ii. tinjauan pustaka

advertisement
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Peran Pemerintah Dalam Perekonomian
Salah satu peranan pemerintah dalam perekonomian tercermin dalam
kebijakan fiskal. Soediyono (1985), mendefinisikan kebijakan fiskal adalah
bentuk tindakan pemerintah untuk mempengaruhi jalannya perekonomian agar
keadaan perekonomian tidak terlalu menyimpang dari keadaan yang diinginkan
dengan alat (policy instrument variable) berupa pajak (T), transfer pemerintah
(Tr), dan pengeluaran pemerintah (G). Kebijakan fiskal disebut juga kebijakan
anggaran (budgetary policy) yang dilakukan melalui Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN).
APBN merupakan instrumen untuk mengatur pengeluaran dan pendapatan
negara dalam rangka mencapai pertumbuhan ekonomi, stabilitas perekonomian,
dan menentukan arah serta prioritas pembangunan secara umum. Penyusunan
APBN memiliki tujuan sebagai pedoman pengeluaran dan penerimaan negara
agar terjadi keseimbangan yang dinamis dalam melaksanakan kegiatan
kenegaraan untuk meningkatkan produksi dan kesempatan kerja dalam rangka
meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, anggaran pendapatan dan
belanja negara harus dirumuskan sedemikian rupa yang mencakup perkiraan
periodik dari semua pengeluaran dan sumber penerimaan.
Kebijakan fiskal atau anggaran memiliki enam (6) fungsi yaitu:
1.
Fungsi otorisasi, dimana APBN menjadi dasar untuk melaksanakan
pendapatan dan belanja pada tahun yang bersangkutan
22
2.
Fungsi perencanaan, dimana APBN menjadi pedoman bagi penyelenggara
negara dalam merencanakan kegiatan pada tahun yang bersangkutan.
APBN disusun untuk merencanakan target penerimaan dan pengeluaran
keuangan negara.
3.
Fungsi pengawasan, dimana APBN menjadi pedoman untuk menilai
apakah kegiatan penyelenggaraan pemerintahan sesuai dengan ketentuan
yang telah ditetapkan.
4.
Fungsi stabilisasi memiliki makna bahwa anggaran pemerintah menjadi
alat untuk memelihara dan mengupayakan keseimbangan fundamental
perekonomian, utamanya untuk mempertahankan tingkat pekerjaan yang
tinggi (high employment), stabilitas tingkat harga-harga, dan meredam
siklus bisnis atau fluktuasi ekonomi. APBN diharapkan dapat berfungsi
menjaga kestabilan arus uang dan arus barang sehingga dapat mencegah
terjadinya inflasi yang tinggi maupun deflasi yang akan mengakibatkan
kelesuan perekonomian (resesi).
5.
Fungsi alokasi
mengurangi
dimana anggaran negara harus diarahkan untuk
pengangguran
dan
pemborosan
sumber
daya
meningkatkan efesiensi dan efektivitas perekonomian. Fungsi
serta
alokasi
terutama berkaitan dengan penyediaan barang sosial (social goods). APBN
ditentukan besarnya anggaran pengeluaran masing-masing bidang, ini
berarti di APBN sektor pembangunan, departemen dan lembaga telah
ditentukan dengan jelas. Sehingga melalui APBN kita dapat mengetahui
sasaran dan prioritas pembangunan yang akan dilaksanakan oleh
pemerintah dalam tahun anggaran yang bersangkutan.
23
6.
Fungsi distribusi dimana kebijakan anggaran negara harus memperhatikan
rasa keadilan, pembagian pendapatan dan kekayaan yang lebih adil dan
merata di masyarakat. Pendapatan negara yang dihimpun dari berbagai
sumber akan digunakan untuk membiayai seluruh pengeluaran negara di
berbagai sektor pembangunan dan di berbagai departemen. Penggunaan
dana harus dapat didistribusikan untuk berbagai sektor pembangunan
secara optimal.
Sedangkan asas penyusunan APBN dikenal dengan tiga azas yaitu:
pertama, azas anggaran seimbang. Semua pengeluaran didasarkan pada
penerimaan. Pada akhirnya terdapat kesamaan jumlah antara pengeluaran dan
penerimaan, dengan kata lain APBN seimbang adalah jumlah pendapatan negara
yang diperkirakan diterima akan dapat menutupi semua pengeluaran yang
direncanakan (pengeluaran = penerimaan). Kedua, azas anggaran surplus. Jumlah
penerimaan
yang
direncanakan
pemerintah
melebihi
dari
pengeluaran
(Pengeluaran < Penerimaan). Penetapan anggaran seperti ini dilakukan pada
negara yang memiliki masa kenaikan (prosperity). Ketiga, azas anggaran defisit.
Anggaran yang ditetapkan oleh suatu negara apabila jumlah pengeluaran negara
lebih besar daripada penerimaan negara (pengeluaran > penerimaan negara).
Anggaran defisit dapat digunakan secara sadar untuk mendorong negara keluar
dari resesi seperti anjuran Keynes.
2.2.
Peran Kebijakan Fiskal
Instrumen kebijakan fiskal adalah variabel belanja pemerintah (G) atau
pajak (T). Bersama-sama dengan variabel konsumsi masyarakat (C), investasi
24
swasta (I) dan net ekspor (X-M) merupakan komponen yang mempengaruhi
output (Y) dalam keseimbangan makro:
Y = C + I + G + (X-M) ……………………….…………………… (2.1)
Menurut Keynes dalam perekonomian yang mengalami krisis dan depresi,
permintaan agregat dapat dinaikkan dengan cepat hanya melalui kebijakan fiskal
(Romer, 2001). Anggaran pemerintah (government budget) adalah bagian penting
dalam model makroekonomi Keynes untuk mengatur permintaan agregat dalam
perekonomian. Jika perekonomian berada di bawah full employment, permintaan
agregat dapat ditingkatkan dengan meningkatkan pengeluaran pemerintah (G)
atau menurunkan pajak (T). Dalam pandangan Keynes, pemerintah mempunyai
peranan penting untuk mengatur permintaan agregat (AD) dalam rangka
mempertahankan atau menjaga agar perekonomian mendekati tingkat kesempatan
kerja penuh (full employment level).
Keseimbangan makro perekonomian terbuka, dalam Model MundellFleming, tingkat suku bunga domestik (r) ditentukan oleh tingkat suku bunga
dunia (r*). Sehingga secara matematis ditulis r = r*. Konsumsi tergantung pada
disposable income (Y-T), investasi dipengaruhi secara negatif oleh suku bunga
dunia (r*), pengeluaran pemerintah dipengaruhi secara negatif oleh defisit pada
neraca pembayarannya (D), dan ekspor netto (NX) dipengaruhi oleh nilai tukar
(e). Sehingga persamaan (2.1) dapat ditulis seperti pada persamaan (2.2) sebagai
persamaan pasar barang atau fungsi IS.
Y = C(Y-T) + I(r*) + G(D) + NX(e) ………….………………………….(2.2)
Keseimbangan pasar uang, permintaan uang riil dipengaruhi secara negatif oleh
tingkat suku bunga, dalam hal ini telah disamakan dengan tingkat suku bunga
dunia (r*), dan secara positif oleh pendapatan. Secara matematis dinyatakan:
25
M/P = L(r*,Y) ….………………………………..……………………(2.3)
Keseimbangan pasar barang dan pasar uang menurut model Mundell-Fleming,
dijelaskan melalui dua persamaan:
Y
= C(Y-T) + I(r*) + G(D) + NX(e) …………..………………….(2.4)
M/P = L(r*,Y) ……………………………………………………….........(2.5)
Variabel eksogen meliputi kebijakan fiskal ([G] dan [T]), kebijakan moneter (M),
tingkat harga (P) dan suku bunga (r*). Variabel endogen meliputi pendapatan (Y)
dan nilai tukar (e).
Dalam pandangan Keynesian, kebijakan fiskal diyakini paling efektif
dalam mengatasi pengangguran dan meningkatkan output. Keyakinan tersebut
didasarkan pada besarnya efek multiplier kebijakan fiskal terhadap perubahan
output dan sensitivitas permintaan uang terhadap perubahan suku bunga, dimana
perubahan suku bunga akan menimbulkan perubahan yang besar pada permintaan
uang untuk spekulasi. Hal ini merupakan implikasi dari posisi kurva LM yang
cenderung landai. Dari sisi suplai, Keynesian juga mengasumsikan bahwa kurva
AS adalah horizontal atau cenderung landai.
Kurva AS Keynesian horizontal atau cenderung landai karena ekonomi
berada pada kondisi
unemployment tinggi, sehingga perusahaan dapat
memperoleh tenaga kerja sebanyak yang diperlukan dengan upah yang berlaku,
diasumsikan upah tidak berubah. Keynesian juga mengasumsikan informasi tidak
sempurna (0<p<1), akibatnya pekerja tidak melakukan penyesuaian terhadap
perubahan harga, sehingga model Keynesian dapat disebut sebagai imperfect
foresight model. Secara grafis, keseimbangan makro Keynesian disajikan pada
Gambar 6. Kebijakan fiskal dilakukan pada keseimbangan awal (A) dengan
tingkat employment pada N1. Pada kondisi tersebut unemployment sangat besar,
26
sehingga peningkatan G dapat meningkatkan employment. Hal ini menyebabkan
kurva IS bergeser ke atas (IS1 ke IS2). Peningkatan G tersebut meningkatkan Y.
Peningkatan Y pada tingkat harga tetap P1 dan suku bunga r1 akan meningkatkan
permintaan uang, sehingga meningkatkan suku bunga sepanjang kurva LM 1,
menurunkan investasi dan terjadi crowding out effect.
Pada sisi permintaan, dampak lebih lanjut adalah peningkatan output,
agregate demand (AD) meningkat (AD1 ke AD2). Peningkatan AD akan
berdampak memperketat pasar uang, sehingga akan berakibat meningkatkan r dan
menurunkan investasi. Pada sisi penawaran, peningkatan harga direspons oleh
pengusaha dengan meningkatkan permintaan tenaga kerja, sehingga kurva
permintaan tenaga kerja bergeser ke atas.
Karena asumsi imperfect informations (0<p<1), maka pada saat yang
sama, peningkatan permintaan tenaga kerja karena meningkatnya P direspon oleh
buruh dengan tuntutan kenaikan upah dari W1 ke W2 dan menggeser kurva
penawaran tenaga kerja ke kiri, yaitu ke Pe2.g(N), tetapi pergeseran kurva
penawaran lebih kecil dari pergeseran kurva permintaan tenaga kerja.
Keseimbangan pasar tenaga kerja meningkat dari N1 ke N2. Peningkatan P terus
berlangsung sampai ekses demand dapat dihilangkan, yaitu pada P2Y3.
Penggunaan tenaga kerja atau employment meningkat ke N2 dan upah meningkat
ke W2. Upah riil menurun, tetapi jika elastisitas permintaan tenaga kerja pada
keseimbangan baru lebih besar dari pada elastisitas pada keseimbangan awal,
maka upah riil akan meningkat.
Keseimbangan baru terjadi pada titik B, dimana output akhir adalah
sebesar Y3 yang lebih besar dari keseimbangan awal, artinya terjadi growth.
Dampak akhir adalah peningkatan suku bunga (r), penurunan investasi (I),
peningkatan upah nominal (W).
27
LM2
r
B
LM1
r3
r2
IS2
A
r1
IS1
0
Y1 Y3
Y2
P
Y
AS
P2
B
A
P1
AD2
AD1
0
Y1
Y3
Y2
Y
Y
Y3
A
Y1
0
N1
B
Y=Y(N)
N2
N
W
P2e.g(N)
B
1
w2
P1e.g(N)
w1
W2D=P2.f
A
W1D=P1.f
0
N1
N2
N
Sumber: Mankiw, 2003
Gambar 6. Keseimbangan Makro dalam Pendekatan Keynesian
28
2.3.
Komponen Kebijakan Fiskal
2.3.1. Penerimaan Pemerintah
Sumber penerimaan pemerintah adalah berasal dari pajak, non pajak, dan
hibah. Pajak meliputi pajak pusat, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah
pusat, dan pajak daerah, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah. Jenis
pajak pusat adalah Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambanan Nilai barang dan
jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPN dan PPnBM), Pajak Bumi dan
Bangunan (PBB) serta Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB),
bea meterai, cukai, pajak/pungutan ekspor, dan bea masuk (Hutahaean, et. al.,
2002).
Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan nilai (PPn) mempunyai
efek atau transmisi cepat terhadap perubahan perilaku menabung, investasi dan
ekspansi usaha perusahaan (James dan Nobes, 1992). Dalam kasus Indonesia PPh
dan PPn sensitif terhadap perubahan perilaku rumahtangga dan perusahaan. Dari
sisi pajak, intervensi pemerintah untuk mempengaruhi kinerja sektoral akan
efektif dengan instrumen PPh dan PPn.
Analisis sistem pajak kombinasi; antara pajak pendapatan (PPh) dan pajak
pertambahan nilai (PPn), ditemukan dalam Atkinson and Stiglizt (1976), Mirrlees
(1976), dan Revez (1986) dalam Myles (1997). Dalam model ini diasumsikan
bahwa terdapat n barang yang disediakan oleh produsen sebagai barang 1 dan
tingkat upah w. Seperti aturan normalisasi, pajak linear terhadap n barang,
ditetapkan 0. Dengan aturan ini keterbatasan anggaran (qx) yang dihadapai
seorang konsumen dengan kemampuan membayar pajak s dan tingkat pajak T
berbentuk:
29
n
i 2
swx1 T ( swx1 ) …………..…………………………………...(2.6)
qi xi
Untuk penyederhanaan derifasi, teknologi produksi ditetapkan linear sehingga
kemungkinan produksi dibatasi oleh hubungan:
n
xi ( s) ( s)ds
i 2 0
z G …………………………….…(2.7)
0
zG
dimana,
swx1 ( s) ( s)ds
:
pengenaan
pajak
pemerintah.
Dengan
teknologi
linear
memungkinkan untuk mengambil harga produsen dari setiap barang 2,...,n
menjadi 1.
Pajak optimal dapat diperoleh dengan memperlakukan U(s) sebagai
variabel riil dan xi(s), i =1,…, n-1 sebagai variabel kontrol, dengan xn(S)
ditentukan dari identitas U(s) = U(x1(s),...,xn(s)). Persyaratan orde pertama untuk
U x x1
self selection diturunkan dengan menggunakan fakta bahwa
atau
us
s
Ul
Ull
dalam dalam notasi us
. Pendekatan orde pertama Hamiltonian
2
s
s
1
2
untuk maksimisasi dapat ditulis dengan menggunakan (3.10) sebagai:
n
H
U
swx1
xi
( s)
i 2
x1U x1
………………………. (2.8)
s
Untuk memilih xk(s),k = 2,...,n-1, menggunakan fakta bahwa
U xk
xn
xk
………………………………………………………..(2.9)
U xn
Syarat perlu untuk optimalitas adalah:
1
U xk
U xn
x1
U x1xk
s
U x1xn
U xk
U xn
0, k
2,...,n
…………(2.10)
Dari syarat perlu tersebut maksimisasi utilitas rumahtangga adalah:
30
U xk
U xn
1 tk
1
…………………………………………………………. (2.11)
Substitusi persamaan (2.11) ke dalam (2.10), dan setelah disusun ulang,
pajak optimal (tk) dapat ditulis sebagai:
tk
x1U xk
s
d log
U xk
U xn
dx1
,k
2,...,n 1
…………………………(2.12)
d log
Hasil dari (2.12) menyatakan dua fakta. Pertama jika
U xk
U xn
0
,
dx1
untuk semua k = 2,.., n-l, yang dianggap tetap jika fungsi utilitas dapat dipisahkan
secara lemah antara tenaga kerja dan semua komoditas lainnya, maka pajak
optimal (tk) untuk semua k=2,.., n-1. Ini adalah hasil utama dari Atkinson and
Stiglitz (1976). Dalam keadaan ini pajak pertambahan nilai (PPn) tidak diperlukan
dan pajak penghasilan (PPh) cukup untuk mencapai tujuan kesejahteraan. Hasil
ini diturunkan dari sistem pajak yang berusaha untuk memajak kemampuan awal
dari rumah tangga, tetapi apabila dianggap terpisah, terdapat hubungan yang
lemah antara pilihan konsumsi dan kemampuan untuk pajak pertambahan nilai.
Konsekuensi kedua dari (2.12) adalah anggapan semua variabel lainnya
konstan, bahwa tarif pajak terhadap suatu barang akan berhubungan secara positif
terhadap tingkat perubahan tarif marjinal atas substitusi antara barang tersebut dan
faktor input. Karena itu, barang-barang yang secara relatif lebih disukai oleh
konsumen yang menawarkan paling banyak input (tenaga kerja), akan dipajak
lebih besar. Menggunakan kerangka yang lebih umum, Mirrlees (1976)
menekankan kesimpulan ini untuk menunjukkan bahwa tarif PPn akan mejadi
31
paling tinggi pada barang paling disukai oleh rumah tangga yang berkemampuan
tinggi.
2.3.2. Pengeluaran Pemerintah
Struktur pengeluaran/belanja pemerintah menurut I-Account APBN
meliputi: (1) belanja pemerintah pusat (pengeluaran rutin dan pembangunan), (2)
dana perimbangan, dan (3) dana otonomi khusus dan penyesuaaian. Pendekatan
untuk melihat keterkaitan antara belanja negara dan pendanaannya adalah melalui
apa yang dikenal dengan Government's (public sector's) financial balance, yang
persamaannya ditulis sebagai berikut:
(T- Cg - Ig) = Bgp +∆H + Bgf……………………………………… (2.13)
dimana:
T
T= penerimaan pajak (tax revenue)
Cg
= konsumsi pemerintah (government consumption)
Ig
= investasi pemerintah (government investment)
Bgp
= pinjaman pemerintah dari sektor swasta (government borrowing
from private sector)
∆H
= perubahan stok dari pencetakan uang (stock change in highpowered money)
Bgf
= pinjaman pemerintah dari luar negeri (government borrowing
from foreigners)
Sisi kiri persamaan menggambarkan defisit fiskal dan sisi kanan
persamaan menunjukkan cara pendanaannya. Jika pemerintah ingin meningkatkan
belanja atau expenditure, maka dapat juga dibiayai melalui peningkatan
penerimaan pajak tanpa mempengaruhi defisit fiskal.
Tingkat belanja pemerintah yang memadai ditentukan oleh penerimaan
dan defisit anggaran yang harus dibiayainya. Jika peningkatan pengeluaran
32
pemerintah tidak diimbangi dengan peningkatan penerimaan maka akan
menyebabkan defisit fiskal yang lebih besar. Langkah selanjutnya adalah mencari
sumber pendanaan untuk menutup defisit melalui: (1) pinjaman dari sektor
swasta, (2) mencetak uang (money creation) dan (3) pinjaman dari luar negeri.
Selain itu, masih ada sumber pembiayaan lainnya, yaitu : (1) pengurangan
simpanan devisa (dapat menyebabkan krisis nilai tukar), (2) penjualan aset negara
(privatisasi), dan (3) akumulasi tunggakan (arrears). Untuk menutup defisit
umumnya dilakukan dengan kombinasi antara berbagai sumber pendanaan
tersebut.
Alternatif pendekatan yang digunakan untuk melihat kedua masalah
tersebut melalui the economy's saving-investment balance, persamaannya ditulis:
(T- Cg-Ig) = (Sp -Ip) + (M-X)…….…………………………………..…..(2.14)
dimana:
T
= penerimaan pajak (tax revenue)
Cg
= konsumsi pemerintah (government consumption)
Ig
= investasi pemerintah (government investment)
Sp
= tabungan swasta (private saving)
Ip
= investasi swasta(private investment)
M
= Impor
X
= Ekspor
(M - X) menggambarkan external current account defisit. Melalui
pendekatan ini terlihat bahwa defisit fiskal sama dengan jumlah saving-investment
gap dari sektor swasta ditambah external current account deficit. Selanjutnya bila
pendekatan pertama (2.13) dan kedua (2.14 digabungkan, diperoleh persamaan
sebagai berikut.
Sp - Ip = Bgp + ∆H- Bpf………………………………………….….…...(2.15)
33
M - X = Bgf + Bpf……………………..…………………………...…....(2.16)
dimana:
Bpf = utang swasta (private sector borrowing) dari sumber luar negeri.
Persamaan (2.15) menyatakan bahwa kelebihan tabungan sektor swasta
sama dengan uang yang dipinjamkan kepada pemerintah dan uang yang
dipegangnya sendiri dikurangi dengan utang luar negerinya. Sedangkan
persamaan (2.16) menyatakan bahwa external current account deficit dibiayai dari
utang luar negeri pemerintah dan utang luar negeri sektor swasta, yang bersumber
dari foreign saving.
2.3.3. Keseimbangan Fiskal
Keseimbangan primer (primary balance) adalah selisih antara penerimaan
dan pengeluaran, tidak termasuk cicilan utang dan bunga. Defisit anggaran
pemerintah terdiri atas defisit luar negeri dan defisit dalam negeri. Defisit
anggaran luar negeri
adalah pengeluaran mata
uang asing dikurangi
penerimaannya. Defisit total pemerintah dalam neraca anggaran dengan
memperhitungkan defisit anggaran luar negeri dan domestik dirumuskan
(Subagjo, 2005):
D = (GD+FG) - (RD+RF) – KG……….………………………….. (2.17)
KG = K-KP…………….……………………………………………. (2.18)
K = RE + CA…………..………………………………………….. (2.19)
dimana:
CA
= current account dalam neraca pembayaran
D
= neraca anggaran (defisit/surplus)
FG
= pengeluaran pemerintah luar negeri
34
GD
= pengeluaran pemerintah domestik
K
= arus kapital total
KG
= arus kapital pemerintah
KP
= arus kapital swasta
RD
= penerimaan pemerintah domestik
RE
= cadangan devisa
RF
= penerimaan pemerintah luar negeri
Pada
persamaan
(2.19)
diasumsikan
bahwa
bank
sentral
akan
meningkatkan kredit neto kepada pemerintah, apabila pengeluaran pemerintah
melebihi penerimaan dengan selisih yang lebih besar dari arus masuk kapital neto.
Defisit anggaran ditentukan oleh selisih tingkat suku bunga domestik dan
suku bunga luar negeri yang menentukan arus kapital, beban utang pemerintah
yang menentukan besarnya cicilan dan bunga utang, dan neraca pembayaran.
Secara agregat defisit anggaran (D) merupakan fungsi dari suku bunga domestik
(r), tingkat suku bunga dunia (r*), utang pemerintah (B), dan penerimaan
pemerintah (R). Sehingga fungsi defisit anggaran dapat dituliskan sebagai berikut:
D = d(r,r*,B,R)……………………………………………………….…… (2.20)
Komponen fiskal antara lain meliputi variabel-variabel pengeluaran,
penerimaan pajak, defisit, utang, dan obligasi pemerintah (domestik dan luar
negeri)
sebagai sumber pembiayaan tambahan bagi pemerintah. Alternatif
pembiayaan melalui pencetakan uang tidak diperhitungkan sebagai sumber
pembiayaan. Hal ini didasarkan pada kenyataan mengenai posisi independent
bank sentral. Akibatnya pemerintah tidak bisa mencetak uang untuk menutup gap
dalam anggarannya.
35
2.3.4. Desentralisasi Fiskal
Desentralisasi
fiskal
antar
tingkat
pemerintahan
menggambarkan
hubungan keuangan (financial relations) diantara berbagai tingkat pemerintahan,
yang meliputi berbagai aktivitas keuangan pemerintah seperti perpajakan,
pengeluaran, pinjaman, subsidi, transfer dan hibah. Transfer fiskal antar tingkat
pemerintahan (intergovernmental fiscal transfers) terdiri atas hibah (grants), dan
bagi hasil (revenue-sharing) merupakan sumber penerimaan yang dominan bagi
tingkat pemerintah daerah di banyak negara sedang berkembang (Litvack, et.al.,
1998 dalam Nanga, 2006). Tiga peran potensial dari hibah (grants) yaitu: (1)
internalisasi spillover benefits terhadap yurisdiksi lain, (2) pemerataan
(equalization) fiskal antar yurisdiksi, dan (3) meningkatkan/memperbaiki sistem
pajak secara menyeluruh. Hibah dapat dibedakan ke dalam dua bentuk utama
(Oates, 1999), yaitu hibah atau bantuan bersyarat (conditional grants) dan hibah
tak bersyarat (unconditional grants). Bantuan bersyarat atau bantuan khusus
(specific grants) adalah bantuan yang memiliki persyaratan tertentu yang terkait di
dalam bantuan tersebut, dan diberikan untuk mendorong pemerintah daerah dalam
menambah barang dan jasa publik tertentu. Dalam kasus bantuan khusus ini,
pemerintah daerah tidak memiliki kebebasan dalam pengalokasian dana karena
penggunaan dana tersebut telah ditetapkan oleh pemerintah pusat.
Bantuan tak bersyarat atau bantuan blok (block grant) adalah jenis bantuan
yang tidak dikaitkan dengan program pengeluaran tertentu, dalam kasus Indonesia
diistilahkan Dana Alokasi Umum (DAU). Ciri khusus yang menjadi kekuatan
jenis bantuan ini adalah dapat meningkatkan sumberdaya lokal dan sekaligus
mempertahankan pilihan fiskal yang ada dalam kewenangan pemerintah daerah.
36
Dalam kasus bantuan blok ini, pemerintah daerah memiliki keleluasan dalam
mengalokasikan dana yang diterima ke dalam berbagai kemungkinan pengeluaran
yang sesuai dengan pilihan dan kepentingan daerah yang bersangkutan.
Pengaruh atau dampak dari masing-masing bantuan tersebut dijelaskan
pada Gambar 7 dan 8. Posisi pemerintah daerah sebelum ada bantuan (grant)
ditunjukkan titik E dan jumlah barang G dan H yang dikonsumsi masing-masing
adalah G1 dan H1. Apabila ada bantuan dari pemerintah pusat dalam bentuk block
grant, maka garis anggaran (budget line) dalam Gambar 7 akan bergeser dari AB
menjadi CD, posisi pemerintah Daerah sekarang berada di titik F dan jumlah
barang G dan H yang dikonsumsi menjadi G2 dan H2. Konsumsi pemerintah
daerah baik untuk barang G maupun H meningkat, menunjukkan pula bahwa
kepuasan dari pemerintah bertambah karena berada pada indifference curve yang
lebih tinggi yaitu I2 dimana I2 > I1.
Sebaliknya, pemerintah pusat memberikan bantuan dalam bentuk spesifik
(specific grant), dampak yang ditimbulkan adalah penurunan harga (biaya
produksi barang G) dan budget line bergeser dari AB ke AD'. Posisi pemerintah
daerah kini berada di titik F' dan jumlah barang G yang dikonsumsi menjadi G 2’.
Berarti bantuan spesifik meningkatkan produksi barang G. Bantuan spesifik juga
meningkatkan kepuasan pemerintah daerah karena sekarang berada di titik F'
yang terletak pada indifference curve I2 dimana I2 > I1. Dampak spesifik grant
tidak dapat diprediksi secara langsung karena tergantung pada bentuk indifference
curve maupun income dan price elasticity of demand dari kedua jenis barang
tersebut. Price effect dari subsidi atau bantuan cenderung menurunkan produksi
barang H, tetapi sebalikannya pada income effect. Dalam beberapa kasus seperti
37
tampak dalam Gambar 7, efek netto yang ditimbulkan oleh bantuan spesifik
adalah penurunan secara absolut di dalam produksi H. Secara teoretis
disimpulkan; block grant dampaknya terhadap produksi atau konsumsi dapat
diprediksi secara langsung, dan hanya menghasilkan income effect, sedangkan
specific grant tidak dapat menghasilkan income effect juga substitution effect dan
price effect.
Barang H
Barang H
C
A
I2
I1
H2
H1
0
E
G1
A I1 I2
H1
F
G2
E
H2
B
D Barang G 0
G1
F’
G'2
B
D’
Barang G
Sumber: Oates, 1999
Gambar 7. Jalur Efek Block Grant dan Jalur Efek Specific Grant
2.4.
Pertumbuhan Ekonomi, Kesempatan Kerja dan Kemiskinan
Secara umum pertumbuhan ekonomi dapat diartikan perkembangan
kegiatan dalam perekonomian yang menyebabkan barang dan jasa yang
diproduksi dalam masyarakat bertambah dan kemakmuran masyarakat meningkat.
Pertumbuhan ekonomi biasanya diukur dari kenaikan Gross Domestic Product
(GDP) atau Gross National Product (GNP) tanpa memandang apakah kenaikan
38
itu lebih besar atau lebih kecil dari tingkat pertumbuhan penduduk atau apakah
perubahan struktur ekonomi terjadi atau tidak (Arsyad, 1999). Dari definisi
tersebut dapat disimpulkan bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan kemampuan
suatu negara dalam menyediakan kebutuhan akan barang dan jasa kepada
masyarakat dalam jumlah yang banyak sehingga memungkinkan untuk kenaikan
standar hidup yang mana berdampak pula bagi penurunan tingkat pengangguran
dalam jangka panjang. Todaro (1997) secara spesifik menyebutkan ada tiga faktor
utama pertumbuhan ekonomi, yaitu akumulasi modal, pertumbuhan penduduk,
dan hal-hal yang berhubungan dengan kenaikan jumlah angkatan kerja yang
dianggap secara positif merangsang pertumbuhan ekonomi.
Sementara Harrod-Domard berusaha memadukan pandangan kaum
Klasik yang dianggap terlalu menekankan pada sisi penawaran (Supply Side)
dan pandangan Keynes yang lebih menekankan pada sisi permintaan (demand
side). Menurut Harrod-Domard investasi memainkan peran ganda, disatu sisi
investasi akan meningkatkan kemampuan produktif (productive capacity),
disisi
lain
akan
menciptakan
permintaan
(demand
creating)
dalam
perekonomian. Oleh kerena itu, H-D menyatakan bahwa investasi merupakan
faktor penentu yang sangat penting terhadap pertumbuhan ekonomi. Aspek
yang dikembangkan adalah aspek yang menyangkut peranan investasi (I)
dalam jangka panjang. Dalam teori Keynes, pengeluaran investsi (I)
mempengaruhi permintaan agregat (D) tetapi tidak mempengaruhi penawaran
agregat (S). Menurut H-D, pengeluaran investasi tidak hanya berpengaruh
terhadap permintaan agregat (melalui proses multiplier), tetapi juga terhadap
penawaran agregat melalui pengaruhnya terhadap kapasitas produksi. Secara
39
sederhana kaitan antara pertumbuhan ekonomi, tabungan dan investasi dalam
versi model H-D dapat dinyatakan misalkan tabungan (S) adalah bagian dalam
jumlah tertentu dari pendapatan nasional (Y).
S=sY
.................................................................................(2.21)
Sementara itu, Investasi (I) didefinisikan sebagai perubahan dari stok modal
(K) yang dapat diwakili oleh ∆K.
I= ∆K
..................................................................................(2.22)
Namun demikian, karena jumlah stok modal K mempunyai hubungan
langsung dengan jumlah pendapatan nasional atau output Y, seperti telah
ditunjukkan oleh rasio modal-output, k, maka :
K/Y = k atau ∆K/∆Y = k Akhirnya ∆K = k∆Y
.........................(2.23)
Mengingat jumlah keseluruhan dari tabungan nasional (S) harus sama
dengan keseluruhan investasi (I), maka persamaan berikutnya dapat ditulis
sebagai berikut :
S = I ................................................................................................(2.24)
Dari persamaan (2.21) telah diketahui bahwa S = sY dan dari
persamaan (2.22) dan (2.23), dapat diketahui bahwasanya I = ∆K = k∆Y.
Dengan demikian, `identitas' tabungan yang merupakan persamaan modal
dalam persamaan (2.24) adalah sebagai berikut:
S=sY=k∆Y=∆k=1 ..........................................................................(2.25)
atau bisa diringkas menjadi
sY = k∆Y
..................................................................................(2.26)
Selanjutnya, apabila kedua sisi persamaan (2.26) dibagi mula-mula dengan Y
dan kemudian dengan k, maka akan didapat :
40
∆Y/Y= s/k ......................................................................................(2.27)
dimana :
∆Y/Y
= pertumbuhan ekonomi
s
= tingkat tabungan nasional
k
= ICOR (Incremental Capital Output Ratio)
Y
= output nasional atan GNP
K
= stock kapital
I
= investasi
Persamaan tersebut menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi (∆Y/Y)
ditentukan secara bersama-samna oleh rasio tabungan nasional (s), dan rasio
modal output nasional (k), dan memiliki makna secara ekonomi bahwa agar
suatu perekonomian dapat tumbuh, maka perekonomian harus menabung dan
menginvestasikan proporsi tertentu dari GNP-nya. Semakin banyak suatu
perekonomian menabung dan menginvestasikan, semakin pesat pertumbuhan
ekonominya (Todaro, 2000; Perkin, et al, 2001).
Pertumbuhan ekonomi mempunyai peranan penting dalam mengatasi
masalah penurunan kemiskinan. Kemiskinan adalah suatu situasi di mana
pendapatan tahunan individu masyarakat tidak dapat memenuhi standar
pengeluaran minimum yang dibutuhkan individu untuk dapat hidup layak. Secara
absolut, seseorang dinyatakan miskin apabila tingkat pendapatan atau standar
hidupnya secara absolut berada di bawah garis kemiskinan. Secara umum,
kemiskinan adalah ketidakmampuan seseorang untuk memenuhi kebutuhan dasar
standar atas setiap aspek kehidupan.
Kemiskinan dapat dihitung berdasarkan ukuran kemiskinan relatif dan
kemiskinan absolut. Kemiskinan relatif merupakan kondisi miskin karena
pengaruh kebijakan pembangunan yang belum mampu menjangkau seluruh
41
lapisan masyarakat sehingga menyebabkan ketimpangan distribusi pendapatan.
Ukuran kemiskinan relatif sangat tergantung pada distribusi pendapatan/
pengeluaran penduduk, misalnya 20 persen atau 40 persen lapisan terendah dari
total penduduk yang telah diurutkan menurut pendapatan/ pengeluaran. Kelompok
ini merupakan penduduk relatif miskin.
Sementara
untuk
mengukur
kemiskinan
absolut,
Bank
Dunia
menggunakan dua ukuran kemiskinan absolut, yaitu dengan kriteria US$ 1
perkapita per hari dan US$ 2, perkapita per hari. Jika menggunakan ukuran US$
1 perkapita per hari diperkirakan terdapat sekitar 1,2 miliar penduduk dunia yang
hidup dibawah ukuran tersebut. Sedangkan jika menggunakan US$ 2 perkapita
per hari, maka lebih dari 2 miliar penduduk yang hidup kurang dari batas tersebut.
US dollar yang digunakan adalah US$ PPP (Purchasing Power Parity), bukan
nilai tukar resmi (exchange rate).
Indonesia menggunakan konsep kemiskinan yang ditetapkan oleh BPS,
dimana BPS (2008) mendefinisikan kemiskinan sebagai ketidakmampuan untuk
memenuhi kebutuhan makanan maupun non makanan yang bersifat mendasar
untuk makanan, pakaian, perumahan, pendidikan, kesehatan dan kebutuhan dasar
lainnya. Seseorang dikatakan miskin apabila kebutuhan makannya kurang dari
2100 kalori perkapita per hari atau setara dengan beras 320 kg/kapita/tahun di
perdesaan dan 480 kg/kapita/tahun di perkotaan dan kebutuhan non makanan
minimum yang dihitung dari besarnya rupiah yang dikeluarkan untuk memenuhi
kebutuhan minimum. BPS setiap tahun menetapkan besarnya garis kemiskinan
berdasarkan hasil Susenas dengan besaran yang berbeda-beda untuk tiap provinsi
tergantung besarnya biaya hidup minimum masing-masing provinsi.
42
Kemiskinan tidak hanya dihitung dari pertumbuhan pendapatan yang
berada diatas garis kemiskinan secara nominal. Variabel inflasi juga harus
menjadi pertimbangan, karena laju inflasi akan mengurangi daya beli pendapatan
masyarakat. Jika terjadi pertumbuhan pendapatan lambat sementara laju inflasi
relatif tinggi, maka akan menyebabkan rumah tangga tersebut jatuh ke bawah
garis kemiskinan. Hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi bukan satusatunya variabel untuk mengurangi kemiskinan, variabel lain seperti laju inflasi,
juga berpengaruh terhadap jumlah penduduk miskin.
Mekanisme
transmisi
dampak
pertumbuhan
ekonomi
terhadap
kemiskinan, tidak semata-mata langsung terjadi. Siregar (2006) menyatakan
bahwa pertumbuhan ekonomi baru merupakan syarat keharusan (necessary
condition) bagi pengurangan kemiskinan. Namun masih diperlukan syarat
kecukupan (sufficient condition), yaitu bahwa pertumbuhan tersebut efektif dalam
mengurangi kemiskinan. Artinya, pertumbuhan tersebut hendaklah menyebar di
setiap golongan pendapatan, termasuk di golongan penduduk miskin (growth with
equity). Hal ini berarti pertumbuhan itu perlu dipastikan terjadi di sektor-sektor di
mana orang miskin bekerja (pertanian atau sektor yang padat karya).
Disamping kemiskinan, pertumbuhan ekonomi juga harus berdampak pada
pengurangan
pengangguran
atau
penciptaan
lapangan
kerja. Pengertian
pengangguran adalah tidak hanya penduduk yang tidak bekerja, tetapi sedang
mencari pekerjaan atau sedang mempersiapkan suatu usaha baru atau penduduk
yang tidak mencari pekerjaan karena tidak mungkin mendapatkan pekerjaan
(discouraged workers) atau penduduk yang tidak mencari pekerjaan karena sudah
diterima bekerja atau mempunyai pekerjaan tetapi belum bekerja (Putong, 2003).
43
Penelitian Arthur Okun dalam Putong (2003) mengatakan apabila GNP tumbuh
sebesar 2,5 persen diatas tren yang telah dicapai pada tahun tertentu, maka tingkat
pengangguran akan turun sebesar 1 persen. Jadi rasio pertumbuhan ekonomi dan
penurunan pengangguran adalah 1 persen dibandingkan 2,5 persen atau sebesar
0,4 persen. Artinya, jika tingkat pengangguran ingin diturunkan sebesar 2 persen,
maka pertumbuhan ekonomi haruslah dipacu agar bisa tumbuh sebesar 5 persen
diatas rata-rata tren pertumbuhannya.
2.5.
Dampak Pengeluaran Pemerintah terhadap Pertumbuhan Ekonomi
Seberapa besar dampak kebijakan fiskal (melalui peningkatan pengeluaran
pemerintah) akan meningkatkan output, tergantung pada besaran multiplier effect
yang dapat diturunkan sebagai berikut (notasi dalam bentuk riil dengan definisi
notasi seperti pada bagian sebelumnya) (Romer, 2001):
Kurva IS mencerminkan keseimbangan pada pasar barang:
y = c(y-t(y)) + i(r) + g …………………………………………………(2.28)
dan kurva LM mencerminkan kondisi keseimbangan pada pasar uang:
M
= l(r) + k(y)………………………..……………………………(2.29)
Po
dimana fungsi konsumsi dan pajak mempunyai slope positif tetapi lebih kecil dari
satu atau 0 < c’, t’ < 1, slope investasi dan permintaan uang i’ < 0 dan l’ < 0, serta
slope transaksi permintaan uang k’ > 0 (tanda [’] menunjukkan nilai tertentu).
Dengan menurunkan persamaan (2.28), diperoleh:
dy = c’ (dy – t’ dy) + i’ dr + dg
= c’ (1-t’)dy + i’dr + dg………………………………………….. (2.30)
M
Menurunkan persamaan (2.29) dengan — konstan, akan diperoleh:
P
44
0 = l’ dr + k’ dy
k'
dr = - — dy
l
dengan mensubstitusikan ke persamaan (2.30) diperoleh:
1
dy
1 c' (1 t ' )
i' k '
l'
dg
……………………………………………(2.31)
Karena c’ (1 – t’) kurang dari satu dan
i' k '
l'
positif maka multiplier tersebut
i' k '
, = menunjukkan penurunan investasi yang berasal dari
l'
i' k '
peningkatan r, sewaktu y dan r meningkat sepanjang kurva LM,
dan
l'
bernilai positif.
merupakan slope kurva LM, sehingga jika kurva LM mempunyai slope = 0, atau
kurva LM horizontal, maka multiplier akan menjadi:
dy
Artinya,
dg
1 c' (1 t ' )
perubahan
1
…………………………………… (2.32)
dg
1 MPC
pengeluaran
pemerintah
(g)
meskipun
kecil
akan
menghasilkan perubahan output yang besar, karena adanya multiplier effect
tersebut. Efek perubahan output akan makin besar dengan bentuk kurva LM yang
horizontal.
Berdasarkan persamaan (2.32), output atau pendapatan nasional dapat
dituliskan sebagai berikut : AS
AD C
I
G
NX
(2.33)
Pada persamaan (2.33), masing-masing komponen pembentuk output
berpengaruh terhadap pertumbuhan pendapatan nasional. Pada penelitian ini,
perubahan terhadap pengeluaran pemerintah (∆G) dapat dilihat berdasarkan
struktur anggaran pada APBN. Pada Gambar 8 terlihat jika terjadi peningkatan
salah satu variabel AD misalnya pengeluaran pemerintah dan variabel yang lain
dianggap tetap, maka Aggregate Demand bergeser ke kanan atas yang
45
menyebabkan pendapatan nasional meningkat dari (Y1) ke (Y2) dan tingkat harga
umum menjadi naik dari (P1) ke (P2).
Sumber : Donrbush dan Fisher, 1992
Gambar 8. Dampak Peningkatan Pengeluaran Pemerintah terhadap
Pertumbuhan Ekonomi
Sukirno (2000) menyatakan bahwa pengeluaran pemerintah adalah bagian
dari kebijakan fiskal, yaitu suatu tindakan pemerintah untuk mengatur
perekonomian dengan cara menentukan besarnya penerimaan dan pengeluaran
pemerintah. Tujuan dari kebijakan fiskal ini adalah untuk menstabilkan harga,
output perekonomian, mendorong kesempatan kerja, serta memacu pertumbuhan
ekonomi. Secara teori dampak pengeluaran pemerintah jika dihubungkan dengan
konsep budget line dapat diilustrasikan sebagai berikut (Sukirno, 2000):
Dari Gambar 9. terlihat bahwa pada awalnya dengan anggaran tertentu
area konsumsi berada pada pilihan yang dibatasi oleh budget line AB. Adanya
pengeluaran pemerintah untuk barang sosial, misalnya subsidi obat untuk
46
meningkatkan akses terhadap kesehatan membuat budget line bergeser ke kanan
(AC). Artinya pengeluaran pemerintah dapat memperluas pilihan masyarakat. Jika
peningkatan pengeluaran pemerintah digunakan untuk fasilitas publik yang
mendorong perekonomian seperti jalan, jembatan, kilang minyak, pelabuhan, dan
infrastruktur fisik lainnya maka akan menaikkan aggregat demand yang memicu
investasi sehingga pada akhirnya meningkatkan produksi (pertumbuhan ekonomi)
dan penyerapan tenaga kerja.
Barang Lain
A
0
B
C
Barang Sosial
Sumber: Sukirno, 2000
Gambar 9. Perubahan Budget Line Karena Adanya Pengeluaran Pemerintah
Dari berbagai studi empiris pengeluaran pemerintah terbukti dapat
memperbaiki kegagalan pasar. Menurut Mangkoesoebroto (1993) perkembangan
teori makro mengenai pengeluaran pemerintah dapat dikelompokkan menjadi tiga
golongan, yaitu: (1) Model pembangunan tentang perkembangan pengeluaran
pemerintah oleh Rostow dan Musgrave, (2) Hukum Wagner mengenai
perkembangan aktivitas pemerintah, dan (3) Teori Peacock & Wiseman tentang
pembayaran pajak.
47
Rostow dan Musgrave mengembangkan model pembangunan yang
menghubungkan perkembangan pengeluaran pemerintah dengan tahap-tahap
pembangunan ekonomi yang dibedakan antara tahap awal, tahap menengah, dan
tahap lanjut. Pada tahap awal perkembangan ekonomi, persentase investasi
pemerintah terhadap total investasi besar, sebab pada tahap ini pemerintah harus
menyediakan prasarana, seperti pendidikan, kesehatan, prasarana transportasi, dan
sebagainya. Pada tahap menengah pembangunan ekonomi, investasi pemerintah
tetap diperlukan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi agar dapat tinggal
landas, namun pada tahap ini peranan investasi swasta sudah semakin membesar.
Pada tingkat ekonomi yang lebih lanjut, Rostow menyatakan bahwa aktivitas
pembangunan ekonomi pemerintah beralih dari penyediaan prasarana ke
pengeluaran untuk aktivitas sosial seperti halnya program kesejahteraan pensiun,
program pelayanan kesehatan masyarakat, dan lain-lain (Mangkoesoebroto,1993).
Wagner mengemukakan perkembangan pengeluaran pemerintah yang
semakin besar dalam persentase terhadap GNP (Gross National Product). Teori
ini didasarkan pada pengamatan di negara-negara Eropa, USA, dan Jepang pada
abad ke-19 (Mangkoesoebroto, 1993). Wagner mengemukakan pendapatnya
dalam bentuk suatu Hukum Wagner: ―Dalam suatu perekonomian, apabila
pendapatan perkapita meningkat, secara relatif pengeluaran pemerintah pun akan
meningkat‖. Hukum Wagner ini ditunjukkan dalam Gambar 11 di mana kenaikan
pengeluaran pemerintah mempunyai bentuk eksponensial yang ditunjukkan oleh
kurva perkembangan pengeluaran pemerintah (Mangkoesoebroto, 1993).
Teori Peacock & Wiseman dianggap sebagai teori dan model yang
terbaik dari ketiga teori mengenai perkembangan pengeluaran pemerintah
48
(Mangkoesoebroto, 1993). Teori ini sering disebut ―The Displacement Effect‖,
dimana teori ini didasarkan pada suatu pandangan bahwa pemerintah senantiasa
memperbesar pengeluaran sedangkan masyarakat tidak suka membayar pajak
yang semakin besar untuk membiayai pengeluaran pemerintah yang semakin
besar tersebut. Peacock dan Wiseman mendasarkan teori mereka pada suatu teori
bahwa masyarakat mempunyai suatu tingkat toleransi pajak, suatu tingkat di mana
masyarakat dapat memahami besarnya pungutan pajak yang dibutuhkan oleh
pemerintah untuk membiayai pengeluaran pemerintah (Mangkoesoebroto, 1993).
Tingkat toleransi ini merupakan kendala bagi pemerintah
pungutan pajak.
Sumber: Mangkoesoebroto, 1993
Gambar 10. Teori Perkembangan Pengeluaran Pemerintah
untuk menaikkan
49
Teori Peacock dan Wiseman adalah sebagai berikut ―Perkembangan
ekonomi menyebabkan pemungutan pajak yang semakin meningkat walaupun
tarif pajak tidak berubah; dan meningkatnya penerimaan pajak menyebabkan
pengeluaran pemerintah juga semakin meningkat, oleh karena itu dalam keadaan
normal, meningkatnya GNP menyebabkan penerimaan pemerintah yang semakin
besar, begitu juga dengan pengeluaran pemerintah menjadi semakin besar.‖
Berbeda dengan pandangan Wagner, perkembangan pengeluaran pemerintah versi
Peacock dan Wiseman tidaklah berbentuk suatu garis, tetapi berbentuk seperti
tangga seperti yang terlihat pada Gambar 10.
2.6.
Dampak Pengeluaran Pemerintah terhadap Pengangguran dan
Tingkat Kemiskinan
Kenaikan pendapatan nasional dan tingkat harga umum akan mendorong
kenaikan terhadap kesempatan kerja. Pertama, jika pendapatan nasional
meningkat berarti produksi nasional meningkat. Kenaikan produksi nasional akan
mendorong penggunaan faktor produksi seperti tenaga kerja dan faktor produksi
lainnya. Artinya pertumbuhan mendorong pembukaan lapangan kerja baru bagi
masyarakat. Disisi lain, kenaikan pendapatan nasional juga menyebabkan
kenaikan tingkat harga umum (P). Kenaikan tingkat harga umum ini
menyebabkan upah riil (W/P) di pasar tenaga kerja menjadi turun. Penurunan
tingkat upah riil akan menyebabkan permintaan terhadap tenaga kerja meningkat.
Perusahaan akan menggunakan tenaga kerja tambahan selama produk marginal
tenaga kerja (marginal product of labour, MPL) melebihi biaya tambahan karena
menggunakan tenaga kerja tambahan (MPL > W/P). Kemiringan kurva MPL yang
negatif mencerminkan permintaan tenaga kerja, dimana perusahaan akan
50
mempekerjakan tenaga kerja tambahan jika tingkat upah riil mengalami
penurunan. Secara ringkas bagaimana upah riil mempengaruhi permintaan tenaga
kerja disajikan pada Gambar 11.
Sumber : Donrbush dan Fisher, 1992
Gambar 11. Dampak Pertumbuhan terhadap Kesempatan Kerja
Pemerintah memiliki tanggung jawab untuk menciptakan penyediaan
lapangan kerja yang layak untuk seluruh masyarakat. Alokasi APBN harus dapat
mendorong peningkatan kesempatan kerja. Ketika ekonomi pasar gagal untuk
mengalokasikan sumberdaya secara efisien, pengeluaran pemerintah dapat
mengoreksi kegagalan pasar tersebut. Menurut Rao (1998) kegagalan pasar dapat
disebabkan oleh: (1) Tidak semua barang dan jasa diperdagangkan, ada barang
publik yang mempunyai karakteristik non excludable dan non rivalry, (2)
beberapa jenis barang mempunyai karakteristik increasing return to scale.
51
Masyarakat dapat memeroleh harga lebih rendah dan output lebih tinggi jika
pemerintah berperan sebagai produsen atau memberikan subsidi untuk menutup
biaya, (3) adanya eksternalitas, sehingga dampak sosial kurang diperhitungkan,
dan (4) adanya informasi asimetri antara produsen dan konsumen merupakan
suatu keniscayaan dalam ekonomi, oleh karena itu intervensi pemerintah
diperlukan untuk meminimasi asimetri yang terjadi.
Hubungan antara Pendapatan Nasional (GDP) dan pengangguran dapat
dijelaskan dengan Hukum Okun. Hukum Okun diambil dari nama Arthur Okun,
nama ekonom yang pertama kali mempelajari hubungan antara pendapatan
nasional dan pengangguran. Hukum Okun menyatakan bahwa terdapat hubungan
negatif antara pengangguran dan GDP riil. Hal itu dapat dijelaskan melalui fakta
bahwa ketika GDP riil meningkat para pekerja membantu dalam proses
memproduksi barang sedangkan para penganggur tidak. Oleh karena itu,
peningkatan dalam tingkat pengangguran akan menyebabkan GDP riil turun.
Formula hukum Okun adalah bahwa perubahan persentase dalam GDP riil
= 3% - 2 x perubahan dalam tingkat pengangguran. Berdasarkan formula tersebut,
jika tingkat pengangguran tetap sama, maka GDP riil tumbuh sekitar 3 persen.
Pertumbuhan produksi barang serta jasa yang normal ini merupakan hasil dari
pertumbuhan angkatan kerja, akumulasi modal, dan kemajuan teknologi. Selain
itu, untuk setiap poin persentase kenaikan tingkat pengangguran, pertumbuhan
GDP riil biasanya turun sekitar 2 persen (Mankiw, 2003). Dalam Siregar (2005),
Hukum Okun juga menyatakan bahwa laju pengangguran berbanding terbalik
dengan selisih laju pertumbuhan ekonomi terhadap laju pertumbuhan ekonomi
dalam keadaan normal, atau :
52
ut = -q(gt – gtn) + et…………………..……………………………(2.34)
dimana : ut = laju pengangguran gt = laju pertumbuhan ekonomi gtn= laju
pertumbuhan ekonomi dalam keadaan normal q = konstanta positif e = faktorfaktor lain yang secara agregat bersifat acak dengan rataan nol.
Studi empiris yang dilakukan oleh Hassan (2009) di Bangladesh
menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah yang diarahkan untuk pertumbuhan
ekonomi, penciptaan lapangan kerja dan perbaikan upah pekerja memainkan
peran penting dalam mengurangi kemiskinan. Diantara kebijakan-kebijakan yang
diambil pemerintah Bangladesh, pengeluaran pemerintah pada pendidikan,
kesehatan, infrastruktur, dan pembangunan pertanian secara signifikan berperan
dalam penciptaan lapangan kerja dan pengurangan tingkat kemiskinan.
2.7.
Penelitian Terdahulu
2.7.1
Penelitian Studi Kasus di Luar Negeri
Shenggen et al. (1999) melakukan studi mengenai hubungan antara
belanja pemerintah, pertumbuhan, dan kemiskinan di pedesaan India. Studi
tersebut menggunakan data dari tahun 1970 sampai 1993 dan menggunakan
model persamaan simultan untuk mengestimasi efek dari berbagai jenis belanja
pemerintah terhadap kemiskinan pedesaan dan pertumbuhan produktifitas di
India. Hasil studi menunjukkan bahwa belanja pemerintah untuk peningkatan
produktifitas (seperti penelitian pertanian dan ekstensifikasi pertanian),
infrastruktur desa (seperti jalan dan pendidikan), dan pembangunan pedesaan
yang secara langsung tertuju pada masyarakat miskin desa, semuanya
berkontribusi terhadap pengurangan kemiskinan desa.
53
Studi tentang belanja pemerintah, tenaga kerja dan kemiskinan di
Bangladesh dilakukan oleh Gazi Mainul (2008). Studi ini menekankan pada
hubungan antara belanja publik dengan pengurangan kemiskinan. Kesimpulan
studi menunjukkan terdapat hubungan antara kedua hal tersebut dan sekaligus
mejawab melalui saluran mana belanja publik tersebut dapat mengurangi
kemiskinan, yaitu melalui pertumbuhan ekonomi yang terarah, menghasilkan
tenaga kerja dan menaikkan upah nasional. Dengan menggunakan data nasional
dari tahun 1995-2006, studi tersebut menemukan bahwa sebagian besar belanja
pemerintah seperti pembangunan pertanian dan pedesaan, pendidikan, dan
kesehatan, secara langsung dapat mengurangi tingkat kemiskinan nasional.
Mehmood dan Sadiq (2010) melakukan studi mengenai hubungan
antara belanja pemerintah dan kemiskinan, menggunakan analisis kointegrasi.
Analasis menggunakan data tahunan Pakistan antara tahun 1976 dan 2010. Hasil
analisis menunjukkan bahwa kemiskinan berkurang akibat peningkatan
penghematan belanja publik dan peningkatan pengiriman uang. Belanja
pemerintah dapat menstimulasi perekonomian dalam jangka panjang melalui
permintaan agregat. Dalam penelitian tersebut telah diketahui bahwa terdapat
hubungan antara kemiskinan dan pengeluaran pemerintah bersama dengan
pengiriman uang dan modal manusia. Belanja pemerintah dan kemiskinan
memiliki hubungan yang terbalik. Belanja pemerintah memiliki hubungan positif
terhadap pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang tetapi sayangnya dalam
kasus negara-negara berkembang seperi Pakistan, keseimbangan anggaran hanya
dapat dicapai melalui pembatasan belanja pemerintah yang memiliki efek negatif
terhadap produktifitas dan efisiensi dalam sistem ekonomi.
54
Kweka dan Morissey (2000), meneliti tentang pengaruh pengeluaran
sektor publik terhadap pertumbuhan ekonomi di Tanzania periode 1965-1996
dengan menggunakan data runtun waktu (time series) selama 32 tahun. Metode
analisis yang digunakan yaitu metode Error Correction Model (ECM) dan
pendekatan kointegrasi Johansen serta Engel-Granger. Kweka dan Morissey
menggunakan empat variabel bebas, yaitu investasi swasta yang menggunakan
data pembentukan swasta, pengeluaran pemerintah yang produktif atau investasi
fisik yang diproksikan dengan data pengeluaran pembangunan atau modal total
pemerintah, pengeluaran konsumsi pemerintah yang merupakan jumlah
pengeluaran pemerintah yang bersifat konsumsi dikurangi pengeluaran di sektor
pendidikan dan kesehatan, dan pengeluaran modal manusia yang merupakan
pengeluaran pemerintah di sektor pendidikan dan kesehatan. Kesimpulan
penelitian Kweka dan Morissey adalah disatu sisi peningkatan pengeluaran
produktif (investasi fisik) mempunyai pengaruh yang negatif terhadap
pertumbuhan ekonomi. Hubungan yang negatif ini diperkirakan karena adanya
ketidakefisienan investasi publik yang terjadi di Tanzania pada periode
penelitian. Namun di sisi lain, pengeluaran konsumsi pemerintah berpengaruh
positif terhadap pertumbuhan ekonomi, dan pada waktu tertentu berpengaruh
pula terhadap konsumsi swasta.
Gupta et al. (2005) menemukan bahwa kondisi anggaran yang kuat secara
umum berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dalam
jangka pendek dan jangka panjang. Komposisi investasi publik juga berpengaruh
dimana: negara dengan pengeluaran yang terkonsentrasi pada pembayaran gaji
cenderung memiliki pertumbuhan yang lebih rendah, sedangkan negara yang
55
mengalokasikan pada barang dan jasa non gaji/rutin dan barang modal menikmati
ekspansi output yang lebih cepat. Gupta et al. (2005) mengukur hubungan antara
komposisi pengeluaran, penyesuaian fiskal dan pertumbuhan diestimasi dengan
regresi tingkat PDB riil per kapita terhadap beberapa variable regressor, termasuk
variable fiskal dan variable control lainnya. Model yang ada diestimasi dengan
panel data menggunakan least-squares dummy variable (LSDV).
Gupta et al. (2005) menyadari bahwa masalah umum dalam literatur
mengenai kebijakan fiskal adalah keberadaan endogeneity atau reverse causality.
Hal ini dimungkinkan ketika pertumbuhan ekonomi itu sendiri mempengaruhi
variable fiskal (variable dependen mempengaruhi variable independen). Contoh
ketika pertumbuhan ekonomi melambat, rasio pengeluaran pemerintah terhadap
PDB meningkat jika tingkat pengeluaran nominal tetap. Untuk mengatasi ini,
model dapat diestimasi dengan munggunakan estimator GMM. Estimasi GMM
mengontrol endogeneity dengan menggunakan nilai lagged value dari tingkat
endogen dan variable instrumental.
Paternostro, Rajaram, dan Tiongson (2007) memahami bahwa pengeluaran
publik memiliki dampak terhadap pertumbuhan dan distribusi yang kompleks dan
sulit dihitung. Namun komposisi pengeluaran publik telah menjadi instrumen
utama yang dicari pemerintah untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Menyadari efek dari pengeluaran publik terhadap pertumbuhan dan pengurangan
kemiskinan (pro-poor, pro-job, pro-growth). Rekomendasi kebijakan perlu
disesuaikan dan didasarkan pada analisis empiris yang memperhitungkan lag dan
lead dari efek terhadap ekuitas dan pertumbuhan maupun kemiskinan.
56
Hoffer (2010) melihat peran pengeluaran pemerintah terhadap kesempatan
kerja dari sudut pandang yang berbeda. Menurut Hoffer dalam kondisi
perlambatan ekonomi, investasi publik (public investment) memiliki intensitas
penyerapan tenaga kerja yang lebih tinggi dibanding pemotongan pajak.
Syaratnya, peningkatan investasi publik harus disertai dengan perbaikan
kelembagaan untuk memastikan kesejahteraan masyarakat tidak menurun.
Penyediaan infrastruktur dan layanan publik yang berkualitas merupakan kunci
untuk
mengurangi
ketidaksetaraan,
meningkatkan
tenaga
kerja,
serta
memungkinkan bagi masyarakat miskin untuk keluar dari kemiskinan (Hoffer,
2010). Kondisi ini akan lebih baik lagi jika didukung dengan pendidikan yang
berkualitas, pelayanan kesehatan yang memadai, perumahan yang terjangkau,
serta pelayanan publik yang dapat diakses secara bebas. Adanya sarana dan
prasarana publik tersebut akan mengurangi kebutuhan tabungan individu dan
meningkatkan
proporsi
pendapatan
masyarakat.
Dampaknya
tentu
saja
pertumbuhan ekonomi akan meningkat mengingat proprsi pendapatan masyarakat
akan lebih banyak yang dibelanjakan daripada ditabung.
Pemikiran Jackson (2010) senada dengan Hoffer (2010) namun dengan
sedikit tambahan, yaitu mengizinkan bagi pemerintah untuk membuat atau
menambah defisit anggarannya sepanjang penambahan tersebut dibelanjakan bagi
infrastruktur publik. Menurut Jackson, infrastruktur publik yang baik dan
pelayanan publik yang efektif adalah kunci untuk mendorong produktivitas sektor
swasta, khususnya yang bergerak di bidang industri strategis. Belanja publik
untuk infrastrukturt yang meningkat akan mendorong produktivitas ekonomi yang
pada akhirnya mampu menciptakan lapangan kerja.
57
2.7.2
Penelitian Studi Kasus di Indonesia
Sihotang (2003), meneliti dampak kebijakan fiskal terhadap pendapatan
nasional di Indonesia periode 1969-2000. Peneliti menggunakan model persamaan
simultan dengan metode pendugaan parameter yang digunakan yaitu metode Two
Stage Least Square (TSLS). Persamaan simultan terdiri dari 14 persamaan
termasuk persamaan identitas, yaitu pengeluaran konsumsi, pengeluaran investasi,
ekspor, impor, pendapatan nasional,pendapatan disposibel, permintaan uang,
penawaran uang, permintaan tenaga kerja, penawaran tenaga kerja, tingkat
pengangguran, laju inflasi, tingkat suku bunga, dan tingkat upah. Selain
mengestimasi persamaan-persamaan tersebut, Sihotang juga melakukan analisis
simulasi kebijakan fiskal yaitu dengan mengkombinasikan berbagai variabel fiskal
dengan menggunakan data tahun 1969-2000 dimana persentase perubahan
variabel fiskal tersebut disesuaikan dengan rata-rata persentase perubahannya dari
tahun 1969-2000. Kesimpulannya bahwa secara umum variabel-variabel
kebijakan fiskal kurang berpengaruh terhadap pendapatan nasional, konsumsi,
investasi, ekspor, impor, permintaan uang, penawaran uang, permintaan tenaga
kerja, penawaran tenaga kerja, upah, tingkat suku bunga, tingkat inflasi, dan
pendapatan disposibel. Kebijakan fiskal hanya memiliki dampak kecil terhadap
pendapatan nasional dan kesempatan kerja.
Sutriono (2006), meneliti tentang hubungan timbal balik antara
pengeluaran pemerintah dan Produk Domestik Bruto (PDB) di Indonesia periode
1970-2003. Metode yang digunakan adalah Granger Causality dan Vector
Autoregression (VAR) dengan memperlakukan kedua variabel sebagai variabel
endogen. Variabel yang digunakan yaitu PDB, total pengeluaran pemerintah riil,
58
realisasi pengeluaran rutin riil dan realisasi pengeluaran pembangunan riil. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan kausalitas antara perubahan
(peningkatan atau penurunan) total pengeluaran pemerintah dengan perubahan
(peningkatan atau penurunan) PDB. Pengeluaran rutin tidak signifikan
mempengaruhi perubahan PDB karena lebih bersifat konsumtif dan tidak
produktif serta sebagian besar bersifat kontraktif seperti belanja untuk
pembayaran bunga utang. Sementara perubahan pengeluaran pembangunan
memiliki hubungan kausal positif dan signifikan terhadap perubahan PDB. Hal ini
dapat dijelaskan oleh pengaruh positif pengeluaran sektor pertanian, infrastruktur,
dan transportasi serta pendidikan terhadap PDB dan pengaruh positif perubahan
PDB terhadap pengeluaran pemerintah di sektor infrastruktur dan transportasi.
Siregar (2006) menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan
syarat
keharusan
(necessary
condition)
bagi
pengurangan
kemiskinan.
Adapun syarat kecukupannya (sufficient condition) adalah pertumbuhan
tersebut efektif mengurangi kemiskinan. Artinya, pertumbuhan menyebar di
setiap golongan pendapatan, termasuk di golongan penduduk miskin (growth
with equity). Hal ini berarti pertumbuhan dipastikan terjadi di sektor-sektor di
mana penduduk miskin bekerja (pertanian atau sektor yang padat karya). Adapun
secara tidak langsung, diperlukan pemerintah yang efektif meredistribusi manfaat
pertumbuhan yang mungkin hanya terjadi pada sektor moderen yang hanya
padat modal.
Balisacan et al. (2002) melakukan studi mengenai pertumbuhan dan
pengurangan kemiskinan di Indonesia. Studi tersebut menyatakan bahwa
Indonesia
memiliki
catatan yang mengesankan mengenai
pertumbuhan
59
ekonomi dan pengurangan kemiskinan selama dua dekade. Pertumbuhan dan
kemiskinan menunjukkan hubungan kuat untuk tingkat agregat. Panel data
yang dibangun dari 285 Kota/Kabupaten menyatakan perbedaan yang besar
pada perubahan dalam kemiskinan, pertumbuhan ekonomi subnasional, dan
parameter-parameter spesifik lokal. Hasil
dari
analisis ekonometrika
menunjukkan bahwa selain pertumbuhan ekonomi, ada faktor lain yang secara
langsung mempengaruhi kesejahteraan masyarakat miskin, diantaranya adalah
infrastruktur, sumberdaya manusia, insentif harga pertanian, dan akses
terhadap teknologi.
Studi tentang pertumbuhan ekonomi dan pengurangan kemiskinan di
Indonesia juga dilakukan oleh Suryahadi et al. (2006). Studi ini menekankan pada
dampak lokasi dan komponen sektoral dari pertumbuhan. Hubungan antara
pertumbuhan ekonomi dan pengurangan kemiskinan diperdalam dengan
membedakan pertumbuhan dan kemiskinan ke dalam komposisi sektoral dan
lokasi. Hasil studi menunjukkan bahwa pertumbuhan pada sektor jasa di
perdesaan menurunkan kemiskinan di semua sektor dan lokasi. Namun
pertumbuhan jasa di perkotaan memberikan nilai elastisitas kemiskinan yang
tinggi dari semua sektor kecuali pertanian perkotaan. Selain itu pertumbuhan
pertanian di perdesaan memberikan dampak yang besar terhadap penurunan
kemiskinan di sektor pertanian perdesaan, yang merupakan kontributor
terbesar kemiskinan di Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa cara yang paling
efektif untuk mempercepat
pengurangan
kemiskinan
adalah
dengan
menekankan pada pertanian di perdesaan dan jasa di perkotaan.
Suryadarma
dan
Suryahadi
(2007) melakukan
studi
mengenai
60
pengaruh pertumbuhan pada sektor swasta terhadap penurunan kemiskinan di
Indonesia untuk melihat dampak pertumbuhan di sektor publik dan swasta
terhadap kemiskinan. Pertumbuhan belanja modal swasta digunakan sebagai
proksi
dari
sektor
swasta
dan
pertumbuhan
pengeluaran
konsumsi
pemerintah sebagai indikator sektor publik. Hasil analisis menunjukkan bahwa
pertumbuhan di kedua
sektor
tersebut
secara
signifikan
mengurangi
kemiskinan, selain itu juga menghasilkan elastisitas yang relatif sama. Oleh
karena itu, pertumbuhan pengeluaran baik di sektor publik maupun swasta
akan mengurangi kemiskinan dua kali lebih cepat daripada hanya berharap
dari pengeluaran publik saja. Implikasinya, sangat penting bagi pemerintah
untuk memperbaiki iklim usaha dalam negeri sehingga sektor swasta dapat
berkembang dan pada akhirnya mempercepat pengurangan kemiskinan.
2.8.
Kerangka Pemikiran Penelitian
Deduksi dari uraian pada tinjauan teori dan studi sejenis sebelumnya
menunjukkan terdapat keterkaitan dan pengaruh yang erat antara perubahan
komposisi belanja Pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi, kesempatan kerja
dan tingkat kemiskinan. Dalam hal ini, mekanisme transmisi dampak perubahan
komposisi belanja Pemerintah adalah melalui perubahan keseimbangan Produk
Domestik Bruto atau Pendapatan Nasional.
Secara umum peruntukan belanja Pemerintah dapat diklasifikasikan
menjadi dua yaitu belanja pemerintah pusat dan belanja transfer untuk pemerintah
daerah. Belanja pemerintah pusat terdiri dari (1) Belanja Pegawai, (2) Belanja
61
Subsidi, (3) Belanja Pembayaran Bunga Utang, (4) Belanja Modal, (5) Belanja
Barang, dan (6) Belanja Lainnya. Sementara itu belanja transfer ke daerah terdiri
3 jenis, yaitu belanja dalam bentuk Dana Alokasi Khusus (DAK), Dana Alokasi
Umum (DAU), dan Dana Bagi Hasil (DBH).
Selama tahun 1970-2010 kebijakan komposisi belanja pemerintah
didominasi oleh belanja rutin dan rendahnya porsi belanja modal. Akibatnya
alokasi belanja untuk infrastruktur sangat terbatas dan selanjutnya peran stimulus
fiskal pemerintah terutama dalam mendorong Investasi Swasta dan Ekspor
menjadi tidak optimal. Hasilnya Indonesia mempunyai pertumbuhan ekonomi
yang relatif rendah disertai pengangguran dan tingkat kemiskinan yang tinggi.
Bertolak dari dasar pemikiran tersebut maka dalam penelitian ini ditarik
hipotesis bahwa jika terdapat perubahan komposisi belanja pemerintah dalam
bentuk peningkatan porsi belanja modal, maka pertumbuhan ekonomi akan
meningkat, diikuti oleh penurunan tingkat pengangguran dan kemiskinan.
Hipotesis ini berdasarkan asumsi bahwa kenaikan belanja modal akan efektif
untuk meningkatkan pembangunan infrastruktur. Dengan adanya infrastruktur
yang memadai akan mendorong peningkatan investasi swasta dan selanjutnya
mendorong peningkatan produksi dan pendapatan nasional yang pada gilirannya
juga akan meningkatkan konsumsi masyarakat dan kinerja ekspor. Peningkatan
kinerja makroekonomi tersebut akan mendorong pertumbuhan ekonomi dan
menciptakan kesempatan kerja sehingga dapat mengurangi tingkat kemiskinan.
Kerangka pemikiran untuk mencapai tujuan penelitian tersebut dapat dilihat
dalam bagan alur pemikiran yang disajikan pada Gambar 12.
62
Alokasi Belanja
Pemerintah
Belanja
Lainnya
Belanja
Barang
Belamja
Modal
PUSAT
Pembyrn
Bunga
Utang
Subsidi
Belanja
Pegawaii
DAERAH
(DAU, DAK, DBH)
Komposisi Belanja Pusat selama 1970-2010
didominasi Belanja Rutin
Stimulus Fiskal Tidak Optimal
Pertumbuhan
Rendah
Pengangguran
tinggi
Kemiskinan
tinggi
Ekspor
Impor
Konsumsi
Investasi
Perumbuhan Ekonomi
Pengangguran
Kemiskinan
Gambar 12. Kerangka Alur Pemikiran Penelitian
Keseimbangan
Eksternal
Keseimbangan
Internal
Perubahan Komposisi Belanja
Pemerintah
Download