BAB V PEMBAHASAN A. Hubungan antara Berat Badan Lahir Rendah dengan Kematian Bayi di Kabupaten Boyolali Ada hubungan antara berat badan lahir rendah dengan kematian bayi (p-value=0,000). Nilai OR yang diperoleh yaitu 85,522 (95% CI=18,635-365,438) sehingga dapat diartikan bahwa bayi dengan BBLR memiliki risiko sebesar 85,522 kali lebih besar mengalami kematian bayi dibandingkan dengan BBLN. Penelitian ini sejalan dengan penelitian Rini (2014), menunjukkan bahwa bayi berat badan lahir rendah (BBLR) mempunyai risiko 13,542 kali lebih besar mengalami kematian bayi dibandingkan dengan bayi berat badan lahir normal (BBLN) diperoleh nilai p=0,000. Demikian pula dengan penelitian Bustami (2015), juga menyatakan BBLR 8,3 kali berisiko mengalami kematian perinatal daripada BBLN. Pada penelitian ini, diketahui pada kelompok kasus ibu yang memiliki bayi dengan BBLR sebanyak 52 orang (69,3%) dan pada kelompok kontrol ibu yang memiliki bayi dengan BBLR sebanyak 2 orang (2,7%). Demikian pula dalam penelitian ini diketahui BBLR menjadi penyebab kematian bayi paling banyak di Kabupaten Boyolali sebanyak 38 orang (50,7%). Hal ini sesuai di dalam buku Manuaba (2012), 63 mengemukakan bahwa faktor yang berisiko terjadinya kematian perinatal pada riwayat persalinan salah satunya adalah persalinan dengan berat bayi lahir rendah. Demikian pula dengan Djelantik (2003), juga mengemukakan BBLR merupakan penyumbang terbanyak kematian bayi. Bulan pertama pasca persalinan merupakan masa transisi bagi bayi baru lahir dengan waktu yang paling kritis adalah minggu pertama setelah lahir. Sehingga diperlukan perhatian khusus dan asuhan yang intensif pada bayi baru lahir pada periode tersebut. Dalam penelitian ini diketahui pada kelompok kasus ibu yang memiliki riwayat BBLR sebelumnya sebanyak 9 orang (12%), sedangkan pada kelompok kontrol ibu yang memiliki riwayat BBLR sebelumnya sebanyak 3 orang (4%). Faktor-faktor penyebab BBLR antara lain memiliki riwayat BBLR sebelumnya, umur, paritas, ras, infertilitas, riwayat kelahiran tidak baik, lahir abnormal, jarak kelahiran terlalu dekat, penyakit akut dan kronik, kebiasaan merokok dan minum alkohol, preeklampsi, plasenta tumor, kehamilan ganda, infeksi bawaan dan kelainan kromosom (Indiarti, 2015). Dalam bukunya Indiarti (2015), menyatakan ibu yang memiliki bayi BBLR harus segera memberikan ASI-nya setelah bayi lahir, ASI diberikan sebanyak dan sesering mungkin tetapi dalam porsi sedikitsedikit sesuai kemampuan bayi. Pemberian ASI sedini mungkin bertujuan untuk mempercepat bertambahnya berat badan bayi. Saat pemberian ASI 64 perlu diperhatikan agar bayi tidak sampai tersedak. Hal ini sesuai dengan Q.S. Al-Baqarah:233 Artinya : “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan”. Demikian pula dalam kitab tafsir Fi-Zhilalil Qur’an karangan Sayyid Quthb, ketika membahas surat AlBaqarah:233 menyatakan “Allah mewajibkan seorang ibu untuk menyusui anaknya selama dua tahun penuh, karena Dia mengetahui bahwa masa-masa inilah yang sangat penting bagi anak dari semua aspek, baik aspek kesehatan atau kejiwaan.” Berdasarkan penelitian Sunarsih dkk (2014), menyebutkan adanya pengaruh antara BBLR terhadap kematian neonatal dikarenakan belum matangnya fungsi organ tubuh bayi, sistem kekebalan atau imunitas bayi belum terbentuk sempurna. Demikian pula dengan penelitian Prameswari (2007), menyatakan untuk menurunkan frekuensi BBLR perlu identifikasi risiko BBLR secara dini pada saat pemeriksaan kehamilan. Seperti yang dikemukakan Ronoadmodjo (1996), mengatakan strategi untuk menurunkan frekuensi BBLR meliputi pencegahan kelahiran prematur dan bayi IUGR dengan cara meningkatkan status gizi maternal dan deteksi dini serta perawatan infeksi maternal melalui asuhan antenatal yang berkualitas. Dengan demikian dalam upaya penurunan frekuensi BBLR dapat dilakukan melalui penyuluhan gizi kepada ibu hamil yang dilaksanakan di layanan antenatal di puskesmas, pustu, atau posyandu. Diharapkan ibu 65 aktif dan memiliki kesadaran untuk mengikuti penyuluhan, karena dapat menambah pengetahuan tentang kesehatan ibu dan bayinya. Melalui kegiatan tersebut juga dapat dilakukan pemantauan berbagai faktor yang berpengaruh terhadap BBLR, antara lain kenaikan berat ibu hamil, kondisi Hb dan penapisan ibu hamil risiko tinggi. Selain itu diharapkan ibu dapat menjaga jarak kehamilan berikutnya minimal 2 tahun. B. Hubungan antara Kelahiran Prematur dengan Kematian Bayi di Kabupaten Boyolali Ada hubungan antara kelahiran prematur dengan kematian bayi (pvalue=0,000). Nilai OR yang diperoleh yaitu 4,250 (95% CI= 2,148-8,410) sehingga dapat diartikan bahwa ibu yang melahirkan prematur memiliki risiko sebesar 4,250 kali lebih besar mengalami kematian bayi dibandingkan dengan ibu yang melahirkan cukup bulan. Hal ini sejalan dengan penelitian Efriza (2007), menunjukkan bayi yang lahir dengan umur kehamilan prematur berisiko 3,94 kali lebih besar untuk mengalami kematian neonatal daripada bayi yang tidak prematur dengan nilai p=0,033. Pada penelitian ini, diketahui pada kelompok kasus ibu yang mengalami kehamilan kembar sebanyak 13 orang (17,3%). Sedangkan pada kelompok kontrol tidak ditemukan ibu yang mengalami kehamilan kembar. Dalam bukunya Indiarti (2015), mengatakan kelahiran prematur dapat disebabkan oleh kehamilan kembar, masalah rahim, cacat bayi 66 (seperti kecacatan pada otak, syaraf atau kepala, jantung), pendarahan, penyakit seperti influenza dan gangguan emosi. Dalam bukunya Indiarti (2015), mengemukakan penyebab kematian bayi prematur yaitu sistem pernapasan, otak dan hati belum matang, yang biasa dinamakan respiratory distress syndrome. Keadaan seperti ini perlu perawatan dalam inkubator dan respirator. Penyebab lainnya yaitu mengalami masalah kedinginan dan penyakit kuning yang dapat menyebab kematian bayi prematur. Menurut WHO (2003), menyatakan Kangaroo Mother Care (KMC) adalah metode perawatan bayi prematur dan bayi berat lahir rendah (BBLR) terutama dengan berat lahir <2000 gram. Metode ini dilakukan dengan kontak kulit ke kulit antara ibu dan bayinya dimulai ditempat perawatan dan diteruskan dirumah, dikombinasi dengan pemberian ASI. Selama KMC bayi harus dipantau ketat baik suhu, pernapasan dan pulse oxymetry. KMC dilakukan sampai bayi mencapai berat 2500 gram atau sampai mendekati 40 minggu, bayi kurang nyaman dengan sering bergerak. Tujuan metode ini, agar bayi tetap hangat. Kesulitan utama pada persalinan prematur ialah perawatan bayi prematur. Alat tubuh bayi prematur belum berfungsi seperti bayi cukup bulan. Sehingga bayi prematur lebih banyak mengalami kesulitan untuk hidup diluar uterus ibu. Makin pendek usia kehamilannya, makin kurang sempurna pertumbuhan alat-alat didalam tubuhnya sehingga mudah terjadi 67 komplikasi dan semakin tingginya angka kematian bayi (Winkjosastro, 2007). Dengan demikian dianjurkan selama kehamilannya ibu rutin melakukan pemeriksaan selama masa kehamilannya untuk memonitoring kesehatan ibu dan bayi agar terhindar dari kelahiran prematur. Selain itu diharapkan ibu mengonsumsi makanan gizi seimbang dan istirahat yang cukup. C. Hubungan antara Komplikasi Persalinan dengan Kematian Bayi di Kabupaten Boyolali Ada hubungan antara komplikasi persalinan dengan kematian bayi (p-value=0,000). Nilai OR yang diperoleh yaitu 5,901 (95% CI=2,48414,018) sehingga dapat diartikan bahwa ibu yang mengalami komplikasi persalinan memiliki risiko sebesar 5,901 kali lebih besar mengalami kematian bayi dibandingkan dengan ibu yang tidak mengalami komplikasi persalinan. Penelitian ini sejalan dengan penelitian Lolong (2015), menyebutkan bahwa ibu yang mengalami komplikasi persalinan berisiko 2,8 kali mengalami kematian neonatal. Demikian pula dengan penelitian Aisyan dkk (2010), juga mengatakan bahwa ibu yang mengalami komplikasi persalinan berisiko 2,5 kali mengalami kematian perinatal dibanding yang tidak mengalami komplikasi persalinan. Berdasarkan penelitian ini, diketahui pada kelompok kasus ibu yang mengalami ketuban pecah dini sebanyak 22 orang (29,3%), ibu yang 68 mengalami lama persalinan sebanyak 3 orang (4%) dan ibu yang mengalami pendarahan sebanyak 15 orang (20%). Sedangkan pada kelompok kontrol ibu yang mengalami ketuban pecah dini sebanyak 6 orang (8%), ibu yang mengalami lama persalinan sebanyak 2 orang (2,7%) dan ibu yang mengalami pendarahan sebanyak 2 orang (2,7%). Penyebab ketuban pecah dini yaitu robeknya kantung ketuban seusai trauma (ibu hamil terjatuh atau terbentur dibagian perut), mulut rahim lemah sampai tidak bisa menahan kehamilan, ketegangan rahim yang berlebihan (kehamilan ganda, letak janin sungsang) dan infeksi yang menyebabkan proses biomekanik pada selaput ketuban sampai memudahkan ketuban pecah. Sedangkan penyebab persalinan lama antara lain kekuatan mendorong janin keluar kurang bagus, bayi berukuran besar dan jalan lahir bermasalah (Indiarti, 2015). Senam hamil merupakan terapi latihan gerak untuk mempersiapkan ibu hamil secara fisik maupun mental pada persalinan cepat, aman dan cepat. Senam hamil dianjurkan saat kandungan telah mencapai 6 bulan keatas. Jenis olah tubuh ini sangat sesuai dengan ibu hamil yang telah mengalami perubahan fisik baik pada organ genital, perut kian membesar dan lain-lain. Dengan melakukan senam hamil secara teratur dan intensif, ibu hamil dapat menjaga kesehatan tubuh dan janin yang dikandung secara optimal. Serta diharapkan dapat menjalani persalinan dengan lancar dan normal sehingga dapat menghindari komplikasi persalinan berupa lama persalinan (Arief, 2014). 69 Menurut Efriza (2007), menyebutkan komplikasi persalinan merupakan kondisi patologis yang secara langsung menyebabkan kesakitan dan kematian ibu dan bayi yang tidak selalu dapat diperkirakan sebelumnya, sehingga ibu hamil perlu berada dekat dengan sarana pelayanan yang mampu memberikan pelayanan obstetri dan neonatal emergensi dasar (PONED). Puskesmas yang mampu PONED dan rumah sakit yang mampu PONEK selama 24 jam memungkinkan berbagai kasus komplikasi persalinan ditangani secara optimal sehingga dapat menurunkan kematian ibu dan bayi baru lahir. Aspek neonatus perlu ditangani dengan kegiatan perawatan neonatal secara intensif oleh bidan atau perawat yang terlatih menangani kegawatan setiap saat. Dengan demikian, diharapkan petugas memberikan informasi pentingnya ANC kepada ibu hamil. Atau membuka kelas ibu dalam rangka peningkatan pengetahuan ibu terhadap kesehatan dirinya dan untuk bayi yang akan dilahirkan, seperti kelas senam hamil, kelas gizi hamil, perawatan bayi baru lahir. D. Hubungan antara Kelainan Kongenital dengan Kematian Bayi di Kabupaten Boyolali Ada hubungan antara kelainan kongenital dengan kematian bayi (p-value=0,039). Nilai OR yang diperoleh yaitu 8,836 (95% CI=1,077– 72,514) sehingga dapat diartikan bahwa bayi dengan kelainan kongenital memiliki risiko sebesar 8,836 kali lebih besar mengalami kematian bayi 70 dibandingkan dengan bayi yang tidak memiliki kelainan kongenital. Penelitian ini sejalan dengan penelitian Sunarsih dkk (2014), menyatakan bahwa ada pengaruh antara kelainan kongenital dengan kematian neonatal artinya kelainan kongenital 2,03 kali lebih berisiko terhadap kejadian kematian neonatal. Demikian pula dengan penelitian Mahmudah (2011), juga menyatakan kelainan kongenital mempunyai risiko 2,205 kali lebih besar untuk terjadinya kematian perinatal dibandingkan dengan bayi yang tidak mengalami kelainan kongenital dengan nilai p=0,006. Pada penelitian ini, diketahui kelompok kasus bayi yang tidak mengalami kelainan kongenital sebanyak 67 orang (89,3%) dan bayi yang mengalami kelainan kongenital sebanyak 8 orang (10,7%). Sedangkan pada kelompok kontrol bayi yang tidak mengalami kelainan kongenital sebanyak 74 orang (98,7%) dan bayi yang mengalami kelainan kongenital sebanyak 1 orang (1,3%). Kelainan kongenital yang dialami pada kelompok kasus antara lain bayi yang mengalami anensefalus sebanyak 1 orang (1,3%), bayi yang mengalami Penyakit Jantung Bawaan (PJB) sebanyak 5 orang (6,7%), bayi yang mengalami omfalokel sebanyak 1 orang (1,3%) dan bayi yang mengalami gangguan paru-paru sebanyak 1 orang (1,3%). Sedangkan pada kelompok kontrol ada 1 orang (1,3%) mengalami labiopalatoskizis (sumbing). Hasil penelitian ini sejalan dengan Oxorn dan Forte (2010), menyatakan bahwa kelainan kongenital dapat menyebabkan lahir hidup maupun kematian neonatus. Pada banyak kasus kelainan kongenital 71 menyertai prematuritas. Sedangkan dalam penelitian Sunarsih dkk (2014), menyebutkan adanya pengaruh antara kelainan kongenital dengan kematian neonatal dikarenakan kondisi bayi lemah serta kekebalan yang terbentuk belum sempurna, ditambah lagi kelainan kongenital selalu berakhir dengan tindakan operatif. Tindakan operatif yang dilakukan tanpa disertai dengan perawatan yang mengutamakan prinsip steril menyebabkan timbulnya penyulit lain yang menyertai kelainan kongenital sehingga menyebabkan kematian bayi. Dengan demikian, diharapkan petugas kesehatan melakukan pemantauan dan pengawasan terhadap ibu-ibu hamil, khususnya ibu hamil dengan risiko tinggi. Pemantauan dan pengawasan dapat dilakukan melalui kegiatan rutin posyandu. Selain itu diharapkan ibu rutin memeriksakan kehamilannya sehingga apabila diketahui ada masalah pada bayi dapat segera diatasi. E. Hubungan antara Proses Persalinan dengan Kematian Bayi di Kabupaten Boyolali Tidak ada hubungan antara proses persalinan dengan kematian bayi (p-value=0,153). Nilai OR yang diperoleh yaitu 1,974 (95% CI=0,865– 4,503) sehingga dapat diartikan bahwa ibu yang melahirkan dengan proses persalinan secara tindakan memiliki risiko sebesar 1,974 kali lebih besar mengalami kematian bayi dibandingkan dengan ibu yang proses persalinannya normal. Penelitian ini sejalan dengan penelitian Sharifzadeh 72 dkk (2008), menyatakan tidak ada hubungan antara proses persalinan caesar dengan kematian bayi diperoleh nilai p=0,007. Pada penelitian ini, diketahui pada kelompok kasus ibu yang melahirkan dengan persalinan caesar sebanyak 17 orang (22,7%) dan persalinan vacuum sebanyak 2 orang (2,7%). Sedangkan pada kelompok kontrol ibu yang melahirkan dengan persalinan caesar sebanyak 11 orang (14,7%). Pada kelompok kasus alasan paling banyak ibu melakukan persalinan dengan tindakan adalah terjadi pendarahan sebelum persalinan dilakukan sebanyak 6 orang (8%). Sedangkan pada kelompok kontrol alasan paling banyak ibu melakukan persalinan dengan tindakan adalah ibu memiliki riwayat melahirkan caesar sebelumnya sebanyak 7 orang (9,3%). Untuk mengurangi persalinan caesar dapat dilakukan dengan persalinan VBAC (Vaginal Birth After Cesarean-section), yaitu proses melahirkan normal setelah pernah melakukan caesar. Walaupun VBAC dapat dikatakan aman, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi sebelum melakukan VBAC antara lain riwayat 1 atau 2 kali persalinan caesar dengan insisi segmen bawah rahim, secara klinis panggul adekuat atau imbang dan kondisi fetopelvik baik, tidak ada bekas ruptur uteri atau bekas operasi lain pada uterus, tersedia tenaga yang mampu untuk melaksanakan monitoring dan persalinan caesar emergensi serta sarana dan personil anastesi siap untuk menangani persalinan caesar darurat. Selain itu masih terdapat beberapa kriteria yang menjadi kontroversi antara lain parut 73 uterus yang tidak diketahui, parut uterus pada segmen bawah rahim vertikal, kehamilan kembar, letak sungsang, kehamilan lewat waktu dan taksiran berat janin lebih dari 4000 gram (Cunningham FG, 2001). Masa bersalin merupakan periode kritis bagi seorang ibu hamil. Masalah komplikasi atau adanya faktor penyulit menjadi faktor risiko terjadinya kematian ibu dan bayi sehingga perlu dilakukan tindakan medis sebagai upaya untuk menyelamatkan ibu dan bayinya (Balitbangkes, 2013). Persalinan caesar merupakan operasi besar dengan adanya indikasi kesehatan tertentu (Whalley dkk, 2008). Sedangkan persalinan vakuum adalah persalinan buatan yang melahirkan bayi dengan melakukan ekstraktsi vakum dengan menarik kepala bayi. Ekstraksi vakum merupakan faktor penyebab trauma mekanik utama pada kepala bayi, dan dikenal sebagai penyebab langsung kerusakan pembuluh darah intracranial (Winkjosastro, 2007). Dalam bukunya Darmadi (2008), mengemukakan bahwa persalinan dengan tindakan dapat menyebabkan trauma fisik pada bayi disertai dengan adanya trauma anoksik, yaitu trauma akibat kekurangan oksigen pada saat persalinan. Sedangkan pada penelitian Sunarsih dkk (2014), menyebutkan ibu yang mengalami persalinan dengan berbagai masalah, mulai dari persalinan macet hingga ke persalinan dengan penyulit lain yang berakhir pada persalinan tindakan baik sectio cesaria dan vacuum. Jenis persalinan tersebut akan menyebabkan terjadinya trauma lahir pada bayi yang berakibat sampai kepada kematian. Sedangkan berdasarkan 74 penelitian Umah (2014), menyatakan persalinan tanpa adanya indikasi kesehatan (kegawatdaruratan) dapat membahayakan kondisi ibu dan bayi. Dalam bukunya Indiarti (2015), menyebutkan senam hamil bertujuan untuk mempermudah proses persalinan dan mengurangi terjadinya BBLR maupun kelahiran prematur. Senam hamil menitikberatkan pada latihan pernapasan dan organ lainnya seperti kedua kaki, pinggang dan panggul. Karena organ-organ ini yang berhubungan langsung dengan kehamilan dan persalinan. Sebaiknya senam hamil ini dilakukan dengan ahlinya, sehingga ibu tahu tahapan yang benar. Dengan demikian, diharapkan ibu teratur dan sedini mungkin memeriksakan kehamilannya. Dianjurkan pula mengikuti senam hamil yang bertujuan untuk kelancaran proses persalinan. Diharapkan ibu berada didekat fasilitas pelayanan kesehatan, apabila diindikasi ada masalah persalinan. F. Hubungan antara Penolong Persalinan dengan Kematian Bayi di Kabupaten Boyolali Tidak ada hubungan antara penolong persalinan dengan kematian bayi (p-value=1,000). Penelitian ini sejalan dengan penelitian Umah (2014), menyatakan tidak terdapat hubungan antara penolong persalinan dengan kematian neonatal dengan nilai p=0,548. Demikian pula penelitian Mahmudah (2011), juga menyebutkan tidak ada hubungan antara penolong persalinan dengan kematian perinatal diperoleh nilai p=0,65. 75 Pada penelitian ini, diketahui proporsi persalinan pada kelompok kasus yang dibantu oleh tenaga kesehatan sebanyak 75 orang (100%), sedangkan pada kelompok kontrol sebanyak 74 orang (98,7%). Pada kelompok kontrol terdapat 1 responden (1,3%) yang saat persalinan dibantu oleh dukun bayi, hal tersebut disebabkan karena akses jalan antara rumah dan fasilitas pelayanan sulit dijangkau sedangkan persalinan harus segera dilakukan. Dalam penelitian ini, diketahui pada kelompok kasus ibu yang persalinannya dibantu oleh dokter kandungan sebanyak 57 orang (76%) dan ibu yang persalinannya dibantu oleh bidan sebanyak 18 orang (44%). Sedangkan pada kelompok kontrol ibu yang persalinannya dibantu oleh dokter kandungan sebanyak 36 orang (48%), ibu yang persalinannya dibantu oleh bidan sebanyak 38 orang (50,7%) dan ibu yang persalinannya dibantu oleh dukun bayi sebanyak 1 orang (1,3%). Hal ini telah sesuai dengan target Rencana Strategis Kementerian Kesehatan tahun 2015-2019 menetapkan kebijakan bahwa seluruh persalinan harus ditolong oleh tenaga kesehatan terlatih yaitu dokter spesialis kebidanan dan kandungan (SpOG), dokter umum, dan bidan serta diupayakan dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan (Kemenkes, 2016). Pada penelitian ini, diketahui pada kelompok kasus sebanyak 35 orang (46,7%) penolong persalinan ibu dianjurkan oleh suaminya, sedangkan pada kelompok kontrol sebanyak 35 orang (46,7%) penolong persalinan dilakukan berdasarkan keinginan ibu sendiri. Apabila dilihat dari kepuasan pelayanan baik kelompok kasus dan kontrol sebanyak 73 76 orang (97,3%) puas dengan pelayanan yang diberikan oleh dokter maupun bidan dan sisanya 2,7% tidak puas dengan pelayanan yang diberikan. Kemungkinan banyak ibu yang memilih persalinan dibantu oleh tenaga kesehatan karena ibu menginginkan persalinan yang aman dan lancar. Selain itu banyak ibu yang sudah merasa puas dengan persalinan yang dibantu oleh tenaga kesehatan. Dalam penelitian Mahmudah (2011), menyatakan tidak ada hubungan antara penolong persalinan dengan kejadian kematian perinatal mungkin dikarenakan hampir semua ibu hamil sudah mendapatkan program dari Dinas Kesehatan Kabupaten yang berupa poster P4K (Poster Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi) yang diantaranya berisi tentang siapa yang akan menolong persalinan pada saat ibu melahirkan dan anjuran persalinan yang aman, sehingga ibu hamil terdorong untuk ditolong tenaga kesehatan pada proses persalinannya. Masih terdapat ibu yang persalinannya ditolong bukan tenaga kesehatan disebabkan karena adanya kelahiran yang tidak sesuai dengan perkiraan, sehingga mengalami keterlambatan untuk mendatangi atau memanggil tenaga kesehatan. Dengan demikian, diharapkan dinas kesehatan maupun puskesmas meningkatkan upaya promotif dan preventif dengan memberikan himbauan/informasi melalui berbagai macam media dan penyuluhan mengenai persalinan yang aman. 77 G. Hubungan antara Tempat Persalinan dengan Kematian Bayi di Kabupaten Boyolali Tidak ada hubungan antara tempat persalinan dengan kematian bayi (p-value=1,000). Penelitian ini sejalan dengan penelitian Umah (2014), yang menyatakan tidak ada hubungan antara tempat persalinan dengan kejadian kematian neonatal diperoleh nilai p=0,674. Demikian pula dengan penelitian Lolong (2015), juga menyebutkan tidak ada hubungan antara tempat persalinan dengan kematian neonatal diperoleh nilai p=0,451. Dalam penelitian ini, diketahui pada kelompok kasus sebanyak 75 orang (100%) melakukan persalinan di fasilitas pelayanan kesehatan, sedangkan pada kelompok kontrol terdapat 74 orang (98,7%) yang melakukan persalinan di fasilitas pelayanan kesehatan. Terdapat 1 orang (1,3%) pada kelompok kontrol yang melakukan persalinan dirumah, karena minimnya akses jalan menuju fasilitas pelayanan kesehatan. Pada kelompok kasus maupun kontrol diketahui paling banyak ibu melakukan persalinan di rumah sakit sebanyak 59 orang (78,7%) dan 32 orang (42,7%). Hal ini sesuai dengan target Rencana Strategis Kementerian Kesehatan tahun 2015-2019 sebesar 75% yang menetapkan persalinan di fasilitas pelayanan kesehatan sebagai salah satu indikator upaya kesehatan ibu dan anak, menggantikan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan (Kemenkes, 2015). Demikian pula dengan yang disampaikan Balitbangkes (2013), menyatakan tempat persalinan yang ideal adalah di rumah sakit 78 karena apabila sewaktu-waktu memerlukan penanganan kegawatdaruratan tersedia fasilitas yang dibutuhkan atau minimal bersalin di fasilitas kesehatan lainnya sehingga apabila perlu rujukan dapat segera dilakukan. Sebaliknya jika melahirkan di rumah dan sewaktu-waktu membutuhkan penanganan medis darurat maka tidak dapat segera ditangani . Pada penelitian ini, diketahui pada kelompok kasus dan kontrol sebanyak 72 orang (96%) dan 73 orang (97,3%) mengatakan jangkauan dan akses fasilitas pelayanan kesehatan tidak mengalami hambatan, sisanya sebanyak 3 orang (4%) dan 2 orang (2,7%) mengatakan ada hambatan untuk menjangkau fasilitas pelayanan kesehatan berupa transportasi dan jalanan yang rusak. Diketahui dalam penelitian ini penggunaan jaminan kesehatan pada kelompok kasus ibu yang menggunakan jaminan kesehatannya sebanyak 68 orang (90,7%) berupa BPJS dan KIS. Sedangkan pada kelompok kontrol ibu yang menggunakan jaminan kesehatannya sebanyak 51 orang (68%). Penggunaan fasilitas pelayanan kesehatan juga dapat disebabkan karena jangkauan dan akses terhadap pelayanan kesehatan tersebut. Penelitian di Etiophia menyebutkan sebesar 90% anak yang memiliki jarak tempuh lebih dari 1,5 jam memiliki risiko 2 kali lebih besar menyebabkan kematian (Okwaraj dkk, 2012). Sehingga apabila jangkauan dan akses menuju pelayanan kesehatan mudah, kebanyakan ibu akan memilih melakukan persalinan di fasilitas pelayanan kesehatan. Penelitian lain di Jawa Barat menyebutkan jarak dan keterbatasan biaya menjadi penyebab 79 utama ibu tidak mengakses penolong persalinan terlatih dan fasilitas pelayanan kesehatan (Titaley dkk, 2010). Sehingga dengan adanya jaminan kesehatan diharapkan membantu dan meringannya keuangan untuk ibu melakukan persalinan di fasilitas pelayanan kesehatan. Kemungkinan lain persalinan dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan disebabkan karena persalinan disertai dengan komplikasi persalinan. Pada penelitian ini, diketahui pada kelompok kasus ibu yang mengalami komplikasi persalinan sebanyak 31 orang (41,3%), sehingga melakukan persalinan di fasilitas pelayanan kesehatan. Sedangkan pada kelompok kontrol ibu yang mengalami komplikasi persalinan sebanyak 8 orang (10,7%), sehingga melakukan persalinan di fasilitas pelayanan kesehatan. Akibat komplikasi persalinan ibu lebih memilih melakukan persalinan di fasilitas pelayanan kesehatan karena mengutamakan keamanan dan keselamatan ibu dan bayinya. Berdasarkan penelitian ini, maka perlu upaya peningkatan fasilitas pelayanan kesehatan dari segi akses maupun kelengkapan alat dan ketersediaan penolong persalinan yang terlatih. Selain itu perlu juga publikasi jaminan kesehatan, agar jaminan kesehatan dimiliki secara merata oleh masyarakat. 80