ISOLASI DAN IDENTIFIKASI VIRUS Avian influenza ASAL BEBEK

advertisement
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2008
ISOLASI DAN IDENTIFIKASI VIRUS Avian influenza
ASAL BEBEK
(Isolation and Identification of Avian Influenza Virus from Ducks)
HARIMURTI NURADJI, L. PAREDE dan R.M.A. ADJID
Balai Besar Penelitian Veteriner, Jl. R.E. Martadinata No. 30, Bogor 16114
ABSTRACT
Ducks are considered to play an important role as a major reservoir for avian influenza viruses. Isolation
and identification of the virus were conducted by collecting tracheal and cloacal swabs (or faeces), inoculated
into Specific Pathogen Free (SPF) Embryonating Chicken Eggs (ECE’s) for 10 – 12 days. Amnio-allantoic
Fluid (AAF) was tested by using haemaglutination (HA) and haemaglutination inhibition (HI) methods as
well as commercial rapid test for avian influenza. Results indicated that 3 out of 62 collected (4.84%) samples
contain viruses which killed ECE’s within 20 – 24 hours post inoculation. Based on serological test, the
isolates were not Newcastle Disease (ND) as well as Egg Drop Syndrome (EDS). Thus, it can be concluded
that the virus is Avian Influenza H5N1 and duck as reservoir of this virus.
Key Words: Ducks, Avian Influenza, Isolation, Identification, H5N1
ABSTRAK
Bebek sebagai salah satu jenis unggas air, diduga memainkan peran yang sangat penting sebagai reservoir
virus avian influenza. Isolasi dan identifikasi virus asal bebek dilakukan dengan mengambil swab trakhea dan
kloaka (atau feses) yang kemudian diisolasi ke dalam telur Specific Pathogen Free (SPF) bertunas umur
10 – 12 hari. Cairan Amnio-allantoic diuji secara cepat dengan metoda haemaglutination (HA) dan
haemaglutination inhibition (HI) serta menggunakan perangkat uji cepat komersial. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa 3 sampel dari 62 sampel (4,84%) mengandung virus yang mampu membunuh telur
20 – 24 jam setelah inokulasi. Berdasarkan pemeriksaan secara serologis, virus bukan Newcastle Disease
(ND) dan Egg Drop Syndrome (EDS). Sehingga dapat disimpulkan bahwa virus tersebut merupakan Avian
Influenza H5N1 dan bebek dapat dibuktikan sebagai reservoir virus ini.
Kata Kunci: Bebek, Avian Influenza, Isolasi, Identifikasi, H5N1
PENDAHULUAN
Penyakit Avian Influenza atau lebih dikenal
sebagai penyakit flu burung merupakan
penyakit yang sangat infeksius dan merupakan
penyakit yang bisa menular ke manusia.
Penyakit ini menginfeksi tidak hanya burung
yang telah didomestikasi saja tetapi juga
burung-burung liar dan unggas air (SWAYNE et
al, 1998). Gejala klinis yang ditimbulkan dari
penyakit ini berupa gangguan pernafasan,
depresi, penurunan nafsu makan dan minum,
penurunan produksi dan kualitas telur serta
menyebabkan kematian yang sangat tinggi
hingga 100% (SWAYNE dan HALVORSON,
2000).
684
Penyebab penyakit ini adalah virus
Influenza type A yang termasuk dalam keluarga
Orthomyxoviridae, mempunyai ukuran 80 –
120 nm, bersegmen dan mempunyai genom
ssRNA linear berpolaritas negatif (SWAYNE et
al. 1998; SWAYNE dan HALVORSON, 2000).
Menurut FENNER et al. (1993) virus Influenza
A dibedakan subtipenya, yang semuanya
mempunyai nukleoprotein dan protein matriks
yang berkerabat tetapi berbeda dalam
heamaglutinin (H) dan atau neuromidasenya
(N). Hingga saat ini ada 16 subtipe H (H1 –
H16) dan 9 subtipe N (N1 – N9) yang
diketahui (OIE, 2005). Secara umum penyakit
ini dibedakan dalam dua bentuk yaitu Highly
Pathogenic
Avian
Influenza
(HPAI)
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2008
yang sangat patogen dan Low Pathogenic
Avian Influenza (LPAI) yang tidak patogen
(SWAYNE et al. 1998; OIE, 2005; SWAYNE dan
HALVORSON, 2000).
Virus Influenza A baik highly pathogenic
maupun low pathogenic dapat menginfeksi
pada berbagai jenis unggas (OIE, 2005).
Menurut SWAYNE dan HALVORSON (2000)
unggas air dan burung pantai (liar maupun
yang telah didomestikasi) adalah reservoir
alami utama dari virus influenza. Tidak terlihat
gejala klinis pada unggas ini, tetapi hewan
tersebut mungkin mengeluarkan virus di dalam
feses untuk jangka waktu yang lama dan
unggas tersebut mungkin juga terinfeksi lebih
dari satu subtipe serta sering tidak
menunjukkan respon antibodi. Kasus Avian
Influenza biasanya muncul pada ternak
komersial setelah kontak dengan unggas –
unggas tersebut. Dari unggas tersebut yang
paling sering menjadi sumber virus Avian
Influenza adalah dari ordo Anseriformes (bebek
dan angsa) dan Charadriiformes (burung
pantai, camar), yang dianggap sebagai reservoar
genetik dari semua virus Avian Influenza.
Penelitian ini bertujuan untuk mengisolasi
virus Avian Influenza asal bebek dan
mengidentifikasi virus tersebut secara serologis
dengan menggunakan metoda haemaglutination
(HA) dan haemaglutination inhibition (HI) dan
dikonfirmasi dengan menggunakan perangkat
uji cepat komersial. Dari hasil tersebut akan
dapat memberikan gambaran potensi bebek,
sebagai salah satu jenis unggas air, sebagai
reservoar virus Avian influenza.
MATERI DAN METODE
Koleksi sampel
Koleksi sampel dari ternak di lapangan
mengacu pada standar dari OIE (2005) dan
SWAYNE et al. (1998) dengan berbagai
penyesuaian.
Lokasi pengambilan sampel yaitu di
beberapa peternakan bebek rakyat dan pasar
unggas di Jawa Tengah dan Jawa Barat.
Sampel yang dikoleksi berupa swab kloaka
(atau feses) dan trakhea dari bebek dengan
menggunakan swab kering dan steril. Sampel
untuk isolasi kemudian dimasukkan ke dalam
1.5 – 2 ml medium transport steril yang
mengandung antibiotik dan 1% foetal calf
serum (FCS). Selama dalam perjalanan sampel
disimpan dalam kondisi dingin dengan
meletakannya di dalam cool box yang selalu
dijaga suhunya dengan menggunakan es.
Ketika isolasi tidak bisa segera dilakukan
sampel disimpan pada suhu 4°C untuk periode
sampai 8 hari atau pada suhu – 20°C atau –
80°C untuk waktu yang lebih lama.
Isolasi virus penyebab penyakit
Isolasi virus dari sampel yang didapat dari
lapangan dilakukan sesuai dengan OIE (2005),
BARRET dan INGLIS (1985); SWAYNE et al.
(1998) dan SENNE (1998) dengan berbagai
penyesuaian.
Suspensi dari swab trakhea dan kloaka atau
feses disentrifuse dengan kecepatan rendah
(500 – 1500 x g) dan diletakkan pada suhu
ruang selama 15 – 60 menit sebelum
diinokulasikan.
Supernatan
kemudian
diinokulasikan ke dalam cairan alantois telur
Spesific Pathogen Free (SPF) berembrio umur
10 – 12 hari sebanyak 0,1 – 0,3 ml dan
diinkubasikan pada suhu 35 – 37°C dengan
kelembaban relatif 60 – 70% selama 3 – 7 hari.
Pemeriksaan cepat (HA dan meggunakan
komersial test kit)
Telur yang mengandung embrio yang mati
atau sedang mati (morribund) dan juga semua
telur yang tersisa setelah waktu inkubasi
didinginkan pada suhu 4°C selama 4 – 18 jam
atau pada suhu –20°C selama 30 menit dan
Amnio-allantoic Fluid (AAF) kemudian diuji
aktifitas HA, yang dapat mengindikasikan
keberadaan virus Influenza A (BARRET dan
INGLIS, 1985; OIE, 2005). Cairan AAF yang
menunjukkan hasil negatif selanjutnya
diinokulasikan kembali dengan menggunakan
media dan teknik yang sama (SWAYNE et al.,
1998).
AAF kemudian diuji menggunakan
perangkat uji cepat komersial (menggunakan
Fludetect; komersial rapid test dari Synbiotics)
sebagai konfirmasi awal untuk mendeteksi
keberadaan virus Influenza A (SWAYNE et al.,
1998; OIE, 2005).
685
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2008
Pembuatan antigen inaktif
Pembuatan antigen inaktif dilakukan sesuai
dengan prosedur OIE (2005) dengan beberapa
penyesuaian yaitu dengan menggunakan
alantoic fluid dari telur SPF atau SAN yang
telah diinokulasi dengan virus stok. Setelah
dipanen kemudian cairan alantois ditambah
dengan formaldehyde dengan konsentrasi akhir
1/1000 atau dengan menambah betapropiolacton dengan konsentrasi akhir 1/1000
– 1/4000. Waktu yang diperlukan harus cukup
untuk memastikan bebas dari virus hidup.
Untuk menguji efikasi proses inaktifasi, 0,2 ml
suspensi antigen inaktif diinokulasikan ke telur
SPF atau SAN berembrio.
Uji haemaglutination (HA)/
haemaglutination inhibition (HI)
Pengujian HA, HI terhadap virus yang telah
diisolasi dilakukan sesuai dengan prosedur dari
OIE (2005) dan THAYER dan BEARD (1998).
Virus yang diperoleh kemudian diukur nilai
titer hemaglutinasinya dengan mengecerkan ke
dalam plate dan ditambah PBS sebanyak 25 µL
dan SDM ayam 1% dengan volume yang sama.
Uji HI dilakukan dengan menggunakan 3
standar antisera yang tersedia di BBalitvet
yaitu serum spesifik anti AI subtipe H5N1
isolat tahun 2003, ND dan EDS. Timbulnya
penghambatan aktivitas hemaglutinasi oleh
antisera tersebut terhadap virus yang telah
diisolasi memungkinkan untuk menentukan
jenis virus dan mengidentifikasi subtipe dari
virus tersebut.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Isolasi dilakukan dengan menginokulasikan
spesimen ke dalam telur embrio bertunas umur
10 – 12 hari yang kemudian diinkubasi selama
3 – 7 hari. (OIE ,2005; BARRET dan INGLIS,
1985; SWAYNE et al.,1998; SENNE, 1998). Dari
hasil isolasi tersebut (total 62 sampel yang
didapat) terdapat 3 sampel (kode: H37, H39
dan H41) yang mampu membunuh telur antar
20 – 24 jam setelah inokulasi. BARRET dan
INGLIS (1985) mengatakan bahwa virus Highly
Pathogenic Avian Influenza membunuh telur
maksimum antara 24 – 26 jam setelah
inokulasi.
Secara
makroskopis
terlihat
perubahan pada embrio berupa pendarahan dan
berwarna kemerahan, sedangkan untuk telur
kontrol terlihat normal dan tidak ada
pendarahan (Gambar 1).
Gambar 1. Lesi embrio yang terinfeksi (H37, H39 dan H41) secara makroskopis terlihat mengalami
pendarahan. Sedangkan pada embrio kontrol tampak normal dan tidak mengalami pendarahan
686
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2008
Cairan amnio-allantoic dari ketiga telur
yang terinfeksi tersebut dipanen secara aseptis
dan diuji cepat dengan metoda hemaglutinasi
dengan menambahkan sel darah merah (SDM)
ayam 10%. Terlihat adanya aglutinasi pada
ketiga cairan dari telur terinfeksi tersebut yang
terlihat sama dengan kontrol positif yang
menggunakan antigen inaktif AI subtipe H5N1.
Sedangkan untuk kontrol negatif yang
menggunakan PBS tidak terjadi aglutinasi.
(Gambar 2).
Hasil yang didapat mengindikasikan
keberadaan virus yang mampu mengaglutinasi
sel darah merah (SDM) ayam, yaitu virus AI,
ND atau EDS. Menurut SWAYNE et al. (1998)
protein H pada virus Avian Influenza akan
melekat pada reseptor berbagai jenis eritrosit
ayam dan mamalia, dan aktifitas inilah yang
menjadi dasar untuk mendeteksi ada tidaknya
virus “terduga” Avian Influenza di dalam
cairan amnio-allantoic. Dengan menggunakan
dasar yang sama maka akan dapat diukur nilai
titernya dengan menggunakan pengenceran 2
kali pada plate yang diikuti dengan
penambahan 1% SDM ayam dengan volume
yang sama (OIE, 2005; BARRET dan INGLIS,
1985; SWAYNE et al., 2000). Nilai titer HA
dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Nilai titer haemaglutinasi dari ketiga isolat
yang didapat, yang menunjukkan nilai 29
KODE
HA titer (titer hemaglutinasi)
H37/2007
29
H39/2007
29
H41/2007
29
Untuk konfirmasi lebih lanjut, cairan
amnio-allantoic dari ketiga telur yang
terinfeksi diuji menggunakan perangkat uji
cepat komersial (Fludetect dari Synbiotics)
untuk mendeteksi keberadaan virus Influenza
A secara cepat. Hasil positif terlihat pada
ketiga isolat tersebut (H37, H39 dan H41) yang
menunjukkan dua garis pada perangkat uji
tersebut, seperti yang terjadi pada kontrol
positif yang menggunakan virus AI subtipe
H5N1. Sedangkan kontrol negatif terlihat
hanya membentuk garis satu pada perangkat uji
tersebut, seperti terlihat pada Gambar 3. Hasil
ini menunjukkan bahwa ketiga isolat tersebut
adalah virus Influenza tipe A.
Gambar 2. Terlihat adanya aglutinasi setelah amnio-allantoic fluid (AAF) dari telur yang terinfeksi (H37,
H39 dan H41) ditambahkan SDM ayam 10%. Kontrol positif yang menggunakan antigen inaktif
Avian Influenza subtipe H5N1 menunjukkan perubahan yang sama. Sedangkan kontrol negatif
yang menggunakan larutan Phospat Buffer Saline (PBS) tidak menunjukkan aktifitas
hemaglutinasi
687
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2008
H
H
H
K+
K-
Gambar 3. Terlihat adanya dua garis melintang pada perangkat uji dari telur yang terinfeksi (H37, H39 dan
H41). Kontrol positif yang menggunakan antigen inaktif Avian Influenza subtipe H5N1
memperlihatkan garis yang sama. Sedangkan kontrol negatif hanya memperlihatkan satu garis.
Untuk mengidentifikasi lebih lanjut
terhadap subtipe virus tersebut maka dilakukan
uji serologis dengan menggunakan uji HI
terhadap serum spesifik anti AI subtipe H5N1,
ND dan EDS, nilai titer HI dapat dilihat pada
Tabel 2.
Tabel 2. Hasil uji HI dengan menggunakan serum
anti ND, EDS dan AI (duplo) serta
menggunakan kontrol negatif (SPF dan
PBS)
Antigen
Antisera
H37
H39
H41
AI
26; 25
25; 25
26;
26
ND
- ve
- ve
- ve
EDS
- ve
- ve
- ve
Kontrol negatif (SPF)
- ve
- ve
- ve
Kontrol negatif (PBS)
- ve
- ve
- ve
Dari Tabel 2 terlihat untuk pengujian
menggunakan serum spesifik anti ND dan EDS
serta menggunakan kontrol negatif (PBS dan
SPF) didapat hasil negatif, sedangkan
menggunakan serum spesifik anti AI subtipe
688
H5N1 menunjukkan hasil positif yang
menunjukkan nilai titer 25 – 26, yang
menunjukkan adanya reaksi hambatan aktifitas
hemaglutinasi dari isolat tersebut terhadap
darah ayam. Sesuai dengan standard OIE
(2005) yang menyatakan bahwa titer HI
dianggap positif apabila terjadi hambatan pada
pengenceran serum 1/16 (24 atau log24) atau
lebih dengan menggunakan antigen 4 HAU,
sedangkan bila menggunakan antigen 8 HAU
dianggap positif 1/8 (23 atau log2 3). Sehingga
dapat disimpulkan bahwa isolat yang diuji
tersebut adalah virus Avian Influenza H5N1
dan bukan virus ND atau EDS.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian ini dapat
disimpulkan bahwa dari sampel asal bebek
yang dikoleksi dari lapangan terdapat 3 isolat
yang dapat dikonfirmasi sebagai virus Avian
Influenza H5N1 dengan menggunakan uji
serologi dan menggunakan perangkat uji cepat.
Hal ini dapat menunjukkan bahwa bebek,
sebagai salah satu jenis unggas air, merupakan
reservoar dari virus Avian Influenza.
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2008
UCAPKAN TERIMA KASIH
Penelitian ini dibiayai oleh proyek
kerjasama ACIAR-BBalitvet tahun 2006 –
2009. Ucapan terimakasih penulis sampaikan
kepada Dr. Joanne Meers, Kusmaedi, M. Indro
Cahyono, Muharom S,Si dan Ani Purwani
yang telah membantu dalam pelaksanaan
penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
BARRETT, T. and C.S. INGLIS. 1985. Growth,
purification and titration of influenza viruses.
In: Virology a practical approach. Mahy,
B.W.J. (Ed.). IRL Press. pp. 119 – 150.
FENNER F.J., E. P.J. GIBBS, F.A. MURPHY, R. ROTT,
M.J. STUDDERT and D.O. WHITE. 1993.
Orthomyxoviridae. In: Veterinary Virology.
2ed. Academic Press Inc. California. pp. 545 –
557
SENNE, D.A. 1998. Virus propagation in
embryonating eggs. In: a Laboratory Manual
for the Isolation and Identification of Avian
Pathogens, 4th Ed. American association of
Avian Pathologist. University of Pennsylvania.
New Bolton centre. pp. 235 – 240.
SWAYNE, D. E., D. A. SENNE and C. W. BEARD. 1998.
Avian influenza. In: a Laboratory Manual for
the Isolation and Identification of Avian
Pathogens 4th Ed. American Association of
Avian Pathologist. University of Pennsylvania.
New Bolton centre. pp. 150 – 155.
SWAYNE, D.E. and D.A. HALVORSON. 2000.
Influenza. In: Disease of Poultry 11th Ed.
Calnex, B.W. (Ed). Iowa State University
Press, Ames, USA. pp. 135 – 155.
THAYER, S.G. and C.W. BEARD. 1998. Serologic
procedure. In: A Laboratory Manual for the
Isolation and Identification of Avian
Pathogens, 4th Ed. American Association of
Avian Pathologist. University of Pennsylvania.
New Bolton centre. pp. 255 – 266.
OIE. 2005. Chapter 2.7.12 Avian Influenza. In:
Manual of Diagnostic Test and Vaccines for
Terrestrial Animals. 5th Ed. OIE, Paris, France.
689
Download