PERLINDUNGAN HAK-HAK MINORITAS DAN DEMOKRASI Antonio Prajasto Roichatul Aswidah Indonesia telah mengalami proses demokrasi lebih dari satu dekade terhitung sejak mundurnya Soeharto pada 1998. Kebebasan mengalami peningkatan. Namun demikian perkembangan lima tahun berikutnya, pada 2004 hingga 2009, sejumlah kebebasan ini mengalami kemerosotan terutama yang dialami oleh kelompok-kelompok masyarakat minoritas. [Demos, 2007]. Kenyataan itu menjadi hal penting yang harus dihadapi oleh demokrasi karena menyerang langsung prinsip non diskriminasi yang menempati posisi dasar dari hak asasi manusia. Dua pasal pertama dari Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) memuat prinsip tersebut: “Semua manusia dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak yang sama. Mereka dikaruniai akal budi dan hati nurani dan hendaknya bergaul satu dengan yang lain” (Pasal 1) “Setiap orang berhak atas semua hak dan kebebasan yang tercantum dalam Deklarasi ini tanpa pembedaan dalam bentuk apa pun, seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, keyakinan politik atau keyakinan lainnya, asal usul kebangsaan dan sosial, hak milik, kelahiran atau status lainnya” (Pasal 2 (paragraf 1) Seperti dikemukakan pula pada bagian lain, bukan hanya hak asasi, kesetaraan politik merupakan prinsip dasar dari proses demokrasi. Persoalannya kemudian bagaimanakah hubungan proses demokrasi dengan perlindungan kelompok minoritas? Bagaimanakah proses demokrasi mempengaruhi hak-hak minoritas? Bagaimanakah perlindungan hak-hak minoritas di Indonesia saat ini? Demokrasi dan Perlindungan Kelompok Minoritas Dengan mendasarkan pada prinsip kesetaraan kewarganegaraan, maka mau tak mau demokrasi menerima adanya perbedaan. Dalam kenyataan memang, hampir semua masyarakat memiliki keanekaan terutama keanekaragaman bahasa, agama atau keyakinan, dan budaya atau etnisitas. Termasuk Indonesia. Oleh karena itu pengakuan akan perbedaan bukan hanya diakui oleh demokrasi, tetapi juga jika diperlukan demokrasi memberi perlindungan pada minoritas. Di titik inilah perlindungan kelompok minoritas mendapat tempat dalam proses demokrasi. Problem hak minoritas dalam proses demokrasi pada dasarnya terletak pada persoalan prosedur ’mayoritas’ dalam pengambilan keputusan. Penjelasannya sebagai berikut. Sejarah dan prinsip ‘kesetaraan politik’ dari demokrasi jelas menunjukan bahwa demokrasi tidak mengandaikan kekuasaan berada di tangan minoritas, melainkan semua warga. Sebab demokrasi mengasumsikan bahwa warga dapat menentukan nasibnya sendiri – yaitu memiliki kapasitas dan kepercayaan diri untuk mengambil tanggung jawab bagi hidupnya sendiri secara individual maupun kolektif. Kesetaraan politik demikian biasanya digambarkan sebagai ’setiap orang memiliki satu suara’ – sebagai prosedur dalam pemilihan umum maupun dalam pengambilan keputusan. Dengan prosedur ini kelompok-kelompok minoritas secara potensial atau nyata terancam. Ambillah ’bahasa’ sebagai ilustrasi – karena ’bahasa’ adalah bagian dari identitas kelompok masyarakat, atau etnis tertentu. Jika dilihat dari besarnya anggota masyarakat maka ’bahasa Jawa’ sepatutnya menjadi bahasa nasional. Jika hal itu terjadi pada saat pendirian negara RI, eksistensi berbagai suku dan bahasa di Indonesia dapat terhapuskan. Namun, untungnya pendiri negara RI tidak melakukan hal itu dan sebaliknya bersepakat menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan. Problem yang sama sering pula dihadapi dalam penetapan sebuah ’bangsa’. Letak problemnya adalah ketika prosedur demikian kemudian dianggap sebagai prinsip kunci dalam demokrasi. Merujuk pada pendapat Beetham prosedur suara mayoritas semata merupakan ’alat’ untuk menyelesaikan ketidaksepakatan-ketidaksepakatan. Prosedur ini dianggap tidak demokratis ketika mengancam prinsip kesetaraan politik itu sendiri, yaitu ketika minoritas kehilangan kekuatan dan potensinya untuk menentukan kebijakan publik. Prosedur demikian juga tidak demokratis ketika keputusan yang dipertaruhkan menyangkut identitas dasar dari kelompok tersebut. Karena, dalam persoalan ini yang berlaku bukan keputusan semua warga melainkan keputusan satu bagian warga (mayoritas) atas warga lain (minoritas). Lebih lanjut Beetham mengatakan bahwa prosedur ini harus dilihat sebagai prosedur-kedua terbaik ketika berbagai cara untuk menyelesaikan ketidaksepakatan, seperti diskusi, berdebat, kompromi (musyawarah) dan amandemen tidak berhasil menemukan jalan keluar. Singkatnya, persis karena prinsip dasarnya adalan kesetaraan politik – maka prosedur suara mayoritas hanya sah jika mengejewantahkan dan bukan melanggar prinsip tersebut. Dan, karena prosedur mayoritas tidak selalu demokratis dan tidak selalu dibutuhkan dalam demokrasi – maka seringkali diperlukan aturan-aturan khusus untuk menjamin hak-hak minoritas dan menjamin representasi mereka dalam politik dan pemerintahan. Bentuk-bentuknya beraneka ragam, seperti jaminan di dalam konstitusi, program afirmasi, rotasi dalam memimpin lembaga negara, ataupun kuota bagi kelompok minoritas. Sejalan dengan hal ini, jika terdapat kebijakan yang mengancam eksistensi kelompok masyarakat minoritas tertentu, maka kebijakan tersebut harus dianggap sebagai diskriminatif. PBB merumuskan tindak diskriminasi sebagai berikut: pembedaan, pengecualian, pembatasan atau preferensi apa pun yang didasarkan pada ras, warna kulit, bahasa, agama, kebangsaan, atau asal sosial, kelahiran dan status lainnya yang mempunyai maksud atau akibat yang menghilangkan atau mengurangi pengakuan, penikmatan atau pelaksanaan hak atau kebebasan dengan setara bagi semua orang Ancaman diskriminasi Deklarasi Hak-hak Minoritas, 1992 melindungi hak-hak minoritas sebagai sebagai bangsa, etnis, agama, dan bahasa. Mereka yang minoritas dalam hal-hal tersebut berhak untuk menikmati budaya mereka sendiri, memeluk dan menjalankan agama mereka masing-masing dan menggunakan bahasa mereka sendiri. Hal ini dilakukan baik secara privat maupun publik dengan bebas tanpa campur tangan atau tanpa diskriminasi dalam bentuk apapun. Berbagai konvensi juga dilahirkan untuk memperkuat perlindungan manusia dari tindak diskriminasi. Sebagian besar telah pula menjadi bagian dari sistem hukum nasional Indonesia yaitu Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial, (1965) yang diratifikasi dengan UU No. 29/1999 dan dilanjutkan dengan disahkannya UU No. 40 tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. Indonesia menegaskan komitmennya atas prinsip non-diskriminasi dalam UUD 1945 (Amandemen) pasal 28 I (2) yang menyatakan: Setiap orang berhak bebas atas perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu. Meski demikian jika dilacak pada Concluding observations of the Committee on the Elimination of Racial Discrimination, masih terdapat berbagai bentuk diskriminasi atas kelompok-kelompok minoritas, sebagai berikut: a. Masyarakat adat. Hak-hak mereka sering dikompromikan untuk alasan pembangunan, modernisasi dan atas nama kepentingan nasional. Hal ini kemudian menyebabkan terhambatnya pemenuhan hak mereka serta cara hidup dan identitas kultural mereka. b. Etnis China. Pemenuhan sejumlah hak etnis ini terhambat. Meski telah terjadi penghapusan Surat Bukti Kewarganegaran RI, tetapi syarat ini masih diberlakukan untuk urusan dengan perbankan. c. Kelompok keagamaan. Diskriminasi atas dasar agama mengambil bentuk berupa pengakuan pada hanya 5 agama. Hal ini berdampak pada pemenuhan hak sipil dan politik bagi penganut agama yang tidak diakui keyakinan agamanya. Pernikahan mereka tidak diakui oleh negara sehingga anak-anak merekapun kesulitan memperoleh akta lahir . Disamping itu kekerasan terhadap kelompok-kelompok keyakinan tertentu dan perusakan atau pembakaran tempat-tempat ibadah seperti yang dialami oleh kelompok Ahmadyah meningkat, tanpa pencegahan dan perlindungan yang efektif dari negara. Lebih parah lagi, dilakukan kriminalisasi berdasarkan keyakinan agama seperti yang dialami oleh kelompok Lia Eden. Di berbagai daerah dikeluarkan peraturan-peraturan daerah yang disusun dengan mengacu kepada tafsir hukum agama tertentu yang mengakibatkan kelompok-kelompok minoritas mengalami diskriminasi. Dari riset yang dikeluarkan oleh Komnas Perempuan (2009) tercatat dari 152 peraturan daerah bernuansa agama dan moralitas yang diskriminatif terhadap hak-hak perempuan. Praktek-praktek diskriminasi seperti tersebut di atas dapat terjadi karena berbagai instrumen demokrasi masih berada dalam kondisi yang buruk terutama berkenaan dengan instrumen rule of law. Studi Demos 2007 menunjukkan bahwa kualitas instrumen ini mengalami peningkatan namun masih buruk; yaitu dari index 16 menjadi 45 selama lima tahun [index: skala 0 (buruk) – 100 (baik)] . Perbaikan lebih jauh atas instrumen ini akan dapat mengurangi praktek-praktek diskriminasi pada masa yang akan datang.