II. TINJAUAN PUSTAKA A. Maturitas Kehamilan 1. Definisi Kehamilan merupakan rangkaian peristiwa yang baru terjadi bila ovum dibuahi dan pembuahan ovum akhirnya berkembang sampai menjadi fetus yang aterm. Kehamilan matur (cukup bulan) adalah kehamilan yang berlangsung kira-kira 40 minggu (280 hari) dan tidak lebih dari 43 minggu (300 hari) serta menghasilkan bayi yang aterm (Manuaba, 2007). Maturitas kehamilan ini berperan pada proses kematangan pada janin dimana pada periode janin ditandai oleh pematangan jaringan dan organ serta pertumbuhan tubuh yang pesat. Panjang janin biasanya dinyatakan sebagai crown-rump lenght (panjang puncak kepala-bokong), ukuran dari verteks tengkorak hingga tumit (Sadler, 2009). Pada kehamilan matur secara umum, lama kehamilan dianggap 280 hari, atau 40 minggu setelah onset hari pertama haid terakhir (HPHT) atau, yang lebih akurat 266 hari atau 38 minggu setelah pembuahan (Sadler, 2009). Bayi yang cukup bulan (≥ umur kehamilan 37 minggu) memiliki waktu yang cukup untuk tumbuh, terkadang bisa lahir dengan janin yang kecil dengan berat < 2500 gram karena memiliki pembatasan pertumbuhan intrauterin (Durousseau & Chavez, 2003). 7 Ditinjau dari tuanya kehamilan, kehamilan dibagi atas 3 bagian; masingmasing (1) kehamilan triwulan pertama (antara 0 sampai 12 minggu), (2) kehamilan triwulan kedua (antara 12 sampai 28 minggu), dan (3) kehamilan triwulan terakhir (antara 28 sampai 40 minggu) (Wiknjosastro, 2002). 2. Diagnosa Kehamilan Tanda dan gejala kehamilan yaitu: a. Amenorea (tidak dapat haid). Gejala ini sangat penting karena umumnya wanita hamil tidak dapat haid lagi. b. Nausea (mual) dan emesis (muntah). Nausea terjadi umumnya pada bulan-bulan pertama kehamilan, disertai kadang-kadang oleh emesis. Sering terjadi pagi hari, tapi tidak selalu. Keadaan ini lazim disebut morning sickness. c. Mengidam (menginginkan makanan atau minuman tertentu). Mengidam terjadi pada bulan-bulan pertama akan tetapi akan menghilang dengan makin tuanya kehamilan. d. Mamma menjadi tegang dan membesar. Keadaan ini disebabkan oleh pengaruh estrogen dan progesterone yang merangsang duktili dan alveoli di mamma. Glandula Montgomery tampak lebih jelas. e. Anoreksia (tidak ada nafsu makan). Biasanya terjadi pada bulanbulan pertama tetapi setelah itu nafsu makan akan timbul lagi. 8 f. Sering kencing terjadi karena kandung kemih pada bulan-bulan pertama kehamilan tertekan oleh uterus yang mulai membesar. g. Obstipasi terjadi karena tonus otot menurun yang disebabkan oleh pengaruh hormon steroid. h. Pigmentasi kulit terjadi pada kehamilan 12 minggu ke atas. Pada pipi, hidung dan dahi kadang-kadang tampak deposit pigmen yang berlebihan, dikenal sebagai kloasma gravidarum. Areola mamma juga menjadi lebih hitam karena deposit pigmen yang berlebihan. Daerah leher menjadi lebih hitam. i. Epulis adalah suatu hipertrofi papilla gingivae. Sering terjadi pada triwulan pertama. j. Varises sering dijumpai pada triwulan terakhir. Didapat pada daerah genitalia eksterna, fossa poplitea, kaki dan betis (Wiknjosastro, 2002). B. Asfiksia 1. Definisi Beberapa sumber mendefinisikan asfiksia sebagai berikut: a. Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Asfiksia adalah kegagalan napas secara spontan dan teratur pada saat lahir atau beberapa saat setelah lahir yang ditandai dengan hipoksemia, hiperkarbia dan asidosis. 9 b. World Health Organization (WHO) Asfiksia adalah kegagalan bernapas secara spontan dan teratur segera setelah lahir. c. America Academy of Pediatric (AAP) Seorang neonatus bisa disebut asfiksia apabila memenuhi kondisi sebagai berikut: - Adanya asidosis (pH <7) pada darah arteri umbilikalis - Nilai nilai APGAR setelah menit kelima tetap 0-3 - Manifestasi neurologis (kejang, hipotoni, koma atau hipoksik iskemik enselopati) - Adanya gangguan sistem multiorgan, seperti gangguan kardiovaskular, gastrointestinal, hematologi, pulmoner, atau sistem renal (Prambudi, 2013). Asfiksia dapat bermanifestasi sebagai disfungsi multiorgan, kejang dan enselopati hipoksik-iskemik, serta asidemia metabolik. Bayi yang mengalami episode hipoksia-iskemi yang signifikan saat lahir memiliki risiko disfungsi dari berbagai organ, dengan disfungsi otak sebagai pertimbangan utama (Lee, et.al, 2008). 2. Etiologi dan Faktor Risiko Pengembangan paru bayi baru lahir terjadi pada menit-menit pertama kelahiran dan kemudian disusul dengan pernafasan teratur. Bila terdapat gangguan pertukaran gas atau pengangkutan oksigen dari ibu ke janin, akan terjadi asfiksia janin atau neonatus. Gangguan ini dapat timbul pada 10 masa kehamilan, persalinan atau segera setelah lahir. Hampir sebagian besar asfiksia bayi baru lahir ini merupakan kelanjutan asfiksia janin, karena itu penilaian janin selama masa kehamilan, persalinan memegang peranan yang sangat penting untuk keselamatan bayi. Gangguan yang timbul pada akhir kehamilan atau persalinan hampir selalu disertai anoksia/hipoksia janin dan berakhir dengan asfiksia neonatus dan bayi mendapat perawatan yang adekuat dan maksimal pada saat lahir (Depkes RI, 2008). Penyebab kegagalan pernafasan pada bayi, adalah : a. Faktor ibu Hipoksia ibu dapat menimbulkan hipoksia janin dengan segala akibatnya. Hipoksia ibu ini dapat terjadi kerena hipoventilasi akibat pemberian obat analgetika atau anastesia dalam. Gangguan aliran darah uterus dapat mengurangi aliran darah pada uterus yang menyebabkan berkurangnya aliran oksigen ke plasenta dan janin. Hal ini sering ditemukan pada keadaan seperti gangguan kontraksi uterus, misalnya hipertoni, hipotoni, atau tetani uterus akibat penyakit atau obat, hipotensi mendadak pada ibu karna perdarahan, hipertensi pada penyakit eklamsi dan lain-lain. b. Faktor plasenta Pertukaran gas antara ibu dan janin dipengaruhi oleh luas dan kondisi plasenta. Asfiksi janin akan terjadi bila terdapat gangguan mendadak 11 pada plasenta, misalnya solusio plasenta, perdarahan plasenta, dan lain-lain. c. Faktor fetus Kompresi umbilikus akan mengakibatkan gangguan aliran darah dalam pembuluh darah umbilikus dan menghambat pertukaran gas antara ibu dan janin. Gangguan aliran darah ini dapat ditemukan pada keadaan tali pusat menumbung, melilit leher, kompresi tali pusat antara janin dan jalan lahir dan lain-lain. d. Faktor neonatus Depresi pusat pernafasan pada BBL dapat terjadi karena pemakaian obat anastesi/analgetika yang berlebihan pada ibu secara langsung dapat menimbulkan depresi pusat pernafasan janin, traoma yang terjadi pada persalinan mosalnya perdarahan intra cranial, kelainan kongenital pada bayi masalnya hernia diafragmatika, atresia atau stenosis saluran pernafasan, hipoplasia paru dan lain-lain. (Depkes RI, 2008) Faktor risiko pada asfiksia dapat dilihat pada Tabel 1 berikut : Tabel 1. Faktor risiko Faktor risiko antepartum Primipara Penyakit pada ibu Demam saat kehamilan Hipertensi dalam kehamilan Anemia Diabetes mellitus Penyakit hati dan ginjal Faktor risiko intrapartum Malpresentasi Partus lama Persalinan yang sulit dan traumatik Mekoneum dalam ketuban Ketuban pecah dini Induksi oksitosin Prolaps tali pusat Faktor resiko janin Prematuritas BBLR Pertumbuhan janin terhambat Kelainan kongenital 12 Penyakit kolagen dan pembuluh darah Perdarahan antepartum Riwayat kematian neonatus sebelumnya Penggunaan sedasi, analgesi atau anestesi (America Academy Pediatric, 2002) 3. Patofisiologi Kesulitan pada bayi di masa transisi terjadi karena bayi kekurangan oksigen atau kegagalan peningkatan tekanan udara di paru-paru akan mengakibatkan arteriol di paru-paru tetap konstriksi sehingga terjadi penurunan aliran darah ke paru-paru dan pasokan oksigen ke jaringan. Pada beberapa kasus, arteriol di paru-paru gagal untuk berelaksasi walaupun paru-paru sudah terisi dengan udara atau oksigen (Perinasia, 2006). Pada saat pasokan oksigen berkurang, akan terjadi konstriksi arteriol pada organ seperti usus, ginjal, otot dan kulit, namun demikian aliran darah ke jantung dan otak tetap stabil atau meningkat untuk mempertahankan pasokan oksigen. Penyesuaian distribusi aliran darah akan menolong kelangsungan fungsi organ-organ vital. Walaupun demikian jika kekurangan oksigen berlangsung terus maka terjadi kegagalan fungsi miokardium dan kegagalan peningkatan curah jantung, penurunan tekanan darah, yang mengkibatkan aliran darah ke seluruh organ akan berkurang. Sebagai akibat dari kekurangan perfusi oksigen dan oksigenasi jaringan, akan 13 menimbulkan kerusakan jaringan otak yang irreversible, kerusakan organ tubuh lain, atau kematian. Keadaan bayi yang membahayakan akan memperlihatkan satu atau lebih tanda-tanda klinis seperti tonus otot buruk karena kekurangan oksigen pada otak, otot dan organ lain; depresi pernapasan karena otak kekurangan oksigen; bradikardia (penurunan frekuensi jantung) karena kekurangan oksigen pada otot jantung atau sel otak; tekanan darah rendah karena kekurangan oksigen pada otot jantung, kehilangan darah atau kekurangan aliran darah yang kembali ke plasenta sebelum dan selama proses persalinan; takipnu (pernapasan cepat) karena kegagalan absorbsi cairan paru-paru; dan sianosis karena kekurangan oksigen di dalam darah (Perinasia, 2006). Frekuensi jantung mulai menurun pada saat bayi mengalami apnu primer, sedangkan tekanan darah akan tetap bertahan sampai dimulainya apnu sekunder (gambar 3). Gambar 3. Perubahan frekuensi jantung dan tekanan darah selama apnu Sumber : America Academy of Pediatric dan America Heart Association. Buku panduan resusitasi neonatus. Edisi ke-5, 2006 Bayi dapat berada pada fase antara apnu primer dan apnu dan seringkali keadaan yang membahayakan ini dimulai sebelum atau 14 selama persalinan. Akibatnya saat lahir, sulit untuk menilai berapa lama bayi telah berada dalam keadaan membahayakan. Pemeriksaan fisik tidak dapat membedakan antara apnu primer dan sekunder, namun respon pernapasan yang ditunjukkan akan dapat memperkirakan kapan mulai terjadi keadaan yang membahayakan itu (Perinasia, 2006). Jika bayi menunjukkan tanda pernapasan segera setelah dirangsang, itu adalah apnu primer. Jika tidak menunjukkan perbaikan apa-apa, ia dalam keadaan apnu sekunder. Sebagai gambaran umum, semakin lama seorang bayi dalam keadaan apnu sekunder, semakin lama pula dia bereaksi untuk dapat memulai pernapasan. Walau demikian, segera setelah ventilasi yang adekuat, hampir sebagian besar bayi baru lahir akan memperlihatkan gambaran reaksi yang sangat cepat dalam hal peningkatan frekuensi jantung (Perinasia, 2006). Jika setelah pemberian ventilasi tekanan positif yang adekuat, ternyata tidak memberikan respons peningkatan frekuensi jantung maka keadaan yang membahayakan ini seperti gangguan fungsi miokardium dan tekanan darah, telah jatuh pada keadaan kritis. Pada keadaan seperti ini, pemberian kompresi dada dan obat-obatan mungkin diperlukan untuk resusitasi (Perinasia, 2006). 4. Pengkajian klinis Menurut Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal (2009) pengkajian pada asfiksia neonatorum untuk melakukan resusitasi semata-mata ditentukan oleh tiga hal penting, yaitu : 15 a. Pernafasan Observasi pergerakan dada dan masukan udara dengan cermat. Lakukan auskultasi bila perlu lalu kaji pola pernafasan abnormal, seperti pergerakan dada asimetris, nafas tersengal, atau mendengkur. Tentukan apakah pernafasannya adekuat (frekuensi baik dan teratur), tidak adekuat (lambat dan tidak teratur), atau tidak sama sekali. b. Denyut jantung Kaji frekuensi jantung dengan mengauskultasi denyut apeks atau merasakan denyutan umbilicus. Klasifikasikan menjadi >100 atau <100 kali per menit. Angka ini merupakan titik batas yang mengindikasikan ada atau tidaknya hipoksia yang signifikan. c. Warna Kaji bibir dan lidah yang dapat berwarna biru atau merah muda. Sianosis perifer (akrosianosis) merupakan hal yang normal pada beberapa jam pertama bahkan hari. Bayi pucat mungkin mengalami syok atau anemia berat. Tentukan apakah bayi berwarna merah muda, biru, atau pucat. Ketiga observasi tersebut dikenal dengan komponen skor apgar. Dua komponen lainnya adalah tonus dan respons terhadap rangsangan menggambarkan depresi SSP pada bayi baru lahir yang mengalami asfiksia kecuali jika ditemukan kelainan neuromuscular yang tidak berhubungan. 16 Nilai Apgar pada umumnya dilaksanakan pada 1 menit dan 5 menit sesudah bayi lahir. Akan tetapi, penilaian bayi harus dimulai segera sesudah bayi lahir. Apabila bayi memerlukan intervensi berdasarkan penilaian pernafasan, denyut jantung atau warna bayi, maka penilaian ini harus dilakukan segera. Intervensi yang harus dilakukan jangan sampai terlambat karena menunggu hasil penilaian Apgar 1 menit. Kelambatan tindakan akan membahayakan terutama pada bayi yang mengalami depresi berat (Saifuddin, 2009). Walaupun Nilai Apgar tidak penting dalam pengambilan keputusan pada awal resusitasi, tetapi dapat menolong dalam upaya penilaian keadaan bayi dan penilaian efektivitas upaya resusitasi. Jadi nilai Apgar perlu dinilai pada 1 menit dan 5 menit. Apabila nilai Apgar kurang dari 7 penilaian nilai tambahan masih diperlukan yaitu tiap 5 menit sampai 20 menit atau sampai dua kali penilaian menunjukkan nilai 8 dan lebih (Saifuddin, 2009). Skor Apgar dapat dilihat pada Tabel 2 berikut: Tabel 2. Skor Apgar Skor 0 1 2 Frekuensi jantung Tidak ada Usaha pernafasan Tidak ada Tonus otot Lemah <100x/menit Tidak teratur, lambat Beberapa tungkai fleksi >100x/menit Teratur, menangis Semua tungkai fleksi Iritabilitas reflex Tidak ada Menyeringai Batuk/menangis Warna kulit Pucat Biru Merah muda 17 5. Penegakkan Diagnosis a. Anamnesis Anamnesis diarahkan untuk mencari faktor risiko terhadap terjadinya asfiksia neonatorum. b. Pemeriksaan fisis Bayi tidak bernafas atau menangis Denyut jantung kurang dari 100x/menit Tonus otot menurun Bisa didapatkan cairan ketuban ibu bercampur mekonium, atau sisa mekonium pada tubuh bayi c. BBLR Pemeriksaan penunjang Laboratorium : hasil analisis gas darah tali pusat menunjukkan hasil asidosis pada darah tali pusat: PaO2 < 50 mm H2O PaCO2 > 55 mm H2 pH < 7,30 Bila bayi sudah tidak membutuhkan bantuan resusitasi aktif, pemeriksaan penunjang diarahkan pada kecurigaan atas komplikasi, berupa: Darah perifer lengkap Analisis gas darah sesudah lahir Gula darah sewaktu Elektrolit darah (Kalsium, Natrium, Kalium) Ureum kreatinin 18 Laktat Pemeriksaan radiologi/foto dada Pemeriksaan radiologi/foto abdomen tiga posisi Pemeriksaan USG Kepala Pemeriksaan EEG CT scan kepala (Depkes RI, 2008). 6. Penatalaksanaan Sebagian besar bayi baru lahir tidak membutuhkan intervensi dalam mengatasi transisi dari intrauterin ke ekstrauterin, namun sejumlah kecil membutuhkan berbagai derajat resusitasi. a. Persiapan resusitasi Satu tenaga terampil terlatih untuk resusitasi, yang dapat melakukan resusitasi secara lengkap Tenaga tambahan Peralatan resusitasi yang memadai Tindakan pencegahan infeksi (Prambudi, 2013) b. Peralatan/bahan yang disiapkan Perlengkapan penghisapan : Bulb Syringe / balon penghisap Alat penghisap lendir Kateter penghisap, ukuran 5, 6, 8, 10, 12, 14 Fr 19 Penghisap mekanik, tabung, dan selangnya Penghisap mekonium/konektor Perlengkapan ventilasi balon dan sungkup : Balon resusitasi neonatus dengan katup pelepas tekanan Reservoar oksigen untuk memberikan O2 90-100% Sungkup wajah dengan bantalan pinggir, ukuran untuk neonatus cukup bulan dan prematur Oksigen dengan prematur aliran (flowmeter) dan pipa oksigen Peralatan intubasi : Laringoskop dengan daun lurus, No. O (prematur) dan No. 1 (neonatus cukup bulan) Lampu dan baterai cadangan untuk laringoskop Pipa ET 2,5; 3; 3,5; 4 mm Stilet Obat-obatan/bahan Epinefrin 1:10.000 Obat pengembang volume/plasma expander, satu/lebih dari: - Salin normal - Larutan ringer laktat - Darah utuh (whole blood) golongan darah O negatif Natrium bikarbonat 4,2% Dekstrosa 10% Nalokson Aqua steril 20 Kateter umbilikal/pengganti kateter umbilikal (Prambudi, 2013) c. Resusitasi neonatus Secara garis besar pelaksanaan resusitasi adalah sebagai berikut: 1. Langkah Awal Resusitasi Pada pemeriksaan atau penilaian awal dilakukan dengan menjawab 3 pertanyaan: apakah bayi cukup bulan? apakah bayi bernapas atau menangis? apakah tonus otot bayi baik atau kuat? Bila semua jawaban ”ya” maka bayi dapat langsung dimasukkan dalam prosedur perawatan rutin dan tidak dipisahkan dari ibunya. Bayi dikeringkan, diletakkan di dada ibunya dan diselimuti dengan kain linen kering untuk menjaga suhu. Bila terdapat jawaban ”tidak” dari salah satu pertanyaan di atas maka bayi memerlukan satu atau beberapa tindakan resusitasi berikut ini secara berurutan: (1) Langkah awal dalam stabilisasi Memberikan kehangatan Memposisikan bayi dengan sedikit menengadahkan kepalanya Membersihkan jalan napas sesuai keperluan Mengeringkan bayi, merangsang meletakkan pada posisi yang benar pernapasan dan 21 (2) Ventilasi tekanan positif Pastikan bayi diletakkan dalam posisi yang benar. Agar VTP efektif, kecepatan memompa (kecepatan ventilasi) dan tekanan ventilasi harus sesuai. Kecepatan ventilasi sebaiknya 40-60 kali/menit. Tekanan ventilasi yang dibutuhkan sebagai berikut. Nafas pertama setelah lahir, membutuhkan: 30-40 cm H2O. Setelah nafas pertama, membutuhkan: 15-20 cm H2O. Bayi dengan kondisi atau penyakit paru-paru yang berakibat turunnya compliance, membutuhkan: 20-40 cm H2O. Tekanan ventilasi hanya dapat diatur apabila digunakan balon yang mempunyai pengukuran tekanan. Observasi gerak dada bayi: adanya gerakan dada bayi turun naik merupakan bukti bahwa sungkup terpasang dengan baik dan paru-paru mengembang. Bayi seperti menarik nafas maksimum, bayi dangkal. Apabila dada bergerak seperti menarik nafas panjang, menunjukkan paru-paru terlalu mengembang, yang berarti tekanan diberikan terlalu tinggi. Hal ini dapat menyebabkan pneumothoraks. Observasi gerak perut bayi: gerak perut tidak dapat dipakai sebagai pedoman ventilasi yang efektif. Gerak paru mungkin disebabkan masuknya udara ke dalam lambung. 22 Penilaian suara nafas bilateral: suara nafas didengar dengan menggunakan stetoskop. Adanya suara nafas di kedua paru-paru merupakan indikasi bahwa bayi mendapat ventilasi yang benar. Observasi pengembangan dada bayi: apabila dada terlalu berkembang, kurangi tekanan dengan mengurangi meremas balon. Apabila dada kurang berkembang, mungkin disebabkan oleh salah satu penyebab berikut: perlekatan sungkup kurang sempurna, arus udara terhambat, dan tidak cukup tekanan. Apabila dengan tahapan diatas dada bayi masih tetap kurang berkembang sebaiknya dilakukan intubasi endotrakea dan ventilasi pipa-balon (Saifuddin, 2009). (3) Kompresi dada Teknik kompresi dada ada 2 cara: a. Teknik ibu jari (lebih dipilih) o Kedua ibu jari menekan sternum, ibu jari tangan melingkari dada dan menopang punggung o Lebih baik dalam megontrol kedalaman dan tekanan konsisten o Lebih unggul dalam menaikan puncak sistolik dan tekanan perfusi coroner b. Teknik dua jari 23 o Ujung jari tengah dan telunjuk/jari manis dari 1 tangan menekan sternum, tangan lainnya menopang punggung o Tidak tergantung o Lebih mudah untuk pemberian obat c. Kedalaman dan tekanan o Kedalaman ±1/3 diameter anteroposterior dada o Lama penekanan lebih pendek dari lama pelepasan curah jantung maksimum d. Koordinasi VTP dan kompresi dada 1 siklus : 3 kompresi + 1 ventilasi (3:1) dalam 2 detik Frekuensi: 90 kompresi + 30 ventilasi dalam 1 menit (berarti 120 kegiatan per menit) Untuk memastikan frekuensi kompresi dada dan ventilasi yang tepat, pelaku kompresi mengucapkan “satu – dua – tiga - pompa-…” (Prambudi, 2013). (4) Intubasi endotrakeal Cara: a. b. Langkah 1: Persiapan memasukkan laringoskopi Stabilkan kepala bayi dalam posisi sedikit tengadah Berikan O2 aliran bebas selama prosedur Langkah 2: Memasukkan laringoskopi Daun laringoskopi di sebelah kanan lidah Geser lidah ke sebelah kiri mulut 24 c. d. Masukkan daun sampai batas pangkal lidah Langkah 3: Angkat daun laringoskop Angkat sedikit daun laringoskop Angkat seluruh daun, jangan hanya ujungnya Lihat daerah farings Jangan mengungkit daun Langkah 4: Melihat tanda anatomis Cari tanda pita suara, seperti garis vertical pada kedua sisi glottis (huruf “V” terbalik) e. Tekan krikoid agar glotis terlihat Bila perlu, hisap lender untuk membantu visualisasi Langkah 5: Memasukkan pipa Masukkan pipa dari sebelah kanan mulut bayi dengan lengkung pipa pada arah horizontal Jika pita suara tertutup, tunggu sampai terbuka Memasukkan pipa sampai garis pedoman pita suara berada di batas pita suara Batas waktu tindakan 20 detik (Jika 20 detik pita suara belum terbuka, hentikan dan berikan VTP) f. Langkah 6: mencabut laringoskop Pegang pipa dengan kuat sambil menahan kea rah langit-langit mulut bayi, cabut laringoskop dengan hati-hati. 25 Bila memakai stilet, tahan pipa saat mencabut stilet. (Prambudi, 2013). (5) Pemberian epinefrin dan atau pengembang volume (volume expander) a. Epinefrin Larutan = 1 : 10.000 Cara = IV (pertimbangkan melalui ET bila jalur IV sedang disiapkan) Dosis : 0,1 – 0,3 mL/kgBB IV Persiapan = larutan 1 : 10.000 dalam semprit 1 ml (semprit lebih besar diperlukan untuk pemberian melalui pipa ET. Dosis melalui pipa ET 0,3-1,0 mL/kg) Kecepatan = secepat mungkin Jangan memberikan dosis lebih tinggi secara IV. b. Bikarbonat Natrium 4,2% c. Dekstron 10% d. Nalokson (Prambudi, 2013). Keputusan untuk melanjutkan dari satu kategori ke kategori berikutnya ditentukan dengan penilaian 3 tanda vital secara simultan (pernapasan, frekuensi jantung dan warna kulit). Waktu untuk setiap langkah adalah sekitar 30 detik, lalu nilai kembali, dan 26 putuskan untuk melanjutkan ke langkah berikutnya. Berikut algoritma dari resusitasi asfiksia neonatorum (lihat gambar 4): Ya, Rawat Gabung Cukup bulan? Bernafas/Menangis? Tonus baik? Lahir Perawatan Rutin - Hangatkan - Bersihkan jalan nafas jika perlu - Keringkan - Evaluasi lanjutan Tidak Hangatkan, bersihkan jalan nafas jika perlu, keringkan, rangsang Tidak Tidak Labored breathing/ sianosis persisten? FJ < 100 Megap-megap/apnu? 30 detik Ya Ya VTP, monitor SpO2 60 detik Bersihkan jalan nafas Pantau SpO2 Pertimbangkan CPAP Ya Tidak FJ < 100? Ya Koreksi langkah-langkah ventilasi Perawatan Pasca-Resusitasi Tidak FJ < 60? Ya Koreksi langkahlangkah ventilasi Intubasi jika dada tidak mengembang! Pertimbangkan intubasi Kompresi dada, koordinasi dengan VTP Tidak FJ < 60? Pertimbangkan : - Hipovolemia - Pneumotorak Ya Epinefrin IV Target SpO2 Pre-ductal setelah lahir - 1 menit 60-65% - 2 menit 65-70% - 3 menit 70-75% - 4 menit 75-80% - 5 menit 80-85% - 10 menit 85-95% Gambar 4. Algoritma Resusitasi Asfiksia Sumber : American Academy of Pediatrics dan American Heart Association, Edisi ke-6. 2010. 27 C. Kerangka Penelitian 1. Kerangka Teori Asfiksia neonatorum dapat disebabkan oleh faktor-faktor berdasarkan riwayat antepartum dan intrapartum. Faktor-faktor yang termasuk riwayat anterpartum diantaranya adalah hipertensi (eklamsia/preeklamsia), BBLR, maturitas kehamilan, dan sebagainya. Sedangkan faktor-faktor yang termasuk riwayat intrapartum adalah prematur, kelainan letak, prolapse tali pusat, dan sebagainya. Berdasarkan uraian diatas, maka kerangka teori dapat digambarkan sebagai berikut : Riwayat antepartum : Hipertensi (eklamsia/preeklamsia) Bayi Berat Lahir Rendah Maturitas kehamilan Cacat bawaan janin Umur ibu > 35 tahun Oligohidroamnion, hidroamnion Riwayat intrapartum : Prematur Kelainan letak Prolapse tali pusat Ketuban bercampur mekonium Persalinan lama (24 jam) Solusio plasenta dan plasenta previa Trauma lahir Gambar 1. Diagram Kerangka Teori Asfiksia Neonatorum 28 2. Kerangka konsep Adapun kerangka konsep penelitian ini adalah sebagai berikut : Ya Maturitas kehamilan Kejadian asfiksia Tidak Gambar 2. Diagram Kerangka Konsep D. Hipotesa Hipotesa penelitian ini adalah terdapat hubungan antara maturitas kehamilan dengan kejadian asfiksia pada bayi di ruang Neonatologi RSUD Dr. H Abdul Moeloek Provinsi Lampung.