laporan penanganan hukum kasus kekerasan terhadap perempuan

advertisement
LAPORAN
PENANGANAN HUKUM
Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak
di Wilayah Provinsi DKI Jakarta 2009
PUSAT PELAYANAN TERPADU
PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN ANAK (P2TP2A)
PROVINSI DKI JAKARTA
Jakarta, 2009
Laporan Penanganan Hukum
1
LAPORAN PENANGANAN HUKUM
KASUS KEKERASAN TERHADAP
PEREMPUAN DAN ANAK DI WILAYAH
PROVINSI DKI JAKARTA 2009
Penanggung Jawab
Wien Ritola
Tim Penulis
Margaretha Hanita
Kanthi Lestari
Rezfah Omar
Suswandari
Febiana
Diterbitkan oleh:
PUSAT PELAYANAN TERPADU PEMBERDAYAAN
PEREMPUAN DAN ANAK (P2TP2A)
PROVINSI DKI JAKARTA
Jl. Raya Bekasi Timur Km. 18, Pulo Gadung,
Jakarta Timur 13250
Telp. (021) 4788.2898 Fax. (021) 4788.2899
Hotline 0813 176 176 22
Website: http://www.p2tp2a-dki.org
Email: [email protected]
Cetakan : Kedua
2
Laporan Penanganan Hukum
KATA PENGANTAR
K
eberhasilan sebuah penanganan hukum kekerasan terhadap
perempuan dan anak adalah ketika penyelesaian kasus hukum
tersebut telah mampu memberikan rasa keadilan
bagi korban dan memberikan hukuman yang setimpal kepada si pelaku.
Dalam prakteknya, proses penanganan hukum kasus kekerasan
terhadap perempuan dan anak di Indonesia, melalui berbagai tantangan
dan kendala yang harus dihadapi oleh korban dan lembaga pendamping,
termasuk P2TP2A Provinsi DKI Jakarta. Untuk menghasilkan
perkembangan yang positif, penanganan hukum ini harus diikuti dan
dikoordinasikan secara berkala dengan aparat penegak hukum,
pendamping dan korban itu sendiri.
Buku Laporan Penanganan Hukum Kasus Kekerasan terhadap
Perempuan dan Anak di Wilayah Provinsi DKI Jakarta ini disusun untuk
memberikan gambaran tentang proses pendampingan yang telah
dilakukan oleh P2TP2A untuk memperjuangan rasa keadilan bagi para
korban. P2TP2A mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya
kepada para Unit PPA di Polda Metro Jaya beserta Polres jajarannya
atas koordinasi dan kerjasama yang sangat baik dalam proses hukum
ini. Semoga penanganan hukum bagi korban dapat terus ditingkatkan
agar korban kekerasan terhadap perempuan dan anak di Provinsi DKI
Jakarta dapat memperoleh rasa keadilan seperti yang diharapkan.
KETUA PUSAT PELAYANAN TERPADU
PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN ANAK
PROVINSI DKI JAKARTA
WIEN RITOLA, SH
Laporan Penanganan Hukum
3
kosong
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB
I
BAB
II
PENDAHULUAN
1
PENTINGNYA PENDAMPINGAN DALAM
PROSES HUKUM
13
BAB III
LAPORAN KASUS HUKUM
21
BAB IV
PELUANG DAN REKOMENDASI
39
BAB
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
43
V
Daftar Pustaka
47
kosong
6
Laporan Penanganan Hukum
Laporan Penanganan Hukum P2TP2A 2009
BAB I
PENDAHULUAN
Rumah tangga seharusnya adalah tempat berlindung bagi
seluruh anggota keluarga, tetapi kenyataannya kekerasan banyak
terjadi di dalam lingkungan keluarga khususnya terhadap
perempuan dan anak.
Sesuai dengan visi dan misinya, P2TP2A Provinsi DKI Jakarta
memberikan berbagai pelayanan yang dibutuhkan bagi korban
kekerasan terhadap perempuan dan anak , termasuk bantuan hukum
dan pendampingan korban. Sejak dibentuk pada 2004, korban
kekerasan yang ditangani oleh P2TP2A mengalami kekerasan sangat
beragam, paling banyak diantaranya adalah kekerasan dalam rumah
tangga. Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) adalah setiap
perbuatan terhadap seorang perempuan, yang berakibat timbulnya
kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, atau psikologis
dan atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk
melakukan perbuatan, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan
secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
Pasal 2 Deklarasi Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan
mengidentifikasi 3 wilayah di mana kekerasan biasanya terjadi:
 Kekerasan fisik, seksual dan psikologis yang terjadi dalam keluarga,
termasuk pemukulan, penyalahgunaan seksual atas perempuan
kanak-kanak dalam rumah tangga, kekerasan yang berhubungan
dengan mas kawin, perkosaan dalam perkawinan, pengrusakan
alat kelamin perempuan dan praktik-praktik kekejaman tradisional
lain terhadap perempuan, kekerasan di luar hubungan suami-istri
dan kekerasan yang berhubungan dengan eksploitasi;
1
Laporan Penanganan Hukum P2Tp2A 2009


Kekerasan secara fisik, seksual dan psikologis yang terjadi dalam
masyarakat luas, termasuk perkosaan, penyalahgunaan seksual,
pelecehan dan ancaman seksual di tempat kerja, dalam lembagalembaga pendidikan dan sebagainya, perdagangan perempuan
dan pelacuran paksa;
Kekerasan secara fisik, seksual dan psikologis yang dilakukan atau
dibenarkan oleh negara,dimanapun terjadinya (diskriminasi oleh
peraturan undang-undang).
Jenis Kekerasan
Kekerasan fisik,
seksual dan psikologis yang terjadi di
dalam
keluarga
(KDRT)
Kekerasan seksual
dan psikologis yang
terjadi dalam masyarakat
2
Diskripsi Pelaku
Pelaku adalah suami/
ayah
Pelaku penyerangan
seksual sering
dilakukan oleh
seorang yang
dipercaya korban,
seperti pacar, teman
dekat, ayah, anggota
keluarga lainnya,
dokter, pelatih,
pembimbing rohani,
pimpinan perusahaan
atau teman kencan.
Umumnya, pelaku
menjebak atau
Diskripsi Peristiwa
Dibentak, dipukul, disiksa, diperkosa, diancam, disekap, ditelantarkan, suami serong/
menikah lagi, suami
tidak memberikan
uang belanja, dll
Pelecehan seksual,
serangan seksual, dan
perkosaan.
Laporan Penanganan Hukum P2TP2A 2009
Diskriminasi
mengancam korban.
Pelaku adalah masyarakat, agama dan negara (misalnya melalui
peraturan daerah)
Tr a f i k i n g / t i n d a k
pidana perdagangan
perempuan/
anak-anak
Pelaku bisa individu
maupun korporasi
dengan pola terorganisir maupun tidak
terorganisir
Perempuan didiskriminasi dalam banyak
kehidupan masyarakat, dari hak politik, hak
hukum, hak mendapatkan jabatan dan
pekerjaan, hak untuk
setara dengan laki-laki
dan lain-lain.
Mula-mula perempuan ditawari/dibujuk/
direkrut untuk menjadi tenaga kerja tertentu (PRT, kasir, pelayan
toko dll) namun kemudian disekap dan
dipekerjakan sebagai
PSK, penjaga karaoke,
tukang pijat dll tanpa
diberi gaji
Wilayah Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak
Kekerasan terhadap perempuan bersumber pada ketimpangan
kekuasaan antara perempuan dan laki–laki yang diperkuat oleh nilai–
nilai patriaki yang dianut secara luas, interprestasi agama yang keliru,
pengaruh feodalisme, maupun kehidupan sosial, ekonomi, dan politik
yang tidak adil bagi perempuan. Pertumbuhan akar-akar kekerasan
ini ditunjang atau didukung oleh sistem pendidikan, sistem hukum,
sistem ekonomi, pelayanan kesehatan maupun kebijakan yang dibuat
oleh institusi masyarakat maupun negara yang bias gender.
Ketidakpedulian masyarakat terhadap masalah Kekerasan dalam
Rumah Tangga merupakan salah satu penyebab semakin maraknya
3
Laporan Penanganan Hukum P2Tp2A 2009
kekerasan yang terjadi dalam lingkup rumah tangga. Sebagian
masyarakat memilih diam dan membiarkan kekerasan tersebut karena
masih mempunyai anggapan bahwa masalah KDRT merupakan
masalah pribadi yang merupakan aib dan tabu untuk dibicarakan
apalagi dilaporkan dan diselesaikan melalui jalur hukum. Hal inilah
yang memerlukan peningkatan pemahaman hak-hak bagi perempuan
korban kekerasan, agar dapat pulih dan berdaya kembali untuk
melanjutkan hidupnya.
Angka kekerasan terhadap perempuan yang terdata dari berbagai
lembaga layanan merupakan fenomena gunung es karena data yang
tercatat hanya yang dilaporkan saja sementara angka yang sebenarnya
terjadi bisa lebih banyak lagi. Data yang dihimpun oleh Komnas
Perempuan dari 2001-2009 adalah sebagai berikut.
Tahun
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
4
Presentase
Angka Kekerasan
terhadap Perempuan Kenaikan
3.169
5.163
7.787
44%
14.020
30%
20.391
9%
22.512
11%
25.522
213%
54.425
263%
143.586
Laporan Penanganan Hukum P2TP2A 2009
Sumber : Catatan Tahunan Komnas Perempuan, 2009
Tingginya tingkat kerentanan perempuan terhadap kekerasan
juga dapat dilihat dari hasil analisis Biro Pusat Statistik (BPS)
bekerjasama dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan yang
mencatat bahwa pada 2006 angka kekerasan terhadap perempuan
pada level nasional mencapai 3,07%. Angka ini menunjukkan arti
bahwa dalam setiap 10.000 penduduk perempuan Indonesia, sekitar
307 orang diantaranya pernah mengalami tindak kekerasan.
Upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan terkait erat
dengan gerakan perempuan dalam memperjuangkan kebebasan,
martabat dan kesetaraan yang masih sering dilanggar, baik oleh
hukum yang berlaku, maupun oleh ketentuan adat dan tradisi yang
berlaku bagi perempuan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
perjuangan hak asasi kaum perempuan tidak dapat dipisahkan dari
perjuangan memperoleh kesetaraan antara laki-laki dan perempuan
dan dalam rangka menghentikan kekerasan yang berbasis gender.
5
Laporan Penanganan Hukum P2Tp2A 2009
Berbagai bentuk kekerasan yang terjadi pada perempuan
menimbul-kan dampak yang sangat kompleks, antara lain dampak
fisik, psikis, ekonomi dan dampak sosial. Hal ini menuntut
penanganan yang tepat sesuai dengan hak-hak yang seharusnya
diterima oleh para korban. Penanganan yang tepat sangat penting
agar korban dapat segera pulih dari penderitaan fisik, psikis dan sosial
yang dihadapi.
Untuk memenuhi hak-hak perempuan dan anak-anak korban
kekerasan Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan beberapa
peraturan perundang-undangan terkait, yakni Undang-Undang No.
23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga
(PKDRT), Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan
Anak, Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi
dan Korban serta Undang-Undang No. 21 tahun 2007 Tentang
Penghapusan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO).
Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga yang menjadi tujuan
diundangkannya Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 Tentang PKDRT
adalah jaminan yang diberikan negara untuk mencegah terjadinya
segala kekerasan dalam rumah tangga, melindungi korban kekerasan
dalam rumah tangga, menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga
dan memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan
sejahtera.
Meskipun sudah ada undang-undang yang secara khusus
mengatur larangan melakukan kekerasan dalam rumah tangga dan
memberikan ancaman hukuman berat bagi pelakunya, pada
kenyataannya kasus KDRT seringkali tidak bisa ditegakkan
sebagaimana mestinya berdasarkan aturan hukum yang ada
dikarenakan adanya kendala-kendala baik yang berasal dari korban
sendiri dan terutama dari para aparat penegak hukum dalam hal proses
hukum penuntutan oleh Kejaksaan dan proses pemidanaan oleh
6
Laporan Penanganan Hukum P2TP2A 2009
Pengadilan (Hakim) yang masih banyak belum memahami
permasalahan KDRT sehingga masih mempergunakan ketentuan yang
bersifat umum (KUHPidana) sehingga penjatuhan sanksi pidana
terhadap pelaku belum maksimal dan memenuhi rasa keadilan bagi
korban.
Kondisi tersebut perlu mendapatkan perhatian serius dari
pemerintah dan instansi penegak hukum sehingga dapat dipahami
bahwa pentingnya penegakan hukum kasus KDRT adalah demi
melindungi perempuan dan anak-anak dari tindakan kekerasan yang
terjadi di dalam lingkungan keluarga.
Hak-hak korban KDRT yang diatur dalam Pasal 10 UU Nomor 23
Tahun 2004 Tentang PKDRT, adalah:
a. Perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan,
pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya baik
sementara maupun berdasarkan penetapan perintah
perlindungan dari pengadilan;
b. Pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis;
c. Penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban;
d. Pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap
tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan;
e. Pelayanan bimbingan rohani.
Perempuan yang menjadi korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO) juga mengalami dampak fisik, psikis serta sosial, sehingga
korban sangat membutuhkan upaya yang dapat memulihkan
kondisinya. Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang No. 21 Tahun 2007
Tentang PTPPO telah mengamanatkan diberikannya rehabilitasi bagi
korban dimana korban berhak memperoleh rehabilitasi kesehatan,
rehabilitasi sosial, pemulangan, dan reintegrasi sosial dari
7
Laporan Penanganan Hukum P2Tp2A 2009
pemerintah apabila yang bersangkutan mengalami penderitaan baik
fisik maupun psikis akibat tindak pidana perdagangan orang.
Pelaksanan rehabilitasi ini dianggap penting untuk mengembalikan
kondisi korban agar dapat berpartisipasi kembali dalam hidupnya.
Upaya rehabilitasi yang dimanatkan dalam Pasal 51 Ayat (1) UndangUndang Tentang PTPPO tersebut mencakup berbagai hal, yaitu:
1. Rehabilitasi kesehatan, yakni pemulihan kondisi semula baik fisik
maupun psikis.
2. Rehabilitasi Sosial, yakni pemulihan dari gangguan terhadap
kondisi mental sosial dan pengembalian keberfungsian sosial agar
dapat melaksanakan perannya kembali secara wajar baik dalam
keluarga maupun dalam masyarakat.
3. Reintegrasi sosial, yakni penyatuan kembali korban tindak pidana
perdagangan orang kepada pihak keluarga atau pengganti keluarga
yang dapat memberikan perlindungan dan pemenuhan kebutuhan
bagi korban.
4. Pemulangan. Hak atas “pemulangan” harus dilakukan dengan
memberi jaminan bahwa korban benar-benar menginginkan
pulang, dan tidak beresiko bahaya yang lebih besar bagi korban
tersebut.
Dalam rangka pemenuhan hak-hak korban tindak perdagangan orang
ini secara khusus telah diatur dalam PP No. 9 tahun 2008.
Meski secara khusus tidak mengatur hak-hak perempuan korban
kekerasan, Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan
Saksi Korban memberikan peluang bagi perempuan yang menjadi
saksi/korban, karena dalam Pasal 5 ayat 1 Undang-Undang Tentang
Perlindungan Saksi Korban disebutkan bahwa saksi dan korban
memiliki hak-hak sebagai berikut:
a. memperoleh perlindungan dan keamanan pribadi, keluarga dan
harta benda serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan
kesaksian yang akan, sedang dan telah diberikannya
8
Laporan Penanganan Hukum P2TP2A 2009
b. ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk
perlindungan dan dukungan keamanan
c. memberikan keterangan tanpa tekanan
d. mendapat penterjemah
e. bebas dari pertanyaan yang menjerat
f. mendapat informasi mengenai perkembangan kasus
g. mendapat informasi mengenai putusan pengadilan
h. mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan
i. mendapatkan identifikasi baru
j. mendapatkan tempat kediaman baru
k. memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan
kebutuhan
l. mendapat nasihat hukum dan atau,
m. memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu
perlindungan berakhir.
Adapun lembaga yang bertugas memberikan perlindungan ada
lembaga Perlindungan Saksi Korban (LPSK).
Hak-hak tersebut di atas menimbulkan kewajiban bagi pihak-pihak
yang terkait (pemerintah, keluarga, kepolisian, kejaksaan, advokat,
lembaga sosial, lembaga kesehatan, dan sebagainya) untuk
memenuhinya.
Sebagai pelaksana UU No. 23 Tahun 2004, Pemerintah telah
mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2006 Tentang
Penyelenggaraan dan Kerjasama Pemulihan Korban Kekerasan Dalam
Rumah Tangga, kemudian juga ada Peraturan Menteri Negara
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI Nomor 01 Tahun
2010 Tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Layanan Terpadu
Bagi Perempuan dan Anak Korban Kekerasan. Berdasarkan peraturan
ini, pemerintah dan pemerintah daerah serta lembaga sosial diminta
untuk bekerjasama menyelenggarakan kegiatan pemulihan terhadap
korban yang meliputi pelayanan kesehatan, pendampingan korban,
9
Laporan Penanganan Hukum P2Tp2A 2009
konseling, bimbingan rohani dan resosialisasi. Dalam memenuhi hakhak korban untuk mendapatkan pemulihan ini, semua pihak
bekerjasama menyediakan berbagai fasilitas, mulai dari ruang
pelayanan khusus hingga rumah aman serta sarana dan prasarana
lainnya yang tersedia dalam bentuk pusat pelayanan terpadu.
Peran Aparat Penegak Hukum, khususnya Kepolisian, Advokad
dan Pengadilan dalam memberikan perlindungan dan pelayanan bagi
korban KDRT adalah sebagai berikut :
1. Berdasarkan Pasal 16 – 20 Undang-Undang Tentang PKDRT, saat
kepolisian menerima Laporan mengenai kasus KDRT, mereka harus
segera menerangkan mengenai hak - hak korban untuk
mendapatkan Pelayanan dan Pendampingan. selain itu, sangat
penting pula bagi pihak kepolisian untuk memperkenalkan
identitas mereka serta menegaskan bahwa KDRT adalah Sebuah
Kejahatan terhadap Kemanusiaan sehingga sudah menjadi
kewajiban dari Kepolisisan untuk melindungi Korban.
Setelah menerima laporan tersebut, langkah - langkah yang harus
diambil kepolisian adalah :
- Memberikan Perlindungan sementara pada korban ;
- Meminta Surat Penetapan Perintah Perlindungan dari
pengadilan;
- Melakukan Penyidikan.
2. Dalam hal memberikan perlindungan dan pelayanan bagi korban
maka Advokat wajib (berdasarkan Pasal 25 Undang-Undang Tentang
PKDRT) :
- Memberikan konsultasi hukum yang mencakup informasi
mengenai hak - hak korban dan proses peradilan ;
- Mendampingi korban ditingkat penyidikan, penuntutan dan
pemeriksaan dalam sidang pengadilan dan membantu korban
10
Laporan Penanganan Hukum P2TP2A 2009
untuk sacara lengkap memaparkan kekerasan dalam rumah
tangga yang dialaminya; atau
- Melakukan koordinasi dengan sesama penegak hukum, relawan
pendamping, dan pekerja sosial agar proses peradilan berjalan
sebagaimana mestinya.
3. Sementara itu, Undang-Undang Tentang PKDRT tak luput mengatur
bagaimana peran Pengadilan dalam memberikan Perlindungan
terhadap Korban, khususnya mengenai pelaksanaan mekanisme
perintah perlindungan. seperti telah disebutkan di atas, bahwa
kepolisian harus meminta surat penetapan perintah perlindungan
dari pengadilan. maka setelah menerima permohonan itu,
pengadilan harus :
- Mengeluarkan surat penetapan yang berisikan perintah
perlindungan bagi korban dan anggota keluarga lain ( Pasal 28 );
- Atas Permohonan korban atau kuasanya, Pengadilan dapat
mempertimbangkan untuk menetapkan suatu kondisi khusus
yakni pembatasan gerak pelaku, larangan memasuki tempat
tinggal bersama, larangan membuntuti, mengawasi atau
mengintimidasi korban ( Pasal 31 ).
- Apabila terjadi pelanggaran perintah perlindungan, maka
korban dapat melapor ke kepolisian, kemudian bersama-sama
menyusun laporan yang di tujukan kepada pengadilan.
- Pihak Kepolisian wajib memanggil pelaku untuk mengadakan
penyidikan dan meminta pelaku untuk membuat pernyataan
tertulis yang isinya berupa kesanggupan untuk mamatuhi
perintah perlindungan.
- Apabila pelaku tetap melanggar surat pernyataan itu, maka
pengadilan dapat menahan pelaku sampai 30 hari lamanya (Pasal
38).
Dalam memberikan perlindungan terhadap korban KDRT ini,
11
Laporan Penanganan Hukum P2Tp2A 2009
Aparat Penegak Hukum dapat bekerja sama dengan Tenaga
Kesehatan, Pekerja Sosial, Relawan pendamping dan pembimbing
rohani untuk mendampingi korban. Pasal 21 - 24 Undang-Undang
PKDRT.
1. Setelah mengetahui adanya kasus KDRT, maka petugas kesehatan
berkewajiban untuk memeriksa kesehatan korban, kemudian
membuat laporan tertulis mengenai hasil pemeriksaan serta
membuat Visum et Repertum atau surat keterangan.
2. Dalam melayani korban kasus KDRT, ada beberapa hal yang harus
di lakukan oleh Pekerja Sosial :
- Melakukan Konseling untuk menguatkan korban ;
- Menginformasikan mengenai hak - hak korban ;
- Mengantarkan korban ke rumah aman (Shiliter);
- Berkoordinasi dengan pihak kepolisian, Dinas Sosial dan
Lembaga lain demi kepentingan korban
3. Tugas dari Relawan Pendamping, yakni :
- Menginformasikan mengenai hak korban untuk mendapatkan
seorang atau lebih pendamping ;
- Mendampingi korban di tingkat penyidikan, penuntutan atau
tingkat pemeriksaan pengadilan dengan membimbing korban
agar dapat memaparkan kekerasan yang dialaminya secara
objektif dan lengkap ;
- Mendengarkan segala penuturan korban ;
- Memberikan penguatan kepada korban secara psikologis
maupun fisik.
Demi kepentingan korban, maka pembimbing rohani harus
memberikan penjelasan mengenai hak, kewajiban dan memberikan
penguatan iman serta takwa.
12
Laporan Penanganan Hukum P2TP2A 2009
BAB II
PENTINGNYA PENDAMPINGAN DALAM
PROSES HUKUM
Seperti diuraikan sebelumnya bahwa pentingnya penegakkan
hukum dalam kasus kekerasan dalam rumah tangga antara lain adalah
untuk melindungi kepentingan korban yang dalam hal ini kebanyakan
perempuan dan anak-anak dan menindak para pelaku kekerasan
dalam rumah tangga tersebut.
Banyaknya perempuan dan anak-anak yang menjadi korban
kekerasan dalam rumah tangga dan tindak pidana perdagangan orang (trafiking) identik sebagai kelompok yang “lemah” dalam
masyarakat kita diakui atau tidak, baik secara fisik, mental, ekonomi
ataupun sosial. Misalnya seorang istri yang takut untuk melaporkan
kasus kekerasan yang menimpa dirinya dikarenakan takut untuk
dipersalahkan telah membuka aib keluarga, dianggap tidak becus
mengurus keluarga, atau malah dengan melapor kepada aparat
penegak hukum malah akan memperparah kekerasan yang
dialaminya atau malah diceraikan oleh suaminya, bagaimana nasib
anak-anaknya selanjutnya? Sedangkan korban masih mencintai
suaminya dan berharap keadaan bisa membaik. Ketidakberdayaan
karena berbagai macam keadaan yang dihadapi menyebabkan banyak
perempuan korban kekerasan terlalu lemah untuk mengajukan
tuntutan hukum terhadap para pelanggar hukum.
Kesadaran seorang perempuan atas haknya akan rasa aman dan
bebas dari segala bentuk kekerasan menjadi tanggung jawab semua
pihak baik negara maupun masyarakat sebagaimana amanat Konstitusi
Negara disamping yang utama adalah pengakuan terhadap harkat dan
13
Laporan Penanganan Hukum P2Tp2A 2009
martabat kemanusiaan. Untuk itu diperlukan “pendampingan” kepada
perempuan korban KDRT tersebut.
Dalam rangka melakukan implementasi kebijakan bagi
perempuan korban kekerasan, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah
membentuk Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan
dan Anak yang disingkat P2TP2A melalui Surat Keputusan Gubernur
Provinsi DKI Jakarta No. 64 Tahun 2004 jo. SK Gubernur Provinsi DKI
Jakarta No. 55 Tahun 2005.
P2TP2A adalah pusat kegiatan terpadu yang menyediakan
pelayanan bagi perempuan dan anak korban kekerasan di Provinsi
DKI Jakarta, meliputi pelayanan informasi, pelayanan psikososial,
pelayanan advokasi dan pendampingan hukum, pelayanan medis
serta pelayanan rumah aman melalui rujukan secara gratis.
Dalam rangka pemenuhan hak-hak korban secara komprehensif,
P2TP2A DKI Jakarta telah membangun jaringan kerjasama dengan
berbagai instansi dan lembaga terkait yang disebut “MITRA KERJA”
antara lain Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) dari Polda
Metro Jaya, Advokat, Petugas Kesehatan, Relawan Pendamping dan
pihak terkait lainnya.
Selain itu ada “MITRA PRAJA UTAMA” (MPU) dengan anggota 10
Provinsi antara lain, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur,
DI Yogyakarta, Banten, bali, NTT, NTB dan Lampung. Pemerintah
Daerah yang tergabung dalam MPU tersebut membuat kesepakatan
(MoU) dengan komitmen untuk menyelesaikan masalah secara
bersama : kesehatan, pariwisata, tenaga kerja, perindustrian,
pekerjaan umum, perhubungan, pemerintahan dan pemberdayaan
perempuan, termasuk masalah pemulangan dan reintegrasi korban
trafiking.
14
Laporan Penanganan Hukum P2TP2A 2009
Kerjasama pemulihan korban sangat penting mengingat korban
kekerasan terhadap perempuan dan anak biasanya mengalami
dampak fisik, psikis dan sosial yang harus ditangani secara
komprehensif. Penanganan secara komprehensif, cepat dan tepat
dapat memulihkan korban sehingga dapat kembali berdaya dan
kembali pada kehidupan normalnya di masyarakat.
Hingga saat ini Mitra Kerja P2TP2A yang terbentuk dalam jaringan
kerja penanganan korban adalah Unit PPA Polda Metro Jaya yang
membawahi Unit PPA di polres-polres seluruh wilayah DKI Jakarta
dan LKBH Peka untuk pelayanan hukum, Dinas Sosial dan Kementrian
Sosial untuk pelayanan rumah aman, serta Dinas Kesehatan untuk
pelayanan medis. Penanganan korban oleh Kepolisian ini selain telah
dibentuknya Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) di
Lingkungan Polri berdasarkan Peraturan Kapolri Nomor 10 Tahun 2007,
diperkuat dengan adanya Surat Kesepakatan Bersama 3 Menteri dan
kapolri No. Pol : B/3018/X/2002 tanggal 23 Oktober 2002 Tentang
Pelayanan terpadu Terhadap Perempuan dan Anak Korban kekerasan;
Skep Kapolri No. Pol : SKEP/759/III/2003 Tentang Pendirian Pusat
Pelayanan Terpadu (PPT) di RS Polri dan Peraturan Kapolri No. 3 tahun
2008 Tentang Pembentukan Ruang Pelayanan Khusus (RPK) dan Tata
Cara Pemeriksaan Saksi dan atau Korban Tindak Pidana. Sedangkan
untuk pelayanan medis, hal ini diperkuat dengan dikeluarkannya SK
Kepala Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta No. 10750/2006 yang
disusul dengan Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta No. 55/2007
tentang Jaminan Pemeliharaan Kesehatan bagi Keluarga Miskin dan
Korban Bencana, termasuk diantaranya perempuan dan anak korban
kekerasan yang dapat dilayani melalui 17 RS dan puskesmas
kecamatan.
15
Laporan Penanganan Hukum P2Tp2A 2009
Salah satu program kerja yang dilakukan P2TP2A Provinsi DKI
Jakarta untuk mengantisipasi tingginya jumlah korban tersebut diatas
adalah dengan cara melakukan pendampingan :
1. Pendampingan dalam proses hukum kepada korban yang dilakukan
dengan cara memberikan konsultasi hukum, membantu membuatkan pendapat hukum, melakukan mediasi serta sebagai kuasa
hukum di pengadilan. Melalui pendampingan tersebut, para korban dapat menjadi semakin berdaya dalam menghadapi sistem
hukum yang tidak sepenuhnya berpihak kepada mereka;
2. Pendampingan untuk pemulihan psikologis yang dilakukan dengan
cara memberikan konseling dan terapi untuk penguatan bagi
korban; dan
3. Pendampingan untuk menyelesaikan masalah.
Peran pendamping sangat penting karena mereka adalah sebagai
ujung tombak pelayanan yang diberikan oleh P2TP2A Provinsi DKI
Jakarta, Pendamping sudah terlatih memahami hak-hak korban dan
pelayanan yang dibutuhkan termasuk tempat-tempat yang dijadikan
rujukan, siap setiap saat korban membutuhkan, memiliki waktu yang
cukup untuk melakukan pendampingan dan bisa memberikan
penguatan psikologis bagi korban untuk mengatasi masalah yang
kompleks. Pendampingan terhadap korban juga merupakan salah satu
media melakukan pemantauan terhadap kinerja aparat penegak
16
Laporan Penanganan Hukum P2TP2A 2009
hukum dan perubahan sikap aparat penegak hukum dalam menangani
perempuan dan anak korban tindak kekerasan.
Alur Pelayanan Korban di P2TP2A Provinsi DKI Jakarta
Pelayanan Hukum di P2TP2A DKI JAKARTA
Memberikan pelayanan hukum bagi korban, yang meliputi:
• Konsultasi Hukum
• pendamping/kuasa hukum
Mitra kerja: Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) Polda dan
Polres wilayah, Kejaksaan dan Pengadilan
Skema Proses Hukum Kasus KDRT
17
Laporan Penanganan Hukum P2Tp2A 2009
Skema Proses Hukum Perkara Perdata
di Pengadilan Agama atau Pengadilan Negeri
Selain memberikan pelayanan hukum, P2TP2A DKI Jakarta juga
melakukan pendampingan untuk pemulihan psikologis korban
kekerasan terhadap perempuan dan anak. Penderitaan fisik yang
dialami korban kekerasan antara lain luka-luka fisik, cacat tubuh dan
gangguan fisik seperti sakit kepala, gangguan pencernaan, dan lainlain. Selain itu korban mengalami gangguan psikis yang membuatnya
tidak mampu untuk berkonsentrasi, sulit untuk membuat keputusan,
tidak mempercayai penilaiannya sendiri, mudah curiga pada orang
lain, cara memandang dunia yang negatif pada diri sendiri, orang lain
dan dunia pada umumnya.
Perilaku korban kekerasan biasanya menjadi pemurung, mudah
menangis, agresif, mengurung diri, tidak mau bicara dan menuntut
sedangkan perasaannya menjadi mudah mudah berubah-ubanh
menjadi bingung, marah, malu, cemas, merasa bersalah, dan takut.
Akhirnya menarik diri dari lingkungan atau orang lain dan selalu
menutupi penampilannya. Untuk itu dilakukan upaya penguatan
psikologis kepada para korban tindak kekerasan.
18
Laporan Penanganan Hukum P2TP2A 2009
Manfaat Penguatan Psikologis ini antara lain :
 Mengatasi kesedihan, kemarahan yang bersifat destruktif/
merusak diri sendiri;
 Membantu korban memahami masalah yang dihadapi dengan
berbagai kompleksitasnya;
 Memberdayakan korban, menumbuhkan kemandirian, membantu
tumbuhnya harapan;
 Menumbuhkan sikap positif terhadap diri sendiri dan terhadap
kehidupan;
 Korban dapat mengambil keputusan sendiri untuk melanjutkan
hidupnya.
Bentuk Penguatan Psikologis :
1. Individual
 Pendampingan: Menemani & memberi dukungan yg bersifat
konkrit & intens utk menguatkan survivor
 Konseling: Percakapan yg dilakukan secara sengaja dengan
tujuan tertentu.
2. Kelompok (Support Group)
 Survivor tidak merasa sendiri
 Saling menguatkan
 Memberdayakan
19
Laporan Penanganan Hukum P2Tp2A 2009
20
Laporan Penanganan Hukum P2TP2A 2009
BAB III
LAPORAN PENANGANAN KASUS HUKUM
P2TP2A Provinsi DKI Jakarta sejak tahun 2007 sampai dengan
tahun 2009 telah menangani 3991 orang perempuan dan anak korban
kekerasan. Sebagai lembaga nirlaba, mayoritas korban yang kasusnya
ditangani oleh P2TP2A adalah perempuan dan anak yang secara
ekonomi termasuk dalam golongan tidak mampu. Kalaupun ada korban
yang terlihat mampu, namun sebenarnya korban tidak mempunyai
akses ke sumber keuangan karena pelaku berusaha mengkondisikan
korban sebagai pihak yang sangat tergantung secara ekonomi kepada
pelaku.
Kondisi korban yang lemah secara ekonomi kerap kali berimplikasi
pada keberanian korban untuk melaporkan sendiri kasus kekerasan
yang dialaminya kepada aparat penegak hukum tanpa didampingi
pengacara. Karena itulah melakukan pemberdayaan hukum kepada
korban menjadi salah satu prioritas P2TP2A sebagai upaya merubah
“budaya hukum” perempuan sebagai obyek kekerasan.
21
Laporan Penanganan Hukum P2Tp2A 2009
Pada institusi penegak hukum khususnya kepolisian, kesadaran
untuk memberikan perlakuan khusus (affirmative action) terhadap
perempuan dan anak korban kekerasan dapat dilihat dengan
terbentuknya sebuah unit khusus yaitu Unit Pelayanan Perempuan
dan Anak (PPA). Para penyidik yang bertugas pada Unit Pelayanan
Perempuan dan Anak ini adalah para polisi wanita sehingga
diharapkan perempuan korban kekerasan dapat lebih terbuka dalam
menceritakan kasusnya ketimbang ketika ditangani oleh polisi pria.
Para penyidik di Unit PPA telah mengikuti berbagai pelatihan
konseling sehingga pada saat pembuatan Berita Acara Pemeriksaan
(BAP) pun korban akan merasa sangat nyaman. Pertanyaanpertanyaan yang diajukan oleh penyidik dikemas sedemikian rupa
dan diupayakan tidak menyinggung trauma korban. Sangat berbeda
ketika belum terbentuk unit PPA. Penyidik polisi pria lebih cenderung
menyudutkan dan menyalahkan korban serta menuding justru
korbanlah yang menjadi sumber penyebab terjadinya kekerasan.
Tersedianya unit PPA di institusi kepolisian tidak dibarengi
dengan terbentuknya unit sejenis PPA di institusi kejaksaan dan
pengadilan. Hal ini sering kali menjadikan proses hukum terhambat
bahkan dihentikan. Pola pikir dan sudut pandang yang belum sejalan
22
Laporan Penanganan Hukum P2TP2A 2009
antara institusi kepolisian dan institusi kejaksaan terhadap kasuskasus kekerasan terhadap perempuan membuat berkas perkara
banyak yang tidak sampai ke proses persidangan di Pengadilan;
Sebagai contoh dalam hal pembuktian beberapa kasus kekerasan
dalam rumah tangga, pihak kepolisian dalam hal ini PPA sudah
berpegang pada ketentuan pasal-pasal dalam Undang-undang Nomor
23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga,
namun dipihak kejaksaan masih saja berpegang pada pasal-pasal
pembuktian yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara
Pidana. Seharusnya sesuai dengan azas “lex spesialis derogate lex
generalis”, kejaksaan dapat menerapkan pasal-pasal khusus dalam
Undang-Undang PKDRT sekaligus menjadikan pasal-pasal dalam
KUHAP sebagai dasar membuat surat dakwaan berlapis yang dapat
menjerat pelaku kekerasan dalam rumah tangga.
Demikian juga pada proses persidangan, secara umum sensitifitas
hakim pada kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan masih sangat
rendah. Hakim sering kali memandang kasus kekerasan terhadap
perempuan sebagai kasus tidak popular dan dipandang sebelah mata.
23
Laporan Penanganan Hukum P2Tp2A 2009
Lebih jauh lagi jika kita kaitkan dengan praktek mafia peradilan yang
masih terjadi, maka pada proses hukum kasus-kasus kekerasan
terhadap perempuan, posisi korban sangat rentan untuk dikalahkan
karena berdasarkan pengalaman pendampingan yang dilakukan
P2TP2A, kemampuan ekonomi korban selalu dibawah kemampuan
ekonomi pelaku. Bahkan pada beberapa kasus KDRT status pelaku
sebagai pencari nafkah oleh Majelis Hakim dijadikan pertimbangan
yang meringankan bagi pelaku. Padahal korban ketika melaporkan
kasusnya sudah sangat mempertimbangkan dan menyiapkan diri
menghadapi resiko kehilangan sumber pendapatan dari pelaku/
suami.
Mengambil keputusan untuk menempuh jalur hukum atau tidak
merupakan pilihan yang berat bagi korban, karena itu pendampingan
secara psikologis diberikan oleh P2TP2A untuk menguatkan korban
atas keputusannya. Penguatan psikologis juga diberikan pada saat
korban menjalani proses hukum yang cenderung tidak berpihak
kepada korban.
GAMBARAN KASUS YANG DITANGANI P2TP2A DKI JAKARTA
Beberapa kasus menonjol yang ditangani oleh P2TP2A Provinsi
DKI Jakarta antara lain adalah:
1. KASUS KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (KDRT)
Kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) merupakan kasus
yang paling banyak ditangani oleh P2TP2A sejak tahun 2007 sampai
dengan 2009. Pada tahun 2007, kasus KDRT mencapai 81% dari
keseluruhan kasus yang ditangani. Dilihat dari bentuk kekerasan yang
dialami korban, KDRT yang terjadi terdiri dari: 51% kasus kekerasan
fisik, 9% kasus kekerasan psikis, 20% kasus kekerasan seksual, 7%
kasus penelantaran rumah tangga.
24
Laporan Penanganan Hukum P2TP2A 2009
Selanjutnya pada tahun 2008, kasus KDRT mencapai 79% dari
keseluruhan kasus yang ditangani. Dilihat dari bentuk kekerasan yang
dialami korban, KDRT yang terjadi terdiri dari: 63% kasus kekerasan
fisik, 14% kasus kekerasan psikis, 7% kasus kekerasan seksual, 5%
kasus penelantaran rumah tangga.
25
Laporan Penanganan Hukum P2Tp2A 2009
Sedangkan pada tahun 2009, kasus KDRT mencapai 84% dari
keseluruhan kasus yang ditangani. Dilihat dari bentuk kekerasan yang
dialami korban, KDRT yang terjadi terdiri dari: 68% kasus kekerasan
fisik, 12% kasus kekerasan psikis, 1% kasus kekerasan seksual, 3%
kasus penelantaran rumah tangga.
26
Laporan Penanganan Hukum P2TP2A 2009
Sedangkan jumlah kasus lain yang ditangani berkisar antara 11%
sampai dengan 16 % dari seluruh kasus yang ditangani. Kasus-kasus
tersebut meliputi: Diskriminasi terhadap anak, penganiayaan
terhadap anak, pencabulan, persetubuhan terhadap anak, eksploitasi
anak, perkosaan, perzinahan, penculikan, membawa lari anak,
kejahatan dalam perkawinan, perbuatan tidak menyenangkan,
penganiayaan, mencabut kuasa dari yang berhak, kejahatan dalam
kesopanan, pelecehan seksual, pengeroyokan dan pengancaman;
Bentuk-bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang dialami
korban :
Kekerasan fisik
Adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau
luka berat. (Pasal 6 Undang-Undang Tentang PKDRT)









di tendang
di pukul dengan tangan
dipukul dengan alat
membenturkan kepala
diludahi
dibanting/didorong
diseret
digunduli
dijenggut rambut
Kekerasan psikis
Adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa
percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak
berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang. (Pasal 7
Undang-Undang Tentang PKDRT)
27
Laporan Penanganan Hukum P2Tp2A 2009






poligami tanpa ijin
dimaki-maki dengan kata-kata kasar
selingkuh
pemutusan hubungan silaturahmi dengan keluarga
larangan bersosialisasi dengan masyarakat sekitar
suami otoriter
Kekerasan seksual
Adalah setiap perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan
seksual, pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar, dan/
atau tidak disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain
untuk tujuan komersial dan /atau tujuan tertentu. (Penjelasan Pasal
8 Undang-Undang Tentang PKDRT)
Memaksa berhubungan seksual
 Memaksa melakukan gaya tertentu saat berhubungan seksual
 Memaksa memasukkan benda ke dalam vagina
 Memaksa istri berhubungan seksual dengan orang lain

Kekerasan ekonomi/Penelantaran
Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah
tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena
persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan,
perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut. (Pasal 9 ayat
(1) Undang-Undang Tentang PKDRT)
Tidak diberi nafkah
 Diberi nafkah namun tidak mencukupi padahal suami mampu;
 Dilarang bekerja

Meningkatnya kasus KDRT yang ditangani oleh P2TP2A, terutama
kekerasan fisik, menunjukkan adanya peningkatan kesadaran
28
Laporan Penanganan Hukum P2TP2A 2009
perempuan bahwa KDRT merupakan kejahatan serta KDRT yang
dialaminya bukan lagi merupakan masalah privat melainkan masalah
publik yang tidak harus ditutup-tutupi.
Namun demikian tidak semua kasus KDRT yang dilaporkan ke
kepolisian dapat terus diproses secara hukum sampai ke tingkat
pengadilan. Banyak sekali kendala yang dihadapi oleh para korban
dalam proses hukum, antara lain:

Walaupun Pasal 55 Undang-Undang Tentang PKDRT menyatakan
bahwa :
“Sebagai salah satu alat bukti yang sah, keterangan seorang saksi
korban saja sudah cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa
bersalah, apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah
lainnya”.
Alat bukti yang sah lainnya yang dimaksud misalnya bukti
kekerasan fisik yang dibuktikan oleh hasil pemeriksaan medis,
sehingga bukti berupa keterangan seorang saksi korban dan hasil
pemeriksaan medis cukup untuk diajukan sebagai alat bukti,
seringkali proses hukum kasus-kasus KDRT terhambat dengan
alasan tidak ada saksi;

Balasan yang dilakukan korban untuk melindungi dirinya dijadikan
dasar oleh pelaku untuk melaporkan balik korban sehingga
akhirnya korban mencabut laporannya;

Belum ada batasan yang jelas mengenai kekerasan psikis dan
penelantaran rumah tangga sehingga Laporan seringkali tidak bisa
ditindaklanjuti;
29
Laporan Penanganan Hukum P2Tp2A 2009
Pasal 7 Undang-Undang Tentang PKDRT menyatakan:
“Kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan
ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan
untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis
berat pada seseorang.”
Pasal ini lebih menekankan pada akibat perbuatan, bukan
perbuatannya.

Belum ada unit khusus di tingkat kejaksaan yang menangani Kasuskasus KDRT sehingga seringkali timbul ketidaksepahaman antara
Kepolisian dan Kejaksaan;

Seringkali korban terlambat melaporkan sehingga bekas-bekas
akibat kekerasan yang ada ditubuh korban sudah hilang;

Proses hukum yang lama menyebabkan korban lebih memilih
mengajukan gugatan perceraian sebagai solusi untuk
menghentikan kekerasan;

Pada kasus-kasus penelantaran nafkah, yang dibutuhkan oleh
korban adalah pemenuhan nafkah bukan pemberian sanksi.
Undang-Undang Tentang PKDRT tidak dapat mengakomodir hal
tersebut. Bahkan pada kasus perceraian dimana Pengadilan
memutuskan bapak untuk memberikan nafkah bulanan terhadap
anak, jika bapak tidak menjalankannya, maka korban hanya bisa
“gigit jari”.
Setelah beberapa tahun berlaku dan disosialisasikannya UndangUndang No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam
Rumah Tangga (PKDRT) telah terjadi perubahan yang cukup signifikan
30
Laporan Penanganan Hukum P2TP2A 2009
pada sikap aparat penegak hukum dalam menangani kasus KDRT,
misalnya tidak lagi ditemukan aparat kepolisian yang berdalih dan
menolak serta tidak mau membuat Surat Tanda Penerimaan Laporan
Pengaduan dengan alasan apa yang dilaporkan adalah masalah rumah
tangga sehingga diselesaikan saja secara kekeluargaan.
Selain itu dalam pemeriksaan, aparat juga tidak lagi berpihak pada
suami dan justru mencari-cari kesalahan pelaku. Tidak terjadi lagi
upaya aparat untuk mendamaikan pelaku dan pelapor atas
kepentingan pelaku. Jika terjadi perdamaian dan perkara dicabut
semata-mata karena keinginan pelapor/korban. Bahkan dijumpai ada
kasus KDRT yang ditangani, ketika pelapor/korban dan pelaku
berdamai dan sepakat untuk mencabut laporan, pihak Kejaksaan
menolak dan meneruskan kasusnya sampai ke Pengadilan.
Jika dilihat dari jumlah keseluruhan kasus KDRT yang diterima
P2TP2A, jumlah korban yang mau melaporkan kasusnya ke pihak
kepolisian masih sangat minim. Masih minimnya atau masih
sedikitnya keinginan dari korban KDRT untuk menempuh proses
hukum atas kekerasan yang dialaminya, disebabkan oleh beberapa
faktor antara lain: adanya ketakutan korban seandainya pelaku
dihukum bagaimana dengan anak-anak mereka yang nantinya diejek
oleh teman-temannya dengan mengatakan “bapak kamu penjahat”,
korban juga khawatir jika pelaku dihukum maka siapa nantinya yang
akan membiayai kehidupan sehari-hari dan biaya pendidikan anakanak mereka, korban juga ketakutan seandainya pelaku dihukum
penjara maka sekeluarnya pelaku dari tahanan akan “membalas
dendam” kepada korban.
Namun demikian yang menjadi pertimbangan terbesar pada diri
korban sehingga tidak melapor adalah kekhawatiran korban akan
proses hukum dan sistem hukum yang tidak berpihak kepada korban
sehingga pada akhirnya korban justru malah terombang-ambing oleh
31
Laporan Penanganan Hukum P2Tp2A 2009
proses hukum yang tidak jelas dan berlarut-larut, selain itu korban
juga enggan melalui proses hukum yang memang memerlukan waktu
cukup panjang atau lama untuk menyelesaikan kasusnya.
Kendala-kendala tersebut di atas bukanlah hal baru dan selalu
muncul dari tahun ke tahun. Korban biasanya memilih menempuh
proses perceraian untuk menghentikan kekerasan yang dialaminya.
Dari jumlah korban Kekerasan dalam rumah tangga yang datang ke
P2TP2A, 6 % korban menempuh proses perceraian.
2.
KASUS KEKERASAN SEKSUAL
Untuk kasus perkosaan dan pencabulan, yang banyak menjadi
korban adalah anak-anak. Pada kasus perkosaan dan percabulan masih
ada aparat kepolisian yang tidak mau menerima laporan korban
dengan alasan waktu kejadian dengan saat pelaporan sudah terlalu
lama serta tidak ada saksi. Dan hal yang menarik adalah korban sudah
dibuatkan Surat Pengantar untuk Visum, tetapi tidak ada tindak lanjut
dari kasus itu, atau tidak dibuatkan Surat Tanda Terima Laporan/
Pengaduan, bahkan dalam kasus-kasus yang tidak ada saksinya, korban
malah ditakut-takuti nantinya bisa dilaporkan oleh pelaku karena telah
mencemarkan nama baik pelaku.
32
Laporan Penanganan Hukum P2TP2A 2009
Kendala yang dialami P2TP2A ketika mendampingi korban adalah
korban menghilangkan alat bukti, tidak ada saksi dan terlambat
melapor. Kebanyakan korban kekerasan seksual sangat trauma dengan
kekerasan yang dialaminya sehingga cenderung menghilangkan alat
bukti seperti: korban langsung mandi karena merasa dirinya kotor
dan jijik kepada pelaku sehingga bukti bekas sperma pun hilang,
korban juga membuang pakaian yang dipakai saat terjadinya
kekerasan, tidak ada saksi melihat, setelah kejadian korban
cenderung menutup diri dan ketika melapor sudah terlambat untuk
membuat visum yang valid.
Pemeriksaan kasus tindak pidana dalam suatu proses peradilan
pada hakekatnya adalah untuk mencari kebenaran materiil atas
perkara tersebut, karena itu peran alat bukti sangat penting sekali.
Alat bukti yang biasanya diajukan berupa hasil visum et repertum.
Tetapi jika ada kendala berupa keterbatasan dalam hasil visum
tersebut sebaiknya Penyidik mengupayakan adanya “Keterangan
Ahli” untuk mengungkap kebenarasn materiil atas perkara tersebut
demi kepentingan korban.
3.
KASUS KEKERASAN TERHADAP ANAK
Pada penanganan kasus-kasus kekerasan terhadap anak, pihak
kepolisian sudah memiliki kesadaran untuk menerapkan pasal-pasal
Undang-undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Perubahan sikap aparat kepolisian ini mulai terjadi setelah 3 tahun
berlakunya Undang-undang Perlindungan Anak tersebut. P2TP2A
termasuk salah satu lembaga yang turut serta mensosialisasikan
Undang-Undang Perlindungan Anak tersebut kepada para penegak
hukum baik melalui seminar, diskusi, pelatihan maupun melalui para
pendamping korban yang terjun langsung bertemu dengan para
penyidik.
33
Laporan Penanganan Hukum P2Tp2A 2009
Sebelum berlakunya Undang-undang Perlindungan Anak, pada
kasus persetubuhan terhadap anak penyidik biasanya menerapkan
Pasal 290 Kitab Undang Undang Hukum Pidana dengan tuduhan
melakukan perbuatan cabul dengan ancaman maksimal 7 tahun
penjara. Setelah berlakunya Undang-undang Perlindungan Anak,
terhadap kasus yang sama pelaku bisa dijerat dengan Pasal 81 dan
Pasal 82 dimana pelaku bisa dijatuhi pidana penjara paling lama 15
tahun dan paling singkat 3 tahun. Sehingga dengan diterapkan Pasal
81 dan Pasal 82 Undang-undang Perlindungan Anak ini maka Majelis
Hakim harus menjatuhi vonis hukuman bagi pelaku minimal 3 tahun
penjara. Tidak seperti ketika menggunakan Pasal 290 KUHP, hakim
seringkali memberikan vonis dibawah 3 tahun penjara kepada pelaku
pencabulan dengan berbagai pertimbangan hukum yang meringankan
pelaku dengan mengesampingkan trauma, masa depan dan rasa
keadilan bagi korban;
4.
KASUS KEJAHATAN DALAM PERKAWINAN
Ketentuan hukum yang mengatur kejahatan perkawinan ini
adalah Pasal 279 Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Yang dimaksud
dengan kejahatan dalam perkawinan adalah melangsungkan
perkawinan pada hal telah ada halangan yaitu perkawinan terdahulu.
Dengan kata lain, Pasal 279 ini menjerat para pelaku poligami tanpa
ijin istri baik yang dilakukan secara tercatat maupun yang dilakukan
secara dibawah tangan.
Pelaku poligami tanpa ijin istri yang dilakukan secara tercatat sudah
pasti melakukan tindak pidana lainnya yaitu pemalsuan identitas.
Pihak pelapor pada kasus kejahatan dalam perkawinan ini bisa
dari pihak istri pertama, bisa juga dari pihak istri kedua dan
selanjutnya. Modus pelaku tindak pidana dalam perkawinan ini
adalah menipu perempuan yang akan dinikahi dengan mengaku
34
Laporan Penanganan Hukum P2TP2A 2009
bujangan atau duda.
Kendala yang biasa dialami korban ketika proses hukum kasus
kejahatan dalam perkawinan adalah korban tidak memiliki buku
nikah/akta perkawinan atau fotokopinya dari perkawinan yang
dilaporkan.
5.
KASUS PELECEHAN SEKSUAL
Faktanya belum ada satu pasal pun dalam ketentuan hukum yang
berlaku di Indonesia yang mengatur mengenai “pelecehan seksual”.
Pihak kepolisian biasanya menggunakan Pasal 289 KUHP tentang
Pencabulan atau Pasal 335 KUHP tentang Perbuatan Tidak
Menyenangkan sebagai dasar pembuatan laporan pengaduan. Alhasil,
jarang sekali kasus pelecehan seksual yang bisa berlanjut proses
hukumnya. Kasus-kasus pelecehan seksual yang selama ini bisa
sampai dengan proses persidangan adalah kasus pelecehan seksual
yang dilaporkan oleh lebih dari satu pelapor/korban. Itupun untuk
kasus-kasus pelecehan seksual yang sudah sampai pada serangan
seksual secara fisik seperti meraba, mencium, memegang, dan
sebagainya. Sedangkan pelecehan seksual yang tidak bersifat
serangan seksual secara fisik, selama pendampingan yang dilakukan
oleh P2TP2A belum pernah ada yang bisa ditindaklanjuti dan hanya
sampai pada tahap pelaporan saja.
Pada kasus pelecehan seksual di tempat kerja yang pelakunya
adalah atasan, korban juga biasanya memiliki banyak pertimbangan
untuk melaporkan kasusnya ke polisi karena korban ketakutan akan
diintimidasi selama bekerja bahkan sampai dengan resiko di PHK oleh
atasan.
Perangkat hukum untuk menegakan kasus-kasus pelecehan
35
Laporan Penanganan Hukum P2Tp2A 2009
seksual ini dirasa sudah cukup tinggal keberanian korban untuk
mengungkapkan kejadiannya dan dukungan dari pihak kepolisian
untuk mengupayakan bukti-bukti yang memadai sehingga pengadilan
dapat menindak tegas pelakunya.
6.
KASUS INGKAR JANJI MENIKAH
Kasus ingkar janji menikah termasuk juga dalam kasus yang tidak
diatur dengan pasal manapun dalam ketentuan hukum yang berlaku
di Indonesia. Ketika korban melapor ke pihak kepolisian, pihak
kepolisian lebih sering menolak laporan. Kalau pun diterima, pasal
yang digunakan untuk menjerat pelaku adalah Pasal 335 KUHP tentang
perbuatan tidak menyenangkan. Pertimbangan polisi menolak
laporan adalah sekalipun dibuatkan laporan polisi, kasus ingkar janji
menikah tidak akan pernah bisa ditindaklanjuti.
P2TP2A sebagai lembaga yang mendampingi korban menaruh
harapan pada pihak kepolisian untuk dapat membuat terobosan
diluar hukum dalam menangani kasus ingkar janji menikah ini. Paling
tidak melakukan mediasi dengan mempertemukan para pihak.
Walaupun belum tentu berakhir dengan penyelesaian, paling tidak
korban merasa mendapat perlindungan hukum atas kasus ingkar janji
menikah yang dialaminya.
Menentukan ukuran keberhasilan kegiatan kerja P2TP2A DKI
Jakarta dalam melakukan pendampingan, mediasi dan memberikan
konsultasi kepada korban tindak pidana tidak semata pada banyaknya
kasus yang berhasil diselesaikan melalui jalur hukum saja dan atau
berhasil menghukum para pelaku tindak pidana kekerasan dalam
rumah tangga terhadap perempuan dan anak-anak maupun kasuskasus perdagangan orang serta kasus-kasus lainnya tersebut, tetapi
yang juga sangat penting adalah dapat membantu memulihkan
36
Laporan Penanganan Hukum P2TP2A 2009
keadaan korban untuk kembali berdaya dan kembali pada kehidupan
normalnya di keluarga dan masyarakat.
Upaya tersebut misalnya dan yang menjadi salah satu program
P2TP2A adalah untuk membantu korban kekerasan yang notabene
adalah perempuan dan anak-anak yang lemah secara ekonomi adalah
memberikan bantuan sosial. Sebagai salah satu mitra kerja P2TP2A,
Dinas Sosial Provinsi DKI Jakarta dan Departemen Sosial telah lama
membantu memberdayakan para korban kekerasan terhadap
perempuan dan anak yang menjadi klien P2TP2A. Perempuan dan
anak korban kekerasan di Provinsi DKI Jakarta dikategorikan kepada
korban bencana, sehingga mereka juga menjadi kelompok sasaran
yang harus mendapatkan bantuan sosial. Para klien tersebut sangat
membutuhkan bantuan dalam rangka pemulihan dan pemberdayaan
bagi dirinya untuk kembali kepada kehidupan normalnya.
Berdasarkan jumlah korban yang ditangani P2TP2A DKI Jakarta
tahun 2007, dari 1400 lebih kasus yang masuk, ternyata 35 % adalah
anak-anak. Artinya hampir 500 anak di DKI Jakarta menjadi korban
kekerasan dalam rumah tangga. Angka ini tentu saja sangat
memprihatinkan mengingat trauma kekerasan terhadap anak
membutuhkan upaya pemulihan yang lebih lama karena terjadi dalam
masa pembentukan pribadinya.
Sehubungan dengan hal itu P2TP2A juga melakukan kegiatan Support Group bagi anak-anak korban KDRT. Kegiatan ini dilakukan pada
suatu tempat dengan mengajak anak-anak untuk bermain, menonton
film dan menggambar. Kegiatan ini sangat penting untuk memulihkan
anak-anak dari trauma yang mereka hadapi akibat KDRT.
Semoga kemitraan P2TP2A dan Dinas Sosial Provinsi DKI Jakarta,
Departemen Sosial dan Mitra Kerja lainnya dapat terus ditingkatkan
untuk memenuhi kebutuhan perempuan dan anak korban kekerasan
dalam rangka upaya pemberdayaan untuk kembali pada hidup normal di dalam keluarga dan di masyarakat.
37
Laporan Penanganan Hukum P2Tp2A 2009
38
Laporan Penanganan Hukum P2TP2A 2009
BAB IV
KENDALA DAN PELUANG PROSES HUKUM
1. Kendala Penanganan Kasus Kekerasan terhadap Perempuan dan
Anak
Beberapa kendala yang dihadapi oleh P2TP2A DKI Jakarta dan Mitra
Kerja dalam menangani para korban adalah sebagai berikut.
a. Sebagian besar korban yang ditangani oleh P2TP2A Provinsi
DKI Jakarta adalah korban KDRT. Dalam proses hukum kasus
KDRT, hak-hak keadilan bagi para korban masih belum tercapai
secara optimal karena kasus hukum KDRT merupakan delik
aduan, sehingga istri yang menjadi korban dapat mencabut
laporan dan kasus tidak diproses sampai ke pengadilan. Padahal
istri seringkali terpaksa mencabut laporan karena
mendapatkan ancaman dan intimidasi dari suami, yang berupa
penghentian pemberian nafkah, diusir dari rumah, larangan
bertemu dengan anak, hingga ancaman akan diceraikan.
b. Perlindungan bagi perempuan yang menjadi saksi dan korban
masih belum terpenuhi, karena masih adanya ancaman dan
intimidasi serta kemungkinan dilaporkan balik oleh pelaku, baik
secara pidana maupun perdata. Dalam hal ini P2TP2A DKI
Jakarta sebagai saksi dan lembaga yang melindungi juga pernah
mengalaminya.
c. Pembuktian kasus kekerasan psikis masih sulit karena belum
adanya pengakuan atas surat keterangan ahli yang bisa diterima
39
Laporan Penanganan Hukum P2Tp2A 2009
di persidangan. Hal ini sangat berbeda dengan pembuktian
bentuk kekerasan fisik yang relative lebih mudah karena sudah
ada Visum et Repertum (VeR).
d. Hak perempuan korban kekerasan untuk mendapatkan
kerahasiaan masih belum bisa dipenuhi secara maksimal karena
berbagai sebab, antara lain keterlibatan pers yang eksploitatif
dan alasan administrasi yang harus dipenuhi oleh korban.
e. Hak pelayanan kesehatan bagi korban masih terbatas pada 17
RS dan 44 puskesmas kecamatan saja, sementara kebutuhan
pelayanan bagi korban kekerasan terhadap perempuan dan
anak, khususnya KDRT seharusnya dapat dipenuhi di semua
rumah sakit, sehingga mudah dijangkau oleh para korban.
2. Peluang Penanganan Kasus Kekerasan Perempuan di Provinsi DKI
Jakarta
Meski berbagai kendala dalam penanganan korban kekerasan
terhadap perempuan di Provinsi DKI Jakarta masih dialami oleh
P2TP2A dan mitra kerja, peluang yang dapat diharapkan cukup
signifikan, antara lain sebagai berikut:
a. Dukungan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam upaya
pemulihan korban kekerasan terhadap perempuan dan anak
cukup kuat, yang ditunjukkan dengan keterlibatan instansi
terkait dalam gugus tugas penanganan serta alokasi pendanaan
dalam APBD.
b. Payung hukum kerjasama pemenuhan hak-hak bagi perempuan
korban kekerasan terus ditingkatkan, mulai dari SK Kepala
40
Laporan Penanganan Hukum P2TP2A 2009
Dinas, SK Gubernur, Peraturan Gubernur. Saat ini sedang
dibahas penyusunan Perda Perlindungan Perempuan dan Anak
di Provinsi DKI Jakarta. Perda tersebut nantinya dapat menjadi
dasar hukum yang kuat bagi sektor terkait yang bertanggung
jawab dalam memenuhi hak-hak korban kekerasan terhadap
perempuan dan anak, termasuk korban KDRT dan korban
trafiking atau perdagangan orang.
c. Dengan adanya peluang di atas, P2TP2A Provinsi DKI Jakarta
berharap agar berbagai pihak dan sektor terkait dapat
meningkatkan dukungan dan kerjasama agar hak-hak
perempuan korban kekerasan dapat terpenuhi secara
maksimal dan upaya penghapusan kekerasan terhadap
perempuan dapat berjalan secara maksimal.
41
Laporan Penanganan Hukum P2Tp2A 2009
42
Laporan Penanganan Hukum P2TP2A 2009
BAB V
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
1. KESIMPULAN
a. Berbagai keadaan baik ekonomi maupun sosial budaya (budaya
patriakhi, ketimpangan hubungan antara laki-laki dan
perempuan) telah menyebabkan banyak sekali terjadinya
kekerasan dalam rumah tangga terhadap perempuan dan anakanak yang dilakukan di lingkungan keluarga (oleh suami, ayah,
dan pihak-pihak lain) baik itu melakukan kekerasan secara fisik
(pemukulan, dan lain-lain), psikis (tidak memberi nafkah pada
keluarga, dan lain-lain), trafiking (perdagangan terhadap
perempuan dan anak-anak). Hal tersebut memerlukan
penanganan serius dari semua pihak;
b. Sangat penting dilakukan penegakan hukum terhadap kasus
kekerasan dalam rumah tangga untuk melindungi korban
kekerasan dalam rumah tangga, menindak pelaku kekerasan
dalam rumah tangga dan memelihara keutuhan rumah tangga
yang harmonis dan sejahtera;
c. Korban kekerasan yang umumnya adalah perempuan dan anakanak dalam banyak hal dapat dikatakan sebagai pihak yang
“lemah” secara ekonomi, akses terhadap informasi dan lainlain. Untuk itu diperlukan peningkatan pemahaman hak-hak
bagi perempuan korban kekerasan, agar mereka dapat pulih
dan berdaya kembali untuk melanjutkan hidupnya;
d. Hak-hak bagi perempuan dan anak-anak yang menjadi korban
kekerasan dalam rumah tangga salah satunya adalah
43
Laporan Penanganan Hukum P2Tp2A 2009
mendapatkan perlindungan. P2TP2A DKI Jakarta memiliki program kerja dalam upayanya memberikan perlindungan kepada
perempuan dan anak korban kekerasan dengan memberikan
pendampingan dalam proses hukum, penguatan psikologis
maupun mediasi.
e. Kendala yang banyak terjadi terutama berkaitan dengan proses
hukum yang harus dijalankan, banyak aparat hukum masih
belum sepenuhnya memahami apa itu kekerasan terhadap
perempuan dan anak dan hal-hal yang menjadi latar belakang
terjadinya kekerasan tersebut. Walaupun Kepolisian sudah
memiliki Unit PPA tetapi belum diikuti pembentukan institusi
seperti itu di Kejaksaan, sehingga dibidang penuntutan masih
lemah dan akibatnya penjatuhan pidananya oleh hakim
menjadi belum maksimal.
2. REKOMENDASI
a. Harus dilakukan upaya terus-menerus untuk memberi
pemahaman bagi para perempuan korban kekerasan dalam
rumah tangga agar dapat memahami hak-hak nya yang
dilindungi oleh negara, melalui proses pendampingan baik itu
ketika menjalankan proses hukum maupun pendampingan
dalam bentuk penguatan psikologis maupun mediasi.
b. Mendorong peran serta media massa untuk memberikan
informasi dan melakukan sosialisasi secara terus-menerus
mengenai hak-hak perempuan korban korban kekerasan,
terutama KDRT maupun informasi mengenai lembaga yang
membantu menangani kasus-kasus KDRT.
c. Harus ada program pelatihan terpadu khusus bagi Kepolisian,
44
Laporan Penanganan Hukum P2TP2A 2009
Kejaksaan dan Hakim dalam penanganan kasus-kasus tindak
pidana KDRT, agar sinergi dalam upaya penegakan hukum mulai
dari proses penyidikan (mempersiapkan alat-alat bukti),
penuntutan (sesuai dengan Undang-Undang Tentang PKDRT,
dan lain-lain) dan penjatuhan putusan oleh hakim sesuai
dengan undang-undang dan rasa keadilan bagi korban.
d. Banyak peraturan hukum yang harus diterbitkan lebih khusus
sifatnya untuk melindungi korban KDRT, misalnya undangundang yang mengatur tentang tindak pidana perkosaan
mengingat lemahnya pasal-pasal dalam Kitab Undang-undang
Hukum Pidana dan juga kurang memadainya ketentuanketentuan mengenai pembuktian dalam Kitab Undang-undang
Hukum Acara Pidana yang mengatur tindak pidana perkosaan
tersebut. Kemudian di bidang hukum perdata, agar segera
diterbitkan undang-undang yang mengatur mengenai nafkah
mengingat banyaknya kasus nafkah yang tidak bisa
mendapatkan jalan keluarnya;
e. Perlu dibentuk sistem Pelayanan Hukum Terpadu Aparat
Penegak Hukum mulai dari tingkat Kepolisian, Kejaksaan dan
Pengadilan.
45
Laporan Penanganan Hukum P2Tp2A 2009
46
Laporan Penanganan Hukum P2TP2A 2009
DAFTAR PUSTAKA
Harkrisnowo, Harkristuti, Hukum Pidana dan Kekerasan terhadap
Perempuan. PT Alumni 2000.
Hole, Judith and Ellen Levine, “The First Feminist” dalam Women: A
Feminist Perspective (ed), Jo Freeman, California, Mayfield
Publishing Co. 1979.
Komnas Perempuan 2007, Di Rumah, Pengungsian dan Peradilan:
KTP dari Wilayah ke Wilayah. Catatan Tahunan tentang Kekerasan
Terhadap Perempuan.
Komnas Perempuan 2008, Kerentanan Perempuan Terhadap
Kekerasan Ekonomi & Kekerasan Seksual dirumah, Institusi dan
Lembaga Negara. Catatan Tahunan tentang Kekerasan Terhadap
Perempuan.
Luhulima, Achie Sudiarti. Pemahaman Bentuk Bentuk Tindak
Kekerasan terhadap Perempuan dan Alternatif Pemecahannya.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi Korban.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
47
Download