BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Asfiksia neonatorum

advertisement
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Asfiksia neonatorum merupakan suatu kejadian kegawatdaruratan yang
berupa kegagalan bernafas secara spontan segera setelah lahir dan sangat berisiko
untuk terjadinya kematian dimana keadaan janin tidak spontan bernapas dan teratur
sehingga dapat menurunkan oksigen dan makin meningkatkan karbondioksida yang
menimbulkan akibat buruk dalam kehidupan berlanjut (Manuaba, 2010).
Menurut laporan dari organisasai kesehatan dunia (WHO) setiap tahunnya
3% (3,6 juta) dari 120 juta bayi lahir mengalami asfiksia hampir 1 juta bayi ini
kemudian meninggal pada masa BBL (IACMEG, 2007). Kematian BBL di Indonesia
terutama disebabkan oleh prematuritas (32%), asfiksia (30%), infeksi (22%), kelainan
kongenital (7%), lain-lain (9%) (WHO, 2007).
Di Indonesia dari seluruh kematian bayi sebanyak 57% meninggal pada masa
BBL (usia dibawah 1 tahun). Setiap 6 menit terdapat satu BBL meninggal (JNPK-KR
2008). Pada tahun 2011 jumah angka kematian bayi baru lahir (neonatal) di negaranegara ASEAN di Indonesia mencapai 31 per 1000 kelahiran hidup. Angka itu 5,2
kali lebih tinggi dibandingkan Filipina dan 2,4 kali lebih tinggi jika dibandingkan
dengan Thailand karena itu masalah ini harus menjadi perhatian serius (Lestraningsih,
2008).
1
2
Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2007 di Indonesia
dalam periode 5 tahun terakhir yaitu tahun 2003-2007 sebesar 34 per 1000 kelahiran
hidup. Banyak faktor yang mempengaruhi angka kematian tersebut yaitu salah
satunya asfiksia sebesar 37% yang merupakan penyebab kedua kematian bayi baru
lahir (Depkes, RI 2008).
Usaha pemerintah Indonesia untuk menanggulangi dalam mengurangi angka
kematian bayi (AKB) adalah menciptakan pelayanan kesehatan dasar yaitu pelayanan
kesehatan ibu dan anak, pelayanan antenatal, pertolongan persalinan oleh tenaga
kesehatan dan kompetensi kebidanan, deteksi resiko, penanganan komplikasi yang
meliputi asfiksia, tetanus neonatorum, sepsis, trauma lahir, BBLR, dan sindroma
gangguan pernapasan dan kelainan neonatal yang mendapat pelayanan oleh tenaga
kesehatan yang terlatih yaitu dokter dan bidan di polindes, puskesmas, rumah bersalin
dan rumah sakit. Dimana tenaga kesehatan mampu untuk menjalankan manajemen
asuhan kebidanan sesuai dengan pelayanan dan masalah yang terjadi (Kesehatan
Depkes RI).
Penyebab kematian bayi antara lain: bayi berat lahir rendah, asfiksia, trauma
jalan lahir, tetanus neonatorum, infeksi lain dan kelainan kongenital. Banyak faktor
yang mempengaruhi angka kematian tersebut diantarannya asfiksia 27% yang bayi
baru lahir rendah (Depkes 2008).
Angka kematian bayi merupakan angka jumlah kematian perinatal dikalikan
1000 dan kemudian dibagi dengan jumlah bayi lahir hidup dan lahir mati.
3
Menurut National Centre for Health Statistics (NCHS) pada tahun 2002 asfiksia
neonatorum mengakibatkan 1 juta kematian di seluruh dunia. Sementara sekitar
900.000 bayi di Indonesia lahir dengan asfiksia dan merupakan penyebab nomor dua
kematian bayi.
Berdasarkan data profil kesehatan provinsi Bengkulu tahun 2011 dari
sebanyak 33.343 kelahiran hidup di provinsi Bengkulu 205 bayi lahir mati dan
jumlah kematian bayi sebesar 319. Angka kematian bayi per 1.000 kelahiran hidup di
provinsi Bengkulu pada empat tahun terakhir mengalami naik turun dimana pada
tahun 2007 mencapai 10,45 per 1000 kelahiran hidup dan pada tahun 2008 menurun
menjadi 7,3 per 1000 kelahiran hidup, tahun 2009 meningkat menjadi 10,22 per 1000
kelahiran hidup, tahun 2010 turun menjadi 5,2 per 1000 kelahiran hidup, tahun 2011
kembali meningkat 9,6 per 1000 kelahiran hidup.
Berdasarkan data yang diperoleh dari Sumatera Utara angka kematian bayi
166.500 dan yang menderita asfiksia sabanyak 43.956 bayi (26,4%) (Diknes Medan,
2008). Kematian neonatal dini lebih banyak disebabkan secara intrinsik dengan
kesehatan Ibu dan perawatan yang diterima sebelum, selama dan setelah persalinan.
Demikian halnya dengan asfiksia neonatorum pada umumnya disebabkan oleh
manajemen persalinan yang tidak sesuai dengan standart dan kurangnya kesadaran
ibu untuk memeriksakan kehamilannya ketenaga kesehatan. Kurangnya asupan kalori
dan nutrisi pada masa kehamilan juga dapat mengakibatkan terjadinya asfiksia
(Leonardo, 2008).
4
Bahwa masih ada tenaga kesehatan kurang mengetahui tentang resusitasi pada
bayi asfiksia sehingga bayi yang asfiksia banyak yang tidak tertolong, dan meninggal
dunia. Jika Tenaga kesehatan mengetahui resusitasi pada bayi asfiksia maka hal
tersebut jarang terjadi. Di seluruh dunia setiap tahun diperkirakan 4 juta bayi
meninggal pada tahun pertama kehidupannya dan dua pertiganya meninggal pada
bulan pertama.
Berdasarkan data yang diperoleh dari Kabupaten Deli Serdang angka
kematian bayi dari 18,67- 30,84% dan bayi yang asfiksia sebanyak 4,78%
(Diknes Medan, 2013).
Berdasarkan survey pendahuluan pada bulan Maret 2014 di RSUD Deli
Serdang Lubuk Pakam terdapat 100 bayi. Dari 100 bayi, bayi yang normal 70 orang
dan bayi yang mengalami asfiksia 30 orang. Pertolongan bayi yang asfiksia tersebut
dengan melakukan tindakan resusitasi. Pada saat survey awal masih ada sebagian
tenaga kesehatan yang kurang memahami pelaksanaan resusitasi karena masih ada
terlihat ragu dalam melakukan tindakan resusitasi pada bayi asfiksia.
Berdasarkan dari latar belakang diatas maka penulis tertarik untuk melakukan
penelitian “Pengetahuan dan Sikap Tenaga Kesehatan tentang Resusitasi pada Bayi
Asfiksia di RSUD Deli Serdang Lubuk Pakam Kabupaten Deli Serdang.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, yang menjadi rumusan masalah penelitian
ini bagaimana pengetahuan dan sikap tenaga kesehatan tentang resusitasi pada bayi
asfiksia di RSUD Deli Serdang Lubuk Pakam Kabupaten Deli Serdang.
5
1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Umum
Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui pengetahuan dan sikap
tenaga kesehatan tentang resusitasi pada bayi asfiksia di RSUD Deli Serdang Lubuk
Pakam Kabupaten Deli Serdang.
1.3.2. Tujuan Khusus
Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui pengetahuan tenaga kesehatan tentang resusitasi pada bayi
asfiksia di RSUD Deli Serdang Lubuk Pakam.
2. Untuk mengetahui sikap tenaga kesehatan tentang resusitasi pada bayi asfiksia di
RUSD Deli Serdang Lubuk Pakam.
1.4. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penyusun karya tulis ilmiah ini adalah:
1. Manfaat Bagi Peneliti
Untuk penerapan ilmu pengetahuan dalam membuat Karya Tulis Ilmiah dan
sebagai salah satu pengalaman di Akademi Kebidanan Audi Husada Medan.
2. Manfaat Bagi Tempat Penelitian
Hasil penelitian ini dapat dijadikan gambaran tentang kejadian asfiksia dan
rencana tindak lanjut program di RSUD Deli Serdang Lubuk Pakam Kabupaten
Deli Serdang.
6
3. Bagi Institusi Pendidikan
Dapat digunakan sebagai referensi untuk studi lebih lanjut bagi peneliti yang
tertarik dengan masalah ini.
4. Manfaat bagi masyarakat
Hasil penelitian ini dapat dijadikan gambaran masyarakat khususnya bagi ibu
yang melahirkan bayi asfiksia untuk mengetahui resiko bayi asfiksia.
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Asfiksia Neonatorum
2.1.1. Pengertian
Asfiksia Adalah keadaan janin yang tidak dapat bernapas spontan dan teratur
sehingga dapat menurunkan oksigen dan makin meningkatnya karbondioksida yang
menimbulkan akibat buruk dalam kehidupan yang berlanjut (Manuaba 2010).
Asfiksia
neonatorum
adalah
keadaan
yang
merupakan
kelanjutan
dari
(Manuaba, 2007).
Menurut Hary Oxorn (2010) asfiksia pada bayi baru lahir merupakan sindrom
dengan gejala apnea sebagai manifestasi klinis yang utama. Menurut Buku Ajar
Neonatus, Bayi, dan Balita (2011) asfiksia adalah keadaan dimana bayi tidak dapat
bernapas secara spontan dan teratur segera setelah lahir.
2.1.2. Etiologi Asfiksia Neonatorum yang dapat Menyebabkan Asfiksia
Faktor
Penyebab
Maternal 1. Hipoksia dengan
sebab apapun
1.
2. Anemia Maternal
2.
3. Penekan respirasi
atau penyakit paru
4. Malnutrisi
5. Asidosis dan
dehidrasi
3.
4.
Keterangan
Aliran darah menuju plasenta akan untuk
memenuhi kebutuhan berkurang sehingga
O2 dan nutrisi makin tidak seimbang
metabolisme.
Kemampuan transportasi O2 makin turun
sehingga komsumsi O2 janin tidak
terpenuhi
Metabolisme janin sebagian menuju
metabolisme anaerob sehingga terjadi
timbunan asam laktat dan piruvat,
sehingga menimbulkan asidosis metabilik.
Semuannya memberikan kontribusi O2
7
8
6. Supine hipotensi
Uterus
1. Aktivitas kontraksi
memanjang atau
hiperaktivitas
2. Gangguan vaskular
1.
2.
3.
Plasenta
Tali
Pusat
Janinnya
1. Degenerasi
vaskularnya
2.Solusio Plasenta
3.Pertumbuhan
1.
1. Kompresi tali pusat
2. Simpul mati, lilitan
tali pusat
3. Hilangnya Jelly
Wharton
1. Infeksi
2. Anemia janin
3. Perdarahan
4. Malfortasi
1.
2.
3.
2.
dan nutrisi dalam darah yang menuju O2
dan nutrisi janin makin menurun.
Menyebabkan aliran darah menuju
plasenta makin menurun sehingga O2 dan
nutrisi menuju janin makin berkurang
Timbunan glukosanya yang menimbulkan
energi pertumbuhan melalui O2, dengan
hasil akhir CO2 atau habis karena
dikeluarkan melalui paru atau plasenta
janin, tidak cukup untuk memenuhi
kebutuhan .
Metabolisme beralih menuju metabolisme
anaerob yang menimbulkan asidosis.
Fungsi plasenta akan berkurang sehingga
tidak mampu memenuhi kebutuhan nutrisi
hipoplasia primer.
Metabolisme beralih menuju metabolisme
anerobik dan akhirnya asidosis dengan pH
darah turun.
Aliran darah menuju janin berkurang
Tidak mampu memenuhi O2 dan nutrisi
Metabolisme berubah menjadi
metabolism anaerob.
1. Kebutuhan metabolism makin tinggi,
sehingga ada kemungkinana tidak dapat
dipenuhi oleh aliran darah dari plasenta.
2. Aliran nutrisi dan O2 tidak cukup
menyebabakan metabolism janin menuju
metabolism anaerob, sehingga terjadi
timbunan asam laktat dan piruvat.
3. Kemampuan untuk transportasi O2 dan
membuang CO2 tidak cukup sehingga
metabolism janin berubah, menjadi
menuju anaerob yang menyebabkan
asidosis.
4. Dapat terjadi pada bentuk : plasenta
previa, solusio plasenta, pecahnya sinus
marginalis, pecahnya vase previa.
5. Menyebabkan aliran darah menuju janin
akan mengalami gangguan sehingga
nutrisi dan O2 makin berkurang sehingga
9
metabolism janin akan beralih menuju
metabolism
yang
anaerob
yang
menimbulkan asidosis.
6. Dapat digolongkan dalam kasus ini
adalah: kelainan jantung kongenital,
kehamilan ganda atau salah satunya
mengalami gangguan nutrisi dan O2.
7. Dapat menghambat metabolism janin.
sehingga dapat beralih metabolism.
2.1.3. Patofisiologi Asfiksia Neonatorum (Varney 2007)
Menurut varney (2007) keadaan hipoksia dimulai dengan frekuensi jantung
dan tekanan darah pada awalnya meningkat dan bayi melakukan upaya megap-megap
(gasping). Bayi kemudian masuk periode apnea primer. Bayi yang menerima
stimulasi adekuat selama apnea primer akan mulai melakukan usaha nafas lagi. Bayi
yang mengalami proses asfiksia lebih jauh berada dalam tahap apanea sekunder.
Apnea sekunder cepat menyebabkan kematian jika bayi tidak benar-benar didukung
oleh pernafasan buatan dan bila diperlukan kompresi jantung, Selama apnea
sekunder, frekuensi jantung, tekanan darah dan warna bayi berubah dari biru ke putih
karena bayi baru lahir menuju sirkulasi perifer sebagai upaya memaksimalkaan aliran
darah ke organ-organ seperti jantung, ginjal, adrenal. Selama apnea penurunan
oksigen yang tersedia meyebabkan paru-paru resisten terhadap oksigen sehingga
mempersulit kerja resusitasi.
Dalam periode singkat kurang oksigen menyebabkan metabolisme pada bayi
baru lahir berubah menjadi metabolisme anaerob, terutama karena kurangnya glukosa
yang dibutuhkan untuk sumber energi pada saat kegawatdaruratan. Neonatus yang
10
lahir melalui seksio sesarea, terutama jika tidak ada tanda persalinan, tidak
mendapatkan manfaat dari pengurangan cairan paru dan penekanan pada toraks
sehingga mengalami paru-paru basah yang lebih persisten. Situasi ini dapat
mengakibatkan takipnea pada bayi baru lahir (transient tachypnea of the newborn
TTN).
2.1.4. Diagnosis
Diagnosis hipoksia janin dapat dibuat dalam persalinan dengan ditemukannya
tanda-tanda gawat janin. Tiga hal yang perlu mendapat perhatian (Depkes, 2001):
1. Denyut jantung janin
Frekuensi normal adalah antara 120-160 denyut semenit, selama his frekuensi ini
bisa kembali lagi kepada keadaan semula. Peningkatan kecepatan denyut jantung
umumnya tidak besar artinya akan tetapi apabila frekuensi turun sampai di bawah
100x/menit di luar his dan lebih-lebih jika tidak teratur, hal itu merupakan tanda
bahaya.
2. Mekanisme dalam air ketuban
Mekonium pada presentasi sungsang tidak artinya. Akan tetapi pada presentasi
kepala mungkin menunjukkan gangguan oksigenasi dan harus menimbulkan
kewaspadaan. Asalnya mekonium dalam air ketuban pada presentasi kepala dapat
merupakan indikasi untuk mengakhiri persalinan bila hal itu dapat dilakukan
dengan mudah.
11
3. Pemeriksaan pH darah janin
Dengan menggunakan amnioskopi yang dimasukkan lewat serviks dibuat sayatan
kecil pada kulit kepala janin dan diambil contoh darah janin. Darah ini diperiksa
pHnya. Adanya asidosis menyebabkan turunya Ph. Apabila pH itu sampai turun
dibawah 7,2 hal itu dianggap sebagai tanda bahaya oleh beberapa penulis.
4. Anamnesis
a. Gangguan atau kesulitan waktu lahir
b. Lahir tidak bernafas
c. Air ketuban bercampur mekonium
5. Pemeriksaan Fisik
a. Bayi tidak bernapas atau napas megap-megap
b. Denyut jantung ˂ 100 x/menit
c. Kulit sinosis, pucat
d. Untuk diagnosis asfiksia tidak perlu menunggu nilai apgar score.
2.1.5. Tanda dan Gejala
Tanda da gejala bayi asfiksia menurut perinasai, 2006:
1. Apnu Primer
: pernapasan cepat, denyut nadi menurun dan tonus
neuromuscular menurun
2. Apnu sekunder
: apabila asfiksia beranjut, bayi menunjukkan pernafasan
megap-megap yang dalam, denyut jantung terus menurun, bayi terlihat lemah
(pasif), pernapasan makin lama makin lemah.
12
2.1.5. Derajat Berat Ringannya Asfiksia
Tanda
Frekuensi jantung
Usaha otot
Tonus otot
Refleks
Warna kulit
Nilai
0
Tidak ada
Tidak ada
Fleksi
Tidak ada
Biru pucat
Nilai
1
Lambat dibawah 100
Lambat tidak teratur
Fleksi ekstremitas
Tubuh merah muda
Ekstremitas biru
Nilai
2
Diatas 100
Menangis
Gerakan aktif
Menangis kuat
Merah muda seluruhnya
1. Ringan bila nilai APGAR score 7-10.
2. Asfiksia sedang bila nilai APGAR score 4-6.
3. Asfiksia berat bila nilai APGAR score 0-3.
WHO menganjurkan skor signutuna yang hanya menggunakan 3 variabel yaitu
pernapasan, denyut jantung dan warna kulit (Depkes, 2003).
2.1.6. Faktor Predisposisi
Faktor predisposisi terjadinya asfiksia pada bayi baru lahir menrut Ghai,
2010:
a. Faktor Ibu
1. Gangguan his misalnya hipertoni dan tetani
2. Hipotensi mendadak pada ibu karena perdarahan misalnya plasenta previa.
3. Hipertensi pada eklamsia.
4. Gangguan mendadak pada plasenta seperti solution plasenta (Ghai, 2010).
13
b. Faktor Janin
1. Gangguan aliran darah dalam tali pusat karena tekanan tali pusat
2. Depresi pernapasan karena obat-obatan anestesi/analgesik yang diberikan kepada.
ibu, perdarahan intra cranial dan kelainan bawaan
3. Ketuban keruh/mekonium.
2.2. Pelaksanaan Resusitasi pada Bayi Asfiksia
2.2.1 Pengertian Resusitasi Neonatus
Resusitasi (respirasi artifisialis) adalah usaha dalam memberikan ventilasi yang
adekuat, pemberian oksigen dan curah jantung yang cukup untuk menyalurkan
oksigen kepada otak, jantung dan alat-alat vital lainnya (Pelayanan Kesehatan
Maternal dan Neonatal, 2002).
2.2.2
Tujuan Resusitasi
1. Memberikan ventilasi yang adekuat
2. Membatasi kerusakan serebi
3. Pemberian oksigen dan curah jantung yang cukup untuk menyalurkan oksigen
kepada otak, jantung dan alat – alat vital lainnya
4. Untuk memulai atau mempertahankan kehidupan ekstra uterin (Pelayanan
neonatus, 2008).
2.2.3. Kondisi yang memerlukan resusitasi
Kondisi yang memerlukan resusitasi menurut Markum, 2006 :
1. Sumbatan jalan napas : akibat lendir/darah/mekonium atau akibat lidah
yang jatuh ke posterior.
14
2. Kondisi depresi pernapasan akibat obat-obatan yang diberikan kepada ibu
misalnya obat anestetik, analgetik lokal, narkotik, diazepam, magnesium sulfat
dan sebagainya.
3. Kerusakan neurologis.
4. Kelainan/kerusakan saluran napas atau kardiovaskular atau susunan saraf
pusat atau kelainan-kelainan kongenital yang dapat menyebabkan gangguan
pernapasan/sirkulasi.
5. Syok hipovolemik misalnya akibat kompresi tali pusat atau perdarahan.
Resusitasi lebih penting diperlukan pada menit-menit pertama kehidupan. Jika
terlambat, bisa berpengaruh buruk bagi kualitas hidup individu selanjutnya.
2.2.4. Hal - Hal yang Diperlukan dalam Melakukan Resusitasi
1. Tenaga yang terampil, tim kerja yang baik.
2. Pemahaman tentang fisiologi dasar pernapasan, kardiovaskular serta proses
asfiksia yang progresif.
3. Kemampuan/alat pengaturan suhu, ventilasi, monitoring.
4. Obat-obatan dan cairan yang diperlukan (Manuaba, 2009)
2.2.5. Persiapan Resusitasi
1. Memakai alat pelindung diri : celemek plastik, sepatu yang tertutup
2. Lepaskan cincin, jam tangan sebelum cuci tangan
3. Mencuci tangan
4. Keringkan dengan lap bersih
5. Gunakan sarung tangan (Perinasia 2006).
15
2.2.6. Langkah Awal Resusitasi pada Bayi Asfiksia
Langkah resusitasi menurut Perinasi 2006:
1. Mencegah kehilangan panas, termasuk menyiapkan tempat yang kering dan
hangat untuk melakukan pertolongan.
2. Memposisikan bayi dengan baik (kepala bayi setengah tengadah/sedikit
ekstensi atau mengganjal bahu bayi dengan kain).
3. Bersihkan jalan nafas dengan alat penghisap yang tersedia.
4. Keringkan tubuh bayi dengan kain yang kering dan hangat yang baru untuk
bayi sambil melakukan rangsangan taktil.
5. Letakkan kembali bayi pada posisi yang benar, kemudian nilai : Usaha
bernafas, frekuensi denyut jantung dan warna kulit.
6. Gunakan penghisap lender De Lee yang telah diproses hingga tahap disinfeksi
tingkat tinggi/steril atau bola karet penghisap yang baru dan bersih untuk
menghisap lender di mulut, kemudian hidung bayi secara halus dan lembut.
Jika bayi baru lahir tidak bernafas memadai (setelah tubuhnya dikeringkan dan
lendirnya dihisap) berikan rangsangan taktil. Rangsangan taktil harus dilakukan
secara lembut dan hati-hati sebagai berikut:
a. Dengan lembut, gosok punggung, tubuh, kaki atau tangan (ekstremitas) satu atau
dua kali.
b.
Dengan lembut, tepuk atau sentil telapak kaki bayi (satu atau dua kali)
16
2.2.7. Ventilasi Tekanan Positif (VTP)
Ventilasi tekanan positif merupakan tindakan memasukkan sejumlah udara
kedalam paru dengan tekanan positif, membuka alveoli untuk bernapas secara
spontan dan teratur. Bila bayi tidak menangis atau megap-megap, warna kulit bayi
biru atau pucat, denyut jantung kurang dari 100 kali permenit (Perinasia, 2006).
Langkah melakukan resusitasi dengan melakukan ventilasi tekanan positif menurut
Perinasia:
1. Sebelumnya periksa dan pastikan bahwa alat resusitasi (balon resusitasi dan
sungkup muka) telah tersedia dan berfungsi baik.
2. Cuci tangan dan gunakan sarung tangan sebelum memengang atau memeriksa
bayi.
3. Selimuti bayi dengan kain kering dan hangat, kecuali muka dan dada bagian atas
kemudian letakkan pada alas dan lingkungan yang hangat.
4. Periksa ulang posisi bayi dan pastikan kepala telah dalam posisi setengah tengadah
(sedikit ekstensi).
5. Letakkan sunggup melingkupi dagu, hidung dan mulut sehingga terbentuk
semacam pertautan antara sungkup dan wajah.
6. Tekan balon resusitasi dengan dua jari atau dengan seluruh jari tangan (bergantung
pada ukuran balon resusitasi).
7. Lakukan pengujian pertautan dengan melakukan ventilasi sebanyak dua kali dan
periksa gerakan dinding dada.
17
8. Bila pertautan baik (tidak bocor) dan dinding dada mengembang, maka lakukan
ventilasi dengan menggunakan oksigen (bila tidak tersedia oksigen gunakan udara
ruangan).
9. Pertahankan kecepatan ventilasi sekitar 40 kali per 60 detik dengan tekanan yang
tepat sambil melihat gerakan dada (naik turun) selama ventilasi.
10. Bila dinding dada naik turun dengan baik berarti ventilasi berjalan secara adekuat
11. Bila dinding dada tidak naik, periksa ulang dan betulkan posisi bayi atau terjadi
kebocoran lekatan atau tekanan ventilasi kurang.
12. Lakukan ventilasi selama 2×30 detik atau 60 detik, kemudian lakukan penilaian
segera tentang upaya bernafas spontan dan warna kulit (Perinasia, 2006).
2.2.8. Penghentian Resusitasi
Penghentian resusitasi dilakukan, dengan krieria antara lain :
1. Bila tidak ada upaya bernapas dan denyut jantung setelah 10 menit, setelah usaha
resusitasi yang menyeluruh dan adekuat dan penyebab lain telah disingkirkan,
maka resusitasi dapat dihentikan.
2. Data menunjukkan bahwa setelah henti jantung selama 10 menit, sangat tipis
kemungkinana selamat, dan yang selamat biasanya menderita cacat berat (Vain
NE, 2004).
2.2.9. Perawatan Pasca Resusitasi
Setelah prosedur resusitasi berhasil, maka segera lakukan asuhan bayi normal
dengan:
1. Menjaga bayi agar tetap hangat, lakukan kontak kulit ibu-bayi
18
2. Lakukan pemberian ASI sedini mugkin
3. Pencegahan infeksi dan imunisasi (Wiswell TE, 2000)
2.2.10. Tindakan Pasca Resusitasi
1. Buanglah kateter penghisap dan ekstraktor lender sekali pakai (disposable) ke
dalam kanton plastik atau tempat yang tidak bocor.
2. Lepaskan katup atau sungkup, periksa apakah ada robekan
3. Cuci katup dan sunggup dengan deterjen dan air, periksa apakah ada kerusakan,
kemudian lakukan pembilasan dan keringkan.
4. Pilih salah satu cara sterilisasi dengan cara autoklaf atau DTT
5. Cuci tangan dengan sabun dan air bersih dan kering atau keringkan dengan udara
6. Setelah disinfeksi kimiawi, bilas seluruh alat dengan air bersih dan biarkan kering
dengan udara.
7. Pasang kembali balon lakukan pengujian untuk meyakinkan bahwa balon tetap
berfungsi (Muhiman, 2000).
2.2.11 Prognosis
Prognosis tergantung pada kekurangan O2 dan luasnya perdarahan dalam otak
bayi. Bayi dalam keadaan asfiksia dan pulih kembali harus dipikirkan
kemungkinannya menderita cacat mental sepetri epilepsy dan bodoh pada masa
mendatang (Mochtar, Rustam 2001).
2.2.12. Komplikasi
1.
Sembab otak
2.
Perdarahan otak
19
3.
Anuria atau oliguria hiperbilirubinemia
4.
Obstruksi usus yang fungsional
5.
Kejang sampai koma
Komplikasi akibat resusitasinya sendiri (pneumothorak) (Lab/UPF Ilmu Kesehatan
Anak, 2003)
2.3. Pengetahuan
Pengetahuan merupakan hasil dari “tahu” dan ini terjadi setelah orang
melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderan terjadi melalui
panca indra manusia, yakni indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan
raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga.
Pengetahuan yang tercakup didalam domain kognitif mempunyai 6 tingkatan
yaitu :
1. Tahu (know)
Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya.
Termasuk kedalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall)
terhadap suatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan
yang telah diterima. Oleh sebab itu “Tahu” adalah merupakan tingkat
pengetahuan yang paling rendah. Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu
tentang
apa
yang
dipelajari
antara
lain
mendefinisikan, menyatakan dan sebagainya.
menyebutkan,
menguraikan,
20
2. Memahami (comprehension)
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan menjelaskan secara benar tentang
objek yang diketahui dan dapat menginterpretasikaan materi tersebut secara
benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi harus dapat
menjelaskan dan menyebutkan. Contoh menyimpulkan, meramalkan, dan
sebaginya terhadap objek yang dipelajari.
3. Aplikasi (application)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah
dipelajari pada situasi atau kondisi riil (sebenarnya). Aplikasi disini diartikan
aplikasi atau penggunaaan hukum-hukum, rumus, metode, prinsip dan sebagainya
dalam konteks atau situasi yang lain.
4. Analisis (analysis)
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau sesuatu objek
kedalam komponen-komponen, tetapi masih didalam suatu struktur organisasi
dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis ini dapat
menggambarkan/membuat bagan, membedakan, memisahkan, mengelompokkan
dan sebagainya.
5. Sintesis (synthesis)
Sintesis
menunjuk
kepada
suatu
kemampuan
untuk
meletakkan
atau
menghubungkan bagian-bagian didalam suatu bentuk keseluruhan yang baru
dengan kata lain sintesis itu suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru
dari formulasi-formulasi yang ada.
21
6. Evaluasi (evaluation)
Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau
penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penelitian-penelitian ini berdasarkan
suatu kriteria yang ditentukan sendiri atau menggunakan kriteria-kriteria yang
telah ada. Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau
angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek
penelitian atau responden.
2.4. Sikap (attitude)
Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang
terhadap suatu stimulus atau objek. Manifestasi sikap tidak dapat langsung dilihat
tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup.
Sikap secara nyata menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap
stimulus tertentu yang didalam kehidupan sehari-hari merupakan reaksi yang bersifat
emosional terhadap stimulus sosial.
Menurut Newcomb salah seorang ahli psikologi sosial menyatakan bahwa
sikap adalah merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak dan bukan
merupakan pelaksana motif tertentu.
Dalam bagian lain Allport (1954) menjelaskan bahwa sikap itu mempunyai 3
(tiga) komponen pokok yaitu :
1. Kepercayaan (keyakinan) ide dan konsep terhadap suatu objek.
2. Kehidupan emosional atau evaluasi emosional terhadap suatu objek.
3. Kecenderungan untuk bertindak (trend to behave).
22
Sikap mempunyai 4 (empat) tingkatan yaitu :
a. Menerima (receiving)
Menerima diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan stimulus yang
diberikan objek.
b. Merespon (responding)
Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan menyelesaikan tugas
yang diberikan.
c. Menghargai (valuing)
Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan dengan orang lain
terhadap suatu masalah.
d. Bertanggung jawab (responsible)
Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala
resiko.
2.5. Kerangka Konsep
Kerangka konsep dari penelitian yang berjudul Pengetahuan dan Sikap
Tenaga Kesehatan tentang Resusitasi pada Bayi Asfiksia di RSUD Deli Serdang
Lubuk Pakam.
- Pengetahuan tenaga kesehatan tentang resusitasi pada bayi asfiksia
- Sikap tenaga kesehatan tentang resusitasi pada bayi asfiksia
23
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Jenis Penelitian
Metodologi penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah yang
bersifat survey deskriptif yaitu untuk mengetahui pengetahuan dan sikap tenaga
kesehatan tentang resusitasi pada bayi asfiksia di RSUD Deli Serdang Lubuk Pakam
Kabupaten Deli Serdang.
3.2. Lokasi Penelitian dan Waktu Penelitian
3.2.1. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian dilakukan di RSUD Deli Serdang Lubuk Pakam Kabupaten
Deli Serdang. Peneliti memilih lokasi ini karena lokasi ini masih ada sebagian tenaga
kesehatan yang kurang mengetahui tentang resusitasi pada bayi asfiksia karena
sebagian tenaga kesehatan terlihat kebingungan (ragu) dalam menangani bayi asfiksia
yang saya jumpai pada saat survey awal.
3.2.2. Waktu Penelitian
Waktu penelitian ini dilakukan pada bulan April-Juli tahun 2014.
3.3. Populasi Dan Sampel
3.3.1. Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah semua tenaga kesehatan di ruang bayi
yang ada di RSUD Deli Serdang Lubuk Pakam berjumlah 40 orang yaitu bidan, SPK,
D3 Keperawatan.
23
24
3.3.2. Sampel
Besar sampel dalam penelitian ini adalah seluruh populasi dijadikan sebagai sampel
(total sampling) yaitu 40 orang.
3.4. Metode Pengumpulan Data
3.4.1. Jenis Data
a. Data Primer
Pengumpulan data primer dilakukan secara langsung dengan menyebarkan lembar
kuesioner.
b. Data Sekunder
Pengumpulan data sekunder dilakukan dengan mengambil data-data dari dokumen
atau catatan yang diperoleh dari RSUD Deli Serdang Lubuk Pakam.
3.5. Variabel dan Definisi Operasional
3.5.1. Pengetahuan
Pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui tenaga kesehatan tentang
resusitasi pada bayi.
Kategori pengetahuan :
0. Buruk
1. Baik
Untuk mengukur tingkat pengetahuan tenaga kesehatan tentang resusitasi pada
bayi asfiksia disusun sebanyak 15 buah pertanyaan dengan pilihan jawaban “ya” atau
“tidak”. Jika responden menjawab “ya” maka diberi skor 1, jika responden menjawab
“tidak” maka diberi skor 0. Maka nilai tertinggi adalah 15 nilai terendah adalah 0.
25
Hasil ukur:
0. Buruk, jika jawaban responden memiliki total skor < 76% dari 15 = 0-11
1. Baik, jika jawaban responden memiliki total skor ≥ 76% dari 15 = 12-15
Skala : Ordinal (Nursalam, 2013).
3.5.2 Sikap
Sikap yaitu reaksi tenaga kesehatan tentang resusitasi pada bayi asfiksia
Kategori sikap:
0. Negatif
1. Positif
Untuk mengukur sikap tenaga kesehatan tentang resusitasi pada bayi asfiksia
disusun sebanyak 15 pertanyaan dengan jawaban “Sangat Setuju (bobot nilai 3).
“Setuju (bobot nilai 2)”, dan “Tidak Setuju (bobot nilai 1)”, maka total skor untuk
variabel sikap adalah 45, jadi:
Hasil ukur :
0. Negatif : jika skor nilai yanag diperoleh < 50% dari 45 = 1-22
1. Positif : jika skor nilai yang diperoleh ≥ 50% dari 45 = 23-45
Skala
: Nominal
26
3.6. Tehnik pengukuran data
Tabel.3.6. Variabel, Cara, Alat, Skala dan Skala Ukur
Variabel
Pengetahuan
Sikap
Cara dan Alat Ukur
Wawancara
(Quesioner)
Wawancara
(Quesioner)
Hasil Ukur
0. Buruk
1. Baik
0.
1.
Negatif
Positif
Skala Ukur
Ordinal
Nominal
3.7. Tekhnik Pengolahan Data
Data yang terkumpul kemudian akan diolah secara manual dengan langkahlangkah sebagai berikut (Cholid Narbuku, 2009).
1. Editing (penyuntingan data)
Hasil interview dan questioner harus dilakukan dengan editing terlebih dahulu.
2. Coding (membuat lembar kode) setelah semua kuesioner dan interview diedit atau
disunting, selanjutnya diadakan pengkodean atau coding, yakni mengelolah data
berbentuk kalimat atau huruf menjadi data angka atau bilangan.
3. Tabulating (tabulasi) membuat table-tabel data sesuai dengan tujuan penelitian atau
yang diinginkan oleh peneliti.
3.8. Analisis Data
Analisis data pada penelitian ini dilakukan dengan deskriptif, yaitu dengan
melihat presentase data yang terkumpul dan tabel distribusi data. Analisis
data
kemudian dilanjutkan dengan pembahasan ini sesuai dengan teori pustaka yang ada
dan diambil kesimpulan.
27
BAB IV
HASIL PENELITIAN
4.1.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Rumah Sakit Umum Deli Serdang Lubuk Pakam merupakan sebuah rumah
sakit pemerintah yang dikelola Pemerintah Pusat dengan Pemerintahan Daerah
Provinsi Sumatera Utara terletak di lahan yang luas di pinggiran kota Lubuk Pakam
Deli Serdang Jln.Thamrin kecamatan Lubuk Pakam Kabupaten Deli Serdang.
Rumah Sakit Umum Deli Serdang mulai berfungsi sejak tanggal 03 Februari 1964
dengan pelayanan rawat jalan dan untuk pelayanan rawat inap.
RSUD Deli Serdang termasuk Rumah Sakit Umum kelas B.
1. Visi RSUD Deli Serdang
Visi RSUD Deli Serdang adalah pelayanan yang unggul dalam mutu prima dalam
pelayanan dan menjadi pusat rujukan. Pelayanan kesehatan yang paripurna dan pro
aktif untuk mewujudkan masyarakat sehat.
2. Misi RSUD Deli Serdang
1. Memberikan
pelayanan
yang
propesional,
terjangkau,
mudah
serta
bertanggung jawab.
2. Mengembangkan dan meningkatkan kualitas dan kwantitas SDM maupun
sarana dan prasarana sesuai kebutuhan secara universal terarah dan
berkesinambungan.
27
28
3. Membina dan mengembangkan hubungan kerja sama sektor pelayanan
kesehatan pendidikan, penelitian, lingkungan dengan instansi, perusahaan,
lembaga pendidikan serta lembaga sosial
4. Meningkatkan serta mengembangkan sistem management yang transparan
serta akomodatif dan respontif.
5. Mengembagkan sistem administrasi informasi dan komunikasi serta
pengelolaan data dan pelaporan secara cepat dan akurat.
4.2.1. Distribusi Pengetahuan Responden di RSUD Deli Serdang Lubuk Pakam
Untuk melihat pengetahuan responden di RSUD Deli Serdang Lubuk Pakam
disusun sebanyak 10 pertanyaan dan dapat dijabarkan pada tabel 4.1 :
Tabel 4.1. Distribusi Pengetahuan Responden di RSUD Deli Serdang Lubuk
Pakam
No
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Jawaban
Pengetahuan
Penatalaksanaan resusitasi neonatorum secara garis besar harus
mengikuti alogaritma neonatal
Untuk melakukan ventilasi percobaan pada bayi sebanyak 2x untuk
membuka alveoli
Tindakan yang digunakan untuk mencegah aspirasi adalah dengan
melakukan penghisapan mekonium sebelum bahu lahir
Posisi harus benar dalam pengisapan sekret dan pengeringan dan jika
bayi belom bernapas dengan adekuat maka lakukan menepuk dan
menggosok punggung bayi
Menghitung bunyi jantung dilakukan dengan stetoskop selama 6 detik
kemudian dikalikan 10 sehingga dapat diketahui frekuensi jantung
permenit
Oksigen yang mengalir melalui pipa oksigen harus diutupi dengan
tangan agar sunggup tidak terlepas.
Mengisap lender pada mulut bayi harus dengan jarak 5cm dan pada
hidung dengan jarak 3 cm
Bila terdapat mekonium dalam cairan amnion dan bayi tidak bugar,
frekuensi jantung kurang dari 100 x/menit segera lakukan pengisapan
trakea
Bila tidak ada upaya bernapas dan denyut jantung bayi < 100 x/menit
selama 10 menit setelah usaha resusitasi dilakukan menyeluruh dan
adekuat maka resusitasi dihentikan
Ya
Tidak
%
20
n
32
%
80
n
8
35
87,5
5
12,5
35
87,5
5
12,5
37
92,5
3
7,5
33
82,5
7
17,5
33
82,5
7
17,5
29
72,5
11
27,5
37
92,5
3
7,5
28
70
12
30
29
10.
11.
12.
13.
14.
15.
Resusitasi berhasil bila terlihat gerakan dada yang adekuat dan
frekuensi pernapasan bertambah setelah rangsangan taktil
Jika tidak cukup tekanan, maka naikkan tekanan sampai turun dada
yang mudah dan pertimbangkan intubasi.
Bila kondisi bayi tetap buruk atau gagal membaik frekuensi jantung
<60 kali/menit setelah 30 detik maka lakukan kompresi dada.
Sianosis sakral tanpa sianosis sentral belom tentu menandakan kadar
oksigen rendah sehingga tidak perlu diberikan terapy oksigen.
Bila perut bayi kelihatan membuncit maka harus lakukan pemasangan
pipa lambung dan dipertahankan selama ventilasi.
Akibat kekurangan perfusi oksigen dan oksigenasi jaringan, maka
menimbulkan kerusakan jaringan otak yang irreversible/kematian.
Berdasarkan
tabel
diatas,
dapat
dilihat
32
80
8
20
33
82,5
7
17,5
30
75
10
25
28
70
12
30
31
77,5
9
22,5
28
70
12
30
bahwa
rata-rata
responden
berpengetahuan baik tentang resusitasi pada bayi asfiksia. Dari hasil wawancara dan
tanya jawab dengan kuesioner, tenaga kesehatan sudah cukup memahami tentang
manfaat dari resusitasi pada bayi asfiksia yang dapat menyebabkan kematian pada
bayi. Data yang diperoleh sebanyak 37 responden (92,5%) mampu menjawab dengan
benar posisi bayi harus benar disaat pengisapan sekret dan pengeringan dan apabila
bayi belum bernapas dengan adekuat maka penolong harus melakukan penepukan
dan menggosok punggung bayi tersebut. Selain itu hasil perolehan nilai tertinggi
berikutnya adalah pengetahuan tenaga kesehatan tentang resusitasi pada bayi asfiksia
bila terdapat mekonium dalam cairan amnion dan bayi tidak bugar, tonus otot kurang
dan frekuensi jantung kurang dari 100 x/menit segera melakukan pengisapan trakea
sebanyak 37 responden (92,5%) yang menjawab dengan benar dan dilanjutkan
tentang pengetahuan tindakan yang harus digunakan untuk mencegah aspirasi adalah
dengan menggunakan pengisapan mekonium sebelum lahirnya bahu bayi sebanyak
35 responden (87,5%) dan dilanjutkan tentang pengetahuan responden tentang cara
30
melakukan ventilasi percobaan sabanyak 2 kali untuk membuka alveoli sebanyak 35
responden (87,5%).
Sementara itu hasil perolehan cakupan pengetahuan tenaga kesehatan yang
masih rendah yaitu tentang penghentian resusitasi pada bayi asfiksia. Banyak tenaga
kesehatan mengatakan bila tidak ada upaya bernapas dan denyut jantung bayi < 100
x/menit dalam 10 menit, setelah usaha resusitasi yang menyeluruh, adekuat dan
penyebab lain telah disigkirkan maka resusitasi pada bayi asfiksia dapat dihentikan.
Tabel 4.2. Frekuensi Kategori Pengetahuan Responden tentang Resusitasi pada
Bayi Asfiksia di RSUD Deli Serdang Lubuk Pakam
No
1.
2.
Kategori Pengetahuan
Baik
Buruk
Jumlah
f
28
12
40
%
70
30
100
Berdasarkan tabel diatas, dapat dilihat bahwa kategori pengetahuan tenaga kesehatan
tentang resusitasi pada bayi asfiksia lebih banyak dengan pengetahuan baik sebanyak
28 orang (70%).
4.2.2. Distribusi Sikap Responden di RSUD Deli Serdang Lubuk Pakam
Untuk melihat sikap responden di RSUD Deli Serdang Lubuk Pakam disusun
sebanyak 15 pertanyaan dan dapat dijabarkan pada table 4.3 :
31
Jawaban
No.
Sikap
1.
Pengisapan lendir, mengeringkan dan merangsang bayi
tidak boleh berlangsug lebih dari 30-60 detik sejak bayi
lahir.
Jika bayi tidak menangis, warna kulit biru, denyut
jantung kurang dari 100 x/menit maka lakukan tekanan
ventilasi positif.
Cara kompresi dada perlu 2 orang 1 melakukan VTP dan
1 lagi melakukan kompresi
Bila dinding dada tidak baik periksa ulang dan betulkan
posisi bayi.
Cara menekan balon resusitasi denganmenggunakan
seluruh jari tangan (tergantung pada ukuran balon
resusitasi).
Pengujian pertautan terhadap bayi dengan sebanyak 2
kali dan periksa gerakan dinding dada.
Sungkup harus diletakkan sedekat mungkin kehidung
bayi untuk mendapat oksigen mendekati 100%.
Untuk menilai frekuensi denyut jantung bayi dengan
meraba tali pusat atau menggunakan stetoskop.
Bila kondisi jalan napas tersumbat maka reposisi kepala
bayi, periksa sekresi lalu hisap lakukan ventilasi dengan
mulut sedikit terbuka.
Bila pertautan baik dan dinding dada mengembang
maka lakukakan ventilasi dengan menggunakan oksigen
dan bila tidak tersedia sediakan ruangan udara
Apabila bayi lahir tidak menangis spontan, warna kulit
biru pucat, pergerakan bayi tidak aktif dan bercampur
mekonium maka penolong segera melakukan pengisap
lendir.
Untuk melakukan ventilasi pada bayi asfiksia dilakukan
sebanyak 2x dan jika mengembang dada bayi maka
lakukan ventilasi positif menggunakan ambubek.
Bila frekuensi jantung bayi < 100 x/menit maka lakukan
rangsangn taktil, berikan oksigen dan VTP tidak perlu
dilakukan.
Bila nilai apgar skor bayi diperoleh 4-6 maka resusitasi
pada bayi asfiksia harus segera dilaksanakan kalau tidak
akan berakibat fatal pada bayi.
Apabila frekuensi jantung janin dibawah 100x/menit
diluar his dan tidak teratur itu merupakan tanda bahaya
dan penolong harus melakukan tindakan resusitasi pada
bayi.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
Sangat
Setuju
n
%
n
%
n
%
15
37,5
13
32,5
12
30
14
35
17
42,5
9
22,5
7
17,5
19
47,5
14
35
8
20
21
52,5
11
27,5
11
27,5
16
40
13
32,5
13
32,5
17
42,5
10
25
13
32,5
21
20
6
15
6
15
21
52,5
13
32,5
6
15
15
37,5
19
47,5
8
20
12
30
20
50
11
27,5
17
42,5
12
30
11
27,5
17
42,5
12
30
14
35
12
30
14
35
10
25
19
47,5
11
27,5
9
22,5
17
42,5
35
37,5
Setuju
Tidak Setuju
Berdasarkan tabel diatas, dapat dilihat bahwa respon yang diberikan oleh
tenaga kesehatan tentang resusitasi pada bayi asfiksia sudah cukup baik, hal tersebut
dibuktikan dari presentase yang diperoleh dari kuesioner yaitu responden banyak
32
yang menyikapi dengan pernyataan yang setuju untuk dilakukannya pengisapan
lendir, pengeringan dan rangsangan bayi tidak berlangsung lebih dari 30-60 detik dari
sejak lahir sebanyak 15 responden (37,5%).
Meskipun begitu ada beberapa tindakan resusitasi pada bayi asfiksia yang
belum cukup dipahami oleh responden yaitu penanganan bayi jika dadanya bayi tidak
mengembang disaat resusitasi maka ventilasi menggunakan oksigen. Mereka
beranggapan bahwa hal tesebut tindakan resusitasi yang bagus bagi bayi yang asfiksia
padahal merupakan tindakan yang kurang baik untuk bayi. Selain itu respon tenaga
kesehatan bila kondisi jalan napas tersumbat maka reposisi bayi lalu hisap dan
melakukan ventilasi dengan mulut sedikit terbuka.
Tabel 4.3. Frekuensi Kategori Sikap Responden tentang Resusitasi pada Bayi
Asfiksia di RSUD Deli Serdang Lubuk Pakam Kabupaten Deli
Serdang
No
1.
2.
Kategori Sikap
Positif
Negatif
Jumlah
f
29
11
40
%
72,5
27,5
100
Berdasarkan tabel diatas, dapat dilihat bahwa kategori sikap tenaga kesehatan
tentang resusitasi pada bayi asfiksia lebih banyak dengan sikap positif sebanyak 29
orang (72,5%)
33
BAB V
PEMBAHASAN
5.1. Pengetahuan Tenaga Kesehatan tentang Resusitasi pada Bayi Asfiksia
Berdasarkan hasil penelitian di RSUD Deli Serdang Lubuk Pakam mengenai
pengetahuan tenaga kesehatan tentang resusitasi pada bayi asfiksia menunjukkan
bahwa tenaga kesehatan mayoritas berpengetahuan baik sebanyak 28 orang (70%)
dan minoritas berpengetahuan buruk sebanyak 12 orang (30%).
Berdasarkan data tersebut sebagian besar responden berpengetahuan baik
tentang resusitasi pada bayi asfiksia. Namun ada beberapa pengetahuan tenaga
kesehatan yang masih terlihat buruk, diantaranya mengenai penghentian resusitasi
pada bayi asfiksia sebanyak 12 orang (35%). Tenaga kesehatan beranggapan bahwa
bila tidak ada upaya bayi untuk bernapas dan denyut jantung < 100 x/menit dalam 10
menit setelah usaha resusitasi yang menyeluruh, adekuat dan penyebab lain telah
disingkirkan maka resusitasi dilanjutkan padahal itu merupakan tindakan yang salah
seharusnya tindakan resusitasi pada bayi asfiksia harus dihentikan karena hal tersebut
akan mengancam nyawa bayi.
Selain itu pengetahuan tenaga kesehatan tentang pemberian terapi oksigen pada
bayi asfiksia, tenaga kesehatan beranggapan bahwa terapi oksigen tetap diberikan
pada bayi afiksia karena terjadi sianosis akral tanpa sianosis sentral ternyata itu belum
tentu menandakan kadar oksigen rendah pada bayi yang beranggapan seperti itu
sebanyak 12 resonden (30%).
33
34
Adanya responden yang berpengetahuan buruk disebabkan karena kurang
mendapat informasi yang cukup dan pelatihan tentang resusitasi pada bayi asfiksia.
Oleh karena itu diperlukan adanya keigintahuan dan pelatihan patugas kesehatan
tentang resusitasi pada bayi asfiksia. Pelatihan ini akan mempengaruhi pertologan
bayi asfiksia.
Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Widyanti (2008) di Propinsi Bengkulu
yang menyebutkan bahwa tingkat pengetahuan tenaga kesehatan sangat berhubungan
terhadap pelaksanaan resusitasi pada bayi asfiksia. Dimana tenaga kesehatan yang
berpengetahuan tinggi, maka derajat kesehatannya lebih baik dibandingkan dengan
tenaga kesehatan yang tingkat pengetahuannya rendah.
Selain itu menurut Depkes (2011) keberhasilan melakukan resusitasi pada bayi
asfiksia tergantung pada tingkat pengetahuan, pengalaman kerja, dan kebiasaan. Hal
ini sejalan dengan apa yang dikemukakan Notoadmodjo (2005), bahwa pengetahuan
itu adalah segala sesuatu yang telah diketahui oleh seseorang dalam berbagai
tingkatan perubahan mengenai objek mulai dari umum sampai kekhusus yang
diproses dari pengindraan pengetahuan ini merupakan alat yang dipakai untuk
memecahkan persoalan yang ada.
Berdasarkan pernyataan diatas, penulis dapat menyimpulkan bahwa tingkat
pengetahuan petugas kesehatan terhadap tindakan resusitasi akan berhasil jika
petugas kesehatan memiliki pengetahuan baik, pengalaman kerja, serta pelatihanpelatihan resusitasi pada bayi asfiksia. Tenaga kesehatan yang memiliki pengetahuan
baik tentu akan mudah mengerti tentang pentingnya resusitasi pada bayi asfiksia.
35
sehingga ia akan menerapkan pengetahuan yang diperolehnya dalam tindakannya.
Dengan demikian angka kematian bayi asfiksia dapat diturunkan serta meningkatkan
derajat kesehatan anak.
5.2. Sikap Tenaga Kesehatan Tentang Resusitasi pada Bayi Asfiksia
Dari hasil penelitian di RSUD Deli Serdang Lubuk Pakam Kabupaten Deli
Serdang mengenai sikap tenaga kesehatan tentang resusitasi pada bayi asfiksia yang
bersikap positif (72,5%) dan bersikap negatif sebanyak 11 orang (27,5%).
Dari data tersebut sebagian responden bersikap positif dalam menerima respon
tentang resusitasi pada bayi asfiksia. Namun masih ada beberapa tenaga kesehatan
yang memiliki respon negatif terhadap resusitasi pada bayi asfiksia, antara lain respon
petugas kesehatan terhadap ventilasi dengan menggunaan udara dalam ruangan
sebanyak 20 orang (50%), petugas kesehatan beranggapan bahwa penggunaan udara
dalam ruangan tidak boleh digunakan karena udara dalam ruangan tidak tergantikan
dengan oksigen karena udara sangat sedikit kadar oksigennya. Faktanya bila terjadi
pertautan baik atau tidak bocor dan dinding dada bayi mengembang maka penolong
tidak perlu memberikan terapy oksigen pada bayi tapi udara yang ada dalam ruangan
cukup untuk memenuhi kadar oksigen yang dibutuhkan bayi.
Menurut penelitian Widyanti (2008) mengenai hubungan tingkat pengetahuan
dengan sikap petugas kesehatan tentang resusitasi pada bayi asfiksia di wilayah kerja
puskesmas Bengkulu tahun 2011, hasil penelitian tentang sikap menunjukkan bahwa
dari 32 sampel yang mempunyai sikap positif yaitu sebanyak (93.75%).
36
Berdasarkan pernyataan diatas penulis menyimpulkan bahwa baik buruknya
tindakan seorang tenaga kesehatan dalam melakukan resusitasi pada bayi asfiksia
tergantung dari pada reaksi atau respon dari petugas kesehatan itu sendiri. Jika sikap
petugas kesehatan bersikap baik maka tindakan resusitasi pada bayi asfiksia akan baik
juga.
Apabila individu memiliki sikap yang mendukung terhadap suatu stimulus atau
objek kesehatan maka ia akan mempunyai sikap yang menerima, merespon,
menghargai, bertanggung jawab. Sebaliknya bila ia memiliki sikap tidak mendukung
terhadap suatu objak maka ia akan memiliki sikap yang menunjukkan atau
memperlihatkan penolakan atau tidak setuju (Notoatmodjo, 2007).
Adanya responden yang memiliki sikap negatif disebabkan kurangnya
pengetahuan dari responden tersebut. Oleh karena itu, tenaga kesehatan terlebih
dahulu perlu mendapat informasi yang banyak dari tenaga kesehatan yang lain agar
wawasan dan pengetahuannya bertambah sehingga akan mempengaruhi respon dari
petugas kesehatan tersebut.
37
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
1. Pengetahuan tenaga kesehatan yang masih buruk sebanyak 12 orang (30%)
2. Sikap tenaga kesehatan yang masih negatif sebanyak 11 orang (27,5%)
6.2. Saran
1. Tenaga kesehatan diharapkan lebih meningkatkan pengetahuan tentang resusitasi
pada bayi asfiksia dengan cara mengukuti pelatihan resusitasi bayi asfiksia
2. Diharapkan pada direktur RSUD Deli Serdang Lubuk Pakam dapat menyusun
rencana yang lebih baik untuk tindak lanjut dalam penanganan bayi asfiksia.
3. Diharapkan kepada tenaga kesehatan untuk meningkatkan pemahaman dan respon
yang lebih tinggi serta mengikuti pelatihan resusitasi pada bayi asfiksia supaya
angka kematian bayi asfiksia berkurang.
4. Diharapkan kepada tenaga kesehatan dalam melaksanakan tindakan resusitasi pada
bayi asfiksia supaya benar-benar memperhatikan tindakannya agar bayi asfiksia
dapat terselamatkan.
37
Download