Konstipasi fungsional pada anak - Jurnal Universitas Sumatera Utara

advertisement
Tinjauan Pustaka
Konstipasi fungsional pada anak
Herlina Loka, Atan Baas Sinuhaji, Supriatmo, Ade Rachmat Yudiyanto
Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara/
Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan
Abstrak
Konstipasi dan refluks gastroesofageal merupakan masalah yang sering dijumpai pada masa anak-anak. Keterlambatan
waktu transit kolon dapat menyebabkan anak-anak mengalami gejala refluks gastroesofageal seperti regurgitasi, muntah,
regurgitasi asam, pyrosis, cegukan, sendawa, kesulitan menelan dan batuk kronis.
Kata kunci : refluks gastroesofageal; konstipasi; regurgitasi; anak
Abstract
Constipation and gastroesophageal reflux are commonly found in the childhood. Delayed colonic transit time in children with
functional constipation made the children experience gastroesophageal reflux symptoms such as regurgitation, vomiting, acid
regurgitation, pyrosis, hiccup, belching, difficulty in swallowing and chronic cough.
Keywords: gastro esophageal reflux; constipation; regurgitation; children
PENDAHULUAN
Konstipasi merupakan masalah yang sering dijumpai
pada anak-anak. Konstipasi didefinisikan sebagai kesulitan
atau keterlam-batan dalam pengeluaran tinja lebih dari
durasi 2 minggu, dimana konsistensi tinja bersifat keras,
kering dan kecil yang sulit dan menyebabkan rasa sakit
ketika dikeluarkan.1,2
Penyebab konstipasi fungsional masih belum jelas, diduga
ada beberapa hal yang menyebabkan terjadinya konstipasi
fungsional seperti faktor herediter, faktor psikologis, gangguan
hormon dan gangguan pola bakteri di usus.
Faktor herediter berupa riwayat keluarga dimana hampir
dua pertiga pasien mempunyai riwayat orangtua dengan kebiasaan buang air besar yang tidak normal, kebiasaan makan
yang sedikit mengandung serat dan karbohidrat. Faktor psikologis berupa rasa trauma akan rasa sakit pada saat defekasi,
toilet training yang tidak tepat.4-11
Terapi pada konstipasi dapat berupa pengeluaran tinja,
terapi modifikasi perilaku, obat-obatan dan konseling.12 Pengeluaran tinja dilakukan dengan obat baik secara oral maupun
rektal. Terapi modifikasi perilaku dilakukan dengan cara latihan
kebiasaan pola buang air besar anak dan toilet training.13-17
Tujuan penulisan sari pustaka ini adalah untuk menilai
hubungan refluks gastroesofageal dengan konstipasi
fungsional pada anak
Konstipasi
Konstipasi berasal dari bahasa Latin “constipare” yang
berarti ramai bersama.18 Konstipasi secara umum didefinisikan
40 | Majalah Kedokteran Nusantara • Volume 47 • No. 1 • April 2014
sebagai gangguan defekasi yang ditandai dengan frekuensi
buang air besar kurang dari tiga kali dalam satu minggu,
defekasi sulit dan disertai rasa sakit, ada periode defekasi
dengan ukuran feses yang besar paling sedikit sekali dalam
rentang 7 sampai 30 hari, atau dijumpai massa yang dapat
teraba pada perut atau rektal pada pemeriksaan fisik.19
Konstipasi terjadi karena menghindari rasa sakit yang
timbul pada saat membuang tinja, sehingga anak menunda
pembuangan tinja.12
Konstipasi dapat bersifat akut ataupun kronik. Sebagian
besar konstipasi bersifat akut dan tidak berbahaya.2
Menurut the North American Society for Pediatric Gastroenterology and Nutrition (NASPGAN), konstipasi merupakan
keterlambatan atau kesulitan dalam melakukan defekasi yang
terjadi selama dua minggu atau lebih sehingga dapat menyebabkan timbulnya stress pada pasien.5,9
Menurut kriteria Rome III, konstipasi fungsional pada
anak apabila dijumpai setidaknya 1 kali dalam seminggu
selama setidaknya 2 bulan dan meliputi 2 atau lebih gejala
berikut pada anak dengan usia perkembangan lebih dari 4
tahun, dan tidak memenuhi kriteria diagnosis Irritable Bowel
Syndrome, yaitu :20
a) Buang air besar 2 kali seminggu atau kurang
b) Mengalami setidaknya 1 kali inkontinensia feses setiap
minggu
c) Riwayat perilaku menahan buang air besar yang
berlebihan (retentive posturing)
d) Riwayat nyeri saat buang air besar atau feses yang keras
e) Terdapat massa feses yang besar direktum
Herlina Loka, dkk
f) Riwayat diameter feses yang besar sehingga dapat
menyumbat toilet
Epidemiologi konstipasi
Tiga sampai lima persen anak-anak yang berobat ke
klinik pediatrik dan 25% anak-anak yang berobat ke klinik
pediatrik gastroenterohepatologi menderita konstipasi.3,4
Diperkirakan 0.3-28% anak-anak diseluruh dunia
mengalami konstipasi. Lebih dari 90% konstipasi pada anak
bersifat fungsional tanpa ada kelainan organik dan 40%
diantaranya diawali sejak usia 1 sampai 4 tahun, hanya 5%
sampai 10% yang mempunyai kelainan penyebab organik.5-7
Sebanyak 84% anak dengan konstipasi fungsional mengalami retensi feces. Dilaporkan sebanyak 3% anak prasekolah
dan 1-34% anak sekolah mengalami masalah konstipasi.8-10
Patofisiologi konstipasi
Saluran cerna adalah organ panjang dan berbentuk seperti
tabung yang dimulai dari mulut sampai anus. Tubuh mengolah
makanan dengan menggunakan pergerakan dari otot disepanjang saluran cerna bersamaan dengan pelepasan hormon
dan enzim. Usus manusia terdiri dari usus halus, usus besar
dan anus. Usus besar berfungsi untuk menyerap air dan
sebagian nutrisi yang tersisa yang telah diolah sebagian oleh
usus halus. Usus besar kemudian mengolah sisa makanan
dari bentuk cair menjadi bentuk padat yang dinamakan tinja.
Konstipasi terjadi ketika tinja berada dalam waktu yang lama di
kolon sehingga kolon menyerap lebih banyak air yang
menyebabkan tinja menjadi keras dan kering.2
Pada anak-anak, frekuensi pembuangan tinja bervariasi
tergantung pada usia anak. Didapati penurunan jumlah
pengeluaran tinja dari 4 kali sehari pada minggu awal usia
kehidupan menjadi 1,7 kali sehari pada usia 2 tahun, dan
1,2 kali perhari pada usia 4 tahun yang berkorelasi dengan
peningkatan massa tinja.
Pada saat anak berusia 4 tahun pola buang air besar
anak sudah sama seperti pada orang dewasa. Pada anak
prapubertas, konstipasi lebih sering dijumpai pada anak lakilaki dibanding anak perempuan dengan perbandingan 3:1,
dan pada masa remaja perbandingan ini menjadi terbalik.21,22
Penegakkan diagnosis konstipasi
Pemeriksaan fisik harus dilakukan yang meliputi
pengukuran berat badan dan tinggi badan. Dari palpasi
abdomen sering didapati massa fekal yang besar diregio
suprapubik. Pada rectal touché dapat dijumpai retensi fekal
yang menyebabkan dilatasi rektum.
Adanya rambut halus di daerah tulang belakang, tidak
adanya refleks kremaster menimbulkan kecurigaan kelainan
neurologik. Infeksi saluran kencing yang berulang dan bukti
adanya obstruksi dapat terjadi pada anak dengan konstipasi.
Pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan kadar hormon
tiroid dan elektrolit jarang dilakukan kecuali jika dicurigai
adanya kelainan organik yang mendasari.12,23
Diagnosis konstipasi dapat ditegakkan dengan kriteria
ROME III yang berdasarkan pada gejala klinis.20
Konstipasi Fungsional Pada Anak
Tabel 1. Kriteria ROME III sebagai diagnosis konstipasi
fungsional pada anak dan remaja 20
Gejala berikut harus muncul setidaknya 1 kali dalam
seminggu selama setidaknya 2 bulan dan meliputi 2 atau
lebih gejala berikut pada anak dengan usia perkembangan
lebih dari 4 tahun, dan tidak memenuhi kriteria diagnosis
Irritable Bowel Syndrome:
1. ≤ 2 kali buang air besar di toilet dalam 1 minggu
2. Setidaknya 1 kali episode inkontinensia fekal dalam 1
minggu
3. Adanya riwayat perilaku menahan buang air besar yang
berlebihan (retentive posturing)
4. Adanya riwayat buang air besar yang sakit atau keras
5. Dijumpai massa fekal yang besar di rectum
6. Riwayat feses yang besar yang menyumbat toilet
Pemeriksaan radiologi seperti foto polos abdomen dapat
digunakan untuk menentukan ada atau tidaknya retensi feses,
batas retensi feses dan menilai kelainan pada tulang belakang.
Pemeriksaan radiologis ini juga dapat dilakukan pada anak
yang tidak dijumpai massa feces di daerah suprapubik pada
pemeriksaan abdomen, anak yang menolak dilakukannya rectal
touché, anak obesitas dan anak yang masih mengalami gejala
konstipasi walaupun telahdiobati dengan laksatif.23
Pemeriksaan colonic transit study dengan manometri untuk
mengukur tekanan intraluminal dengan kateter merupakan
pemeriksaan yang bersifat objektif, yang berfungsi untuk menilai
tingkat keparahan konstipasi pada anak. Pemeriksaan ini tidak
perlu dilakukan pada sebagian besar anak dengan konstipasi
fungsional.23,24
Tatalaksana konstipasi
Terapi pada konstipasi dapat berupa pengeluaran tinja,
terapi modifikasi perilaku, obat-obatan dan konseling.12
Pengeluaran tinja dilakukan dengan obat baik secara oral
maupun rectal. Pengeluaran tinja ini dilakukan sebelum terapi
rumatan selama 2 sampai 5 hari sampai dijumpai pengeluaran
tinja secara menyeluruh.24
Obat yang digunakan adalah minyak mineral (paraffin
liquid) 15-30 ml/usia(tahun) dengan dosis maksimal 240 ml
dalam sehari kecuali pada bayi. Larutan polietilen glikol
(PEG) dapat diberikan dengan dosis 20ml/kgBB/jam dengan
dosis maksimal 1000ml/jam, obat ini diberikan melalui pipa
nasogastrik selama 4 jam dalam sehari.
Pengeluaran tinja dengan obat yang diberikan melalui
rectum berupa enema fosfat hipertonik (dosis 3 ml/kgBB 2
kali dalam sehari dengan dosis pemberian maksimal 6 kali
sehari), enema garam fisiologis (dosis 600-1000ml), minyak
mineral dengan dosis 120 ml.25
Terapi modifikasi perilaku dilakukan dengan cara latihan
kebiasaan pola buang air besar anak dan toilet training. Anak
dianjurkan untuk membuang air besar segera setelah makan
pagi dan malam. Latihan ini dilakukan secara perlahan-lahan
The Journal of Medical School, University of Sumatera Utara |
41
Herlina Loka, dkk
dalam waktu 10 sampai 15 menit, agar anak tidak merasa
tertekan.
Toilet training yang dilakukan secara teratur akan
melatih reflex gastrokolik yang pada akhirnya akan
menimbulkan reflex defekasi.13
Selain itu anak juga dianjurkan untuk banyak minum air
putih dan mengkonsumsi sayur-sayuran dan buah-buahan.
Dimana serat dan air ini berguna untuk melunakkan tinja.13,25
Hubungan kejadian gejala refluks gastroesofageal
dengan konstipasi fungsional pada anak
Kolon adalah organ utama terjadinya patofisiologi dari
konstipasi, dimana pada kolon terjadi penyerapan air.18,24
Impaksi dapat terjadi dibagian mana saja di kolon.24
Sebagian besar anak dengan konstipasi fungsional
mengalami gangguan motilitas usus yang masih belum jelas.
Sepertiga anak dengan konstipasi dan inkontinensia feces
dapat berulang ataupun menetap sampai usia dewasa.26
Waktu normal transit di kolon pada anak sehat adalah 48
jam dan 24 sampai 100 jam pada orang dewasa.18,24,27
Gangguan waktu transit kolon terjadi pada 39 sampai 58%
anak dengan konstipasi dan sebagian besar dari keterlambatan
waktu transit terjadi di rectum.28
Saluran cerna mempunyai persarafan tersendiri yang
terdiri dari faktor intrinsik dan ekstrinsik. Faktor ekstrinsik
terdiri dari saraf simpatetik dan parasimpatetik.
Pada awalnya sistem saraf enterik ini diperkirakan sebagai
saraf sederhana yang berfungsi untuk melanjutkan sinyalsinyal
otak, tapi setelah penelitian lebih lanjut diketahui bahwa sistem
saraf enterik ini berfungsi untuk memodulasi pergerakan,
sekresi, mikrosirkulasi, respon imun dan inflamasi dari saluran
cerna. Faktor intrinsik terdiri dari pleksus Auerbach, pleksus
Schabadasch dan pleksus Meissner.24,28,29
Sistem saraf enterik mempunyai tubuh sel di ganglia pada
myenterik atau pleksus submukosa yang berfungsi untuk melepaskan transmitter. Neurotransmitter seperti asetilkolin dan
takikinin menyebabkan kontraksi pada saluran cerna sedangkan
peptide vasoaktif usus, nitrit oxide dan adenosine trifosfate
berfungsi untuk merelaksasi saluran cerna.
Pada anak dengan pelambatan waktu transit kolon
terjadi kekurangan kolinergik pada system saraf di dinding
saluran cerna.30-34
Sebagian besar anak dengan konstipasi juga mengalami
keterlambatan waktu pengosongan lambung. Hal ini terjadi
karena distensi dari kolon akibat konstipasi menginhibisi
kontraksi dari lambung dan usus halus.35,36
Waktu pengosongan lambung dikoordinasi oleh saraf
ekstrinsik, sistem saraf enterik, pleksus Auerbach dan otot
polos saluran cerna. Lambung terdiri dari fundus dan
antrum. Dimana fundus berfungsi untuk mengolah makanan
dan membawa makanan ke antrum.29
Gangguan pada waktu pengosongan lambung dapat
menyebabkan timbulnya gejala refluks seperti muntah, regurgitasi, rasa terbakar di bagian tengah dada, cegukan, sendawa.
Fungsi proteksi terhadap terjadinya refluks terjadi di spinkter
bawah esofagus. Pada waktu istirahat tonus spinkter esofagus
42 | Majalah Kedokteran Nusantara • Volume 47 • No. 1 • April 2014
bawah berkisar 10-30 mmHg, dimana peningkatan tonus
diatas 5-10 mmHg dari tekanan intragastrik dapat mencegah
terjadinya refluks.
Spinkter bawah esofagus mengalami relaksasi dengan
adanya peristaltik di esofagus yang disebabkan oleh
pelepasan nitric oxide.37
KESIMPULAN
Konstipasi merupakan masalah yang sering dijumpai pada
masa anak-anak. Konstipasi yang disebabkan karena
gangguan waktu transit kolon terjadi kekurangan kolinergik pada
system saraf di dinding saluran cerna.
Sebagian besar anak dengan konstipasi juga mengalami
keterlambatan waktu pengosongan lambung. Hal ini terjadi
karena distensi dari kolon akibat konstipasi menginhibisi
kontraksi dari lambung dan usus halus.
Gangguan pada waktu pengosongan lambung dapat
menyebabkan timbulnya gejala refluks seperti muntah, regurgitasi, rasa terbakar di bagian tengah dada, cegukan, sendawa.
DAFTAR PUSTAKA
1. Greenwald BJ. Clinical practice guidelines for pediatric
constipation. J Am Acad Nurse Pract. 2010;22:332-8.
2. National digestive diseases information clearinghouse.
Constipation in children. Available from: .
3. Blackmer AB, Farrington EA. Constipation in the pediatric
patient: an overview and pharmacologic considerations. J
of Pediatr Health Care. 2010;24:385-99.
4. Croffie JM, Fitzgerald JF. Idiopathic constipation. In: Walker,
Goulet, Kleinman, Sherman, Sneider, Sanderson, editors.
Pediatric gastrointestinal disease, pathophysiology, diagnosis, management. 4th ed. USA; B.C. Decker Inc; 2004. p.
1000-15.
5. Kadim M. Konstipasi fungsional pada anak. Medan;
2010. p. 635-38.
6. Firmansyah A. Konstipasi pada anak. In: Juffrie M, Soenarto
SSY, Oswari H, Arif S, Rosalina I, Mulyani NS, editors. Buku
ajar gastroenterology-hepatologi. 1st ed. Jakarta: Ikatan
Dokter Anak Indonesia (IDAI); 2011. p. 201-14.
7. Wyllie MD, Hyams JS. Pediatric gastrointestinal disease:
pathophysiology, diagnosis, management. 2nd ed.
Philadelphia: WB Saunders; 1999.
8. Constipation guideline committee of the north american
society for pediatric gastroenterology, hepatology and
nutritio (CGCNASPGHAN). Evaluation and treatment of
constipation in infants and children: recommendations of
the
North
American
Society
for
pediatric
gastroenterology, hepatology, and nutrition. J Pediatr
Gastroenterol Nutr. 2006;43:1-13.
9. Croffie JM. Constipation in children. Indian J Pediatr.
2006;73:697-701.
10. Dijk MW, Benninga MA, Grootenhuis MA, Nieuwenhuizen
AM, Last BF. Chronic childhood constipation: a review of
Konstipasi Fungsional Pada Anak
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
the literature and the introduction of a protocolized behavioral
intervention program. Patient Educ Couns. 2007;67:63-77.
Hong Li Z, Dong M, Feng Wang Z. Functional constipation
in children : investigation and management of anorectal
motility. World J Pediatr. 2008;4:45-8.
Wyllie R. Functional constipation. In: Kliegman, Behrman,
Jenson, Stanton, editors. Nelson textbook of pediatrics.
18th ed. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2004. p. 1565.
Jurnalis YD, Sarmen S Sayoeti Y. Konstipasi pada anak.
Cermin dunia kedokteran. 2013;40:27-31.
Rubin G, Dale A. Chronic constipation in children. BMJ.
2006;333:1051-5.
UC A, Hyman PE, Walker LS. Functional gastrointestinal
disorders in African American children in primary care. J
Pediatr Gastroenterol Nutr. 2006;42:270-4.
Baran M, Ozgenc F, Arikan C, Cakir M, Ecevit CO, Aydogdu
S, et al. Gastroesophageal reflux in children with functional
constipation. Turk J Gastroenterol. 2012;23:634-8.
Borowitz SM, Sutphen JL. Recurrent vomiting and
persistent gastroesophageal reflux caused by unrecognized
constipation. Clin Pediatr. 2204;43:461-6.
Arnaud MJ. Mild dehydration: a risk factor of constipation?.
Eur J of Clin Nutr. 2003;57:88-95.
Supriatmo. Praktis klinis : tatalaksana konstipasi
fungsional. Medan; 2010. p. 152-59.
DiLorenzo C, Rasquin A, Forbes D, Guiraldes E, Hyams
J, Staiano A, et al. Childhood functional gastrointestinal
disorders: child/adolescent. In: Drossman DA, editor.
Rome III: the functional gastrointestinal disorders. 3rd ed.
VA: Degnon Associates Inc; 2006. p. 723-77.
Nyhan WL. Stool frequency of normal infants in the first
week of life. Pediatrics. 1952;10:414-25.
Weaver LT. Bowel habit from birth to old age. J Pediatr
Gastroenterol Nutr. 1988;7:637-40.
Loening-Baucke V. Constipation and fecal incontinence.
In: Wyllie R, Hyams JS, Kay M, editors. Pediatric gastrointestinal and liver disease. 4th ed. Philadelphia:
Saunders Elsevier; 2011. p. 12.7
Southwell BR, King SK, Hutson JM. Chronic constipation
in children: organic disorders are a major cause. J
Pediatr Child Health. 2005;41:1-15.
Taminiau J, Benninga M. Constipation and encopresis in
childhood. In: Guandalini S, penyunting. Textbook of pedia-
26.
27.
28.
29.
30.
31.
32.
33.
34.
35.
36.
37.
tric gastroenterology and nutrition. London: Taylor and
Francis Group; 2004. p. 247-51.
Khan S, Campo J, Bridge JA, Chiappetta LC, Wald A,
DiLorenzo C. Long term outcome of functional childhood
constipation. Dig Dis Sci. 2007;52:64-9.
Lewis LG, Rudolph CD. Practical approach to defecation
disorders n children. Pediatr Ann. 1997;26:260-8.
Papadopoulou A, Clayden GS, Booth IW. The clinical value
of solid marker transit studies in childhood constipation and
soiling. Eur J Pediatr. 1994;153:560-4.
Altaf MA, Sood MR. The nervous system and gastrointestinal function. Dev Disabil Res Rev. 2008;14:87-95.
Porter AJ, Wattchow DA, Brookes SJ, Costa M. Projections
of nitric oxide synthase and vasoactive intestinal
polypeptidereactive submucosal neurons in the human
colon. J Gastroenterol Hepatol. 1999;14:1180-7.
Wattchow DAPA, Brookes SJ, Costa M. The polarity of
neurochemically defined myenteric neurons in the
human colon. Gastroenterology. 1997;113:497-506.
Hutson JM, Chow CW, Borg J. Intractable constipation
with a decrease in substance P-immunoreactive fibres: is
it a variant of intestinal neuronal dysplasia?. J Pediatr
Surg. 1996;31:580-3.
Hutson JM, Chow CW, Hurley MR, Uemura S, Wheatley
JM, Catto-Smith AG. Deficiency of substance P-immunoreactive nerve fibres in children with intractable constipation:
a form of intestinal neuronal dysplasia. J Pediatr Child
Health. 1997;33:187-9.
Stanton MP, Hengel PT, Southwell BR, Chow CW, Keck
J, Hutson JM, et al. Cholinergic transmission to colonic
circular muscle of children with slow transit constipation
is unimpaired, but transmission via NK2 receptors is
lacking. Neurogastroenterol Motil. 2003;15:669-78.
Hemingway DM, Finlay IG. Effect of colectomy on gastric
emptying in idiopathic slow-transit constipation. Br J
Surg. 2000;87:1193-6.
Pearcy JF, Van Liere EJ. Studies on the visceral nervous
system. Am J Physiol. 1926;78:64-73.
Thomson MA. Development anatomy and physiology of
the esophagus. In: Wyllie RHJ, editor. Pediatric gastrointestinal and liver disease. 1st ed. Philadephia: Elsevier;
2006. p. 277-92.**
The Journal of Medical School, University of Sumatera Utara
| 43
Download