide dan perasaannya daripada kedua tipe komunikasi lainnya. Anggota keluarga yang sering menerapkan tipe ini akan memiliki kemampuan komunikasi yang baik. Dimensi structural traditionalism menggunakan pemaksaan dan kekuasaan orang tua dalam mengkomunikasikan berbagai hal kepada anaknya. Keluarga yang menggunakan tipe komunikasi ini cenderung masih memegang teguh nilai-nilai tradisional dalam kehidupan keluarga dan pernikahan. Tipe komunikasi ini juga digunakan untuk menghindari topik yang tidak menyenangkan serta untuk menyamakan nilai dan kepercayaan dalam keluarga. Anggota keluarga structural traditionalism ini hanya memiliki sedikit kemampuan mengenai komunikasi interpersonal dan lebih rendah dari keluarga yang menerapkan family expresiveness. Dimensi yang terakhir adalah conflict avoidance, pada dimensi ini orang tua sebisa mungkin menghindari konflik dengan anaknya yaitu dengan menggunakan kekuasaannya. Tidak pernah ada penjelasan bagi setiap masalah sehingga tidak pernah terselesaikan dengan baik. Dimensi ini merupakan dimensi dengan level terendah dalam kemampuan komunikasi interpersonal dan menyelesaikan masalah (Burns dan Pearson 2011). Alokasi Waktu Komunikasi Sumber daya waktu adalah sumber daya yang tidak dapat dimasukkan sebagai sumber daya materi ataupun sumber daya manusia. Biasanya yang menjadi titik perhatian dari masalah sumber daya waktu adalah penggunaannya oleh setiap individu yang belum optimal. Hal ini mengingat bahwa konsep waktu adalah sumber daya yang tidak dapat diperbaharui dan tidak dapat digantikan, bersifat terbatas serta dimiliki oleh setiap individu dalam jumlah yang sama yaitu 24 jam dalam sehari (Guharja, et all 1992). Pemanfaatan waktu antara satu individu dengan individu lainnya berbeda. Dilihat dari jenis penggunaannya, waktu dibagi dalam empat tipe yaitu : 12 1. Waktu produktif atau waktu bekerja 2. Waktu subsisten atau waktu yang digunakan untuk makan, tidur, perawatan diri dan kesehatan 3. Waktu antara yaitu waktu yang digunakan selama perjalanan ke tempat kerja (work related time), dan 4. Waktu luang (free time) Komunikasi sangat dibutuhkan baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Untuk dapat memenuhi kuantitas dalam komunikasi, orang tua bekerja tetap bisa menjalin komunikasi secara hangat dengan anak-anak baik melalui telepon ataupun email. Sebab pada dasarnya anak sangat membutuhkan kedekatan dengan orang tuanya baik kedekatan fisik, seperti mengobrol, bersenda gurau, memeluk, mencium, dan mengusap, maupun kedekatan psikis, seperti rasa kasih sayang dan kehangatan (Chomaria 2011). Selain komunikasi dengan kuantitas yang cukup, kualitas komunikasi antara ibu dan anak juga perlu diciptakan agar dapat mencapai hubungan yang harmonis. Pembagian waktu yang tepat antara pekerjaan dan keluarga perlu disiasati dengan cermat agar dapat mencapai komunikasi yang berkualitas, sebab jika ibu lebih banyak mengalokasikan waktunya untuk pekerjaan maka sudah pasti anaknya akan terabaikan. Namun tidak ada jaminan pula bagi ibu yang tidak bekerja atau ibu rumah tangga untuk dapat melakukan komunikasi yang berkualitas, jika ibu hanya mementingkan dirinya sendiri dan tidak memperdulikan anaknya, meskipun secara fisik berada pada tempat yang sama (Barrazidni 2011). Orang tua harus memiliki waktu khusus untuk berkomunikasi dengan anaknya. Akan sangat sulit jika orang tua menggunakan waktu sisa dalam berkomunikasi dengan anak. Sebab kondisi orang tua harus dalam keadaan yang prima agar dapat memberikan anak nasehat dan ilmu yang berguna untuk kehidupannya kelak (Syarbini dan Khusaeri 2012). Kelekatan Secara umum kelekatan didefinisikan sebagai ikatan afeksional yang terbentuk akibat adanya intensitas hubungan yang sering antara anak dengan figur lekatnya. Salah satu ahli kelekatan yaitu John Bolwby, mencetuskan konsep mengenai bentuk kelekatan individu saat bayi dan pengaruhnya terhadap kehidupan individu tersebut di masa depan. Bowlby menyatakan bahwa adanya 13 gangguan emosi atau psikologi yang terjadi pada individu saat ini, bisa dilihat penyebabnya dengan menelusuri hubungan individu tersebut dengan figur lekatnya di masa kecil. Mary Ainsworth, sebagai ahli kelekatan lainnya mengklasifikasikan kelekatan individu kedalam dua jenis yaitu secure dan insecure (ambivalent atau avoidant). Jika Bowlby melakukan penelitian pada bayi, Ainsworth melakukan penelitian pada anak usia pra sekolah. Peneliti selanjutnya yang melihat kelekatan saat ini merupakan pengaruh dari kehidupan masa lalunya dalah Weiss. Penelitian Weiss dilakukan pada anak remaja. Weiss menyatakan bahwa remaja yang matang dan percaya diri mempunyai orang tua yang konsisten dan percaya diri dalam mengasuh remajanya. Artinya remaja mencontoh apa yang dilakukan oleh orang tuanya (Armsdern dan Greenberg 1987). Remaja tidak dapat dengan mudahnya keluar dari pengaruh orang tua menuju kebebasan untuk dapat membuat keputusan sendiri. Seiring dengan menjadi lebih bebasnya remaja, sebaiknya secara psikologis remaja memiliki kelekatan yang kuat dengan orang tuanya (Santrock, 2003). Kelekatan (attachment) adalah pengalaman seseorang dalam hubungan antar pribadi yang terjadi secara berkesinambungan terhadap figur tertentu yang membentuk suatu ikatan dan berperan terhadap kualitas dari hubungan tersebut (Utami 2007). Para ahli teori kelekatan seperti berpendapat bahwa kelekatan yang aman pada masa bayi adalah pokok bagi perkembangan kecakapan sosial. Dalam kelekatan yang aman (secure attachment), bayi menggunakan pengasuhnya, biasanya ibu sebagai landasan rasa aman untuk memulai mengeksplorasi lingkungan. Kelekatan yang aman dicirikan sebagai landasan penting bagi perkembangan psikologis berikutnya pada masa kanak-kanak, remaja, dan dewasa. Pada kelekatan yang tak aman (insecure attachment), bayi agak menghindari pengasuhnya, atau menunjukkan perlawanan atau keduanya, terhadap pengasuhnya. Kelekatan tak aman berkaitan dengan kesulitan berhubungan dan masalah-masalah perkembangan selanjutnya. Mengacu pada teori kelekatan sebelumnya, Armsden dan Greenberg (1987) membuat tiga dimensi mengenai kelekatan antara orang tua dengan anak. Dimensi tersebut mencakup kepercayaan (trust), komunikasi (communication), dan pengasingan (alienation). Dimensi kepercayaan (trust) didefinisikan sebagai perasaan aman dan percaya bahwa orang lain bisa memenuhi kebutuhannya, serta timbulnya perasaan saling tergantung terhadap 14 orang lain. Kepercayaan merupakan salah satu komponen hubungan yang kuat antara anak dengan figur lekatnya. Rasa percaya ini dibangun oleh pembelajaran dan pengalaman anak yang positif terhadap figur lekatnya secara konsisten. Dimensi yang kedua adalah komunikasi (communication). Komunikasi yang baik antara ibu dan anak akan membantu menciptakan ikatan emosi yang kuat diantara keduanya. Ikatan tersebut dapat terbentuk dengan adanya harmonisasi dan timbal balik antara pemberi dan penerima pesan (ibu dan anak). Untuk menciptakan iklim komunikasi yang bagus dibutuhkan keterbukaan antara ibu dan anak. Keterbukaan ini merupakan modal penting dalam menjalin hubungan antara ibu dengan anak remaja, sehingga kemampuan untuk dapat berkomunikasi secara terbuka harus sudah dilatih sejak dini. Kemampuan untuk menciptakan komunikasi yang terbuka antara ibu dan anak dipengaruhi oleh rasa aman diantara keduanya. Dimensi terakhir dalam kelekatan adalah pengasingan. Pengasingan diartikan sebagai penghindaran dan penolakan oleh figur lekat dimana kedua hal tersebut merupakan hal yang sangat mempengaruhi kelekatan anaknya. Ketika sosok figur lekat menjadi tidak berfungsi sebagaimana mestinya, maka hal ini dapat menciptakan kelekatan yang tidak aman antara anak dengan figur lekatnya. Remaja Masa remaja merupakan transisi dari kanak-kanak menuju dewasa. Dalam masa ini, remaja berkembang ke arah kematangan seksual, memantapkan identitas sebagai individu yang terpisah dari keluarga, dan menghadapi tugas menentukan cara mencari mata pencaharian. Suatu tahap transisi menuju ke status dewasa mempunyai beberapa keuntungan. Tahap transisi memberi remaja itu suatu masa yang lebih panjang untuk mengembangkan berbagai keterampilan serta untuk mempersiapkan masa depan, tetapi masa itu cenderung menimbulkan masa pertentangan (konflik) kebimbangan antara ketergantungan dan kemandirian. Sulit untuk merasakan sepenuhnya kemampuan memenuhi kebutuhan sendiri jika masih tinggal di rumah atau menerima bantuan keuangan dari orang tua. Masa remaja merupakan masa untuk mencari identitas diri. Persepsi mengenai identitas para remaja berkembang secara perlahan-lahan melalui berbagai identifikasi masa kanak-kanak. Nilai dan standar moral anak-anak 15 sebagian besar merupakan nilai dan standar dari orang tuanya. Pada saat remaja sudah mengenal dunia yang lebih luas nilai-nilai kelompok sebaya menjadi lebih penting. Jika pandangan orang tua sangat berbeda dengan nilai teman sebaya serta tokoh penting lain, kemungkinan akan terjadi konflik dan remaja akan mengalami kebingungan peran (Atkinson,Atkinson 1987). Agar dapat memperkecil terjadinya konflik antara orang tua dan remaja dibutuhkan kerjasama antara ayah dan ibu dalam pengasuhan, meskipun pada kenyataannya tanggung jawab utama pengasuhan berada pada pundak ibu. Selama ini masyarakat meyakini bahwa ibu merupakan pengasuh utama dalam membesarkan anak-anaknya, sehingga apabila terjadi gangguan pada perkembangan anaknya maka masyarakat akan dengan mudah menyalahkan ibu, meskipun sebenarnya hal itu bukan merupakan faktor utama. Ibu membutuhkan pengetahuan yang luas agar dapat mendidik anak remajanya dengan tepat. Remaja tidak suka dikekang, namun remaja juga tidak ingin dibiarkan begitu saja. Oleh sebab itu ibu harus mengetahui kapan remaja butuh diatur dan butuh dilepas (Santrock 2003). Disisi lain tugas dan tanggung jawab ibu di rumah tidak hanya sekedar mengasuh anak-anaknya melainkan harus juga mengerjakan pekerjaan rumah tangga seperti memasak, mencuci dan merapikan rumah. Untuk itu adalah keputusan yang bijak jika ayah dan ibu secara seimbang berbagi tanggung jawab dalam membesarkan anak (Santrock 2003).