SEMINAR HERITAGE IPLBI 2017 | KASUS STUDI Kajian Pemikiran Akulturasi Henry Maclaine Pont pada Elemen Desain Interior Aula Timur dan Aula Barat ITB Guino Verma [email protected] Mahasiswa Prodi Desain Interior, Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Teknoologi Bandung Abstrak Kolonialisme di Indonesia memberikan pengaruh yang signifikan dalam perkembangan arsitektur di Indonesia. Lahirnya politik etis dapat dikatakan sebagai salah satu alasan adanya usaha arsitekarsitek Belanda mencoba menggabungkan arsitektur Eropa dengan Nusantara. Seorang arsitek Belanda, Maclaine Pont merupakan salah-satu arsitek yang mencoba menggabungkan elemen arsitektur Nusantara dengan arsitektur Eropa. Artikel ini menganalisa lebih lanjut pemikiran Maclaine Pont mengenai akulturasi arsitektur Eropa dengan Nusantara. Analisa juga berlanjut pada perancangan Maclaine Pont dari kacamata desain interior dengan memfokuskan pada salah-satu karyanya, yaitu Aula Timur dan Aula Barat ITB. Saat pengerjaan Aula Timur dan Aula Barat ITB, keilmuan desain interior pada saat itu masih berkembang. Bagaimana pengaruh hal tersebut bagi Maclaine Pont dalam pengerjaan Aula Timur dan Aula Barat ITB pada saat itu? Disamping itu, artikel ini akan membandingkan interior bangunan ketika baru selesai dengan sekarang. Melalui analisa proses akulturasi ini diharapkan bisa menjadi inspirasi arsitek maupun desainer interior dalam mempertimbangkan proses perancangan karyanya. Kata-kunci : Akulturasi, Arsitektur Kolonial, Maclaine Pont, Desain Interior Pendahuluan Kedatangan Bangsa Belanda di Nusantara membawa pengaruh bagi perkembangan arsitektur nusantara. Arsitektur Kolonial Belanda di Nusantara abad 17 hingga 20 mengalami beberapa perkembangan. Arsitektur Kolonial Belanda bersumber dari negara asalnya, kemudian berkembang akibat penyesuaian iklim dan cuaca di Nusantara. Perkembangan arsitektur di Nusantara terus berkembang hingga memunculkan gaya arsitektur Indiche Empire yang dikenalkan pada era pemerintahan Deandels (1808-1811). Diantara sekian banyaknya arsitek Belanda yang bermunculan di Hindia Belanda, terdapat seorang arsitek bernama Henri Maclaine Pont yang berusaha memadukan warisan lokal Indonesia beserta kosmologinya dengan arsitektur Belanda. Hal ini berawal Pada tahun 1920, menurut Handinoto (2008: 17) karya pertamanya dianggap berhasil dalam menggabungkan arsitektur kolonial dengan arsitektur lokal setelah beberapa tahun dibangun. Karya tersebut adalah Aula Timur dan Aula Barat yang berada dalam kompleks Institut Teknologi Bandung (ITB). Hal yang melatarbelakangi ketertarikan Maclaine Pont terhadap kearifan lokal sehingga melahirkan sebuah proses adaptasi akulturasi sangat menarik untuk dianalisis. Struktur unik dan hibridasitas antara warisan lokal dan arsitektur kolonial Belanda/ Eropa pada interior bangunan Aula Timur dan Aula Barat ITB akan dijadikan objek bahasan pada artikel ini. Artikel ini menggunakan pendekatan kualitatif dalam menganalisis pendekatan Pont pada karyanya mengadaptasi elemen-elemen desain interior. Tujuan dari artikel ini adalah membuat pembaca dapat Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017 | C 129 Kajian Pemikiran Akulturasi Henry Maclaine Pont Pada Elemen Desain Interior Aula Timur dan Aula Barat ITB memahami lebih pemikiran Maclaine Pont mengakomodasi pemikiran akulturasi arsitektur lokal dengan arsitektur Belanda, serta meninjau desain interior salah satu karyanya yaitu Aula Timur dan Aula Barat ITB. Pembahasan a. Tentang Maclaine Pont Henry Maclaine Pont merupakan seorang arsitek yang lahir di Meester Cornelis pada tanggal 21 Juni 1885, sebagai anak ke-4 dari lima bersaudara. Maclaine Pont memiliki ibu seorang Maluku, sedangkan ayahnya merupakan blasteran Skotlandia dan Spanyol. Maclaine Pont mulai mempelajari arsitektur pada tahun 1903 di Techneese Hoogeschool Delft dan lulus pada usia 24 tahun. Setelah lulus Henry bekerja pada arsitektur Posthumumush Meyjes di Amsterdam, dimana ia membuat meliputi desain fasad rumah di Overtoom, Amsterdam. Dia juga terlibat dalam pembangunan asrama untuk yayasan Pangeran Alexander (Kota Greendlan). Setelah menjadi arsitek individu di Kota Semarang, Maclaine Pont membuat jurnal atas pemikiran dan ketertarikannya pada sejarah Majapahit dan Ratu Baka. Ia membuat karya-karya dengan dasar pemikiran dan pengalaman perjalanannya mengelilingi pulau Jawa dan Sumatera. Ia merasa begitu pentingnya untuk mengekspresikan nilai kultur lokal dalam perancangannya. Hal ini mulai terasa ketika ia mengerjakan perancangan Barakgebouw Techneese Hoogeschool Bandung yang membuat Maclaine Pont memperoleh reputasi yang baik hingga hari ini. Karya dari Maclaine Pont terhitung sejak tahun 1911-1938, dimana saat itu belum dikenal sama sekali keprofesian desain interior namun lebih dikenal dengan dekorator interior. Desain interior baru dijadikan menjadi sebuah profesi setelah Perang Dunia II berakhir, yaitu sekitar tahun 1950-an. Dengan demikian, diindikasikan bahwa elemen interior yang ada pada karya Maclaine Pont belum mengedepankan kajian interior, melainkan hanya sebagai dekorasi saja (Friska, 2016: 44). b. Pemikiran Maclaine Pont Latar belakang konsep arsitektur Pont sangat berbeda jika dibandingkan dengan Schoemaker dan Ghijsels. Maclaine Pont mencoba untuk menembus intisari arsitektural Jawa untuk dijadikan sebagai pedoman perancangannya. Menurut Peter (2009: 152) Schoemaker menuding Maclaine Pont dalam perancangan Aula Timur dan Aula Barat ITB tidak konsisten dengan lanskap sekitarnya, karena bangunan berciri Minangkabau bukan Jawa. Perencanaan pembangunan Aula Timur dan aula Barat ITB ini menurut Widya (2014) metode desain Henri Maclaine Pont dalam membuat rancangan gedung aula barat dan timur ITB dimulai dari usaha menelaah sistem konstruksi bangunan tradisional Jawa, merasionakan konstruksi serta material, mengubah sistem sosial budaya masyarakat menjadi sistem bangunan, hingga memahami budaya masyarakatnya asli. Maclaine Pont dalam karyanya mencoba untuk menanamkan nilai-nilai lokalitas dengan melogikakannya dengan sistem struktural modern. Menggabungkan arsitektur lokal dengan eropa juga sejalan dengan diterapkannya politik etis dimana adanya tuntutan kesetaraan sosial yang harus diberikan bagi bangsa pribumi. Tampaknya Maclaine Pont mencoba menerapkan hal tersebut melalui pendekatan arsitektur. Berdasarkan keterangan Muhatanto (2002: 121) Perbaikan bagi kehidupan sosial rakyat ini dapat ditemukan sebagaimana anggapan teks-teks arsitektur modern sezaman, dalam teks-teks Maclaine Pont juga dapat ditemui anggapan bahwa arsitektur mempunyai hubungan erat dengan jiwa masyarakatnya. Bahkan, arsitektur bisa berperan positif untuk perbaikan sosial masyarakat sebagaimana nampak pada teks Maclaine Pont yang berkaitan dengan Kongres II Perumahan Rakyat di Semarang, 1925: “Dapatkah perjuangan untuk perbaikan permukiman itu membawa pada pembangunan masyarakat?”. C 130 | Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017 Guino Verma Kehidupan yang saat itu dikelilingi oleh perang, tekanan kapitalisme, dan kerasnya hubungan penjajah dengan rakyat membuat mendorong orang-orang pada saat itu untuk merekonstruksi imajinasi kehidupan ideal di masa lalu. Muhatanto juga menjelaskan bahwa kehidupan ideal seperti ini yang menjadi pemikiran Maclaine Pont pada saat itu. Masa lalu yang dirujuknya adalah masyarakat Jawa semasa Majapahit, kerajaan Hindu-Budha di Jawa Timur yang yang dianggap sebagai zaman keemasan Jawa yang dicoba untuk diraih kembali di tanah Hindia Belanda. Dapat dikatakan bahwa pemikiran ini sejalan dengan ketertarikan Maclaine Pont terhadap Majapahit dan arsitektur percandian di Jawa. Sumbangannya yang terbesar dalam arkeologi Indonesia barangkali adalah pendeskripsiannya mengenai konsep tata kota ibukota Majapahit di Trowulan. c. Barakgebouw Technische Hoogeschool Bandung Aula Timur dan Aula Barat ITB adalah karya Maclaine Pont yang paling sering menjadi ikon dari Kota Bandung maupun ITB sendiri. Aula Timur dahulu dikenal dengan Barakgebouw B, sedangkan Aula Barat dikenal dengan Barakgebouw A. Bangunan ini menerima respon kontroversial dari Professor C.P. Wolff Schoemaker dengan mempermasalahkan bentuk atap kedua bangunan tersebut yang terlihat seperti atap dari bangunan tradisional Minangkabau (Rumah Gadang). Sebaliknya karya ini mengundang tanggapan positif pada harian Preahgerbode dari seorang berinisial “G”. Seorang penulis suku sejarah perkotaan, Haryoto Kunto, orang tersebut adalah Ir. J. Gerber, arsitek yang merancang Gedung Sate. Seorang arsitek Belanda, H.P Berlage yang sedang mengunjungi Pulau Jawa, dalam catatannya perjalanannya juga menyanjung karya Pont ini. Demikian pula ketika ia memberi ceramah di dalam pertemuan Koninklijke Ingenieur, menyambut gembira karya Pont sebagai pencetus dari gaya baru dalam pencarian langgam Indo-Europeesche yang didambakan selama politik etis. Gambar 1. Perbandingan ruang Barakgebouw tahun 1921 dengan tahun 2017. Tidak ada perubahan elemen interior yang cukup signifikan setelah restorasi pada tahun 2013. (Sumber foto kiri: http://filologi-wb22943.kuliahkaryawan.my.id, Sumber Foto kanan: Dokumentasi penulis) Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017 | C 131 Kajian Pemikiran Akulturasi Henry Maclaine Pont Pada Elemen Desain Interior Aula Timur dan Aula Barat ITB Gambar 2. Perbandingan ruang Barakgebouw tahun 1921 dengan tahun 2017. Terlihat perbedaan orientasi ruangan dahulu dengan sekarang. (Sumber foto kiri: http://filologi-wb-22943.kuliahkaryawan.my.id, Sumber Foto kanan: Dokumentasi penulis) Gambar 3. Perbandingan ruang Barakgebouw tahun 1921 dengan tahun 2017. Tidak terlihat perbedaan antara dinding dan struktur yang dahulu dengan sekarang. (Sumber foto kiri: http://www.wikiwand.com/id/Technische_ Hoogeschool_te_Bandoeng, Sumber Foto kanan: Dokumentasi penulis) Perancangan komplek Indicche Technische Hoogeschool dimulai pada tahun 1919. Inspirasi dari rancangan tersebut berasal dari tata ruang keraton-keraton Jawa tua di Solo dan Jogjakarta. Titik berat rancangan arsitektur kompleks ini terletak pada ruangan berlingkung yang dibentuk dari kayu gulam. Sebelum pembangunan Aula Barat dan Aula Timur ini, Maclaine Pont ditemani berkeliling Technische Hoogeschool Bandung oleh seorang pribumi yang merupakan penggagas berdirinya sekolah tinggi rakyat bernama Abdul Moeis. Menurut Friska (2016: 59) Pont dan Moeis memutuskan untuk menerapkan atap Julang Ngapak yang berasal dari rumah-rumah di Sukabumi dengan skala besar sebagai simbol monumental bangunan. Meskipun begitu, menurut Rinaldi (2012) Abdul Moeis tidak mungkin mengusulkan atap Julang Ngapak berhubung beliau merupakan asli Minangkabau. Bangunan ini diresmikan pada tanggal 3 Juli 1920 meskipun belum sepenuhnya rampung dibangun. Bangunan ini baru benar-benar selesai pada tahu 1921. Sejak awal dibangun, restorasi besarbesaran terjadi pada tahun 2013 yang selesai pada tahun 2014 oleh Institut Teknologi Bandung. Perubahan kembali ke bentuk awal dilakukan pada restorasi ini seperti pengerokan terhadap cat hitam pada konstruksi bangunan. Setelah pengerokan dilakukan, ruangan terasa hidup lagi dengan mengekspos lapisan-lapisan kayu gulam yang membentuk konstruksi lengkung dan dapat C 132 | Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017 Guino Verma membedakan material kayu dengan besi. Secara umum, restorasi ini banyak memperbaiki hal-hal pragmatis yang pernah dilakukan pada bangunan ini seperti penambahan pintu masuk, pengacian terhadap kolom, dan lain-lain. Analisis Data a. Relasi Perancangan Karya Maclaine Pont dan Sejarah Desain Interior Dari tabel di atas, dapat diindikasikan bahwa profesi desain interior pada periodisasi Maclaine Pont belum ada. Setelah dua tahun Maclaine Pont berkarya di Indonesia istilah interior dekorator sudah dikenal oleh masyarakat dunia. Pada masa tersebut, tentunya pemahaman mengenai desain interior belum menyeluruh dan belum memiliki kematangan seperti pada saat ini. Hal ini bisa saja berdampak pada karya Maclaine Pont, khususnya Aula Timur dan Aula Barat ITB. Misalnya, dapat dilihat dari fungsi dari bangunan ini dengan material yang diterapkan. Fungsi awal beberapa ruangan pada kedua aula saat setelah selesai dibangun diantaranya adalah untuk laboratorium tertentu. Sedangkan material yang dipilih didominasi oleh kayu yang merupakan material yang mudah terbakar. Aktivitas di dalam laboratorium tentunya memiliki resiko seperti zat-zat yang mudah terbakar apabila ada kecerobohan oleh pengguna. Terlepas dari benar atau salahnya, hal seperti ini bisa saja salah satu permasalahan yang mungkin saja bisa dijadikan bahan diskusi yang menarik. Bagan 1. Hubungan antara periode Maclaine Pont dari awal karir hingga pembangunan Techneese Hoogeschool Bandoeng dengan kronologi sejarah profesi desain interior. Bagan ini membuktikan bahwa perencanaan pembangunan Aula Timur dan Aula Barat ITB belum memiliki pendekatan desain interior yang matang. (Sumber bagan: Tugas Akhir, Kajian Elemen Desain Interior Pada Pemikiran Henry Maclaine Pont Dalam Karya Arsitektur Inkulturasinya di Inndonesia, 2016, dimodifikasi oleh penulis) b. Kajian element desain Interior Aula Timur dan Aula Barat IT B Analisis mengenai elemen desain dan pengaruh akulturasi Aula Timur dan Aula Barat ITB didasarkan pada unsur-unsur desain interior menurut Francis DK. Ching, yaitu form, shape, color, texture, dan light. Sebelum mengkaji element desain tersebut, penulis akan mengkaji elemen pembentuk ruang pada karya Maclaine Pont yang terdiri dari konsep bentuk, penerapan material, finishing material dahulu, Finishing material saat ini, serta konsep warna. Berikut pemaparan datanya melalui tabel berikut. Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017 | C 133 Kajian Pemikiran Akulturasi Henry Maclaine Pont Pada Elemen Desain Interior Aula Timur dan Aula Barat ITB Tabel 1. Kajian Elemen Pembentuk Ruang Terhadap Aula Timur dan Aula Barat ITB Aula Barat dan Aula Timur Konsep Bentuk Penerapan Material Dinding Lantai Langit-langit Tangga Pintu Linear memanjang mengakomoda si bentuk persegi dan garis Linear memanjang mengakomo dasi bentuk persegi dan garis Berbentuk trapesium merespon bentuk konstruksi atap Hanya levelling exterior terhadap interior melalui foyer Menerapkan unsur dekoratif pada lengkungan pintu Beton dan Batu Bata Batu marmer 30 cm x 30 cm Gypsum Board 12 mm Beton Kayu Solid dan Kaca 5 mm Cat tembok warna putih - Cat kayu warna hitam Cat tembok warna putih - Cat tembok putih dan aksen struktur cat tembok hitam Cat tembok Finishing putih dan Material aksen struktur Dahulu cat tembok hitam Konsep Pallet warna yang digunakan Warna berasal dari material itu sendiri (Sumber tabel: Kajian Elemen Desain Interior Inkulturasinya di Indonesia, 2016) Finishing Material Dahulu Jendela Furnished warna kayu Menerapkan unsur dekoratif yang dihimpun pada besi struktur kaca putri Struktur besi kaca patri 5 mm Strukturnya Strukturnya cat besi warna hitam Pada Pemikiran Henry Maclaine Pont Dalam Karya Arsitektur Data tabel di atas merupakan data yang diperoleh dari observasi langsung ke Aula Timur dan Aula Barat ITB yang mungkin saja masih berupa pendapat pribadi yang subjektif dan kurangnya referensi untuk membenarkannya. Hal ini menyebabkan data di atas tidak bisa dikatakan benar sepenuhnya. Misalnya, data di atas menerangkan bahwa material lantai menggunakan batu marmer 30 cm x 30 cm, serta finishing pada dinding menggunakan cat tembok warna putih. Hal tersebut beberapa data yang belum tentu benar dan masih bisa ditelaah lebih lanjut untuk memperoleh pengetahuan yang lebih baik. Tabel 4. Kajian Elemen Desain terhadap Akulturasi pada Aula Timur dan Aula Barat ITB Form Bentuk struktur konstruksi dari garis-garis kayu tersebut membuat arsitektur terlihat monumental, kuat, dan megah Shape Mengadaptasi arsitektur vernacular, yakni atap rumah sunda besar, membuat konstruksi atap terlihat unik Color Texture Lighting Material yang digunakan memiliki tekstur asli tanpa dilakukan finishing yang mengubah tekstur asli Mengoptimalkan pencahayaan alami melalui banyaknya bukaan yang dapat meneruskan cahaya masuk ke dalam interior Pengaplikasian warna alam agar menciptakan suasana natural sehingga memberikan kenyamanan pada user (Sumber tabel: Kajian Elemen Desain Interior Pada Pemikiran Henry Maclaine Pont Dalam Karya Arsitektur Inkulturasinya di Indonesia, 2016) C 134 | Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017 Guino Verma Elemen interior pada Aula Timur dan Aula Barat ini dihubungkan oleh konstruksi lengkungan kayu yang memberikan kesan monumental pada kedua bangunan. Konstruksi ini menjadi salah satu identitas dari bangunan Aula Timur dan Aula Barat ini. Menurut Rizky Hikmayuni (2012) konstruksi tersebut merupakan gabungan konstruksi lamella dengan atap Sunda sederhana. Konstruksi lamella merupakan konstruksi dengan bahan dasar kayu dengan bentangan lebar yang berkembang antara dua Perang Dunia, terutama di Jerman. Rizky Hikmayuni juga menjelaskan bahwa pada bagian bawah konstruksi lengkungan tersebut berupa kolom yang diberi umpak yang identik dengan peletakan tiang-tiang pada arsitektur Joglo. Material yang digunakan merupakan lapisan-lapisan kayu yang diklem dengan menggunakan baja. Gambar 4. Perbandingan bentuk konstruksi lengkung Aula Barat ITB dengan konstruksi lamella. (Sumber foto kiri: Sketsa penulis, Sumber Foto kanan: http://openbuildings.com/buildings/hale-county-animal-shelter-profile2599?_show_description=1) Penerapan konstruksi yang merupakan gabungan dua kebudayaan ini tampaknya merupakan salah satu cara Maclaine Pont dalam menggabungkan arsitektur Nusantara dengan arsitektur Eropa yang sedang berkembang pada saat itu. Penghawaan di dalam ruangan dirancang agar dapat merespon iklim tropis terlihat dari ventilasi-ventilasi dan sirkulasi udara yang didesain sedemikian rupa agar udara dapat mengalir dan melakukan pergantian dengan. Posisi ventilasi di sisi dinding bagian bawah yang menerapkan cross ventilation dapat menjaga suhu udara tetap nyaman di dalam ruangan. Pengaruh arsitektur modern juga tampak pada penggunaan kaca patri pada jendela bangunan. Posisi jendela yang diletakkan pada bagian utara dan selatan bangunan, mungkin Maclaine Pont bermaksud untuk menghindari sinar matahari secara langsung menerpa interior bangunan. Gambar 5. Perbandingan bentuk konstruksi kolom Aula Barat ITB dengan umpak rumah Joglo. (Sumber foto kiri: Sketsa penulis, Sumber Foto kanan: http://www.balijoglo.com/shoes-or-umpak/ Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017 | C 135 Kajian Pemikiran Akulturasi Henry Maclaine Pont Pada Elemen Desain Interior Aula Timur dan Aula Barat ITB Kesimpulan Gagasan Maclaine Pont dalam pembuatan karya arsitektur lebih mengedepankan aspek budaya. Ia belajar untuk masuk ke dalam budaya tersebut dan menjadi bagian dari budaya tersebut sebelum mulai merancang. Hal itu terbukti dari perjalanan yang ia lakukan sebelum mulai melakukan perancangan. Menurut jurnal yang ditulisnya, proses akulturasi itu sangat didalaminya ketika menggagas sebuah perancangan arsitektural. Ketertarikan Maclaine Pont terhadap Majapahit, terutama pada peninggalan berupa Candi Ratu Boko menjadi awal dari pemikirannya mengenai penggabungan dua budaya yang berbeda ini. Proses perencanaan dan pengerjaan Aula Timur dan Aula Barat ITB dapat diasumsikan belum memiliki pendekatan desain interior yang baik berhubung pada saat yang sama keilmuan desain interior belum terlalu berkembang dan belum tersebar dengan baik. Dapat disimpulkan bahwa Pont menerapkan konsep perancangan dengan menggunakan material alam dan material sekitar sebagai material utama dalam perancangan Aula Timur dan Aula Barat. Banyak material yang dibiarkan memiliki warna dan teksturnya sendiri pada karyanya. Sebagai seorang arsitek dia lebih mengedepankan struktur, namun kesan estetik pada interior tetap diperhatikan dalam bentuk-bentuk dekoratif yang kental dengan budaya kearifan lokal. Acknowledgment Terima kasih saya kepada Bapak Bambang Setia Budi, ST, MT, Ph.D yang telah membantu, mengarahkan, memberikan kemudahan bagi penulis dalam menulis artikel ini, serta bimbingannya atas kuliah Arsitektur Kolonial. Artikel ini juga tidak akan ada tanpa saran-saran yang diberikan oleh Bapak Widiharjo, M.Sn sebagai pertimbangan saya dalam memilih judul artikel. Terima kasih juga tidak lupa saya sampaikan kepada Friska Amalia S.Di yang telah mendukung dan mengarahkan penulis dalam menemukan data terkait dengan artikel. Daftar Pustaka Amalia, F. (2016).”Kajian Elemen Desain Interior Pada Pemikiran Henry Maclaine Pont Dalam Karya Arsitektur Inkulturasinya di Inndonesia”. Skripsi. FSRD, Prodi Desain Interior, Institut Teknologi Bandung. Kusuma, D.M.R. (2015, Oktober 9). Artikel: Element Interior. Retrieved from Mahaderakusumadewi Wordpress: https://maderatihkusumadewi.wordpress.com/tag/elemen-interior/ Hindarto, P. (2010, Februari 8). Tag: Element-element dasar desain Interior. Retrieved from A Studio Architect Web site: http://www.astudioarchitect.com/2010/02/elemen-elemen-dasar-desain-interior.html Savitri, A. (2009, Mei 19). anisavitri.wordpress.com. Retrieved from wordpress.com: https://anisavitri.wordpress.com/2009/05/19/maclaine-pont-perintis-arsitektur-indonesia/ Widiharjo. (2017, Februari 22). Karakter Arsitektural Maclaine Pont. (G. Verma, Interviewer) Jessup, H. (1983). Dutch Architectural Visions of Indonesian Tradition. Muqarnas Vol. 3, 138-161. Handinoto. (2008). Studi Perbandingan Karya 3 Orang Arsitek Belanda Kelahiran Jawa Di Indonesia. Retrieved from http://fportfolio.petra.ac.id/user_files/81-005/ARSITEK%20BELANDA.pdf Agie, W.E. (2014). Mengamati Metode Desain Dari Henri Maclaine Pont Terhadap Gedung Aula Timur Dan Barat ITB. Retrieved from: https://www.academia.edu/9484882 Muhatmanto. (2002). “Publikasi Pemikiran Henri Maclaine Pont Di Jawa”. Universitas Kristen Duta Wacana, Yogyakarta Hikmayuni, R.I. (2012). Arsitektur Indis Aula Barat ITB. Retrieved from: https://www.scribd.com/document/110641741/Arsitektur-Indis-aula-Barat-Itb Munir, R. (2012). Kenapa Atap Aula Barat/Timur ITB Bergaya Gonjong Rumah Gadang?. Retrieved from: https://rinaldimunir.wordpress.com/2012/05/29/kenapa-atap-aula-barattimur-itb-bergaya-gonjong-rumahgadang-dh-abdoel-moeis-penggagas-itb/ C 136 | Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017