II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ultisol Ultisol merupakan tanah-tanah yang mempunyai horizon Argilik atau Kandik dengan nilai kejenuhan basa yang rendah. Pada umumnya tanah ini berkembang dari bahan induk tua, seperti batu pasir dan batu liat. Ultisol merupakan tanah yang mengalami perkembangan profil dengan batas horizon yang jelas, berwarna merah hingga kuning. Mengenai konsistensi tanah, Ultisol memiliki konsistensi dimana semakin kebawah semakin teguh dan agregat berselaput liat. Ultisol di Indonesia umumnya terbentuk dari bahan induk yang mengandung kuarsa seperti tufa liparit, dasitik, atau riolit dan dijumpai di daerah pegunungan dengan ketinggian diatas 1,000 m dari permukaan laut seperti di puncak gunung Bukit Barisan dan di pegunungan di Irian Jaya, atau di daratan rendah seperti di Bangka dan Kalimantan dengan rata-rata curah hujan 1,500 mm per tahun (Soepardi, 1983). Proses terbentuknya Ultisol diawali oleh proses podsolisasi yang merupakan proses pencucian yang mirip dengan latosolisasi. Hasil dari proses ini adalah tanah yang mempunyai lapisan atas pucat, karena semua unsur tercuci kecuali silikat (sebagai kuarsa). Curah hujan dan suhu yang tinggi memungkinkan terjadinya pencucian terhadap basa-basa sehingga dalam waktu yang relatif singkat menyebabkan kejenuhan basa rendah dan tanah menjadi masam. Kelangsungan proses podsolisasi tersebut ditunjang oleh adanya asam-asam organik hasil dekomposisi bahan organik yang mempunyai daya pelarut yang efektif pada iklim yang basah dan panas (Soepardi, 1983). Soepraptohardjo (1961) melaporkan bahwa karakteristik tanah Ultisol mempunyai kemasaman tanah yang tergolong tinggi (pH 3.5-5.5), kandungan bahan organik kurang dari dua persen, jenis liat dominan adalah kaolinit dan gibsit, kapasitas tukar kation (KTK) rendah sampai tinggi bergantung pada tekstur dan mineral liat, kandungan hara terutama N, P, K, dan Ca rendah, permeabilitas lambat sampai sedang, dan vegetasi alamiah meliputi berbagai jenis pohon hutan tropis, alang-alang, pinus, melastoma, dan pakis. Pada umumnya tanaman yang ditanam di Ultisol memberikan produksi yang baik pada beberapa tahun pertama, selama unsur-unsur hara di permukaan tanah yang terkumpul melalui proses biocycle belum habis. Reaksi tanah yang masam, kejenuhan basa yang rendah, kadar Al yang tinggi, kadar unsur hara yang rendah merupakan penghambat utama bagi pertumbuhan dan produksi tanaman. Untuk penggunaan yang berkaitan dengan pertanian, diperlukan pengapuran, pemupukan, dan pengelolaan tanah yang tepat (Hardjowigeno, 2003). 2.2. Bentuk-bentuk Nitrogen dalam Tanah Sumber nitrogen utama dalam tanah adalah dari bahan organik melalui proses mineralisasi bahan organik menjadi amonium dan nitrat. Selain itu, Nitrogen dapat juga bersumber dari atmosfer (78%) melalui curah hujan (8-10%). Selain itu nitrogen dapat diperoleh melalui penambatan (fiksasi) oleh mikroorganisme tanah baik secara simbiosis dengan tanaman maupun hidup bebas dan dari proses pemupukan. Nitrogen diserap tanaman dalam jumlah yang tinggi dibandingkan dengan unsur-unsur yang lain (Soepardi, 1983). Bentuk nitogren yang diserap tanaman adalah NH4+ dan NO3-. Jumlah ion-ion ini tergantung dari jumlah pupuk yang diberikan dan kecepatan dekomposisi bahan organik. Menurut Harjowigeno (2007) tiga tahap proses transformasi nitrogen yang sangat mempengaruhi ketersediaannya dalam tanah yaitu melalui 1) Aminisasi, merupakan proses transformasi protein menjadi asam amino, 2) Amonifikasi, merupakan proses transformasi asam amino menjadi amonium dan 3) Nitrifikasi, merupakan proses transformasi amonium menjadi nitrat. Reaksi transformasi nitrogen tersebut adalah sebagai berikut: Aminisasi : Bahan organik (N-organik) + enzim (mikroorganisme) senyawa amino (R-NH2) + CO2 + Energi. Amonifikasi : R-NH2 +HOH NH3 + H2O Nitrifikasi : 2NH4+ + 3O2 2NO2- + O2 R-OH +NH3 + Energi NH4+ + OH2NO2- + 2H2O + 4H+ + Energi 2NO3- + Energi Nitogen dalam bentuk amonium merupakan bentuk yang stabil terutama pada tanah tergenang. Selama suasana lingkungan tidak memungkinkan untuk proses nitrifikasi, amonium dapat diabsorbsi dan diretensi oleh koloid tanah sehingga pergerakannya akan terbatas dan tidak mudah tercuci air perkolasi. Nitrogen dalam bentuk nitrat bersifat lebih mobil dalam tanah karena sifatnya yang mudah larut dan tidak teradsorpsi oleh koloid tanah. Pada kondisi curah hujan yang tinggi atau penambahan air irigasi maka nitrat tercuci dari horizon atas ke horizon di bawahnya atau masuk dalam sistem perairan. Selama musim kemarau yang hebat dan pergerakan air kapiler memungkinkan ke atas dan ke bawah, maka nitrat akan diakumulasikan pada bagian atas horizon tanah bahkan di permukaaan tanah (Tisdale et al., 1990). 2.3. Bahan Organik Tanah Bahan organik tanah merupakan hasil pelapukan sisa tanaman atau hewan yang bercampur dengan bahan mineral tanah. Pembentukkannya dalam tanah umumnya terjadi secara alami. Kadar bahan organik dalam tanah dengan mudah dapat berkurang karena proses-proses perombakkan oleh jasad mikro tanah (Suhardjo et al., 1993). Menurut Tan (1984) bahan organik tanah terdiri dari bahan yang terhumifikasi dan tak terhumifikasi. Bagian yang terhumifikasi itu sendiri adalah suatu bahan yang hingga saat ini dikenal sebagai humus atau yang biasa disebut senyawa humat dan merupakan hasil akhir dari dekomposisi bahan tanaman di dalam tanah. Senyawa ini dapat memperbaiki kesuburan tanah melalui perbaikan terhadap kondisi fisik, kimia, dan biologi tanah. Secara kimia fungsi bahan organik tanah adalah memberikan sumbangan hara melalui proses dekomposisi. Sebagai contoh pupuk kandang yang ditambahkan ke dalam tanah dapat menyumbangkan unsur N, P, dan K, sehingga meningkatkan ketersediaan unsurunsur tersebut didalam tanah. Penambahan bahan organik kedalam tanah dapat meningkatkan aktifitas mikroorganisme. Bahan-bahan yang yang terhumifikasi menjadi koloid organik yang meningkatkan muatan variabel tanah. Kotoran sapi merupakan salah satu bentuk pupuk organik. Kotoran sapi yang diberikan ke dalam tanah mengalami dekomposisi yang berakhir dengan mineralisasi dan terbentuknya bahan yang relatif resisten yaitu humus (bahan yang terhumifikasi). Humus yang tersusun dari selulosa, lignin, dan protein mempunyai kandungan C-organik umumnya sebesar 58% sehingga dapat dipahami bahwa pemberian kotoran sapi akan meningkatkan jumlah humus dalam tanah yang juga berarti meningkatkan C-organik tanah (Syukur dan Harsono, 2008). Peningkatan C-organik dalam tanah juga akan meningkatkan bahan organik tanah (Brady, 1990). Menurut Inoko (1982), beberapa komponen nitrogen dalam limbah hewan atau lumpur terurai dengan mudah. Simanjuntak (2005) menyatakan bahwa kotoran sapi dapat memberikan energi bagi kehidupan mikroorganisme tanah, menambah inokulum ke dalam tanah, serta memperbaiki kondisi lingkungan terutama aerasi dan kelembaban tanah. Kotoran sapi yang diberikan ke dalam tanah dengan nisbah C/N>30 segera diubah secara cepat oleh mikroorganisme heterotropik seperti bakteri, fungi, dan aktinomycetes. Kemampuan dekomposisi bahan organik tanah cukup mirip dengan tingkat mineralisasi N per unit dari total organik N yang ada pada tanah (Miranda et al., 2008). Proses komposting dan penyimpanan dari material organik dengan rasio C/N yang rendah, akan mengurangi proses kemampuan dekomposisi. Tetapi hal itu sering tidak terlalu berpengaruh terhadap perubahaan C/N karena kehilangan C dan N biasanya bersamaan dengan proses dekomposisi (Gale et al., 2006).