BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam studi hak asasi

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam studi hak asasi manusia (HAM), negara diletakkan pada posisi
sebagai pengemban (duty bearer) tanggung jawab dan kewajiban pemenuhan,
perlindungan, dan pemajuan HAM. Dalam konteks demokrasi, isu minoritas
dapat diletakkan dalam dua persoalan utama; pertama, relasi mayoritasminoritas yang berkecenderungan meletakkan mayoritas sebagai tiran1;
kedua, relasi minoritas dengan negara dimana sistem di dalamnya cenderung
mengeksklusi kelompok minoritas2, baik secara disengaja maupun tidak.
Tesis ini bertujuan untuk mengeksplorasi masalah yang kedua, yaitu
bagaimana Jemaah Syiah, sebagai minoritas yang rentan terhadap eksklusi,
mengambil pilihan-pilihan politik untuk memperjuangkan representasi
mereka dalam sistem demokrasi di Indonesia.
Representasi merupakan salah satu isu utama dalam studi politik dan
demokrasi. Telah banyak penelitian dan analisis mengenai representasi di
dalam demokrasi. Penelitian terdahulu telah banyak dilakukan oleh para ahli
untuk menjawab isu-isu keterwakilan (representativeness) mulai dari
representasi melalui individu anggota legislatif, oleh partai politik, serta oleh
pemerintahan.
1
Beberapa pemikir besar memberikan sinyalemen sekaligus kritik (beberapa mengkhawatirkan)
bahwa demokrasi kemudian menjadi arena bagi tirani mayoritas. Plato dalam Politea dan
Republic menyebut “tyrannical majoritarianism” sebagai salah satu masalah radikal demokrasi.
Demikian juga Tocqueville, dia menyebut tirani minoritas terjadi di dalam demokrasi jika
majority rule tidak bersanding dengan minority rights. John Adams, Hegel, Hannah Arendt,
dan beberapa pemikir lain menyebut tirani mayoritas sebagai masalah pokok demokrasi. Lihat
Barker, Tragedy and Citizenship: Conflict, Reconciliation, and Democracy from Haemon to
Hegel (New York: State University of New York Press, 2009), hlm. 50. Juga Boni Hargens,
“Tirani Popularitas”, KOMPAS, 1 Agustus 2013. Selengkapnya baca juga Boesche, Theories of
Tyranny: From Plato to Arendt (Pennsylvania, The Pennsylvania State University Press,
1996).
2
Seperti pandangan Tocqueville, negara demokratis yang tidak bisa menjembatani hak-hak
individual (individual rights) seluruh warga negara dalam majority rule akan melanggar hakhak minoritas. Tocqueville, Democracy in America (Chicago: University of Chicago Press,
2000), ch. XV, book 1.
1
Atas isu epistemik representasi, terdapat tiga penjelasan yang coba
diajukan oleh beberapa ahli melalui beberapa fokus studi yang berbeda. Pada
fase pertama, studi awal representasi Michigan yang mengaitkan antara
konstituen dan perwakilan/representatifnya. Studi ini kelanjutan dari
perdebatan lama atas model perwakilan wali-delegasi dalam sistem Pemilu
Single Majority Member. Penelitian ini membandingkan pendapat konstituen
dengan para legislator terpilih dari distrik-distrik, dan menghasilkan hasil
empiris campuran, terutama dalam kasus-kasus partai-partai di Eropa.3
Pada fase kedua studi tentang representasi, penelitian-penelitian yang ada
menggeser fokus lebih pada hubungan antara pemilik suara dengan partaipartai yang mereka pilih, bukan dengan anggota legislatif secara individual.
Penelitian tersebut menggambarkan teori the ruling party yang bertanggung
jawab sepenuhnya dalam representasi politik.4 Model pemerintahan partai ini
tampaknya lebih relevan untuk sistem parlementer dengan partai-partai
politik yang kuat.5 Di negara-negara dengan sistem parlementer ini, partai
merupakan aktor politik utama, bukan kandidat. Dalam model pemerintahan
partai ini dibangun kesepakatan antara pemilih dan partai yang dipilih
mereka. Calon-calon dipilih oleh elit partai, bukan melalui pilihan terbuka.
Dengan demikian para calon itu merupakan wakil partai. Model pemerintahan
dengan tanggung partai ini mengasumsikan bahwa para anggota sebuah partai
yang menjadi delegasi di parlemen bertindak secara serempak.6 Suara partai
di dalam parlemen maujud sebagai satu blok, meskipun barangkali dalam
Miller, W., dan Stokes, D. 1963. “Constituency influence in Congress”. American Political
Science Review 57: 45-56. Lihat juga McAllister, I. 1991. “Party elites, voters and political
attitudes: Testing three explanations for mass-elite differences”. Canadian Journal of Political
Science 24: 237-268.
4
Beberapa di antaranya dilakukan oleh Rose (1974), antara lain melalui publikasinya yang
berjudul Problems of Party Government. London: Macmillan. Juga Castles, F., and
Wildenmann, R. (Eds.), “Visions and Realities of Party Government”, (Berlin: Walter de
Gruyter and Co., 1986)
5
Thomassen (1976), Dalton (1985), Holmberg (1989), Esaiasson dan Holmberg (1996); Matthews
dan Valen (1999). Lihat Russell J. Dalton, David M. Farrell dan Ian McAllister, “The
Dynamics of Political Representation” (Amsterdam: Pallas Publications-Amsterdam University
Press, Amsterdam, 2011), hlm. 21-38
6
Bowler, S., Farrell, D., and Katz R., Party Discipline and Parliamentary Government,
(Columbus, OH: Ohio State University Press, 1999).
3
2
proses internal partai tersebut sebelumnya terjadi perdebatan sengit sebelum
akhirnya pilihan partai diputuskan. Partai melakukan kontrol terhadap
pemerintahan dan proses pembuatan kebijakan melalui kontrol partai di
lembaga legislatif tingkat nasional.
Singkatnya, partai menyediakan pilihan kepada pemilik kontrol langsung
atas tindakan para legislator dan urusan-urusan pemerintahan, dan tidak
menyediakan representasi berbasis pilihan-pilihan konstituen. Analog dengan
itu, Sartori (1968) menegaskan sebuah highlight bahwa representasi warga
negara oleh dan melalui partai dalam demokrasi Barat merupakan sesuatu
yang tidak bisa dihindari.7
Pada fase ketiga, studi tentang representasi tidak lagi berfokus pada
representasi berbasis konstituensi dan representasi melalui partai politik,
namun juga di dalam pemerintahan. Singkatnya, representasi tidak hanya soal
bagaimana legislator mewakili konstituennya dan bagaimana partai politik
merepresentasi pemilihnya. Akan tetapi, fokus penelitan-penelitian mengenai
representasi kemudian diperluas, yaitu berangkat dari pertanyaan dasar
bagaimana dan sejauh mana pemerintah merepresentasikan warga yang
memilih dan memberikan mandat kepada mereka.8
Salah satu penelitian tentang representasi pada fase ini dilakukan oleh
Przeworski, et.al. (1999). Di antara yang disoal oleh Przeworski adalah
pertanyaan-pertanyaan berikut: Apakah pemilih mendapati pemerintahan
yang menurut mereka sebangun dengan pilihan-pilihan kebijakan yang
mereka inginkan? Apakah representasi berfungsi melalui pertimbanganpertimbangan prospektif atau menilai dengan pertimbangan-pertimbangan
Sartori, G. 1968. “Representational systems”. International Encyclopedia of the Social Sciences
13: 470-475.
8
Powell ( 2000; juga Huber dan Powell 1994) adalah peneliti pertama yang membandingkan
posisi Kiri - Kanan pemilih (dari survei opini publik) dengan posisi Kiri - Kanan partai-partai
koalisi (dari survei ahli) di negara-negara demokrasi Barat. Dia menemukan tingkat kesesuaian
yang bervariasi antara “posisi” pemilih dengan kebijakan pemerintah yang berkuasa. Sejak itu
beberapa penelitian telah menggunakan data-data kuantitatif untuk membandingkan kesesuaian
antara warga dengan pemerintah, seperti Klingemann et al (1994). McDonald dan Budge
(2005). Lihat Russell J. Dalton, David M. Farrell dan Ian McAllister. Op.cit, hlm. 21-38
7
3
retrospektif dan kemudian meminta pertanggungjawaban mereka pada saat
pemilu?9
Perkembangan studi representasi lebih banyak memberikan tekanan
fokus pada pihak yang mewakili (representatives) dan tidak pada yang
diwakili. Tekanannya, apakah pihak-pihak yang mewakili, entah namanya
legislator, partai politik, atau pemerintah, mengambil pilihan-pilihan
kebijakan yang kongruen dengan kehendak dan kepentingan rakyatnya. Kata
kunci pokok sebagai momen sentral dari representasi politik tersebut adalah
pemilihan umum.10 Pemilihan umum merupakan starting point untuk
mengukur representasi politik tersebut, baik pada aspek yang mewakili
maupun yang diwakili.11 Perkembangan studi politik mengenai representasi
tersebut memberikan ruang bagi studi mengenai ekspresi pilihan-pilihan
warga negara dalam representasi politik sebagai proses yang terus
berlangsung (ongoing process), dan bukan even tunggal yang sekali selesai.
Dalam konteks Indonesia, salah satu persoalan paling serius yang dicatat
oleh studi Demos dalam rangka melihat bagaimana demokrasi dan demokrasi
bekerja adalah masalah representasi politik.12 Representasi politik yang
dinilai paling parah kualitasnya adalah representasi melalui partai politik, dan
pada ujungnya juga berimplikasi pada rendahnya kualitas pemilu dari kaca
mata representasi popular. Partai politik peserta pemilu memang tumbuh dan
bekerja, namun parpol tidak merepresentasikan kepentingan-kepentingan
konstituen dan isu-isu vital masyarakat. Pemilu memang dilaksanakan secara
9
Przeworski, A., Stokes, S., and Manin, B. (Eds.), Democracy, Accountability, and
Representation, (New York: Cambridge University Press, 1999).
10
Hal ini tentu saja disandarkan pada realitas faktual dan teoretik bahwa pemilu merupakan aspek
esensial demokrasi, yang menjadi saluran untuk, paling tidak, regularitas pemilihan pemimpin
oleh warga negara serta hak pilih untuk seluruh warga negara (universal sufferage).
11
Dalam konteks ini, beberapa pemikir menyebut representasi politik demikian sebagai
responsiveness atau policy congruence, lihat antara lain Powell (2000). Titik tekannya pada
apakah pilihan-pilihan kebijakan yang diinginkan oleh warga negara tergambar dalam
kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pemerintah, atau lebih lanjut, apakah ada kesebangunan
kebijakan antara warga negara dengan pemerintah negara. Aspek ini dipandang sebagai
indikator utama untuk menilai kualitas sebuah demokrasi. Lihat Diamond and Morlino (2005).
12
Di samping masalah representasi, juga mengemuka: masalah jaminan kebebasan dan hak-hak
dasar khususnya ekonomi, sosial dan budaya, masalah oligarki demokrasi, masalah agen
perubahan yang mengambang, masalah lokalisasi politik yang tidak menyatukan, dan masalah
fragmentasi agen-agen gerakan demokrasi.
4
regular dan menghasilkan keterpilihan wakil-wakil yang duduk di lembaga
legislatif, khususnya. Namun, kenyataannya wakil-wakil tersebut sangat
minim dalam merepresentasikan kepentingan-kepentingan publik dan lebih
dominan didorong oleh kepentingan-kepentingan personal dan elitis. Situasi
representasi politik demikian dicatat sebagai defisit demokrasi Indonesia yang
paling serius.13
Salah satu isu utama representasi politik di Indonesia adalah representasi
kelompok-kelompok minoritas, dimana mereka tidak saja tereksklusi dari
politik Indonesia yang lebih banyak bekerja dalam logika mayoritarianisme,
namun bahkan menjadi objek dari tindakan-tindakan intoleransi dan
diskriminasi, seperti minoritas Syi’ah di Sampang yang menjadi korban
penyerangan, pembakaran tempat tinggal dan rumah ibadah, dan penyerbuan
yang berakibat pada hilangnya nyawa.
Dengan spektrum paradigmatik yang similar dengan studi-studi tentang
representasi tersebut, peneliti melihat bahwa persoalan diskriminasi,
persekusi, intoleransi, dan pelanggaran atas hak-hak dasar kelompok
minoritas agama/keyakinan, khususnya Jemaah Syi’ah Sampang, dapat dilihat
dari perspektif representasi politik untuk memastikan terjaminnya hak-hak
asasi manusia dan hak-hak konstitusional mereka sebagai warga negara.
Dalam konteks studi ini, representasi politik tidak hanya merujuk pada
bagaimana lembaga-lembaga politik bekerja dan berfungsi mewakili
kepentingan-kepentingan kelompok minoritas, namun lebih dari itu mengacu
pada bagaimana kelompok minoritas menggiatkan civic engagement, baik
secara individual maupun secara kolektif, dalam saluran-saluran politik yang
ada, khususnya partai politik, untuk memperjuangkan representasi politik
untuk menjamin hak-hak dan memenuhi kepentingan-kepentingan mereka.
Untuk itu peneliti bermaksud untuk melakukan penelitian mengenai
bagaimana Jemaah Syiah di Indonesia memperjuangkan politik inklusi
demokratis bekerja untuk menjamin representasi politik mereka, dan pada
gilirannya menjamin pemenuhan hak-hak dasar dan kepentingan-kepentingan
13
Lihat Otto Adi Yulianto, “Representasi Semu”, dalam AE Priyono, et.al. Op.cit, hal 69-102.
5
kelompok minoritas Jemaah Syi’ah pasca Kasus Sampang. Pada akhirnya
studi ini akan melihat bagaimana politik inklusi demokratis dioptimalkan oleh
Jema’ah Syi’ah dalam melindungi dan memenuhi hak-hak dasar dan
kepentingan-kepentingan minoritas mereka pasca Kasus Sampang.
Penelitian mengenai Syi’ah dengan menggunakan kacamata representasi
politik merupakan sesuatu yang baru dan penting untuk dilakukan, paling
tidak karena dua alasan. Pertama, studi-studi ilmiah yang ada tentang Syi’ah
selama ini lebih banyak mengambil perspektif yang makro tentang Syi’ah
baik teologis maupun kultural serta perjuangan Syi’ah di berbagai bidang.
Kedua, Syi’ah merupakan bagian integral dari Indonesia yang ber-Bhinneka
Tunggal Ika. Dengan demikian, memahami Syi’ah dengan lebih baik dari
kacamata politik akan membuka ruang bagi hidup setiap manusia, makhluk
politik (zoon politicon), secara peaceful co-existence.
B. Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, masalah penelitian (research
question) dapat dinyatakan dalam pertanyaan: Bagaimana pilihan-pilihan
Jemaah syi’ah Sampang dalam memperjuangkan representasi politik mereka
dalam politik inklusi demokratis?
C. Tujuan Penelitian
Dengan rumusan masalah di atas, penelitian ini bertujuan untuk: 1)
mengungkap sikap-sikap politik Jemaah Syi’ah dalam memperjuangkan
mekanisme dan sistem yang merepresentasikan aspirasi dan kepentingankepentingan mereka, dan 2) menganalisis tindakan-tindakan mereka dalam
memperjuangkan
aspirasi-aspirasi,
hak-hak
dasar
dan
kepentingan-
kepentingan Jemaah Syi’ah pasca Kasus Sampang, di dalam kerangka
demokrasi. Dengan dua tujuan partikular tersebut, penelitian ini secara umum
akan menganalisis perjuangan Jemaah Syi’ah sebagai kelompok minoritas
sekaligus tidak diuntungkan (minority and disadvantaged groups), terutama
6
pasca Kasus Sampang, untuk mewujudkan representasi politik mereka dalam
perspektif politik inklusi demokratis.
D. Kajian Teori
Untuk mengerangkai pengumpulan dan analisis data penelitian ini
sekaligus untuk menyajikan temuan-temuan baru (findings) penelitian ini,
maka peneliti akan mengulas dua kajian teoretik utama, yaitu minoritas dan
demokrasi, serta representasi dalam politik inklusi demokratis.
1.
Minoritas dan Demokrasi
Secara literal, istilah minoritas sebenarnya belum terlalu jelas. Sebab
label minoritas ini dikonstruk secara akademik dan historikal14, sehingga
dimensinya sangat kompleks. Namun demikian, klaritas konseptual dapat kita
telusuri melalui beberapa pandangan, antara lain Louis Wirth (1941), Marvin
C Harris (1959), Francesco Capotorti (1991), dan Jules Deschênes (2008).
Wirth menyatakan bahwa konsep minoritas digunakan untuk menyebut
mereka yang mendapatkan perlakuan yang berbeda atau diri mereka sendiri
dipisahkan dari sebuah masyarakat, hanya karena mereka memiliki perbedaan
fisik, social, dan kultural. Beberapa kelompok itu tidak saja posisi obektifnya
tidak diuntungkan (disadvantageous objective position), bahkan cenderung
berkembang konsepsi bahwa mereka itu inferior, alien (tercerabut dari
masyarakatnya), dan kelompok teraniaya (persecuted groups), yang pada
akhirnya berdampak secara signifikan terhadap peran-peran mereka dalam
urusan publik dan bangsa.15
Selanjutnya, Harris menyatakan bahwa minoritas adalah subkelompok
dari masyarakat yang lebih besar dan anggota dari subkelompok tersebut
Preece, Jennifer Jackson. 2005. “Understanding the Problem of Minorities”, dalam Minority
Rights (Cambridge: Polity), hlm. 3
15
Situasi ini selain menunjukkan bahwa ada aspek dalam diri minoritas yang harus dilindungi,
juga menggambarkan bahwa masyarakat kita secara faktual belum sepenuhnya terintegrasi
dalam satu kesatuan bangsa yang utuh. Lihat Louis Wirth, “Morale and Minority Groups”,
American Journal of Sociology, Vol. 47, No. 3 (November 1941), diterbitkan oleh The
University of Chicago Press, hlm. 415-433
14
7
menjadi subjek ketidakberdayaan (diasabilities) dalam berbagai bentuk
prasangka, diskriminasi, segregasi, atau persekusi yang dilakukan oleh
subkelompok lainnya yang biasanya disebut mayoritas.16
Menurut Capotorti, minoritas adalah:
… a group, numerically inferior to the rest of the population of a
State, in a non-dominant position, whose members-being nationals of
the State- possess ethnic, religious or linguistic characteristics
differing from those of the rest of the population and show, if only
implicitly, a sense of solidarity, directed towards preserving their
culture, traditions, religion or language.17
Sedangkan Deschênes menyatakan, minoritas merupakan:
… a group of citizens of a State, constituting a numerical minority and
in a non-dominant position in that State, endowed with ethnic,
religious or linguistic characteristics which differ from those of the
majority of the population, having a sense of solidarity with one
another, motivated, if only implicitly, by a collective will to survive
and whose aim is to achieve equality with the majority in fact and in
law”.18
Terhadap beberapa definisi tersebut dapat diajukan beberapa catatan.
Pertama, basis pengkategorian minoritas, di antaranya, bersifat numerik—
terkait jumlah. Menurut peneliti, identifikasi minoritas berdasarkan jumlah
mengandung bias tersendiri. Mendekati minoritas dari kalkulasi numerikal
cenderung tidak dapat merangkum berbagai fakta diskriminasi terhadap
minoritas. Satu contoh unik yang dapat diajukan adalah kasus Afrika Selatan.
Rezim apartheid Afrika Selatan sebelum ditumbangkan oleh Nelson Mandela
melakukan diskriminasi rasial atas warga Afsel yang secara numerikal sangat
besar. Kedua, secara politis, minoritas memiliki status yang khas. Dalam
lingkup sebuah negara, mereka menempati posisi yang tidak dominan.
Harris, Marvin, “Race, Class, and Minority”, Social Forces, Vol. 37, No. 3 (Mar., 1959), yang
diterbitkan oleh Oxford University Press, hlm. 248-254
17
“Study on the Rights of Persons belonging to Ethnic, Religious and Linguistic Minorities.” UN
Document E/CN.4/Sub.2/384/Add.1-7 (1977). Diakses melalui http://www.minorityrights.org/docs/mn_defs.htm, pada tanggal 3 November 2008.
18
Proposal Concerning a Definition of the Term 'Minority'. UN Document E/CN.4/Sub.2/1985/31
(1985). Diakses melalui http://www.minority-rights.org/docs/mn_defs.htm, pada tanggal 3
November 2008.
16
8
Ketiga, minoritas memiliki karakter distingtif. Mereka memiliki ciri etnik,
religi, dan linguistik yang berbeda dengan mayoritas penduduk di sebuah
negara. Keempat, terdapat rasa solidaritas yang tinggi di antara mereka untuk
bertahan dengan budaya, tradisi, agama, dan bahasa mereka.
Pemikir yang lain, Jackson Preece, melihat persoalan minoritas dari
perspektif politik. Sebab, menurutnya, persoalan-persoalan minoritas hadir
dalam upaya untuk membedakan mereka yang memiliki komunitas politik
tertentu dan siapa yang tidak memiliki komunitas politik tersebut.19
Preece, berpijak pada pandangan Hannah Arendt (1972), menyatakan
bahwa kehidupan politik menyisakan asumsi bahwa kita dapat memproduksi
kesetaraan melalui pengaturan, sebab manusia dapat bertindak di dalam,
mengubah, dan membangun sebuah dunia bersama. Tata politik (political
order) merupakan buatan manusia. Ia lebih sebagai akibat tindakan manusia
daripada bagian dari dunia fisik dan alamiah. Apa yang dinyatakan Arendt
kira-kira tidak jauh berbeda dengan apa yang dikatakan Thomas Hobbes
(1988). Tanpa rekayasa (politik) manusia, tidak ada tempat untuk industri,
tidak ada seni, tidak ada huruf, dan tidak ada masyarakat. Di sisi yang buruk,
tidak ada ketakutan yang terus-menerus, tidak ada bahaya kematian dengan
kekerasan, tidak ada pengungkungan, kemiskinan, kekejian, dan kekejaman.
Minoritas, menurut Preece, adalah identitas yang lebih tepat dibaca dari
konstruksi politis. Minoritas merujuk pada kelompok yang dikeluarkan secara
politis (political outsiders) dari tatanan politik yang dominan. Identitas
minoritas memiliki sejarah latar politis yang panjang. Katolik abad
pertengahan melabeli orang-orang yang memiliki kepercayaan tapi tidak
berhubungan dengan Gereja Katolik sebagai minoritas. Di negara-negara
dinasti, label minoritas disematkan kepada mereka yang tidak mentaati paham
keagamaan yang dipercayai oleh pangeran yang berdaulat. Dalam kekaisaran
Eropa, minoritas adalah mereka yang tidak memiliki ciri nyata peradaban
Eropa.
19
Preece, Jennifer Jackson, 2005, “Understanding the Problem of Minorities”, dalam Minority
Rights, (Cambridge: Polity), hlm. 6
9
Identifikasi minoritas dari perspektif dominasi politik, menurut peneliti,
memiliki basis argumentasi yang kuat dengan kekayaan fakta di lapangan.
Meskipun perspektif numerikal kadang menjadi subkarakter minoritas, akan
tetapi yang dominan mendistingsi sebenarnya adalah konstruksi dan
kategorisasi politis. Fakta politik kontemporer menunjukkan bahwa
diskriminasi terhadap mereka yang dilabeli minoritas seringkali dilakukan
oleh kelompok yang dominan secara politis dan memiliki kekuasaan untuk
menyatakan bahwa di luar mereka merupakan kelompok yang lemah, yang
harus disantuni secara positif, atau secara negatif harus diwaspadai sebagai
kelompok yang merusak ketertiban politik.
Jadi minoritas yang dimaksudkan dalam penelitian ini tidak dibangun
dari
perspektif
numerik—paling
tidak
bukan
pertimbangan
mayor.
Keminoran yang dibahas didasarkan pada pertimbangan utama bahwa dalam
suatu situasi dan keadaan politis tertentu dimana minoritas dijadikan sebagai
objek alienasi, diskriminasi, segregasi, inferiorisasi, dan bahkan persekusi.
Pertanyaan selanjutnya, bagaimana hak-hak mereka? Pada masa yang
lalu pengaturan khusus mengenai minoritas dan keadaan-keadaan yang
memungkinkan mereka bertahan digambarkan sebagai “jaminan” dan bukan
“hak”.20 Hal itu tampak dalam perlakuan yang terjadi pada abad ke-17 sampai
19-an. Pada masa Liga Bangsa-Bangsa, misalnya, ada pengaturan bernama
League of Nation Systems of Minority Guarantees, yang diadopsi sebagai
upaya ntuk memelihara Perkampungan 1919 di Eropa Tengah dan Eropa
Timur.
Perbedaan semantik ini jelas memiliki makna yang signifikan dan
menjelaskan bagaimana pengaturan kepada mereka dilakukan. Kata
“jaminan” menunjukkan bahwa arrangement merupakan kewajiban yang
secara sukarela atau karena budi baik yang diberikan oleh negara-negara
besar terhadap negara-negara baru atau negara-negara kecil.
Setelah diskursus HAM menguat pasca Perang Dunia II, perlindungan
terhadap eksistensi minoritas diekspresikan dalam bentuk hak dan bukan
20
Ibid, hlm. 13
10
jaminan. Apa perbedaan keduanya memang tidak benar-benar secara jelas
ditegaskan dalam pemahaman kontemporer. Vincent (1986), sebagaimana
dikutip Preece, memberikan penjelasan bahwa kata hak menunjukkan
perilaku yang seseorang dapat menuntutnya, baik secara legal maupun moral,
yang mensyaratkan keadaan-keadaan normatif yang dilekatkan kepada
privilege, atau kekebalan, atau otoritas untuk bertindak dengan cara-cara
tertentu. Vincent selanjutnya menjabarkan bahwa hak terdiri dari lima
element; subjek hak, objek hak, penggunaan hak, pemangku kewajiban
korelatif, dan justifikasi hak.
Dalam Konvensi Hak Minoritas 1992, pengaturan atas eksistensi dan
survivalitas minoritas digambarkan dalam dua sisi sekaligus; hak internal
minoritas dan jaminan eksternal dari negara. Hak-hak minoritas dinyatakan
secara gamblang pada Pasal 2 dan Pasal 3. Dalam Pasal 2 ayat 1, misalnya,
dinyatakan mengenai hak untuk menikmati kebudayaan, meyakini dan
melaksanakan agama, dan menggunakan bahasa mereka sendiri, baik di ruang
publik maupun privat, secara bebas tanpa gangguan dan diskriminasi dalam
bentuk apapun.
Jaminan perlindungan sebagai obligasi negara dinyatakan dalam jumlah
pasal yang lebih banyak, antara lain Pada pasal 1, pasal 4, pasal 5, pasal 6,
dan pasal 7. Dalam Pasal 1 ayat 1, misalnya, dinyatakan bahwa negara wajib
melindungi identitas nasional atau etnik, budaya, agama, dan bahasa
minoritas yang terdapat dalam wilayahnya dan mengembangkan keadaankeadaan yang memungkinkan pemajuan identitas tersebut.
Hak-hak minoritas (minority rights) merupakan wacana komplementer
dalam narasi besar Hak Asasi Manusia (HAM) kontemporer. Secara formal
masyarakat dunia baru memberikan penekanan afirmatif atas hak-hak
minoritas pada akhir abad ke-20, dengan diadopsinya Declaration on Rights
of Persons Belonging to National or Ethnic, Religious and Linguistic
Minorities, oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 18 Desember 1992.
Secara
akademik,
hak-hak
minoritas
sebenarnya
sudah
lama
dibicarakan, terutama sejak secara sangat umum pasal 27 International
11
Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) menyatakan bahwa: “Di
Negara-negara di mana terdapat golongan minoritas berdasarkan etnis, agama
atau bahasa, orang-orang yang tergabung dalam kelompok-kelompok
minoritas tersebut tidak dapat diingkari haknya, dalam komunitas bersama
anggota lain dari kelompok mereka, untuk menikmati budaya mereka sendiri,
untuk menjalankan dan mengamalkan agama mereka sendiri, atau untuk
menggunakan bahasa mereka sendiri”.
Sebagai turunan dari Pasal 27 ICCPR,21 Deklarasi Minoritas 1992 di
atas mengakomodasi rumusan-rusumusan hak minoritas yang lebih detil22,
yaitu:
1) Perlindungan, oleh Negara mengenai keberadaan mereka dan
identitas suku bangsa, atau etnik, budaya, agama, dan bahasa,23
2) Hak untuk menikmati budaya mereka, untuk mengimani dan
melaksanakan agama mereka sendiri, dan untuk menggunakan
bahasa mereka dalam urusan pribadi dan di masyarakat,24
3) Hak untuk ikut serta dalam kehidupan budaya, agama, sosial,
ekonomi, dan umum,25
4) Hak untuk ikut serta dalam mengambil keputusan yang
mempengaruhi mereka pada tingkat nasional dan daerah,26
5) Hak untuk membentuk dan mempertahankan perserikatan mereka
sendiri,27
6) Hak untuk membentuk dan mempertahankan hubungan damai
dengan anggota masyarakat lain dalam kelompok mereka dan
21
Hal itu dinyatakan secara eksplisit pada bagian Preamble Deklarasi PBB tentang Minoritas
Di sisi yang berbeda, hak-hak tersebut berimplikasi pada kewajiban dan tanggungjawab negara.
Dalam kerangka itu negara juga dituntut untuk mengambil langkah-langkah positif dalam
rangka melindungi minoritas, tidak saja di bidang sipil dan politik sebagaimana yang
dikehendaki ICCPR, akan tetapi juga untuk mendukung dan memelihara minoritas secara
kultural. Lihat Steven Wheatly, Democracy, Minorities and International Law (Cambridge:
Cambridge University Press, 2005), hlm. 7
23
Pasal 1 Deklarasi PBB tentang Minoritas
24
Pasal 2 (1) Deklarasi PBB tentang Minoritas
25
Pasal 2 (2) Deklarasi PBB tentang Minoritas
26
Pasal 2 (3) Deklarasi PBB tentang Minoritas
27
Pasal 2 (4) Deklarasi PBB tentang Minoritas
22
12
dengan orang dari kelompok minoritas lain, baik di dalam negara
mereka sendiri atau di luar batas-batas negara,28
7) Kebebasan untuk melaksanakan hak-hak mereka, secara individu
dan juga di dalam masyarakat dengan anggota lain dari kelompok
mereka tanpa adanya diskriminasi.29
Kemudian bagaimana hak-hak minoritas itu dijamin oleh negara
demokrasi? Demokrasi model apa yang lebih memungkinkan pemenuhan
hak-hak minoritas tersebut?
Demokrasi secara konseptual merupakan sistem yang memungkinkan
jaminan eksistensial bagi minoritas, di samping mekanisme untuk
pengambilan keputusan bersama melalui otoritas negara berdasarkan aspirasi
mayoritas. Demokrasi menyediakan ruang bahkan mekanisme perlindungan
hak-hak dasar bagi seluruh warga melalui saluran-saluran demokratis. Maka,
dalam sistem demokratis tersebut hak-hak dasar yang dimiliki oleh warga
negara,
dari
kelompok
minoritas
sekalipun,
mendapatkan
jaminan
perlindungan dalam konstitusi negara.
Ideal tersebut berhadapan dengan tantangan yang tidak mudah. David T
Canon (2005) menyatakan bahwa tantangan pokok demokrasi perwakilan
(representative democracy) adalah bagaimana menyediakan ruang suara bagi
kepentingan minoritas dalam sistem yang didominasi oleh suara mayoritas.
Karenanya, legitimasi dan stabilitas sebuah demokrasi terutama ditentukan
oleh kemampuannya untuk mengatasi kerumitan persoalan relasi mayoritas
dengan minoritas dalam penyediaan ruang politik yang setara bagi
keduanya.30
Secara faktual seringkali terjadi anomali dalam ranah politik dimana
demokrasi dijadikan alat untuk mendiskriminasi atau mempersekusi
minoritas. Instrumentasi prosedur-prosedur demokrasi untuk mendiskriminasi
28
Pasal 2 (5) Deklarasi PBB tentang Minoritas
Pasal 3 Deklarasi PBB tentang Minoritas
30
David T Canon, “The representation of Minority Interest in The U.S. Congress”, dalam
Christina Wolbrecht dan Rodney E Hero, The Politics of Democratic Inclusion (Philadelphia:
Temple University Press, 2005), hlm. 281
29
13
minoritas terjadi dalam berbagai wajah. Untuk memperluas spektrum ilustrasi
dapat kita cermati referendum demokratis yang diselenggarakan di swiss
dalam rangka menolak rencana minoritas muslim disana untuk membangun
menara masjid kelima. Kepentingan minoritas yang relatif sederhana,
membangun menara masjid—sementara masjidnya sudah ada, terbentur
dengan mekanisme dan prosedur demokratis yang digunakan oleh mayoritas.
Referendum sebagai instrumen demokrasi untuk menegaskan aspirasi dan
kehendak mayoritas dijadikan sebagai kendaraan (means) untuk menegasikan
akomodasi dan toleransi atas kepentingan minoritas.31 Berkaca dari
pengalaman kasus “menara kelima” di Swiss, demokrasi yang diidealkan
sebagai the only of game in town,32 justru dijadikan sebagai the game of
majority untuk mendiskriminasikan minoritas di negara itu.
Tidak saja begitu, demokrasi di banyak negara bahkan seringkali
dijadikan sebagai tool of revenge atas minoritas. Momentum pasca otoriter
seringkali diinstrumentasi sebagai pintu masuk bagi mayoritas untuk
mengambil tindakan menumpahkan kemarahan mayoritas kepada minoritas,
terutama kelompok-kelompok yang dalam pemerintahan otoriter sebelumnya
mendapat keuntungan-keuntungan.33
31
Di Swiss terdapat sekitar 400.000 orang warga muslim, atau kira-kira 4% dari jumlah total
penduduk. Sebagai tempat ibadah bagi mereka, terdapat sekitar 150 masjid di seluruh Swiss.
Hanya 4 masjid yang memiliki menara. Muncul inisiatif untuk membangun menara ke-5.
Aktivis partai politik sayap kanan menolak pembangunan menara kelima itu dan menilai hal itu
sebagai “simbol politik fundamentalis dan simbol islamisas. Mereka lalu menjadi inisiator
untuk mengajukan referendum demokratis untuk menjajaki aspirasi mereka, apakah sebagian
besar rakyat menerima atau menolak rencana pembangunan menara kelima tersebut..
Referendum akhirnya dimenangkan oleh kubu yang menolak pembangunan dengan total suara
57,5%. Sementara masyarakat yang mendukung “hanya” 42,5%. Dengan demikian dilaranglah
pembangunan menara kelima tersebut. Robertus Robet, “Demokrasi versus Toleransi”, dalam
Bonar Tigor Maipospos dan Ismail Hasani (eds.), Beragama, Berkeyakinan, dan Berkonstitusi
(Jakarta: Pustaka Masyarakat Setara, 2009), hlm. 2-3
32
Demokrasi diidealkan sebagai bentuk pemerintahan terbaik. Sejak era Aristoteles demokrasi
diidentifikasi sebagai sistem politik yang mengandung kebaikan paling sedikit dibandingkan
sistem lain yang banyak keburukannya. Dalam pandangan Linz, disebut sebagai “the only
game in town” (satu-satunya aturan main yang berlaku”. Juan J Linz, “Defining and Crafting
Democratic Transition, Constitutions, and Consolidation”, dalam R William Liddle, Crafting
Indonesian Democracy (Bandung: Mizan, 2001), hlm. 27
33
Diinspirasi oleh Amy Chua (2010), I Wibowo memberikan aneka contoh cukup komprehensif
mengenai bagaimana demokrasi pasca otoriter dijadikan momentum bagi mayoritas untuk
menekan bahkan meminggirkan minoritas yang sebelumnya mendapat keuntungan. Dalam
kasus-kasus yang dielaborasi oleh I Wibowo adalah mereka yang mendapatkan keuntungan-
14
Dalam konteks Indonesia, tampilan relasi mayoritas minoritas di alam
demokrasi lebih mengerikan. Kelompok-kelompok minoritas seringkali
mendapatkan tindakan diskriminasi, persekusi, dan marjinalisasi dari anasir
mayoritas dengan menggunakan instrumen-instrumen non demokratis, seperti
kekerasan, intimidasi, serta berbagai tindakan langsung seperti sweeping dan
lain sebagainya. Penggunaan instrumen-instrumen non demokratis tersebut
berdampak pada hilangnya berbagai hak dasar minoritas, sebagai individu
maupun sebagai kesatuan kelompok, seperti hak atas properti, kebebasan
berserikat, kebebasan beragama dan beribadat menurut agama dan keyakinan,
bahkan hak-hak yang sangat fundamental seperti hak hidup serta hak atas
kebebasan dari segala bentuk penyiksaan dan perlakuan yang tidak
manusiawi dan merendahkan.
Korban terbesar dalam terjadinya berbagai tindakan kekerasan,
intoleransi, dan diskriminasi lainnya terhadap minoritas adalah kelompok
minoritas agama/keyakinan. SETARA Institute mencatat sepanjang tahun
2012 telah terjadi peningkatan intoleransi dan diskriminasi kebebasan
beragama/berkeyakinan,
pelanggaran
atas
sejumlah
kebebasan
264
peristiwa
dan
beragama/berkeyakinan
371
tindakan
sebagai
hak
konstitusional yang dinaungi dan dijamin oleh konstitusi negara. Angka
tersebut menunjukkan peningkatan situasi minor secara signifikan dalam
kebebasan beragama/berkeyakinan dibandingkan tahun lalu, dimana masingmasing “hanya” berjumlah 244 peristiwa dan 299 tindakan.34
keuntungan ekonomi, yang dalam pandangan Chua disebut “market-dominant minorities”.
“Balas dendam” tersebut terjadi di Zimbabwe begitu Mugabe terpilih secara demokratis
melalui Pemilu pada tahun 1980. Juga di Venezuela setelah Hugo Chaves terpilih sebagai
presiden melalui pemilu demokratis pada 1998. Lihat I Wibowo, Negara dan Bandit
Demokrasi (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2001). Juga Amy Chua, World on Fire: How
Exporting Free Market Democracy Breeds Ethnic Hatred and Global Instability, (New York:
Anchor Books, 2010). Untuk kasus Indonesia, kasus pembakaran dan perkosaan atas minoritas
China dalam huru-hara politik di awal reformasi Indonesia sampai tingkatan tertentu dapat
dikatagorikan sebagai contoh serupa, hanya dengan saluran di luar demokrasi.
34
Dalam enam tahun terakhir terjadi peningkatan jumlah peristiwa dan tindakan pelanggaran atas
kebebasan beragama/berkeyakinan secara signifikan sejak tahun 2007. Lihat Halili, dkk.,
Kepemimpinan Tanpa Prakarsa: Situasi Kebebasan Beragama/Berkeyakinan Tahun 2012
(Jakarta: Pustaka Masyarakat Setara, 2013), hlm. 31 dan hlm. 53. Data yang tidak jauh berbeda
juga dirilis oleh The Wahid Institute, yang secara umum menggambarkan tingginya tampilan
diskriminasi dan pelanggaran atas kebebasan beragama/berkeyakinan akhir-akhir ini.
15
Salah satu kelompok minoritas yang hingga kini masih terus berada
dalam situasi anomali negara demokratis adalah Jemaah Syi’’ah Kabupaten
Sampang.
Mereka
menjadi
korban
teror,
intimidasi,
penyerangan,
perampasan, serta pembakaran tempat tinggal, harta benda, dan tempat
ibadah, bahkan mengakibatkan jatuhnya korban jiwa. Jemaah Syi’ah
Sampang kini terusir dari tanah kelahiran mereka dan tercerabut dari akar
natural dan sosio-kultur mereka.35
Padahal jaminan kebebasan beragama dan berkeyakinan dalam kerangka
demokrasi konstitusional Indonesia sangatlah cukup bahkan lebih dari
memadai. Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik 1945 (UUD 1945)
terdapat beberapa ketentuan yang memberikan jaminan atas hak warga negara
untuk beragama dan berkeyakinan. Setidaknya terdapat dua Pasal dalam
UUD 1945 yang dapat diidentifikasi sebagai pasal yang memberikan jaminan
secara langsung atas kebebasan beragama bagi setiap orang, baik warga
negara maupun bukan. Jaminan tersebut tertuang dalam ketentuan Pasal 28 E
dan Pasal 28 I.36
Tersedianya jaminan dan ketentuan mengenai kebebasan beragama dan
berkeyakinan menunjukkan rekognisi bahwa hak beragama atau pemelukan
suatu agama oleh seseorang merupakan hak asasi manusia yang sifatnya
sangat esensial.37
35
Ibid, hlm. 75-97.
Pasal 28 E ayat (1) berbunyi: “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut
agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan
dan tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.” Ayat (2)
berbunyi: “Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan
sikap, sesuai dengan hati nuraninya.” Sedangkan Pasal 28 I ayat (1) berbunyi: hak untuk hidup,
hak untuk tidak disiksa, hak untuk kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak
untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk
tidak dituntut atas hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat
dikurangi dalam keadaan apapun.”
37
Bahkan ada yang menyebut hak beragama merupakan hak asasi yang paling esensial
dibandingkan hak-hak asasi lainnya. Lihat Tim Penyusun Naskah Komprehensif Proses dan
Hasil Perubahan UUD 1945, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan,
1999-2002, Buku VIII Warga Negara dan Penduduk, Hak Asasi Manusia, dan Agama (Edisi
Revisi), (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2008), hlm.
286.
36
16
Dengan kedudukan yang demikian signifikan, maka hak beragama—
sejalan dengan norma universal hak asasi manusia—ditempatkan sebagai non
derogable rights sebagaimana dinyatakan Pasal 28I ayat (1) UUD 1945.
Sebagai
hak
yang
terkategori
non
derogable
rights,
maka
hak
beragama/berkeyakinan tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun atau
tidak dapat dicabut oleh siapapun.38
Selain memberikan jaminan dan kedudukan hak beragama/ berkeyakinan
sebagai non derogable rights, UUD 1945 juga mengatur mengenai jaminan
negara terhadap kebebasan beragama/berkeyakinan, yang ditegaskan dalam
Pasal 29 UUD 1945 ayat (2) yang menyatakan: “Negara menjamin
kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing
dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.”
Mandat jaminan konstitusional yang diturunkan dari filosofi dasar negara
demokratis diperkuat dengan berbagai instrumen hukum derivatnya dalam
bentuk undang-undang. Beberapa Undang-Undang yang dapat diidentifikasi
dalam kerangka utamanya adalah Undang-Undang No. 39 tahun 1999 tentang
Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang No. 12 tentang Ratifikasi Kovenan
Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik. Dengan demikian jaminan
konstitusional in book bagi kelompok minoritas agama/keyakinan sangatlah
kuat. Namun in action, jaminan konstitusi demokratis tersebut tidak
menyelamatkan
kelompok
minoritas
agama/keyakinan
dari
berbagai
tindakan-tindakan non demokratis atas kebebasan dan hak dasar yang dijamin
oleh kerangka dasar demokrasi negara. Jadi jika dipantulkan dengan cermin
faktual, maka demokrasi, sampai di tingkatan ini, tidak terlalu bermakna bagi
mereka.39
38
39
Ibid, hlm. 293.
Meminjam perspektif Demos yang melihat demokrasi di era pasca otoritarianisme Orde Baru—
dengan berbagai problemnya, mulai dari representasi semu hingga pembajakan politik oleh
elit—tidak cukup bermakna sehingga diperlukan langkah-langkah konkrit untuk membuat dan
memastikan demokrasi menjadi lebih bermakna. Lihat AE Priyono, dkk, Making Democracy
Meaningful: Problems and Options in Indonesia atau dalam versi Indonesia berjudul
Menjadikan Demokrasi Bermakna: Masalah-masalah dan Pilihan-pilihan di Indonesia
(Jakarta: Demos, 2004)
17
Bagaimana alternatif untuk membuat agar demokrasi bekerja lebih baik
dalam mengakomodasi kepentingan minoritas? Secara teoretis beberapa opsi
telah ditawarkan oleh berbagai ahli, pengamat, dan peneliti, berbasis pada
beberapa riset relevan dengan berbagai perspektif.
Menurut Lawrence Surendra, gejala formalisasi demokrasi—dimana
prosedur-prosedur demokrasi tampak bekerja secara normal namun hanya di
tataran formal, misalnya regulasi dan pemilihan umum secara reguler—
merupakan salah satu masalah pokok demokratisasi di beberapa negara postotoritarian, khususnya di Asia. Untuk merespons masalah tersebut diperlukan
langkah substansialisasi demokrasi. Inti (substance) dari demokrasi dan
demokrasi substantif sejatinya berkaitan dengan pertanyaan seberapa inklusif
demokrasi tersebut. Sehubungan dengan hal itu, untuk membuat demokrasi
yang lebih inklusif, maka harus diupayakan agar representasi politik yang
berlangsung di negara demokrasi dikembangkan agar lebih mengarah kepada
politik inklusi.40 Tesis Surendra membayangkan bahwa semakin luas dan
substantif tingkat dan coverage representasi di sebuah sistem demokratis
maka
akan
semakin
terakomodasi
kepentingan-kepentingan
seluruh
kelompok di dalam sistem, khususnya kelompok-kelompok minoritas. Jika
hal itu terjadi maka bekerjanya demokrasi akan semakin substantif bagi
publik dan warga negara.
Berkaitan dengan perspektif tersebut, melalui studi cukup komprehensif
dari pengalaman Amerika Serikat, Rodney E. Hero dan Christina Wolbrecht
melihat bahwa politik inklusi demokratis merupakan sesuatu yang sentral
untuk memahami sekaligus mengukur kualitas sebuah demokrasi.41
Penggunaan standar-standar politik kesetaraan dan kedaulatan rakyat
(popular sovereignty) akan berdampak pada meluas dan mendalamnya
representasi warga yang diperintah. Pro kontra terkait dengan penggunaan
Lawrence Surendra, “Democratizing Democracy-Beyond Representative Politics to The Politics
of Inclusion”, dalam Hee Yeon Cho, Lawrence Surendra, and Eunhong park (eds.), States of
Democracy: Oligarchic Democracy and Asian Democratization (Mumbai: Earthworm Books,
2008), hlm. 23-40.
41
Dalam hal ini tentu yang dimaksud oleh Studi Hero dan Wolbrecht adalah kualitas demokrasi
Amerika Serikat. Lihat Wolbrecht dan Hero. Op.cit, hlm. 1
40
18
standar-standar politik kesetaraan dan kedaulatan popular, khususnya
mengenai sampai di tingkatan mana standar itu digunakan, selalu berkembang
berkaitan dengan kelompok-kelompok yang secara tradisional tidak
diuntungkan (disadvantaged groups), seperti perempuan, minoritas etnik dan
ras, serta para imigran.
Dalam rangka itu, seperti diurai secara analitik dengan basis empirik
yang memadai oleh Wolbrecht dan Hero, perluasan dan pendalaman
representasi (dalam definisi yang lebih luas) dilakukan dalam demokrasi
Amerika, paling tidak di tiga lapisan. Pertama, diversitas dalam dan antar
kelompok. Misalnya, bagaimana memahami relasi dan struktur etnik dan ras
di
AS,
bagaimana
membangkitkan
kesadaran
kelompok-kelompok
masyarakat, dan kemudian membawa kesadaran tersebut dari luar ke dalam
kelompok atau dari dalam ke luar kelompok. Kedua, mediasi lembagalembaga demokrasi, misalnya, bagaimana menjadikan gerakan social sebagai
mekanisme politik inklusi, bagaimana menjadikan partai politik dan lembagalembaga demokrasi mewadahi minoritas dan sebagainya. Ketiga, pengaturan
lembaga-lembaga
demokrasi
yang
ada.
Misalnya,
bagaimana
mengekstensifikasi representasi di Kongres, pemanfaatan Pengadilan Federal
untuk memperjuangkan demokrasi inklusif, hingga penataan kepresidenan.
Beberapa hal itu memungkinkan perbaikan kualitas inklusi demokratis di AS.
Salah satu ilustrasi sederhana dari bekerjanya politik inklusi demokratis
tersebut adalah terpilihnya seorang Afro-Amerika, Barack Obama, sebagai
presiden, yang dalam dinamika politik AS di masa yang lalu tampaknya
dipandang sebagai sesuatu yang hampir mustahil.
Berkaca dari pengalaman berbagai negara Eropa khususnya di sekitar
semenanjung Balkan seperti Romania, Kroasia, Bulgaria, Macedonia,
Kosovo, Montenegro, dan Albania, Florian Bieber (2008) mencatat bahwa
salah
satu
mekanisme
mengakomodasi
demokratik
yang
kepentingan-kepentingan
dapat
digunakan
minoritas
adalah
untuk
dengan
memperluas partisipasi politik minoritas. Partisipasi politik minoritas
19
merupakan alternatif demokratis untuk mengakomodasi dan memenuhi hakhak minoritas.42
Demokrasi dalam konteks pemenuhan hak-hak minoritas dapat
didudukkan dalam spektrum pembahasan demokrasi dan keadilan. Demokrasi
merupakan bentuk politik terbaik untuk mewujudkan keadilan.43 Demokrasi
memungkinkan
dikendalikannya
para
penyelenggara
negara
dari
penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) yang secara faktual merupakan
godaan yang sulit dielakkan. Dalam iklim politik demokratis, individuindividu dan gerakan sosial dapat secara terus menerus menuntut pemerintah
untuk mewujudkan keadilan, mencegah warga negara dari menderita
ketidakadilan,
menolak
rencana
program
yang
akan
memproduksi
ketidakadilan, dan memerangi ketidakadilan. Mereka juga dapat berharap
publik dan pemerintah demokratis untuk memperbaiki dan memberikan ganti
rugi atas ketidakadilan yang terjadi.44
Young menyebut model demokrasi yang lebih functioning untuk mengcover dan mewujudkan keadilan adalah model demokrasi deliberatif—
pendalaman dari model demokrasi yang hanya berfokus pada prosedur dan
mekanisme, yaitu apa yang dia sebut sebagai model demokrasi aggregatif.45
Secara substansial, demokrasi deliberatif mengoperasionalkan demokrasi di
wilayah yang lebih dalam dari demokrasi aggregatif. Banyak pemikir dan
para teoris yang mengusulkan demokrasi model ini, yang dinilai sebagai
42
Meskipun secara umum hak-hak minoritas tersebut secara umum belum didefinisikan secara
jelas, sementara standar internasional juga kabur (vague) dan cenderung mengelak (evasive),
paling tidak dengan ketersedian saluran partisipasi akan melindungi minoritas dari berbagai
tindakan diskriminasi. Lihat Florian Bieber, “Introduction: Minority Participation and Political
parties”, dalam Bieber, et.al., Political parties and Minority Participation (Skopje: Friedrich
Ebert Stiftung, 2008), hlm. 1-30.
43
Iris Marion Young, Inclusion and Democracy, Oxford University Press, Oxford, 2002, hlm. 17
44
Tugas utama bentuk politik demokratis adalah memajukan keadilan. Bahkan Ian Saphiro
menyebut demokrasi sebagai “subordinated good”, dan ordinatnya adalah keadilan. Lihat
Saphiro, Democratic Justice, New Heaven, Yale University Press, 1999, atau Philips van
Parijs, “Justice and Democracy: Are They Incompatible?”, Journal of Political Philosophy, 4/2
(June 1996), 17-101.
45
Iris Marion Young. Op.cit. 19-25
20
demokrasi yang “dalam” (deep democracy), sekaligus sebagai kritik atas
demokrasi aggregatif.46
Model aggregatif menginterpretasikan demokrasi sebagai proses
aggregasi pilihan-pilihan warga negara dalam menentukan pejabat dan
kebijakan-kebijakan publik. Dalam hal itu, tujuan dari penentuan kebijakan
demokratis adalah untuk menentukan apa yang paling mengaitkan antara
pemimpin, aturan, dan kebijakan dengan pilihan-pilihan yang telah dibuat
oleh warga negara. Demokrasi dalam model ini membayangkan bahwa setiap
orang dalam sebuah masyarakat politik memiliki pilihan-pilihan yang berbeda
tentang apa yang mereka inginkan untuk dilakukan pemerintah. Mereka juga
tahu bahwa orang lain dalam komunitas politik yang sama memiliki pilihanpilihan yang berbeda yang bisa jadi tidak match dengan pilihan mereka. Nah,
demokrasi dalam situasi demikian merupakan proses kompetitif dimana partai
politik dan para kandidat berusaha untuk menawarkan platforms mereka dan
memuaskan sebanyak-banyaknya orang. Warga negara dengan pilihan yang
serupa berusaha untuk mengorganisasi kelompok kepentingan untuk
mempengaruhi perilaku partai politik dan politisi pembuat kebijakan yang
telah mereka pilih. Pada akhirnya, Pemilu dan proses pembuatan legislasi
menggambarkan agregasi yang terkuat dalam populasi.47
Model aggregatif dalam pandangan Young memiliki beberapa
kelemahan. Pertama, model aggregatif menempatkan pilihan-pilihan individu
46
Beberapa ilmuwan yang disebut Young sebagai penganjur demokrasi deliberatif antara lain: 1)
Joshua Cohen, “Deliberation and Democratic Legitimacy”, dalam Alan Hamlin dan Philip
Pettit (eds.), The Good polity (Blackwell, London, 1989), 2) Spragens, Reason and
Democracy, 3) Barber, Strong Democracy, 4) Cass R. Sunstein, The Partial Constitution
(Cambridge, Massachusset: Harvard University Press, 1993), 5) Frank Michelman, “Traces of
Self-Government”, Harvard Law Review, 100 (1986), 4-77, 6) Jane Mansbridge, “A
Deliberative Theory of Interest Representation”, dalam Mark P Patracca (ed.), The Politics of
Interest: Interest Group Transformed (Boulder, Colorado: Westview Press, 1992), 7) Dryzek,
Discoursive Democracy, 8) James Bohman, Public Deliberation (Cambridge, Massachusset:
MIT Press, 1996), 9) James Fishkin, The Voice of The People, 10) Jurgen Habbermas, Between
Facts and Norms (Cambridge, Massachusset: MIT Press, 1996), 11) Amy Gutmann dan
Dennis Thompson, Democracy and Disagreement (Cambridge, Massachusset: Harvard
University Press, 1996)
47
Young. Ibid. 19-20.
21
sebagai sebagai sesuatu yang given. Tidak penting apa pertimbangan di balik
pilihan tersebut.
Kedua, model ini merupakan mekanisme untuk mengidentifikasi dan
mengagregasi kepentingan warga negara untuk melihat mana pilihan yang
berasal dari jumlah terbanyak atau dengan intensitas terkuat. Karenanya para
individu itu tidak perlu meninggalkan pilihan individual kepentingan mereka
dan berinteraksi dengan pilihan-pilihan lain yang berbeda. Maka demokrasi
aggregatif dengan demikian menghilangkan potensi interaksi diantara warga
negara yang sudah barang tentu berbeda, dan meniadakan argumentasi dan
motivasi mengapa sebuh keputusan diambil.
Ketiga, model ini juga mendorong terwujudnya rasionalitas yang sangat
tipis dan individualistik. Para politisi barangkali mengungkapkan alasan atau
argumen dalam engagement politik mereka, tapi keputusan yang keluar
sesungguhnya tidak butuh rasionalitas dan bisa saja sama sekali tidak pernah
sampai pada proses rasionalisasi.
Keempat, model aggregatif bersifat skeptis tentang kemungkinan
objektivitas normatif dan evaluatif. Model aggregatif hanya memberikan
ruang kepada perorangan untuk bertahan pada pilihan subjektifnya, bukan
dengan reasons kenapa pilihan itu dianggap baik. Meskipun terhadap hasil
kebijakan disediakan cara untuk mengkritisi, tapi dengan tidak adanya
kesempatan untuk mengevalusi rasio normatif dalam prosesnya, maka patut
dipersoalkan legitimasi moral dari substansi sebuah kebijakan politik.
Sebaliknya, Young mencatat beberapa kelebihan model deliberative
sehingga hal itu dipandang lebih feasible untuk mewujudkan keadilan melalui
politik demokrasi. Dalam model delliberatif, demokrasi merupakan bentuk
dari akal budi praktis (practical reason). Para partisipan dalam proses-proses
demokratik mendapat ruang untuk menawarkan tawaran-tawaran program
bagaimana mengambil cara terbaik untuk mengatasi sebuah persoalan
tertentu, mereka juga menyampaikan argumentasi untuk mempersuasi yang
lain agar menerima tawaran mereka. Proses demokrasi utama dalam
demokrasi deliberative adalah mendiskusikan masalah, konflik, kepentingan,
22
atau klaim tentang kebutuhan tertentu. Berbagai kelompok dan liyan menguji
tawaran-tawaran program dan argumentasinya. Keputusan akhir diambil
bukan karena sebuah pilihan didukung oleh sebagian besar orang secara
numerik, tapi ditentukan oleh apakah sebuah tawaran program disertai dengan
reasoning terbaik.
Model deliberatif48, dengan demikian, mengandung berbagai nilai
utama, yang berbeda secara fundamental dengan model agregatif. Beberapa
ideal normatif dalam relasi para pihak yang berdeliberasi (deliberating
parties) adalah: inklusi, kesetaraan poltik, reasonableness, dan publicity.
2.
Representasi dalam Politik Inklusi Demokratis
Seperti dinyatakan di bagian latar belakang penelitian ini, kualitas
demokrasi ditentukan antara lain oleh derajat inklusivitasnya. Semakin
inklusif sebuah politik demokratis, semakin baik kualitas demokrasi
tersebut.49
Inklusi bukanlah konsep yang asing dalam politik, terutama politik
identitas. Basis argumentasi sederhananya pada mulanya sederhana, yaitu
moralitas tentang solidaritas universal dan tanggunggjawab sesama
(responsibility of each for all).50 Habermas menegaskan bahwa respek yang
setara terhadap setiap orang tidak terbatas pada mereka yang seragam dengan
kita (who are like us), tetapi diperluas kepada orang lain yang tetap dalam
“kelainannya” (otherness). Dalam kerangka itu, solidaritas atas orang lain
sebagai bagian dari kita merujuk pada kelenturan “kita” dalam sebuah
komunitas, yang menolak semua determinasi substantif dan memperluas
batas-batas berpori lebih jauh lagi. Artinya, meskipun batas komunitas itu
48
Jika dikontekstualisasi ke Indonesia, menurut peneliti, ideal demokrasi deliberatif
sessungguhnya sebangun dengan demokrasi yang ingin diletakkan sebagai model demokrasi
Indonesia, yaitu Demokrasi Permusyawaratan (juga perwakilan), sebagaimana tertuang dalam
Sila ke-4 Pancasila, dasar negara Republik Indonesia.
49
Secara teoretis, kualitas tertinggi demokrasi dikonseptualisasi sebagai demokrasi substantif atau
demokrasi maksimalis, tahap yang dipandang lebih tinggi dari sekedar demokrasi minimalis,
demokrasi elektoral, atau demokrasi prosedural.
50
Seperti yang sering dibela dan diperjuangkan oleh Jurgen Habermas. Lihat antara lain The
Inclusion of the Other, ed. Ciaran Cronin dan Pablo De Greiff (Cambridge, Massachusetts: The
MIT Press, 1998), hlm. xxxi-xxxvii
23
ada, orang-orang yang berbeda dari kalangan yang lebih luas dimungkinkan
untuk masuk. “Komunitas moral” tersebut menegakkan dirinya semata-mata
melalui jalan menghapuskan diskriminasi dan tindakan membahayakan
lainnya dan dengan memperluas relasi berdasarkan rekognisi mutual yang
meliputi orang-orang yang terpinggirkan. Komunitas tersebut tidak dibangun
sebagai sebuah kolektif untuk memaksakan homogenitas anggotanya sebagai
upaya untuk menegaskan kekhasan komunitas tersebut. Jadi, inklusi dalam
konteks ini cenderung bermakna bahwa batas-batas sebuah komunitas bersifat
terbuka untuk semua, juga untuk liyan (the other) dan khususnya kepada
orang-orang yang “asing” bagi yang lain dan ingin bertahan dengan
“keasingan”-nya.
Sebab berkaitan dengan relasi mayoritas-minoritas, inklusi juga
merupakan salah satu isu penting dalam spektrum studi demokrasi,
sebagaimana juga studi dan teori keadilan.
Salah satu masalah serius yang terjadi di tengah-tengah masyarakat
demokratis, dalam pandangan Habermas, adalah dimana sebuah kelompok
yang dominan secara politis, yaitu kultur mayoritas, memaksakan jalan
hidupnya kepada minoritas yang kemudian berdampak kepada pengabaian
kesetaraan hak yang efektif kepada warga negara lain dari latar belakang
kultural yang berbeda.51 Masalah tersebut berkaitan dengan isu politik yang
melahirkan self understanding secara etis dan sekaligus juga identitas rakyat
pada umumnya. Dalam konteks ini, minoritas tidak bisa semata-mata sebagai
subjek yang dikalahkan dalam pemilu oleh mayoritas. Pemerintahan
mayoritas pada akhirnya bekerja dalam keterbatasan komposisi kewargaan
yang dibayangkan akan menghasilkan sesuatu yang tampaknya dinilai
sebagai prosedur yang netral. Padahal sesungguhnya prinsip mayoritas sendiri
tergantung pada asumsi mereka sebelumnya mengenai kesatuan komunitas—
atau unit politik, dalam bahasa Robert Dahl. Dengan demikian mayoritas
akan kesulitan untuk berbuat adil, apalagi kepada minoritas. Perilaku adil
51
Ibid. 143-146
24
bagi kesatuan masyarakat secara keseluruhan sejatinya terletak di atas prinsip
mayoritas tersebut.
Dalam kacamata Habermas, secara umum diskriminasi terhadap
minoritas dapat dieliminasi melalui proses inklusi yang memiliki sensitivitas
yang memadai terhadap latar belakang kultural individu dan kelompok yang
secara spesifik memiliki perbedaan-perbedaan.52 Demokrasi idealnya bisa
men-setup proses inklusi tersebut. Persoalan minoritas sebagai mana kita tahu
merupakan proplem endemik di masyarakat pluralistik, dan cenderung
menjadi lebih akut di masyarakat multikultural.53 Namun pada perkembangan
selanjutnya negara-negara demokrasi konstitusional menyediakan berbagai
rute untuk mewujudkan sebuah impian yang tidak mudah, yaitu inklusi yang
sensitif perbedaan, seperti delegasi kekuasaan di negara federal, desentralisasi
atau transfer fungsional kompetensi negara, jaminan otonomi kultural, hakhak kelompok masyarakat dengan kekhasan tertentu, kebijakan-kebijakan
kompensatori,
dan
mekanisme-mekanisme
lain
untuk
memastikan
perlindungan yang efektif bagi kelompok minoritas.54
Prinsip moral-filosofis inklusi kemudian di-breakdown lebih lanjut oleh
para pemikir ke dalam pengaturan politik demokrasi. Young, sebagaimana
dijelaskan di bagian sebelumnya, merekomendasikan model demokrasi
deliberatif sebagai demokrasi yang kompatibel dengan impian perwujudan
ide keadilan untuk semua melalui politik inklusi. Inklusi merupakan ideal
normatif tertinggi dalam demokrasi.
Dalam cara pandang demokratisasi, berbasis pada pengalaman negaranegara Asia, Surendra menyebutkan bahwa politik inklusi merupakan
tantangan terbesar demokratisasi. Politik inklusi merupakan upaya untuk
52
Ibid.
Masyarakat pluralistik merujuk pada masyarakat dengan keragaman dan perbedaan-perbedaan di
lapisan-lapisan besarnya, seperti ras dan agama. Sedangkan masyarakat multikultural merujuk
pada keberagaman di level yang lebih minor, seperti pola sosialisasi, busana, atau bahkan
mindset atau hal-hal yang tercakup dalam subcultural diversity, perspectival diversity, dan
communal diversity. Lihat, antara lain, Lihat Bikhu Parekh, Rethinking Multiculturalism:
Cultural Diversity and Political Theory (Cambridge, Massachusset: Harvard University Press,
2000), juga Hairus Salim dan Suhadi, Membangun Pluralisme dari Bawah (Jogjakarta: LKIS,
2007), hlm. 103-106.
54
Habermas, Op.cit.
53
25
memastikan bahwa demokrasi betul-betul maujud sebagai format sistem
untuk mengatasi persoalan sehari-hari. Politik inklusi memungkinkan
penghormatan atas bahasa dan diskursus seputar hak-hak dasar dan
tanggungjawab dan seterusnya. Namun, demokratisasi yang berlangsung
belakangan (di Asia secara umum) menunjukkan gejala demokrasi sebagai
eksklusi, bagaimana mengeksklusi, dan kelompok-kelompok mana yang akan
dieksklusi.55 Dengan cara pandang tersebut, maka politik inklusi demokratis
merupakan agenda penting dalam demokratisasi.
Pertanyaannya, apa itu politik inklusi demokratis? Meminjam
Wolbrecht dan Hero, inklusi demokratis merupakan inkorporasi, pengaruh,
dan representasi berbagai kelompok sosial yang tidak diuntungkan ke dalam
institusi-institusi demokrasi.56 Dengan demikian, politik inklusi demokratis
berkaitan dengan penyediaan saluran (channel) dan ruang (space) untuk
melakukan inkorporasi, memberikan ruang mempengaruhi, dan mewadahi
representasi kelompok minoritas melalui institusi-instisusi politik demokratis.
Untuk mewujudkan politik inklusi demokratis, beberapa variasi bentuk
ditawarkan. Beberapa benchmarks diajukan oleh Schmidt et al (2002) untuk
mengakomodasi inklusi dalam lembaga-lembaga politik demokratis: 1) akses
pernuh untuk partisipasi, 2) representasi dalam institusi-institusi dan prosesproses pembuatan kebijakan penting, 3) pengaruh atau kekuasaan dalam
kebijakan-kebijakan pemerintahan, 4) adopsi kebijakan-kebijakan publik
yang menampung kepentingan dan concern kelompok-kelompok tidak
diuntungkan, 5) paritas sosial ekonomi.57 Benchmarks inklusi yang
disampaikan oleh Schmidt dkk. mengidealkan inkorporasi dalam derajat yang
sangat luas atau penuh.
Dalam kerangka penelitian ini elemen inklusi politik demokratis
disederhanakan oleh peneliti menjadi dua benchmark umum, yaitu partisipasi
politik dan representasi politik. Jika disandingkan dengan benchmarks
Schmidt dkk, elemen partisipasi dapat meliputi benchmark 1 dan 3,
55
Surendra, Op.cit, hlm. 31
Wolbrecht dan Hero, Op.cit, Hlm. 4
57
Ronald Schmidt Sr, et.al (2002) sebagaimana dikutip Hero dan Wolbrecht, Op.cit, hlm. 4
56
26
sedangkan elemen representasi politik meliputi benchmark 2 dan 4. Penelitian
ini pada operasionalisasinya mengacu kepada satu elemen inklusi politik
demokratis.
Bagaimana memahami dan mengevaluasi benchmark partisipasi
politik? Urgensi partisipasi politik minoritas dapat dipahami dan dijelaskan
dari dua perspektif: 1) perspektif hak-hak minoritas dan 2) argumen stabilitas
demokrasi.58 Dalam perspektif hak-hak minoritas, asummsi dasarnya adalah
bahwa hak-hak minoritas tidak mungkin dapat terpenuhi kecuali minoritas itu
sendiri ambil bagian dalam proses-proses pengambilan kebijakan politik yang
mengatur mengenai perlindungan hak-hak minoritas. Sedangkan jika dilihat
dari sudut pandang stabilitas demokrasi, tanpa tindakan protektif tertentu
dalam melalui prosedur, mekanisme, dan institusi demokratis tertentu, hampir
dapat dipastikan bahwa minoritas akan selalu berhadapan dengan resiko
tereksklusi dari sistem. Di samping itu, ketiadaan partisipasi minoritas dalam
sistem akan semakin mengukuhkan ketidakadilan demokrasi prosedural.
Dengan demikian, demokrasi akan menjadi domain eksklusif mayoritas yang
pelan-pelan akan kehilangan legitimasinya. Inefektivitas pemerintahan sangat
mungkin terjadi dalam situasi ini. Hal tersebut pasti akan berdampak pada
stabilitas demokrasi itu sendiri.
Partisipasi itu sendiri dapat dipahami dalam spektrum pemahaman yang
luas. Berangkat dari pengalaman Eropa, partisipasi politik dapat dipahami
dalam tiga level partisipasi. Pertama, dalam proses konsultatif. Dalam proses
konsultatif tersebut, kelompok minoritas menyuarakan pendapatnya tentang
hukum atau peraturan tertentu, di sisi lain lembaga pemerintah harus
mengkomunikasikan kebijakan terkait kepada minoritas. Di tahap ini tidak
ada jaminan bahwa suara minoritas akan didengarkan. Kedua, pembuatan
kebijakan bersama. Di level ini, minoritas terlibat sebagai bagian dari
lembaga eksekutif, parlemen, atau lembaga-lembaga negara lainnya. Tingkat
partisipasi demikian memungkinkan suara mereka untuk lebih didengarkan
atau dipertimbangkan. Namun demikian praktek mengajarkan bahwa mereka
58
Bieber, Op.cit, hlm. 6
27
sering diabaikan dalam co-decision making, karena representasi mereka yang
terbatas. Ketiga, pembuatan kebijakan penuh. Dalam tahap ini, Negara
menyediakan lembaga minoritas khusus atau perwakilan dalam pemerintahan
yang memberikan jaminan partisipasi mereka membuat keputusan dapat
dilakukan secara penuh dan otonom.59
Sedangkan representasi, secara teoretik, dapat dieksplorasi sekaligus
diuji secara empiris dengan dua model pokok: 1) representasi deskriptif, dan
2) representasi substantif.60 Representasi deskriptif61 merupakan sebuah
bentuk representasi yang titik tekannya pada diri politisi yang dipilih untuk
mewakili. Apakah orang yang dipercaya menduduki jabatan politik tertentu
“tampak seperti” konsituennya. Jadi representasi disini dibayangkan melalui
tampilan eksistensial, formal, bahkan numerikal. Dalam konteks Indonesia
misalnya, apakah warga Muhammadiyah sudah terwakili dengan keberadaan
political appointee dari Muhammadiyah dalam kabinet atau kementerian?
Atau apakah warga Nahdlatul Ulama’ (NU) sudah terwakili dengan adanya
legislator berlatarbelakang NU? Atau apakah penduduk dari Indonesia Bagian
Timur sudah terwakili dengan keberadaan pejabat dari Indonesia Timur
dalam jabatan-jabatan politik tertentu? Atau dalam konteks penelitian ini,
apakah warga Syi’ah sudah terepresentasi dengan keberadaan politisi dengan
latar belakang Syi’ah dalam jabatan politik tertentu?
Meskipun tampak sederhana, representasi model ini merupakan sesuatu
yang positif dalam demokrasi. Hal itu terutama jika terdapat komunikasi
antara yang diwakili (constituents) dengan yang mewakili (representatives)
dihalangi
oleh
kendala
ketidakpercayaan,
atau
ketika
kepentingan-
59
Ibid, hlm. 8-9
Canon, Op.cit, hlm. 282-285
61
Representasi deskriptif kerap juga dipanggil sebagai representasi simbolik, atau representasi
deskriptif-simbolik. Lihat Robert C Smith, “Recent Elections and Black Politics: The
Maturation or Death of Black Politics?”, PS: Political Science and Politics, 23:160-62. Juga
disebut sebagai representasi kehadiran (representation of presence). Lihat Anne Phillips,
Politics of Presence (New York: Clarendon Press/Oxford University Press, 1995). Atau disebut
juga representasi cermin (mirror representation). Lihat Hanna Pitkin, The Concept of
Representation, (Berkeley: University of California Press, 1971), hlm. 90
60
28
kepentingan penting dari kelompok deskriptif belum atau tidak terkristal, atau
ketika kelompok-kelompok konstituen tidak diuntungkan atau memencar.62
Sementara representasi substantif merujuk pada perwakilan yang lebih
dalam, tidak saja semata secara formal atau numeriko-eksistensial.
Representasi model ini bergeser dari sekedar keterwakilan tampilan kepada
keterwakilan kepentingan-kepentingan konstituen. Dalam model ini, tidak
terlalu penting kehadiran representatif yang “tampak seperti” konstituen yang
diwakili. Dalam konteks Indonesia, representasi substantif akan terjadi jika
kebijakan-kebijakan pembangunan di Papua ditujukan untuk dan berdasarkan
pada kepentingan orang-orang Papua, meskipun pengambil kebijakan politik
tersebut bukan orang Papua. Atau dalam konteks penelitian ini, representasi
substantif dipandang maujud jika kepentingan-kepentingan warga Syi’ah di
lembaga legislatif dijadikan dasar dan tujuan meskipun tidak ada satupun di
antara legislator disana yang berlatar mashab Syi’ah.
Representasi dalam model ini lebih didasarkan pada ide63 dan
tindakan64. Elemen pokok terwujudnya representasi ini adalah responsivitas
perilaku dari para representatif. Namun juga dipengaruhi oleh tuntutan,
pengawasan, dan penilaian konstituen atas perilaku representatifnya.
Secara lebih spesifik, Young mendiskusikan representasi khusus untuk
kelompok-kelompok yang termarginalkan, seperti perempuan, kaum miskin,
minoritas, dan sebagainya. Dengan asumsi dasar bahwa ketidakadilan dan
ketidaksetaraan politik hanya bisa diatasi dengan perluasan inklusi (inclusion
of) dan pengaruh (influence for) dan semakin pluralis representasi semakin
substantif
demokrasi
itu
dalam
mewujudkan
keadilan,
Young
merekomendasikan satu langkah penting yaitu melalui ketersediaan lembagalembaga assosiasional, di samping juga institusi-institusi politik untuk
merepresentasi kelompok-kelompok yang dimarjinalkan tersebut, termasuk
minoritas. Melalui rekayasa institusi politik kita harus memastikan bahwa
62
William T Bianco, Trust: Representatives and Constituents (Ann Arbor: University of Michigan
Press, 1994)
63
Phillips, Op.cit
64
Hanna Pitkin (1967), dikutip oleh Canon, Op.cit, Hlm. 284
29
representasi kelompok yang sebelumnya terpinggirkan menjadi semakin baik.
Selain itu, representasi kelompok juga dapat dilakukan melalui gerakan
sosial, berbagai macam komisi dan dewan, lembaga-lembaga swasta,
sebagaimana juga lembaga-lembaga pemerintahan.65
Perluasan ruang dan saluran lembaga politik dan assosiasional akan
semakin memperluas representasi kelompok-kelompok yang selama ini
termarjinalisasi. Perbaikan representasi secara politis dan assosiasional akan
memugkinkan representasi minoritas pada tiga bagian penting, yaitu
kepentingan (interest), pendapat (opinion), dan cara pandang (perspective)
minoritas.66 Ketiga aspek tersebut menyiratkan, tidak saja kepentingan
kelompok sebagai satu kesatuan, akan tetapi juga orang per orang dalam
kelompok minoritas tersebut. Dengan demikian Young dengan sangat intensif
mengajukan
teori
representasi
yang
berbasis
pada
rekayasa
dan
institusionalisasi politik dan assosiasional.
Young membaca bahwa inekualitas (ketidaksetaraan) ekonomi dan
sosial telah nyata-nyata memproduksi ketidaksetaraan politik dan secara
relatif juga menghasilkan eksklusi dari diskusi-diskusi politik yang
menentukan, terutama nasib semua orang, terutama kelompok minoritas yang
terpinggirkan itu. Ketidaksetaraan ekonomi dan sosial telah menciptakan
sistem dan fakta objektif bahwa kelas miskin dan pekerja tidak terepresentasi
kepentingan dan perspektifnya, jika dibandingkan dengan kelas menengah
atau kelas kaya misalnya. Sehingga hal itu harus mendapatkan koreksi
melalui pelibatan kelompok tersebut dalam desain besar kelembagaan
demokrasi inklusif pada level politis dan assosiasional yang memungkinkan
mereka untuk mempengaruhi diskusi-diskusi dan proses-proses politik yang
menentukan kepentingan dan perspektif dan, pada akhirnya, nasib mereka.
Hal itu tentu saja sangat ditentukan oleh komitmen demokratis bersama,
artinya komitmen bahwa saluran-saluran demokrasi yang tersedia adalah
untuk menghimpun semua elemen dalam demokrasi, tidak hanya kelas atas
65
66
Young, Op.cit. Hal 141-145
Ibid. 140
30
akan tetapi juga kelas bawah, tidak cuma mereka yang secara jumlah sangat
besar, namun juga kelompok minoritas. Dalam pengalaman Indonesia, kita
pernah memiliki fase dimana komitmen demokrasi demikian sangat rendah.
Demokrasi hanya dipahami sebagai mekanisme politik elektoral-prosedural
untuk mengamankan kepentingan-kepentingan kelas-kelas atas dalam
berbagai aspek demokrasi serta kelompok-kelompok mayoritas dalam sebuah
inkorporasi politik yang menguntungkan mereka di satu sisi, akan tetapi
mengeksklusi, bahkan sampai derajat tertentu merepresi, kelas bawah,
minoritas, dan terpinggirkan. Kata kunci untuk mengatasi situasi tersebut
adalah komitmen demokratik, yang hal itu kemudian dituntut oleh rakyat
sepanjang Reformasi 1998, sehingga memungkinkan perbaikan level inklusi
dalam demokrasi kita.
Rekayasa sosial dan ekonomi untuk mengatasi inekualitas barangkali
bisa dilakukan, akan tetapi hal itu akan membutuhkan waktu yang sangat
lama, apalagi dalam situasi dimana hambatan-hambatan ekonomi—seperti
lemahnya kondisi makro ekonomi, melemahnya pertumbuhan, melebarnya
kesenjangan, dan lebih-lebih, rendahnya kemandirian ekonomi—masih
terjadi. Rekayasa sosial juga merupakan cara intervensi untuk mengatasi
inekualitas dengan prasyarat-prasyarat yang relatif compleks dan multiaspek.
Belum lagi kalau menghitung seberapa besar tingkat mempengaruhi dari
rekayasa tersebut. Rekayasa institusional politik dan assosiasional lebih
memberikan pengaruh (influencing) dan “hanya” tergantung pada seberapa
besar komitmen demokrasi, sebagaimana ditekankan Young di muka.
Artinya, seberapa demokrasi akan dibuka untuk representasi politik sebanyakbanyak orang akan menentukan seberapa besar inekualitas bisa dikurangi.
Dalam bahasa Florian Bieber, representasi politik secara substantif
dapat dilihat dari dua sisi. Di satu sisi, ia merupakan bagian dari hak dasar
minoritas—baik sebagai perorangan maupun kelompok, sedangkan di sisi lain
31
itu merupakan a broader tool to advance democratic governance in the
country.67
Pertanyaannya kemudian bagaimana minoritas direpresentasi dalam
demokrasi yang inklusif dengan basis institusi politis dan ssosiasional
tersebut? Berbasis pengalaman Eropa, representasi politik bagi minoritas
menurut Bieber dilakukan dalam empat bentuk.68 Pertama, asosiasi minoritas
diberikan ruang agar memiliki peran formal dalam merepresentasi
kepentingan-kepentingan minotitas. Dengan komitmen yang kuat pada
demokrasi, sistem politik memberikan ruang kepada minoritas untuk ikut
menentukan kebijakan yang berkenaan dengan kepentingan dan perspektif
mereka sendiri. Dengan demikian, memberikan ruang kepada asosiasi
minoritas tidak saja menutup ruang eksklusi kepada minoritas, akan tetapi
lebih dari itu memberikan saluran politik melalui asosiasi-asosiasi tersebut
untuk bisa menentukan, atau paling tidak mempengaruhi, kebijakan yang
berkaitan dengan dirinya.
Berkaitan dengan perspektif HAM, yang juga menjadi titik tekan
penelitian ini, membuka ruang-ruang formal bagi asiosiasi minoritas,
sesungguhnya berkaitan dengan salah satu hak dasar setiap orang, termasuk
minoritas, yaitu hak universal untuk menentukan nasib sendiri self
determination. Dalam konteks relasi antara politik dan hak asasi manusia,
politik pada akhirnya tidak hanya berpihak pada (stand for) hak asasi
manusia, akan tetapi secara lebih formal mempengaruhi (influence for)
pemenuhan hak-hak asasi manusia.
Jika mengacu pada teori representasi Pitkin, tampak bahwa format
representasi politik melalui asosiasi minoritas sesungguhnya memberikan
ruang bagi representasi substantif. Minoritas tetap diberikan ruang untuk
memberikan dukungan dan atau aspirasi untuk terakomodasinya kepentingan,
opini, dan perspektif minoritas, meskipun para pengambil kebijakan dalam
suprastruktur politik formal tidak berasal dari kelompok minoritas.
67
68
Bieber, Op.cit, hlm. 8
Bieber, Op.cit, hlm. 11
32
Dalam konteks keterbukaan politik di Indonesia pasca 1998, ruangruang untuk pembentukan dan beroperasinya institusi-institusi assosiasional
ini tersedia cukup lebar. Sehingga dapat kita cermati kemudian bagaimana
Syi’ah di Indonesia melakukan utilisasi atas ruang dan saluran assosional
yang disediakan oleh mekanisme demokrasi tersebut.
Kedua, minoritas direpresentasi melalui sebuah institusi khusus yang
dibentuk untuk mewakili kepentingan-kepentingan mereka. Institusi-institusi
ini di negara-negara Balkan diwujudkan dalam bentuk dewan minoritas
(minority council), dewan minoritas dan otonomi kultural (cultural autonomy
and minority council), dan sebagainya. Repsentasi deskriptif atau representasi
cermin Pitkinian sangat terbuka melalui format repsentasi melalui saluran ini.
Dalam pengalaman Eropa Timur, masalah utama yang dihadapi oleh
institusi-institusi minoritas ini adalah soal bagaimana pemilihan anggotaanggota dewan tersebut. Dua bentuk pemilihan sama-sama memiliki
masalahnya sendiri. Jika pemilihan dewan ini dilakukan secara langsung akan
banyak masalah yang muncul, misalnya siapa saja minoritas yang berhak
memilih, siapa yang menentukan siapa yang berhak memilih, dan jika dua
pertanyaan tersebut tak terjawab oleh prosedur formal yang memadai, maka
terbuka peluang bagi terjadinya diskriminasi. Sebaliknya jika pemilihan
tersebut dilakukan dengan cara pemilihan tidak langsung atau dengan
penunjukan maka hal itu dapat dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok
tertentu untuk mendiskriminasi yang lain, baik dalam relasi mayoritasminoritas maupun minoritas-minoritas.
Menurut pandangan peneliti, saluran dan ruang yang kedua ini sulit
untuk direplikasi dalam konteks kebhinnekaan dan komplikasi politik
Indonesia. Selain itu, secara konstitusional belum tersedia fundamen/fondasi
untuk diadopsinya saluran atau ruang bagi pembentukan dewan minoritas.
Untuk itu, dalam konteks penelitian ini, salah satu saluran representasi dalam
pengalaman Eropa ini tidak digunakan oleh peneliti untuk membaca pilihanpilihan representasi politik Jema’ah Syi’ah di Indonesia.
33
Ketiga, kepentingan minoritas diartikulasi oleh parpol atau lembaga
negara yang tidak secara khusus merepresentasikan minoritas, namun untuk
konstituensi yang lebih luas, yang tercakup di dalamnya kelompok minoritas.
Jika meminjam perspektif Pitkin, maka saluran ini sesungguhnya membuka
peluang besar bagi terwujudnya representasi substantif dan deskriptif
sekaligus. Dalam teori politik modern, partai politik merupakan arena politik
resmi seluruh warga negara untuk aggregasi dan artikulasi kepentingan
mereka dalam arena negara demokrasi. Sebagaimana doktrin Macridisian,
tidak ada demokrasi modern tanpa partai politik.
Dalam teori, partai politik sebagai sebuah format inklusif dalam
demokrasi
harus
menghindari
penekanan
yang berlebihan
terhadap
perbedaan-perbedaan primordial dan fisik, seperti agama dan etnisitas.
Namun demikian, dalam kenyataannya partai politik hampir selalu
mempersoalkan numerik, sehingga keberpihakan kepada yang besar secara
numerik merupakan fenomena objektif, dan dalam sudut pandang yang lain
dapat dikatakan bahwa selalu ada potensi bagi yang kecil secara numerikal
untuk diabaikan.
Dalam perspektif inklusi, partai politik merupakan ruang dan saluran
politik yang sangat memadai bagi minoritas di Indonesia untuk menyalurkan
aspirasi dan mempengaruhi kebijakan politik, terutama yang berkaitan dengan
kepentingan, opini, dan perspektif mereka. Partai politik juga dapat
dipandang dalam kacamata minoritas sebagai arena untuk mengkontestasi
kepentingan dan aspirasi dalam kompetisi demokratik.
Untuk konteks Indonesia, partai politik merupakan saluran yang sangat
potensial bagi minoritas jika dilihat dari wataknya yang catch-all dan nyaris
tanpa pembeda secara ideologis antara satu partai politik dengan partai politik
yang lain. Hampir seluruh partai politik, termasuk partai agama dengan basis
kanan Islam yang dalam teori politik aliran kerapkali dibedakan dengan partai
nasionalis, memilih untuk berkumpul di “tengah” sebagai partai moderat dan
34
terbuka.69 Hal ini memberikan peluang bagi Syi’ah di Indonesia untuk
menjadikan afiliasi dengan partai-partai politik sebagai saluran representasi
politik.
Keempat, minoritas direpresentasi secara khusus oleh sistem politik
dalam sebuah partai tertentu untuk golongan minoritas. Dalam perspektif
Pitkin, saluran yang keempat ini akan menginstitusionalisasi representasi
cermin atau representasi deskriptif.
Dalam pengalaman negara-negara Balkan, partai-partai politik yang
secara khusus dibentuk untuk menjadi wadah politik minoritas merupakan hal
fenomenal politik disana. Konfigurasi sistem kepartaian yang membuka ruang
bagi etnik minoritas di negara-negara Balkan sebagian besar sebagai
konsekuensi dari ketidakmauan mayoritas untuk secara serius melakukan
inkorporasi atas urusan-urusan minoritas. Mengingat segregasi etnik yang
sangat tajam, parpol lebih takut untuk kehilangan sentiment mayoritas
dibandingkan dengan ideal mengakomodasi minoritas. Konsekuensi logisnya,
minoritas akan selalu potensial teralienasi dari concern mayoritas dalam
parpol, maka taka da pilihan lain selain mendirikan partai politik yang berdiri
sendiri.
Di Indonesia, dalam sistem kepartaian Indonesia modern atau pasca
kemerdekaan, tidak pernah muncul partai politik yang secara ideologis
muncul
sebagai
konsekuensi
dari
relasi
mayoritas-minoritas
yang
mmeminggirkan minoritas. Partai-partai kecil yang tumbuh menjamur
terutama pada Pemilu 1955, Pemilu 1999, dan Pemilu 2004 merupakan
implikasi dari liberalisasi politik yang sedang berlangsung sesuai dengan
konteks temporal masing-masing Pemilu. Partai-partai agama yang pernah
muncul di Indonesia lebih tampak sebagai ekspresi politik keagamaan (atau
sampai derajat tertentu dapat kita sebut politik aliran), bukan sebagai ekspresi
dari keinginan untuk melepaskan diri dari alienasi minoritas oleh mayoritas
dalam dinamika internal partai politik.
69
Beberapa pakar dan pengamat politik bahkan menandai situasi partai politik yang demikian
sebagai matinya ideologi partai politik.
35
Namun demikian basis konstitusional dan demokrasi yang established
di Indonesia hingga kini memungkinkan ruang pendirian partai politik atas
dasar apapun. UU Parpol memberikan peluang bagi sekumpulan warga
negara, atas dasar apapun, untuk mendirikan partai politik.
Bagi Syi’ah sendiri, eksperimentasi pendirian parpol bahkan negara,
seperti negara, merupakan hal yang tidak asing. Syi’ah dalam aneka sistem
kepartaian di Timur Tengah memberikan referensi tentang berdirinya partai
politik, meskipun dengan basis argumentasi yang khas Timur Tengah, dalam
konteks itu, relasi Syi’ah dan Sunni di Iran, Irak, Suriah, Kuwait dan
sebagainya, serta relasi Islam dengan zionisme seperti Hizbullah di Lebanon.
Dengan perspektif teoretik tersebut, pilihan-pilihan representasi politik
Jemaah Syi’ah dapat dijelaskan dengan beberapa kerangka: Pertama, pilihan
Jemaah Syi’ah untuk memperjuangkan representasi dalam politik inklusi
demokratis dilakukan melalui asosiasi-asosiasi masyarakat sipil. Kedua,
representasi Jemaah Syi’ah diperjuangkan secara lebih formal melalui afiliasi
dengan partai-partai politik kontestan Pemilihan Umum. Ketiga, representasi
politik Jemaah
Syi’ah
diperjuangkan
melalui
asosiasi-asosiasi
sipil
demokratis yang berafiliasi dengan partai politik tertentu. Keempat,
representasi politik Jemaah Syi’ah melalui pembentukan partai politik
ideologis.
Dengan kerangka teoretik yang ditawarkan oleh Young dan Bieber
tentang representasi berbasis institusi politik dan assosiasional tersebut, dapat
diajukan beberapa pertanyaan kunci sekaligus indikator-indikator untuk
dijawab secara faktual melalui penelitian ini:
Pertama, berkaitan dengan sikap Syi’ah terhadap representasi politik
Jema’ah Syi’ah dalam demokrasi politik di Indonesia;
1. Apa dan bagaimana Syi’ah memandang politik?
2. Apa dan bagaimana sikap Syi’ah mengenai negara?
3. Bagaimana sikap mereka mengenai representasi politik
dalam negara Indonesia?
36
Kedua, berhubungan dengan tindakan-tindakan yang mereka lakukan
untuk memperjuangkan representasi politik mereka dalam kerangka
inklusi politik demokratis;
1. Bagaimana Syi’ah memanfaatkan saluran-saluran institusi
politik
untuk
merepresentasi
kepentingan
(interest),
pendapat (opinion), dan cara pandang (perspective) Jema’ah
Syi’ah di Indonesia?
2. Bagaimana mereka mengoptimalkan ruang dan saluran
institusi assosiasional untuk representasi politik tersebut
dalam kerangkan demokrasi yang lebih inklusif?
3. Apa dan bagaimana peluang, kendala, dan persoalan
mendasar yang mereka hadapi dalam kerangka representasi
politik tersebut?
E. Metode Penelitian
1.
Jenis, Pendekatan, dan Metode
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif-deskriptif.70 Pendekatan
yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan naturalistik, 71
Penelitian ini akan mengkombinasikan dua metode, yaitu field-study
dan desk-study. Secara operasional metode field-study digunakan untuk
pengumpulan data primer melalui wawancara dan observasi/pengamatan.
Sedangkan metode desk-study secara teknis digunakan untuk melakukan
pengumpulan data sekunder dan analisis data penelitian.
70
Penelitian kualitatif yang dimaksud adalah penelitian yang dilakukan secara intensif dan
terperinci terhadap suatu organisme, lembaga, atau gejala tertentu melalui suatu pengamatan
atau analisis untuk menghasilkan data deskriptif, yaitu data yang berupa kata-kata tertulis atau
lisan dari orang, gejala atau perilaku yang diamati. Lihat Moleong, 1998, Metodologi
Penelitian Bidang Sosial (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2008), hlm. 3
71
Dengan pendekatan ini, peneliti bersifat aktif dalam melakukan interaksi dengan subjek
penelitian dalam situasi apa adanya tanpa adanya rekayasa, sehingga data diperoleh dari
fenomenanya yang bersifat asli dan natural. Lihat Indah Sulistyo Arty, 2006, “Prinsip Dasar,
Perumusan Masalah, dan Pengumpulan Data Penelitian Naturalistik”, Makalah, disampaikan
dalam Pelatihan Metodologi Penelitian bagi CPNS-Dosen UNY tahun 2006, pada tanggal 2627 Desember 2006, hlm. 1
37
Dalam relasi konseptual-faktual penelitian ini, metode field-study lebih
banyak digunakan untuk menjawab pertanyaan penelitian yang kedua
mengenai bagaimana tindakan-tindakan yang mereka lakukan untuk
memperjuangkan representasi politik mereka dalam kerangka inklusi politik
demokratis. Meskipun demikian, dalam beberapa isu digunakan untuk
mengkonfirmasi data untuk menjawab pertanyaan penelitian yang pertama.
Sedangkan metode desk-study lebih ditekankan penggunaannya untuk
menjawab pertanyaan penelitian yang pertama tentang bagaimana sikap
Syi’ah terhadap representasi politik Jema’ah Syi’ah dalam demokrasi politik
di Indonesi. Walaupun begitu, dalam beberapa isu spesifik metode ini juga
digunakan untuk mengkonfirmasi beberapa data yang dibutuhkan untuk
menjawab pertanyaan penelitian yang kedua.
2.
Sumber Data dan Subjek Penelitian
Sumber data penelitian ini berupa person dan paper.72 Penentuan
subjek penelitian berupa person dilakukan dengan teknik purposif. Dengan
teknik ini, ditetapkan kriteria-kriteria informan sesuai dengan tujuan
penelitian, sebagai berikut:
a.
Warga Jemaah Syi’ah atau di luar Syi’ah,
b.
Terlibat dalam kegiatan-kegiatan Jemaah Syi’ah sebagai baik
secara individual maupun institusional,
c.
Memiliki informasi mengenai perjuangan politik Jemaah Syi’ah
untuk memperjuangkan kepentingan-kepentingan mereka.
Sesuai dengan kriteria-kriteria tersebut, maka informan yang digunakan
dalam penelitian ini, antara lain:
a. Tajul Muluk, Pemimpin Pondok Pesantren Syi’ah “Misbahul Huda”
b. Ahmad Hidayat, Sekjen Ahlulbayt Indonesia (ABI)
72
Yang dimaksud dengan sumber data disini adalah subjek dari mana data diperoleh. Suharsimi
Arikunto mengklasifikasi sumber data menjadi tiga jenis ; a. person, yaitu sumber data
(informan) berupa orang. b. place, yaitu sumber data berupa tempat, dan c. paper, yaitu sumber
data berupa simbol. Lihat Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek
(Jakarta: PT Rineka Cipta, 2002), hlm. 107
38
c. Syafinuddin Al-Mandari, Wakil Sekjen Ahlulbayt Indonesia (ABI)
d. Husnul Yaqin, Ketua DPD Ahlul Bayt Indonesia (ABI) Sumatera
Selatan
e. Ghufron Buchori, Mantan Ketua Umum Ikatan Jemaah Ahlul Bait
Indonesia (IJABI)
f. Alexander Lagobar, Pengurus IJABI Makassar
g. Safwan, Pimpinan Rausyan Fikr Institute Yogyakarta
h. RS, intelektual Syi’ah, kandidat doktor dari Tilburg University
Belanda
Pengumpulan data dari mereka dilakukan dengan teknik wawancara
mendalam (indepth interview) yang dilaksanakan dengan berpedoman pada
panduan wawancara (interview guide). Panduan tersebut tidak sepenuhnya
mengikat proses wawancara secara kaku, sebaliknya wawancara dapat
berkembang sesuai dengan situasi masyarakat dan khususnya informan atau
subjek
penelitian.
Meski
demikian,
peneliti
tetap
berupaya
untuk
menggunakan strategi teknis secara jeli agar hasil wawancara dapat
memeberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan sesuai tujuan penelitian.
Sedangkan sumber data berupa paper dimanfaatkan untuk data
collecting dengan dua teknik dua teknik: 1) studi kepustakaan; yaitu dengan
memanfaatkan buku-buku pokok yang memuat data-data penting mengenai
Jemaah Syi’ah sesuai dengan tujudan penelitian. 2) Studi dokumen, yaitu
pengkajian atas berbagai dokumen resmi baik yang bersifat internal maupun
eksternal; bersifat internal dalam artian pengkajian langsung atas dokumen,
sedangkan yang bersifat eksternal berupa sumber-sumber yang mendukung
pengkajian atas dokumen. Dokumen internal yang menjadi sumber data
penelitian ini antara lain data demografi Kabupaten Sampang, data anggota
atau pengikut Jemaah Syi’ah Sampang, dan sebagainya.
39
3.
Pengujian Keabsahan Data
Pengujian
keabsahan
data
menggunakan
triangulasi.73
Teknik
triangulasi yang digunakan adalah triangulasi sumber, yaitu teknik
pengecekan dengan membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan
suatu informasi melalui waktu dan alat yang berbeda. Triangulasi sumber
dalam penelitian ini dilakukan dengan membandingkan data yang diperoleh
dari person dengan paper (hasil wawancara mendalam dengan studi pustaka
dan dokumentasi) atau paper dengan paper, atau person dengan person
lainnya.
4.
Teknik Analisis Data
Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis data
induktif.74 Langkah-langkah analisis yang digunakan dalam penelitian ini
adalah analisis data kualitatif, meliputi reduksi data, display data, kesimpulan
dan verifikasi.75
73
Triangulasi adalah suatu teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang
lain di luar data, untuk melakukan pengecekan atau pembandingan terhadap data itu. Lihat
Lexy J Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 2002),
hlm. 178
74
Analisis data menurut Patton adalah proses mengatur urutan data, mengorganisir data ke dalam
suatu pola, kategori, dan satuan uraian data. Lihat Moleong, Metodologi Penelitian Bidang
Sosial (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1998), hal 205
75
1) Reduksi data adalah proses pemilihan, pemfokusan, penyederhanaan, dan penyaringan data
yang diperoleh dari studi literatur dan dokumen yang relevan dengan masalah yang diteliti. 2)
Display data yang dilakukan berupa penyajian secara deskriptif atau naratif data yang telah
direduksi dalam bentuk laporan yang sistematis. 3) Pengambilan kesimpulan dan
verifikasi.Pengambilan kesimpulan dan verifikasi adalah penarikan kesimpulan dengan
berangkat dari rumusan masalah atau tujuan penelitian kemudian senantiasa diperiksa
kebenarannya untuk menjamin keabsahannya. Lihat Sayekti Pujosuwarno, Penulisan Usulan
dan Laporan Penelitian Kualitatif (Yogyakarta: Lemlit IKIP Yogyakarta, 1992), hlm. 19
40
Download