Hubungan kejadian gejala refluks gastroesofageal dengan

advertisement
Tinjauan Pustaka
Hubungan kejadian gejala refluks gastroesofageal
dengan konstipasi fungsional pada anak
Herlina Loka, Atan Baas Sinuhaji, Supriatmo, Ade Rachmat Yudiyanto
Departemen Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara/
Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan
Abstrak
Konstipasi dan refluks gastroesofageal merupakan masalah yang sering dijumpai pada masa anak-anak.
Keterlambatan waktu transit kolon dapat menyebabkan anak-anak mengalami gejala refluks gastroesofageal seperti
regurgitasi, muntah, regurgitasi asam, pyrosis, cegukan, sendawa, kesulitan menelan dan batuk kronis.
Kata kunci: refluks gastroesofageal; konstipasi; regurgitasi; anak
Abstract
Constipation and gastroesophageal reflux are commonly found in the childhood. Delayed colonic transit time in
children with functional constipation made the children experience gastroesophageal reflux symptoms such as regurgitation,
vomiting, acid regurgitation, pyrosis, hiccup, belching, difficulty in swallowing and chronic cough.
Keywords: gastroesophageal reflux; constipation; regurgitation; children
PENDAHULUAN
Konstipasi merupakan masalah yang sering dijumpai
pada anak-anak. Konstipasi didefinisikan sebagai kesulitan
atau keterlambatan dalam pengeluaran tinja lebih dari durasi
2 minggu, dimana konsistensi tinja bersifat keras, kering dan
kecil yang sulit dan menyebabkan rasa sakit ketika dikeluarkan.1,2
Tiga sampai lima persen anak-anak yang berobat ke
klinik pediatrik dan 25% anak-anak yang berobat ke klinik
pediatrik gastroenterohepatologi menderita konstipasi.3,4
Diperkirakan 0.3-28% anak-anak diseluruh dunia
mengalami konstipasi. Lebih dari 90% konstipasi pada anak
bersifat fungsional tanpa ada kelainan organik dan 40%
diantaranya diawali sejak usia 1 sampai 4 tahun, hanya 5%
sampai 10% yang mempunyai kelainan penyebab organik.5-7
Sebanyak 84% anak dengan konstipasi fungsional mengalami retensi feces. Dilaporkan sebanyak 3% anak prasekolah
dan 1-34% anak sekolah mengalami masalah konstipasi.8-10
Penyebab konstipasi fungsional masih belum jelas, diduga
ada beberapa hal yang menyebabkan terjadinya konstipasi
fungsional seperti faktor herediter, faktor psikologis, gangguan
hormon dan gangguan pola bakteri di usus.
Faktor herediter berupa riwayat keluarga dimana hampir
dua pertiga pasien mempunyai riwayat orang tua dengan
kebiasaan buang air besar yang tidak normal, kebiasaan
makan yang sedikit mengandung serat dan karbohidrat.
Faktor psikologis berupa rasa trauma akan rasa sakit
pada saat defekasi, toilet training yang tidak tepat.4,9,11
Terapi pada konstipasi dapat berupa pengeluaran tinja,
terapi modifikasi perilaku, obat-obatan dan konseling.12
Pengeluaran tinja dilakukan dengan obat baik secara oral
maupun rektal. Terapi modifikasi perilaku dilakukan dengan
cara latihan kebiasaan pola buang air besar anak dan toilet
training.13
Konstipasi dan gastroesofageal refluks adalah dua penyakit
yang paling sering dialami pada anak-anak. Penyebab dari
kedua hal diatas tidak jelas, tapi hal ini diduga disebabkan oleh
karena faktor hormonal, neuronal dan psikogenik.
Terjadinya gangguan pada masa transit di kolon menyebabkan terjadinya konstipasi dan mengganggu masa pengosongan lambung sehingga anak dengan konstipasi
mengalami gejala refluks.14,15
Studi di Turki pada tahun 2012 mendapati sebanyak 47.4%
anak dengan konstipasi mengalami gejala refluks. Pada studi ini
anak dengan konstipasi dan dengan gastroesofageal refluks
dilakukan pengukuran pH esophagus selama 24 jam dan
didapati sebanyak 39.5% anak dengan konstipasi dan 42.5%
anak dengan gastroesofageal refluks mengalami kelainan
patologi refluks di bagian distal dari esophagus.16
Sebuah studi kasus di Virginia mendapati 17 dari 34
anak dengan konstipasi mengalami gastroesofageal refluks,
dimana gejala refluks ini berkurang secara signifikan sampai
hilang setelah konstipasi diatasi.17
Konstipasi
Konstipasi berasal dari bahasa Latin “constipare” yang
E-mail: [email protected]
148 | Majalah Kedokteran Nusantara • Volume 46 • No. 3 • Desember 2013
berarti ramai bersama.18
Konstipasi secara umum didefinisikan sebagai gangguan
defekasi yang ditandai dengan frekuensi buang air besar
kurang dari tiga kali dalam satu minggu, defekasi sulit dan
disertai rasa sakit, ada periode defekasi dengan ukuran
feses yang besar paling sedikit sekali dalam rentang 7
sampai 30 hari, atau dijumpai massa yang dapat teraba
pada perut atau rektal pada pemeriksaan fisik.19
Konstipasi terjadi karena menghindari rasa sakit yang
timbul pada saat membuang tinja, sehingga anak menunda
pembuangan tinja.12
Konstipasi dapat bersifat akut ataupun kronik. Sebagian
besar konstipasi bersifat akut dan tidak berbahaya.2
Menurut the North American Society for Pediatric Gastroenterology and Nutrition (NASPGAN), konstipasi merupakan
keterlambatan atau kesulitan dalam melakukan defekasi yang
terjadi selama dua minggu atau lebih sehingga dapat
menyebabkan timbulnya stress pada pasien.5,9
Menurut kriteria Rome III, konstipasi fungsional pada
anak apabila dijumpai setidaknya 1 kali dalam seminggu
selama setidaknya 2 bulan dan meliputi 2 atau lebih gejala
berikut pada anak dengan usia perkembangan lebih dari 4
tahun, dan tidak memenuhi kriteria diagnosis irritable bowel
syndrome, yaitu :20
 Buang air besar 2 kali seminggu atau kurang
 Mengalami setidaknya 1 kali inkontinensia feses setiap
minggu
 Riwayat perilaku menahan buang air besar yang
berlebihan (retentive posturing)
 Riwayat nyeri saat buang air besar atau feses yang keras
 Terdapat massa feses yang besar direktum
 Riwayat diameter feses yang besar sehingga dapat
menyumbat toilet
Epidemiologi konstipasi
Tiga sampai lima persen anak-anak yang berobat ke
klinik pediatrik dan 25% anak-anak yang berobat ke klinik
pediatrik gastroenterohepatologi menderita konstipasi.3,4
Diperkirakan 0.3-28% anak-anak diseluruh dunia
mengalami konstipasi. Lebih dari 90% konstipasi pada anak
bersifat fungsional tanpa ada kelainan organik dan 40%
diantaranya diawali sejak usia 1 sampai 4 tahun, hanya 5%
sampai 10% yang mempunyai kelainan penyebab organik.5-7
Sebanyak 84% anak dengan konstipasi fungsional mengalami retensi feces. Dilaporkan sebanyak 3% anak prasekolah
dan 1-34% anak sekolah mengalami masalah konstipasi.8-10
Patofisiologi konstipasi
Saluran cerna adalah organ panjang dan berbentuk seperti
tabung yang dimulai dari mulut sampai anus. Tubuh mengolah
makanan dengan menggunakan pergerakan dari otot disepanjang saluran cerna bersamaan dengan pelepasan hormon dan
enzim.
Usus manusia terdiri dari usus halus, usus besar dan anus.
Usus besar berfungsi untuk menyerap air dan sebagian nutrisi
yang tersisa yang telah diolah sebagian oleh usus halus. Usus
besar kemudian mengolah sisa makanan dari bentuk cair
menjadi bentuk padat yang dinamakan tinja. Konstipasi terjadi
ketika tinja berada dalam waktu yang lama di kolon sehingga
kolon menyerap lebih banyak air yang menyebabkan tinja
menjadi keras dan kering.2
Pada anak-anak, frekuensi pembuangan tinja bervariasi
tergantung pada usia anak. Didapati penurunan jumlah pengeluaran tinja dari 4 kali sehari pada minggu awal usia kehidupan
menjadi 1.7 kali sehari pada usia 2 tahun, dan 1.2 kali perhari
pada usia 4 tahun yang berkorelasi dengan peningkatan
massa tinja.
Pada saat anak berusia 4 tahun pola buang air besar anak
sudah sama seperti pada orang dewasa. Pada anak prapubertas, konstipasi lebih sering dijumpai pada anak laki-laki
dibanding anak perempuan dengan perbandingan 3:1, dan
pada masa remaja perbandingan ini menjadi terbalik.21,22
Penegakkan diagnosis konstipasi
Pemeriksaan fisik harus dilakukan yang meliputi pengukuran
berat badan dan tinggi badan. Dari palpasi abdomen sering
didapati massa fekal yang besar diregio suprapubik.
Pada rectal touché dapat dijumpai retensi fekal yang menyebabkan dilatasi rektum. Adanya rambut halus di daerah
tulang belakang, tidak adanya refleks kremaster menimbulkan
kecurigaan kelainan neurologik. Infeksi saluran kencing yang
berulang dan bukti adanya obstruksi dapat terjadi pada anak
dengan konstipasi.
Pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan kadar
hormon tiroid dan elektrolit jarang dilakukan kecuali jika dicurigai
adanya kelainan organik yang mendasari.12,23
Diagnosis konstipasi dapat ditegakkan dengan kriteria
ROME III yang berdasarkan pada gejala klinis.20
Tabel1. Kriteria ROME III sebagai diagnosis konstipasi
fungsional pada anak dan remaja 20
Gejala berikut harus muncul setidaknya 1 kali dalam
seminggu selama setidaknya 2 bulan dan meliputi 2 atau
lebih gejala berikut pada anak dengan usia perkembangan
lebih dari 4 tahun, dan tidak memenuhi kriteria diagnosis
Irritable Bowel Syndrome:
1.≤ 2 kali buang air besar di toilet dalam 1 minggu
2. Setidaknya 1 kali episode inkontinensia fekal dalam 1
minggu
3. Adanya riwayat perilaku menahan buang air besar
yang berlebihan (retentive posturing)
4.Adanya riwayat buang air besar yang sakit atau keras
5. Dijumpai massa fekal yang besar di rectum
6. Riwayat feses yang besar yang menyumbat toilet
Pemeriksaan radiologi seperti foto polos abdomen dapat
digunakan untuk menentukan ada atau tidaknya retensi feses,
batas retensi feses dan menilai kelainan pada tulang belakang.
Pemeriksaan radiologis ini juga dapat dilakukan pada anak
yang tidak dijumpai massa feces di daerah suprapubik pada
pemeriksaan abdomen, anak yang menolak dilakukannya rectal
touché, anak obesitas dan anak yang masih mengalami
The Journal of Medical School, University of Sumatera Utara |
149
Herlina Loka, dkk
gejala konstipasi walaupun telahdiobati dengan laksatif.23
Pemeriksaan colonic transit study dengan manometri untuk
mengukur tekanan intraluminal dengan kateter merupakan
pemeriksaan yang bersifat objektif, yang berfungsi untuk menilai
tingkat keparahan konstipasi pada anak. Pemeriksaan ini tidak
perlu dilakukan pada sebagian besar anak dengan konstipasi
fungsional.23,24
Tatalaksana konstipasi
Terapi pada konstipasi dapat berupa pengeluaran tinja,
terapi modifikasi perilaku, obat-obatan dan konseling.12
Pengeluaran tinja dilakukan dengan obat baik secara oral
maupun rectal. Pengeluaran tinja ini dilakukan sebelum terapi
rumatan selama 2 sampai 5 hari sampai dijumpai pengeluaran
tinja secara menyeluruh. Obat yang digunakan adalah minyak
mineral (paraffin liquid) 15-30 ml/usia(tahun) dengan dosis
maksimal 240 ml dalam sehari kecuali pada bayi.
Larutan polietilen glikol (PEG) dapat diberikan dengan
dosis 20 ml/kgBB/jam dengan dosis maksimal 1000 ml/jam,
obat ini diberikan melalui pipa nasogastrik selama 4 jam dalam
sehari. Pengeluaran tinja dengan obat yang diberikan melalui
rectum berupa enema fosfat hipertonik (dosis 3 ml/kgBB 2 kali
dalam sehari dengan dosis pemberian maksimal 6 kali sehari),
enema garam fisiologis (dosis 600-1000 ml), minyak mineral
dengan dosis 120 ml.25
Terapi modifikasi perilaku dilakukan dengan cara latihan
kebiasaan pola buang air besar anak dan toilet training.
Anak dianjurkan untuk membuang air besar segera setelah
makan pagi dan malam.
Latihan ini dilakukan secara perlahan-lahan dalam waktu
10 sampai 15 menit, agar anak tidak merasa tertekan. Toilet
training yang dilakukan secara teratur akan melatih reflex
gastrokolik yang pada akhirnya akan menimbulkan reflex
defekasi.13
Selain itu anak juga dianjurkan untuk banyak minum air
putih dan mengkonsumsi sayur-sayuran dan buah-buahan.
Dimana serat dan air ini berguna untuk melunakkan tinja.13,25
Hubungan kejadian gejala refluks gastroesofageal
dengan konstipasi fungsional pada anak
Kolon adalah organ utama terjadinya patofisiologi dari
konstipasi, dimana pada kolon terjadi penyerapan air.18,24
Impaksi dapat terjadi dibagian mana saja di kolon.24 Sebagian besar anak dengan konstipasi fungsional mengalami
gangguan motilitas usus yang masih belum jelas. Sepertiga
anak dengan konstipasi dan inkontinensia feces dapat
berulang ataupun menetap sampai usia dewasa.26
Waktu normal transit di kolon pada anak sehat adalah 48
jam dan 24 sampai 100 jam pada orang dewasa.18,24,27
Gangguan waktu transit kolon terjadi pada 39 sampai 58%
anak dengan konstipasi dan sebagian besar dari
keterlambatan waktu transit terjadi di rectum.28
Saluran cerna mempunyai persarafan tersendiri yang
terdiri dari faktor intrinsik dan ekstrinsik. Faktor ekstrinsik terdiri
dari saraf simpatetik dan parasimpatetik. Pada awalnya sistem
saraf enterik ini diperkirakan sebagai saraf sederhana yang
berfungsi untuk melanjutkan sinyal-sinyal otak, tapi setelah
penelitian lebih lanjut diketahui bahwa sistem saraf enterik ini
berfungsi untuk memodulasi pergerakan, sekresi, mikrosirkulasi,
respon imun dan inflamasi dari saluran cerna. Faktor intrinsik
terdiri dari pleksus Auerbach, pleksus Schabadasch dan
pleksus Meissner.24,29
Sistem saraf enterik mempunyai tubuh sel di ganglia pada
myenterik atau pleksus submukosa yang berfungsi untuk
melepaskan transmitter. Neurotransmitter seperti asetilkolin dan
takikinin menyebabkan kontraksi pada saluran cerna sedangkan
peptide vasoaktif usus, nitrit oxide dan adenosine trifosfate
berfungsi untuk merelaksasi saluran cerna. Pada anak dengan
pelambatan waktu transit kolon terjadi kekurangan kolinergik
pada system saraf di dinding saluran cerna.30-34
Sebagian besar anak dengan konstipasi juga mengalami
keterlambatan waktu pengosongan lambung. Hal ini terjadi
karena distensi dari kolon akibat konstipasi menginhibisi
kontraksi dari lambung dan usus halus.35,36
Waktu pengosongan lambung dikoordinasi oleh saraf
ekstrinsik, sistem saraf enterik, pleksus Auerbach dan otot
polos saluran cerna. Lambung terdiri dari fundus dan
antrum. Dimana fundus berfungsi untuk mengolah makanan
dan membawa makanan ke antrum.29
Gangguan pada waktu pengosongan lambung dapat
menyebabkan timbulnya gejala refluks seperti muntah,
regurgitasi, rasa terbakar di bagian tengah dada, cegukan,
sendawa. Fungsi proteksi terhadap terjadinya refluks terjadi
di spinkter bawah esofagus.
Pada waktu istirahat tonus spinkter esofagus bawah
berkisar 10-30 mmHg, dimana peningkatan tonus diatas 5-10
mmHg dari tekanan intragastrik dapat mencegah terjadinya
refluks. Spinkter bawah esofagus mengalami relaksasi dengan
adanya peristaltik di esofagus yang disebabkan oleh pelepasan
nitric oxide.37
KESIMPULAN
Konstipasi merupakan masalah yang sering dijumpai pada
masa anak-anak. Konstipasi yang disebabkan karena
gangguan waktu transit kolon terjadi kekurangan kolinergik pada
system saraf di dinding saluran cerna.
Sebagian besar anak dengan konstipasi juga mengalami
keterlambatan waktu pengosongan lambung. Hal ini terjadi
karena distensi dari kolon akibat konstipasi menginhibisi
kontraksi dari lambung dan usus halus.
Gangguan pada waktu pengosongan lambung dapat
menyebabkan timbulnya gejala refluks seperti muntah, regurgitasi, rasa terbakar di bagian tengah dada, cegukan, sendawa.
DAFTAR PUSTAKA
1. Greenwald BJ. Clinical practice guidelines for pediatric
constipation. J Am Acad Nurse Pract. 2010;22:332-8.
2. National Digestive Diseases Information Clearinghouse.
Constipation in children. National Digestive Diseases
[homepage on the internet] [cited on 2013 Sept].Available
from : www.digestive.niddk.nih.gov
3. Blackmer AB, Farrington EA. Constipation in the pediatric
150 | Majalah Kedokteran Nusantara • Volume 46 • No. 3 • Desember 2013
Hubungan kejadian gejala refluks gastroesofageal dengan konstipasi fungsional pada anak
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
patient: an overview and pharmacologic considerations.
J of Pediatr Health Care. 2010;24:385-99.
Croffie JM, Fitzgerald JF. Idiopathic constipation. In:
Walker, Goulet, Kleinman, Sherman, Sneider, Sanderson,
editors. Pediatric gastrointestinal disease, pathophysiology,
diagnosis, management. 4th Ed. USA: B.C. Decker Inc;
2004. p. 1000-15.
Kadim M. Konstipasi fungsional pada anak. In: Pertemuan
Ilmiah Tahunan (PIT) IV Ilmu Kesehatan Anak; Medan,
Indonesia. Medan; 2010. p. 635-8.
Firmansyah A. Konstipasi pada anak. In: Juffrie M,
Soenarto SSY, Oswari H, Arif S, Rosalina I, Mulyani NS,
editors. Buku ajar gastroenterologi hepatologi. Jakarta:
Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2011. p. 201-14.
Wyllie MD, Hyams JS. Pediatric gastrointestinal disease:
pathophysiology, diagnosis, management. 2nd Ed.
Philadelphia: WB Saunders; 1999.
Constipation Guideline Committee of the North American
Society for Pediatric Gastroenterology, Hepatology and
Nutritio (CGCNASPGHAN). Evaluation and treatment of
constipation in infants and children: recommendations of
the north american society for pediatric gastroenterology,
hepatology, and nutrition. J Pediatr Gastroenterol Nutr.
2006;43:e1-13.
Croffie JM. Constipation in children. Indian J Pediatr.
2006;73:697-701.
Dijk MW, Benninga MA, Grootenhuis MA, Nieuwenhuizen
AM, Last BF. Chronic childhood constipation: a review of the
literature and the introduction of a protocolized behavioral
intervention program. Patient Educ Couns. 2007;67:63-77.
Hong Li Z, Dong M, Feng Wang Z. Functional constipation
in children: investigation and management of anorectal
motility. World J Pediatr. 2008;4:45-8.
Wyllie R. Functional Constipation. In: Kliegman, Behrman,
Jenson, Stanton, editors. Nelson textbook of pediatrics.
18th Ed. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2004. p. 1565.
Jurnalis YD, Sarmen S Sayoeti Y. Konstipasi pada anak.
Cermin Dunia Kedokteran. 2013;40:27-31.
Rubin G, Dale A. Chronic constipation in children. BMJ.
2006;333:1051-5.
Uc A, Hyman PE, Walker LS. Functional gastrointestinal
disorders in African American children in primary care. J
Pediatr Gastroenterol Nutr. 2006;42:270-4.
Baran M, Ozgenc F, Arikan C, Cakir M, Ecevit CO, Aydogdu
S, et al. Gastroesophageal reflux in children with functional
constipation. Turk J Gastroenterol. 2012;23:634-8.
Borowitz SM, Sutphen JL. Recurrent vomiting and
persistent gastroesophageal reflux caused by unrecognized
constipation. Clin Pediatr. 2004;43:461-6.
Arnaud MJ. Mild dehydration: a risk factor of constipation?
Eur J of Clin Nutr 2003;57:588-95.
Supriatmo. Praktis klinis: tatalaksana konstipasi fungsional.
In: Kongres Nasional IV Badan Koordinasi
Gastroenterologi Anak Indonesia (BKGAI); Medan,
Indonesia; 2010 Dec 4- 7. Medan; 2010. p. 152-59.
DiLorenzo C, Rasquin A, Forbes D, Guiraldes E, Hyams J,
Staiano A, et al. Childhood functional gastrointestinal
disorders: child/adolescent. In: Drossman DA, editor. Rome
21.
22.
23.
24.
25.
26.
27.
28.
29.
30.
31.
32.
33.
34.
35.
36.
37.
III: the functional gastrointestinal disorders. 3rd Ed.
McLean (VA): Degnon Associates, Inc; 2006. p. 723-77.
Nyhan WL. Stool frequency of normal infants in the first
week of life. Pediatrics. 1952;10:414-25.
Weaver LT. Bowel habit from birth to old age. J Pediatr
Gastroenterol Nutr. 1988;7:637-40.
Loening-Baucke V. Constipation and fecal incontinence.
In: Wyllie R, Hyams JS, Kay M, editors. Pediatric
gastrointestinal and liver disease. 4th Ed. Philadelphia:
Saunders Elsevier; 2011. p. 127.
Southwell BR, King SK, Hutson JM. Chronic constipation
in children: organic disorders are a major cause. J
Pediatr Child Health. 2005;41:1-15.
Taminiau J, Benninga M. Constipation and encopresis in
childhood. In: Guandalini S, editors. Textbook of
pediatric gastroenterology and nutrition. London: Taylor
and Francis Group; 2004. p. 247-51.
Khan S, Campo J, Bridge JA, Chiappetta LC, Wald A,
DiLorenzo C. Long term outcome of functional childhood
constipation. Dig Dis Sci. 2007;52:64-9.
Lewis LG, Rudolph CD. Practical approach to defecation
disorders in children. Pediatr Ann. 1997;26:260-8.
Papadopoulou A, Clayden GS, Booth IW. The clinical value
of solid marker transit studies in childhood constipation and
soiling. Eur J Pediatr. 1994;153:560-4.
Altaf MA, Sood MR. The nervous system and gastroin0testinal function. Dev Disabil Res Rev. 2008;14:87-95.
Porter AJ, Wattchow DA, Brookes SJ, Costa M. Projections
of nitric oxide synthase and vasoactive intestinal
polypeptidereactive submucosal neurons in the human
colon. J Gastroenterol Hepatol. 1999;14:1180-7.
Wattchow DAPA, Brookes SJ, Costa M. The polarity of
neurochemically defined myenteric neurons in the
human colon. Gastroenterology. 1997;113:497-506.
Hutson JM, Chow CW, Borg J. Intractable constipation
with a decrease in substance P-immunoreactive fibres: is
it a variant of intestinal neuronal dysplasia? J Pediatr
Surg. 1996;31:580-3.
Hutson JM, Chow CW, Hurley MR, Uemura S, Wheatley
JM, Catto-Smith AG. Deficiency of substance P-immunoreactive nerve fibres in children with intractable constipation:
a form of intestinal neuronal dysplasia. J Pediatr Child
Health. 1997;33:187-9.
Stanton MP, Hengel PT, Southwell BR, Chow CW, Keck
J, Hutson JM, et al. Cholinergic transmission to colonic
circular muscle of children with slow transit constipation
is unimpaired, but transmission via NK2 receptors is
lacking. Neurogastroenterol Motil. 2003;15:669-78.
Hemingway DM, Finlay IG. Effect of colectomy on gastric
emptying in idiopathic slow-transit constipation. Br J
Surg. 2000;87:1193-6.
Pearcy JF, Van Liere EJ. Studies on the visceral nervous
system. Am J Physiol. 1926;78:64-73.
Thomson MA. Development anatomy and physiology of
the esophagus. In: Wyllie RHJ, editor. Pediatric
gastrointestinal and liver disease. Philadephia: Elsevier;
2006. p. 277-92.
The Journal of Medical School, University of Sumatera Utara |
151
Download