BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Umum

advertisement
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1.
Tinjauan Umum tentang Hak Asasi Manusia
Hak Asasi Manusia (HAM) adalah hak yang melekat dalam diri
manusia sejak lahir. Salah satu tokoh yang hidup pada tahun 1632-1704
bernama John Locke mengatakan bahwa keadaan alamiah, manusia telah
mempunyai hak-hak alamiah yang melekat pada dirinya yaitu hak-hak
asasi manusia yang dimilikinya secara pribadi yaitu: hak akan hidup, hak
akan kebebasan atau kemerdekaan dan hak memiliki dan di miliki
(Soehino, 1996: 107-108).
Menurut hukum hak asasi manusia internasional, suatu negara tidak
boleh secara sengaja mengabaikan hak-hak dan kebebasan-kebebasan.
Sebaliknya negara diasumsikan memiliki kewajiban positif untuk
melindungi secara aktif dan memastikan terpenuhinya hak-hak dan
kebebasan-kebebasan (Pusham UII, 2010:39-40).
Pengakuan HAM oleh masyarakat dunia ditandai dengan
munculnya Universal Declaration of Human Rights (Deklarasi Universal
Tentang Hak Asasi Manusia - DUHAM) oleh Persatuan Bangsa-Bangsa
(PBB) pada tanggal 10 Desember 1948. Berdasarkan pasal 1 DUHAM
disebutkan perlu adanya pengakuan, penghargaan sekaligus jaminan
internasional bahwa setiap orang dilahirkan merdeka dan mempunyai
martabat dan hak-hak yang sama. Mereka di karuniai akal dan budi dan
kehendaknya bergaul satu sama lain dalam persaudaraan. Dengan adanya
deklarasi tersebut mengartikan bahwa telah ada komitmen moral dunia
internasional pada HAM sehingga setiap negara harus memberi jaminan
2
HAM dalam konstitusi atau undang-undang dasarnya sebagai bentuk
pemenuhan kewajiban internasional.
Hasil amandemen UUD NRI 1945 memberikan suatu titik terang
bahwa Indonesia semakin memperhatikan dan menjunjung nilai-nilai
HAM dengan dibuatnya bab khusus mengenai HAM yaitu pada Bab XA
yang terdiri dari pasal 28A-J yang isinya kurang lebih mengenai jaminan
HAM dan penegakan hukum untuk menjamin tegaknya HAM sebagai
sebuah pilar negara hukum. Selain dengan perumusan Bab XA UUD NRI,
pengaturan mengenai HAM di Indonesia juga diatur dalam Ketetapan
MPR Nomor XVII/MPR/1998 yang kemudian melahirkan UndangUndang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Baik
Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 maupun Undang-Undang Nomor
39 Tahun 1999 mempunyai arah tujuan yang sama yaitu terpenuhinya hak
asasi manusia yang bukan tanpa batas. Demikian pula dalam pengaturan
tentang HAM dalam UUD NRI 1945, yaitu bahwa hak asasi manusia
bukanlah sebebas-bebasnya melainkan dimungkinkan untuk dibatasi
sejauh pembatasan itu ditetapkan dengan undang-undang.
Sebelum membahas lebih jauh mengenai pembatasan HAM
(human rights limitation), perlu diketahui terlebih dahulu mengenai
konsep hak yang tidak dapat dikurangi (non-derogable rights) dan hak
yang dapat dikurangi (derogable rights). Dengan adanya konsep tersebut
peran negara menjadi sangat penting, yaitu boleh atau tidaknya negara
melakukan campur tangan dalam pemenuhannya, artinya terhadap
beberapa hak secara absolut tidak diperbolehkan adanya campur tangan,
namun terhadap beberapa hak lainnya masih memungkinkan adanya
campur tangan negara dalam batas tertentu.
a) Hak yang Tidak Dapat Dikurangi (Non-derogable rights)
Konsep dari non-derogable rights dimaknai bahwa beberapa
HAM
adalah
bersifat
mutlak
yang
tidak
boleh
dikurangi
3
pemenuhannya oleh negara atau siapapun, dalam keadaan apapun
bahkan dalam keadaan darurat sekalipun. Hak-hak yang termasuk
dalam non-derogable rights diatur pada :
Pasal 28I ayat (1) UUD NRI 1945:
“Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan
pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak
diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum,
dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut
adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam
keadaan apapun”
Pasal 37 TAP MPR Nomor XVII/MPR/1998:
“Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan
pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak
diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum,
dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut
adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam
keadaan apapun (non-derogable)”
Pasal 4 Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia:
“Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi,
pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak
diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di
hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum
yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat
dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun”
Menurut Ifdal Kasim, berdasarkan International Covenant on
Civil and Political Rights sebagaimana telah diratifikasi oleh
pemerintah Indonesia dengan Undang-Undang Nomor 12 tahun 2005,
kategori hak-hak yang tidak dapat dikurangi antara lain (Ifdal Kasim,
2001: xii) :
(1) Hak atas hidup (rights to life);
4
(2) Hak bebas dari penyiksaan (rights to be free from torture);
(3) Hak bebas dari perbudakan (rights to be free from slavery);
(4) Hak bebas dari penahanan karena gagal memenuhi perjanjian
(utang);
(5) Hak bebas dari pemidanaan yang berlaku surut;
(6) Hak sebagai subyek hukum; dan
(7) Hak atas kebebasan berpikir, keyakinan, dan agama
b) Hak yang Dapat Dikurangi (Derogable rights)
Pengertian dari konsep ini yaitu hak-hak yang boleh dikurangi
atau dibatasi pemenuhannya oleh negara. Hak-hak tersebut antara lain
(Ifdal Kasim, 2001: xiii):
(1) Hak atas kebebasan berkumpul secara damai;
(2) Hak atas kebebasan berserikat, termasuk membentuk dan
menjadi anggota serikat buruh; dan
(3) Hak atas kebebasan menyatakan pendapat atau berekspresi,
termasuk kebebasan mencari, menerima dan memberikan
informasi dan segala macam gagasan tanpa memperhatikan
batas (baik melalui lisan atau tulisan)
Pengurangan (pembatasan hak) tersebut hanya dapat dilakukan
apabila sebanding dengan ancaman yang akan muncul dan tidak
bersifat diskriminatif. Alasan-alasan yang dimungkinkan untuk
melakukan pembatasan diatur dalam beberapa peraturan baik nasional
maupun internasional.
Pasal 29 ayat (2) DUHAM yang menyatakan bahwa pembatasan
pemenuhan HAM hanya dapat dilakukan berdasarkan beberapa alasan
berikut:
(1) Dilakukan berdasarkan hukum
(2) Untuk menjamin pengakuan serta penghormatan yang layak
bagi hak-hak dan kebebasan orang lain;
(3) Untuk memenuhi syarat-syarat yang benar dari kesusilaan; dan
5
(4) Demi tata tertib umum dalam suatu masyarakat demokrasi
Pasal 12 ayat (3) International Covenant on Civil and Political
Rights (ICCPR) atau dalam bahasa Indonesia disebut dengan Kovenan
Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (KIHSP) menyatakan
bahwa pembatasan pemenuhan HAM hanya dapat dilakukan dengan
alasan berikut:
(1) Ditentukan oleh undang- undang;
(2) Menjaga keamanan nasional, ketertiban umum, kesehatan
umum, dan kesusilaan;
(3) Hak-hak dan kebebasan orang lain
Pasal 21 dan pasal 22 ayat (2) ICCPR menyatakan bahwa
pembatasan pemenuhan HAM boleh dilakukan dengan alasan berikut:
(1) Ditentukan oleh undang-undang;
(2) Diperlukan dalam suatu masyarakat demokrasi;
(3) Demi
kepentingan
keamanan
nasional,
keamanan
dan
ketertiban umum;
(4) Menjaga kesehatan dan kesusilaan umum atau menjaga hak
dan kebebasan orang lain
Pasal 70 Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM
mengatur bahwa pembatasan hak asasi manusia dapat dilakukan
berdasarkan :
(1) Dilakukan dengan undang-undang;
(2) Untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan
kebebasan orang lain; dan
(3) Untuk
memenuhi
tuntutan
yang
adil
sesuai
dengan
pertimbangan moral, keamanan dan ketertiban umum dalam
suatu masyarakat demokratis.
Sedangkan Pasal 28J ayat (2) UUD NRI 1945, pembatasan
pemenuhan HAM dapat dilakukan dengan alasan:
(1) Ditetapkan dengan undang-undang;
6
(2) Menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan
kebebasan orang lain;
(3) Memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan
moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum
dalam suatu masyarakat demokratis.
Sementara itu, apabila dicermati Pasal 28J UUD NRI 1945 itu
mencakup Pasal 28A sampai dengan Pasal 28I UUD NRI 1945, artinya
secara tidak langsung bahwa hak-hak asasi manusia yang diatur dalam
UUD NRI 1945 tidak ada yang bersifat mutlak, termasuk hak asasi yang
diatur dalam Pasal 28I ayat (1) UUD NRI 1945.
Jika kita menarik dari perspektif original intent pembentuk UUD
NRI 1945, bahwa seluruh hak asasi manusia yang tercantum dalam Bab
XA UUD NRI 1945 keberlakuannya dapat dibatasi. Original intent
pembentuk UUD NRI 1945 yang menyatakan bahwa hak asasi manusia
dapat dibatasi juga diperkuat oleh penempatan Pasal 28J sebagai pasal
penutup dari seluruh ketentuan yang mengatur tentang hak asasi manusia
dalam Bab XA UUD NRI 1945 tersebut. Mengutip pertimbangan hukum
Mahkamah Konstitusi dalam perkara Nomor 2-3/PUU-V/2007, maka
secara penafsiran sistematis (sistematische interpretatie), hak asasi
manusia yang diatur dalam Pasal 28A sampai dengan Pasal 28I UUD NRI
1945 tunduk pada pembatasan yang diatur dalam Pasal 28J UUD NRI
1945. (Wahyudi Djafar, 2013:14)
Sebagaimana diketahui, dalam Pasal 28I ayat (1) UUD NRI 1945,
terdapat sejumlah hak yang secara harfiah dirumuskan sebagai hak yang
tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun (non-derogable rights),
termasuk di dalamnya hak untuk hidup dan hak untuk tidak dituntut
berdasarkan hukum yang berlaku surut. Dalam konteks ini, Mahkamah
Konstitusi menafsirkan bahwa Pasal 28I ayat (1) haruslah dibaca bersamasama dengan Pasal 28J ayat (2), sehingga hak untuk tidak dituntut
berdasarkan hukum yang berlaku surut tidaklah bersifat mutlak.
7
Oleh karena hak-hak yang diatur dalam Pasal 28I ayat (1) UUD
NRI 1945 yaitu yang termasuk dalam rumusan “hak yang tidak dapat
dikurangi dalam keadaan apa pun” dapat dibatasi, maka secara prima facie
berbagai ketentuan hak asasi manusia di luar dari Pasal tersebut, seperti
misalnya kebebasan beragama (Pasal 28E), hak untuk berkomunikasi
(Pasal 28F), ataupun hak atas harta benda (Pasal 28G) sudah pasti dapat
pula dibatasi, dengan catatan sepanjang hal tersebut sesuai dengan
pembatasan-pembatasan yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang.
Adanya tafsir resmi Mahkamah Konstitusi dalam beberapa
putusannya terkait dengan pembatasan HAM di Indonesia telah
memberikan kejelasan bahwasanya tidak ada satupun HAM di Indonesia
yang bersifat mutlak dan tanpa batas. Penulis sangat memahami apabila
banyak pihak yang beranggapan bahwa konstruksi HAM di Indonesia
masih menunjukan sifat konservatif, terutama apabila dibandingkan
dengan negara-negara lain di berbagai belahan dunia lainnya.
Berdasarkan hal-hal yang tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa
pembatasan HAM (human rights limitation) hanya dapat dilakukan
terhadap hak-hak yang termasuk kategori hak yang dapat dikurangi
(derogable rights), oleh karenanya alasan pembatasan tidak dapat
dijadikan alasan untuk melakukan pembatasan dan pengurangan terhadap
hak-hak yang termasuk kategori hak yang tidak dapat dikurangi (nonderogable rights). Di Indonesia, berlakunya Pasal 28J ayat (2) menjadi
landasan konstitusional dalam pembatasan pemenuhan HAM, bahkan
terhadap pasal 28I yang notabene mengandung hak-hak yang termasuk
kategori non-derogable rights
2.
Tinjauan Umum tentang Muatan Negatif Internet
Tidak ada definisi yang baku mengenai muatan negatif internet,
namun secara harfiah dapat disimpulkan apa saja yang dianggap sebagai
muatan negatif internet melalui beberapa peraturan yang ada di Indonesia.
8
Muatan negatif internet dapat ditafsirkan sebagai segala jenis muatan dari
yang keberadaan dilarang atau tidak diperbolehkan di dalam situs internet.
Pertama, menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik, yang tidak boleh ada di blog/situs
antara lain:
a. muatan yang melanggar kesusilaan.
b. muatan perjudian
c. muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.
d. muatan pemerasan dan/atau pengancaman.
e. menyebarkan
berita
bohong
dan
menyesatkan
yang
mengakibatkan kerugian konsumen.
f. menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa
kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok
masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan
antargolongan (SARA).
Kedua, apabila mengacu pada Permen Kominfo Nomor 19 tahun
2014 maka yang termasuk dalam konten negatif internet disebutkan dalam
Pasal 4 sebagai berikut:
Pasal 4
(1) Jenis
situs
internet
bermuatan
negatif
yang
ditangani
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a, yaitu:
a.
pornografi; dan
b.
kegiatan ilegal lainnya berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(2) Kegiatan ilegal lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b merupakan kegiatan ilegal yang pelaporannya berasal
dari Kementerian atau Lembaga Pemerintah yang berwenang
sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
9
Adapun yang dimaksud dari situs pornografi mengacu pada
Undang-Undang Nomor 44 tahun 2008 tentang Pornografi, pada pasal 1
ayat (1) disebutkan sebagai berikut:
Pasal 1
(1) Pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara,
bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak
tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk
media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang
memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar
norma kesusilaan dalam masyarakat.
3. Tinjauan Umum tentang Kedudukan dan Fungsi Peraturan Menteri
sebagai Peraturan Perundang-undangan
Dalam buku yang berjudul konstitusi dan konstitusionalisme
Indonesia, Prof. Jimly Asshiddiqie menyebutkan:
Menteri, seperti diuraikan dalam Penjelasan UUD NRI 1945, dalam
bidangnya masing-masing adalah pemimpin pemerintahan yang
sesungguhnya dalam kenyataan sehari-hari. Oleh karena itu, sudah
sewajarnya kepadanya diberikan kewenangan regulatif untuk
mengatur dan menetapkan peraturan di bidangnya. Agar nomenklatur
yang dipake dapat ditertibkan, namanya saya usulkan bukan lagi
Keputusan Menteri, melainkan Peraturan Menteri (Jimly Asshiddiqie,
2011: 286)
Peraturan Menteri dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Undang-Undang
Nomor 12 tahun 2011) tidak diatur dalam ketentuan Pasal 7 ayat (1).
Namun demikian, jenis peraturan tersebut keberadaannya diatur dalam
Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011, yang berbunyi:
“Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh
Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan
Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri,
10
badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan
Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang,
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala
Desa atau yang setingkat.”
Walaupun ketentuan di atas tidak menyebut secara tegas jenis
peraturan perundang-undangan berupa “Peraturan Menteri”, namun frase
“…peraturan yang ditetapkan oleh… menteri…” di atas, mencerminkan
keberadaan Peraturan Menteri sebagai salah satu jenis peraturan
perundang-undangan. Dengan demikian, Peraturan Menteri setelah
berlakunya Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tetap diakui
keberadaannya. Pasal 8 ayat (2) menyebutkan sebagai berikut:
“Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat
sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang
lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.”
Dari ketentuan di atas, terdapat dua syarat agar peraturan-peraturan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12
tahun 2011 memiliki kekuatan mengikat sebagai peraturan perundangundangan, yaitu:
a.
diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi; atau
b.
dibentuk berdasarkan kewenangan.
Dalam doktrin, hanya dikenal dua macam peraturan perundang-
undangan dilihat dasar kewenangan pembentukannya, yaitu peraturan
perundang-undangan yang dibentuk atas dasar:
a.
atribusi pembentukan peraturan perundang-undangan; dan
b.
delegasi pembentukan peraturan perundang-undangan
11
Atribusi kewenangan perundang-undangan diartikan penciptaan
wewenang (baru) oleh konstitusi/grondwet atau oleh pembentuk undangundang (wetgever) yang diberikan kepada suatu organ negara, baik yang
sudah ada maupun yang dibentuk baru untuk itu. (A. Hamid S. Attamimmi,
1990: 352). Sebagai contoh, peraturan perundang-undangan atribusian
dalam UUD NRI 1945, berupa Undang-Undang, Peraturan Pemerintah,
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) dan Peraturan
Daerah (Perda). Dalam Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 juga
dikenal satu jenis peraturan perundang-undangan atribusian di luar UUD
NRI 1945, yaitu Peraturan Presiden (Perpres), yang pada masa lalu dikenal
sebagai Keputusan Presiden yang bersifat mengatur yang dasarnya adalah
Pasal 4 ayat (1) UUD NRI 1945.
Sementara itu, delegasi dalam bidang perundang-undangan ialah
pemindahan/penyerahan kewenangan untuk membentuk peraturan dari
pemegang kewenangan asal yang memberdelegasi (delegans) kepada yang
menerima delegasi (delegataris) dengan tanggung jawab pelaksanaan
kewenangan tersebut pada delegataris sendiri, sedangkan tanggungjawab
delegans terbatas sekali (A. Hamid S. Attamimmi, 1990: 347).
Contoh dari peraturan perundang-undangan delegasi, misalnya
tergambar dalam Pasal 19 ayat (4) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006
tentang Kewarganegaraan, yang menegaskan bahwa: ”Ketentuan lebih
lanjut mengenai tata cara menyampaikan pernyataan untuk menjadi Warga
Negara Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur
dengan Peraturan Menteri.”
Peraturan menteri yang dibentuk atas dasar perintah dari undangundang tersebut dikategorikan sebagai peraturan perundang-undangan atas
dasar delegasi (delegated legislation). Dengan demikian, secara umum
peraturan perundang-undangan delegasi adalah peraturan perundang-
12
undangan yang dibentuk atas dasar perintah peraturan perundangundangan yang lebih tinggi.
Kembali pada persoalan keberadaan dan kekuatan mengikat
peraturan perundang-undangan yang diatur dalam Pasal 8 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011, termasuk Peraturan Menteri, Pasal
8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tidak hanya mengatur
keberadaan peraturan perundang-undangan atas dasar delegasi (peraturan
yang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi).
Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 juga menegaskan
adanya peraturan perundang-undangan “yang dibentuk atas dasar
kewenangan”.
Istilah “kewenangan” dalam ketentuan tersebut, tentu saja bukan
kewenangan membentuk peraturan melainkan kewenangan pada ranah lain.
Misalnya, Menteri melaksanakan kewenangan atas urusan pemerintahan
tertentu yang merupakan kekuasaan Presiden. Artinya, apabila Menteri
membentuk Peraturan Menteri tanpa adanya “perintah dari peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi”, Peraturan Menteri tersebut tetap
dikategorikan sebagai peraturan perundang-undangan. Padahal dalam
doktrin tidak dikenal jenis peraturan perundang-undangan demikian.
Hal ini perlu dikaji lebih lanjut dari perspektif Ilmu Perundangundangan terutama dalam kaitannya peraturan perundang-undangan
sebagai norma hukum yang bersifat hierarkis dimana norma hukum yang
lebih rendah mencari validitasnya pada norma hukum yang lebih tinggi
sebagaimana dikemukakan Hans Kelsen atau yang disebut oleh Joseph
Raz sebagai chain of validity (Jimly Asshiddiqqie & M. Ali Safa’at, 2006:
157).
Dalam undang-undang sebelumnya (Undang-Undang Nomor 10
Tahun 2004), tidak dikenal peraturan perundang-undangan yang dibentuk
atas dasar kewenangan, termasuk dalam hal peraturan menteri. Peraturan
13
Menteri yang dibentuk tanpa adanya pendelegasian dari peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi sebelum berlaku Undang-Undang
Nomor 12 tahun 2011, dikenal secara teoritik sebagai peraturan kebijakan
(beleidregels), yaitu suatu keputusan pejabat administrasi negara yang
bersifat mengatur dan secara tidak langsung bersifat mengikat umum,
namun bukan peraturan perundang-undangan
Karena bukan peraturan perundang-undangan, peraturan kebijakan
tidak dapat diuji oleh Mahkamah Agung yang memiliki kewenangan
menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap
undang-undang. Dengan adanya ketentuan Pasal 8 ayat (2) UndangUndang Nomor 12 tahun 2011, maka tidak lagi perbedaan antara Peraturan
Menteri yang merupakan peraturan perundang-undangan dengan Peraturan
Menteri yang merupakan Aturan Kebijakan.
Kedudukan Peraturan Menteri yang telah dibentuk sebelum
berlakunya Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011, tetap berlaku
sepanjang tidak dicabut atau dibatalkan. Namun demikian, terdapat dua
jenis kedudukan Peraturan Menteri yang dibentuk sebelum berlakunya
Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011. Pertama, Peraturan Menteri yang
dibentuk atas dasar perintah peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi, berkualifikasi sebagai peraturan perundang-undangan.
Kedua, Peraturan Menteri yang dibentuk bukan atas dasar perintah
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi (atas dasar kewenangan),
berkualifikasi sebagai Aturan Kebijakan. Hal ini disebabkan UndangUndang Nomor 12 tahun 2011 berlaku sejak tanggal diundangkan (vide
Pasal 104 Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011), sehingga adanya
Peraturan Menteri yang dibentuk sebelum tanggal diundangkannya
Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 masih tunduk berdasarkan
ketentuan undang-undang yang lama, yaitu Undang-Undang Nomor 10
14
tahun 2004. Konsekuensinya, hanya Peraturan Menteri kategori pertama di
atas, yang dapat dijadikan objek pengujian Mahkamah Agung.
Selanjutnya, kedudukan Peraturan Menteri yang dibentuk setelah
berlakunya Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011, baik yang dibentuk
atas dasar perintah peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi
maupun yang dibentuk atas dasar kewenangan di bidang urusan
pemerintahan tertentu yang ada pada menteri, berkualifikasi sebagai
peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, Peraturan Menteri
tersebut memiliki kekuatan hukum yang bersifat mengikat umum dan
dapat dijadikan objek pengujian pada Mahkamah Agung, apabila dianggap
bertentangan dengan undang-undang. Sekedar menegaskan kembali,
kedudukan Peraturan
Menteri
yang dibentuk tanpa delegasi/atas
kewenangan di bidang administrasi negara perlu dikaji lebih lanjut.
15
B. Kerangka Pemikirian
Undang-undang Dasar Negara Republik
Indonesia tahun 1945
Undang-Undang Nomor 44
tahun 2008 tentang
Pornografi
Undang-Undang Nomor 11
tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi
Elektronik
Undang-Undang Nomor
12 tahun 2005 tentang
Pengesahan International
Covenant on Civil and
Political Rights
(Kovenan Internasional
tentang Hak-hak Sipil
dan Politik)
Peraturan Menteri Kominfo Nomor
19 Tahun 2014 tentang Penanganan
Situs Internet Bermuatan Negatif
Undang-Undang Nomor
12 tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan
Kesesuaian Kewenangan dalam
melakukan Pembatasan HAM
Rekonstruksi Hukum Untuk
Penanganan Situs Internet Bermuatan
Negatif Dalam Kerangka Pembatasan
Hak Asasi Manusia
16
Keterangan:
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia telah secara
khusus membuat bab yang mengatur tentang Hak Asasi Manusia (HAM),
pun tentang tata cara pembatasan atas HAM tersebut agar setiap orang
terpenuhi haknya secara adil. Seiring dengan kemajuan teknologi dan
informatika ditemukanlah internet. Media maya (internet) ini dapat
mempermudah hubungan (komunikasi) antar manusia dan berperan sebagai
wadah menyampaikan aspirasi, ide, gagasan, pengetahuan serta karya seni,
yang artinya pula secara tidak langsung berperan sebagai fasilitas yang
mendukung kebebasan HAM. Namun, ketidakterbatasan akses dalam
internet kerap disalahgunakan, justru ‘kebebasan’ disini menjadi bumerang
bagi HAM dan menciderai HAM itu sendiri. Mencermati hal itu pemerintah
melalui Menteri Komunikasi dan Informasi membuat peraturan untuk
membatasinya, yaitu Peraturan Menteri Kominfo Nomor 19 tahun 2014
tentang Penanganan Situs Internet Bermuatan Negatif yang merupakan
peraturan pelaksana dari Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik serta Undang-Undang Nomor 44 tahun
2008 tentang Pornografi.
Disahkannya
Peraturan
Menteri
tersebut
memang
cukup
berpengaruh bagi berbagai kalangan khususnya dalam bidang ilmu
pengetahuan teknologi dan informasi. Sementara bagi kalangan hukum,
disahkannya Peraturan Menteri tersebut menimbulkan berbagai perdebatan,
karena sebagai peraturan pelaksana Peraturan Menteri Kominfo tersebut
telah
melampaui
kewenangan
daripada
Undang-Undang,
dimana
pemblokiran yang dilakukan merupakan salah satu bentuk pembatasan
HAM yang menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
tahun 1945 konsep pembatasan HAM harusnya dilakukan melalui peraturan
setingkat Undang-Undang bukan hanya melalui peraturan pelaksana seperti
Peraturan Menteri.
17
Selain itu, Peraturan Menteri ini bisa dikategorikan sebagai
pembatasan hak berekspresi (menyampaikan pendapat) dan menerima
informasi, yang menurut Konvensi Internasional Hukum Sipil dan Politik
(KIHSP) boleh dibatasi dengan syarat tertentu salah satunya harus diatur
dalam undang-undang. Maka dari itu, Permen Kominfo Nomor 19 Tahun
2014 dapat dikatakan tidak memiliki dasar acuan undang-undang yang jelas
dalam pemberian kewenangan pada Kementerian Kominfo untuk menilai
apakah suatu situs bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Legitimasi kewenangan Kominfo lewat di peraturan itu tidak sah karena
tidak berdasar.
Dengan demikian perlu dikaji mengenai perlunya rekonstruksi
hukum mengenai pembatasan hak berekspresi dan menerima informasi di
Indonesia. Khususnya di bidang Internet ini, harus ada kejelasan aturan
yang sesuai dengan hukum yang berlaku sehingga terwujud suatu
harmonisasi hukum.
Download