BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Organisasi berbasis komunitas atau Community Based Organization adalah sebuah organisasi yang terbentuk dari komunitas dan dapat mewadahi beberapa komunitas yang ada di dalamnya. Organisasi merupakan sarana dalam pencapaian tujuan, yang merupakan wadah kegiatan dari orang-orang yang bekerja sama dalam usahanya untuk mencapai tujuan. Organisasi khususnya CBO, memiliki struktur kepengurusan pada umumnya yang terdiri dari ketua, wakil ketua, sekretaris, bendahara, hubungan masyarakat dan seksi-seksi yang ada di dalamnya. Pada struktur organisasi terdapat garis hubungan antar ketua, wakil dan pengurus di dalam struktur kepengurusan yang memiliki garis hubungan antar tugas, wewenang dan tanggung jawab. Masing-masing bagian tersebut melaksanakan tugas dan fungsi yang berbeda tetapi saling berhubungan satu sama lain. Latar belakang sejarah berdirinya sebuah organisasi pastilah berbeda antara organisasi yang satu dengan yang lainnya. Perbedaan tersebut dapat dilihat dari visi dan misi yang di usung oleh setiap organisasi. Berdirinya sebuah organisasi juga dapat dipengaruhi oleh kondisi masyarakat yang melatar belakanginya. Masyarakat Indonesia menerima konstruksi bahwa setiap individu harus berperilaku serasi sesuai dengan jenis kelamin dan perannya. Akan tetapi realita dalam kehidupan sosial menunjukan adanya fenomena waria atau isitilah yang kita kenal telah mengalami beberapa perubahan dari banci, bencong sampai dengan waria. Apapun istilah yang digunakan untuk menyebut kaum waria tetap tidak bisa dipisahkan dari fakta dimana mereka adalah manusia yang secara fisik berjenis kelamin laki-laki namun memiliki sifat, sikap, pola perilaku bahkan peran layaknya perempuan, sehingga masyarakat menganggap hal tersebut sebagai perilaku menyimpang. 1 Posisi kaum waria semakin sulit dan tersudut ketika agama sudah mulai berbicara. Secara umum agama menolak keberadaan waria seperti fatwa yang dikeluarkan oleh MUI pada 1 November 1997 berikut ini : a. Memfatwakan : Waria adalah laki-laki dan tidak dapat dipandang sebagai kelompok (jenis kelamin) tersendiri. Segala perilaku waria yang menyimpang adalah haram dan harus diupayakan untuk dikembalikan pada kodrat semula. b. Departemen Kesehatan dan Departemen Sosial RI untuk membimbing para waria agar menjadi orang yang normal, dengan menyertakan para psikolog. Departemen Dalam Negeri RI dan instansi terkait lainnya untuk membubarkan organisasi waria. Sumber: (http://muhammadabrory.wordpress.com/2011/05/26/bagaimana-sihkedudukan-waria-dalam-islam/, diakses pada 1 Maret 2014). Fatwa MUI semakin menciptakan kondisi diskriminatif terhadap kaum waria. Waria mendapatkan diskriminasi dalam hal perspektif seperti waria dekat dengan kehidupan yang kotor, olok-olok dari masyarakat, hujatan dari tokoh agama, disingkirkan dalam pergaulan, perilaku seks yang abnormal karena waria memiliki rasa suka dan melakukan hubungan seks dengan sesama jenis. Perilaku yang dianggap menyimpang tersebut melekatkan stigma negatif pada diri kaum waria. Diskriminasi terhadap waria juga telah mencapai ranah publik seperti banyaknya tempat yang masih belum bisa menerima atau mempekerjakan waria sebagai pekerja atau karyawan dengan alasan identitas. Identitas transeksual waria tidak termasuk dalam kualifikasi penerimaan sebagian besar pegawai atau karyawan kerja. Diskriminasi tersebut menyebabkan waria tidak dapat mencapai kebutuhan yang mereka inginkan. Kebutuhan seperti makan yang harus mereka tempuh melalui bekerja. Kebutuhan ekspresi ketrampilan dan prestasi sulit dijangkau karena sangat langka tempat kerja yang menerima waria sebagai karyawan. Hal ini menyebabkan waria terperangkap dalam jenis pekerjaan kelas bawah seperti menjadi pekerja seks yang rentan terhadap penyakit IMS (Infeksi Menular Seksual) ataupun menjadi pengamen yang rentan terhadap 2 operasi penertiban Satuan Polisi Pamong Praja. Dengan keadaan seperti itu sangat sulit bagi waria ketika mereka ingin sampai pada tahap aktualisasi diri. Diskriminasi yang dialami kaum waria menyebabkan mereka sulit mengakses hak nya sebagai manusia maupun warga negara pada umumnya. Dalam bukunya (Syarbaini, 2010 : 253) menyebutkan bahwa UUD 1945 telah menyatakan beberapa poin tentang hak sebagai warga negara antara lain yaitu : 1. Hak atas pekerjaan dan perlindungan yang layak. 2. Setiap orang bebas dari pengakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu. Setiap orang memiliki kebutuhan yang ingin dipuaskan, dan tak jarang dari mereka menggabungkan diri kedalam suatu kelompok atau organisasi dengan harapan dapat memuaskan sebagian kebutuhannya. Untuk menghadapi fenomena diskriminasi yang dialami kaum waria, berdirilah organisasi yang bernama Ikatan Waria Yogyakarta (IWAYO). IWAYO menjadi organisasi yang mewadahi para waria baik berasal dari kota Gudeg maupun waria yang berasal dari luar Yogyakarta dengan latar belakang berbedabeda. Sebuah organisasi ataupun kelompok sosial cenderung untuk tidak menjadi kelompok yang statis, akan tetapi selalu berkembang dan mengalami perubahan baik dalam aktivitas maupun bentuknya. Mempelajari organisasi dengan orang-orang yang acapkali terpinggirkan serta pelabelan dan stigma negatif yang diterimanya, tentunya berbeda daripada hanya mempelajari organisasi yang terbentuk pada umumnya (tanpa kekhasan tersendiri). Ini menjadi kasus real yang menarik untuk diteliti, karena mempertontonkan sebuah pertentangan dari apa yang seharusnya terhadap apa yang senyatanya. Dalam ilmu sosiologi, hal ini dikenal dengan pertentangan antara das sein dan das sollen. Legalitas fatwa MUI yang mengharamkan dan memerintahkan organisasi waria untuk ditiadakan, 3 senyatanya organisasi IWAYO justru hadir sebagai wadah para waria untuk menampung kebutuhan, aspirasi serta memperjuangkan hak-haknya. IWAYO berdiri pada tahun 1982 bahkan jauh sebelum fatwa MUI dilegalkan. Dengan dinamika perjalanan yang dilaluinya, IWAYO resmi menjadi sebuah organisasi berbadan hukum dengan kepemilikan akte notaris pada tahun 2010. Tema organisasi Ikatan Waria Yogyakarta ini dirasa lebih mengagumkan karena IWAYO adalah organisasi dengan struktur kepengurusan yang pertama kali berdiri di Yogyakarta. Sebuah organisasi yang sengaja dibentuk oleh para waria. IWAYO menjadi sebuah organisasi sosial berorientasi nonprofit yang memiliki posisi dan peran strategis dalam memperjuangkan kepentingan para anggota dan tujuan bersama yang ingin dicapai. Suatu bentuk perjuangan hak yang nantinya dapat merubah pandangan masyarakat terhadap kaum waria. Bahwa waria tidaklah selalu menjadi manusia kotor, waria tidak selalu menjadi manusia laknat, namun waria juga sama seperti manusia pada umumnya yang mampu berkarya, membantu sesama dan memiliki jiwa sosial yang tinggi. Organisasi menjadi sarana untuk menampung berbagai macam kegiatan yang merepresentasikan peran positif para waria untuk masyarakat. Dengan demikian, diharapkan berbagai diskriminasi dapat diminimalisir dan waria bisa mendapatkan hak sebagaimana manusia dan warga negara pada umumnya. Sebagai sebuah organisasi yang melibatkan sekelompok manusia di dalamnya, pastilah terdapat suatu bentuk kerja sama. Pengurus di dalam struktur organisasi disadari sangat penting peranannya dalam melakukan pengelolaan organisasi. Koordinasi diperlukan untuk memperoleh kesatuan tindakan dalam mencapai tujuan organisasi. Koordinasi antar bagian sesuai dengan kegiatan organisasi akan menjadi salah satu faktor pendukung terhadap kelancaran dan keberhasilan pelaksanaan kegiatan organisasi untuk mencapai tujuan yang ditetapkan. Pengurus IWAYO harus mampu menjalankan fungsi pengelolaan agar organisasi dapat tumbuh dan berkembang sesuai dengan tujuan organisasi. 4 Mempelajari bagaimana organisasi IWAYO ini, peneliti dapat memperoleh perspektif atau pandangan yang dapat peneliti gunakan untuk memperbaiki dan mengembangkan pemahaman tentang cara-cara organisasi IWAYO beroperasi. Peneliti menganggap IWAYO menjadi lebih menarik karena mereka (waria) pun membutuhkan organisasi. Menarik untuk mengkaji bagaimana strategi pengurus dalam melakukan pengelolaan organisasi. Menarik untuk mengupas bagaimana peran organisasi dalam memperjuangkan hak dan eksistensi kaum waria. Entah apa nantinya cara atau strategi yang terbesit dalam organisasi untuk melakukan pengelolaan dan memperjuangkan eksistensi serta hak waria sebagai manusia dan warga negara guna mancapai tujuan menjadi fokus kajian dari penelitian ini. B. Rumusan Masalah Perumusan masalah sering pula diartikan sebagai pembatasan suatu masalah atau fokus dari penelitian yang dilakukan. Penelitian apapun jenisnya haruslah bersumber pada suatu masalah tertentu, tanpa masalah tentu saja penelitian tidak dapat berjalan. Berdasarkan latar belakang di atas, maka peneliti merumuskan permasalahan yang menjadi fokus perhatian penelitian ini. Permasalahan tersebut dirumuskan sebagai berikut : 1. Bagaimana strategi pengurus IWAYO dalam melakukan pengelolaan organisasi ? 2. Bagaimana peran organisasi IWAYO dalam memperjuangkan hak dan eksistensi kaum waria ? C. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian dalam pengkajian ini adalah sebagai berikut : 5 Tujuan Substansial : 1. Untuk mengetahui strategi para pengurus organisasi IWAYO dalam melakukan pengelolaan organisasi. 2. Untuk mengetahui peran organisasi IWAYO sebagai sarana dalam memperjuangkan hak dan eksistensi kaum waria. Tujuan Operasional : 1. Penelitian ini dilakukan untuk memenuhi syarat pencapaian gelar Sarjana Strata 1 dalam Ilmu Sosial dan Ilmu Politik dengan jurusan Sosiologi. 2. Bagi jurusan Sosiologi diharapkan penelitian ini dapat memberikan kontribusi pengetahuan mengenai kajian organisasi yang dimiliki oleh kaum marginal seperti waria di organisasi Ikatan Waria Yogyakarta. 3. Bagi pemerintah diharapkan penelitian ini dapat memberikan masukan tentang jenis kebijakan, pelatihan maupun bantuan yang lebih sesuai untuk para waria. D. Manfaat Penelitian Penelitian ini memberikan manfaat antara lain yaitu : 1. Memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang persoalan yang dialami oleh organisasi Ikatan Waria Yogyakarta. 2. Memberikan pengetahuan dan pemahaman tentang strategi para pengurus organisasi Ikatan Waria Yogyakarta dalam melakukan pengelolaan dan peran organisasi guna memperjuangkan hak dan eksistensi kaum waria. 3. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memperluas wawasan para peneliti lainnya, sehingga dapat melakukan studi yang lebih mendalam dan komprehensif. 4. Memberikan input kepada masyarakat, LSM, maupun pemerintah untuk turut mampu memberikan dorongan baik dalam motivasi maupun peran serta kepada waria agar bisa lebih produktif dan tetap semangat dalam 6 menyuarakan aspirasinya untuk mendapatkan hak-haknya sebagai manusia dan warga negara. 5. Memberikan manfaat bagi pembangunan, pengelolaan maupun pengembangan organisasi Ikatan Waria Yogyakarta. E. Tinjauan Pustaka Ada beberapa peneltian yang terkait dengan waria dan dua diantaranya adalah sebagai berikut : Penelitian yang dilakukan oleh Umi Latiefah dari jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UGM dengan judul “Pesantren Waria dan Konstruksi Identitas : Studi Tentang Waria dalam Membangun Identitasnya di Masyarakat Melalui Pesantren Al-Fattah Notoyudan, DIY” ini menempatkan bagaimana proses terbentuknya identitas waria di Yogyakarta melalui pesantren Al-Fattah di Notoyudan DIY serta bagaimana waria memandang dan dipandang dirinya dalam masyarakat dengan adanya identitas baru tersebut. Pada penelitian yang dilakukan oleh Umi, pesantren waria memberikan wadah baru bagi waria untuk belajar agama. Tidak hanya sebagai tempat untuk belajar agama saja, namun pesantren merupakan alat untuk merekonstruksi identitas baru bagi waria. Bahwa waria pun memiliki Tuhan dan tidak jauh dari agama sehingga bisa mendapatkan image positif dari masyarakat supaya kehadirannya dapat diterima oleh masyarakat. Penelitian kedua adalah milik Titik Widayanti dari jurusan Politik dan Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UGM dengan judul “Politik Subeltern : Pergulatan Politik Identitas Waria”. Penelitian yang dilakukan Titik pada tahun 2009 ini menempatkan pergulatan identitas waria Yogyakarta yang terdiri dari beragam identitas individu, sosial dan budaya. Perbedaan identitas ini menciptakan klaim pada setiap waria. Penelitian ini memfokuskan kajiannya pada pembentukan dan penegasan identitas kolektif waria berikut dengan mekanisme dialogis maupun konfliktual yang menyertainya. 7 Organisasi atau komunitas adalah suatu kelompok, dan disini organisasi Ikatan Waria Yogyakarta merupakan suatu wadah bagi para waria DIY. Organisasi tidaklah berada dalam kondisi statis atau ajeg, ia selalu berkembang sesuai dengan situasi dan kondisi secara internal maupun eksternal organisasi itu sendiri. Didapati banyak faktor yang memperngaruhi proses perkembangan organisasi yang tentunya banyak berpengaruh pada pengurus maupun anggota yang tergabung dalam organisasi tersebut. Dari pola pikir tersebut, posisi dan peran organisasi sangatlah strategis dalam memperjuangkan kepentingan dan tujuan bersama yang hendak dicapai. Sebagai sebuah organisasi yang melibatkan sekelompok manusia di dalamnya pastilah terdapat suatu bentuk kerjasama. Menilik pola pemikiran seorang tokoh bernama C.H. Cooley, dia mengungkapkan betapa pentingnya fungsi kerjasama. Begitu pula sebagaimana disebutkan oleh Soekanto dalam bukunya (Soekanto, 1982 : 66) : “Kerjasama timbul apabila orang menyadari bahwa mereka mempunyai kepentingan-kepentingan yang sama dan pada saat yang bersamaan mempunyai cukup pengetahuan dan pengendalian terhadap diri sendiri untuk memenuhi kepentingan-kepentingan tersebut melalui kerjasama, kesadaran akan adanya kepentingan-kepentingan yang sama, dan adanya organisasi merupakan fakta-fakta yang penting dalam kerjasama yang berguna.” Dua penelitian yang telah disebutkan diatas, menjadi tolak ukur yang memberikan garis besar tentang apa yang menjadi persamaan dan pembeda dari penelitian yang penulis lakukan ini. Persamaan dan perbedaan tersebut terletak dalam aspek dan fokus penelitian. Persamaannya adalah secara garis besar terletak pada aspek yang sama-sama menjadikan kaum waria sebagai sarana untuk penelitian dan menempatkan waria sebagai kelompok yang mendapatkan perlakuan diskriminasi dalam masyarakat serta fokus yang sama-sama menontonkan suatu bentuk perjuangan kaum waria. Perbedaan kedua penelitian tersebut dengan penelitian yang dilakukan peneliti ini adalah sebagai berikut. Penelitian pertama yang dilakukan oleh Titik dengan judul “Politik Subaltern : Pergulatan Identitas Waria” dan yang kedua oleh 8 Umi dengan judul “Pesantren Waria dan Konstruksi Identitas : Studi Tentang Waria dalam Membangun Identitasnya di Masyarakat Melalui Pesantren Waria Al-Fattah Notoyudan, DIY” lebih memfokuskan pada proses terbentuknya identitas waria dan warialah yang lebih ditekankan menjadi obyek penelitiannya, sedangkan fokus yang peneliti lakukan dalam penelitian ini lebih menekankan pada organisasinya sebagai objek kajian. Organisasi sebagai wadah dari 10 titik komunitas waria yang ada di DIY memiliki peran dan strategi tersendiri dalam memenuhi kebutuhan dan mewadahi kepentingan para anggotanya. Organisasi melakukan hal tersebut melalui bentuk pengelolaan serta peran organisasi dalam memperjuangkan hak dan eksistensi kaum waria. Pengelolaan organisasi yang diteliti antara lain seperti : Strategi para pengurus dalam melakukan koordinasi dan jobdesk organisasi dalam berkegiatan, Strategi dalam melakukan sosialisasi penerimaan anggota dan pemilihan pengurus organisasi, Mekanisme organisasi dalam membuat kebijakan Bentuk penyelesaian permasalahan dengan pihak eksternal Strategi organisasi untuk mendapatkan legalitas Mekanisme pengembangan jejaring, advokasi dan pengembangan SDM waria di organisasi Semua hal tersebut dilakukan sebagai upaya untuk memperjuangkan hak dan eksistensi kaum waria. Organisasi memiliki peran sebagai mediating, yakni menjadikan organisasi sebagai “jembatan” penyaluran dan penyerasian berbagai kebutuhan dan kepentingan. Dengan demikian fokus kajian penelitian yang peneliti lakukan ini berbeda dari dua penelitian yang telah dijabarkan diatas. F. Tinjauan Teoritik Dalam penelitian ini peneliti memfokuskan tentang bagaimana strategi pengurus IWAYO dalam melakukan pengelolaan organisasi dan strategi pengembangan organisasi IWAYO dalam memperjuangkan hak kaum waria. Peneliti 9 menggunakan perspektif teori fungsionalisme struktural Talcott Parsons dan teori politik identitas. F.1. Teori Fungsionalisme Struktural Teori fungsionalisme struktural Talcott Parsons peneliti gunakan untuk menjelaskan bagaimana proses yang dilakukan pengurus IWAYO dalam melakukan pengelolaan dan pengembangan organisasi dalam memperjuangkan hak kaum waria. Di dalam teori ini menjelaskan antara lain tentang sistem, struktur, dan empat imperatif fungsional atau yang terkenal dengan skema AGIL. Secara garis besar arah pemikiran di balik teori ini akan menjadi jelas apabila diterangkan dengan analogi biologi. Sebagaimana dijelaskan oleh Sunyoto Usman dalam bukunya bahwa anggaplah badan kita sebagai suatu sistem. Sebagai suatu sistem, badan mempunyai kebutuhan tertentu dan memerlukan pemeliharaan bagi keberadaannya, misalnya kebutuhan rata-rata suhu tubuh (pada angka tertentu secara konstan). Apabila suhu tubuh sesuai dengan kebutuhan badan berarti ada keseimbangan (equilibrium). Apabila suhu tubuh terlalu panas, keseimbangan itu akan terganggu, badan kita akan berkeringat dan setelah itu akan kembali berada pada keseimbangan lagi. Berkeringat adalah fungsional dalam mencari keseimbangan. Contoh tersebut menunjukan bahwa konsep sistem adalah integral atau membentuk satu kesatuan yang saling bergantung dan berkaitan (Usman, 2004 : 61). Tidak berbeda halnya dengan suatu organisasi yang juga merupakan suatu sistem yang di dalamnya terdiri dari beberapa sub-sistem yang harus saling memberikan kontribusinya demi mewujudkan tujuan sistem itu sendiri. Parsons (1951 : 5-6) menyebutkan bahwa di dalam sistem sosial terdiri dari beragam individual yang berinteraksi satu sama lain dalam situasi yang setidaknya memiliki aspek fisik atau lingkungan, aktor yang cenderung termotivasi ke arah “optimasi kepuasan” dan yang hubungannya dengan situasi mereka, termasuk hubungan satu sama lain, 10 didefinisikan dan diperantarai dalam bentuk sistem simbol yang terstruktur secara kultural dan dimiliki bersama (Ritzer, 2008 : 259). Empat Imperatif Fungsional (Skema AGIL) Empat imperatif fungsional atau yang terkenal dengan skema AGIL merupakan sumbangan teoritikal dari Talcott Parsons (Ritzer, 2008 : 257) untuk menjelaskan analisisnya mengenai sistem. Agar mampu bertahan hidup suatu sistem harus menjalankan keempat fungsi tersebut: a. Adaptation/ adaptasi : sistem harus mengatasi kebutuhan situasional yang datang dari luar. Ia harus beradaptasi dengan lingkungan dan harus menyesuaikan lingkungan dengan kebutuhan-kebutuhannya. b. Goal Attainment/ pencapaian tujuan : sistem harus mendefinisikan dan mencapai tujuan-tujuan utamanya. c. Integration/ integrasi : sistem harus mengatur hubungan bagian-bagian yang menjadi komponen-komponennya. Ia pun harus mengatur hubungan antar ketiga imperatif fungsional tersebut (A, G, L) d. Latency/ pemeliharaan pola : sistem harus melengkapi, memelihara, dan memperbarui motivasi individu dan pola-pola budaya yang menciptakan dan mempertahankan motivasi tersebut. Parsons mendesain skema AGIL agar dapat digunakan pada semua level sistem teoritisnya antara lain memadukan AGIL dengan organisme behavioral, sistem kepribadian, sistem sosial dan sistem kultural. Perhatikan gambar berikut untuk penjelasannya. L I A G Gambar I. 1 Skema empat imperatif fungsional (Ritzer, 2008 : 257) 11 Organisme behavioral merupakan sumber energi dari seluruh sistem. Adalah suatu sistem tindakan yang menangani fungsi adaptasi dengan menyesuaikan dan mengubah dunia luar (Ritzer, 2008:257). Disini organisme behavioral harus beradaptasi dan menyesuaikan dengan lingkungan atau mempengaruhi lingkungan untuk dapat memenuhi kebutuhannya. Sistem kepribadian berpadu dengan goal attainment dengan mendefinisikan tujuan sistem dan memobilisasi sumber daya yang digunakan untuk mencapainya (Ritzer, 2008 : 257). Tujuan sistem dalam organisasi IWAYO dapat dilihat dari visi dan misi yang diusungnya. Pada titik ini menerangkan bagaimana strategi pengurus IWAYO dalam melakukan pengelolaan dan pengembangan organisasi untuk memperjuangkan hak kaum waria sebagai tujuan organisasi. Sistem sosial menjalankan fungsi integrasi dengan mengontrol bagian-bagian yang yang menjadi komponennya (Ritzer, 2008 : 257). Komponen yang ada dalam sistem sosial ini antara lain seperti struktur, peran, interaksi, kebijakan, lingkungan, jaringan serta visi dan misi organisasi. Parsons menempatkan kompleks status-peran sebagai unit terbesar dari sistem. Seperti yang telah tertera pada penjelasan di atas, bahwa status merujuk pada posisi struktural dalam sistem sosial dan peran adalah apa yang dilakukan aktor dalam suatu posisi. Status dan peran inilah yang digunakan sebagai instrumen untuk menjalankan fungsi integrasi tersebut. Proses internalisasi dan sosialisasi menjadi hal yang penting dalam integrasi. Parsons tertarik pada cara norma dan nilai suatu sistem ditransfer pada aktor dalam sistem tersebut. Dalam sosialisasi yang berjalan sukses, norma dan nilai tersebut terinternalisasi, yaitu mereka menjadi bagian dari “nurani” aktor. Ini menjadi salah satu bahasan peneliti yang melihat bagaimana strategi IWAYO dalam melakukan sosialisasi atau transfer norma dan nilai kepada waria supaya tetap tangguh dalam memperjuangkan haknya. 12 Sistem kultural menjalankan fungsi latensi membekali aktor dengan norma dan nilai-nilai yang memotivasi mereka untuk bertindak. Kebudayaan memerantarai interaksi antar aktor dan mengintegrasikan kepribadian dengan sistem sosial. Peneliti memaparkan bagaimana strategi dari sistem IWAYO yang harus memelihara, memperbarui motivasi individu dan pola budaya dalam menciptakan serta mempertahankan motivasi tersebut guna mencapai tujuan sistem atau organisasi. F.2. Teori Politik Identitas Politik identitas lebih mengarah pada gerakan dari “kaum yang terpinggirkan” dalam kondisi sosial, politik, dan kurtural tertentu dalam masyarakat. Cressida Heyes memberi definisi politik identitas yang sangat jelas. Menurutnya politik identitas adalah aktivitas politik dalam arti luas yang secara teoritik menemukan pengalaman ketidakadilan yang dirasakan kelompok tertentu dalam situasi sosial tertentu. Sumber : (http://sosiologis.com/politik-identitas, diakses pada 5 Agustus 2014) Menurut Lukmantoro (2008:2) politik identitas adalah tindakan politis untuk mengedepankan kepentingan-kepentingan dari anggota-anggota suatu kelompok karena memiliki kesamaan identitas atau karakteristik, baik berbasiskan pada ras, etnisitas, gender, atau keagamaan. Sumber : (http://dayaknews.blogspot.com/2008/12/teori-politik-identiti.html, diakses pada 5 Agustus 2014) G. Kerangka Konseptual Organisasi IWAYO memiliki struktur kepengurusan yang terdiri dari dewan pembina, ketua, wakil ketua, sekretaris, bendahara, hubungan masyarakat, divisi media kampanye, advokasi, olah raga dan kesenian. Posisi seperti ketua, wakil ketua, bendahara, sekretaris sampai anggota adalah status yang disandang oleh waria, sedangkan apa yang harus dilakukan atau dikerjakan oleh waria terkait statusnya 13 dinamakan dengan peran. Setiap waria menjalankan perannya masing-masing menjadi bagian-bagian kecil yang berkontribusi untuk mewujudkan tujuan sistem atau organisasi. Apabila salah satu bagian terganggu atau tidak menjalankan fungsinya, maka bagian yang lain juga ikut terganggu. Konsep sistem sosial telah membuat suatu pandangan struktural, sedangkan penafsiran terhadap fungsi bagianbagian sistem tersebut membuat pandangan fungsional (Usman, 2004 : 62). Organisasi adalah sistem dan bagian seperti dewan pembina, ketua, wakil ketua, sekretaris, bendahara dan seterusnya disebut sebagai sub-sistem yang menjalankan fungsi dan perananannya. Ketika sistem tidak dijaga, maka ia akan rusak dan tujuan sistem tidak dapat tercapai. Bersamaan dengan tuntutan keadaan kebutuhan masing-masing bagian itu terus berkembang dan berubah. Keadaan tersebut membuat keseimbangan yang bersifat dinamis. Dengan adanya sistem dan sub-sistem seperti pada bagan di atas, maka konsep Parsons tentang sistem dan struktur dalam fungsionalisme struktural dapat bekerja. Berbicara mengenai identitas, identitas melekat erat pada diri setiap manusia, komunitas maupun organisasi. Dengan adanya identitas, menjadi pintu masuk bagi setiap manusia, komunitas maupun organisasi untuk mengenalkan dirinya kepada dunia luar (masyarakat). Identitas menjadi unsur pembeda antara manusia yang satu dengan manusia yang lain atau antara organisasi yang satu dengan organisasi yang lain. Menurut Widayanti (2009 : 14) identitas memiliki peranan penting bagi berlangsungnya kehidupan masyarakat. Identitas mencitrakan kepribadian seseorang dan mampu memberikan kejelasan posisi seseorang tersebut dalam kehidupan sosialnya. Posisi ini memberi ketenangan diri karena pengakuan masyarakat atas posisi tersebut menjamin eksistensinya. Posisi kaum waria di dalam masyarakat masih menjadi kaum yang terpinggirkan. Waria masih menjadi kelompok marjinal karena berbagai diskriminasi yang diterimanya tidak bisa mengantarkan mereka mengakses apa yang menjadi 14 haknya. Organisasi Ikatan Waria Yogyakarta ingin menunjukan kepada masyarakat bahwa waria (dengan berbagai diskriminasi dan stigma negatif yang disandangnya) tidak selalu menjadi manusia kotor, waria tidak selalu menjadi manusia laknat, namun waria juga sama seperti manusia pada umumnya yang mampu berkarya, membantu sesama dan memiliki jiwa sosial yang tinggi. IWAYO memperjuangkan bahwa waria adalah suatu bentuk identitas, waria tetap manusia dan warga negara pada umumnya sehingga dengan identitasnya waria tetap berhak mendapatkan hak sebagai manusia dan warga negara yang tidak terdiskriminasi Pengelolaan dan pengembangan IWAYO dalam perjuangan hak dan eksistensi waria tentunya tidak bisa dilepaskan dari keberadaan pihak seperti lembaga pemerintah, LSM, akademisi, maupun masyarakat yang turut serta dalam proses pencapaian tujuan. Perhatikan bagan berikut ini : Bagaimana IWAYO mempengaruhi pemerintah maupun swasta sehingga memberikan legitimasi dan kapital Bagaimana IWAYO mempengaruhi anggota agar memberikan peran yang signifikan sehingga mampu memperoleh image positif Bagaimana IWAYO mempengaruhi masyarakat sehingga mampu memberikan image positif Bagaimana IWAYO mempengaruhi LSM sehingga mampu memberikan dukungan Gambar I.2. Skema alur strategi IWAYO 15 Dengan strategi pengelolaan dan pengembangan organisasi serta semangat perjuangan politik identitas kaum waria, maka koordinasi antar pengurus dan anggota sebagai sub-sistem IWAYO dapat mengubah bagan di atas menjadi seperti bagan di bawah ini : Memberikan legitimasi dan kapital Anggota mampu berperan serta secara signifikan Memberikan citra positif Memberikan dukungan dan peran serta Gambar I.3. Skema input dari pihak eksternal H. Metode Penelitian H.1. Metode Penelitian Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan jenis penelitian kualitatif. Berdasarkan sifat dan spesifikasi permasalahan yang peneliti angkat dalam penelitian ini serta menemukan kemudian menganalisa apa yang tersembunyi dibalik suatu fenomena kadangkala akan lebih sulit untuk diketahui atau dipahami dengan 16 penelitian kuantitatif. Maka untuk dapat menjelaskan secara menyeluruh, akurat, mendalam dari suatu persepsi, ideologi, serta realitas yang begitu kompleks lebih tepat menggunakan penelitian kualitatif. Turunan yang peneliti gunakan dalam penelitian kualitatif ini adalah dengan menggunakan pendekatan studi kasus. Metode studi kasus adalah pendekatan yang digunakan untuk mempelajari, menerangkan serta menginterpretasikan suatu kasus yang memiliki kekhasan tersendiri. Pendekatan studi kasus dirasa cocok untuk mengkaji penelitian ini. Dengan menggunakan pendekatan studi kasus ada beberapa poin penting yang bisa peneliti dapatkan yaitu berupa informasi mendalam tentang bagaimana strategi pengurus dalam melakukan pengelolaan organisasi serta bagaimana peran organisasi dalam memperjuangkan hak dan eksistensi kaum waria. Fenomena organisasi IWAYO merupakan fenomena yang memiliki kekhasan dan keunikan tertentu dimana legalitas fatwa MUI mengharamkan dan memerintahkan organisasi waria untuk ditiadakan, senyatanya organisasi IWAYO justru hadir sebagai wadah untuk memperjuangkan hak dan eksistensi para waria. H.2. Lokasi Penelitian Berdasarkan judul penelitian IWAYO SEBAGAI MEDIATOR DALAM MEMPERJUANGKAN HAK DAN EKSISTENSI KAUM WARIA, peneliti melakukan penelitian di Jalan Sidomulyo TR IV/ 333 Bener, Tegalrejo Yogyakarta dimana menjadi tempat sekretariat organisasi Ikatan Waria Yogyakarta. Peneliti juga melakukan penelitian di rumah pengurus organisasi sebagai informan yang menjadi narasumber pada penelitian ini. H.3. Fokus Penelitian Peneliti memfokuskan penelitian pada bagaimana strategi para pengurus IWAYO dalam melakukan pengelolaan organisasi dan bagaimana peran organsiasi IWAYO sebagai sarana dalam memperjuangkan hak dan eksistensi kaum waria selama proses perkembangannya. 17 H.4. Cakupan Penelitian Cakupan penelitian ini hanya mencangkup waria yang terlibat di dalam kepengurusan organisasi dan dirasa paling paham benar tentang pengelolaan dan seluk-beluk organsiasi. H.5. Teknik Pengumpulan Data 1. Observasi Ada berbagai macam jenis observasi, diantaranya seperti observasi partisipatif, observasi non-partisipatif, observasi terus terang atau tersamar, dan observasi tak berstruktur. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan observasi partisipatif yaitu peneliti ikut terlibat langsung dengan obyek yang diamati. Pengamatan dilakukan terhadap tempat dimana interaksi dalam situasi sosial sedang berlangsung, perilaku atau orang-orang yang sedang memainkan peran tertentu serta peneliti nantinya akan terlibat langsung dalam kegiatan orang yang sedang diamati atau digunakan sebagai sumber data penelitian. Dengan observasi partisipan ini, maka data yang diperoleh jauh lebih lengkap, tajam, dan sampai mengetahui pada tingkat makna dari setiap perilaku yang nampak. 2. Wawancara mendalam (In-Depth Interview) Wawancara mendalam secara umum adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dengan informan atau orang yang diwawancarai, dengan atau tanpa menggunakan pedoman (guide) wawancara, dimana pewawancara dan informan terlibat dalam kehidupan sosial yang relatif lama. Dengan demikian, kekhasan wawancara mendalam adalah keterlibatannya dalam kehidupan informan (Bungin, Burhan 2007: 108). Tujuan wawancara ini adalah untuk dapat mengeksplorasi pandanganpandangan informan pada sebuah gagasan, program atau situasi secara lebih 18 mendalam. Teknik ini sangat tepat digunakan ketika peneliti ingin tau secara lebih mendalam tentang perilaku dan pemikiran para pengurus IWAYO dalam menyusun strategi dan menyelesaikan berbagai persoalan yang dihadapinya. 3. Dokumentasi Dokumentasi dapat berupa laporan secara tertulis (arsip) maupun foto yang dipergunakan sebagai data. Laporan atau arsip tertulis dapat peneliti lakukan dengan cara membaca literature berupa buku, e-book, paper, penelitian-penelitian dengan informasi terkait waria. 4. Penelusuran data online Peneliti melakukan penelusuran data melalui media online seperti internet atau media jaringan lainnya yang menyediakan informasi terkait dengan data yang dibutuhkan dalam penelitian ini dan tentunya dapat dipertanggungjawabkan. H.6. Informan Teknik penentuan informan yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan metode pengambilan sampel bertujuan (purposive). Purposive adalah teknik memilih sumber data dengan pertimbangan tertentu. Pertimbangan tertentu ini misalnya orang tersebut yang dianggap paling tahu tentang data apa yang peneliti butuhkan, atau mungkin dia sebagai penguasa sehingga akan memudahkan peneliti menjelajahi obyek atau situasi sosial yang diteliti. Pada saat penelitian, peneliti mewawancarai beberapa orang yang dapat dijadikan narasumber dengan rincian sebagai berikut. Pengurus organisasi IWAYO, yang terdiri dari : 1. Ketua organisasi Peneliti mewawancarai ketua organsisasi Ibu Shinta Ratri karena mampu untuk memberikan informasi yang lengkap tentang seluk-beluk organisasi IWAYO. 19 2. Bendahara Peneliti mewawancarai Sheilla sebagai bendahara karena dirasa paham benar tentang persoalan pendanaan yang ada di dalam organisasi. 3. Divisi Advokasi Peneliti juga mewawancarai Yuni Shara sebagai koordinator advokasi karena isu yang diangkat organisasi dalam memperjuangkan hak kaum waria adalah tentang isu advokasi. Ketiga narasumber ini dipilih karena keberadaannya paling mudah untuk ditemui serta sebagai figur yang paling aktif, kaya informasi dan paham benar tentang seluk-beluk organisasi IWAYO, sehingga kebutuhan data yang diinginkan peneliti bisa diwakili oleh ketiga pengurus tersebut untuk menggambarkan data seperti yang diinginkan. H.7. Instrumen Penelitian Dalam penelitian yang peneliti lakukan ini, peneliti menggunakan beberapa instrumen penelitian untuk mengumpulkan data dari para informan yaitu dengan menggunakan panduan wawancara (interview guide), catatan lapangan, dokumen, dan camera digital. H.8. Sumber Perolehan Data Terdapat dua sumber data yang peneliti gunakan sebagai acuan dalam proses penyusunan penelitian ini, yaitu sumber data primer dan sumber data sekunder. 1. Sumber primer Adalah suatu obyek atau dokumen original-material mentah dari pelaku yang disebut “first-hand information” (Silalahi, Ulber 2009 : 289). Atau menurut Moleong, kata-kata dan tindakan orang-orang yang diamati atau diwawancarai merupakan sumber data utama (Moleong, 2000 : 112). Sumber data primer peneliti peroleh 20 berdasarkan hasil penelitian langsung dilapangan, yaitu berdasarkan hasil observasi langsung terhadap obyek penelitian dan juga yang diperoleh melalui informan. 2. Sumber sekunder Merupakan data yang dikumpulkan dari tangan kedua atau dari sumbersumber lain yang telah tersedia sebelum penelitian dilakukan (Silalahi, Ulber 2009 : 291). Data sekunder ini dapat peneliti peroleh dari studi pustaka berbagai literatur serta sumber yang bersangkut paut dengan penelitian ini, sehingga dapat memperkuat data primer. H.9. Teknik Analisis Data Sebelum dilakukan penarikan kesimpulan, data yang telah dikumpulkan harus melalui tahapan analisis terlebih dahulu. Beberapa cara yang peneliti gunakan untuk melakukan analisis data adalah sebagai berikut : 1. Data Reduction (Reduksi Data) Mereduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema dan polanya. Dengan demikian data yang telah direduksi akan memberikan gambaran yang lebih jelas, dan mempermudah peneliti untuk melakukan pengumpulan data selanjutnya, dan mencarinya bila diperlukan (Sugiyono, 2008 : 247). 2. Data Display (Penyajian Data) Data yang terkumpul baik dari observasi, wawancara, maupun dari berbagai dokumen yang ada kemudian disajikan. Penyajian data dapat menggunakan tabel, bagan, hubungan antar kategori, dan semacamnya yang diisi dengan uraian singkat atau dengan teks yang bersifat naratif. Dengan mendisplaykan data, maka akan memudahkan untuk memahami apa yang terjadi, merencanakan kerja selanjutnya berdasarkan apa yang telah dipahami tersebut. 21 3. Penarikan Kesimpulan (Verifikasi) Peneliti berusaha mencari makna dari data yang telah diperoleh dengan melihat pola, tema, hubungan, dan sebagainya dari data yang tersaji. Kesimpulan pada tahap awal masih bersifat kabur, biasanya karena minimnya data yang diperoleh untuk mendukung tujuan penelitian. Namun karena seiring penggalian data lebih lanjut sehingga data semakin banyak dan memuhi kebutuhan tujuan penelitian, maka penarikan kesimpulan dapat terlihat lebih jelas. Kesimpulan dapat dituangkan dalam kalimat yang ringkas, jelas dan kaya makna sehingga memudahkan pembaca untuk menangkap makna dari apa yang menjadi hasil penelitian. 22