BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Persalinan caesar di dunia terus mengalami peningkatan prevalensi. Organisasi kesehatan dunia (WHO) menerbitkan literatur yang mencatat angka rata-rata persalinan bedah caesar di dunia mencapai 20%, angka ini juga tidak berbeda jauh pada beberapa negara lain (Chapman dkk., 2009). Peningkatan ini diduga disebabkan karena teknik dan fasilitas operasi bertambah baik, operasi berlangsung lebih asepsis, teknik anestesi bertambah baik, kenyamanan pasca operasi dan lama rawat yang bertambah pendek, di samping itu morbiditas dan mortalitas maternal dan perinatal dapat diturunkan secara bermakna (Roeshadi, 2006). Namun, angka resiko kematian pada bedah caesar sangat tinggi akibat infeksi. Komplikasi infeksi akibat bedah caesar meliputi demam, wound infection (infeksi pada luka bekas operasi), endometritis, bakterimia, dan infeksi saluran kemih (Chapman dkk., 2009). Menurut Bensons dan Pernolls, angka kematian pada operasi caesar adalah 40-80 tiap 100.000 kelahiran hidup. Angka ini menunjukkan risiko 25 kali lebih besar dibanding persalinan pervaginam. Kasus karena infeksi mempunyai angka 80 kali lebih tinggi dibandingkan dengan persalinan pervaginam (Anggraeni, 2010). 1 2 Pemakaian suatu jenis antibiotik profilaksis telah terbukti secara meyakinkan dapat mencegah atau mengurangi kejadian infeksi pada sebagian kasus bedah, sehingga pemakaiannya dianjurkan secara luas dalam praktek karena betapa bersihnya operasi dilakukan, kuman selalu dapat menemukan luka operasi (Iwan, 1995). Pemberian antibiotik harus dilakukan dengan alasan yang jelas karena resistensi bakteri yang semakin berkembang berhubungan dengan penggunaan antibiotik tersebut. Meskipun prinsip penggunaan antibiotik profilaksis dalam operasi telah ditetapkan, masih terdapat penggunaan yang tidak sesuai (Gyssens, 1999). Evaluasi kualitas penggunaan antibiotik dilakukan untuk mengetahui rasionalitas penggunaan antibiotik. Gyssens mengembangkan evaluasi penggunaan antibiotik untuk menilai ketepatan penggunaan antibiotik yang meliputi: ketepatan indikasi, ketepatan pemilihan berdasarkan efektivitas, toksisitas, harga dan spektrum, lama pemberian, dosis, interval, rute dan waktu pemberian (Gyssens dan Meer, 2001). Metode Gyssens merupakan suatu alat untuk mengevaluasi kualitas penggunaan antibiotik yang telah digunakan secara luas di berbagai negara (The Amrin Study, 2005). Rumah Sakit Ibu dan Anak (RSIA) Sakina Idaman merupakan salah satu rumah sakit swasta di Yogyakarta yang menjadi rujukan untuk persalinan khususnya bedah caesar. Persalinan bedah caesar pada tahun 2012 mencapai angka 39,8% dari total keseluruhan persalinan. 3 Penelitian mengenai evaluasi kualitas penggunaan antibiotik profilaksis pada pasien bedah caesar belum pernah dilaksanakan di RSIA Sakina Idaman Yogyakarta sehingga diharapkan penelitian ini dapat membantu dalam meningkatkan pelayanan di rumah sakit tersebut, terutama dalam mencegah terjadinya infeksi dan resistensi dengan penggunaan antibiotik profilaksis yang tepat. B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian yang telah disampaikan dalam latar belakang, rumusan masalah pada penelitian ini antara lain: 1. Seperti apa pola penggunaan antibiotik profilaksis pada pasien bedah caesar di RSIA Sakina Idaman Yogyakarta periode Januari-Desember 2012 dilihat dari jenis antibiotik, rute, dosis, frekuensi, durasi dan waktu pemberian? 2. Bagaimana kualitas penggunaan antibiotik profilaksis berdasarkan bagan alur Gyssens pada pasien bedah caesar di RSIA Sakina Idaman Yogyakarta periode Januari-Desember 2012? C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini antara lain: 1. Untuk mengetahui pola penggunaan antibiotik profilaksis pada pasien bedah caesar di RSIA Sakina Idaman Yogyakarta periode Januari-Desember 2012 dilihat dari jenis antibiotik, rute, dosis, frekuensi, durasi dan waktu pemberian. 4 2. Untuk mengetahui kualitas penggunaan antibiotik berdasarkan bagan alur Gyssens pada pasien bedah caesar di RSIA Sakina Idaman Yogyakarta periode Januari-Desember 2012. D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut: 1. Bermanfaat dalam menambah wawasan tentang kesehatan, terutama tentang penggunaan antibiotik profilaksis pada pasien bedah caesar dilihat dari jenis antibiotik, rute pemberian, dosis, frekuensi, dan saat pemberian. 2. Bermanfaat sebagai bahan informasi bagi RSIA Sakina Idaman Yogyakarta dalam pemilihan antibiotik profilaksis yang tepat bagi pasien bedah caesar sehingga dapat mencegah terjadinya infeksi dan resistensi bakteri. 3. Bermanfaat bagi peneliti selanjutnya yang akan meneliti lebih jauh lagi tentang antibiotik profilaksis dan kualitas penggunaannya pada pasien bedah caesar. E. Tinjauan Pustaka 1. Antibiotik a. Definisi Antibiotik adalah senyawa yang dihasilkan oleh mikroorganisme (bakteri, jamur) yang mempunyai efek menghambat atau menghentikan suatu proses biokimia mikroorganisme lain (Setiabudi, 2007). Istilah ini sebelumnya digunakan terbatas pada zat yang dihasilkan oleh 5 mikroorganisme, tetapi penggunaan istilah ini meluas meliputi senyawa sintetik dan semisintetik dengan aktivitas kimia yang mirip (Dorland dan Newman, 2010). b. Penggolongan berdasarkan struktur kimia Antibiotik berdasarkan struktur kimianya dapat dibedakan sebagai berikut (Kasper dkk., 2005 dan Setiabudi, 2007): 1) β-laktam, contoh: penisilin (contoh: benzil penisilin, oksasilin, kloksasilin, ampisilin, amoksisilin, piperasilin), sefalosporin (contoh: generasi pertama: sefalotin, sefaleksin, sefazolin, sefadroksil; generasi kedua: sefaklor, sefuroksim; generasi ketiga: sefotaksim, seftriakson, sefoperazon, seftazidim; generasi keempat: sefepim), karbapenem (contoh: imipenem, meropenem). 2) Makrolida, contoh: eritromisin, spiramisin, azitromisin, klaritromisin. 3) Aminoglikosida, contoh: streptomisin, neomisin, kanamisin, gentamisin, amikasin, tobramisin. 4) Tetrasiklin, contoh: tetrasiklin, doksisiklin, oksitetrasiklin. 5) Kuinolon, contoh: asam nalidiksat. 6) Florokuinolon, contoh: siprofloksasin, ofloksasin, levofloksasin. 7) Glokopeptida, contoh: vankomisin, teikoplanin. 8) Antibiotik lain: kloramfenikol, tiamfenikol, metronidazol, klindamisin, kotrimoksazol. (Kasper dkk., 2005 dan Setiabudi, 2007) 6 c. Mekanisme kerja Antibiotik berdasarkan mekanisme kerjanya dibagi menjadi lima kelompok, yaitu (Kasper dkk., 2005 dan Setiabudi, 2007): 1) Inhibisi sintesis dinding sel bakteri. Dinding sel bakteri terdiri dari polipeptidoglikan yaitu suatu kompleks polimer mukopeptida (glikopeptida). Obat ini dapat melibatkan otolisin bakteri (enzim yang mendaur ulang dinding sel) yang ikut berperan terhadap lisis sel. Antibiotik yang termasuk kelompok ini: penisilin, sefalosporin, basitrasin, vankomisin, sikloserin. Pada umumnya bersifat bakterisidal. 2) Inhibisi sintesis protein bakteri. Sel bakteri mensintesis berbagai protein yang berlangsung di ribosom dengan bantuan mRNA dan tRNA. Penghambatan terjadi melalui interaksi dengan ribosom bakteri. Antibiotik yang termasuk kelompok ini: aminoglikosida, makrolida, linkomisin, tetrasiklin dan kloramfenikol. Selain aminoglikosida, pada umumnya obat ini bersifat bakteriostatik. 3) Inhibisi metabolisme bakteri: obat mempengaruhi sintesis asam folat bakteri. Antibiotik yang termasuk kelompok ini: sulfonamida, trimetoprim, asam p-aminosalisilat dan sulfon. Pada umumnya bersifat bakteriostatik. 4) Inhibisi sintesis atau aktivitas asam nukleat bakteri. Antibiotik yang termasuk kelompok ini: rifampisin dan golongan kuinolon. 7 5) Mempengaruhi permeabilitas membran sel bakteri. Antibiotik yang termasuk kelompok ini adalah polimiksin. (Kasper dkk., 2005 dan Setiabudi, 2007) 2. Antibiotik Profilaksis Bedah a. Definisi Antibiotik profilaksis bedah didefinisikan sebagai antibiotik yang diberikan kepada penderita sebelum adanya tanda dan gejala suatu infeksi dengan tujuan mencegah terjadinya manifestasi klinik infeksi tersebut yang diduga akan/bisa terjadi (Iwan, 1995). b. Prinsip penggunaan antibiotik profilaksis bedah Prinsip penggunaan antibiotik profilaksis selain tepat dalam pemilihan jenis juga mempertimbangkan konsentrasi antibiotik dalam jaringan saat mulai dan selama operasi berlangsung (Kemenkes, 2011). Menurut Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) tahun 2011, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penggunaan antibiotik profilaksis (Kemenkes, 2011). 1. Tujuan pemberian antibiotik profilaksis pada kasus pembedahan: a) Penurunan dan pencegahan kejadian Infeksi Luka Operasi (ILO). b) Penurunan morbiditas dan mortalitas pasca operasi. c) Penghambatan muncul flora normal resisten. d) Meminimalkan biaya pelayanan kesehatan. (Kemenkes, 2011) 8 2. Indikasi penggunaan antibiotik profilaksis didasarkan kelas operasi, yaitu operasi bersih dan bersih kontaminasi. 3. Dasar pemilihan jenis antibiotik untuk tujuan profilaksis: a) Sesuai dengan sensitivitas dan pola bakteri patogen terbanyak pada kasus bersangkutan. b) Spektrum sempit untuk mengurangi risiko resistensi bakteri. c) Toksisitas rendah. d) Tidak menimbulkan reaksi merugikan terhadap pemberian obat anestesi. e) Bersifat bakterisidal. f) Harga terjangkau. Kemenkes RI juga menganjurkan menggunakan sefalosporin generasi I dan II untuk profilaksis bedah. Pada kasus tertentu yang dicurigai melibatkan bakteri anaerob dapat ditambahkan metronidazol. Kemudian tidak dianjurkan menggunakan sefalosporin generasi III dan IV, golongan karbapenem, dan golongan kuinolon untuk profilaksis bedah. 4. Rute pemberian a) Antibiotik profilaksis diberikan secara intravena. b) Untuk menghindari risiko yang tidak diharapkan dianjurkan pemberian antibiotik intravena drip. (Kemenkes, 2011) 9 5. Waktu pemberian Antibiotik profilaksis diberikan ≤ 30 menit sebelum insisi kulit. Idealnya diberikan pada saat induksi anestesi. 6. Dosis pemberian Untuk menjamin kadar puncak yang tinggi serta dapat berdifusi dalam jaringan dengan baik, maka diperlukan antibiotik dengan dosis yang cukup tinggi. 7. Lama pemberian Durasi pemberian adalah dosis tunggal. Dosis ulangan dapat diberikan atas indikasi perdarahan lebih dari 1500 ml atau operasi berlangsung > 3 jam. (Kemenkes, 2011). 8. Kategori/kelas operasi Kategori/kelas operasi (Kemenkes, 2011) dapat dilihat pada tabel I. Tabel I. Kelas Operasi dan Penggunaan Antibiotik (Kemenkes, 2011) Kelas Operasi Definisi Penggunaan Antibiotik Operasi Bersih Operasi yang dilakukan Kelas operasi bersih pada daerah dengan terencana umumnya tidak kondisi pra bedah tanpa memerlukan antibiotik infeksi, tanpa membuka profilaksis kecuali pada traktus (respiratorius, beberapa jenis operasi, gastro intestinal, urinarius, misalnya mata, jantung, bilier), penutupan kulit dan sendi. primer dengan atau tanpa digunakan drain tertutup. Operasi Bersih – Operasi yang dilakukan Pemberian antibiotik Kontaminasi pada traktus (digestivus, profilaksis pada kelas bilier, urinarius, operasi bersih kontaminasi respiratorius, reproduksi perlu dipertimbangkan kecuali ovarium) atau manfaat dan risikonya operasi tanpa disertai karena bukti ilmiah kontaminasi yang nyata. mengenai efektivitas antibiotik profilaksis belum ditemukan. 10 Tabel I. Lanjutan tabel kelas operasi dan penggunaan antibiotik. Kelas Operasi Operasi Kontaminasi Operasi Kotor 3. Definisi Operasi yang membuka saluran cerna, saluran empedu, saluran kemih, saluran napas sampai orofaring, saluran reproduksi kecuali ovarium atau operasi yang tanpa pencemaran nyata (Gross Spillage). Adalah operasi pada perforasi saluran cerna, saluran urogenital atau saluran napas yang terinfeksi ataupun operasi yang melibatkan daerah yang purulen (inflamasi bakterial). Dapat pula operasi pada luka terbuka lebih dari 4 jam setelah kejadian atau terdapat jaringan nonvital yang luas atau nyata kotor. Penggunaan Antibiotik Kelas operasi kontaminasi memerlukan antibiotik terapi (bukan profilaksis). Kelas operasi kotor memerlukan antibiotik terapi Bedah Caesar a. Definisi Bedah caesar adalah melahirkan janin melalui insisi pada dinding abdomen dan dinding uterus. Bedah caesar dilakukan apabila penundaan persalinan yang lebih lama akan menimbulkan bahaya bagi janin, ibu, atau keduanya, sedangkan persalinan pervaginam tidak mungkin diselesaikan dengan aman (Dickinson dan Jan, 1996). b. Indikasi bedah caesar Indikasi dilakukannya bedah caesar yaitu (Llewellyn dan Jones, 2002) dapat dilihat pada tabel II. 11 a. b. c. d. e. f. g. h. i. Tabel II. Indikasi Bedah Caesar (Llewellyn dan Jones, 2002) Kegagalan progesi persalinan (distosia) 1) Kerja uterus abnormal 2) Disproporsi sefalopelvik Malpresentasi atau malposisi 1) Sungsang 2) Wajah dan dahi 3) Letak lintang 4) Oksipito-posterior 5) Prolaps tali pusat 6) Kehamilan multipel Perdarahan antepartum 1) Abrusio plasenta 2) Plasenta previa Penyakit hipertensi pada kehamilan Diabetes Mellitus Keadaan janin 1) Distres janin 2) Iso-imunisasi 3) Berat badan lahir sangat rendah Pramigravida usia tua Kegagalan induksi persalinan Bedah caesar berulang c. Jenis bedah caesar Jenis bedah caesar berdasarkan kondisi pasien dibagi menjadi bedah caesar elektif dan darurat. Elektif maksudnya operasi dilakukan dengan perencanaan yang matang jauh hari sebelum waktu persalinan. Darurat (emergency) berarti caesar dilakukan ketika proses persalinan sedang berlangsung, namun karena suatu keadaan kegawatan maka operasi caesar harus segera dilakukan (Bidanku, 2013). 1. Operasi caesar terencana (elektif) Operasi caesar terencana (elektif) adalah operasi caesar yang telah direncanakan jauh hari sebelum jadwal melahirkan dengan mempertimbangkan keselamatan ibu maupun janin. Keadaan yang 12 menjadi pertimbangan untuk melakukan operasi caesar secara elektif, antara lain (Bidanku, 2013): a) Janin dengan presentasi bokong: dilakukan operasi caesar pada janin presentasi bokong pada kehamilan pertama, kecurigaan janin cukup besar sehingga dapat terjadi kemacetan persalinan, janin dengan kepala menengadah, janin dengan lilitan tali pusat, atau janin dengan presentasi kaki. b) Kehamilan kembar : dilihat presentasi terbawah janin apakah kepala, bokong, atau melintang, masih mungkin dilakukan persalinan pervaginam jika persentasi kedua janin adalah kepala-kepala. Namun, dipikirkan untuk melakukan caesar pada kasus janin pertama selain presentasi kepala, pada Ultrasonografi (USG) juga dilihat apakah masing-masing janin memiliki kantong ketuban sendiri-sendiri yang terpisah atau keduanya hanya memiliki satu kantong ketuban. Kasus kehamilan kembar dengan janin hanya memiliki satu kantong ketuban, resiko untuk saling mengait atau menyangkut satu sama lain terjadi lebih tinggi, sehingga perlu dilakukan caesar terencana. Kehamilan ganda dengan jumlah janin lebih dari dua (misal 3 atau lebih), disarankan untuk melakukan operasi caesar terencana. c) Plasenta previa : artinya plasenta terletak dibawah dan menutupi mulut rahim. Sebelum lahir janin mendapat suplai makanan dan oksigen, maka tidak mungkin plasenta sebagai media penyuplai 13 lepas terlebih dulu dari janin karena dapat mengakibatkan kematian janin. Plasenta terdiri dari banyak pembuluh darah, lokasi plasenta yang menutupi jalan lahir, sangat rawan dengan terjadinya pendarahan. Apabila terjadi kontraksi pada rahim, maka sebagian plasenta yang kaya pembuluh darah ini akan terlepas dan menimbulkan pendarahan hebat yang dapat mengancam nyawa janin dan ibu. d) Kondisi medis ibu : preeklampsia, kencing manis (diabetes militus), herpes, penderita Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency Syndrome (HIV/AIDS), penyakit jantung, penyakit paru kronik, atau tumor rahim (mioma) yang ukurannya besar atau menutupi jalan lahir, kista yang menghalangi turunnya janin, serta berbagai keadaan lain merupakan hal-hal yang menyebabkan operasi caesar lebih diutamakan. e) Masalah pada janin : misalnya pada janin dengan oligohidramnion (cairan ketuban sedikit) atau janin dengan gangguan perkembangan. (Bidanku, 2013) 2. Operasi caesar darurat (emergency) Operasi caesar darurat (emergency) adalah jika operasi dilakukan ketika proses persalinan telah berlangsung. Hal ini terpaksa dilakukan karena ada masalah pada ibu maupun janin. Keadaan yang memaksa terjadinya operasi caesar darurat, antara lain (Bidanku, 2013): 14 a) Persalinan macet Keadaan ini dapat terjadi pada fase pertama (fase dilatasi) atau fase kedua (ketika mengejan). Jika persalinan macet pada fase pertama, dokter akan memberi obat yang disebut oksitosin untuk menguatkan kontraksi otot-otot rahim, dengan demikian mulut rahim dapat membuka. Teknik lain yaitu memecahkan selaput ketuban atau memberikan cairan infus intrafena jika kekurangan cairan/dehidrasi. Jika cara-cara tersebut tidak berhasil, maka operasi caesar akan dilakukan. Jika persalinan macet pada fase kedua, dokter harus segera memutuskan apakah persalinan dibantu dengan vakum atau forsep atau perlu segera dilakukan operasi caesar. Hal yang menjadi pertimbangan untuk melanjutkan persalinan pervaginam dengan alat (berbantu) atau operasi caesar, tergantung pada penurunan kepala janin didasar tanggul, keadaan tanggul ibu, dan ada tidaknya kegawatan pada janin. Persalinan macet merupakan penyebab tersering operasi caesar. Alasan yang dijadikan pertimbangan adalah kontraksi tidak lagi efektif, janin terlalu besar semantara jalan lahir ibu sempit, dan posisi kepala janin yang tadak memungkinkan dilakukan penarikan dengan vakum maupun forsep. (Bidanku, 2013) 15 b) Stres pada janin Jika janin stres maka janin akan kekurangan oksigen. Pemeriksaan klinik tampak bahwa denyut jantung janin menurun. Secara normal, selama terjadi kontraksi denyut jantung janin menurun sedikit, tetapi akan kembali ke frekuensi asalnya, jika: 1) prolaps tali pusat: jika tali pusat keluar melalui mulut rahim, janin dapat terjepit, sehingga suplai darah dan oksigen ke janin berkurang. Keadaan ini berbahaya jika janin dilahirkan secara normal lewat vagina, sehingga memerlukan tindakan operasi caesar segera. 2) perdarahan : jika mengalami perdarahan yang banyak akibat plasenta terlepas dari rahim, atau karena alasan lain, maka harus dilakukan operasi caesar. 3) stres janin berat : jika denyut jantung janin menurun sampai 70x per menit, maka harus segera dilakukan operasi caesar. Normalnya denyut jantung janin adalah 120/160x per menit. (Bidanku, 2013) d. Antibiotik profilaksis bedah caesar Penisilin dan sefalosporin merupakan kelompok antibiotik β-laktam yang telah lama dikenal (Ganiswara dkk., 1995). Review yang pernah ada menyimpulkan bahwa ampisilin dosis tunggal atau sefalosporin generasi pertama mempunyai efikasi yang sama dalam mengurangi infeksi puerperal (Liabsuetrakul dkk., 2002). 16 1) Penisilin Penisilin menghambat pembentukan mukopeptida yang diperlukan untuk sintesis dinding sel mikroba (Ganiswara dkk., 1995). Absorpsi kebanyakan penisilin setelah pemberian parenteral berlangsung lengkap dan cepat. Pemberian dengan cara intravena sering lebih disukai karena suntikan dosis besar intramuskular mengakibatkan iritasi dan nyeri pada tempat suntikan. Penisilin didistribusikan secara luas ke dalam cairan tubuh dan jaringan setelah diabsorpsi. Kebanyakan penisilin yang diabsorpsi akan cepat diekskresi oleh ginjal ke dalam urin dan dalam jumlah kecil akan diekskresi melalui jalur lain (Katzung, 2003). 2) Sefalosporin Sefalosporin muncul sebagai agen terpilih pada profilaksis bagi sebagian besar tindakan operasi (Sabiston, 1995). Sefalosporin banyak dipakai karena sefalosporin mempunyai spektrum aktivitas yang luas dan efek sampingnya sedikit (Reese dkk., 2000). Antibiotik sefalosporin dikelompokkan berdasarkan generasinya. Senyawa generasi pertama (contoh: sefalotin dan sefazolin) memiliki aktivitas terhadap gram positif dan sedikit aktivitas terhadap gram negatif. Generasi kedua (contoh sefaklor, sefuroksim dan sefoksitin) memiliki aktivitas yang sedikit lebih baik terhadap gram negatif serta meliputi beberapa senyawa yang memiliki aktivitas terhadap bakteri anaerob. Generasi ketiga (contoh sefotaksim, seftriakson, dan seftazidim) memiliki aktivitas terhadap organisme gram negatif dan 17 aktivitas yang lebih besar terhadap Enterobacteriaceae, serta satu kelompok yang aktif terhadap P. Aeruginosa. Generasi keempat (contoh: sefepim) yang memiliki spektrum mirip generasi ketiga, tetapi memiliki stabilitas yang lebih baik terhadap hidrolisis oleh β-laktamase. Suntikan intravena sefalosporin generasi pertama mengalami penetrasi dengan baik pada kebanyakan jaringan dan merupakan obat terpilih untuk profilaksis pembedahan, terutama sefazolin (Katzung, 2003). 4. Evaluasi Kualitas Antibiotik Kualitas penggunaan antibiotik untuk terapi empiris dan profilaksis umumnya dinilai dari data yang tersedia pada penelitian lokal dan resistensi mikroba serta dari informasi yang didapatkan pada epidemiologi infeksi dan organisme penyebab secara lokal (Gyssens, 2005). Banyak parameter yang telah dibuat untuk mengoptimalkan penilaian kualitas penggunaan antibiotik. Peningkatan penggunaan antibiotik secara bijak menjadi solusi dalam mengatasi resistensi (Gyssens dan Meer, 2001). Kriteria asli yang digunakan untuk menilai kualitas antibiotik yaitu kriteria Kunin yang mengkategorikan menjadi lima kategori (Tabel III). Kategori I dan II mengindikasikan terapi tepat, kategori III-V mengindikasikan bahwa terdapat kekurangan dalam pemilihan atau penggunaan antibiotik (Gyssens, 1999). 18 Tabel III. Kriteria Kualitas Penggunaan Antibiotik Menurut Kunin (Gyssens, 1999) I. Sesuai untuk penggunaan antibiotik terapi/profilaksis, penggunaan tepat. Sesuai dengan penggunaan antibiotik terapi/profilaksis, tetapi adanya ancaman II. infeksi bakteri yang berpotensi tidak dapat dikesampingkan atau profilaksis mungkin sesuai, namun manfaat yang diperoleh masih kontroversial. Sesuai dengan penggunaan antibiotik terapi/profilaksis, tapi antibiotik lain III. (yang lebih tidak mahal atau toksik) lebih dianjurkan. IV. Sesuai dengan penggunaan antibiotik terapi/profilaksis, tapi dosis diperbaiki. Tidak sesuai dengan penggunaan antibiotik terapi/profilaksis, administrasi V. tidak tepat. Keterangan : Kriteria asli Kunin terdapat dalam tulisan Kunin, C. M., 1973, Use of antibiotics: A brief exposition of the problem and some tentative solutions, Ann. Intern. Med., 79, 555–560. Tahun 1998 Gyssens melakukan perubahan dari kriteria di atas agar dapat mengevaluasi setiap parameter dengan kepentingan penggunaan antibiotik. Kriteria Gyssens yang diadaptasi dari kriteria asli Kunin mengandalkan evaluasi dari berbagai aspek peresepan antibiotik, yaitu ketepatan peresepan, alternatif yang lebih efektif, alternatif yang kurang toksik, alternatif yang lebih murah, dan antibiotik dengan spektrum yang lebih sempit, ditambah dengan durasi penggunaan dan dosis, termasuk interval dan rute administrasi (Gyssens, 1999). Gyssens dan Meer pada tahun 2001 memperbarui kriterianya dengan menambahkan unsur timing atau waktu di dalamnya. Kriteria Gyssens ini tersajikan dalam bentuk bagan alur gambar 1 (Gyssens, 2005). Bagan alur ini sebagai alat penilaian utama kualitas penggunaan antibiotik. Kualitas penggunaan antibiotik dinilai dengan melihat langsung catatan medis kemudian oleh reviewer independen dengan menggunakan bagan alur Gyssens untuk menilai peresepan antibiotik (Juwita, 2012). 19 Mulai Data lengkap ya AB sesuai Indikasi ya Alternatif lebih efektif tidak Alternatif kurang toksik tidak Alternatif lebih murah tidak tidak ya ya ya VI stop V stop IVa IVb IVc tidak Alternatif spektrum lebih sempit tidak Durasi terlalu lama tidak IIIa ya IVd ya Durasi terlalu pendek ya IIIb tidak Tepat dosis ya Tepat Interval ya Tepat rute ya Tepat timing tidak tidak tidak tidak IIa IIb IIc I ya Tidak termasuk I-IV 0 Gambar 1. Bagan Alur Penilaian Kualitas Penggunaan Antibiotik (Gyssens, 2005) 20 Evaluasi antibiotik dimulai dari kotak yang paling atas, yaitu dengan melihat apakah data lengkap atau tidak untuk mengkategorikan penggunaan antibiotik (Pamela, 2011). 1. Bila data tidak lengkap, berhenti di kategori VI. Data tidak lengkap adalah data rekam medis tanpa diagnosis kerja, atau ada halaman rekam medis yang hilang sehingga tidak dapat dievaluasi. Diagnosis kerja dapat ditegakkan secara klinis dari anamnesis dan pemeriksaan fisik. Bila data lengkap, dilanjutkan dengan pertanyaan di bawahnya. Apakah ada infeksi yang membutuhkan antibiotik? 2. Bila tidak ada indikasi pemberian antibiotik, berhenti di kategori V. Bila antibiotik memang terindikasi, lanjutkan dengan pertanyaan di bawahnya. Apakah pemilihan antibiotik sudah tepat? 3. Bila ada pilihan antibiotik lain yang lebih efektif, berhenti di kategori IVa. Bila tidak, lanjutkan dengan pertanyaan di bawahnya. Apakah ada alternatif lain yang kurang toksik? 4. Bila ada pilihan antibiotik lain yang kurang toksik, berhenti di kategori IVb. Bila tidak, lanjutkan dengan pertanyaan di bawahnya. Apakah ada alternatif lebih murah? (Pamela, 2011) 21 5. Bila ada pilihan antibiotik lain yang lebih murah, berhenti di kategori IVc. Peneliti berpatokan pada daftar harga obat yang dikeluarkan dari rumah sakit yang bersangkutan. Bila tidak, lanjutkan dengan pertanyaan di bawahnya. Apakah ada alternatif lain yang spektrumnya lebih sempit? 6. Bila ada pilihan antibiotik lain dengan spektrum yang lebih sempit, berhenti di kategori IVd. Bila tidak, lanjutkan dengan pertanyaan di bawahnya. Apakah durasi antibiotik yang diberikan terlalu panjang? 7. Bila durasi pemberian antibiotik terlalu panjang, berhenti di kategori IIIa. Bila tidak, diteruskan dengan pertanyaan apakah durasi antibiotik terlalu singkat? 8. Bila durasi pemberian antibiotik terlalu singkat, berhenti di kategori IIIb. Bila tidak, diteruskan dengan pertanyaan dibawahnya. Apakah dosis antibiotik yang diberikan sudah tepat? 9. Bila dosis pemberian antibiotik tidak tepat, berhenti di kategori IIa. Bila dosisnya tepat, lanjutkan dengan pertanyaan berikutnya. Apakah interval antibiotik yang diberikan sudah tepat? (Pamela, 2011) 22 10. Bila interval pemberian antibiotik tidak tepat, berhenti di kategori IIb. Bila intervalnya tepat, lanjutkan dengan pertanyaan di bawahnya. Apakah rute pemberian antibiotik sudah tepat? 11. Bila rute pemberian antibiotik tidak tepat, berhenti di kategori IIc. Bila rute pemberiannya tepat, lanjutkan dengan pertanyaan berikutnya. Apakah timing pemberian antibiotik sudah tepat? 12. Bila timing pemberian antibiotik tidak tepat, berhenti di kategori I. Bila timing tepat, lanjutkan ke kotak beriktnya. 13. Bila antibiotik tidak termasuk kategori I sampai dengan VI, antibiotik tersebut merupakan kategori 0. (Pamela, 2011) Berikut kriteria kualitas penggunaan antibiotik berdasarkan bagan alur Gyssens (Gyssen, 2005). Tabel IV. Kriteria Kualitas Penggunaan Antibiotik (Gyssens, 2005) Penggunaan antibiotik sesuai, termasuk timing tepat (timing pemberian tidak terlalu awal dan tidak terlambat) I. Penggunaan antibiotik sesuai, tetapi timing pemberian tidak tepat II. Penggunaan antibiotik sesuai, tetapi tidak tepat: a. Dosis b. Interval c. Rute III. Penggunaan antibiotik sesuai, tetapi tidak tepat dalam lama pemberian karena: a. Terlalu lama b. Durasi terlalu singkat IV. Penggunaan antibiotik sesuai, tetapi tidak tepat jenisnya karena: a. Ada pilihan antibiotik lain yang lebih efektif b. Ada pilihan antibiotik lain yang kurang toksik c. Ada pilihan antibiotik lain yang lebih murah d. Ada pilihan antibiotik lain yang lebih sempit spektrumnya V. Penggunaan antibiotik tanpa indikasi VI. Catatan medis tidak lengkap untuk dievaluasi 0. 23 5. Profil Rumah Sakit Ibu dan Anak Sakina Idaman Yogyakarta Rumah Sakit Ibu dan Anak Sakina Idaman terletak di Jalan Nyi Tjondro Lukito 69 Sinduadi, Mlati, Sleman, Yogyakarta. Rumah sakit ini menjadi rujukan bagi warga Yogyakarta karena lokasinya yang strategis. RSIA Sakina Idaman merupakan rumah sakit milik swasta di bawah yayasan milik Dra. Hj. Sri Muslimatun AMK, M.Kes. Pelayanan di rumah sakit ini meliputi poli umum, poli kandungan, poli anak, poli gigi, imunisasi, senam hamil, klinik gizi, khitan laser, keluarga berencana, operasi kandungan, dan sistem reproduksi. F. Keterangan Empirik Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh gambaran mengenai pola penggunaan antibiotik profilaksis dilihat dari jenis antibiotik, rute, dosis, frekuensi, durasi dan waktu pemberian, serta untuk mengetahui kualitas penggunaan antibiotik berdasarkan bagan alur Gyssens pada pasien bedah caesar di RSIA Sakina Idaman Yogyakarta periode Januari-Desember 2012. Penelitian ini diharapkan dapat membantu dalam meningkatkan pelayanan di rumah sakit tersebut, terutama dalam mencegah terjadinya infeksi dan resistensi dengan penggunaan antibiotik profilaksis yang tepat.