GRANULOCYTE COLONY STIMULATING FACTOR (G-CSF) SEBAGAI PREDIKTOR PERSALINAN PRETERM dr. Ketut Surya Negara, SpOG (K) BAGIAN/SMF OBSTETRI DAN GINEKOLOGI FK UNUD/RSUP SANGLAH DENPASAR 2010 BAB I PENDAHULUAN Beban medis, psikologis, dari ancaman persalinan dan kelahiran preterm merupakan beban yang besar untuk keluarga. Tingginya angka kematian bayi paling banyak diakibatkan oleh kelahiran preterm. Angka kematian bayi merupakan salah satu indikator derajat kesehatan suatu negara. Angka kematian bayi ini tidak mengalami penurunan yang signifikan walaupun sudah terdapat perbaikan dari manajemen perinatal dari tahun ke tahun. Kelahiran preterm didefinisikan sebagai kelahiran yang terjadi pada umur kehamilan kurang dari 37 minggu atau 259 hari, yang merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas neonatal serta menjadi kerugian kesehatan dalam jangka yang panjang.1,2,3 Anak yang lahir prematur memiliki resiko lebih tinggi untuk menderita serebral palsi, defisit sensorik, penyakit pernapasan, dan kesulitan dalam konsentrasi belajar dibandingkan dengan anak yang lahir cukup bulan. Morbiditas yang terkait dengan kelahiran preterm sering meluas ke kehidupan anak itu selanjutnya.4,5 Oleh karena itu, diagnosis persalinan preterm yang akurat dan prediksi kelahiran preterm pada wanita dengan gejala adalah penting bagi pemberi layanan kesehatan, agar dapat memberikan penatalaksanaan yang tepat dan efektif, sehingga menghindari intervensi yang tidak perlu. Kelahiran preterm merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas perinatal.6 Penurunan kejadiannya tidak terjadi dalam dua dekade terakhir walaupun sudah ada peningkatan dalam manajemen perinatal.7,8 Penilaian kemungkinan kelahiran preterm masih menjadi tantangan para klinisi, karena intervensi klinis standar (pemberian tokolitik, kortikosteroid, dan pengiriman ke fasilitas perawatan yang memadai) memiliki potensi beresiko dan tidak murah. Pada tahun 2005, sebanyak 12,5 juta kelahiran atau 9,6% dari semua kelahiran di seluruh dunia adalah kelahiran preterm. Sekitar 11 juta (85%) dari kelahiran preterm terkonsentrasi di Afrika dan Asia, sekitar setengah juta di Amerika Latin dan Karibia. Kejadian tertinggi kelahiran preterm berada di Afrika dan Amerika Utara (11,9% dan 10,6% dari semua kelahiran), dan terendah berada di Eropa (6,2%).9 Di Amerika Serikat pada tahun 2005, sebanyak 28.384 bayi meninggal pada tahun pertama hidupnya. Kelahiran preterm terlibat sekitar dua pertiga dari kematian ini.10 Di Indonesia diperkirakan kelahiran preterm terjadi 10% dari sekitar 4 juta kelahiran, dan angka kematian neonatal sebanyak 20% dari seluruh kelahiran preterm.11 Tidak semua pasien yang datang dengan tanda persalinan preterm akan menjadi kelahiran preterm. Bagaimanapun juga, banyak dari kondisi ini harus mengalami perawatan di rumah sakit yang sebenarnya tidak diperlukan oleh karena sulitnya menentukan antara ancaman persalinan preterm dan persalinan preterm yang menjadi kelahiran preterm. Prediktor diagnosis yang baik tidak hanya menghindari pasien dari terapi tokolitik dan efek sampingnya, tetapi juga dapat menurunkan angka perawatan rumah sakit dan juga menurunkan angka rujukan ke fasilitas perawatan perinatologi. Telah banyak prediktor diagnostik yang digunakan untuk memprediksi kelahiran preterm sebelumnya, namun belum ada yang memiliki sensitivitas dan spesifitas yang baik untuk digunakan klinisi dalam praktek sehari – hari. Granulocyte Colony Stimulating Factor (G-CSF) merupakan suatu sitokin yang merangsang proliferasi dan diferensiasi dari netrofil.12 G-CSF diproduksi oleh sel desidua dan local makrofag yang merupakan respon awal dari infeksi bakteri.13 Dimana didapatkan peningkatan konsentrasi G-CSF pada infeksi intrauterin pada wanita yang mengalami persalinan preterm. 14 Sari pustaka ini akan membahas mengenai peran G-CSF sebagai prediktor kelahiran preterm, sehingga diharapkan dapat mengurangi angka perawatan rumah sakit, pemberian tokolitik, rujukan untuk memperoleh fasilitas perinatologi, dan biaya yang dikeluarkan. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Persalinan Preterm Persalinan preterm adalah persalinan yang menjadi kelahiran pada umur kehamilan kurang 37 minggu, dengan berat bayi baru lahir dapat rendah atau lebih besar dari usia kehamilan namun tetap memenuhi kriteria definisi preterm. Menurut Creasy dan Herron, didefinisikan sebagai persalinan pada wanita hamil dengan usia gestasi 20 – 36 minggu, dengan kontraksi uterus empat kali tiap 20 menit atau delapan kali tiap 60 menit selama enam hari, dan diikuti oleh satu dari beberapa hal berikut: ketuban pecah dini (premature rupture of membrane, (PROM), dilatasi serviks ≥ 2 cm, penipisan serviks > 50%, atau perubahan dalam hal dilatasi dan penipisan serviks pada pemeriksaan secara serial.15 Definisi lain mengenai persalinan preterm yaitu munculnya kontraksi uterus dengan intensitas dan frekuensi yang cukup untuk menyebabkan penipisan dan dilatasi serviks sebelum memasuki usia gestasi yang matang (antara 20 sampai 37 minggu).16 Sedangkan menurut WHO, preterm didefinisikan sebagai usia kehamilan yang kurang dari 37 minggu lengkap (259 hari) sejak hari pertama haid terakhir.17 Di Indonesia persalinan preterm di definisikan sebagai persalinan yang terjadi antara usia kehamilan diatas 28 minggu sampai dengan kurang dari 37 minggu dihitung dari hari pertama haid terakhir dengan siklus teratur 28 hari menurut rumus neagle.18 Di Indonesia sendiri angka kejadian persalinan preterm belum dapat dipastikan jumlahnya namun berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Departemen Kesehatan tahun 2007, proporsi Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) di Indonesia mencapai 11,5%, meskipun angka BBLR tidak mutlak mewakili angka kejadian persalinan preterm.19 Dari penelitian yang dilakukan di beberapa rumah sakit di Jakarta pada tahun 1993, didapatkan angka kejadian persalinan preterm 20,4% dan berat lahir rendah sebesar 9,3%. Selain itu terdapat sejumlah morbiditas yang turut berperan dalam terjadinya persalinan dan kelahiran preterm, misalnya anemia, di mana prevalens anemia pada ibu hamil mencapai 51%.20 2.2 Etiologi dan faktor risiko persalinan preterm Dalam sebagian besar kasus, etiologi persalinan preterm tidak terdiagnosis dan umumnya multifaktor. Kurang lebih 30% persalinan preterm tidak diketahui penyebabnya.21 Sedangkan 70% sisanya, disumbang oleh beberapa faktor seperti kehamilan ganda (30% kasus), infeksi genitalia, ketuban pecah dini, perdarahan antepartum, inkompetensia serviks, dan kelainan kongenital uterus (20-25% kasus).22 Sisanya 15-20% sebagai akibat hipertensi dalam kehamilan, pertumbuhan janin terhambat, kelainan kongenital dan penyakit-penyakit lain selama kehamilan.23 Seluruh kondisi klinis yang berkaitan dengan persalinan preterm tersebut dapat digolongkan menjadi faktor-faktor antara lain sebagai berikut:15 - Faktor maternal: Status sosial ekonomi yang rendah Riwayat persalinan preterm sebelumnya Usia kurang dari 18 tahun atau lebih dari 40 tahun Berat badan rendah sebelum hamil (Indeks Massa Tubuh - IMT < 19,8 kg/m2) Merokok Penyalahgunaan zat adiktif Riwayat abortus pada trimester kedua - Faktor uterus: Anomali uterus Trauma - Infeksi16 Bakterial vaginosis (BV) Trikomonas vaginalis 2.3 Patogenesis Persalinan Pretem akibat Infeksi Infeksi intrauterin seringkali bersifat kronis dan biasanya tanpa gejala sampai mulai terjadi persalinan atau pecah selaput ketuban. Selama proses persalinan, sebagian besar wanita yang kemudian terbukti mengalami korioamnionitis (berdasarkan bukti histologis atau kultur) tetap tidak menunjukkan gejala selain kontraksi preterm, tidak ada demam, nyeri perut atau leukositosis pada darah tepi dan biasanya tidak didapatkan takikardia janin. Infeksi intrauterin sering tidak bergejala maka untuk mengidentifikasinya merupakan tantangan yang besar. Infeksi merupakan penyebab tersering dari persalinan preterm, dimana bakteri dapat menyebar ke uterus dan cairan amnion sehingga memicu terjadinya inflamasi dan mengakibatkan persalinan preterm dan ketuban pecah dini. Terdapat beberapa macam bakteri yang dihubungkan dengan persalinan preterm yaitu : Gardrenella vaginalis, Mycoplasma homnis, Chlamydia, Ureaplasma urealyticum, Fusobacterium, Trichomonas vaginalis, Klebsiella pneumoniae, Escherichia coli dan Hemophilus vaginalis.21 Persalinan spontan yang terjadi pada trimester kedua dihubungkan oleh infeksi virus pada jaringan plasenta. Menurut beberapa penelitian, infeksi Human Papilloma Virus (HPV) dan Cytomegalovirus (CMV) dapat merangsang kematian sel trofoblas ekstravilli dan mengurangi invasi plasenta pada dinding uterus sehingga menyebabkan disfungsi plasenta dan berakibat pada keluaran bayi, termasuk persalinan preterm. 22 Korioamnionitis adalah infeksi pada membran janin dan cairan amnion, juga dihubungkan dengan persalinan preterm. Infiltrasi sel-sel radang pada membran janin dan desidua merangsang pengeluaran prostaglandin sehingga memicu terjadinya persalinan. Mekanisme ini terjadi oleh karena infeksi bakteri ascendens dari saluran genitalia bagian bawah ke lapisan korio-desidua dan selanjutnya menuju rongga amnion dan janin, yang dijelaskan sebagai berikut: 23 a. Mikroorganisme menghasilkan enzim protease dan musinase yang menghidrolisis barier mukus serviks dan melemahkan jaringan kolagen pada selaput membran korioamnion sehingga mikroorganisme dapat menembus serviks b. Bakteri juga menghasilkan fosfolipase yang berperan dalam pembentukan asam arakidonat (senyawa yang membentuk prostaglandin). Prostaglandin merupakan mediator penting terjadinya kontraksi otot polos uterus dan pembukaan servik. c. Mikroorganisme menghasilkan sitokin dan kemokin proinflamasi seperti akan merangsang pembentukan prostaglandin dan mengawali kemotaksis netrofil, infiltrasi dan aktivasi yang akhirnya terjadi pembentukan matrix metalloproteinase (MMP) yang menyebabkan kerusakan membran, preterm premature rupture of the membrane (PPROM), pembukaan serviks dan kontraksi uterus. d. Pada janin yang terinfeksi, terjadi peningkatan produksi corticotropin releasing hormone (CRH) oleh hipotalamus janin dan plasenta yang menyebabkan peningkatan sekresi kortikotropin janin, yang selanjutnya meningkatkan produksi kortisol oleh adrenal janin. Sekresi kortisol akan meningkatkan produksi prostaglandin dan menyebabkan timbulnya kontraksi uterus. Gambar 1. Lokasi Potensial Infeksi bakteri Patogenesis terjadinya persalinan preterm dikemukakan oleh Goldenberg (2000) adalah sebagai berikut :24 Jalur pertama yang menginisiasi persalinan preterm adalah invasi bakteri pada koriodesidua yang merangsang pelepasan endotoksin, eksotoksin, dan juga mengaktifkan desidua dan membran janin untuk menghasilkan berbagai sitokin, yaitu TNF- α, IL-α, IL-1β, IL-6, IL-8 dan granulocyte colony-stimulating factor (G-CSF). Sitokin, endotoksin, dan eksotoksin merangsang pembentukan dan pelepasan prostaglandin serta mengawali kemotaksis neutrofil, infiltrasi dan aktivasi netrofil, dimana pada puncaknya akan terjadi pembentukan dan pelepasan metalloprotease dan substansi bioaktif lainnya. Prostaglandin akan merangsang kontraksi uterus dimana invasi metalloprotease pada membran korioamnion menyebabkan pecahnya ketuban. Metalloprotease juga menyebabkan perlunakan dan remodelling kolagen servik. Jalur kedua yang berperan adalah prostaglandin dehidrogenase di jaringan korion yang dapat menghambat masuknya prostaglandin ke miometrium sehingga mencegah terjadinya kontraksi uterus. Infeksi korionik dapat menurunkan aktivitas dehidrogenase ini, sehingga menyebabkan peningkatan jumlah prostglandin yang mencapai miometrium. Jalur ketiga melibatkan janin itu sendiri. Pada janin yang terinfeksi, terjadi peningkatan produksi CRH (Corticotropin Releasing Hormone) oleh hipotalamus janin dan plasenta yang menyebabkan peningkatan sekresi kortikotropin janin, yang selanjutnya meningkatkan produksi kortisol oleh adrenal janin. Pada akhirnya sekresi kortisol akan meningkatkan produksi prostaglandin dan menyebabkan timbulnya kontraksi uterus. Pada janin yang terinfeksi terjadi peningkatan produksi sitokin dan waktu persalinan semakin cepat. Pada 88 % kasus janin terinfeksi dan terjadinya peningkatan produksi sitokin, terjadi persalinPan dalam waktu 48-72 jam kemudian. Perbedaan waktu antara terjadinya infeksi dengan kejadian persalinan preterm belum diketahui pasti penyebabnya. Gambar 2. Mekanisme Potensial Persalinan Preterm akibat Kolonisasi Bakteri Koriodesidual Lokasi yang terbaik untuk diperiksa adalah cairan amnion, yang selain mengandung bakteri, cairan amnion ibu hamil dengan infeksi intrauterin mengandung kadar glukosa yang rendah, leukositosis dan peningkatan konsentrasi komplemen C3 dan sejumlah sitokin lain dibandingkan dengan cairan amnion ibu hamil yang tidak terinfeksi. Prosedur tersebut membutuhkan tindakan amniosentesis, dan hingga saat ini belum jelas peran amniosintesis dalam meningkatkan luaran kehamilan, terrmasuk pada wanita dengan kontraksi preterm. Saat ini, tidak dianjurkan untuk melakukan amniosintesis rutin untuk memeriksa infeksi intrauterin pada ibu hamil diluar persalinan. 2.4 Prediksi persalinan preterm Terdapat tiga alasan pentingnya dilakukan prediksi terhadap persalinan preterm. Pertama, dengan menjabarkan faktor-faktor prediktif terhadap persalinan preterm, mekanisme terjadinya persalinan preterm spontan dapat diketahui lebih baik. Kedua, prediksi persalinan preterm tersebut berguna untuk mengidentifikasi kelompok wanita dengan risiko tinggi yang mungkin membutuhkan pemeriksaan lanjutan dan membutuhkan intervensi. Ketiga, masih berkaitan dengan alasan kedua, dengan mengidentifikasikan kelompok wanita dengan risiko persalinan preterm yang rendah, segala macam pemeriksaan yang membutuhkan biaya dan intervensi yang mungkin membahayakan dapat dihindari. Hingga saat ini, belum ada satu atau beberapa kelompok pemeriksaan yang memiliki nilai sensitivitas dan spesifisitas yang optimal. Prediksi tersebut dibagi menjadi prediksi klinis, biofisik, dan biologik.25 Sebagian lagi membagi atas prediksi primer dan sekunder. Prediksi primer artinya prediksi yang dapat diketahui sebelum kehamilan, sedangkan prediksi sekunder adalah prediksi yang hanya dapat diketahui setelah kehamilan.26 Prediksi disini belum tentu suatu uji skrining, karena saat ini belum ada uji skrining yang dilakukan rutin terhadap persalinan preterm yang terpisah dari proses anamnesis untuk mencari faktor risiko, seperti riwayat persalinan sebelumnya. Prediksi yang tepat akan memberikan kesempatan melakukan intervensi yang efektif.27 Mediator inflamasi dipandang penting sebagai alat untuk memprediksikan terjadinya preterm oleh karena terdapat sejumlah bukti kuat mengenai peran infeksi sebagai faktor risiko persalinan preterm yang paling kuat.28 Bukti tersebut antara lain: (1) infeksi intrauterin atau adanya produk mikroorganisme sistemik pada hewan yang hamil mencetuskan persalinan preterm, (2) pengobatan antibiotik terhadap infeksi intrauterin yang asenden dapat mencegah terjadinya prematuritas, (3) infeksi maternal sistemik seperti pielonefritis dan pneumonia seringkali berhubungan dengan kejadian persalinan preterm pada manusia, (4) infeksi intrauterin subklinis berhubungan dengan prematuritas, (5) pengobatan vaginosis bakterial dan bakteriuria asimtomatik mencegah prematuritas, dan (6) korioamnionitis akut secara histologis berhubungan dengan persalinan preterm yang spontan. Penelitian mikrobiologi dan histopatologis menunjukkan infeksi berperan pada 25-40% kasus persalinan preterm.27,28 Prediksi biofisik dilakukan dengan mengukur parameter fisik pada ibu. Parameter fisik yang dimaksud adalah panjang serviks. Cara pemeriksaan serviks antara lain yaitu: 1. Digital dengan jari. 2. Ultrasonografi (USG) transabdominal. 3. USG transperineal. 4. USG transvaginal. Pengukuran panjang serviks dapat digunakan untuk memprediksikan adanya risiko persalinan preterm. Serviks yang pendek memiliki risiko lebih tinggi mengalami persalinan preterm.29 Pada wanita yang dicurigai akan mengalami persalinan preterm, USG transvaginal bisa menjadi prediksi yang baik. Panjang serviks yang > 3 cm pada usia gestasi 34 minggu memiliki nilai prediksi negatif yang besar. Hal ini dapat menghindarkan wanita tersebut dari terapi dan pemeriksaan lanjut yang tidak diperlukan.30 Prediksi biologik dilakukan dengan menggunakan biomarker yang diproduksi pada masa kehamilan, baik dari tubuh ibu maupun bayi. Biomarker tersebut dapat berasal dari serum, plasma, sekret vagina atau serviks termasuk pewarnaan Gram, cairan amnion, urin, dan DNA.31 Biomarker biologik yang dapat digunakan untuk memprediksikan adanya persalinan preterm adalah fibronektin fetal, Ureaplasma urealyticum, relaksin, human defensins 2, estriol, Corticotrophin-releasing hormone (CRH), interleukin-6, alfa fetoprotein, protein reaktif C (C-reactive protein, CRP), dan Granulocyte- Colony Stimulating Factor (G-CSF). Tabel 1. Marker infeksi Intrauterin wanita hamil Intra Partum Cairan amnion Serviks atau Vagina Serum Bakteri Bacterial Vaginosis G-CSF tinggi Leukositosis G-CSF tinggi IL -6 tinggi G-CSF tinggi TNF α tinggi TNF α tinggi IL -1 tinggi IL-1 tinggi CRP tinggi IL -6 tinggi IL-6 tinggi IL -8 tinggi Fetal fibronektin tinggi Wanita Asimptomatik saat PNC rutin Cairan amnion Serviks atau Vagina Serum IL -6 tinggi Bakterial Vaginosis G-CSF tinggi IL-6 tinggi Feritin tinggi Feritin tinggi Fetal fibronektin tinggi IL: interleukin; G-CSF : Granulocyte colony stimulating factor; TNF : tumor necroting factor 2.5 Peran Sitokin Dalam Persalinan Preterm Invasi bakteri ke dalam koriodesidua (kolonisasi bakteri koriodesidual) akan melepaskan produk-produknya, seperti: endotoksin dan eksotoksin serta mengaktifkan sistim monosit-makrofag pada host (janin/ibu) yang kemudian melepaskan sejumlah sitokin. Sitokin merupakan messenger kimia atau perantara dalam komunikasi interseluler yang sangat poten, aktif pada kadar yang sangat rendah (10 -10 -10 -15 mol/l ) untuk dapat merangsang sel sasaran. Saat ini lebih dari 100 jenis sitokin telah diketahui. Sitokin biasanya berupa glikoprotein yang memiliki sifat : Diproduksi oleh sel sebagai respon terhadap rangsangan. Sitokin yang dibentuk segera dilepaskan dan tidak disimpan dalam sel Sitokin yang sama dapat diproduksi oleh beberapa sel Satu sitokin dapat bekerja terhadap berbagai jenis sel dan menimbulkan efek melalui berbagai mekanisme Banyak fungsi yang sama dimiliki oleh beberapa sitokin Efeknya terjadi melalui ikatan dengan reseptor spesifik pada permukaan sasaran dan cenderung menjadi sangat poten. Pada persalinan preterm yang disebabkan oleh infeksi dimana inflamasi pada koriodesidua akan mengaktifkan berbagai sitokin yang selanjutnya akan menimbulkan kontraksi uterus, perubahan pada serviks, dan pecahnya selaput ketuban. Aktivasi dari jejaring sitokin akan meningkatkan produksi protease yang akan memecah matriks ekstra selular pada desidua, selaput ketuban dan serviks. Aktivasi sitokin juga meningkatkan produksi asam arakhidonat yang memproduksi prostaglandin yang selanjutnya menimbulkan kontraksi uterus. Ativasi jejaring sitokin juga menyebabkan peningkatan apoptosis plasenta dan selaput korioamnion. Apoptosis dari sel otot polos serviks berperan dalam pembukaan serviks.32 Gambar 3. Peran sitokin pada persalinan preterm Selanjutnya sitokin, endotoksin dan eksotoksin menstimulasi biosintesis protaglandin F2- dan E2 di desidua atau amnion dan melepaskannya. Puncak dari sintesis ini adalah pelepasan metalloprotease dan unsur-unsur bioaktif lainnya. Prostaglandin menstimulasi kontraksi uterus dan peningkatan metalloprotease pada selaput korioamnion dapat menimbulkan pecahnya selaput korioamnion dan pada servik dapat merubah jaringan kolagen pada servik menjadi lebih lunak. 32 Kadar sitokin-sitokin dalam cairan amnion berhubungan dengan adanya infeksi korioamnion. Produksi prostanoid pada desidua, korion, amnion dan sel miometrium dan produksi endotelin oleh sel amnion dan sel desidua dirangsang oleh tingginya konsentrasi endotoksin dan juga oleh IL-1 dan TNF-α. Lebih dari satu patogen, deteksi dari berbagai prediksi patogen telah diteliti sebagai suatu alat yang potensial dalam memprediksi ancaman persalinan preterm pada umur kehamilan kurang dari 35 minggu. Dari semuanya, G-CSF sebagai sitokin proinflamasi merupakan salah satu prediktor yang baik dalam mendeteksi adanya infeksi intra uterin. 2.6 Granulocyte- Colony Stimulating Factor ( G-CSF) Tubuh memerlukan sistem imun untuk melawan patogen intraseluler seperti virus, beberapa bakteri, dan protozoa serta patogen ekstraseluler seperti bakteri beserta toksinnya, parasit dan virus bebas.33 Pertahanan imun terdiri dari pertahanan imun alami dan pertahanan imun didapat. Pertahanan imun alami berupa komponen tubuh yang tidak memerlukan pajanan mikroba dari luar, dimana mekanismenya tidak menunjukkan spesifitas, sehingga pertahanan tersebut mampu melindungi tubuh terhadap banyak patogen potensial. Sistem imun alami merupakan pertahanan tubuh terdepan dalam menghadapi berbagai mikroorganisme, oleh karena mampu memberikan respon langsung, Sedangkan pertahanan tubuh didapat membutuhkan waktu pengenalan antigen terlebih dahulu. Sistem imun alami terdiri dari sistem humoral dan seluler. Fagosit merupakan salah satu sistem seluler.14 Sitokin adalah suatu glikoprotein yang bekerja sebagai mediator pada imunitas alami. Dimana sitokin bekerja sebagai pengontrol aktivasi, proliferasi, dan diferensiasi sel. Dan terdapat sitokin yang bekerja secara kolektif untuk mengatur hematopoesis yang disebut Colony Stimulating Factor (CSF). G-CSF (Granulocyte Colony Stimulating Factor) merupakan sitokin yang berperan pada pertumbuhan granulosit.33 G-CSF merupakan sitokin yang pertama kali ditemukan pada tahun 1986 oleh peneliti jepang. Dimana dihasilkan oleh beberapa sumber seperti endotel, epitel, fibroblast, makrofag. G-CSF merupakan glikoprotein dengan 180 asam amino, dengan berat molekul 19,6 g/mol. 34 Reseptor dari G-CSF terdapat di sumsum tulang yang berespon dalam proses proliferasi dan diferensiasi dari pembentukan netrofil yang matang. Neutrofil, disebut juga leukosit polimorfonuklear merupakan jumlah yang paling banyak dari populasi sel darah putih dan sebagai perantara fase awal dari reaksi inflamasi. Manusia dewasa memproduksi lebih dari 1x1011 neutrofil perhari, dan bersirkulasi dalam darah hanya kurang lebih 6 jam. Neutrofil bisa berpindah ketempat yang mengalami infeksi, hanya dalam beberapa jam setelah masuknya mikroba.35 Granulocyte colony Stimulating Factor (G-CSF) diperiksa dengan menggukakan metode standart sandwich enzyme liknked imunosorbent assay. Gambar 4. Peran sitokin (G-CSF) pada hematopoesis Persalinan preterm erat kaitannya dengan infeksi intrauterin dan tubuh akan mengeluarkan suatu substansi akibat rangsangan infeksi tersebut. Endotoksin dari bakteri (lypopolysacharida) masuk ke dalam cairan amnion untuk merangsang sel desidua untuk memproduksi sitokin dan prostaglandin yang akan merangsang persalinan. PG-E2 bersama-sama dengan G-CSF mempengaruhi sel darah putih dan fibroblas di servik menyebabkan terjadinya sintesis dan pelepasan kolagenase. Kolagenase ini akan memecah jaringan kolagen servik sehingga jumlah kolagen menurun, terjadilah pelunakan/pematangan servik. Servik yang melunak ini akan menyebabkan mudahnya terjadi penipisan dan pembukaan.36 Seperti kita ketahui bahwa persalinan preterm sebagian besar disebabkan oleh karena infeksi. Dan G-CSF merupakan sitokin yang merangsang pembentukan netrofil sebagai mediator inflamasi. Keberadaan G-CSF sebagai prediktor terhadap persalinan preterm telah dibuktikan dalam beberapa penelitian. Robert L, dkk pada tahun 2000 mengemukakan bahwa peningkatan G-CSF plasma pada wanita hamil usia kehamilan 24-28 minggu yang tidak mengalami keluhan, berhubungan dengan terjadinya persalinan preterm spontan dalam 4 minggu kedepan. Hal ini dikaitkan dengan adanya proses inflamasi akibat dari suatu infeksi, dimana dibuktikan dengan terdapatnya sitokin G-CSF dalam plasma.12 Tabel 2. rata-rata kadar G-CSF pada usia kehamila 24-28 minggu yang mengalami persalinan spontan sebelum usia kehamilan 37 minggu Pada diatas menunjukkan wanita usia kehamilan 24 minggu yang mengalami persalinan sebelum usia kehamilan 28 minggu memiliki kadar ratarata G-CSF lebih tinggi bermakna ( 87,4 ± 38,4) bila dibandingkan kontrol (67,6 ± 28,6). Sedangkan sampel wanita usia kehamilan 28 minggu yang melahirkan sebelum usia kehamilan 32 minggu juga memiliki kadar rata-rata G-CSF yang lebih tinggi bermakna ( 80,4 ± 24,1) bila dibandingkan dengan kontrol (55,9 ± 16,5). Sedangkan pada kedua sampel yang melahirkan setelah empat minggu tidak menunjukkan nilai rata-rata kadar G-CSF yang berbeda bermakna bila dibandingkan dengan kontrol. Penelitian lain menyebutkan bahwa terjadi peningkatan kadar G-CSF serum pada wanita yang mengalami persalinan preterm dengan histologi chorioamnionitis subklinis. Kim A, dkk 1997 meneliti 162 wanita usia kehamilan 22-33 minggu dan diatas 36 minggu yang terbagi menjadi lima kelompok, diperiksa kadar G-CSF serum. Kelompok 1 merupakan pasien preterm yang melahirkan preterm, kelompok 2 adalah pasien preterm yang melahirkan aterm, kelompok 3 pasien preterm tanpa tanda persalinan, kelompok 4 adalah pasien aterm yang sedang inpartu, dan kelompok 5 adalah pasien aterm yang tidak inpartu. Didapati bahwa kadar G-CSF serum tinggi pada wanita yang mengalami persalinan preterm dibandingkan empat kelompok lainnya.( Tabel 2.)13 Tabel 3. Kadar G-CSF serum pada 162 wanita Kim A, dkk, 1997 selanjutnya meneliti 23 wanita yang mengalami persalinan preterm dilakukan pemeriksaan histologi plasenta. Ditemukan 13 dari 17 pemeriksaan (76%) dinyatakan positif corioamnionitis. Dan dari subyek yang positif corioamnionitis ditemukan bahwa kadar G-CSF serumnya lebih tinggi dari pada yang tanpa corioamnionitis. ( Gambar 2.3)13 Gambar 5. kadar G-CSF serum wanita yang mengalami persalinan preterm dengan koriamnionitis positif Lain halnya dengan Darlene, dkk tahun 2001 meneliti keberadaan G-CSF pada plasenta dengan melakukan pemeriksaan imunohistokimia dan analisis RNA messenger. Didapati bahwa reseptor G-CSF meningkat pada wanita yang mengalami infeksi intra amniotik bila dibandingkan dengan mereka yang tidak mengalami infeksi ( 27 berbanding 18 sel per plasenta). Penelitian Darlene, dkk juga menunjukkan kadar G-CSF meningkat baik pada wanita maupun neonatus yang mengalami infeksi intra uterine (table 2.4).14 Tabel 3. Kadar G-CSF pada wanita dan neonatus yang mengalami infeksi intra uterin dan tanpa infeksi. Brian W dkk, 2009 melakukan penelitian dengan mencari hubungan kadar G-CSF pada trimester pertama dan trimester kedua dan persalinan preterm. Didapatkan simpulan bahwa terdapat hubungan kadar G-CSF serum ibu dengan umur kehamilan. (Gambar 2.4)36 Gambar 6. Kadar G-CSF dibandingkan dengan umur kehamilan Penelitian tidak hanya dilakukan pada ibu untuk membuktikan peningkatan kadar G-CSF akibat infeksi. Penelitian pada neonatus yang lahir preterm juga menunjukkan perbedaan kadar yang signifikan. Hal ini didukung oleh penelitian Carol ,dkk tahun 1996, yang menunjukkan bahwa pemeriksaan kadar G-CSF memiliki sensitifitas yang tinggi (95%) dengan spesifitas yang cukup besar ( 73 %) dalam mendeteksi adanya infeksi pada neonatus.37 Tabel 5. Nilai diagnostik G-CSF pada neonatus Telah banyak penelitian tentang biomarker yang dapat digunakan sebagai prediktor terhadap persalinan preterm, tetapi sampai saat ini belum ada yang dapat digunakan secara pasti. Perkin 2009 mengemukankan bahwa G-CSF merupakan salah satu biomarker non invasif yang dapat diperiksa pada wanita yang beresiko mengalami persalinan preterm tanpa menunjukkan gejala. Dimana G-CSF memiliki sensitifitas cukup tinggi bila dibandingkan dengan biomarker yang lain(Gambar 2.5)38 Gambar 7. Sensitivitas G-CSF sebagai biomarker non invasive BAB III RINGKASAN Persalinan preterm yang menjadi kelahiran preterm merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas perinatal baik di dunia maupun di Indonesia. Tidak semua pasien yang datang dengan tanda persalinan preterm akan menjadi kelahiran preterm. Prediktor diagnostik yang baik tidak hanya menghindari pasien dari terapi tokolitik dan efek sampingnya, tetapi juga dapat menurunkan angka perawatan rumah sakit dan juga menurunkan angka rujukan ke fasilitas perawatan perinatologi. Telah banyak prediktor diagnostik untuk memprediksi kelahiran preterm digunakan sebelumnya, namun belum ada yang memiliki sensitivitas dan spesifitas yang baik untuk digunakan klinisi dalam praktek sehari – hari. Granulocyte Colony Stimulating Factor (GCSF) telah hadir diberbagai uji diagnostik dalam mendiagnosis persalinan preterm dan memprediksi terjadinya kelahiran preterm. Dengan cukup tingginya nilai sensitivitas dan spesifisitas , pemeriksaan GCSF dapat membantu klinisi memprediksi kelahiran preterm dengan menjadikannya suatu pemeriksaan srining rutin pada wanita hamil sehingga persalinan preterm dapat dicegah dan dapat menurunkan angka perawatan rumah sakit yang tidak diperlukan. DAFTAR PUSTAKA 1. International classification of diseases and related health problems. 10th revision. Geneva: World Health Organization; 1992. 2. Huddy CL, Johnson A, Hope PL. Educational and behavioral problems in babies of 32– 35 weeks gestation. Arch Dis Child Fetal Neonatal;85: 23F-8. doi:10.1136/fn.85.1.F23. 2001. 3. Wang ML, Dorer DJ, Fleming MP, Catlin EA. Clinical outcomes of near-term infants. Pediatrics ;114:372-6. PMID:15286219 doi:10.1542/peds. 114.2.372. 2004 4. Petrou S. The economic consequences of preterm birth during the first 10years of life. BJOG;112 Suppl 1;10-5. PMID:15715587. 2005 5. Petrou S, Mehta Z, Hockley C, Cook-Mozaffari P, Henderson J, Goldacre M. The impact of preterm birth on hospital inpatient admissions and costs during the first 5 years of life. Pediatrics;112:1290-7. PMID:14654599 doi:10.1542/peds.112.6.1290. 2003 6. Goldenberg RL, Culhane JF, Iams JD, Romero R. Epidemiology and causes of preterm birth. Lancet;371(9606):75–84. 2008 7. Iams JD, Romero R, Culhane JF, Goldenberg RL. Primary, secondary, and tertiary interventions to reduce the morbidity and mortality of preterm birth. Lancet;371(9607):164–75. 2008 8. Iams JD. Prediction and early detection of preterm labor. Obstet Gynecol ;101:402–12. 2003 9. Beck S, Wojdyla D. The worldwide incidence of preterm birth: a systematic review of maternal mortality and morbidity. Bull 31 World Health Organ;88:31–38. 2010 10. MacDorman MF, Mathews TJ: Recent trends in infant mortality in the United States. NCHS Data Brief, No. 9. Hyattsville, MD, National Center for Health Statistics, 2008. 11. Anonymous. Manajemen Persalinan Preterm. Himpunan Kedokteran Fetomaternal POGI, Semarang 24 – 26 Maret 2005. 12. Robert L, Goldenberg MD. The Preterm Prediction study: Granulocyte Colony-stimulating factor and spontaneous preterm birth. The university of Alabama ,2000. 13. KIM A. Boggess, Phillip C Greig. Maternal Serum Granulocyte-colony stimulating factor in preterm birth with subclinical chorioamnionitis. J of reproductive immunology ; 33: 45-52.1997. 14. Darlene A.Calhoun, Nasser Chegini: Granulocyte colony stimulating factor in preterm and term pregnancy, parturition, and intra-amniotic infection. J obstet gynecol; 97: 229-34. 2001 15. Cunningham FG, Lenovo KJ. Preterm Birth. Williams Obstetrics 23 rd . McGraw-Hill Co. Ch 36: 804-31. 2010. 16. Von Der Pool BA. Preterm Labor: Diagnosis and treatment. Am Fam Phys.Mei 1998. 17. Danelian P, Hall M. The epidemiology of preterm labour and delivery.In: Norman J, Greer I, editors. Preterm Labour: Managing risk in clinical practice. Cambridge University Press. USA. 2005. 18. Sarwono P , Ilmu Kebidanan, Binapustaka Sarwono Prawiroharjo, Jakarta 2008. 19. Departemen Kesehatan RI, 2001. Rencana Strategis Nasional Making Pregnancy Safer di Indonesia 2001-2010. 20. Guaschino S, De Seta F, Piccoli M, Maso G, Alberico S. Aetiology of preterm labour: bacterial vaginosis. Br J Obstet Gynecol.;113 Suppl 3:46-51.2006 21. Romero, R. Mazor, M. Infection and preterm labor. Clin Obstet Gynecol, vol 31: 553. 2005. 22. Gomez. et al. The role of infection in preterm labor and delivery,Churchill Livingstone.p. 85-125. 2008 . 23. Papatsonis DNM. Prepregnancy counseling: preterm birth. International Congress Series;1279:251-270. 2005. 24. Goldenberg. et al. Intrauterine Infection and Preterm Delivery. New England Journal of Medicine, vol 342:1500-1507. 2000. 25. Institute of Medicine. Preterm birth: causes, consequences, and prevention. National Academy of Sciences.Washington DC: National Academic Press: Washington DC. 2007. 26. Leitich H. Secondary predictors of preterm labour. Br J Obstet Gynecol.; 112: Supp 1. pp 48-50. 2005. 27. Honest H, Forbes CA, Duree KH, Norman G, Duffy SB, Tsourapas A, et al. Screening to prevent spontaneous preterm birth: systematic reviews of accuracy and effectiveness literature with economic modeling. Health Technology Assessment . Vol.13 No 43. 2009. 28. Iams JD, Newman RB, Thom EA, Goldenberg RL, Mueller-Huebach E, Moawad A, et al. Frequency of uterine contractions and the risk of spontaneous preterm delivery. N Engl J Med;346:250-5. 2002. 29. Pararas MV, Skevaki CL, Kafetzis DA. Preterm birth due to maternal infection: Causative pathogens and modes of prevention. Eur J Clin Microbiol Infect Dis;25(9):562-9. 2006. 30. Vogel I, Thorsen P, Curry A, Sandager P, Uldbjerg N. Biomarkers for the prediction of preterm delivery. Acta Obstet Gynecol Scand; 84: 516–525. 2005. 31. Corabian P. The Actim Partus versus The TLIiq System as a Rapid Response Test to Aid in Diagnosing Preterm Labor in Symptomatic Woman. Institute of Health Economics Alberta Canada. 2008. 32. Robert L. Goldenberg MD, et al. intrauterine infection and preterm delivery.the new enggland journal of medicine . May 2000. 33. Garna B Karnen. Immunologi dasar . Balai penerbit fakultas kedokteran universitas Indonesia, Jakarta. 2002. 34. Metcalf D. "The granulocyte-macrophage colony-stimulating factors". Science 229. (4708): 16–22.1985. 35. Parslow,T G.;Stites, DP.; Terr, AI.; and Imboden JB.. Medical Immunology. 1st edition,.2000 36. Brian W, et all. Maternal serum granulocyte colony stimulating factor levels and spontaneous preterm birth. Journal of women health 18. 2009 37. Kennan Carol et all. Granulocyte colony stimulating factor as a marker of bacterial infection in neonates. New mexico hospital general clinical research center. Januari.1996 38. Perlin elmer. Preterm birth- challenges and apportunities in prediction and preventive: 1244. 2009.