6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1.1 Virus Influenza Tipe A Virus

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1.1 Virus Influenza Tipe A
Virus influenza tipe A adalah virus RNA, famili Orthomyxoviridae dari
genus Orthomyxovirus yang menyebabkan penyakit avian influenza. Virus ini
merupakan virus yang mempunyai envelop, berpolaritas negatif, dan genomnya
bersegmen. Masing-masing segmen dari virus influenza tipe A terdiri delapan
segmen gen yang berbeda dan mengkode sekitar 10 protein virus yang berbeda
(Palese dan Shaw, 2007).
Struktur protein dalam virion saat ini dapat dibagi kedalam protein
permukaan yang meliputi Hemaglutinin (HA), Neuraminidase (NA) dan protein
ion chanel membran (M2), sedangkan protein dalam, termasuk nukleoprotein
(NP), protein matriks (M1), dan kompleks polimerase terdiri dari polimerase
protein dasar 1 (PB1), polimerase protein dasar 2 (PB2), dan polimerase protein
asam (PA) (Palese dan Shaw, 2007). Dua protein tambahan yang dihasilkan oleh
virus AI adalah protein nonstruktural, protein nonstruktural 1 (NS1) dan protein
nonstruktural 2 (NS2), yang juga dikenal sebagai nuclear export protein (NEP)
(O’Neill et al., 1998).
Protein nonstruktural 1 (NS1) dianggap ada meskipun protein
nonstruktural itu tidak ditemukan dalam partikel virus tetapi di produksi dalam
jumlah besar di sel host (Birch-Machin et al., 1997; dan Subbarao et al., 1998).
Protein nonstruktural 2 (NS2) terutama ditemukan dalam sel inang, tetapi
6
7
beberapa protein dapat ditemukan dalam virion (Palese dan Shaw, 2007). Salah
satu protein yang tidak ditemukan di semua virus influenza tipe A adalah protein
PB1-F2, yang merupakan protein 87-amino acid yang di transkripsi dari kerangka
pembacaan yang berbeda dari protein PB1. Protein ini diduga terlibat dalam
apoptosis dalam sel inang dan berperan dalam menentukan pathogenesis virus
(Chen et al., 2001).
Virus influenza tipe A memiliki bermacam-macam subtipe, adanya
variasi beberapa subtipe berdasarkan kombinasi dua antigen permukaan utama
yaitu Hemaglutinin (HA) dan Neuraminidase (NA). Saat ini ada 17 subtipe HA
(H1-H17) dan 10 subtipe NA (N1-N10) yang diketahui setelah penemuan terbaru
dari genom virus influenza tipe A, subtipe baru ini diidentifikasi dari kelalawar,
H17N10 (Tong S, et al., 2012). Daerah eksternal Hemaglutinin (HA) terdiri dari
oligosakharida yang menyalurkan derivate neuraminik yang memainkan peran
penting dalam masuknya virus serta berfusinya virus, dan Neuraminidase (NA)
berperan dalam pelepasan virus (Liu et al., 1995; dan Russell et al., 2008).
Penyusunan virion virus AI di perankan oleh protein matriks yang mana
protein M2 bersama dengan protein HA dan NA berfungsi sebagai saluran ion dan
untuk menyusun struktur amplop virus, sedangkan protein M1 berfungsi dalam
pemisahan protein M1 dari RNP untuk masuk ke sitoplasma sel tropisma (Reid et
al., 2002). PB1, PB2, PA berfungsi untuk membentuk polimerase RNA-RNA
aktif yang bertanggung jawab untuk replikasi dan transkripsi. Pengaturan dalam
mendorong sintesis komponen-komponen virus dalam sel yang terinfeksi
diperankan oleh protein NS1 dan NS2 (Gurtler, 2006).
8
Virus AI memiliki dua mekanisme utama untuk memberikan keragaman
dalam populasi virus, mekanisme tersebut dapat berupa antigenic drift dan
antigenic shift. Pada antigenic drift mengacu pada perubahan kecil (seperti
subtitusi asam amino pada HA dan atau NA) yang mengakibatkan perubahan
tempat antigenik. Sebaliknya, antigenic shift adalah bertanggung jawab dalam
pembentukan virus subtipe baru dengan kombinasi dari HA dan NA dari subtipe
yang berbeda. Seleksi dalam lingkungan memainkan peran yang sangat penting
dalam terjadinya perubahan antigenik pada antigen bagian HA, seperti pada
tempat-tempat yang mengalami perubahan adaptasi dan pada tempat antigenik
yang mengalami subtitusi, sehingga terjadilah perubahan dalam antigenisitas
virus, bahwa proses ini merupakan sisi pathogen untuk menghindari dari
pertahanan host melalui co-evolusi dengan host (Blackburne et al., 2008).
1.2 Virus Avian Influenza Subtipe H5N1
Virus AI subtipe H5N1 merupakan penyakit hewan menular yang
bersifat zoonosis. Virus AI subtipe H5N1 merupakan virus yang dapat
menyebabkan penyakit influenza pada hewan piaraan jenis unggas dan mamalia
seperti kuda, babi, dan manusia (Boyce et al., 2008).
Pada tahun 1997 dunia dikejutkan dengan wabah HPAI di Hong Kong
yang disebabkan oleh virus AI subtipe H5N1, dan menular pada manusia dengan
enam kasus meninggal (Suarez et al., 1998). Kejadian tersebut menyebabkan
virus AI subtipe H5N1 menjadi perhatian utama kematian pada manusia sangat
dikhawatirkan menjadi wabah pandemik yang berbahaya bagi umat manusia di
9
belahan bumi ini. Beberapa tahun terakhir perhatian dunia kesehatan hewan dan
manusia terpusat kepada semakin mewabahnya penularan virus AI subtipe H5N1
yang telah menyebabkan kerugian perekonomian yang cukup besar baik pada
industri peternakan unggas di dunia maupun di Indonesia pada khususnya. Selain
itu, jumlah kasus kematian infeksi AI subtipe H5N1 pada manusia bertambah
setiap tahun dan sampai saat ini, AI masih menjadi masalah yang serius yang
perlu mendapatkan perhatian yang khusus mengingat korban meninggal akibat
infeksi virus ini terus bertambah (WHO, 2012).
Virus AI subtipe H5N1 telah mengalami beberapa kali mutasi yang
menyebabkan terjadinya perbedaan pathogenesis virus. Analisis genetik
menunjukkan bahwa sebagian besar virus AI subtipe H5N1 dari unggas dan
manusia di Asia termasuk dalam genotip Z, serupa dengan virus yang pertamakali
diidentifikasi pada unggas di China Selatan (Guan et al., 2004). Virus AI subtipe
H5N1 kemungkinan dapat menyebabkan beberapa pandemik influenza karena
sifat virus yang mudah mengalami mutasi. Mutasi dari virus AI subtipe H5N1
kemungkinan besar dapat menghasilkan varian virus AI subtipe H5N1 baru yang
dapat mengenali reseptor spesifik yang ada pada sel manusia (natural human α 26 glycan), sehingga jikalau hal ini terjadi, maka penularan virus AI subtipe H5N1
dari manusia ke manusia dapat terjadi dengan mudah dan dengan adanya
kemungkinana tersebut virus AI subtipe H5N1 dapat mengancam kondisi global
kesehatan manusia (Stevens et al., 2006).
10
1.3 Pathogenesis
Virus AI memiliki dua tingkat pathogenitas berdasarkan genetic
sequance dan kemampuan menimbulkan penyakit pada unggas yakni HPAI dan
LPAI. Virus AI pathogenitas tinggi (HPAI) termasuk virus yang mampu
menyebar dengan cepat dan dapat menyebabkan penyakit yang serius dengan
tingkat kematian yang tinggi, sedangkan virus avian influenza unggas
berpathogenitas rendah (LPAI) menyebabkan penyakit yang ringan yang
kemungkinan besar tidak menunjukkan gejala jika terjadi infeksi pada unggas
(Perdue dan Swayne, 2005).
Virus AI dapat ditularkan melalui berbagai cara sehingga dapat masuk ke
tubuh host, tanpa adanya gejala klinis ataupun dengan menimbulkan gejala klinis
bahkan terjadi kematian pada host yang terinfeksi. Saat virus menginfeksi host
dan masuk kedalam sel host, maka akan terjadi pengkopian dari RNA berpolaritas
negatif kedalam penyandian mRNA, dan proses ini adalah bagian terpenting dari
segi siklus hidup virus. Ketika virus endositosis kedalam sel rentan, segmen RNA
dilepaskan kedalam sel untuk memulai infeksi, dengan proses itu menyebabkan
penurunana pH dalam vesikel endosit dan penggabungan membran virus dengan
membran vesikel (Lamb et al., 2001; Vaccaro et al., 2005).
Untuk membuat virus baru, RNA virus dilepas sebagai kompleks
Nukleoprotein-RNA (NP), kemudian bersama protein lain menuju nukleus. Tiga
protein polimerase besar (hampir 50 % dari total informasi genetik) mulai
berfungsi setelah RNA virus mencapai inti, dengan membuat RNA positif atau
mRNA maupun dari template untuk membuat molekul RNA antisense baru yang
11
akan di kemas dalam pembentukan partikel virus yang baru. Menurut Noda et al.
(2006), untuk mendapatkan titer virus yang tinggi dalam waktu singkat kompleks
NP-RNA merupakan kunci utama.
Fungsi gen lainya adalah membantu mengatur pembuatan dan perakitan
dari partikel virus setelah memulai proses dari produksi mRNA. Sintesis protein
struktural virus ditentukan oleh empat gen yakni dua gen penyandi protein
permukaan (HA dan NA), serta dua gen penyandi protein dalam (M1dan NP).
Tiga kategori utama dari gen dalam virus avian influenza dapat diklasifikasikan
secara luas sebagai (1) gen sintesis RNA, (2) gen regulatory (pengaturan), dan (3)
gen protein struktural. Kategori ini penting sebagai penentu variasi genetik untuk
pathogenesis dari virus avian influenza. Yang paling penting adalah jenis
variabilitas genetik yang terjadi pada berbagai gen yang mempengaruhi berbagai
tahapan siklus hidup virus serta berpengaruh pada pathogenesitas virus (Swyne,
2008).
2.4 Avian Influenza Pada Ayam
AI dilaporkan pertamakali sebagai kejadian yang sangat mematikan dan
bersifat sistemik pada ayam di Itali pada tahun 1878, yaitu HPAI (Perroncito,
1878). AI merupakan penyakit sistemik hebat yang sering disebut dengan istilah
fowl plague atau fowl pest, akan tetapi nama lain juga telah digunakan, termasuk
peste aviaire, Geflugelpest, tyhpus exudatious gallinarium, Brunswick bird
plaque, fowl atau bird grippe (Stubbs, 1926).
12
Di Indonesia kasus AI terjadi pertamakali pada ayam ras komersial,
kasus ini menyebabakan kematian pada banyak ayam. Di Indonesia AI
pertamakali dilaporkan telah terjadi di Jawa Barat dan Jawa Tengah, kemudian
secara cepat menyebar ke berbagai daerah di Jawa, Kalimantan, Sumatra,
Lampung, dan Bali (Kandun, 2006; Mahardika et al., 2004; Smith et al., 2006).
Virus AI merupakan virus yang sangat berbahaya, bersifat zoonosis dan
mematikan, baik pada unggas (ayam) ataupun pada manusia. Virus ini telah
dilaporkan dapat menginfeksi manusia dan ditransmisikan secara langsung dari
unggas (ayam) ke manusia di Hongkong, dan menyebabkan enam orang
meninggal dari 18 orang yang terinfeksi virus tersebut (Claas et al., 1998;
Shortridge et al., 1998; Subbaro et al., 1998; Katz et al., 2000). Pada ayam, virus
AI menyebabkan gejala klinis yang sangat bervariasi, mulai dari infeksi yang
bersifat asimptomatik sampai infeksi yang berakibat fatal dan bersifat
multisistemik (Swayne dan Suarez, 2000).
2.5 Avian Influenza Pada Unggas Air (Itik)
Unggas air dapat terinfeksi oleh semua subtipe virus influenza tipe A,
dengan sedikit atau tanpa menunjukkan gejala (Woebser, 1997). Unggas air, salah
satunya itik memainkan peranan penting dalam pemeliharaan dan penyebaran
virus avian influenza yang termasuk golongan LPAI (Olsen et al., 2006), tetapi
penelitian eksperimental menunjukkan bahwa itik mungkin memainkan peran
dalam pemeliharaan virus HPAI subtipe H5N1. Itik yang terinfeksi dapat tidak
menunjukkan tanda-tanda klinis namun dapat mengekskresikan virus dengan
13
konsentrasi tinggi yang bersifat pathogen pada spesies unggas lainya (Hulse-Post
et al., 2005).
Replikasi virus AI pada itik terjadi terutama pada saluran pencernaan
(usus), dengan konsentrasi virus low pathogenic dalam feses (Webster et al.,
2002). Akibatnya, terjadilah transmisi lokal LPAI pada unggas air yang
tergantung pada transmisi melalui tinja (Hinshaw et al., 1979,1980), sedangkan
penyebaran secara geografis dari virus AI sebagian besar tergantung pada pola
dari pelepasan virus dan prilaku migrasi unggas yang terinfeksi (Lebarbenchon et
al., 2009).
Burung liar juga merupakan reservoir alami dari virus AI, kemungkinan
besar spesies burung liar menumpahkan sebagian besar virus HPAI subtipe H5N1
tanpa menunjukkan gejala klinis (Tumpey et al., 2012), kejadian tersebut
memungkinkan dapat menambah tingkat terjadinya transmisi penyebaran virus AI
subtipe H5N1 pada unggas air dan menyebabkan ketidakseimbangan diantara
virus influenza A dengan unggas air (itik) (Sturm-Ramirez, 2005).
Ketidakseimbangan antara unggas air (itik) dengan virus AI subtipe
H5N1 memungkinkan dapat menyebabkan terjadinya perubahan virulensi virus
AI subtipe H5N1 karena sifat virus AI yang mudah mengalami mutasi. Mutasi,
termasuk subtitusi, delesi, dan insersi adalah salah satu mekanisme paling penting
dalam menghasilkan variasi virus AI (Holland et al., 1982).
14
2.6 Imunohistokimia (IHK)
IHK telah muncul sebagai suatu teknik penelusuran kuat yang dapat
memberikan informasi tambahan untuk penilaian rutin morfologi jaringan. IHK
digunakan untuk mempelajari penanda seluler yang menentukan fenotipe tertentu
yang dapat memberikan suatu kepentingan diagnosis, prognosis, dan prediksi
sebuah informasi yang berkaitan tentang status dan biologis penyakit. Penggunaan
antibodi untuk kajian molekuler dan patologi jaringan dapat di sempurnakan
dengan teknik IHK (Key, 2009).
Menurut Snider, (2013) pendekatan dalam deteksi antigen-antibodi
sebagai dasar dari IHK terbagi menjadi dua, yaitu dengan deteksi langsung dan
tidak langsung, dan dalam pemilihan pendekatan yang digunakan tergantung pada
tingkat target ekspresi antigen. Dalam deteksi antibodi secara langsung, antibodi
terhadap antigen target (antibodi primer) adalah penghubung dengan sebuah
enzim. Enzim yang paling sering digunakan adalah Horseradish Peroxidase
(HRP) atau Alkaline Phosphatase (AP). Kerja enzim ini yang akan diaktifkan
dengan penambahan substrat. Pada deteksi langsung tidak memerlukan langkah
tambahan untuk penambahan antibodi sekunder. Kelemahan teknik ini
kemungkinan sulit untuk dideteksi jika protein yang ditemukan dalam jumlah
sedikit.
Pada metode IHK tidak langsung, deteksi menggunakan antibodi skunder
yang bereaksi dengan antibodi primer berlabel untuk memperkuat sinyal, dengan
demikian sensitifitas unji meningkat, antibodi skunder lazimnya berlabel enzim
HRP/AP kemudian direaksikan dengan subtrat untuk menghasilkan kromogenik
15
(Snider, 2013). Metode IHK tidak langsung dapat dilakukan dengan beberapa cara
misalnya: Avidin-Biotin Compleks (ABC), Labeled Streptavidin Biotin (LSAB),
dan Phosphatase-Anti-Phospatase (PAP) (Boenisch, 2001).
Pewarnaan IHK dengan metode avidin-biotin-peroksidase kompleks
(ABC) yang melibatkan penggunaan antibodi skunder berlabel biotin diikuti oleh
penambahan dari avidin-biotin-peroksidase kompleks, memberikan hasil lebih
baik ketika di bandingkan dengan metode antibodi yang tidak berlabel.
Terdapatnya tempat ikatan dari biotin secara kompleks dihasilkan karena avidin
dengan peroksidase berlabel biotin (Boenisch, 2001).
Dalam pembentukan kompleks, avidin berfungsi sebagai jembatan antara
molekul peroksidase berlabel biotin, molekul peroksidase berlabel biotin, yang
mengandung beberapa gugus biotin, berfungsi sebagai penghubung antara
molekul avidin. Akibatnya, sebuah pola-pola kompleks yang mengandung
beberapa molekul peroksidase kemungkinan terbentuk. Ikatan dari kompleks ini
pada gugus biotin berhubungan dengan antibodi sekunder hasil atas pewarnaan
dengan intensitas yang tinggi (Hsu et al., 1981).
Dalam metode yang sama, metode LSAB juga menggunakan antibodi
sekunder biotinylated. Dimana antibodi skunder akan menghubungkan antibodi
primer untuk menghubungkan streptavidin-peroksidase, akan tetapi kompleks
yang terbentuk lebih kecil dari pada kompleks yang terbentuk oleh metode ABC,
dan itu sulit dijangkau epitop, jadi metode LSAB memiliki tingkat sensitifitas
lebih baik dari pada metode ABC (Chilosi et al., 1994). Kedua metode tersebut
16
dilihat perbedaanya berdasarkan ikatan dari avidin-biotin kompleks dan
streptavidin-biotin (Gambar 2.1).
Gambar 2.1 A) Metode Avidin-Biotin Complex (ABC), B) Metode Labeled
Streptavidin Biotin (LSAB). Sumber: Handbook IHC Staining Method, DAKO
(2009).
Avidin adalah glikoprotein dan memiliki titik isoelektrik (pl) berkisar 10,
ini memiliki kecenderungan untuk mengikat secara khusus seperti lektin dan
komponen jaringan yang bermuatan negatif pada pH fisiologis. Streptavidin
memiliki titik isoelektrik yang lebih netral dan tidak memiliki gugus karbohidrat.
Perbedaan-perbedaan ini mengakibatkan kurang spesifik dalam pengikatan
jaringan. Molekul biotin adalah konjugasi yang mudah untuk antibodi dan enzim.
Dalam metode ABC antibodi sekunder adalah penghubung untuk biotin dan
berfungsi sebagai penghubung diantara antibodi primer jaringan yang terikat dan
sebuah avidin-biotin-peroksidase kompleks (Heras et al., 1995).
Pada teknik imunohistokimia antibodi yang biasanya digunakan adalah
antibodi monoklonal, dimana antibodi monoklonal adalah antibodi monospesifik
yang dapat mengikat satu epitope saja. Bahwasanya antibodi monoklonal
memiliki antigen binding surface yang sama (Sudiana, 2005).
Download