Tinjauan Pustaka Hubungan kejadian gejala refluks gastroesofageal dengan konstipasi fungsional pada anak Herlina Loka, Atan Baas Sinuhaji, Supriatmo, Ade Rachmat Yudiyanto Departemen Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara/ Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan Abstrak Konstipasi dan refluks gastroesofageal merupakan masalah yang sering dijumpai pada masa anak-anak. Keterlambatan waktu transit kolon dapat menyebabkan anak-anak mengalami gejala refluks gastroesofageal seperti regurgitasi, muntah, regurgitasi asam, pyrosis, cegukan, sendawa, kesulitan menelan dan batuk kronis. Kata kunci: refluks gastroesofageal; konstipasi; regurgitasi; anak Abstract Constipation and gastroesophageal reflux are commonly found in the childhood. Delayed colonic transit time in children with functional constipation made the children experience gastroesophageal reflux symptoms such as regurgitation, vomiting, acid regurgitation, pyrosis, hiccup, belching, difficulty in swallowing and chronic cough. Keywords: gastroesophageal reflux; constipation; regurgitation; children PENDAHULUAN Konstipasi merupakan masalah yang sering dijumpai pada anak-anak. Konstipasi didefinisikan sebagai kesulitan atau keterlambatan dalam pengeluaran tinja lebih dari durasi 2 minggu, dimana konsistensi tinja bersifat keras, kering dan kecil yang sulit dan menyebabkan rasa sakit ketika dikeluarkan.1,2 Tiga sampai lima persen anak-anak yang berobat ke klinik pediatrik dan 25% anak-anak yang berobat ke klinik pediatrik gastroenterohepatologi menderita konstipasi.3,4 Diperkirakan 0.3-28% anak-anak diseluruh dunia mengalami konstipasi. Lebih dari 90% konstipasi pada anak bersifat fungsional tanpa ada kelainan organik dan 40% diantaranya diawali sejak usia 1 sampai 4 tahun, hanya 5% sampai 10% yang mempunyai kelainan penyebab organik.5-7 Sebanyak 84% anak dengan konstipasi fungsional mengalami retensi feces. Dilaporkan sebanyak 3% anak prasekolah dan 1-34% anak sekolah mengalami masalah konstipasi.8-10 Penyebab konstipasi fungsional masih belum jelas, diduga ada beberapa hal yang menyebabkan terjadinya konstipasi fungsional seperti faktor herediter, faktor psikologis, gangguan hormon dan gangguan pola bakteri di usus. Faktor herediter berupa riwayat keluarga dimana hampir dua pertiga pasien mempunyai riwayat orang tua dengan kebiasaan buang air besar yang tidak normal, kebiasaan makan yang sedikit mengandung serat dan karbohidrat. Faktor psikologis berupa rasa trauma akan rasa sakit pada saat defekasi, toilet training yang tidak tepat.4,9,11 Terapi pada konstipasi dapat berupa pengeluaran tinja, terapi modifikasi perilaku, obat-obatan dan konseling.12 Pengeluaran tinja dilakukan dengan obat baik secara oral maupun rektal. Terapi modifikasi perilaku dilakukan dengan cara latihan kebiasaan pola buang air besar anak dan toilet training.13 Konstipasi dan gastroesofageal refluks adalah dua penyakit yang paling sering dialami pada anak-anak. Penyebab dari kedua hal diatas tidak jelas, tapi hal ini diduga disebabkan oleh karena faktor hormonal, neuronal dan psikogenik. Terjadinya gangguan pada masa transit di kolon menyebabkan terjadinya konstipasi dan mengganggu masa pengosongan lambung sehingga anak dengan konstipasi mengalami gejala refluks.14,15 Studi di Turki pada tahun 2012 mendapati sebanyak 47.4% anak dengan konstipasi mengalami gejala refluks. Pada studi ini anak dengan konstipasi dan dengan gastroesofageal refluks dilakukan pengukuran pH esophagus selama 24 jam dan didapati sebanyak 39.5% anak dengan konstipasi dan 42.5% anak dengan gastroesofageal refluks mengalami kelainan patologi refluks di bagian distal dari esophagus.16 Sebuah studi kasus di Virginia mendapati 17 dari 34 anak dengan konstipasi mengalami gastroesofageal refluks, dimana gejala refluks ini berkurang secara signifikan sampai hilang setelah konstipasi diatasi.17 Konstipasi Konstipasi berasal dari bahasa Latin “constipare” yang E-mail: [email protected] 148 | Majalah Kedokteran Nusantara • Volume 46 • No. 3 • Desember 2013 berarti ramai bersama.18 Konstipasi secara umum didefinisikan sebagai gangguan defekasi yang ditandai dengan frekuensi buang air besar kurang dari tiga kali dalam satu minggu, defekasi sulit dan disertai rasa sakit, ada periode defekasi dengan ukuran feses yang besar paling sedikit sekali dalam rentang 7 sampai 30 hari, atau dijumpai massa yang dapat teraba pada perut atau rektal pada pemeriksaan fisik.19 Konstipasi terjadi karena menghindari rasa sakit yang timbul pada saat membuang tinja, sehingga anak menunda pembuangan tinja.12 Konstipasi dapat bersifat akut ataupun kronik. Sebagian besar konstipasi bersifat akut dan tidak berbahaya.2 Menurut the North American Society for Pediatric Gastroenterology and Nutrition (NASPGAN), konstipasi merupakan keterlambatan atau kesulitan dalam melakukan defekasi yang terjadi selama dua minggu atau lebih sehingga dapat menyebabkan timbulnya stress pada pasien.5,9 Menurut kriteria Rome III, konstipasi fungsional pada anak apabila dijumpai setidaknya 1 kali dalam seminggu selama setidaknya 2 bulan dan meliputi 2 atau lebih gejala berikut pada anak dengan usia perkembangan lebih dari 4 tahun, dan tidak memenuhi kriteria diagnosis irritable bowel syndrome, yaitu :20 Buang air besar 2 kali seminggu atau kurang Mengalami setidaknya 1 kali inkontinensia feses setiap minggu Riwayat perilaku menahan buang air besar yang berlebihan (retentive posturing) Riwayat nyeri saat buang air besar atau feses yang keras Terdapat massa feses yang besar direktum Riwayat diameter feses yang besar sehingga dapat menyumbat toilet Epidemiologi konstipasi Tiga sampai lima persen anak-anak yang berobat ke klinik pediatrik dan 25% anak-anak yang berobat ke klinik pediatrik gastroenterohepatologi menderita konstipasi.3,4 Diperkirakan 0.3-28% anak-anak diseluruh dunia mengalami konstipasi. Lebih dari 90% konstipasi pada anak bersifat fungsional tanpa ada kelainan organik dan 40% diantaranya diawali sejak usia 1 sampai 4 tahun, hanya 5% sampai 10% yang mempunyai kelainan penyebab organik.5-7 Sebanyak 84% anak dengan konstipasi fungsional mengalami retensi feces. Dilaporkan sebanyak 3% anak prasekolah dan 1-34% anak sekolah mengalami masalah konstipasi.8-10 Patofisiologi konstipasi Saluran cerna adalah organ panjang dan berbentuk seperti tabung yang dimulai dari mulut sampai anus. Tubuh mengolah makanan dengan menggunakan pergerakan dari otot disepanjang saluran cerna bersamaan dengan pelepasan hormon dan enzim. Usus manusia terdiri dari usus halus, usus besar dan anus. Usus besar berfungsi untuk menyerap air dan sebagian nutrisi yang tersisa yang telah diolah sebagian oleh usus halus. Usus besar kemudian mengolah sisa makanan dari bentuk cair menjadi bentuk padat yang dinamakan tinja. Konstipasi terjadi ketika tinja berada dalam waktu yang lama di kolon sehingga kolon menyerap lebih banyak air yang menyebabkan tinja menjadi keras dan kering.2 Pada anak-anak, frekuensi pembuangan tinja bervariasi tergantung pada usia anak. Didapati penurunan jumlah pengeluaran tinja dari 4 kali sehari pada minggu awal usia kehidupan menjadi 1.7 kali sehari pada usia 2 tahun, dan 1.2 kali perhari pada usia 4 tahun yang berkorelasi dengan peningkatan massa tinja. Pada saat anak berusia 4 tahun pola buang air besar anak sudah sama seperti pada orang dewasa. Pada anak prapubertas, konstipasi lebih sering dijumpai pada anak laki-laki dibanding anak perempuan dengan perbandingan 3:1, dan pada masa remaja perbandingan ini menjadi terbalik.21,22 Penegakkan diagnosis konstipasi Pemeriksaan fisik harus dilakukan yang meliputi pengukuran berat badan dan tinggi badan. Dari palpasi abdomen sering didapati massa fekal yang besar diregio suprapubik. Pada rectal touché dapat dijumpai retensi fekal yang menyebabkan dilatasi rektum. Adanya rambut halus di daerah tulang belakang, tidak adanya refleks kremaster menimbulkan kecurigaan kelainan neurologik. Infeksi saluran kencing yang berulang dan bukti adanya obstruksi dapat terjadi pada anak dengan konstipasi. Pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan kadar hormon tiroid dan elektrolit jarang dilakukan kecuali jika dicurigai adanya kelainan organik yang mendasari.12,23 Diagnosis konstipasi dapat ditegakkan dengan kriteria ROME III yang berdasarkan pada gejala klinis.20 Tabel1. Kriteria ROME III sebagai diagnosis konstipasi fungsional pada anak dan remaja 20 Gejala berikut harus muncul setidaknya 1 kali dalam seminggu selama setidaknya 2 bulan dan meliputi 2 atau lebih gejala berikut pada anak dengan usia perkembangan lebih dari 4 tahun, dan tidak memenuhi kriteria diagnosis Irritable Bowel Syndrome: 1.≤ 2 kali buang air besar di toilet dalam 1 minggu 2. Setidaknya 1 kali episode inkontinensia fekal dalam 1 minggu 3. Adanya riwayat perilaku menahan buang air besar yang berlebihan (retentive posturing) 4.Adanya riwayat buang air besar yang sakit atau keras 5. Dijumpai massa fekal yang besar di rectum 6. Riwayat feses yang besar yang menyumbat toilet Pemeriksaan radiologi seperti foto polos abdomen dapat digunakan untuk menentukan ada atau tidaknya retensi feses, batas retensi feses dan menilai kelainan pada tulang belakang. Pemeriksaan radiologis ini juga dapat dilakukan pada anak yang tidak dijumpai massa feces di daerah suprapubik pada pemeriksaan abdomen, anak yang menolak dilakukannya rectal touché, anak obesitas dan anak yang masih mengalami The Journal of Medical School, University of Sumatera Utara | 149 Herlina Loka, dkk gejala konstipasi walaupun telahdiobati dengan laksatif.23 Pemeriksaan colonic transit study dengan manometri untuk mengukur tekanan intraluminal dengan kateter merupakan pemeriksaan yang bersifat objektif, yang berfungsi untuk menilai tingkat keparahan konstipasi pada anak. Pemeriksaan ini tidak perlu dilakukan pada sebagian besar anak dengan konstipasi fungsional.23,24 Tatalaksana konstipasi Terapi pada konstipasi dapat berupa pengeluaran tinja, terapi modifikasi perilaku, obat-obatan dan konseling.12 Pengeluaran tinja dilakukan dengan obat baik secara oral maupun rectal. Pengeluaran tinja ini dilakukan sebelum terapi rumatan selama 2 sampai 5 hari sampai dijumpai pengeluaran tinja secara menyeluruh. Obat yang digunakan adalah minyak mineral (paraffin liquid) 15-30 ml/usia(tahun) dengan dosis maksimal 240 ml dalam sehari kecuali pada bayi. Larutan polietilen glikol (PEG) dapat diberikan dengan dosis 20 ml/kgBB/jam dengan dosis maksimal 1000 ml/jam, obat ini diberikan melalui pipa nasogastrik selama 4 jam dalam sehari. Pengeluaran tinja dengan obat yang diberikan melalui rectum berupa enema fosfat hipertonik (dosis 3 ml/kgBB 2 kali dalam sehari dengan dosis pemberian maksimal 6 kali sehari), enema garam fisiologis (dosis 600-1000 ml), minyak mineral dengan dosis 120 ml.25 Terapi modifikasi perilaku dilakukan dengan cara latihan kebiasaan pola buang air besar anak dan toilet training. Anak dianjurkan untuk membuang air besar segera setelah makan pagi dan malam. Latihan ini dilakukan secara perlahan-lahan dalam waktu 10 sampai 15 menit, agar anak tidak merasa tertekan. Toilet training yang dilakukan secara teratur akan melatih reflex gastrokolik yang pada akhirnya akan menimbulkan reflex defekasi.13 Selain itu anak juga dianjurkan untuk banyak minum air putih dan mengkonsumsi sayur-sayuran dan buah-buahan. Dimana serat dan air ini berguna untuk melunakkan tinja.13,25 Hubungan kejadian gejala refluks gastroesofageal dengan konstipasi fungsional pada anak Kolon adalah organ utama terjadinya patofisiologi dari konstipasi, dimana pada kolon terjadi penyerapan air.18,24 Impaksi dapat terjadi dibagian mana saja di kolon.24 Sebagian besar anak dengan konstipasi fungsional mengalami gangguan motilitas usus yang masih belum jelas. Sepertiga anak dengan konstipasi dan inkontinensia feces dapat berulang ataupun menetap sampai usia dewasa.26 Waktu normal transit di kolon pada anak sehat adalah 48 jam dan 24 sampai 100 jam pada orang dewasa.18,24,27 Gangguan waktu transit kolon terjadi pada 39 sampai 58% anak dengan konstipasi dan sebagian besar dari keterlambatan waktu transit terjadi di rectum.28 Saluran cerna mempunyai persarafan tersendiri yang terdiri dari faktor intrinsik dan ekstrinsik. Faktor ekstrinsik terdiri dari saraf simpatetik dan parasimpatetik. Pada awalnya sistem saraf enterik ini diperkirakan sebagai saraf sederhana yang berfungsi untuk melanjutkan sinyal-sinyal otak, tapi setelah penelitian lebih lanjut diketahui bahwa sistem saraf enterik ini berfungsi untuk memodulasi pergerakan, sekresi, mikrosirkulasi, respon imun dan inflamasi dari saluran cerna. Faktor intrinsik terdiri dari pleksus Auerbach, pleksus Schabadasch dan pleksus Meissner.24,29 Sistem saraf enterik mempunyai tubuh sel di ganglia pada myenterik atau pleksus submukosa yang berfungsi untuk melepaskan transmitter. Neurotransmitter seperti asetilkolin dan takikinin menyebabkan kontraksi pada saluran cerna sedangkan peptide vasoaktif usus, nitrit oxide dan adenosine trifosfate berfungsi untuk merelaksasi saluran cerna. Pada anak dengan pelambatan waktu transit kolon terjadi kekurangan kolinergik pada system saraf di dinding saluran cerna.30-34 Sebagian besar anak dengan konstipasi juga mengalami keterlambatan waktu pengosongan lambung. Hal ini terjadi karena distensi dari kolon akibat konstipasi menginhibisi kontraksi dari lambung dan usus halus.35,36 Waktu pengosongan lambung dikoordinasi oleh saraf ekstrinsik, sistem saraf enterik, pleksus Auerbach dan otot polos saluran cerna. Lambung terdiri dari fundus dan antrum. Dimana fundus berfungsi untuk mengolah makanan dan membawa makanan ke antrum.29 Gangguan pada waktu pengosongan lambung dapat menyebabkan timbulnya gejala refluks seperti muntah, regurgitasi, rasa terbakar di bagian tengah dada, cegukan, sendawa. Fungsi proteksi terhadap terjadinya refluks terjadi di spinkter bawah esofagus. Pada waktu istirahat tonus spinkter esofagus bawah berkisar 10-30 mmHg, dimana peningkatan tonus diatas 5-10 mmHg dari tekanan intragastrik dapat mencegah terjadinya refluks. Spinkter bawah esofagus mengalami relaksasi dengan adanya peristaltik di esofagus yang disebabkan oleh pelepasan nitric oxide.37 KESIMPULAN Konstipasi merupakan masalah yang sering dijumpai pada masa anak-anak. Konstipasi yang disebabkan karena gangguan waktu transit kolon terjadi kekurangan kolinergik pada system saraf di dinding saluran cerna. Sebagian besar anak dengan konstipasi juga mengalami keterlambatan waktu pengosongan lambung. Hal ini terjadi karena distensi dari kolon akibat konstipasi menginhibisi kontraksi dari lambung dan usus halus. Gangguan pada waktu pengosongan lambung dapat menyebabkan timbulnya gejala refluks seperti muntah, regurgitasi, rasa terbakar di bagian tengah dada, cegukan, sendawa. DAFTAR PUSTAKA 1. Greenwald BJ. Clinical practice guidelines for pediatric constipation. J Am Acad Nurse Pract. 2010;22:332-8. 2. National Digestive Diseases Information Clearinghouse. Constipation in children. National Digestive Diseases [homepage on the internet] [cited on 2013 Sept].Available from : www.digestive.niddk.nih.gov 3. Blackmer AB, Farrington EA. Constipation in the pediatric 150 | Majalah Kedokteran Nusantara • Volume 46 • No. 3 • Desember 2013 Hubungan kejadian gejala refluks gastroesofageal dengan konstipasi fungsional pada anak 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. patient: an overview and pharmacologic considerations. J of Pediatr Health Care. 2010;24:385-99. Croffie JM, Fitzgerald JF. Idiopathic constipation. In: Walker, Goulet, Kleinman, Sherman, Sneider, Sanderson, editors. Pediatric gastrointestinal disease, pathophysiology, diagnosis, management. 4th Ed. USA: B.C. Decker Inc; 2004. p. 1000-15. Kadim M. Konstipasi fungsional pada anak. In: Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) IV Ilmu Kesehatan Anak; Medan, Indonesia. Medan; 2010. p. 635-8. Firmansyah A. Konstipasi pada anak. In: Juffrie M, Soenarto SSY, Oswari H, Arif S, Rosalina I, Mulyani NS, editors. Buku ajar gastroenterologi hepatologi. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2011. p. 201-14. Wyllie MD, Hyams JS. Pediatric gastrointestinal disease: pathophysiology, diagnosis, management. 2nd Ed. Philadelphia: WB Saunders; 1999. Constipation Guideline Committee of the North American Society for Pediatric Gastroenterology, Hepatology and Nutritio (CGCNASPGHAN). Evaluation and treatment of constipation in infants and children: recommendations of the north american society for pediatric gastroenterology, hepatology, and nutrition. J Pediatr Gastroenterol Nutr. 2006;43:e1-13. Croffie JM. Constipation in children. Indian J Pediatr. 2006;73:697-701. Dijk MW, Benninga MA, Grootenhuis MA, Nieuwenhuizen AM, Last BF. Chronic childhood constipation: a review of the literature and the introduction of a protocolized behavioral intervention program. Patient Educ Couns. 2007;67:63-77. Hong Li Z, Dong M, Feng Wang Z. Functional constipation in children: investigation and management of anorectal motility. World J Pediatr. 2008;4:45-8. Wyllie R. Functional Constipation. In: Kliegman, Behrman, Jenson, Stanton, editors. Nelson textbook of pediatrics. 18th Ed. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2004. p. 1565. Jurnalis YD, Sarmen S Sayoeti Y. Konstipasi pada anak. Cermin Dunia Kedokteran. 2013;40:27-31. Rubin G, Dale A. Chronic constipation in children. BMJ. 2006;333:1051-5. Uc A, Hyman PE, Walker LS. Functional gastrointestinal disorders in African American children in primary care. J Pediatr Gastroenterol Nutr. 2006;42:270-4. Baran M, Ozgenc F, Arikan C, Cakir M, Ecevit CO, Aydogdu S, et al. Gastroesophageal reflux in children with functional constipation. Turk J Gastroenterol. 2012;23:634-8. Borowitz SM, Sutphen JL. Recurrent vomiting and persistent gastroesophageal reflux caused by unrecognized constipation. Clin Pediatr. 2004;43:461-6. Arnaud MJ. Mild dehydration: a risk factor of constipation? Eur J of Clin Nutr 2003;57:588-95. Supriatmo. Praktis klinis: tatalaksana konstipasi fungsional. In: Kongres Nasional IV Badan Koordinasi Gastroenterologi Anak Indonesia (BKGAI); Medan, Indonesia; 2010 Dec 4- 7. Medan; 2010. p. 152-59. DiLorenzo C, Rasquin A, Forbes D, Guiraldes E, Hyams J, Staiano A, et al. Childhood functional gastrointestinal disorders: child/adolescent. In: Drossman DA, editor. Rome 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. III: the functional gastrointestinal disorders. 3rd Ed. McLean (VA): Degnon Associates, Inc; 2006. p. 723-77. Nyhan WL. Stool frequency of normal infants in the first week of life. Pediatrics. 1952;10:414-25. Weaver LT. Bowel habit from birth to old age. J Pediatr Gastroenterol Nutr. 1988;7:637-40. Loening-Baucke V. Constipation and fecal incontinence. In: Wyllie R, Hyams JS, Kay M, editors. Pediatric gastrointestinal and liver disease. 4th Ed. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2011. p. 127. Southwell BR, King SK, Hutson JM. Chronic constipation in children: organic disorders are a major cause. J Pediatr Child Health. 2005;41:1-15. Taminiau J, Benninga M. Constipation and encopresis in childhood. In: Guandalini S, editors. Textbook of pediatric gastroenterology and nutrition. London: Taylor and Francis Group; 2004. p. 247-51. Khan S, Campo J, Bridge JA, Chiappetta LC, Wald A, DiLorenzo C. Long term outcome of functional childhood constipation. Dig Dis Sci. 2007;52:64-9. Lewis LG, Rudolph CD. Practical approach to defecation disorders in children. Pediatr Ann. 1997;26:260-8. Papadopoulou A, Clayden GS, Booth IW. The clinical value of solid marker transit studies in childhood constipation and soiling. Eur J Pediatr. 1994;153:560-4. Altaf MA, Sood MR. The nervous system and gastroin0testinal function. Dev Disabil Res Rev. 2008;14:87-95. Porter AJ, Wattchow DA, Brookes SJ, Costa M. Projections of nitric oxide synthase and vasoactive intestinal polypeptidereactive submucosal neurons in the human colon. J Gastroenterol Hepatol. 1999;14:1180-7. Wattchow DAPA, Brookes SJ, Costa M. The polarity of neurochemically defined myenteric neurons in the human colon. Gastroenterology. 1997;113:497-506. Hutson JM, Chow CW, Borg J. Intractable constipation with a decrease in substance P-immunoreactive fibres: is it a variant of intestinal neuronal dysplasia? J Pediatr Surg. 1996;31:580-3. Hutson JM, Chow CW, Hurley MR, Uemura S, Wheatley JM, Catto-Smith AG. Deficiency of substance P-immunoreactive nerve fibres in children with intractable constipation: a form of intestinal neuronal dysplasia. J Pediatr Child Health. 1997;33:187-9. Stanton MP, Hengel PT, Southwell BR, Chow CW, Keck J, Hutson JM, et al. Cholinergic transmission to colonic circular muscle of children with slow transit constipation is unimpaired, but transmission via NK2 receptors is lacking. Neurogastroenterol Motil. 2003;15:669-78. Hemingway DM, Finlay IG. Effect of colectomy on gastric emptying in idiopathic slow-transit constipation. Br J Surg. 2000;87:1193-6. Pearcy JF, Van Liere EJ. Studies on the visceral nervous system. Am J Physiol. 1926;78:64-73. Thomson MA. Development anatomy and physiology of the esophagus. In: Wyllie RHJ, editor. Pediatric gastrointestinal and liver disease. Philadephia: Elsevier; 2006. p. 277-92. The Journal of Medical School, University of Sumatera Utara | 151