BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kulit Kulit adalah organ

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Kulit
Kulit adalah organ pembungkus seluruh permukaan luar tubuh, merupakan organ terberat
dan terbesar dari tubuh. Seluruh kulit beratnya sekitar 16% berat tubuh. Tebalnya kulit bervariasi
mulai 0,5 mm sampai 6 mm tergantung dari letak, umur dan jenis kelamin. Secara embriologis
kulit berasal dari 2 lapis yang berbeda, lapisan luar adalah epidermis yang merupakan lapisan
epitel berasal dari ektoderm sedangkan lapisan dalam yang berasal dari mesoderm adalah dermis
atau korium yang merupakan suatu lapisan jaringan ikat (Perdanakusuma, 2007).
Karena kulit berhubungan langsung dengan lingkungan luar, maka kulit memiliki 4
fungsi yang penting bagi tubuh, antara lain : 1) Menahan atau mempertahankan kelembaban dan
mencegah hilangnya molekul-molekul yang penting bagi tubuh, 2) Mengatur suhu tubuh dan
tekanan darah, 3) Melindungi tubuh dari mikroba-mikroba maupun pengaruh yang berbahaya
dari luar seperti sinar ultraviolet ataupun agen toksik dan 4) Sebagai organ sensoris atau reseptor
sensoris dari rasa sakit (nyeri), sentuhan, tekanan dan suhu (Gordon, 2010).
2.1.1 Epidermis
Epidermis adalah lapisan luar kulit yang tipis dan avaskuler. Terdiri dari epitel berlapis
gepeng bertanduk, mengandung sel melanosit, langerhans dan merkel. Tebal epidermis berbeda beda pada berbagai tempat di tubuh, paling tebal pada telapak tangan dan kaki. Ketebalan
epidermis hanya sekitar 5 % dari seluruh ketebalan kulit. Terjadi regenerasi setiap 4-6 minggu.
Epidermis terdiri atas lima lapisan (dari lapisan yang paling atas sampai yang terdalam): (1)
Stratum Korneum, terdiri dari sel keratinosit yang bisa mengelupas dan berganti; (2) Stratum
Lusidum, berupa garis translusen, biasanya terdapat pada kulit tebal telapak kaki dan telapak
tangan. Tidak tampak pada kulit tipis; (3) Stratum Granulosum, ditandai oleh 3-5 lapis sel
polygonal gepeng yang intinya ditengah dan sitoplasma terisi oleh granula basofilik kasar yang
dinamakan granula keratohialin yang mengandung protein kaya akan histidin dan terdapat sel
Langerhans; (4) Stratum Spinosum, terdapat berkas - berkas filament yang dinamakan tonofibril,
dianggap filament - filamen tersebut memegang peranan penting untuk mempertahankan kohesi
sel dan melindungi terhadap efek abrasi. Epidermis pada tempat yang terus mengalami gesekan
dan tekanan mempunyai stratum spinosum dengan lebih banyak tonofibril. Stratum basale dan
stratum spinosum disebut sebagai lapisan Malfigi dan terdapat sel Langerhans; (5) Stratum
Basale (Stratum Germinativum), terdapat aktifitas mitosis yang hebat dan bertanggung jawab
dalam pembaharuan sel epidermis secara konstan. Epidermis diperbaharui setiap 28 hari untuk
migrasi ke permukaan, hal ini tergantung letak, usia dan faktor lain. Merupakan satu lapis sel
yang mengandung melanosit. Fungsi Epidermis : Proteksi barier, organisasi sel, sintesis vitamin
D dan sitokin, pembelahan dan mobilisasi sel, pigmentasi (melanosit) dan pengenalan alergen
(sel Langerhans) (Perdanakusuma, 2007).
2.1.2 Dermis
Merupakan bagian yang paling penting di kulit yang sering dianggap sebagai “True
Skin”. Terdiri atas jaringan ikat yang menyokong epidermis dan menghubungkannya dengan
jaringan subkutis. Tebalnya bervariasi, yang paling tebal pada telapak kaki sekitar 3 mm. Dermis
terdiri dari dua lapisan : (1) Lapisan papiler, tipis mengandung jaringan ikat jarang; (2) Lapisan
retikuler, tebal terdiri dari jaringan ikat padat (Perdanakusuma, 2007).
Serabut - serabut kolagen menebal dan sintesa kolagen berkurang dengan bertambahnya
usia. Serabut elastin jumlahnya terus meningkat dan menebal, kandungan elastin kulit manusia
meningkat kira - kira 5 kali dari fetus sampai dewasa. Pada usia lanjut kolagen saling bersilangan
dalam jumlah besar dan serabut elastin berkurang menyebabkan kulit terjadi kehilangan
kelemasannya dan tampak mempunyai banyak keriput. Dermis mempunyai banyak jaringan
pembuluh darah. Dermis juga mengandung beberapa derivat epidermis yaitu folikel rambut,
kelenjar sebasea dan kelenjar keringat. Kualitas kulit tergantung banyak tidaknya derivat
epidermis di dalam dermis. Fungsi Dermis : struktur penunjang, mechanical strength, suplai
nutrisi, menahan shearing forces dan respon inflamasi (Perdanakusuma, 2007).
2.1.3 Subkutis
Merupakan lapisan di bawah dermis atau hipodermis yang terdiri dari lapisan lemak.
Lapisan ini terdapat jaringan ikat yang menghubungkan kulit secara longgar dengan jaringan di
bawahnya. Jumlah dan ukurannya berbeda - beda menurut daerah di tubuh dan keadaan nutrisi
individu. Berfungsi menunjang suplai darah ke dermis untuk regenerasi. Fungsi Subkutis /
hipodermis : melekat ke struktur dasar, isolasi panas, cadangan kalori, kontrol bentuk tubuh dan
mechanical shock absorber (Perdanakusuma, 2007).
2.2
Luka
Luka dapat diartikan sebagai terputusnya kontinuitas jaringan tubuh (Edward, 2005) atau
definisi yang lain terputusnya kesatuan struktur anatomi normal dari suatu jaringan akibat suatu
trauma atau rusaknya sebagian jaringan tubuh (Enoch dan Price, 2007). Luka perlu ditutup
kembali untuk menghindari terjadinya kontaminasi. Sembuhnya luka merupakan hal yang
natural dan fenomena yang spontan (Dunn, 2004).
Menurut Pemayun dkk. (2009), secara umum luka dibedakan menjadi dua, yaitu luka
terbuka (vulnus apertum) dimana pada luka ini kulit yang rusak melampaui tebalnya kulit dan
luka tertutup (vulnus occlusum) dimana luka yang terjadi tidak melampaui tebalnya kulit
(epidermis dan dermis). Luka terbuka dibagi atas beberapa macam, meliputi : a) luka tajam yaitu
luka oleh benda tajam dengan ciri - ciri tepi luka licin, tidak terdapat jembatan - jembatan
jaringan, tidak ada jaringan nekrosis, seperti luka iris (vulnus scissum) dimana panjang luka lebih
besar dari dalamnya luka; b) luka tusuk tajam (vulnus ictum) yaitu luka yang dalamnya lebih
besar dari pada lebar lukanya; c) luka tumpul yaitu luka karena benda tumpul, contohnya luka
tembak karena peluru (vulnus sclopetum); d) luka laserasi (vulnus laceratum) luka karena
benturan yang luas sehingga mengakibatkan terjadinya memar; e) luka penetrasi yaitu luka yang
dapat menembus rongga tubuh; f) luka avulsi (vulnus avulsum) yaitu luka yang terjadi disertai
lepasnya sebagian atau seluruh jaringan, contohnya : telinga lepas, pengangkatan tumor dimana
sebagian organ yang sehat juga ikut terbuang; dan g) luka gigit (vulnus mortum). Sedangkan luka
tertutup dibagi atas beberapa macam, yaitu: a) luka lecet (vulnus abrasi) yaitu luka yang hanya
bagian superficial kulit yang mengalami kerusakan; b) luka memar (vulnus contosio); c) bulla
(lepuh) hanya terjadi dibawah kulit epidermis sehingga timbul ruangan berisi cairan; d)
hematoma yaitu darah yang mengelompok disuatu tempat sehingga harus dikeluarkan supaya
tidak terjadi infeksi yang dapat menghambat kesembuhan luka; dan e) laserasi organ dalam.
2.2.1 Kesembuhan Luka
Menurut Dunn (2004), tujuan dari manajemen luka adalah campur tangan untuk proses
kesembuhan yang efisien melalui rangkaian perbaikan biologi ataupun regenerasi. Status
kesehatan pasien juga akan mempengaruhi proses kecepatan kesembuhan. Berikut adalah
beberapa faktor yang harus diperhatikan sebelum dan selama melakukan prosedur operasi
diantaranya umur, berat badan, status gizi, status dehidrasi, suplai darah ke luka, respon imun,
penyakit kronis dan terapi radiasi.
Kesembuhan luka baik luka karena kecelakaan maupun tindakan operasi, melibatkan
aktivitas jaringan sel darah yang rumit, jaringan sitokin dan faktor pertumbuhan (MacKay dan
Miller, 2003). Menurut sifatnya, kesembuhan luka terdapat beberapa kategori, yaitu kesembuhan
luka primer, sekunder dan tersier. Pada kesembuhan luka primer akan terjadi penutupan luka
dalam waktu beberapa jam setelah terjadinya luka, pada kesembuhan luka sekunder, penutupan
luka terjadi akibat adanya kontraksi dan reepithelialisasi secara spontan, sedangkan pada
kesembuhan luka tersier yang disebut juga dengan delayed primary closure atau tertundanya
penutupan luka terjadi perpanjangan waktu kesembuhan karena adanya debris - debris dari luka
sehingga membutuhkan penanganan lanjut (misalnya : jahitan pada daerah luka) agar luka dapat
menutup kembali (Gabriel dan Mussman, 2009). Proses kesembuhan luka meliputi 3 fase yaitu
diawali dengan pembentukan jendalan darah (hemostasis) serta inflamasi (keradangan),
proliferasi dan remodeling (Singer dan Clark, 1999).
Inflamasi merupakan respon protektif jaringan saat terjadi luka dan merupakan fase awal
dari kesembuhan luka. Karakteristik dari fase ini ditandai dengan adanya rasa nyeri, panas,
kemerahan dan bengkak serta hilangnya fungsi daerah sekitar luka (Cockbill, 2002). Proses
kesembuhan sebenarnya sudah dimulai pada saat respon radang itu terjadi. Diawali dengan
mengalirnya darah di daerah luka tersebut dan segera mengaktifkan proses pembekuan darah
dimana terjadi degranulasi dari platelet/trombosit dan diikuti aktivasi faktor Hageman.
Kemudian akan diikuti oleh aktifnya komponen biologi seperti kinin dan siklus cascade serta
plasmin. Semua komponen yang terlibat ini tidak hanya membekukan darah dan menyatukan
ujung luka, tetapi juga dapat mengakumulasi sejumlah mitogen dan kemoatraktan lainnya untuk
aktif menuju daerah luka yang mengalami proses kesembuhan. Kemoatraktan yang dilepaskan
oleh trombosit akan menstimulasi masuknya neutrofil dan monosit dari sirkulasi ke daerah luka
(Cockbill, 2002). Infiltrasi neutrofil yang paling tinggi terjadi dalam waktu 24 jam setelah
terjadinya luka, dan akan menurun jumlahnya saat monosit mulai masuk ke daerah luka
(Kaewloet, 2008). Neutrofil dan monosit yang masuk ke daerah luka akan mengingesti bakteri
dan debris - debris sel melalui proses fagositosis, dan pada saat melakukan fungsinya dalam
memfagositosis tersebut, monosit disebut sebagai makrofag (Cockbill, 2002). Adanya infiltrasi
neutrofil, dapat dipergunakan sebagai petanda bahwa inflamasi terjadi pada fase awal, sedangkan
bertambahnya jumlah makrofag untuk menggantikan neutrofil dalam melakukan fagositosis,
merupakan penentu bahwa proses tersebut memasuki fase akhir dari inflamasi (Kaewloet, 2008).
Fase kedua dari kesembuhan luka yaitu fase proliferasi yang memiliki karakter berupa
formasi granulasi pada jaringan luka/cedera. Fase proliferasi dimulai kira - kira pada hari ke-3
dan hampir bersamaan dengan fase akhir dari inflamasi (Gabriel dan Mussman, 2009). Jaringan
granulasi terdiri dari kombinasi elemen seluler termasuk matrik kolagen dan sel radang
bersamaan dengan terbentuknya kapiler - kapiler baru. Fibroblast pertama muncul pada hari
ketiga pasca cedera dan mencapai puncaknya pada hari ketujuh (Berata dkk., 2011). Fibroblast
akan bermigrasi ke daerah luka yang kemudian akan mulai mensintesis matriks ekstraseluler
yang secara bertahap akan digantikan oleh matriks kolagen dan berlangsung hingga dua minggu
setelah terjadinya luka (Singer dan Clark, 1999). Tetapi produksi fibroblast tertinggi terjadi pada
hari ke-7 setelah terjadinya luka (Gabriel dan Mussman, 2009). Setelah matriks kolagen
terdeposisi dalam jumlah yang cukup pada daerah luka, fibroblast akan berhenti memproduksi
kolagen (Singer dan Clark, 1999). Selain menghasilkan kolagen, fibroblast juga berperan dalam
proses angiogenesis dengan cara menstimuli makrofag untuk menghasilkan berbagai macam
growth factor (Gabriel dan Mussman, 2009). Proses angiogenesis ini berperan dalam
pembentukan pembuluh darah baru yang penting dalam meneruskan pembentukan jaringan
granulasi. Setelah daerah luka terisi oleh jaringan granulasi baru, maka proses angiogenesis akan
berhenti melalui apoptosis (programmed cell death) (Singer dan Clark, 1999). Fase ini dapat
berlangsung selama 2-4 minggu setelah terjadinya luka (Kaewloet, 2008).
Fase ketiga yaitu remodeling atau maturasi merupakan fase terpanjang dalam
kesembuhan luka dan dapat berlangsung dalam waktu 3 minggu hingga 2 tahun (Cockbill, 2002).
Awalnya akan terbentuk matriks ekstraseluler yang kaya akan fibronektin. Jaringan ini penting
dalam hal proses migrasi dan pertumbuhan dari sel - sel epitel, serta sekaligus merupakan tempat
dari deposisi kolagen oleh fibroblast. Lambat laun kolagen mendominasi dari isi matriks yang
kemudian membentuk ikatan - ikatan fibril dan secara perlahan - lahan membentuk jaringan baru
yang semakin tebal dan kuat. Umumnya hari kelima setelah cedera/luka dimana terbentuk
jaringan granulasi dan matriks yang tersusun oleh fibronektin dan asam hyaluronat, kekuatan
dari jaringan yang baru semakin meningkat akibat dari proses fibrinogenesis. Perubahan dari
kekuatan jaringan baru tidak hanya dipengaruhi oleh deposisi dari kolagen secara kontinu, tetapi
juga dipengaruhi oleh remodeling dari kolagen itu sendiri. Remodeling dari kolagen itu sendiri
sangat tergantung dari sintesis dan katabolisme dari kolagen, dimana proses degradasi dari
kolagen dikontrol oleh berbagai enzim yang terdapat pada kolagen itu sendiri. Proses sintesis
dari kolagen dapat berlangsung antara 6-12 bulan sedangkan bersama dengan proses remodeling,
dapat mencapai waktu 1 tahun untuk membentuk jaringan yang baru (Berata dkk., 2011).
2.2.2 Faktor - faktor yang mempengaruhi kesembuhan luka
Menurut Perdanakusuma (2007), faktor - faktor yang dapat mempengaruhi kesembuhan
luka adalah sebagai berikut : 1) Koagulasi, adanya kelainan pembekuan darah (koagulasi) akan
menghambat penyembuhan luka sebab homeostasis merupakan tolak ukur dan dasar dari fase
imflamasi; 2) Gangguan sistem imun (infeksi, virus), gangguan sistem imun akan menghambat
dan mengubah reaksi tubuh terhadap luka, kematian jaringan dan kontaminasi. Bila sistem daya
tahan tubuh, baik seluler maupun humoral terganggu, maka pembersihan kontaminasi dan
jaringan mati serta penahanan infeksi tidak berjalan baik; 3) Gizi (kelaparan, malabsorbsi), gizi
kurang juga mempengaruhi sistem imun; 4) Penyakit kronis, penyakit kronis seperti TBC dan
diabetes juga dapat mempengaruhi sistem imun; 5) Keganasan agen infeksi, keganasan tahap
lanjut pada agen infeksi dapat menyebabkan gangguan sistem imun yang akan mengganggu
penyembuhan luka; 6) Obat - obatan, pemberian obat penekan reaksi imun, kortikosteroid dan
sitotoksik mempengaruhi penyembuhan luka dengan menekan pembelahan fibroblast dan
sintesis kolagen; 7) Teknik penjahitan, teknik penjahitan luka yang dilakukan secara berlapis
akan mengganggu penyembuhan luka; 8) Kebersihan / personal hygiene, kebersihan akan
mempengaruhi proses kesembuhan luka, karena kuman setiap saat dapat masuk melalui luka bila
kebersihan tubuh berkurang; 9) Vaskularisasi, akan berlangsung baik bila proses penyembuhan
berlangsung cepat. Sementara daerah yang memiliki vaskularisasi yang kurang baik proses
penyembuhannya memerlukan waktu lama; 10) Pergerakan, daerah yang relatif sering bergerak
penyembuhannya akan terjadi lebih lama; 11) Ketegangan tepi luka, pada daerah yang tegang
(tight) penyembuhan lebih lama dibandingkan dengan daerah yang longgar.
2.2.3 Penutupan Luka
Penyembuhan luka kulit tanpa pertolongan dari luar berjalan secara alami namun
terkadang diperlukan penanganan khusus pada luka untuk membantu proses tersebut dan proses
ini dalam ilmu bedah diperlukan suatu jahitan (Iwan dkk, 2012). Jahitan adalah proses penyatuan
jaringan dengan menggunakan jarum dan benang, sehingga jaringan tersebut menyatu dan
sembuh. Ketika menjahit tepi luka lapisan dermis dari kedua sisi luka harus bersentuhan, agar
luka sembuh dengan baik bagian dermis harus bertemu dan sembuh bersama. Teknik menjahit
yang dipilih juga penting untuk mencapai kesembuhan yang optimal (Semer, 2001).
Menurut Dunn (2004), pola jahitan sederhana terputus lebih sering digunakan oleh para
dokter untuk menutup dinding abdomen dengan menggunakan benang yang terserap seperti
vicryl. Jika benang yang tidak terserap digunakan benang harus dilepaskan 5-10 hari setelah
operasi. Hal ini dikarenakan tekanan pada yang sedang dalam proses kesembuhan akan diserap
oleh fascia, oleh karena itu para dokter menyadari untuk tetap mempertahankan luka agar tetap
tertutup.
Jahitan kulit maupun subkutikuler harus cukup kuat untuk menahan tegangan kulit dan
mempertahankan tepi luka pada posisinya. Pola jahitan pada kulit biasanya dapat berupa pola
jahitan menerus ataupun terputus. Namun pola jahitan sederhana terputus lebih digemari oleh
para dokter. Benang nonabsorbable juga lebih disukai untuk menutup luka pada kulit. Benang
monofilament juga memberikan reaksi pada jaringan yang lebih sedikit dibandingkan benang
multifilament (Dunn, 2004). Pola jahitan sederhana terputus mudah diaplikasikan, memiliki
tegangan yang lebih kuat dan jahitan ini membuat penyesuaian yang diperlukan untuk
mensejajarkan tepi luka dengan baik (Mackay, 2010). Dunn (2004) mengatakan bahwa luka
karena insisi waktu operasi dapat disatukan dengan menggunakan jahitan, staples, clips, strips
penutup kulit, atau bahan perekat topical.
2.3
Radang
Radang adalah reaksi alamiah yang berupa respon vaskuler dan seluler dari jaringan
tubuh sebagai reaksi terhadap adanya stimuli. Adanya rangsang atau iritasi akan menyebabkan
munculnya respon neurogenik dan humoral (Celloti dan Laufer, 2001). Kemampuan tubuh dalam
membuat reaksi radang bertujuan untuk mendukung jaringan pada proses kerusakan, pertahanan
terhadap serangan mikroorganisme dan memperbaiki jaringan yang rusak serta proses
kesembuhan luka. Walaupun efek inflamasi sering digambarkan menyebabkan beberapa
kerugian, namun proses tersebut tetap menguntungkan, antara lain adalah pengaruhnya dalam
menanggulangi pengaruh stres yang selalu ada dalam kehidupan sehari - hari. Penyebab radang
sangat banyak dan bervariasi, namun pada umumnya radang merupakan proses respon imun
terhadap mikroorganisme penyebab infeksi. Beberapa penyebab radang lainnya adalah : trauma,
operasi, bahan kimia, panas dan dingin yang ekstrem dan iskhemia (Baratawidjaja, 2002).
Tujuan dari adanya peradangan secara umum adalah untuk mengeluarkan, membuang
dan menetralkan agen iritan. Efek samping peradangan adalah hipersensitif akut, deformitas
fibrotik, pembentukan keropeng, obstruksi dan pembatasan mobilitas. Komponen reaksi
peradangan berupa plasma, sel - sel darah dalam sirkulasi berupa neutrofil, monosit, eosinofil,
limfosit, basofil dan platelet. Komponen jaringan konektivus seperti sel Mast berupa fibroblas
dan makrofag dan jaringan ekstraseluler seperti protein penyusun jaringan berupa fibrosa,
kolagen, elastin, fibronektin, laminin dan pembuluh darah (Celloti dan Laufer, 2001).
Menurut Celloti dan Laufer (2001), peradangan akut ditandai dengan adanya warna
merah (rubor) yaitu sebagai hasil peningkatan aliran darah pada daerah radang atau hiperemi,
panas (kalor) yaitu sebagai hasil hiperemi vaskuler, bengkak (tumor) yaitu sebagai hasil eksudasi
seluler dan cairan, sakit (dolor) disebabkan oleh adanya iritasi akibat tekanan dan adanya produk
metabolisme dan yang terakhir kehilangan fungsi (functio laesa) karena fungsi jaringan berjalan
secara tidak normal.
lnflamasi akut terjadi akibat pelepasan berbagai mediator yang berasal dari jaringan yang
rusak, sel mast, leukosit dan komplemen. Meskipun pemicu peradangan dapat berbeda - beda,
namun jalur keradangan tetap sama, kecuali radang yang disebabkan oleh reaksi alergi (Ig-E, sel
mast) yang terjadi Iebih cepat dan dapat menjadi sistemik. Mediator - mediator tersebut
menimbulkan edema, kebengkakan, merah, sakit dan gangguan fungsi organ/ jaringan yang
terkena.
Jaringan yang rusak akan mengeluarkan mediator seperti trombin, histamin dan TNFa.
Mikroba dapat melepaskan endotoksin dan atau eksotoksin, yang mana keduanya dapat memacu
pelepasan mediator pro-inflamasi. Toksin bakteri juga menimbulkan kerusakan jaringan dan
melepaskan trombin, histamin, sitokin dan merusak ujung - ujung saraf. Mikroba juga dapat
mengaktifkan komplemen jalur klasik atau alternatif. Kejadian pada tingkat molekuler atau
seluler yang terjadi pada peradangan adalah vasodilatasi, peningkatan permeabilitas vaskuler dan
infiltrasi seluler. Hal tersebut berkaitan dengan kerja mediator kimia yang disebarkan keseluruh
tubuh dalam bentuk aktif maupun non aktif (Baratawidjaja, 2002).
2.4
Deksametason
Deksametason merupakan salah satu contoh obat golongan glukokortikoid sintetik
dengan kerja lama. Deksametason (juga dikenal dengan merek nama Decadron®, Dexasone®,
Diodex®, Hexadrol®, dan Maxidex®) adalah steroid adrenokortikal sintetis. Adrenokortikal
steroid, juga dikenal sebagai glukokortikosteroid atau kortikosteroid, yang diproduksi secara
alami oleh kelenjar adrenal dalam tubuh. Kelenjar adrenal memproduksi hormon dan steroid.
Steroid banyak mempengaruhi tindakan sistem tubuh. Steroid terlibat dalam regulasi karbohidrat,
protein, lemak dan juga dapat menghambat inflamasi, alergi dan memainkan peran penting
dalam terapi imunosupresif dalam transplantasi organ (Klein dkk., 2001).
Kortikosteroid seperti deksametason bekerja dengan cara mempengaruhi kecepatan
sintesis protein. Molekul hormon memasuki sel jaringan melalui membran plasma secara difusi
pasif di jaringan target, kemudian bereaksi dengan reseptor protein yang spesifik dalam
sitoplasma sel jaringan dan membentuk kompleks reseptor steroid. Kompleks ini mengalami
perubahan konformasi, lalu bergerak menuju nukleus dan berikatan dengan kromatin. Ikatan ini
menstimulasi transkripsi RNA dan sintesis protein spesifik. Induksi sintesis protein ini
merupakan perantara efek fisiologik steroid (Katzung, 2002).
Deksametason termasuk di dalam golongan kortikosteroid yaitu glukokortikoid sistemik
long – acting yang digunakan terutama sebagai anti inflamasi atau immunosuppressant (Mc
Evoy, 2008). Dengan menekan pembentukan, pelepasan dan aktivitas mediator peradangan
seperti prostaglandin, kinins, histamine dan enzim liposomal dan juga memodifikasi respons
kekebalan tubuh (Tatro, 2003). Deksametason merupakan salah satu kortikosteroid sintetis
terampuh. Kemampuannya dalam menanggulangi peradangan dan alergi kurang lebih sepuluh
kali lebih hebat dari pada yang dimiliki prednisone (Katzung, 2002). Penggunaan deksametason
di masyarakat sering kali kita jumpai, antara lain: pada terapi arthritis rheumatoid, systemic
lupus erithematosus, rhinitis alergica, asma, leukemia, lymphoma, anemia hemolitik atau auto
immune, selain itu deksametason dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis sindroma
cushing. Efek samping pemberian deksametason antara lain terjadinya insomnia, osteoporosis,
retensi cairan tubuh, glukoma dan lain - lain (Katzung, 2002).
Sebagai imunosupresan deksametason bekerja dengan menurunkan respon imun tubuh
terhadap stimulasi rangsang. Dan sebagai anti-inflamasi, dexametason bekerja dengan jalan
menekan atau mencegah respon jaringan terhadap proses inflamasi dan menghambat akumulasi
sel yang mengalami inflamasi, termasuk makrofag dan leukosit pada tempat inflamasi (Budi
Santosa, 2009).
Deksametason bekerja dengan cara mempengaruhi kecepatan sintesis protein. Molekul
hormone memasuki sel jarangan melalui membran plasma secara difusi pasif dijaringan target,
kemudian bereaksi dengan reseptor protein yang spesifik dalam sitoplasma sel jaringan dan
membentuk kompleks reseptor steroid. Kompleks ini mengalami perubahan konformasi, lalu
bergerak menuju nukleus dan berikatan dengan kromatin. Ikatan ini menstimulasi transkripsi
RNA dan sintesis protein spesifik. Induksi sintesis protein ini merupakan perantara efek fisiologi
steroid (Suherman, 2007). Deksametason menurunkan dan menghambat lomfosit dan makrofag
perifer memegang peranan, selain itu penghambatan fosfolipase A2 secara tidak langsung yang
menghambat pelepasan asam arakidonat, dan prostaglandin (Mycek, 2001).
. Pada tikus, pemberian deksametason dapat diberikan secara oral dengan dosis 0,5
mg/Kg BB/ hari (Da Silva dkk., 2007).
2.5
Asam Mefenamat
Asam mefenamat merupakan derivat asam antranilat dengan khasiat analgetis, antipiretis,
dan antiradang yang cukup baik dan termasuk kedalam golongan obat Anti Inflamasi Non
Steroid (OAINS). Dalam pengobatan, asam mefenamat digunakan untuk meredakan nyeri dan
rematik. Obat ini cukup toksik terutama untuk anak - anak dan janin, karena sifat toksiknya asam
mefenamat tidak boleh dipakai selama lebih dari 1 minggu dan sebaiknya jangan digunakan
untuk anak - anak yang usianya di bawah 14 tahun (Munaf,1994).
Asam mefenamat mempunyai khasiat sebagai analgetik dan anti inflamasi. Asam
mefenamat merupakan satu - satunya fenamat yang menunjukkan kerja saraf pusat dan juga pada
saraf perifer. Mekanisme kerja asam mefenamat adalah dengan menghambat kerja enzim
siklooksigenase (Goodman, 2007).
Asam mefenamat merupakan bahan yang dapat menembus barrier mukosa lambung
sehingga sering dilaporkan asam mefenamat memberi efek iritasi terhadap mukosa lambung.
Asam mefenamat dapat menyebabkan pengelupasan pada sel epitel permukaan dan mengurangi
sekresi mukus yang merupakan barrier protektif terhadap asam (Loho, 2002). Asam mefenamat
bekerja dengan cara menekan produksi prostaglandin (Setiawan, 2010). Oleh karena itu
pemberian obat ini harus dipertimbangkan sejak awal terapi, terutama menyangkut cara
pemberian, dosis, dan lama pemberian.
Pada tikus, asam mefenamat dapat diberikan secara oral dengan dosis 45 mg/kg BB
(Romadhoni, 2012). Konsentrasi puncak asam mefenamat dalam plasma tercapai dalam 2 sampai
4 jam. Pada manusia, sekitar 50% dosis asam mefenamat diekskresikan dalam urin sebagai
metabolit 3-hidroksimetil terkonjugasi dan 20% obat ini ditemukan dalam feses sebagai
metabolit 3-karboksil yang tidak terkonjugasi (Goodman, 2007).
2.6
Antibiotika
Antibiotika adalah zat yang dihasilkan oleh suatu mikroba yang dapat menghambat atau
dapat membasmi mikroba jenis lain (Gunawan dkk, 2007). Definisi lain menyebutkan bahwa
antibiotika merupakan obat yang digunakan untuk membasmi mikroba penyebab infeksi pada
manusia, yang harus memiliki sifat toksisitas yang selektif, artinya obat tersebut bersifat toksik
pada mikroba, tetapi tidak toksik pada manusia (Pelczar, 1988).
Salah satu contoh antibiotika yang umum digunakan adalah amoksisilin. Amoksisilin
sering diberikan dalam bentuk sediaan injeksi kering dan pemberian secara oral. Sediaan injeksi
kering diformulasikan untuk senyawa - senyawa yang tidak stabil dalam bentuk larutan tetapi
stabil dalam bentuk kering. Injeksi ini diberikan dalam bentuk serbuk kering yang telah
disterilkan dan dalam kemasannya disertai dengan pelarutnya (aqua pro injeksi). Dalam
penggunaanya, air ditambahkan secara aseptis ke dalam vial obat untuk menghasilkan obat
suntik yang diinginkan (Ansel, 1989).
Mekanisme kerja amoksisilin adalah menghambat pembentukan mukopeptida yang
diperlukan untuk sintesis dinding sel mikroba (Istiantoro dan Ganiswarna, 1995). Amoksisilin
digunakan untuk mengobati infeksi yang disebabkan oleh bakteri gram – negatif seperti
Neisseria gonorrhoeae, Haemophilus influenzae, Escherichia coli, Proteus mirabilis,
Salmonella. Amoksisilin juga digunakan untuk menyembuhkan infeksi yang disebabkan oleh
bakteri gram – positif seperti Streptococcus pneumoniae, Enterococci, Listeria dan
Staphylococcus yang tidak menghasilkan penisilinase (McEvoy, 2002). Pada tikus, penggunaan
amoksisilin dapat diberikan dengan dosis 150 mg /kg BB per hari secara oral (Bishop, 1996).
2.7
Tikus Putih (Rattus norvegicus)
Tikus merupakan satwa liar yang sering kali berada di sekitar kehidupan manusia.
Kehidupan tikus (untuk spesies tertentu) sudah sangat bergantung pada kehidupan manusia.
Tikus merupakan satwa yang sudah sangat beradaptasi dengan kehidupan manusia (Priyambodo,
1995). Hasil seleksi terhadap hewan ini banyak digunakan sebagai hewan percobaan ( Kohn dan
Barthold, 1987). Ukuran tubuh tikus yang lebih besar daripada mencit membuat tikus lebih
disukai untuk berbagai penelitian. Beda dengan hewan laboratorium lainnya, tikus tidak pernah
muntah. Disamping itu tikus tidak mempunyai empedu. Lambung tikus terdiri dari dua bagian
yaitu nonglandular dan glandular, dan small intestine terdiri dari duodenum, jejunum dan ilium (
Farris dan Griffith, 1971).
Pada dasarnya, seluruh strain tikus pada tikus laboratorium berasal dari tikus liar yang
kemudian mengalami pemilihan selektif dan domestikasi. Tikus laboratorium pertama
dikembangkan di AS antara tahun 1877 dan tahun 1893 (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988).
Tikus (Rattus norvegicus) strain albino merupakan tikus yang sudah kehilangan pigmennya. Sifat
ini sudah menurun pada keturunannya dan hal ini disebabkan karena adanya seleksi yang
dilakukan oleh manusia untuk memudahkan dalam menangani tikus putih di laboratorium (Kohn
dan Barthold, 1987).
Menurut Smith dan Mangkoewidjojo (1988) tikus putih dapat diklasifikasikan sebagai
berikut :
Dunia
:
Animalia
Filum
:
Chordata
Subfilum
:
Vertebrae (craniata)
Kelas
:
Mammalia
Subkelas
:
Theria
Infrakelas
:
Eutheria
Ordo
:
Rodentia
Subordo
:
Myomorpha
Family
:
Muridae
Genus
:
Rattus
Species
:
Rattus norvegicus
2.8
Kerangka Konsep
Luka didefinisikan suatu kerusakan integritas epithel dari kulit (Brown, 2004) atau
definisi yang lain terputusnya kesatuan struktur anatomi normal dari suatu jaringan akibat suatu
trauma atau rusaknya sebagian jaringan tubuh, dapat disebabkan oleh trauma benda tajam atau
tumpul, perubahan suhu, zat kimia, ledakan, sengatan listrik atau gigitan serangga (Enoch dan
Price, 2007). Tubuh yang sehat mempunyai kemampuan alami untuk melindungi dan
memulihkan dirinya. Proses kesembuhan luka harus terjadi pada kondisi yang mendukung
jaringan tubuh untuk melakukan proses perbaikan dan regenerasi (Taylor, 1997).
Tidak jarang luka bekas operasi ini sembuh dengan waktu yang agak lama dan tak jarang
luka operasi terinfeksi bakteri, tidak hanya itu luka pasca operasi akan mengalami peradangan.
Peradangan (inflamasi) merupakan reaksi kompleks pada jaringan ikat yang memiliki
vaskularisasi akibat stimulus eksogen maupun endogen. Dalam arti yang paling sederhana,
inflamasi adalah suatu respon protektif yang ditujukan untuk menghilangkan penyebab awal
jejas sel serta membuang sel dan jaringan nekrotik yang diakibatkan oleh kerusakan sel
(Robbins, 2004). Oleh karena itu, untuk menyembuhkan luka lebih cepat dengan meminimalkan
rasa sakit, bekas luka, dan ketidaknyamanan pada pasien pemberian antibiotika, analgesik dan
antiinflamasi sangat diperlukan.
Antibiotika yang sampai saat ini masih sering digunakan di RSHP FKH UNUD pasca
operasi adalah antibiotika amoksisilin. Amoksisilin digunakan untuk mengobati infeksi yang
disebabkan oleh bakteri gram negatif dan bakteri gram positif (McEvoy, 2002). Sedangkan obat
antiinflamasi yang paling sering digunakan di RSHP FKH UNUD adalah deksametason dan
asam mefenamat.
Anti radang ada dua golongan yaitu anti radang golongan steroid dan golongan non
steroid. Anti radang golongan steroid salah satunya ialah deksametason dan anti radang non
steroid ialah asam mefenamat.
Deksametason memiliki efek anti inflamasi dan imunosupresan yang digunakan untuk
mengobati berbagai kondisi peradangan. Deksametason bekerja dengan cara mempengaruhi
kecepatan sintesis protein. Deksametason menurunkan dan menghambat lomfosit dan makrofag
perifer memegang peranan, selain itu penghambatan fosfolipase A2 secara tidak langsung yang
menghambat pelepasan asam arakidonat, dan prostaglandin (Mycek, 2001).
Asam mefenamat merupakan obat antiinflamasi non steroid dan satu - satunya golongan
fenamat yang menunjukkan kerja pusat dan juga kerja perifer. Mekanisme kerja asam mefenamat
adalah dengan menghambat kerja enzim siklooksigenase untuk menghasilkan prostaglandin
(Goodman, 2007).
Deksametason dan asam mefenamat merupakan anti radang yang sering digunakan pasca
operasi di RSHP FKH UNUD, namun belum diketahui efektifitas ke dua jenis anti radang
tersebut terhadap kesembuhan luka. Untuk mengetahui efektifitas ke dua jenis anti radang
tersebut ditinjau dari kecepatan kesembuhan luka operasi, maka dari itu perlu dilakukannya
penelitian.
Berbagai faktor dapat berpengaruh terhadap suatu perlakuan, diantaranya faktor dalam
dan faktor luar. Faktor dalam seperti strain, umur, berat badan tikus dan lokasi insisi yang telah
dikendalikan, sedangkan faktor luar seperti pakan, minum dan kandang telah diseragamkan.
Hubungan antara variabel tersebut tersaji pada kerangka konsep berikut (gambar 1).
Tikus Putih
Luka insisi
Variabel terkendali :
 Strain tikus
 Jenis kelamin
 Berat Badan tikus
 Lokasi Incisi
 Jenis kelamin
Variabel Bebas :
 Amoksisilin
 Amoksisilin dan
Deksametason
 Amoksisilin dan
Asam Mefenamat
Variabel Tergantung :
Kesembuhan Luka (Pemeriksaan
Makroskopis dan Mikroskopis)
Gambar 1. Kerangka Konsep
2.9
Hipotesis
Kesembuhan luka insisi pada tikus putih (Rattus norvegicus) yang diberi amoksisilin dan
asam mefenamat lebih cepat dibandingkan yang diberi amoksisilin dan deksametason ditinjau
dari pemeriksaan makroskopik maupun mikroskopiknya.
Download