Konstruksi Heteronormativitas pada Subkultur Lesbi (Studi Analisis

advertisement
Konstruksi Heteronormativitas pada Subkultur Lesbi
(Studi Analisis pada Homoseksual Lesbi dan LSM LBT Perempuan)
Rizky Fauzi Supandi
Antropologi Sosial, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia
Depok, 16424, Indonesia
Email: [email protected]
Abstrak
Homoseksual lesbi hidup di Indonesia sebagai sebuah subkultur. Sebagai seorang manusia biasa tentunya
seorang lesbian juga memiliki lingkungan sosial yang terdiri dari pranata-pranata seperti pranata pendidikan,
pekerjaan, dan lain-lain. Namun tidak pada semua pranata ini tentunya mereka mampu menjadi diri sendiri,
karena adanya sanksi sosial dari masyarakat sekitar ketika memiliki identitas sosial yang berbeda dari
kebanyakan masyarakat. Untuk itu, mereka hanya mengaktifkan identitas sosial mereka sebagai seorang lesbian
hanya pada pranata-pranata tertentu. Pengaktifan identitas ini kemudian menjadi sebuah landasan bagaimana
sebuah subkultur berbatasan. Heteronormativitas sebagai sebuah konsep yang awalnya hadir pada relasi manusia
heteroseksual ternyata juga hadir pada relasi homoseksual lesbi di Indonesia. Konsep yang lahir dari
heteroseksual ini mengedepankan perbedaan, baik dari ciri fisik maupun peran di dalam hubungan hingga
kepada karakter dari individu ketika menjalankan hubungan. Homoseksual lesbi kemudian tergolong ke dalam
dua kategori, penganut heteronormativitas dan bukan penganut heteronormativitas. Pasalnya tidak semua lesbian
kemudian menganut heteronormativitas, melainkan ada pula mereka yang lebih mementingkan kenyamanan
dalam relasi berpasangan.
Kata kunci: Batasan; Heteronormativitas; Homoseksual; Lesbi; Subkultur
Heteronormativity Construction in Lesbian Subculture
(A Study of Homosexual (Lesbian) and Women’s LBT NGO)
Abstract
Lesbian (a female homosexual) lives in Indonesia as a subculture. As a mere human being, a lesbian also lives in
social environment that consist of institutions such as education institution, occupation, etc. However, they’re
not and/or can’t become themselves in all institutions, because there are norms and social sanctions from the
society who embraces heterosexual as a majority in social identity. Therefore, they activate their lesbian
identities only in certain institutions. This identity activation then becomes a foundation how a subculture is
bounded. Heteronormativity as a concept in heterosexual relations turns out in lesbian relations as well. A
concept that is born from heterosexual emphasizes differences, and it is come and formed by physical
characteristics or roles in relationship. Lesbian then being classified into two categories, lesbian who embraces
heteronormativity and lesbian who doesn’t embrace heteronormativity.
Key words: Boundaries; Heteronormativity; Homosexual; Lesbian; Subculture
Konstruksi Heteronormativitas..., Rizky Fauzi, FISIP UI, 2012
Latar Belakang
Manusia berpikir dan bertindak dalam menjalankan peran hidupnya dipenuhi unsur-unsur
filosofis yang sifatnya implisit. Tidak semua manusia mampu untuk berkata dan melakukan
suatu hal sesuai yang diinginkan. Secara sosiologis, manusia hidup berdampingan dengan
manusia
lainnya,
juga
dengan
kultur
dan
norma.
Di
dalam
sebuah
kultur
terdapat subkultur dimana ada sekelompok orang yang memiliki perilaku dan kepercayaan
yang berbeda dengan kebudayaan induk, yaitu kebudayaan yang ada dan ditetapkan di
lingkungannya.
Kebudayaan Indonesia membangun pencitraan akan seks dan seksualitas sebagai suatu
wacana yang sifatnya sangat personal, yang tidak seharusnya dibicarakan di muka umum.
Walaupun saat ini bahasan megenai seksualitas banyak ditemukan di berbagai media, namun
tidak banyak orang yang kemudian menjadi pembaca karena hanya mereka yang berpikiran
terbukalah yang mengonsumsi informasi tersebut.
Gambaran seksualitas kini mudah ditemui dalam bentuk teks, gambar, suara bahkan video
dan alat peraga berikut jual-beli alat-alat bantu dan aksesori seksual di pusat perbelanjaan.
Media massa tradisional dan modern seperti internet dan portal berita banyak mengangkat
tema seks dan seksualitas yang juga memberi pengaruh terhadap cara pandang, pola pikir dan
gaya hidup manusia. Seks dan seksualitas memancarkan daya tarik yang cukup kuat sehingga
menciptakan ketakutan tetapi pada saat yang sama melahirkan rasa keingintahuan.
Pembicaraan mengenai seks tidak lagi menjadi suatu hal yang tabu dan selalu bergerak di
dalam keinginan untuk menyalurkan hasrat dan usaha untuk mengekangnya.
Di sebuah lingkungan, norma kemudian dijadikan sebagai alat oleh manusia untuk
mengekang seks. Masyarakat berusaha mendobrak dan melawan apa yang dianggap kolot,
kuno, dan tradisional, yakni melakukan eksperimen dengan pengalaman seks mereka.
Pendobrakan ini kemudian melahirkan nilai baru yakni mengenai kebebasan akan seksual.
Namun permasalahannya adalah apakah norma dan nilai baru tersebut akan memiliki dampak
yang signifikan pada ruang publik? Sementara tidak semua masyarakat akan mudah
menerima hal-hal baru dan berbeda dibanding nilai-nilai yang ada di masyarakat umum.
Bahkan yang lebih mungkin untuk terjadi adalah nilai baru ini akan dianggap sebagai sebuah
penyimpangan. Nilai baru yang timbul sebetulnya adalah suatu revolusi seksual yang akan
semakin banyak memberikan variasi terhadap seks dan seksualitas itu sendiri.
Konstruksi Heteronormativitas..., Rizky Fauzi, FISIP UI, 2012
Sebetulnya kita sendiri tidak tahu sejak kapan tepatnya apa yang disebut oleh masyarakat
sebagai penyimpangan seks terjadi, akan tetapi sejak dahulu manusia memang sudah
melakukan penyimpangan atau penyeberangan gender serta menjalin hubungan antar sesama
jenis. Pada tahun 1869, dokter Dr K.M. Kertbeny yang berkebangsaan Jerman-Hongaria
menciptakan istilah homoseks atau homoseksualitas (http://www.banap.net/spip.php?article86
01/ 05/ 2013, 14:55). Homo berasal dari kata Yunani yang berarti sama, dan seks yang berarti
jenis kelamin. Istilah ini menunjukkan kebiasaan seksual seseorang yang tertarik dengan
sesama jenis, misalnya pria menyukai pria atau wanita menyukai wanita.
Isu-isu yang berkenaan dengan homoseksual di Indonesia cukup minim, dengan kata lain isuisu ini dibendung. Homoseksual di Indonesia mulai menyebut diri mereka gay dan lesbian
sekitar pada tahun 1970 sampai dengan awal 1980an. Terminologi gay dan lesbi ini
cenderung tidak dipelajari dari orangtua, tetangga, dan guru-guru agama, khususnya agama
Islam, melainkan dari media massa, termasuk juga dari kolom-kolom gosip di majalah dan
pemberitaan di koran-koran serta pertunjukkan di film-film impor (Boellstorff, 2006: 3).
Homoseksualitas dewasa ini semakin nampak dalam kehidupan masyarakat di Indonesia.
Saya meneliti sebuah subkultur di Jakarta dengan mengangkat homoseks lesbian sebagai
subjek penelitian. Subkultur sebagai sebuah bagian dari kebudayaan memiliki batasan-batasan
yang melekat, dan batasan ini kemudian hadir sebagai sebuah gap, atau pemisah. Dari
penelitian ini saya mendapatkan hasil temuan mengenai batasan baru bagi sebuah subkultur
berdasarkan data lapangan hasil penelitian. Penelitian ini melibatkan homoseksual lesbian di
Jakarta baik yang merupakan anggota sebuah LSM LGBT maupun tidak, yaitu Agustine
sebagai ketua LSM Ardhanary Institute, Dini seorang mahasiswi dan juga anggota LSM
Ardhanary Institute, Anin dan Bala yang merupakan mahasiswi-mahasiswi di salah satu
Perguruan Tinggi Negeri di Jabodetabek dan bukan anggota LSM LGBT manapun.
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka muncullah pertanyaan penelitian untuk
mengungkap apa yang menjadi batasan-batasan pada subkultur homoseks, dan bagaimana
heteronormativitas dimaknai dan dipraktikkan dalam komunitas lesbian. Dalam penelitian ini
saya berusaha untuk memberikan referensi mengenai pembentukan identitas dan bagaimana
mengidentifikasi identitas manusia yang multi-layer. Dengan pendekatan semiotika,
penelitian ini diharapkan juga dapat menggambarkan batasan-batasan kompleks di dalam
sebuah subkultur homoseksual.
Konstruksi Heteronormativitas..., Rizky Fauzi, FISIP UI, 2012
Tinjauan Teoritis
Dalam buku yang berjudul Subculture: The Meaning of Style yang ditulis oleh Dick Hebdige
(1979) mengenai subkultur punk menjelaskan bagaimana komuniti berbatasan dengan yang
mainstream berdasarkan kelas dan ekonomi. Berlandaskan buku tersebut kemudian tulisan
ini berusaha melihat bagaimana komuniti homoseksual yang ada di Indonesia sebagai sebuah
subkultur berbatasan dengan masyarakat luas.
Dan untuk melihat bagaimana kaum homoseksual mengidentifikasikan diri mereka dan
bagaimana identitas mereka dapat terbentuk saya menggunakan konsep identitas dari Terence
Turner (1985) yang berargumentasi bahwa, “Identitas tidak mungkin bisa dipisahkan dari
tindakan (action) para pelakunya.” Karena menurutnya identitas bukan hanya dibentuk oleh
apa yang dipikirkan orang di tingkat simbol, tetapi juga oleh relasi sosial yang hadir dalam
interaksi sehari-hari para pelakunya. Melalui ekspresinya di tingkat action (tindakan), simbol
(termasuk identitas) memperoleh pemaknaannya sekaligus perwujudan konkretnya.
Komuniti lesbian merupakan sebuah subkultur yakni salah satunya karena posisi subordinat
mereka di masyarakat. Sebagai sebuah subkultur terdapat nilai yang diadopsi dari kultur
dominan yakni apa yang disebut dengan heteronormativitas1. Heteronormativitas yang
dimaksud adalah sebuah nilai dimana seseorang berpasangan dengan orang lain yang berbeda
gender dan seksualitas. Heteronormatif pada masyarakat adalah ketika seorang pria
berpasangan dengan seorang wanita, atau sebaliknya. Namun dalam kasus homoseks ternyata
nilai ini dimaknai berbeda. Lesbian mengadopsi nilai heteronormativitas ini melalui konsep
butch dan femme. Nilai ini dipraktikkan melalui butch yang berpasangan dengan femme
ataupun sebaliknya. Pengadopsian nilai heteroseks ini ternyata menuai kotroversi bahwa tidak
semua lesbian di Indonesia menyetujui dan mengadopsi nilai ini dikarenakan homoseks itu
seharusnya tidak mengadopsi nilai dari heteroseks.
Heteronormativitas adalah pandangan bahwa heteroseksual adalah kelompok yang normal
dan mereka yang ada di luar kelompok ini adalah abnormal. Sedangkan konsep
heteropatriarki adalah sebuah konsep yang berhubungan dengan opresi kelompok dominan
terhadap kelompok marjinal dalam kaitannya dengan budaya patriarki. Konsep ini
merumuskan bahwa di dalam masyarakat terdapat seperangkat norma sosial yang menyatakan
1
Konsep ini merupakan suatu konsep yang merumuskan bahwa di dalam masyarakat terdapat seperangkat
norma sosial yang menyatakan heteroseksual sebagai perilaku yang normal, dan mereka yang tidak berperilaku
berdasarkan
norma sosial dan budaya ini akan dianggap mengganggu tatanan sosial yang disebut
heteronormativity (Lindner, Martins, dan Romao, 2004:12)
Konstruksi Heteronormativitas..., Rizky Fauzi, FISIP UI, 2012
heteroseksual sebagai perilaku yang normal, dan mereka yang tidak berperilaku berdasarkan
norma sosial dan budaya ini akan dianggap menggangu tatanan sosial. (Lindner, Martins,
Romao, 2004:12).
Subkultur merupakan sebuah gejala budaya akan adanya berbagai macam nilai yang terbentuk
pada sebuah kebudayaan berdasarkan usia dan kelas, terutama pada kebudayaan besar.
Subkultur dari kelompok-kelompok sosial yang berada dalam posisi subordinat dan
terpinggirkan dapat dianalisa ulang sebagai bentuk-bentuk resistensi (Chaney, 1994: 39).
Pasalnya ketika suatu komuniti atau kelompok sosial berada pada posisi subordinat mereka
akan berusaha melawan, berusaha untuk keluar dari kondisi ditekan. Melakukan perlawanan
merupakan bentuk-bentuk resistensi dari subkultur. Namun subkultur pada umumnya
merupakan bagian dari kebudayaan besar yang menganut nilai-nilai yang berbeda.
Dari tulisan Alasuutari (1995: 65) sebuah pendekatan semiotika secara khusus memberi
perhatian pada bagaimana pandangan-pandangan dan ide-ide sebuah kelompok sosial
dinyatakan dan diproduksi dalam sebuah teks melalui pembedaan dan artikulasi makna.
Semiotika merupakan ilmu yang mempelajari tanda-tanda (signs) dan bagaimana tanda-tanda
tersebut bekerja (Fiske, 1982: 40). Dalam semiotika, tanda-tanda dapat berupa kata-kata,
gambar, gerak, bunyi dan segala sesuatu yang diberi makna. Berkenaan dengan hal tersebut,
dalam penelitian ini saya juga menggunakan analisis semiotika sebagai upaya untuk
mempelajari perilaku manusia, khususnya perilaku lesbian yang membawa makna atau fungsi
sebagai tanda baik di ruang pribadi maupun di ruang-ruang publik
Metode Penelitian
Penelitian saya dalam melihat fenomena homoseksual sebagai sebuah subkultur ini
menggunakan penelitian kualitatif. Di dalam penelitian ini say menggunakan metode
wawancara dan observasi partisipasi. Penggunaan metode wawancara diperuntukkan agar
mendapatkan data berupa opini, persepsi atau pandangan dari informan. Informan yang saya
maksud di sini ialah lesbian yang berada di LSM Ardhanary Institute dan juga lesbian yang
tidak menjadi anggota LSM LGBT manapun. Saya melakukan observasi untuk
mengklarifikasi kebenaran yang saya dapatkan melalui wawancara dengan ikut berkecimpung
di dalam keseharian kegiatan dari informan. Selain itu juga agar mendapatkan kesan yang
lebih mendalam melalui proses immerse dan membantu saya dalam melihat serta
menganalisis keseluruhan proses selama penelitian.
Konstruksi Heteronormativitas..., Rizky Fauzi, FISIP UI, 2012
Dalam penelitian ini, saya mewawancarai empat orang lesbian sebagai informan. Di
antaranya adalah RR. Agustine, pendiri Ardhanary Institute, Dini (bukan nama sebenarnya)
mahasiswi di salah satu Perguruan Tinggi di Jakarta, Anin (bukan nama sebenarnya)
mahasiswi di salah satu Perguruan Tinggi di Jakarta dan Bala (bukan nama sebenarnya)
mahasiswi di salah satu Perguruan Tinggi di Jakarta. Saya juga turut mengunjungi dan
mempelajari
kegiatan
LSM
Ardhanary
Institute
melalui
websitenya
di
http://www.ardhanaryinstitute.org/ dan kegiatan-kegiatan lapangan lainnya. Sedangkan
informan Dini merupakan anggota dari LSM Ardhanary Institute namun dewasa ini sudah
tidak aktif. Informan lainnya Anin dan Bala adalah lesbian yang tidak tergabung dalam
kelompok LGBT maupun LSM manapun. Saya mengamati kehidupan para informan sebagai
bagian dari sebuah masyarakat dari sisi personal dan profesional baik di ruang pribadi
maupun di ruang publik.
Hasil Penelitian
Dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa batasan-batasan pada subkultur homoseks lesbi
adalah ruang (space) dan waktu (time). Pengaktifan identitas muncul hanya pada ruang –
ruang dan waktu - waktu tertentu, dimana pada ruang dan waktu tertentu itulah seorang
lesbian merasa aman dan nyaman untuk menggunakan identitas tersebut. Berada pada institusi
seperti tempat bekerja atau tempat mengemban pendidikan membuat mereka tidak nyaman
dan tidak merasa aman untuk mengaktifkan identitas sosisal mereka sebagai seorang lesbian.
Mereka baru akan memunculkan identitas tersebut ketika sedang berada bersama dengan
komunitas LGBT atau ketika bersama dengan orang-orang terdekat yang sudah mengenal
baik siapa mereka.
Heteronormativitas sebagai sebuah konsep yang awalnya hadir pada relasi manusia
heteroseksual ternyata juga hadir pada relasi seorang lesbian di Indonesia. Konsep yang lahir
dari heteroseksual ini mengedepankan perbedaan, baik dari ciri fisik maupun peran di dalam
hubungan, hingga kepada karakter dari individu masing-masing ketika menjalankan sebuah
hubungan. Namun ada juga homoseksual lesbi yang tidak menganut konsep tersebut, dimana
kenyamanan dan keseteraan kekuasaan dan peran dalam sebuah hubungan adalah yang utama.
Pembahasan
Subkultur sebagai bagian dari anti-tesis sebuah kultur masyarakat secara umum memiliki
paradigma homoseksual. Di dalam sebuah subkultur pada homoseks lesbi ternyata masih ada
Konstruksi Heteronormativitas..., Rizky Fauzi, FISIP UI, 2012
nilai-nilai heteroseksual yang dianut, yaitu heteronormativitas yang merupakan norma di
dalam hubungan heteroseksual. Dengan analisis semiotika, saya mencoba mempelajari
perilaku dan gaya hidup homoseks lesbi di tengah masyarakat dan berusaha mengungkap
identitas seseorang dan kaitannya dengan budaya patriarkal dan ketidaksetaraan gender secara
peran untuk mengungkap batasan-batasan baru sebuah subkultur.
Homoseksualitas adalah rasa ketertarikan romantik, seksual atau perilaku antara individu
berjenis kelamin atau gender yang sama. Sebagai orientasi seksual, homoseksualitas mengacu
kepada pola berkelanjutan atau disposisi untuk pengalaman seksual, kasih sayang, atau
ketertarikan romantis terutama atau secara eksklusif pada orang dari jenis kelamin sama.
Homoseksualitas juga mengacu pada pandangan individu tentang identitas pribadi dan sosial
berdasarkan pada ketertarikan, perilaku ekspresi, dan keanggotaan dalam komunitas lain yang
berbagi itu.
Pada umumnya, manusia memiliki orientasi seksual terhadap jenis kelamin yang berbeda.
Namun sebagian lainnya orientasi seks semacam itu tidak ada, bahkan ketertarikan terjadi
pada sesama jenis. Bila pria maka ketertarikannya kepada sesama pria, yang biasanya disebut
dengan istilah gay. Sebaliknya yang wanita memiliki ketertarikan seksual dengan sesama
wanita, yang biasa disebut dengan lesbi. Kata lesbi/lesbian berasal dari Lesbos, sebuah pulau
Yunani yang terletak di sebelah Timur Aegean Sea. Lesbos adalah tempat di mana tinggal
penyair Yunani kuno Sappho dan tempat ia mendirikan sekolah khusus perempuan pada abad
ke-6 SM. Puisinya banyak menggambarkan gairahnya terhadap murid-muridnya, dalam
istilah lama disebut gynerasty (hubungan sejenis antara perempuan dewasa dengan
perempuan muda yang belum dewasa), padanan dari pederasty (hubungan sejenis antara
lelaki dewasa dengan lelaki muda yang belum dewasa) (Herlinatiens, 2003: 321).
Pada lesbi terdapat dua kelompok wanita (Kartono, 1992: 265), yakni:
•
Kelompok wanita yang menunjukkan banyak ciri kelaki-lakian, baik dalam susunan
jasmani dan tingkah lakunya, maupun pada pemilihan objek erotiknya. Bentuk tubuh
wanita tipe ini banyak miripnya dengan bentuk tubuh pria.
•
Dan kelompok wanita yang tidak memiliki tanda-tanda kelainan fisik dan memiliki
konstitusi jasmaniah sempurna wanita.
Konstruksi Heteronormativitas..., Rizky Fauzi, FISIP UI, 2012
Terdapat juga berbagai istilah yang digunakan untuk menyebut kelompok-kelompok lesbi
(Moser, 2000: 124), yaitu:
•
High Femme atau Lipstick Lesbian, adalah wanita yang tampak feminin secara
stereotype (gincu, riasan, sepatu tumit tinggi, pakaian berjumbai) Femme, adalah
wanita yang memiliki penampilan feminin.
•
Soft Butch, adalah wanita dengan penampilan yang tidak terlalu feminin dan
cenderung sedikit mengarah kepada maskulin.
•
Stone Butch, adalah wanita yang berpenampilan sangat maskulin.
Ardhanary Institute pada tahun 2009 bekerja sama dengan HIVOS Asia Tenggara
menerbitkan buku saku yang berjudul “Semua Tentang Lesbian”, yang merupakan info-kit
berisi informasi-informasi penting seputar lesbian. Buku ini menjadi penting karena cukup
banyak memberikan penjelasan akan lesbian itu sendiri. Identitas seksual seorang lesbian juga
dijabarkan, menurutnya, lesbian adalah istilah bagi perempuan yang mengarahkan pilihan
orientasi seksualnya kepada sesama perempuan atau disebut juga perempuan yang mencintai
perempuan baik secara fisik, seksual, emosional atau secara visual. (Ardhanary Institute:
Semua Tentang Lesbian, 2009: 18).
Ketika menjadi seorang lesbian, maka ada beberapa istilah-istilah yang perlu untuk diketahui,
seperti butch dan femme. Butch lebih dikenal dengan istilah butchy yang biasanya diartikan
sebagai pasangan yang lebih dominan dalam hubungan seksual. Butch dapat dibagi dalam
beberapa tipe antara lain soft butch dan stone butch.
Soft butch sering digambarkan memiliki kesan yang lebih feminin dalam cara berpakaian dan
potongan rambutnya. Secara emosional dan fisik tidak mengesankan bahwa mereka adalah
pribadi yang kuat atau tangguh. Sedangkan stone butch sering digambarkan lebih maskulin
dalam cara berpakaian maupun potongan rambutnya. Mengenakan pakaian laki-laki,
terkadang membebat dadanya agar terlihat lebih rata dan menggunakan sesuatu pada pakaian
dalamnya sehingga menciptakan kesan memiliki penis. Butch yang berpenampilan maskulin
sering kali lebih berperan sebagai seorang ‘laki-laki’ baik dalam suatu hubungan dengan
pasangannya, maupun saat berhubungan seks.
Femme atau popular dengan istilah pemmeh lebih mengadopsi peran sebagai seorang yang
feminin dalam suatu hubungan dengan pasangannya. Femme yang berpenampilan feminin
Konstruksi Heteronormativitas..., Rizky Fauzi, FISIP UI, 2012
selalu digambarkan memiliki rambut yang panjang dan berpakaian feminin. Seringkali femme
memiliki stereotype sebagai pasangan yang pasif dan hanya menunggu atau menerima saja
saat melakukan hubungan seks.
Muncul dan berkembangnya lesbian di Indonesia baru dimulai sekitar tahun 1980-1990an,
sebagaimana yang tertera pada tulisan Tom Boellstorff dalam The Gay Archipelago: Sexuality
and Nation in Indonesia (2002: 93):
“Indonesians do not appear to have started thinking of themselves as lesbi and
gay until 1970s, and the subject-positions really took shape in the 1980s and
1990s. They are still largely ignored by the state.”
Sejak saat itu mulai hingar terdengar mengenai lesbian di Indonesia dan terus mengalami
perkembangan hingga saat ini. Namun nyatanya tetap saja lesbian di Indonesia tidak
mendapatkan perhatian dari negara. Mereka tetap berada pada titik subordinat, dan tetap pula
tidak mendapatkan pengakuan. Merupakan suatu pertanyaan besar mengapa hal ini dapat
terjadi. Masyarakat Indonesia terlampau untuk melihat suatu perilaku yang berbeda dari
kultur masyarakat pada umumnya sebagai suatu penyimpangan, terutama permasalahan akan
identitas seksual. Homoseksual yang berbeda dengan heteroseksual yang mainstream
dianggap menyimpang, sehingga yang terjadi adalah pengucilan terhadap kaum homoseksual.
Homoseksual tertekan, terpinggirkan, dan terisolasi dari publik. Hal yang terjadi adalah
sebuah represi seksual.
Dari uraian di atas, berikut adalah beberapa faktor yang memengaruhi seseorang menjadi
homoseksual (Kartono, 1989: 248):
•
Faktor Herediter, yakni adanya ketidakseimbangan hormone-hormon seks.
•
Pengaruh lingkungan yang tidak baik bagi perkembangan seksual yang normal,
misalnya, pola asuh dan lingkungan terdekat yang berpengaruh pada individu untuk
menstimulus perilaku homoseksual.
•
Pengalaman traumatis atau adanya pengalaman buruk pada masa lalu yang terus
melekat dalam benaknya, sehingga menimbulkan kebencian.
•
Mencari kepuasan relasi homoseksual, seseorang selalu mencari kepuasan homoseks
karena ia pernah menghayati pengalaman homoseks yang menggairahkan pada masa
remaja.
Konstruksi Heteronormativitas..., Rizky Fauzi, FISIP UI, 2012
Dan dijelaskan oleh Kinsey (dikutip dari Davidson, 1990: 300), bahwa kapasitas dasar dari
setiap mahluk (mamalia) untuk merespon berbagai rangsangan, peristiwa yang menyebabkan
seseorang mengalami pengalaman seksual untuk pertama kalinya dengan sesama jenis,
pengaruh-pengaruh keadaan pada pengalaman-pengalaman tertentu dan keadaan yang tidak
langsung namun sangat kuat dimana pendapat-pendapat dari orang lain dank kode-kode sosial
mungkin terdapat pada keputusan seseorang untuk menerima atau menolak hubungan sesama
jenis juga memengaruhi seseorang menjadi homoseksual.
Skala Kinsey mencoba menggambarkan sejarah seksual seseorang atau episode aktivitas
seksual mereka pada waktu tertentu. Menggunakan skala dari nol, berarti secara eksklusif
heteroseksual, sampai enam, yang berarti secara eksklusif homoseksual.
Skala Deskripsi
0
Sepenuhnya heteroseksual
1
Heteroseksual, sesekali homoseksual
2
Heteroseksual, homoseksual lebih dari sesekali
3
Biseksual.
4
Homoseksual, sesekali heteroseksual
5
Homoseksual, heteroseksual lebih dari sesekali
6
Sepenuhnya homoseksual
X
Aseksual, Non-Seksual
American Psychological Association, American Psychiatric Association, dan National
Association of Social Workers menyatakan orientasi seksual, "Tidak hanya karakteristik
pribadi yang dapat didefinisikan dalam isolasi. Sebaliknya, orientasi seksual seseorang
menentukan semesta dengan siapa orang tersebut mungkin menemukan hubungan yang puas
dan terpenuhi".
Orientasi seksual umumnya dibahas sebagai karakteristik individu, seperti jenis kelamin
biologis, identitas gender, atau usia. Perspektif ini tidak lengkap karena orientasi seksual
selalu didefinisikan dalam istilah relasional dan harus melibatkan hubungan dengan orang
Konstruksi Heteronormativitas..., Rizky Fauzi, FISIP UI, 2012
lain. Tindakan seksual dan atraksi romantis dikategorikan sebagai homoseksual atau
heteroseksual sesuai dengan jenis kelamin biologis individu yang terlibat di dalamnya, yang
bersifat relatif satu sama lain. Individu-individu mengungkapkan heteroseksualitas mereka,
homoseksualitas, atau biseksual, memang, didasarkan pada tindakan atau keinginan mereka
untuk berbuat terhadap orang lain. Hal ini mencakup tindakan-tindakan sederhana seperti
berpegangan tangan atau berciuman. Jadi, orientasi seksual secara integral terkait dengan
hubungan personal seorang individu yang dibentuk dengan individu lain untuk memenuhi
kebutuhan akan cinta, ikatan, dan keintiman.
Perihal tersebut erat kaitannya dengan proses coming-out pada homoseksual. Seorang
homoseksual akan mengalami fase "coming out" dalam kehidupan mereka. Umumnya,
coming-out digambarkan dalam tiga fase. Fase pertama adalah fase "mengenali diri", yaitu
muncul kesadaran bahwa ia terbuka untuk hubungan sesama jenis. Fase ini sering
digambarkan sebagai coming-out yang bersifat internal. Tahap kedua melibatkan keputusan
untuk terbuka kepada orang lain, misalnya keluarga, teman, dan/atau kolega ("The [[Coming
Out]] Continuum", Human Rights Campaign, arsip asli dibuat pada 02/11/2007,
disempurnakan pada 04/05/2007). Tahap ketiga mencakup hidup secara terbuka sebagai
seorang LGBT.
Ditinjau dari sisi psikologi dan sebagai pengakuan bukti ilmiah, Asosiasi Psikiatri Amerika
menghapuskan homoseksualitas dari DSM pada tahun 1973, menyatakan bahwa,
"Homoseksualitas sendiri menunjukkan tidak adanya gangguan dalam penilaian, stabilitas,
keandalan, atau kemampuan sosial umum atau vokasional." Setelah meninjau data ilmiah
secara seksama, Asosiasi Psikologi Amerika melakukan tindakan yang sama pada tahun 1975,
dan mendesak semua pakar kejiwaan "untuk memimpin menghilangkan stigma penyakit
mental yang telah lama dikaitkan dengan orientasi homoseksual." Asosiasi Nasional Pekerja
Sosial pun menerapkan kebijakan serupa. Kesimpulannya, para pakar kejiwaan dan peneliti
telah lama mengakui bahwa menjadi homoseksual tidak menimbulkan hambatan untuk
menjalani hidup yang bahagia, sehat, dan produktif, dan bahwa sebagian besar kalangan gay
dan lesbian bekerja dengan baik di berbagai lembaga sosial dan hubungan interpersonal.
Pada tahun 2004, American Academy of Pediatrics dalam Pediatrics menyatakan:
“Orientasi seksual mungkin tidak ditentukan oleh satu faktor, tetapi oleh gabungan
pengaruh genetik, hormon, dan lingkungan. Dalam beberapa dekade terakhir, teoriteori biologi telah dikemukakan para ahli. Tetapi, tetap menjadi kontroversi dan tidak
pasti tentang asal-usul ragam orientasi seksual manusia, tidak ada bukti ilmiah bahwa
Konstruksi Heteronormativitas..., Rizky Fauzi, FISIP UI, 2012
kelainan pola asuh, pelecehan seksual, atau sejarah hidup buruk lainnya
mempengaruhi orientasi seksual. Pengetahuan saat ini berpendapat bahwa orientasi
seksual biasanya dibentuk selama usia dini.” (PEDIATRICS Vol. 113 No. 6 June 1,
2004
pp.
1827
-1832,
http://pediatrics.aappublications.org/content/113/6/1827.full.pdf+html
10/05/2013,
16:02)
Masyarakat menilai perilaku homoseksual sebagai sebuah penyimpangan. Nampak ada
sesuatu yang salah ketika seorang wanita menjalin hubungan kasih dengan seorang wanita
(lesbi). Pandangan masyarakat ini tentunya dilandaskan pada kognitif mereka dan nilai-nilai
yang selama ini mereka pegang. Hal ini kemudian berimbas kepada perilaku masyarakat
untuk mengintervensi, menolak, menghujat, dan mengucilkan bentuk-bentuk prilaku
homosesual yang ditemukan di tengah masyarakat.
Nilai-nilai humanis yang dimiliki masyarakat yang diambil dari agama maupun institusi
lainnya merupakan suatu bentuk yang bertujuan menjaga keteraturan. Namun lambat laun
muncul konsekuensi yang luput dari tujuan tersebut, di mana ketika di dalam masyarakat
muncul keunikan yang memberikan warna lain dari warna yang selama ini diketahui dan
dianut masyarakat. Keunikan yang dimaksud ialah lahirnya homoseksual di tengah-tengah
masyarakat yang mayoritas heteroseksual. Konsekuensi yang terjadi adalah timbulnya bentuk
oposisi terhadap homoseksual yang minoritas, dan kemudian hal ini menjadi sebuah
pergolakan di dalam ruang sosial. Fenomena inilah yang saya sebut sebagai suatu bentuk
kegagalan di dalam pembentukan pranata yang luput dalam melihat kemungkinankemungkinan terjadinya hal-hal di luar prediksi.
Masyarakat menganggap hal ini sebagai suatu hal yang salah, tatkala mereka melihat seorang
wanita yang kemudian memadu kasih dan menjalin hubungan dengan seorang wanita juga
(lesbian). Namun perihal yang sebenarnya terjadi adalah konsep oposisi biner tidak bisa
lekang dari pikiran masyarakat. Mereka merasa bahwa seorang wanita seharusnya memadu
kasih dan menjalin hubungan dengan seorang pria. Hal ini saya lihat sebagai sebuah cara
berpikir masyarakat yang terjebak ke dalam bentuk (form). Berdasarkan form ini jugalah batas
toleransi masyarakat muncul ketika dihadapkan dengan permasalahan akan seksualitas.
Pada ruang sosial atau ruang publik, yang ‘ingin’ dilihat oleh masyarakat adalah seorang
wanita (bentuk fisik) dengan seorang pria (bentuk fisik). Saya mengatakan demikian karena
bila kita melihat seorang wanita yang kemudian terlihat mesra dengan seseorang yang
memiliki bentuk fisik wanita juga akan menjadi suatu keresahan tersendiri, tetapi jika ketika
melihat seorang wanita yang bermesraan dengan seseorang yang tampak seperti laki-laki hal
Konstruksi Heteronormativitas..., Rizky Fauzi, FISIP UI, 2012
ini bukan masalah. Jika kemudian kita tersadar yang kita lihat ternyata adalah seorang wanita
yang bermesraan dengan seorang wanita yang berpenampilan dan secara fisik menyerupai
laki-laki kemudian hal ini kembali menjadi suatu permasalahan.
Karena hal tersebut, maka saya berargumen bahwa sebenarnya masyarakat terlalu terikat dan
terjebak dengan form. Nilai-nilai dan konsep heterosentris kemudian menjadi norma yang
kemudian harus ditaati oleh masyarakat. Hal ini disebut dengan heteronormatif yang juga
banyak digunakan oleh homoseksual sendiri, karena dengan atau tidak sadar konsep ini nyata
masih melekat dalam kognitif ketika masih adanya pembagian peran di dalam hubungan
pasangan homoseksual.
Individu memiliki kekuasaan penuh akan tubuhnya pada ruang dan waktu tertentu. Hanya
pada ruang pribadi yang dibentuk oleh individu itu sendiri seseorang dapat memiliki hak
penuh serta kekuasaan akan tubuhnya sendiri. Maka dari itu hanya pada ruang pribadi inilah
seseorang dapat melakukan hal-hal yang dilarang oleh negara maupun pranata.
Homoseksual yang dianggap oleh publik sebagai penyalahgunaan tubuh kemudian hanya
beroperasi pada ruang-ruang tertentu yang biasanya bersifat pribadi. Dari perihal ini
kemudian dapat diasumsikan bahwa kepemilikan akan tubuh cenderung lebih besar dipegang
oleh negara dan pranata, karena individu sendiri pada umumnya lebih banyak menghabiskan
waktunya di ruang publik.
Permasalahan mengenai homoseksual dan tubuh terlihat pada saat mereka masuk ke ruang
publik. Homoseksual tidak dapat menunjukkan identitas dirinya sebagai seorang homoseksual
pada ruang publik, sementara ketika mereka memalsukan identitasnya mereka tidak dapat
menjadi dirinya sendiri. Hal ini dianggap oleh komuniti homoseksual sebagai suatu masalah
hukum bahwa mereka tidak mendapatkan haknya. Untuk itu banyak seminar dan unjuk rasa
dengan berbagai cara dan upaya yang dilakukan oleh komuniti homoseksual untuk
mendapatkan haknya. Di sinilah letak permasalahannya, komuniti homoseksual hanya ingin
mendapatkan kesetaraan haknya di masyarakat, dan membentuk pergerakan dengan berbagai
cara untuk memperoleh hak tersebut. Di dalam proses untuk memperjuangkan hak mereka,
komuniti homoseksual melakukan upaya memosisikan diri, pengadopsian identitas dan
menciptakan ruang sendiri.
Kesimpulan
Konstruksi Heteronormativitas..., Rizky Fauzi, FISIP UI, 2012
Sebagai seorang manusia biasa tentunya seorang lesbian juga memiliki lingkungan sosial
yang terdiri dari pranata-pranata seperti pranata pendidikan, pekerjaan, dan lain-lain. Namun
tidak pada semua pranata ini tentunya mereka mampu menjadi diri sendiri, karena adanya
sanksi sosial dari masyarakat sekitar ketika memiliki identitas sosial yang berbeda dari
kebanyakan masyarakat. Untuk itu, mereka hanya mengaktifkan identitas sosial mereka
sebagai seorang lesbian hanya pada pranata-pranata tertentu. Pengaktifan identitas ini
kemudian menjadi sebuah landasan bagi saya untuk melihat bagaimana mereka sebagai
sebuah subkultur berbatasan dengan kebudayaan dan kehidupan sosial masyarakat umum
sebagai mayoritas. Batasan ini saya lihat menggunakan cara pandang semiotika, karena
sebetulnya batasan ini bersifat kasat mata atau implisit (tidak disadari oleh informan).
Pengaktifan identitas muncul hanya pada ruang – ruang dan waktu - waktu tertentu, hanya
pada ruang dan waktu tertentu itulah seorang lesbian merasa aman dan nyaman untuk
menggunakan identitas tersebut. Ruang (space) dan waktu (time) kemudian menjadi sebuah
batasan bagi homoseksual lesbian sebagai sebuah subkultur. Berada pada institusi seperti
tempat bekerja atau tempat mengemban pendidikan membuat mereka tidak nyaman dan tidak
merasa aman untuk mengaktifkan identitas sosisal mereka sebagai seorang lesbian. Mereka
baru akan memunculkan identitas tersebut ketika sedang berada bersama dengan komunitas
LGBT atau ketika bersama dengan orang-orang terdekat yang sudah mengenal baik siapa
mereka. Selain itu juga terdapat ruang-ruang seperti kegiatan-kegiatan bersama anggota LSM
LGBT maupun acara-acara khusus untuk homoseksual dimana mereka baru merasa aman
untuk menggunakan identitas sosial mereka sebagai seorang lesbian.
Pengaktifan identitas tidak terjadi pada ruang-ruang publik seperti tempat mereka bekerja atau
tempat mereka belajar (universitas). Waktu berada bersama dengan masyarakat mayoritas,
seorang homoseksual lesbian kemudian melakukan upaya pemosisian diri, yaitu
menyesuaikan dengan kebudayaan dan nilai-nilai umum yang diterapkan di ruang publik.
Pada fase ini saya melihat bahwa identitas sosial mereka sebagai seorang lesbian tidak
digunakan, karena adanya upaya pembauran dengan masyarakat mayoritas. Maka dari itu,
pada fase ini mereka bukanlah seorang lesbian karena tidak ada pengaktifan identitas tersebut
di dalamnya, sehingga saya tidak bisa mengatakan bahwa dalam fase ini mereka berbatasan
dengan masyarakat. Namun ketika berada pada ruang dan waktu dimana mereka
mengaktifkan identitas lesbian barulah saya bisa mengatakan bahwa pada fase tersebut
mereka berbatasan dengan masyarakat mayoritas.
Konstruksi Heteronormativitas..., Rizky Fauzi, FISIP UI, 2012
Heteronormativitas sebagai sebuah konsep yang awalnya hadir pada relasi manusia
heteroseksual ternyata juga hadir pada relasi seorang lesbian di Indonesia. Konsep yang lahir
dari heteroseksual ini mengedepankan perbedaan, baik dari ciri fisiki maupun peran di dalam
hubungan, hingga kepada karakter dari individu masing-masing ketika menjalankan sebuah
hubungan.
Lesbian di Indonesia ternyata tidak luput dari penggunaan konsep ini dalam relasi
berpasangan. Para lesbian yang kemudian menganut konsep heteronormativitas, dimana ia
harus berpasangan dengan lawan gendernya (butch-femme). Bahwa ada keharusan ketika ia
merupakan seorang butch untuk mencari pasangan seorang femme dan sebaliknya. Di dalam
hubungan tersebut jelas ada suatu dorongan untuk mencari perbedaan dalam berpasangan.
Baik dari ciri fisik, membedakan peran dalam berpasangan, membedakan karakter pun
menjadi tolok ukur dalam menjalin sebuah hubungan. Adanya pemikiran bahwa
heteronormativitas harus diberlakukan dalam relasi berpasangan muncul pada mereka yang
menganut konsep ini dan menerapkannya dalam kehidupan pribadi.
Hal tersebut namun bukan suatu hal yang sifatnya absolut atau pasti. Ada pula seorang lesbian
yang tidak menganut heteronormativitas. Bahwa tidak perlu adanya perbedaan ciri fisik,
perbedaan peran ataupun karakter dalam berpasangan atau mencari pasangan. Hal yang
diutamakan bukanlah perihal-perihal tersebut, melainkan perasaan kenyamanan dalam
berpasangan. Bagaimanapun ciri fisik atau peran dan karakter bukanlah suatu perkara, yang
penting dirinya sebagai seorang lesbian merasa nyaman ketika menjalin hubungan dengan
pasangannya dan terdapat kesetaraan kekuasaan di dalamnya. Jadi, ternyata ditemukan pula
bentuk-bentuk relasi berpasangan lesbian yang tidak menganut konsep heteronormativitas
karena kesetaraan hak dan kewajiban ataupun kesetaraan kekuasaan dalam menjalin
hubungan yang menjadi perhatian utama.
Lesbi sebagai sebuah subkultur kemudian ditekan oleh masyarakat. Lesbi dianggap sebagai
suatu hal yang kriminal, dianggap gila dan tak layak keberadaannya di masyarakat. Karena
dianggap berbeda dari mayoritas masyarakat yang heteroseksual, maka kemudian lesbi
mengalami represi seksual. Represi seksual ini kemudian membuat lesbi tidak dapat comingout di ruang publik. Represi seksual kemudian membuat lesbi melakukan berbagai upaya
ketika berada pada ruang publik. Berbagai upaya memosisikan diri dilakukan. Hal ini terjadi
karena manusia sebagai individu yang hidup dalam suatu Negara tidak dapat berlaku bebas
akan tubuhnya. Tubuh manusia tidak hanya dimiliki oleh inidividu manusia itu sendiri,
Konstruksi Heteronormativitas..., Rizky Fauzi, FISIP UI, 2012
namun juga milik Negara. Tubuh manusia diatur dengan norma oleh Negara ketika berada di
ruang publik. Sehingga manusia sendiri hanya dapat berlaku bebas dengan tubuhnya ketika ia
berada pada ruang-ruang pribadi di mana Negara tidak dapat menyentuh.
Kendala utama diluar penerapan konsep heteronormativitas dalam sebuah hubungan
homoseksual lesbi adalah, menjadi seorang lesbian di tengah masyarakat yang mayoritas
heteroseksual merupakan hal yang tidak mudah. Adanya pengucilan dari masyarakat dan
pendiskriminasian membuat menjadi seorang lesbi tidak nyaman dan merasa tidak aman.
Untuk itu, upaya-upaya pemosisian diri dan pengaktifan identitas sangat diperhatikan untuk
mengatasi hal tersebut ketika berada di ruang publik.
Saran
Penulisan ini bertujuan untuk menambah referensi bagi orang yang ingin melakukan
penelitian serupa. Saya berusaha untuk memberikan referensi mengenai pembentukan
identitas dan bagaimana mengidentifikasi identitas manusia yang multi-layer. Dengan
pendekatan semiotika penelitian ini diharapkan juga dapat menggambarkan batasan-batasan
kompleks di dalam sebuah subkultur homoseksual. Hal lain yang diharapkan adalah mampu
untuk memperkaya ilmu-ilmu mengenai subkultur dan identitas, serta menjadi pertimbangan
pemerintah untuk memberikan ruang hidup dan perlakuan yang adil terhadap lesbian di
Indonesia. Kendala yang saya hadapi dalam penelitian ini adalah sulitnya mencari informan,
terutama untuk mereka yang tidak tergabung ke dalam keanggotaan LSM LGBT. Informan
biasanya enggan untuk diwawancara karena adanya perasaan tidak aman atau ketakutan akan
dipublikasikannya cerita mengenai mereka sebagai seorang lesbi kepada publik. Saran saya
untuk menambah dan melengkapi hasil penelitian serupa adalah fokus mendalami
pengaplikasian konsep heteronormativitas itu sendiri di antara homoseksual lesbi penganut
heteronormativitas dan yang tidak menganut heteronormativitas, serta referensi informan
yang lebih luas untuk mendukung hasil penelitian yang lebih komprehensif.
Daftar Referensi
Buku:
Ardhanary Institute. (2009).“Semua Tentang Lesbian”, Jakarta: Ardhanary Institute.
Konstruksi Heteronormativitas..., Rizky Fauzi, FISIP UI, 2012
Chaney, David C. (1994). The Cultural Turn: Scene-Setting Essays on Contemporary
Cultural History. New York: Routledge.
Foucault, Michel. (1988). Kegilaan dan Peradaban. Yogyakarta: Ikon Teralitera.
Foucault, Michel. (1990). La Volonte de Savoir: Histoire de la Sexualite (Ingin Tahu: Sejarah
Seksualitas). Yayasan Obor Indonesia.
Hebdige, Dick. (1979). Subculture: The Meaning of Style. Methuen & Co. Ltd.
Kartono. (1989). Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta: Rajawali Press.
Kartono. (1992). Pengantar Ilmu Mendidik Teoritis. Bandung: Mandar Maju.
Turner, Terence. (1985). Animal Symbolism, Totemism, and the Structure of Myth. Salt Lake
City: University of Utah Press.
Wieringa, Saskia E. & Evelyn Blackwood. (2009). Hasrat Perempuan: Relasi Seksual Sesama
Perempuan dan Praktek Perempuan Transgender di Indonesia. Jakarta: Ardhanary
Institute; HIVOS.
Yinger, J. Milton. (1982). Countercultures: The Promise and Peril of a World Turned Upside
Down. New York: Free Press.
Internet:
http://www.banap.net/spip.php?article86 01/ 05/ 2013, 14.55
http://www.ardhanaryinstitute.org/ 11/ 10/ 2011, 11.23
Jurnal:
American Psychiatric Association.(2000)."Gay, Lesbian and Bisexual Issues".Association of
Gay and Lesbian Psychiatrics).
PEDIATRICS Vol. 113 No. 6 June 1, 2004 pp. 1827 -1832,
(http://pediatrics.aappublications.org/content/113/6/1827.full.pdf+html)
The [[Coming Out]] Continuum", Human Rights Campaign, arsip orisinil pada 2 November
2007dan diperbaharui pada 4 Mei 2007.
Konstruksi Heteronormativitas..., Rizky Fauzi, FISIP UI, 2012
Download