BAB II SISTEM PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA DAN

advertisement
BAB II
SISTEM PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA DAN EKSISTENSI
MAHKAMAH KONSTITUSI PASCA PERUBAHAN UUD 1945
2.1. Perubahan Mendasar UUD 1945
Sebelum reformasi, perdebatan tentang UUD 1945 sangat “ditabuhkan” dan
secara
politik
masyarakat
tidak
memiliki
ruang
atau
tempat
untuk
mengekspresikan serta menghidupkan demokrasi karena setiap kebebasan selalu
saja dicurigai dan dianggap mengancam kekuasaan dan mengganggu “kesakralan”
UUD 1945.
Dilakukannya perubahan terhadap UUD 1945 adalah untuk menata kembali
sistem pemerintahan Indonesia dengan merumuskan kembali peran dan fungsi tiga
cabang kekuasaan pemerintahan, setiap cabang kekuasaan saling mengawasi dan
mengimbangi untuk menghindarkan dominasi satu cabang kekuasaan atas cabang
kekuasaan pemerintahan lainnya (prinsip check and balances).67 Perimbangan
kekuasaan adalah hubungan dan struktur kekuasaan antar berbagai lembaga
kekuasaan negara yang diatur di dalam konstitusi. 68 Tidak dapat sangkal bahwa
pada masa pemerintahan Orde Lama maupun Orde Baru, keberadaan UUD 1945
digunakan
untuk
membangun
sistem
otoriterisme.
Yang
membedakan
otoriterisme Orde Lama dan Orde Baru adalah cara membangun sistem tesebut.
Di era Orde Lama, Soekarno membangun otoriterisme dengan terang-terangan
melanggar konstitusi, hal ini tampak jelas dari dikeluarkannya berbagai Penetapan
Presiden (Penpres) yang jelas-jelas inkonstitusional, bukan hanya dari segi
67
68
Alwi Wahyudi, Op.cit., h. 202.
Hamdan Zoelva, 2011, Pemakzulan Presiden di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, h. 41.
42
43
bentuknya melainkan dari segi materi muatannya ditambah lagi keberadaan
Penpres merupakan bentuk peraturan perundang-undangan yang di luar dari
ketentuan UUD 1945 yang dikeluarkan oleh Presiden Soekarno apabila DPR tidak
menyetujui undang-undang yang diusulkan atau diinginkan oleh presiden. 69
Sedangkan pada era Orde Baru, otoriterisme Soeharto di bangun melalui
formalisasi pemuatan di dalam aturan-aturan secara halus atas masalah-masalah
yang sebenarnya melanggar konstitusi, tetapi secara prosedural diberi bentuk
hukum (dijadikan peraturan perundang-undangan) terlebih dahulu sehingga
“seolah-olah” menjadi benar secara hukum. 70
Secara garis besar UUD 1945 memiliki beberapa kelemahan, antara lain;
UUD 1945 memposisikan kekuasaan presiden begitu besar (executive power),
sistem check and balances tidak diatur secara tegas di dalamnnya, ketentuan UUD
1945 banyak yang tidak jelas dan multitafsir, minimnya pengaturan masalah hakhak asasi manusia, sistem kepresidenan, dan sistem perekonomian yang kurang
jelas.71 Berdasarkan itu, tampak jelas bahwa terdapat celah-celah kelemahan dari
UUD 1945 yang digunakan sebagai pintu masuk untuk membangun sistem
otoriterisme
Desakralisasi UUD 1945 tidak dapat dibendung, reformasi pun terjadi pada
tahun 1998 dengan munculnya kekuatan rakyat yang besar untuk menjatuhkan
kekuasaan otoriter birokratik yang bersifat sentralitik selama lebih dari tiga
69
Moh. Mahfud MD, 2009, Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi Isu, Rajawali Pers,
Jakarta (Selanjutnya disebut Moh. Mahfud MD I), h. 134.
70
Ibid., h. 136.
71
Dahlan Thaib, Jazim Hamidi dan Ni‟matul Huda, Op.cit, h.146.
44
dekade masa pemerintahan Soeharto. Ada 6 (enam) tuntutan reformasi yang kuat
menjelang dan terutama setelah kejatuhan Presiden Soeharto, yaitu:
1. Amandemen UUD 1945;
2. Penghapusan Dwifungsi ABRI;
3. Penegakan supremasi hukum, penghormatan Hak Asasi Manusia
(HAM) dan Pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme
(KKN);
4. Desentralisasi dan hubungan yang yang adil antara Pusat dan
Daerah (otonomi daerah);
5. Mewujudkan kebebasan pers;
6. Mewujudkan kehidupan demokrasi. 72
Pada hakekatnya, reformasi merupakan momentum yang strategis untuk
melakukan penataan tehadap kehidupan kenegaraan dengan merumuskan kembali
sistem penyelenggaraan negara yang berdasar pada prinsip-prinsip supremasi
hukum, demokrasi dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia.73
Salah satu tujuan perubahan UUD 1945 menurut Sri Soemantri dan Moh.
Mahfud MD adalah menjadikan UUD sebagai norma perjuangan demokratisasi
bangsa yang terus bergulir untuk mengembalikan paham konstitusionalisme,
sehingga jaminan dan perlindungan hak asasi manusia dapat ditegakkan, anatomi
kekuasaan tunduk pada hukum atau tampilnya supremasi hukum, dan terciptanya
peradilan yang bebas. 74 Selain itu, perubahan UUD menjadi penting karena UUD
1945 merupakan suatu kesatuan rangkaian perumusan hukum dasar Indonesia.
Substansinya harus mencakup landasan-landasan yuridis normatif yang berfungsi
sebagai sarana pengendali terhadap penyimpangan dan penyelewengan dalam
dinamika perkembangan zaman sekaligus sebagai sarana pembaruan masyarakat
72
Majelis Permusyawaratan Rakyat, 2003, Panduan dalam Memasyarakatkan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Sekretariat Jenderal MPR RI, Jakarta, h.
6.
73
Alwi Wahyudi, Op.cit., h. 208.
74
Alwi Wahyudi, Op.cit., h. 252.
45
serta sarana perekayasaan ke aras cita-cita kolektif bangsa Indonesia. 75 Oleh
karena itu, dilakukanlah perubahan terhadap UUD 1945 sebanyak empat kali,
yaitu Perubahan Pertama Tahun 1999, Perubahan Kedua Tahun 2000, Perubahan
Ketiga Tahun 2001, dan Perubahan Keempat Tahun 2002.
Selama kurun waktu empat tahun sejak tahun 1999 sampai tahun 2000,
MPR yang didukung oleh seluruh fraksi (ada sebelas fraksi) menyepakati lima hal
dalam rangka melakukan perubahan terhadap UUD 1945, antara lain:
1.
2.
3.
4.
Tidak mengubah Pembukaan UUD 1945;
Tetap mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
Mempertegas sistem pemerintahan presidensial;
Penjelasan UUD 1945 ditiadakan serta hal-hal normatif dalam Penjelasan
dimasukkan ke dalam pasal-pasal;
5. Perubahan dilakukan dengan cara addendum.76
UUD 1945 ini kemudian tampil dengan perubahan yang signifikan dan
sangat mendasar, hanya nama saja yang dipertahankan sebagai Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sedangkan isinya mengalami
perubahan secara besar-besaran. Hal ini terlihat dari jumlah ketentuan yang
semakin bertambah (bab, pasal, ayat) selain itu substansi yang diadopsi ke dalam
ketentuan tersebut menunjukkan bahwa UUD NRI 1945 mengalami perubahan
yang sangat fundamental dan berubah sama sekali menjadi konstitusi baru. 77
Secara kuantitatif, hasil Perubahan UUD NRI 1945 dapat digambarkan
sebagai berikut:
1. Perubahan Pertama UUD NRI 1945 yang ditetapakan pada tanggal 19
Oktober 1999, hasil amademennya sebanyak 9 pasal dan seluruhnya
berisi 16 ayat;
75
Alwi Wahyudi, Op.cit., h. 252.
Ni‟matul Huda, 2009, Hukum Tata Negara Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, h. 144.
77
Jimly Asshiddiqie, 2010, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Sinar Grafika,
Jakarta (Selanjutnya disebut Jimly Asshiddiqie IV), h. 50.
76
46
2. Perubahan Kedua UUD NRI 1945 yang ditetapkan pada tanggal 18
Agustus 2000, mencakup perubahan yang lebih luas dan lebih banyak
hasil amademennya yakni sebanyak 27 pasal yang tersebar dalam 7 bab,
jika ke-27 pasal tersebut dirinci jumlah ayat atau butirnya maka isinya
mencakup 59 butir ketentuan;
3. Perubahan Ketiga UUD NRI 1945 yang ditetapkan pada tanggal 9
November 2001 dapat dikatakan cukup mendasar, seluruh perubahannya
terdiri dari 7 bab, 23 pasal dan 68 butir ketentuan dan ayat.
4. Perubahan Keempat UUD NRI 1945 yang ditetapkan pada tanggal 10
Agustus 2002 secara keseluruhan mencakup 19 pasal yang terdiri dari 31
butir ketentuan ditambah 1 butir yang dihapus dari naskah UUD. 78
Sedangkan secara substansial, ada beberapa hal yang sangat fundamental
yang diadopsi dan tergambar dalam UUD NRI 1945 yang akan penulis uraikan
secara padat sebagai berikut;
Pertama, adanya pergeseran kekuasaan membentuk undang-undang dari
Presiden ke DPR dan penegasan fungsi dan hak DPR. Pergeseran ini disebabkan
karena sebelum perubahan UUD kekuasaan membentuk undang-undang terletak
di tangan Presiden sedangkan DPR hanya memberikan persetujuan terhadap itu
akan tetapi DPR mempunyai hak untuk mengajukan rancangan undang-undang,
setelah perubahan UUD kekuasaan tersebut diberikan kepada DPR dan Presiden
hanya memberikan persetujuan walaupun diatur pula bahwa Presiden memiliki
hak untuk mengusulkan rancangan undang-undang. Sebab sesungguhnya jika
berpegang pada prinsip pemisahan kekuasaan (separation of power) yang
berdasarkan prinsip check and balances, sangat jelas bahwa kewenangan
membentuk undang-undang tentu berada di tangan lembaga legislatif dan dengan
kembalinya kewenangan tersebut setidaknya DPR lebih berdaya dan berfungsi
sebagaimana mestinya. Sebab pada masa Orde Lama maupun Orde Baru yang
78
Ibid., h. 48-50.
47
berlangsung lebih dari 30 (tiga puluh) tahun tidak ada satu pun undang-undang
yang yang lahir berdasarkan inisiatif DPR. 79 Hal inilah yang menyebabkan
perlunya penegasan fungsi dan hak DPR, mengingat eksistensi DPR pada masa
Orde Lama maupun Orde Baru memang didesain tidak untuk menjadi lembaga
legislatif yang kuat, terutama ketika berhadapan dengan Presiden atau eksekutif.
Hal inilah yang kemudian disempurnakan melalui perubahan UUD, menjadikan
DPR sebagai lembaga yang kuat dan seimbang dengan pemerintah sebagaimana
lazimnya lembaga legislatif yang dipraktekkan di banyak negara dan di dalam
teori atau konsep.80
Kedua, adanya pembatasan masa jabatan presiden selama 5 (lima) tahun dan
sesudahnya dapat dipilih kembali dalam masa jabatan yang sama, hanya untuk
satu kali masa jabatan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 7 UUD NRI 1945.
Sebab dalam pasal yang sama dalam UUD sebelum dilakukannya perubahan,
tidak ada batasan untuk berapa periode seseorang dapat menjabat menjadi
Presiden, hal inilah yang menyebabkan Presiden Soeharto pada masa
pemeritahannya dapat menjabat lebih dari 30 (tiga puluh) tahun atau 6 (enam)
periode masa kepemimpinan.
Ketiga, perubahan sistem otonomi daerah/desentralisasi; pada prinsipnya,
kebijakan otonomi daerah dilakukan dengan mendesentralisasikan kewenangankewenangan yang selama ini tersentralisasi di tangan pemerintah pusat, jika
melihat pengalaman masa lalu, sudah ada kebijakan desentralisasi, namun karena
corak pemerintahan yang dibangun penguasa pada masa itu lebih sentralistik
79
Moh. Mahfud MD I, 2009, Op.cit, h. 145.
Patrialis Akbar, 2013, Lembaga-Lembaga Negara Menurut UUD NRI Tahun 1945, Sinar
Grafika, Jakarta, h. 41-42.
80
48
maka ada kesan otonomi daerah “dikebiri” sehingga menimbulkan ketidakpuasan
dari daerah-daerah terutama daerah yang kaya akan sumber daya alam namun
masih tetap miskin. 81
Keempat, adanya perluasan jaminan konstitusional hak asasi manusia;
lemahnya perlindungan HAM pada masa Orde Lama dan Orde Baru
menyebabkan terjadinya banyak pelanggaran HAM baik terhadap hak sipilpolitik, ekonomi, sosial dan budaya. Sebelum adanya perubahan terhadap UUD,
pengaturan mengenai HAM sangat minim, persoalan HAM ini tidak diatur secara
tegas dan terperinci, terutama tidak diatur dalam Bab tersendiri, hal tersebut diatur
dalam Pasal 27, 28, 29, 30, 31, 32, 33, dan 34. 82 Namun setelah perubahan UUD,
persoalan HAM diatur dalam Bab tersendiri yaitu Bab XA yang terdiri dari 10
pasal, yaitu Pasal 28A sampai dengan Pasal 28J.
Kelima, adanya penegasan mengenai dianutnya konsep negara hukum dan
prinsip kedaulatan rakyat berbasis konstitusi yang sekaligus merubah struktur dan
kewenangan MPR; konsep negara hukum yang semula berada di dalam
Penjelasan UUD 1945 kemudian dipindahkan menjadi Pasal 1 ayat (3) UUD NRI
1945, dengan ditegaskannya Indonesia sebagai negara hukum ini berarti bahwa
kekuasaan tertinggi di dalam negara adalah hukum dalam arti konstitusi,
konstitusi atau hukum menjadi yang tertinggi karena diberikan oleh sumber
kekuasaan tertinggi yaitu rakyat sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 ayat (2)
UUD NRI 1945. Berdasarkan hal tersebut maka secara langsung terjadi perubahan
(pergeseran) terhadap MPR yang eksistensinya sebelumnya berada di tangannya
81
M. Busrizalti, 2013, Hukum Pemda Otonomi Daerah dan Implikasinya, Total Media,
Yogyakarta, h. 62-63.
82
Nuruddin Hadi, 2007, Wewenang Mahkamah Konstitusi, Prestasi Pustaka, Jakarta, h. 23.
49
kemudian beralih pada konstitusi atau hukum, dengan kata lain terjadilah
pergeseran dari supremasi parlemen menjadi supremasi konstitusi yang berbasis
demokrasi.
Keenam, adanya Pemilihan Umum (pemilu); dalam sejarah ketatanegaraan
Indonesia, pemilu telah dilaksanakan dengan karakter yang berbeda-beda. Pemilu
pertama dilaksanakan pada tahun 1955 di era demokrasi liberal Orde Lama.
Pemilu ini melahirkan instabilitas politik, yang justru berujung pada lahirnya
otoritarian pada masa demokrasi terpimpin. Berbeda dengan pemilu pada masa
Orde Baru yang berlangsung sebanyak 6 (enam) kali tidak ada satu pun yang
memenuhi kualifikasi sebagai pemilu yang demokratis. Pemilu pada masa Orde
Baru hanya menjadi alat untuk memperkuat legitimasi kepada kekuasaan yang
ada.83 Oleh karena itu, sesuai dengan prinsip kedaulatan rakyat yang dianut di
dalam UUD NRI 1945 yaitu Pasal 22E UUD NRI 1945 maka secara berkala
setiap 5 (lima) tahun sekali, dilakukan pemilu untuk memilih anggota DPR, DPD,
DPRD, serta Presiden dan Wakil Presiden. Untuk mencapai kualitas pemilu yang
demokratis, UUD NRI 1945 menentukan asas-asas pemilu yaitu langsung, umum,
bebas, rahasia, jujur dan adil.
Ketujuh, Pembentukan Lembaga Baru; Paradigma susunan kelembagaan
negara mengalami perubahan drastis sejak reformasi konstitusi karena berbagai
alasan dan kebutuhan, lembaga-lembaga negara baru dibentuk, meskipun ada juga
lembaga yang dihapuskan. Adapun beberapa lembaga negara dibentuk baru antara
lain; Lembaga Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Lembaga negara baru sebagai
83
h. 9-10.
Janedjri M. Gaffar, 2013, Demokrasi dan Pemilu di Indonesia, Konstitusi Press, Jakarta,
50
langkah akomodasi bagi keterwakilan kepentingan daerah dalam badan
perwakilan tingkat nasional setelah ditiadakannya utusan daerah dan utusan
golongan yang diangkat sebagai anggota MPR. Keberadaannya dimaksudkan
untuk memperkuat kesatuan Negara Republik Indonesia yang dipilih secara
langsung oleh masyarakat di daerah melalui pemilu dan mempunyai kewenangan
mengajukan dan ikut membahas RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah,
hubungan pusat dan daerah, RUU lain yang berkait dengan kepentingan daerah.
Lembaga negara baru berikutnya adalah Komisi Yudisial (KY), salah satu tujuan
pembentukan KY adalah untuk memperkuat independensi kekuasaan kehakiman
(peradilan), hal ini disandarkan pada keprihatinan mendalam mengenai kondisi
wajah peradilan yang murah dan keadilan di Indonesia yang tak kunjung tegak,
dengan kata lain, KY akan menjadi “pengawal setia” reformasi peradilan,
khususnya dalam mencari dan memperbaiki kualitas dan integritas pada hakim. 84
Selain itu ada pula Lembaga Penyelenggara Pemilu, berdasarkan Pasal 22E
ayat (5) UUD NRI 1945 ditentukan bahwa “Pemilihan umum diselenggarakan
oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri”.
Sebenarnya kalimat “suatu komisi pemilihan umum” dalam ketentuan tersebut
tidak bermakna bahwa penyelenggaraan pemilu ini hanya dilaksanakan oleh
Komisi Pemilihan Umum (KPU), MK dalam beberapa putusannya85 menyebutkan
84
Idul Rishan, 2013, Komisi Yudisial Suatu Upaya Mewujudkan Wibawa Peradilan, Genta
Press, Yogyakarta, h. 49.
85
Lihat (1) Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 072-073/PUU-II/2004 mengenai
Pengujian Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah; (2) Putusan
Mahkamah Konstitusi RI Nomor 11/PUU-VIII/201 mengenai Pengujian Undang-Undang Nomor
22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilihan Umum; (3) Putusan Mahkamah Konstitusi RI
Nomor 81/PUU-IX/2011 mengenai Pengujian Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang
Penyelenggara Pemilihan Umum.
51
bahwa kalimat tersebut tidak merujuk kepada sebuah nama institusi, akan tetapi
merujuk pada fungsi penyelenggara pemilu yang bersifat nasional, tetap dan
mandiri, sehingga dalam hal ini Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu)
dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) termasuk sebagai
lembaga penyelenggara pemilu.
Dan yang terakhir lembaga negara yang dibentuk berdasarkan hasil
perubahan UUD NRI 1945 adalah MK. MK merupakan bagian dari lembaga
kekuasaan kehakiman di samping Mahkamah Agung (MA), keberadaan lembaga
baru ini dimaksudkan sebagai penjaga kemurnian konstitusi (the guardian of the
constitution) dan sebagai bentuk dari diterapkannya prinsip checks and balances
yang berfungsi untuk menegakkan paham konstitusionalisme, karena di satu pihak
hukum harus dapat membatasi kekuasaan (agar tidak menjadi sewenangwenang). 86 Kewenangan MK ini tercantum pada Pasal 24C ayat (1) UUD NRI
1945, UU 48/2009 dan UU 24/2003.
UUD NRI 1945 menempati posisi teratas sebagai hukum dasar merupakan
sumber bagi tatanan hukum lain. Oleh sebab itu, perubahan terhadap UUD NRI
1945 dapat menjadi tonggak perubahan tatanan hukum yang lain dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia baik dalam penyelengaraan pemerintahan saat ini
maupun yang akan datang.
86
Abdul Latif, Op.cit, h. 73.
52
2.2. Dampak Perubahan UUD 1945 terhadap Sistem Perundang-undangan
UUD 1945 memiliki fungsi yang amat penting dalam sistem ketatanegaraan
Indonesia, sistem ini dapat berjalan dengan baik apabila ada aturan-aturan yang
digunakan sebagai instrumen juga patokan (batasan) pada saat menyelenggarakan
proses pemerintahan sehingga tidak terjadi penyalahgunaan wewenang (abuse of
power). Perubahan terhadap UUD 1945 tentu membawa dampak bagi sistem
perundang-undangan Indonesia.
Menyinggung soal sistem perundang-undangan berarti berbicara tentang
dua istilah, yakni sistem dan perudang-undangan. Kata „sistem‟ diadaptasi dari
bahasa Yunani yaitu systema yang berarti suatu keseluruhan yang tersusun dari
sekian banyak bagian (whole coumpounded of several parts), atau hubungan yang
berlangsung di antara satuan-satuan atau komponen-komponen secara teratur (an
organized, fungtioning relationship among units or components).87 Dalam bahasa
Inggris „system‟ mengandung arti susunan, jaringan atau cara.88 Jadi dengan kata
lain istilah sistem mengandung arti sehimpunan bagian atau komponen yang
saling berhubungan secara teratur dan merupakan satu kesatuan (a whole).89
Adapun dalam naskah peraturan perundang-undangan maupun dalam
berbagai literatur yang berkaitan dengan Hukum Tata Negara Indonesia dikenal
berbagai istilah yaitu perundangan, perundang-undangan, peraturan perundangan,
peraturan perundang-undangan, dan peraturan negara. Dalam bahasa Belanda di
87
Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, 2013, Dasar-dasar Politik Hukum, Rajawali Pers,
Jakarta, h. 59.
88
John M. Echols dan Hassan Shadily, 2005, Kamus Inggris – Indonesia, Edisi Ke-XXVI,
PT. Gramedia, Jakarta, h. 575.
89
Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, 2013, Loc.cit.
53
kenal istilah wet, wetgeving, wettelijke regels atau wettelijk regeling (en).90 Untuk
istilah perundang-undangan dan peraturan perundang-undangan berasal kata
wettelijke regels. Kedua istilah ini tidak mutlak dipakai secara konstisten,
tergantung pada konteks mana ia digunakan, namun baik istilah perundangundangan maupun peraturan perundang-undangan berasal dari kata “undangundang”, yang merujuk kepada jenis dan bentuk peraturan yang dibuat oleh
negara. 91 Undang-undang dalam literatur Belanda dikenal dengan istilah “wet”
yang mempunyai dua macam arti yaitu “wet in formele zin” dan “wet in materiele
zin” yaitu undang-undang yang didasarkan kepada bentuk dan cara terbentuknya
serta pengertian undang-undang yang didasarkan kepada isi atau substansinya.
Berdasarkan itu dapat dirumuskan sistem perundang-undangan ialah keseluruhan
himpunan peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh negara yang tersusun
secara teratur baik dari segi bentuk maupun substansinya.
Sistem perundang-undangan dapat juga disebut dengan tata urutan peraturan
perundang-undangan. Secara teoritik, jika berbicara mengenai tata urutan
peraturan perundang-undangan tentu tidak terlepas dari ajaran Hans Kelsen yaitu
Stufenbau des Recht atau The Hierarchy of Law yang berintikan bahwa kaidah
hukum merupakan suatu susunan berjenjang dan setiap kaidah hukum yang
rendah bersumber dari kaidah hukum yang lebih tinggi. 92 Menurut Adolf Merkl
murid Hans Kelsen bahwa apabila norma hukum yang berada di atasnya dicabut
atau dihapus, maka norma-norma hukum yang berada di bawahnya tercabut dan
terhapus pula. Dalam hal tata susunan/hierarki sistem norma-norma yang tertinggi
90
Ni‟matul Huda dan R. Nazriyah, Op.cit., h. 2.
Ibid., h. 3-4.
92
Ni‟matul Huda dan R. Nazriyah, Op.cit, h. 23.
91
54
(norma dasar) itu menjadi tempat bergantungnya sistem norma-norma yang
berada di bawahnya sehingga apabila norma dasar itu berubah, maka rusaklah
sistem norma yang ada di bawahnya. 93
Dalam kaitannya dengan itu, Kelsen menyatakan bahwa UUD menduduki
tempat tertinggi dalam hukum nasional sebab ia merupakan landasan bagi sistem
hukum nasional, sehingga apabila terjadi perubahan terhadapnya maka
keberadaan peraturan perundang-undangan yang bergantung padanya menjadi
hilang dasar pijaknya dan tercabut, karena pada hakekatnya UUD merupakan
landasan bagi pembentukan peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam
negara.
Sebelum perubahan, UUD 1945 tidak menentukan secara jelas dan eksplisit
mengenai sistem perundang-undangan atau tata urutan peraturan perundangundangan yang ada di Indonesia. Pada saat itu dikenal beberapa peraturan
perundang-undangan yang terdapat di dalam UUD 1945, sebagai berikut:
1. Undang-Undang, produk legislatif Presiden bersama-sama DPR (Pasal 5
ayat (1) jo Pasal 20 UUD 1945);
2. Peraturan pemerintah sebagai Pengganti Undang-Undang, yang
sederajat dengan Undang-Undang (Pasal 22 UUD 1945); dan
3. Peraturan Pemerintah, yang derajatnya dibawah Undang-Undang (Pasal
5 ayat (2) UUD 1945).94
Di luar dari ketiga peraturan perundang-undangan tersebut tidak dikenal
adanya bentuk lain, hanya saja antara tahun 1945-1949 dijumpai jenis peraturan
lain seperti Maklumat, Penetapan Pemerintah, Peraturan Presiden, Penetapan
Presiden, dan lain-lain. Sedangkan antara tahun 1959-1965 dijumpai ketetapan
93
94
Ni‟matul Huda dan R. Nazriyah, Op.cit, h. 25.
Ni‟matul Huda dan R. Nazriyah, Op.cit, h. 54.
55
MPR(S), Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden. 95 Ini berarti bahwa dalam
pelaksaan UUD, telah terjadi perbuatan-perbuatan yang “menyimpang” dari UUD
1945 yang tidak mempunyai dasar hukum yang kuat dan konstitusional. Oleh
karena itu maka dalam rangka penertiban bagi peraturan perundang-undangan
maka diusulkanlah pembentukan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Sementara RI Nomor XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPR-GR Mengenai
Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan
Perundangan Republik Indonesia (Tap MPRS No. XX/MPRS/1966).
Dalam UUD 1945 memang tidak diatur secara jelas mengenai Tap MPR
seperti halnya Undang-Undang, Perpu maupun Peraturan Pemerintah. Bentuk Tap
MPR ini tumbuh sebagai praktek ketatanegaraan mulai tahun 1960, MPR yang
menurut UUD mempunyai berbagai kewenangan seperti halnya menetapkan
Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN), memilih dan mengangkat Presiden dan
Wakil Presiden, serta mengubah UUD tentu harus membuat keputusan-keputusan
hukum dan untuk itu harus diberi bentuk hukum tersendiri pula dan bentuk hukum
inilah yang disebut sebagai Ketetapan MPR. Tap MPR yang dikeluarkan sebagai
sebuah kebiasaan dalam praktek ketatanegaraan merupakan salah satu sumber
hukum tata negara yang terdapat pada setiap negara. 96
Apabila dipelajari lebih dalam, munculnya Tap MPRS No. XX/MPRS/1966
ini ternyata isinya berasal dari Dewan Perwakilan Rakyat – Gotong Royong
(DPR-GR) yang dalam sidangnya 9 Juni 1966 Pimpinan DPR-GR menyampaikan
kepada MPRS sebuah Memorandum yang berisi: (1) Sumber Tertib Hukum
95
96
Ni‟matul Huda dan R. Nazriyah, Op.cit, h. 55.
Ni‟matul Huda dan R. Nazriyah, Op.cit. h. 67.
56
Republik Indonesia, (2) Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan Republik
Indonesia, dan (3) Susunan Kekuasaan Dalam Negara Republik Indonesia. 97
Ketiga hal di atas disampaikan karena pada masa Pemerintahan Orde Lama
Pancasila tidak dijadikannya atau tidak digunakannya sumber tertib hukum dalam
keputusan-keputusan tertentu. Alasan diajukannya hierarki peraturan perundangundangan
dalam
Tap
MPRS
No.
XX/MPRS/1966
disebabkan
oleh
dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 telah dijadikan sebagai dasar hukum
bagi penetapan Presiden yang sederajat dengan undang-undang. Di mana dengan
diberlakukannya UUD NRI 1945, maka semua peraturan perundang-undangan
yang berlaku dan akan dikeluarkan harus berdasarkan UUD NRI 1945 yang sejak
5 Juli 1959 merupakan hukum dasar tertulis. 98
Di dalam Tap inilah dapat dilihat tata urutan peraturan perundang-undangan
yang ada di Indonesia pada masa itu, antara lain:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945;
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara;
Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
Peraturan Pemerintah;
Keputusan Presiden;
Peraturan-Peraturan Pelaksanaan lainnya seperti:
a. Peraturan Menteri;
b. Instruksi Menteri;
c. dan lain-lainnya.
Dalam rangka tertibnya peraturan perundang-undangan, Tap MPRS No.
XX/MPRS/1966 tentu sangat berguna pada saat itu, walaupun terdapat juga
kelemahan-kelemahan yang dirasakan di sana-sini, hal itu terlihat dari
ditemukannya jenis-jenis peraturan perundang-undangan lain, seperti Keputusan
97
98
Ni‟matul Huda dan R. Nazriyah, Op.cit, h.68.
Ni‟matul Huda dan R. Nazriyah, Loc.cit.
57
Menteri, Keputusan Lembaga Non Departemen, Peraturan Daerah dan Keputusan
Kepala Daerah. Jadi, jika berpijak pada Tap tersebut maka peraturan yang tidak
disebutkan di dalam Tap tidak memiliki dasar yuridis. Selain itu, kata “dan lainlain” menimbulkan berbagai penafsiran, apabila makna kata “dan lain-lain”
termasuk pula Keputusan Menteri maka kedudukannya berada di bawah Instruksi
Menteri, hal ini tentu sangat ganjil. 99
Seiring dengan berjalannya waktu, dalam rangka melakukan pembaharuan
terhadap sistem peraturan perundang-undangan di era reformasi, kekurangan dan
kelemahan Tap MPRS No. XX/MPRS/1966 kemudian disempurnakan dengan
diterbitkannya Tap MPR No. III/MPR/2000. Adapun tata urutan peraturan
perundang-undangan berdasarkan Tap ini adalah:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Undang-Undang Dasar 1945;
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia;
Undang-Undang;
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
Peraturan Pemerintah;
Keputusan Presiden;
Peraturan Daerah.
Peraturan perundang-undangan yang tersusun secara hierarkis tersebut
mengandung konsekuensi bahwa suatu peraturan perundang-undangan yang lebih
rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi. Hal ini dimaksudkan agar terciptanya kepastian hukum dalam sistem
perundang-undangan Indonesia.
Perumusan mengenai bentuk dan tata urutan peraturan perundang-undangan
di atas tampak cukup baik di mana Peraturan Daerah telah secara resmi menjadi
99
Ni‟matul Huda dan R. Nazriyah, Op.cit, h.68.
58
sumber hukum yang masuk ke dalam tata urutan peraturan perundang-undangan.
Namun, masih dikatakan kurang sempurna karena kedudukan Perpu yang berada
di bawah undang-undang yang dinilai kurang tepat padahal substansinya sama, di
samping itu nomenklatur “peraturan” dan “keputusan” dalam Pasal 4 ayat (2) di
dalam Tap ini yang menimbulkan berbagai macam penafsiran.
Pada tahun 2004, dibentuklah Undang-Undang RI Nomor 10 Tahun 2004
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU 10/2004) untuk
memenuhi perintah Pasal 22A UUD NRI 1945 dan Pasal 6 Tap MPR No.
III/MPR/2000. Undang-undang ini pada dasarnya dimaksud untuk membentuk
suatu ketentuan yang baku mengenai tata cara pembentukan peraturan perundangundangan baik di tingkat pusat maupun daerah, sekaligus mengatur secara lengkap
dan terpadu mulai dari tahap perencanaan yang diatur melalui Program Legislasi
Nasional dan Program Legislasi Daerah, sistem, asas, jenis dan materi muatan
masing-masing peraturan perundang-undangan, tahap persiapan, pembahasan,
pengesahan, pengundangan dan penyebarluasan, maupun partisipasi masyarakat.
Adapun jenis peraturan yang terakomodir di dalam UU 10/2004 sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 7 ayat (1), antara lain:
1.
2.
3.
4.
5.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
Peraturan Pemerintah;
Peraturan Presiden;
Peraturan Daerah;
a. Peraturan Daerah Provinsi;
b. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota;
c. Peraturan Desa.
Berdasarkan tata urutan peraturan perundang-undangan di atas, Tap
MPR/MPRS dihapuskan dan dikembalikannya Perpu yang berkedudukan sejajar
59
dengan undang-undang. Jenis peraturan perundang-undangan selain dalam
ketentuan di atas, antara lain; Peraturan yang dikeluarkan oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan,
Bank Indonesia, Menteri, kepala badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang
dibentuk oleh undang-undang atau pemerintah atas perintah undang-undang,
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.100
Sayangnya, undang-undang ini tidak menentukan secara jelas eksistensi Peraturan
Menteri, apakah berada di atas atau di bawah Peraturan Daerah/Peraturan Desa.
UU 10/2004 kemudian digantikan dengan UU 12/2011. Ada beberapa
kelemahan-kelemahan yang menyebabkan dilakukannya perubahan terhadap UU
10/2004, antara lain:
1. Materi dari UU 10/2004 banyak yang menimbulkan kerancuan dan
multitafsir sehingga tidak memberikan suatu kepastian hukum;
2. Teknik penulisan rumusan banyak yang tidak konsisten;
3. Terdapat materi baru yang perlu diatur sesuai dengan perkembangan
atau kebutuhan hukum dalam Pembentukan Peraturan Perundangundangan; dan
4. Penguraian materi sesuai dengan yang diatur dalam tiap bab sesuai
dengan sistematika.101
Adapun bentuk-bentuk penyempurnaan yang dimasukkan ke dalam UU
12/2011, yakni:
1. Penambahan Tap MPR;
2. Perluasan cakupan perencanaan peraturan perundang-undangan tidak
hanya untuk Prolegnas dan Prolegda melainkan juga perencanaan
100
101
Lihat Penjelasan Pasal 7 ayat (4) UU 10/2004.
Ni‟matul Huda dan R. Nazriyah, Op.cit, h. 86
60
3.
4.
5.
6.
Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan Peraturan Perundangundangan lainnya;
Pengaturan mekanisme pembahasan Rancangan Undang-Undang
tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
Pengaturan Naskah Akademik sebagai suatu persyaratan dalam
penyusunan Rancangan Undang-Undang atau Rancangan Peraturan
Daerah Provinsi dan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota;
Pengaturan mengenai keikutsertaan Perancang Peraturan Perundangundangan, peneliti, dan tenaga ahli dalam tahapan Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan; dan
Penambahan teknik penyusunan Naskah Akademik dalam Lampiran I
undang-undang ini. 102
Pada akhirnya, pasca perubahan UUD NRI 1945 dengan adanya penegasan
konsep negara hukum dan supremasi hukum yang dianut oleh Indonesia
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945 bahwa negara
Indonesia adalah negara hukum yang mengedepankan UUD NRI 1945 sebagai
hukum tertinggi membawa dampak atau konsekuensi yuridis bahwa UUD NRI
1945 harus digunakan sebagai patokan atau rujukan dalam pembentukan peraturan
perundang-undangan yang berada di bawahnya demi terciptanya sistem
perundang-undangan yang baik.
2.3. Kekuasaan Mahkamah Konstitusi dalam Sistem Ketatanegaraan
Indonesia
Membicarakan MK berarti tidak dapat lepas dari jelajah historis akan
konsep dan fakta mengenai judicial review, yang sejatinya merupakan
kewenangan paling utama lembaga MK. Sejarah „institusi‟ yang berperan
melakukan kegiatan constitutional review di dunia berkembang pesat melalui
102
Ni‟matul Huda dan R. Nazriyah, Loc.cit.
61
tahap-tahap pengalaman yang beragam di setiap negara. 103 Lembaga yang
berfungsi melakukan pengujian konstitusional itu bernama Mahkamah Konstitusi.
Negara yang dapat dikatakan sebagai pelopor dalam membentuk MK di Eropa
adalah Austria yang mengadopsikan ide pembentukannya itu dalam UUD 1920. 104
Mahkamah Konstitusi Austria dapat dikatakan merupakan gagasan (brainchild)
progresif dari Hans Kelsen.105 Namun Sejarah judicial review muncul pertama
kali di Amerika Serikat melalui putusan Mahkamah Agung (Supreme Court)
Amerika Serikat dalam perkara “Marbury vs Madison” pada tahun 1803.
Meskipun Undang-Undang Dasar Amerika Serikat tidak mencantumkan judicial
review, namun Supreme Court Amerika Serikat membuat putusan yang
mengejutkan. Chief Justice John Marshall didukung empat hakim agung lainnya
menyatakan bahwa pengadilan berwenang membatalkan undang-undang yang
bertentangan dengan konstitusi. Keberanian John Marshall dalam kasus itu
menjadi presiden dalam sejarah Amerika yang kemudian berpengaruh luas
terhadap pemikiran dan praktik hukum di banyak negara. Semenjak itulah, banyak
undang-undang federal maupun undang-undang negara bagian yang dinyatakan
bertentangan dengan konstitusi oleh Supreme Court.106
Mahkamah konstitusi di beberapa negara memiliki fungsi yang berbeda,
antara lain: Kewenangan untuk menguji rancangan undang-undangan dan
103
Jimly Asshiddiqie, 2010, Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara,
Sinar Grafika, Jakarta (Selanjutnya disebut Jimly Asshiddiqie V), h.1.
104
Jimly Asshiddiqie dan Ahmad Syahrizal, 2012, Peradilan Konstitusi di 10 Negara, PT.
Sinar Grafika, Jakarta, h. 1.
105
Ahmad Syahrizal, 2006, Peradilan Konstitusi, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, h. 131.
106
Janedjri M. Gaffar, 2009, “Kedudukan, Fungsi dan Peran Mahkamah Konstitusi Dalam
Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia” Majalah Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia,
Surakarta 17 Oktober 2009, h. 3.
62
perjanjian internasional apakah telah berkesesuaian dengan kontitusi; menentukan
nasib partai politik yang tidak konstitusional; memutus sengketa hasil pemilu
(Konstitusi);
maupun
memberhentikan
pejabat
senior
dalam
sistem
pemerintahan. 107
Di Indonesia, penegasan Indonesia sebagai negara hukum sebagaimana
diamanatkan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945 membawa konsekuensi
terhadap setiap sikap, kebijakan dan tindakan alat negara dan warga negara harus
berdasar dan sesuai dengan hukum, hukumlah yang menjadi komando tertinggi
dalam penyelenggaraan negara.
Salah satu unsur terpenting terhadap adanya penegasan sebagai negara
hukum adalah adanya sistem pemisahan kekuasaan (separation of power) dalam
negara. Menurut Jimly Asshiddiqie sistem pemisahan kekuasaan Indonesia saat
ini bukan dalam konteks pengertian Trias Politica Montesquieu.108 Sistem baru
yang dianut oleh UUD NRI 1945 pasca perubahan keempat adalah sistem
pemisahan kekuasaan berdasarkan prinsip check and balances, dalam arti ketiga
cabang kekuasaan negara baik legislatif, eksekutif dan yudisial sama-sama
memiliki kedudukan yang sederajat dan saling mengontrol satu sama lain sesuai
dengan prinsip check and balances.
Walaupun prinsip check and balances yang diadopsi ke dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia ini relatif masih baru, namun hal membuat ketiga
kekuasaan negara tersebut dapat diatur, dibatasi bahkan dikontrol dengan sebaikbaiknya, sehingga penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat penyelenggara negara
107
Ahmad Syahrizal, Op.cit., h. 133.
Jimly Asshiddiqie, 2009, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Rajawali Pers, Jakarta,
(Selanjutnya disebut Jimly Asshiddiqie VI), h. 294.
108
63
ataupun pribadi-pribadi yang kebetulan sedang menjabat dalam lembaga-lembaga
negara yang bersangkutan dapat dicegah dan ditanggulangi dengan sebaikbaiknya.
MK merupakan lembaga negara baru yang masuk ke dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia berdasarkan hasil amandemen ketiga pada tahun 2001.
Awalnya kedudukan MK dalam sistem ketatanegaraan menjadi perdebatan yang
cukup serius bahkan menyita waktu yang cukup lama. Pertanyaan pokoknya
adalah akan diletakkan dimana MK dalam sistem ketatanegaraan, khususnya
terkait dengan hubungan dengan lembaga-lembaga negara yang lain. Selain itu,
bagaimana membedakan kewenangan MK dengan kewenangan MA.
Dari perdebatan yang terjadi di PAH I BP MPR 2011, paling tidak ada tiga
gugus pemikiran yang mengemuka dalam meletakkan kedudukan MK, yaitu (i)
MK merupakan bagian dari MPR, (ii) MK melekat atau menjadi bagian dari MA,
dan (iii) MK didudukkan secara mandiri sebagai lembaga negara yang berdiri
sendiri. 109 Akhirnya gagasan ketiga menjadi gagasan yang cukup kuat dan banyak
mempengaruhi proses pembahasan perubahan UUD. Pada usulan ketiga ini
disimpulkan bahwa sangat tidak relevan untuk meletakkan MK menjadi bagian
dari MPR ataupun MA karena lebih banyak problematika yang akan dijumpai.
Bagaimana MK akan menyelenggarakan fungsi dan kewenangannya, sementara
MPR hanya berkumpul dalam waktu-waktu tertentu (sidang tahunan atau
109
Tim Penyusun Naskah Komprehensif Proses dan Hasil Perubahan UUD NRI 1945, 2008,
Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan 1999-2002 (Buku VI Kekuasaan
Kehakiman), Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, h. 320.
64
Istimewa MPR).110 Sedangkan jika MK dimasukkan menjadi bagian dari MA
akan sulit karena tingkat kepercayaan masyarakat terhadap MA berada pada
tingkat kepercayaan yang sangat memprihatinkan karena dianggap sebagai
lembaga yang gagal memberikan rasa keadilan, sehingga kurang tepat jika MK
diletakkan menjadi bagian dari MA.
Pada akhirnya MK dijadikan sebagai institusi peradilan tetapi tidak menjadi
bagian dari MA. MA dan MK bisa menjadi dua puncak dari proses peradilan.
Bagi negara Indonesia, MK hadir sebagai salah satu pelaku kekuasan kehakiman
memang dapat dikatakan masih baru. Eksistensi konstitusionalnya mendapat
tempat berdasarkan Pasal 24 ayat (2) UUD NRI 1945 yang menentukan bahwa
“Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan
peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum,
lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan
tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”. Ketentuan ini
menunjukkan bahwa MA dan MK mempunyai kedudukan yang setara, keduanya
adalah penyelenggara tertinggi dari kekuasaan kehakiman namun dengan peran
dan fungsi yang berbeda sebagaimana ditentukan dalam UUD NRI 1945.
Menurut I Dewa Gede Atmadja, dimasukkannya MK sebagai bagian dari
kekuasaan kehakiman merupakan penguatan atas UUD NRI 1945 yang memiliki
fungsi:
1. Fungsi transformasi, menjalankan atau mengkonversi kekuasaan dalam
terminologi hukum termasuk membentuk lembaga-lembaga negara dan
fungsinya sesuai pandangan politik saat ini;
110
Ibid, h. 330.
65
2. Fungsi informasi, mengkomunikasikan apa yang ditransformasikan
dengan menggunakan bahasa hukum (bahasa teknis yang khas);
3. Fungsi regulasi, menentukan karakter hukum konstitusi normatif atau
tidak; dan
4. Fungsi kanalisasi konstitusi dalam arti memberikan saluran penyelesaian
masalah politik dan hukum. Di sini konstitusi dipandang sebagai
politico-legal document (dokumen hukum dan politik) yang materi
muatannya atau substansinya bersifat makro.111
Adapun kewenangan MK sebagaimana ditentukan dalam Pasal 24C ayat (1)
UUD NRI 1945 adalah untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD, memutus
sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD,
memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil
pemilihan umum.
MK dalam melakukan salah satu kewenangannya untuk menguji undangundang terhadap UUD bukanlah merupakan sesuatu yang baru karena sebagai
gagasan dalam hal menjalankan fungsi pengujian dan penafsiran terhadap
konstitusi telah lama ada menjelang kemerdekaan Indonesia. Dalam sejarah
penyusunan UUD NRI 1945 di masa lalu ketika sidang Badan Penyelidik UsahaUsaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) digelar tepatnya tanggal 15
Juli 1945. Yamin mengusulkan dengan menyatakan bahwa:
“Agar Balai Agung (istilah yang digunakan Yamin untuk menyebut
Mahkamah Agung) tidak hanya melaksanakan bagian kekuasaan
kehakiman, melainkan juga menjadi badan yang membanding (maksudnya
menguji) apakah undang-undang yang dibuat oleh Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) tidak melanggar Undang-Undang Dasar Republik atau
bertentangan dengan hukum adat yang diakui, ataukah tidak bertentangan
dengan syariah agama Islam.” Pendapat Yamin kemudian ditanggapi oleh
Soepomo yang pada intinya tidak menyetujui kewenangan untuk menguji
undang-undang terhadap UUD diberikan kepada MA, melainkan diberikan
111
Abdul Rasyid Thalib, Op.cit, h. 195
66
kepada peradilan khusus (pengadilan spesial) yang namanya
Constitutioneelhof, suatu pengadilan spesifik semacam di Austria,
Cekoslowakia dan Jerman”.112
Pandangan di atas menggambarkan kedua intelektual hukum tersebut setuju
adanya lembaga yang diberi wewenang untuk menguji undang-undang terhadap
UUD. Hanya saja Yamin berpendapat bahwa kewenangan tersebut cukup
diberikan kepada Balai Agung, sementara Soepomo berpandangan perlu dibentuk
lembaga khusus untuk melakukan pengujian tersebut. Berdasarkan hal tersebut,
sesungguhnya sejarah telah memberikan jawaban bahwa para pembentuk UUD
menghendaki adanya lembaga negara yang mempunyai kewenangan untuk
melakukan pengujian undang-undang terhadap UUD.
Terhadap hal di atas paling tidak terdapat dua alasan dasar yakni; Pertama,
untuk melindungi konstitusi dari pelanggaran badan legislatif dan/atau eksekutif.
Kedua, dalam rangka melindungi hak-hak dasar manusia dan warga negara. 113
Implikasinya ialah diperlukan pelembagaan yang memungkinkan peranan hukum
dan hakim untuk dapat mengontrol proses dan produk keputusan-keputusan
politik yang hanya mendasarkan diri pada prinsip “the rule of majority”. Dalam
hal ini, fungsi pengujian atas undang-undang tidak dapat lagi dihindari
penerapannya dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Sebab menurut Mahfud
MD, adalah mungkin Pemerintah dan DPR yang karena adalah lembaga politik
bisa saja membuat undang-undang atas dasar kepentingan politik mereka sendiri
atau kelompok yang dominan di dalamnya, di samping itu Pemerintah dan DPR
sebagai lembaga politik dalam faktanya lebih banyak berisi orang-orang yang
112
Abdul Latif, 2009, Fungsi Mahkamah Konstitusi (Upaya Mewujudkan Negara Hukum
Demokrasi), CV Kreasi Total Media, Yogyakarta, h.6.
113
Lodewijk Gultom, Op.cit, h . 126.
67
bukan ahli hukum atau kurang berpikir menurut logika hukum. 114 Karena
berdasarkan pengalaman selama masa pemerintahan Orde Lama dan Orde Baru,
banyak sekali undang-undang yang dipersoalkan karena bertentangan dengan
UUD dan lebih mencerminkan kehendak politik sepihak pemerintah yang
intervensionis, tetapi tidak ada lembaga yang dapat mengujinya. 115
Oleh sebab itulah maka, sebagaimana yang diharapkan sejak awal
dibentuknya MK dimaksud untuk menjaga agar ada konsistensi antara undangundang dengan konstitusi. Sebagai hukum dasar tertinggi negara, UUD NRI 1945
harus dijalankan dan tidak dapat diabaikan apalagi disimpangi atau dilanggar oleh
siapapun juga, termasuk oleh para penyelenggara negara. Konstitusi harus benarbenar dijalankan atau ditegakkan dalam penyelenggaraan kehidupan kenegaraan
sesuai dengan prinsip-prinsip negara hukum modern. Pentingnya menjaga
konsistensi konstitusi ini karena konstitusi merupakan sarana untuk mewujudkan
tata kehidupan bangsa dan negara yang tertib, bersih, makmur, dan berkeadilan.
Kehadiran MK ini tidaklah cukup dipahami secara parsial saja, tetapi harus
pula dipahami sebagai suatu penguatan terhadap dasar-dasar konstitusionalisme
pada UUD NRI 1945 setelah perubahan. Sebagaimana telah disebutkan
sebelumnya bahwa pandangan A. Mukthie Fajar mengartikan konstitusionalisme
sebagai sebuah paham yang meliputi prinsip kedaulatan rakyat, negara hukum,
pembatasan kekuasaan, perlindungan dan jaminan hak asasi manusia, dan
pluralisme. 116 Inti dari paham konstitusionalisme adalah setiap kekuasaan negara
114
Martitah, Op.cit, h. 8
Moh. Mahfud MD I, Loc.cit.
116
Jazim Hamidi dan Malik, Op.cit., h. 14.
115
68
harus mempunyai batas kewenangan.117 Pembatasan kewenangan lembaga negara
ini sangat penting mengingat peran prinsip check and balances yang telah dianut
oleh Indonesia.
117
Abdul Latif, Op.cit, h.50.
Download