BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Permainan

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Permainan dengan menggunakan hewan sebagai subjeknya banyak terdapat di
seluruh dunia, seperti pacuan kuda, adu banteng, adu kambing, adu jangkrik, adu ayam
jago, dan masih banyak lagi jenis-jenis permainan hewan yang lain. Adu ayam jago atau
lebih dikenal dengan istilah sabung ayam yang sampai saat ini pun masih tetap menjadi
suatu permainan aduan hewan yang menjadi kegemaran banyak masyarakat, tak hanya di
Indonesia melainkan juga di berbagai belahan dunia yang lain. Dalam bukunya yang
berjudul The Cockfight, Alan Dundes menjelaskan bagaimana sabung ayam yang terjadi
di dinasty Ming China, sabung ayam di London, Puerto Rico, Tahiti, California, Bali
Indonesia, Filipina, Andalusia, Martinique, Brazil, serta di Venezuelan Island (Alan
Dundes, 1994). Alan Dundes menjelaskan bahwa sabung ayam merupakan sebuah
permaianan yang mengandung banyak peranan kompleks di dalamnya, setiap pelakunya
mempunyai peranan tersendiri dalam sebuah permainan sabung ayam atau dalam suatu
tempat di mana sabung ayam itu dilakukan. Setiap pelaku juga memiliki alasan tersendiri
untuk melakukan permainan sabung ayam. Sabung ayam yang dijelaskan oleh Alan
Dundes merupakan sebuah sebuah permainan
yang sudah sangat tua yang menyatukan
deskripsi dari sebuah ritual atau kegiatan yang didominasi oleh laki-laki. Sabung ayam
sangat melibatkan emosi dari pelaku dan penggemar, serta implikasi seksual dari sebuah
permainan (olahraga).
Sabung ayam merupakan sebuah tradisi lama yang kemudian bergeser menjadi
sebuah arena perjudian secara turun temurun. Sabung ayam begitu kuat dan mengakar di
setiap kebudayaan. Seperti halnya budaya Sulawesi Selatan di mana ayam merupakan
hewan simbolis sekaligus pertaruhan gengsi laki-laki, namun yang terjadi sekarang
adalah pergeseran sabung ayam yang dijudikan. Sabung ayam di dalam suatu wilayah
tertentu dimaknai oleh masyarakatnya sebagai sarana bersosialisasi antar warga
sekampung dan juga warga di lain kampung (Makkulau, 2011). Hal itu dikarenakan
adanya daya tarik dan juga adat yang begitu kuat di dalam permainan sabung ayam.
Robert Joe Cutter, (1989:2) bahwa “The lure and lore of cockfighting remain potent.
Although now either illegal or stigmatized in many societies, it is still cariied on, often
surreptitiously, by avoid defotees.” Ada sesuatu yang ada di dalam permainan sabung
ayam ini sehingga walaupun hukum serta norma melarang adanya sabung ayam karena
sarat dengan perjudian di dalamnya. Beberapa orang juga mengatakan bahwa sabung
ayam merupakan salah satu bentuk perwujudan diri seperti yang disebutkan oleh Fred
Hawley bahwa “It (cockfighting) also has great symbolic significance to its practitioners
and aficionados as an affirmation of masculine identity in a increasingly complex and
diverse era.”
Permainan sabung ayam yang ada, baik itu legal maupun illegal, di dalamnya
banyak terkandung unsur perjudian. Sebuah arena sabung ayam yang berada di Edinburg,
para pelaku yang sering berada di tempat tersebut mengatakan jikalau kegiatan sabung
ayam yang ada di dalamnya murni digunakan untuk penelitian medis, namun lain halnya
pemerintah daerah setempat mengatakan bahwa sebuah permainan sabung ayam ilegal
ada di dalamnya (Ashly Custer, 2014). Seperti juga dikatakan oleh Dalam Texas Monthly,
Dan Solomon (2014), menjelaskan bahwa sabung ayam menjadi legal jika sabung ayam
dilakukan untuk kebutuhan penelitian ilmiah, sehingga para pelaku dalam sabung ayam di
dalamnya menjadikan hal tersebut sebagai perlindungan, namun yang terjadi pada tataran
realitas adalah praktek perjudian. Hal tersebut menjadikan permainan sabung ayam
terkadang mencerminkan dua sisi yang berbeda antara permainan sabung ayam dalam
suatu kalangan itu sendiri dengan realitas yang ada di dalam permainan sabung ayam
dalam suatu kalangan. Di Indonesia sendiri, Bali merupakan suatu daerah yang kental
dengan budaya sabung ayam. Sabung ayam di sana merupakan suatu yang awalnya
merupakan tradisi untuk acara atau ritual tertentu namun sedikit bergeser dengan adanya
unsur perjudian di dalamnya, walaupun di sini sudah ada perpindahan hierarki susunan
masyarakat Bali terhadap sabung ayam (Susanto, 2013). Sabung ayam menjadi sangat
sulit dihilangkan selain karena sudah meupakan tradisi yang mengakar kuat di
kebudayaan juga banyak dalih yang dari pelaku yang mengatakan bahwa sabung ayam
dilakukan hanya untuk kesenangan tanpa adanya perjudian di dalamnya. Selain itu,
sabung ayam juga mendatangkan penghasilan tambahan dari pelaku maupun orang yang
bersinggungan dengan sabung ayam. Pemelihara ayam sabung bisa mendapatkan
keuntungan dari beternak atau memelihara ayam sabung tanpa harus melakukan sabung
ayam atau perjudian itu sendiri. Pemilik rumah atau pekarangan yang digunakan untuk
bermain sabung ayam yang sering dikatakan “kalangan” juga mendapat keuntungan
karena biasanya para pelaku sabung ayam memberikan semacam uang sewa untuk tempat
yang digunakan sabung ayam. Orang yang berada di sekitar tempat diadakannya sabung
ayam juga mendapat keuntungan, misalnya dengan menjajakan makanan atau minuman
untuk orang yang di “kalangan” sabung ayam. Bagi sebagian masyarakat, sabung ayam
merupakan lahan untuk mencari penghasilan untuk memenuhi kebutuhan hidup
sehari-hari. Potret kemiskinan yang terjadi di masyarakat memposisikan sabung ayam
sebagai penolong kebutuhan sebagian orang pada umumnya.
Sabung ayam yang terjadi di berbagai wilayah mendapatkan reaksi yang berbeda
dari keluarga maupun masyarakat yang mempunyai hubungan langsung atau tidak
langsung dengan permainan sabung ayam. Banyak masyarakat yang merasa terganggu
dengan adanya praktik sabung ayam, dikarenakan kentalnya unsur perjudian di dalamnya.
Selain itu sabung ayam yang digelar di kampung-kampung atau kebun dan pekarangan
warga telah mencemari anak-anak yang usianya masih sangat muda. Anak-anak bisa
dengan terbukanya melihat sabung ayam bahkan praktik perjudian di dalamnya. Tak
sedikit anak-anak maupun remaja yang kemudian terpengaruh untuk ikut malakukan
perjudian, karena menurut mereka perjudian bisa membantu mendapatkan uang lebih
untuk hal-hal yang diinginkan. Hal tersebut sangat mungkin terjadi karena anak-anak
yang tumbuh di lingkungan “penjudi” sabung ayam untuk mengikuti tindakan yang
sebenarnya sudah jelas-jelas dilarang oleh hukum. Di sisi yang lain, banyak juga pihak
yang mendukung adanya sabung ayam. Selain para pelaku sabung ayam, banyak warga di
sekitar arena atau wilayah yang dijadikan tempat sabung ayam sangat mengharapkan
jikalau sabung ayam tetap ada. Mereka banyak yang menyayangkan penggerebekan yang
dilakukan oleh aparat penegak hukum. Menurut mereka, sabung ayam justru
mendatangkan banyak tambahan penghasilan bagi mereka. Banyak juga yang
berpendapat bahwa perjudian sabung ayam merupakan wujud dari pekerjaan yang lain
yang bisa mendatangkan cukup banyak uang, jika ayam yang mereka adukan menang.
Mereka berpendapat bahwa perjudian sabung ayam tidak melulu perjudian, alasan
mereka adalah butuh keahlian dan modal untuk merawat ayam aduan mereka, hal tersebut
mereka samakan dengan ketika mereka berbisnis, hanya perbedaannya bagaimana cara
mendapatkan uang dengan modal yang dipunyai.
Permainan sabung ayam memiliki beberapa unsur di dalamnya, baik itu arena
(kalangan) yang digunakan untuk sabung ayam, orang yang melakukan sabung ayam
(pelaku), keluarga dari pelaku sabung ayam, masyarakat sekitar arena sabung ayam, serta
tokoh dalam masyarakat (pranata sosial). Observasi awal dalam beberapa kalangan
sabung ayam memperlihatkan bahwa dalam sebuah kalangan illegal permainan terlihat
rapi seperti halnya hanya sebuah permainan sabung ayam tanpa ada perjudian di
dalamnya. Taruhan yang dilakukan di situ bisa secara terang-terangan maupun
sembunyi-sembunyi. Namun, dalam satu kali ayam diadu, taruhan yang terjadi di
dalamnya bisa terdiri dari beberapa petaruh (botoh). Taruhan yang terjadi dalam satu
kalangan sabung ayam terlihat beberapa tingkat uang yang ditaruhkan. Jadi semacam ada
kelas tertentu dalam pertaruhan sabung ayam. Namun, dalam suatu kalangan sabung
ayam tidak semua orang yang datang (pelaku) ikut melakukan pertaruhan uang. Setelah
melakukan observasi awal, di situ nampak beberapa motif dari pelaku, seperti, hanya
datang melihat, hanya ingin mengadu ayam, mengadu sekaligus bertaruh (judi), ataupun
memang hanya ingin bertaruh saja. Seperti kegiatan sabung ayam yang ada di Bali,
Geertz memberikan penjelasan yang hidup dan deskriptif tentang ayam, pemiliknya,
penjudi, penonton, dan pertarungannya. Ia juga menceritakannya melalui simbol emosi
yang ada di dalam ajang kumpul ritual tersebut, dan tindakan-tindakan dari para
partisipan (Sutrisno&Purtanto, 2005: 213).
Kitab
Undang-Undang
Hukum
Pidana
(KUHP)
pasal
303
melarang
bagaimanapun cara tindak pidana perjudian di Indonesia, dalam bentuk atau permainan
apapun. Undang-Undang nomor 7 tahun 1974 tentang penertiban perjudian (Lembaran
Negara Tahun 1974 nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3040) juga melarang
semua praktik perjudian yang didukung oleh Ketetapan Presiden Soeharto nomor 9 tahun
1981 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1974 tentang Penertiban
perjudian pasal 1 poin b yang berbunyi perjudian di tempat-tempat keramaian, antara lain
dari perjudian dengan lempar paser atau bulu ayam pada papan atau sasaran yang tidak
bergerak, lempar gelang, lempar uang (koin), pancingan, menembak sasaran yang tidak
berputar, lempar bola, adu ayam, adu sapi, adu kerbau, adu domba/kambing, pacu kuda,
karapan sapi, pacu anjing, hailai, mayong/macak, erek-erek.
Sabung ayam menimbulkan berbagai masalah dalam kehidupan sosial masyarakat
yang melakukan sabung ayam. Terutama dalam hal ini adalah pelaku sabung ayam yang
melakukakan perjudian di dalamnya. Masalah pertama yang muncul adalah perjudian itu
sendiri merupakan masalah sosial yang menimbulkan dampak kepada para pelaku
maupun keluarga mereka serta lingkungan di sekitar mereka. Adanya anggapan bahwa
judi menjadikan miskin, karena banyak pula masyarakat menderita dan semakin miskin
karena judi, walaupun tidak sedikit orang mempunyai banyak uang juga mengikuti
permainan yang
mengandung unsur perjudian. Judi tidak memandang status ekonomi
maupun sosial masyarakat. Pelaku perjudian itu sendiri terdiri dari kelas ekonomi dan
sosial masyarakat terbawah sampai tertinggi, begitu juga dalam judi permainan sabung
ayam. Selain itu, masalah yang ditimbulkan dari perjudian sabung ayam adalah konflik
yang terjadi antara pelaku sabung ayam dengan keluarga. Kurangnya pola komunikasi
dan perhatian dari pelaku sabung ayam kepada istri dan anak-anaknya merupakan salah
satu faktor penyebabnya disamping masalah keuangan yang seharusnya uang diberikan
kepada istri justru digunakan untuk berpartisipasi dalam kalangan sabung ayam (Susanto,
2013).
Penelitian lain yang pernah dilakukakan yaitu tentang praktik perjudian legal
terselubung di Indonesia dan penyebab seseorang melakukan judi. Hasil penelitian itu
menyimpulkan bahwa judi yang marak terjadi pada masyarakat merupakan salah satu
mekanisme untuk bertahan hidup yang paling minimal. Orang berjudi karena lapangan
pekerjaan sulit didapatkan, sehingga masyarakat yang dilanda persoalan ekonomi
memilih melakukan judi untuk memenuhi kebutuhan ekonomi (Sudiharto, 2005: 14).
Keberadaan perjudian sabung ayam kian marak bahkan dampak dari sabung ayam
tersebut terhadap masyarakat sosial sangat terasa ditambah dalam prakteknya saat ini para
anggota masyarakat yang ikut serta dalam perjudian sabung ayam telah mendirikan
sebuah kelompok serta memiliki perlindungan dari aparat sehingga membuat sabung
ayam yang mengandung unsur perjudian boleh dilakukan.
Terlepas dari segala peraturan pemerintah mengenai perjudian yang salah satunya
terjadi dalam permainan sabung ayam, tak bisa disangkal bahwa sabung ayam dapat
dikatakan sudah mendarah daging bagi beberapa rakyat di Indonesia sehingga sabung
ayam sampai sekarang tidak bisa dihapuskan di segala penjuru nusantara. Faktor budaya
sangat berpengaruh dalam permainan ini. Salah satu sejarah menyebutkan bahwa sabung
ayam merupakan permainan kegemaran masyarakat Sulawesi Selatan, ayam yang akan
diadu pun bukan ayam sembarangaan, ayam yang diadu adalah ayam khusus yang telah
dirawat dengan baik, jika ayam tersebut sering memenangkan pertandingan maka akan
diberi gelar kemudian gelar tersebut diadopsi untuk nama pahlawan kerajaan (Pabittei,
2009). Tradisi sabung ayam pada umumnya digelar untuk memeriahkan pesta-pesta adat
seperti perkawinan, panen, pelantikan raja, serta saat mengeringkan padi.
Sesuatu yang terlahir dari kebiasaan masyarakat akan sulit sekali untuk
dihapuskan. Hal tersebut sudah buka lagi masalah diperbolehkan atau tidak
diperbolehkan, namun meninggalkan suatu tradisi yang sudah melekat erat akan terasa
ganjil, begitu juga yang terjadi dalam sabung ayam. Masyarakat Indonesia terbilang
kokoh dalam mempertahakan budaya serta tradisi yang dimilikinya. Sabung ayam
diambil sebagai fakta budaya yang sempurna sebagai entitas sosiologi. Sabung ayam
merupakan refleksi pada diri seseorang, pada tampilan, penggunaan kekuatan serta daya
tariknya. Sabung ayam menyatukan kekerasan pada hewan, jati diri laki-laki, judi, status
persaingan, kegembiraan rakyat, membangun struktur simbolik dari realitas yang ada
(Geertz, 2005).
Sabung ayam berfungsi sebagai kebudayaan maupun untuk memenuhi fungsi
sekuler adalah kenyataan kultural dan simbolis. Di dalam permainan sabung ayam terjadi
permainan dan penyaluran kekerasan, relasi kekuasaan, dan perayaan hasrat akan
kemenangan. Seperti yang dikatakan oleh Geertz (2005) bahwa ayam jago adalah simbol
kejantanan. Sabung ayam merupakan sebuah folklore yang disebut dengan permainan
rakyat di berbagai tempat dari dulu hingga sekarang (Budihartono, 1974). Kebudayaan
masyarakat merupakan teks yang mereka ciptakan sendiri, yang pada akhirnya disadari
atau tidak merupakan perwujudan dari apa yang mereka pahami dan dikerjakan selama
ini dan telah menjadi bagian dari pola hidup masyarakatnya. Masyarakat desa telah
mengalami perubahan dan perkembangan serta evolusioner, namun kehidupan mereka
terikat oleh habitatnya, hal ini karena adanya nilai yang dapat mengikat mereka dan
mereka memiliki sikap yang sangat menghargai nilai sosial yang berlaku serta kebiasaan
leluhur yang berlangsung hingga sekarang.
Penelitian yang dilakukan oleh Ardiansyah (2014) tentang perilaku sabung ayam
mengatakan bahwa para aktor yang terlibat dalam permainan sabung ayam ini didasari
oleh hobi, pencarian keuntungan, dan pencarian status sosial. Motif yang mendasari
adalah karena faktor sosial dan faktor ekonomi. Perilaku sabung ayam disebabkan oleh
beberapa faktor seperti faktor situasional yaitu karena adanya pengaruh dari kelompok
sepermainan dan lingkungan, selanjutnya faktor belajar yaitu adanya motivasi dari dalam
diri pelaku sabung ayam untuk lebih mendalami lebih jauh permainan sabung ayam itu
sendiri, kemudian faktor penghargaan yaitu dalam setiap permainan sabung ayam ada
nilai harga diri yang turut digadaikan secara tidak langsung, lalu faktor psikologis yaitu
kenyamanan sesorang pada saat melakukan sabung ayam, kenyamanan ini juga
merupakan faktor yang kuat penyebab sabung ayam sulit sekali dihilangkan dalam
kehidupan masyarakat, kenyamanan berubah menjadi hobi yang bisa menciptakan
kesenangan, dan yang terakhir adalah faktor ekomoni yaitu bahwa sabung ayam bisa
dijadikan sebagai alat untuk meningkatkan ekonomi keluarga, masyarakat di sekitar
tempat dilakukan sabung ayam juga mendapat manfaat dari adanya sabung ayam
sehingga hal ini juga berperan besar dalam tumbuhnya perilaku sabung ayam (Setiawan,
2014).
Hasil penelitian lain yang dilakukan oleh Riany (2012) menunjukkan bahwa
perilaku sabung ayam disebabkan oleh tiga faktor yaitu faktor ekonomi, lingkungan, dan
ingin coba-coba. Penelitian ini melihat bahwa dari semua faktor perilaku sabung ayam
tersebut, faktor ingin coba-coba juga dikarenakan oleh faktor ekonomi, permainan sabung
ayam yang nantinya pelaku itu kemudian ikut melakukan perjudian membuat orang ingin
mencoba dengan modal yang relatif sedikit namun dapat menghasilkan uang yang cukup
banyak jika ayam yang mereka taruhkan menang
1.2. Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dijabarkan di atas maka
pertanyaan utama yang muncul dari penelitian ini adalah bagaimana makna perilaku
sabung ayam dalam perspektif pelaku sabung ayam di
Yogyakarta?
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui makna dari sabung ayam
dalam perspektif pelaku. Penelitian ini diharapkan berguna bagi pengembangan ilmu
pengetahuan sosial di dalam masyarakat pada umumnya serta sebagai bahan
perbandingan dan pengembangan bagi penelitian selanjutnya atau penelitian yang serupa
dan sebagai sumbang pemikiran bagi pelaksanaan kebijakan untuk permainan sabung
ayam khususnya sabung ayam yang mengandung unsur perjudian di dalamnya.
1.4. Tinjauan Pustaka
1.4.1. Perilaku Sosial (Interaksionisme Simbolik)
Teori interaksionisme simbolik dipelopori oleh George Herbert Mead dalam
bukunya yang berjudul Mind, Self, and Society. Dalam bukunya Mead menjelaskan
mengenai prioritas sosial yang bermakna bahwa kelompok sosial muncul lebih dulu dan
kelompok sosial yang menghasilkan keadaan mental kesadaran diri. Tindakan sebagai
unit primitif dianalisa sebagai sebuah kesempatan atau peluang untuk bertindak, bukan
sebagai paksaan atau perintah, mead menganalisa persamaan tindakan antara hewan dan
manusia. Tindakan itu sendiri melalui beberapa tahap yaitu impuls, presepsi, manipulasi,
serta konsumsi. Setelah membahas mengenai tindakan Mead kemudian menjelaskan
mengenai sikap-syarat (gesture) yang berarti mekanisme dasar dalam tindakan sosial dan
dalam proses sosial yang lebih umum. Sikap atau tindakan tanpa disadari yang terjadi
secara naluriah disebut sebagai isyarat “nonsignifikan”. Simbol “signifikan” sendiri
diartikan sebagai isyarat gerak yang hanya bisa diciptakan oleh manusia. Suara dan
bahasa adalah sesuatu yang dianggap sebagai simbol signifikan. Bahasa memungkinkan
proses mental berpikir serta menjadi stimulator dari tindakan.
Peran sentral dari simbol signifikan menurut Mead menjadi konsep pikiran (mind)
dan diri (self). Pikiran didefinisikan sebagai proses percakapan seseorang dengan dirinya
sendiri, tidak ditemukan di dalam diri individu, serta pikiran adalah fenomena sosial.
pikiran muncul dan berkembang dalam proses sosial dan merupakan bagian integral dari
proses sosial. Pikiran melibatkan proses berpikir yang mengarah pada penyelesaian
masalah. Diri merupakan kemampuan khusus untuk menerima diri sendiri sebagai subjek
maupun objek. Diri muncul dan berkembang melalui aktivitas dan antara hubungan sosial.
Diri adalah proses sosial yang berlangsung dalam dua fase yang dapat dibedakan.
Mead mengidentifikasi dua aspek atau fase diri yang dinamakan dengan “I” dan
“Me”. “I” dan “Me” merupakan proses yang terjadi di dalam proses diri yang lebih luas,
dan keduanya bukanlah sesuatu (things). “I” diartikan sebagai tanggapan spontan
individu terhadap orang lain serta menjadi sumber utama sesuatu yang baru dalam proses
sosial. “I” juga merupakan sesuatu yang dicari yang nantinya menjadi perwujudan diri
dan menjadi proses evolusioner. “I” dapat didefinisikan sebagai perubahan masyarakat.
“Me” merupakan penerimaan atas orang lain yang digeneralisasikan serta kesadaran
mengenai tanggung jawab. Melalui “Me” kontrol sosial bisa dilakukan di dalam
kehidupan masyarakat. “Me” didefinisikan sebagai individu yang nyaman dalam
kehidupan sosial.
Interaksionisme simbolik mempelajari sifat interaksi yang merupakan kegiatan
sosial dinamis manusia. Bagi perspektif ini, individu itu bukanlah sesorang yang bersifat
pasif,
yang
keseluruhan
perilakunya
ditentukan
oleh
kekuatan-kekuatan
atau
struktur-struktur lain yang ada di luar dirinya, melainkan bersifat aktif, reflektif dan
kreatif, menampilkan perilaku yang rumit dan sulit diramalkan. Oleh karena individu
akan terus berubah maka masyarakat pun akan berubah melalui interaksi itu. Struktur itu
tercipta dan berubah karena interaksi manusia, yakni ketika individu-individu berpikir
dan bertindak secara stabil terhadap seperangkat objek yang sama (Mulyana, 2001: 59).
Jadi, pada intinya, bukan struktur masyarakat melainkan interaksi lah yang dianggap
sebagai variabel penting dalam menentukan perilaku manusia. Melalui percakapan
dengan orang lain, kita lebih dapat memahami diri kita sendiri dan juga pengertian yang
lebih baik akan pesan-pesan yang kita dan orang lain kirim dan terima (West, 2008: 93).
Interaksi simbolik didasarkan pada ide-ide tentang individu dan interaksinya dengan
masyarakat. Esensi interaksi simbolik adalah suatu aktivitas yang merupakan ciri manusia,
yakni komunikasi atau pertukaran simbol yang diberi makna. Perspektif interaksi
simbolik berusaha memahami perilaku manusia dari sudut pandang subjek.
Kehidupan sosial pada dasarnya adalah interaksi manusia dengan menggunakan
simbol-simbol. Secara ringkas, interaksionisme simbolik didasarkan pada premis-premis
berikut: pertama, individu merespon suatu situasi simbolik. Mereka merespon lingkungan,
termasuk
objek
fisik
dan
sosial
berdasarkan
makna
yang
dikandung
komponen-komponen lingkungan tersebut bagi mereka. Kedua, makna adalah produk
interaksi sosial, karena itu makna tidak melekat pada objek, melainkan dinegosiasikan
melalui penggunaan bahasa. Ketiga, makna yang diinterpretasikan individu dapat berubah
dari waktu ke waktu, sejalan dengan perubahan situasi yang ditemukan dalam interaksi
sosial.
Teori ini berpandangan bahwa kenyataan sosial didasarkan kepada definisi dan
penilaian subyektif individu. Struktur sosial merupakan definisi bersama yang dimiliki
individu yang berhubungan dengan bentuk-bentuk yang cocok, yang menghubungkannya
satu sama lain. Tindakan-tindakan individu dan juga pola interaksinya dibimbing oleh
definisi bersama yang sedemikian itu dan dikonstruksikan melalui proses interaksi.
Labeling merupakan suatu definisi masalah sosial yang subyektif. Suatu tindakan
atau situasi dianggap sebagai masalah sosial bersifat relatif, tergantung bagaimana
masyarakat memberi makna terhadap situasi tersebut. Labeling menggambarkan
bagaimana seseorang dinamakan atau diberi label sakit mental. Label yang diberikan
masyarakat terhadap tindakan seseorang seringkali dapat merubah intepretasi aktor
terhadap tindakan semula, sehingga nanti aktor mempunyai intepretasi yang sama dengan
masyarakat. Akan tetapi labeling yang diberikan oleh masyarakat terhadap situasi tertentu
dalam realitas rekonstruksi sosial, menyebabkan perubahan negatif dalam pembentukan
konsep diri individu. Kondisi tersebut sering disebut dengan deviant sub-culture
menjelaskan adanya masalah sosial yang timbul justru karena persamaan intepretasi
anatar individu dengan kelompok atau lingkungan masyarakat. Kondisi deviant
sub-culture menjelaskan tindakan dianggap suatu penyimpangan, akan tetapi oleh
masyarakat dalam lingkungan tertentu dianggap sebagai sesuatu yang wajar, bahkan
fungsional terhadap kehidupan sosialnya (Soeteomo, 2013: 127-132).
1.4.2. Makna Kesejahteraan
Kondisi sejahtera (well-being) biasanya menunjuk pada istilah kesejahteraan
sosial (social welfare) sebagai kondisi terpenuhinya kebutuhan material dan non material.
Kesejahteraan sosial menurut Segal dan Brzuzy yang dikutip dalam Suud (2006: 5)
Kesejahteraan sosial adalah kondisi sejahtera dari suatu masyarakat. Kesejahteraan sosial
meliputi kesehatan, keadaan ekonomi, kebahagiaan, dan kualitas hidup rakyat.
Kesejahteraan tidak akan tercapai jika kebahagiaan tidak dapat dirasakan di dalam
kehidupan setiap individu.
Kesejahteraan yang mana melipui rasa bahagia merupakan suatu kesejahteraan
yang siatnya subjektif. Ukuran dari kebahagiaan itu sendiri tidak dapat diterjemahkan
karena kebahagiaan merupakan suatu hal yang sifatnya subjektif di dalam diri
masing-masing individu. Happiness atau kebahagiaan mempunyai makna yang sama
dengan subjective wellbeing dimana subjective wellbeing terbagi atas dua komponen
didalamnya. Kedua komponen tersebut juga menyatakan bahwa kebahagiaan merupakan
bagian dari kesejahteraan. Ditambahkan pula bahwa konsep kebahagiaan adalah
merupakan sinonim dari kepuasan hidup atau satisfaction with life (Veenhoven, 2000).
Kebahagiaan merupakan sebongkahan perasaan yang dapat dirasakan berupa
perasaan senang, tentram, dan memiliki kedamaian (Rusydi, 2007). Sedangkan happiness
atau kebahagiaan menurut Biswas, Diener & Dean (2007) merupakan kualitas dari
keseluruhan hidup manusia – apa yang membuat kehidupan menjadi baik secara
keseluruhan seperti kesehatan yang lebih baik, kreativitas yang tinggi ataupun pendapatan
yang lebih tinggi.
Arti kata “bahagia” berbeda dengan kata “senang.” Secara filsafat kata “bahagia”
dapat diartikan dengan kenyamanan dan kenikmatan spiritual dengan sempurna dan rasa
kepuasan, serta tidak adanya cacat dalam pikiran sehingga merasa tenang serta damai.
Kebahagiaan bersifat abstrak dan tidak dapat disentuh atau diraba. Kebahagiaan erat
berhubungan dengan kejiwaan dari yang bersangkutan.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kebahagiaan adalah sesuatu yang
membuat pengalaman yang menyenangkan berupa perasaan senang, damai dan termasuk
juga didalamnya kesejahteraan, kedamaian pikiran, kepuasan hidup serta tidak adanya
perasaan tertekan. Semua kondisi ini adalah merupakan kondisi kebahagiaan yang
dirasakan seorang individu.
Komponen kebahagiaan menurut Rakhmat (2004) dimana komponen kebahagiaan
pertama adalah perasaan menyenangkan. Bahagia adalah emosi positif, dan sedih adalah
emosi negatif. Sedangkan komponen kebahagiaan yang kedua adalah penilaian seseorang
tentang hidupnya. Perasaan kita sebut sebagai unsur afektif dan penilaian unsur kognitif.
Faktor – Faktor yang Berkontribusi Terhadap Kebahagiaan.
-
Uang: Keadaan keuangan yang dimiliki seseorang pada saat tertentu menentukan
kebahagiaan yang dirasakannya akibat peningkatan kekayaan. Individu yang
menempatkan uang di atas tujuan yang lainnya juga akan cenderung menjadi kurang
puas dengan pemasukan dan kehidupannya secara keseluruhan.
-
Pernikahan: Pernikahan memiliki dampak yang jauh lebih besar dibanding uang
dalam mempengaruhi kebahagiaan seseorang. Individu yang menikah cenderung
lebih bahagia daripada mereka yang tidak menikah.
-
Kehidupan Sosial: Individu yang memiliki tingkat kebahagiaan yang lebih tinggi
umumnya memiliki kehidupaan sosial yang memuaskan dan menghabiskan banyak
waktu bersosialisasi. Pertemanan yang terjalin juga sebaiknya terbuka antar satu
sama lain sehingga berkontribusi terhadap kebahagiaan, karena pertemanan tersedia
dukungan sosial dan terpenuhinya kebutuhan akan affiliasi.
-
Kesehatan: Kesehatan yang dapat berpengaruh terhadap kebahagiaan adalah
kesehatan yang dipersepsikan oleh individu (kesehatan subjektif), bukan kesehatan
yang sebenarnya dimiliki (kesehatan obyektif).
-
Agama: Penelitian menunjukkan bahwa individu yang religius lebih bahagia dan
lebih puas dengan kehidupannya dibandingkan individu yang tidak religius.
-
Emosi Positif: individu yang mengalami banyak emosi negatif akan mengalami
sedikit emosi positif, dan sebaliknya.
Terdapat beberapa aspek kebahagiaan. Ada dua hal yang harus dipenuhi untuk
mendapatkan kebahagiaan yaitu afeksi dan kepuasan hidup (Rusydi, 2007).
-
Afeksi : Perasaan (feeling) dan emosi (emotion) merupakan bagian yang tidak
terpisahkan. Setiap pengalaman emosional selalu berhubungan dengan afektif atau
perasaan yang sangat menyenangkan sampai kepada perasaan yang tidak
membahagiakan.
-
Kepuasan Hidup : Kepuasan hidup merupakan kualitas dari kehidupan seseorang
yang telah teruji secara keseluruhan berdasarkan kriteria yang telah ditentukan.
Kepuasan hidup merupakan hasil dari perbandingan antara segala peristiwa yang
dialami dengan apa yang menjadi tumpuan harapan dan keinginan. Dengan demikian
dapat dikatakan bahwa semakin terpenuhinya kebutuhan dan harapan seseorang
maka semakin tinggi pula tingkat kepuasan seseorang.
1.4.3. Sabung Ayam
Yusuf Efendi (2011), sabung ayam terdiri dari dua kata yaitu sabung dan ayam.
Sabung diadopsi dari bahasa Lampung yang memiliki arti “sabung” yaitu berkelahi
sedangkan sabung ayam sendiri dalam bahasa Indonesia sama dengan “adu ayam”,
sehingga sabung ayam adalah perkelahian anatara dua ekor ayam jantan yang bagi
masyarakat sendiri sabung ayam telah dianggap sebagai sebuah tradisi yang telah
membudaya.
Sabung ayam dalam Masyarakat Toraja juga sudah menjadi tradisi. Sabung ayam
di Toraja dikenal dengan beberapa nama, yakni: sisaung, paramisi, dan dalam peradilan
adat Toraja dikenal dengan nama “Si Londongan”. Tradisi ini sudah ada sebelum kolonial
Belanda masuk di wilayah Toraja. Sabung ayam atau Si Londongan merupakan suatu
budaya orang Toraja yang digunakan sebagai cara penyelesaian pekara apapun yang tidak
bisa diselesaikan sendiri oleh pihak yang berselisih (Frans, 2010: 127).
Tradisi sabung ayam sudah lama ada dalam masyarakat nusantara. Di pulau Jawa
berasal dari folklore (cerita rakyat) Cindelaras yang memiliki ayam sakti dan diundang
oleh raja Jenggala, Raden Putra untuk mengadu ayam. Ayam Cindelaras diadu dengan
ayam Raden Putra dengan satu syarat, jika ayam Cindelaras kalah maka ia bersedia
kepalanya dipancung, tetapi jika ayamnya menang maka setengah kekayaan Raden Putra
menjadi milik Cindelaras. Dua ekor ayam itu bertarung dengan gagah berani. Tetapi
dalam waktu singkat, ayam Cindelaras berhasil menaklukkan ayam sang Raja. Para
penonton bersorak sorai mengelu-elukan Cindelaras dan ayamnya. Akhirnya raja
mengakui kehebatan ayam Cindelaras dan mengetahui bahwa Cindelaras tak lain adalah
putranya sendiri yang lahir dari permaisurinya yang terbuang akibat iri dengki sang selir.
Sedangkan di Bali permainan sabung ayam disebut Tajen. Tajen berasal-usul dari tabuh
rah, salah satu yadnya (upacara) dalam masyarakat Hindu di Bali. Tujuannya mulia,
yakni mengharmoniskan hubungan manusia dengan bhuana agung. Yadnya ini runtutan
dari upacara yang sarananya menggunakan binatang kurban, seperti ayam, babi, itik,
kerbau, dan berbagai jenis hewan peliharaan lain. Persembahan tersebut dilakukan
dengan cara nyambleh (leher kurban dipotong setelah dimanterai). Sebelumnya pun
dilakukan ngider dan perang sata dengan perlengkapan kemiri, telur, dan kelapa. Perang
sata adalah pertarungan ayam dalam rangkaian kurban suci yang dilaksanakan tiga partai
(telung perahatan), yang melambangkan penciptaan, pemeliharaan, dan pemusnahan
dunia. Perang sata merupakan simbol perjuangan hidup (Andrianto: 2003).
Sabung ayam dalam masyarakat Bali dilakukan dalam mencari keuntungan yang
besar dalam hal materi. Dalam sabung ayam tersirat makna bahwa yang bertarung adalah
manusia pemilik ayam jago tersebut. Bagi orang yang kalah dalam permainan adalah
sebuah tamparan yang sangat memalukan dalam masyarakat. Namun hal utama yang
ditekankan dalam sabung ayam di Bali bukan terletak pada uang atau taruhan yang terjadi,
melainkan isi dari pertandingan sabung ayam tersebut walaupun uang juga memegang
peranan yang penting. Isi yang tersirat dalam permainan sabung ayam adalah perpindahan
hierarki status orang Bali ke dalam susunan sabung ayam (Susanto, 2013).
Pelaku sabung ayam diartikan sebagai orang yang melakukan kegiatan sabung
ayam. Sabung ayam merupakan permainan yang mana pelakunya sangat beragam. Tak
hanya warga sipil, penegak hukum seperti anggota POLISI dan TNI pun juga ikut
melakukan sabung ayam Ilham, 19 Oktober 2014). Pelaku sabung ayam yang terdapat di
salah satu desa yang terdapat di Yogyakarta menunjukkan pelaku mulai dari anak kecil,
remaja, hingga orang dewasa atau laki-laki yang sudah tua. Di desa tersebut diketahui
bahwa sabung ayam sudah merupakan sebuah tradisi yang harus dilakukan baik orang
tersebut masih dikategorikan sebagai anak. Di desa tersebut sabung ayam digunakan
untuk mencari sebuah kesenangan maupun kepuasan dalam diri mereka masing-masing
melalui ayam yang mereka adu.
Pada tulisan Geertz tentang sabung ayam atau adu ayam pada masyarakat Bali,
kita akan menemukan banyak hal menarik yang ada di dalamnya (makna ) yang akan
dikaitkan dan terkait dengan struktur sosial dan kehidupan masyarakat Bali sehari-hari,
khususnya kaum pria. Sabung ayam bagi masyarakat Bali khusunya merupakan bagian
dari gaya hidup mereka (The Balinese of Life). Pada arena adu ayam yang terlihat
bertarung adalah ayam, akan tetapi yang merupakan perwakilan dari kaum pria di Bali.
Oleh karena itu sabung ayam juga digunakan sebagai tempat bertaruh, yang berarti
permainan tersebut merupakan salah satu bentuk perjudian. Akan tetapi keintiman pria
dengan ayam mereka lebih dari metafora. Laki-laki Bali, atau pula sebagian besar orang
Bali, menghabiskan sejumlah besar waktu dengan favorit mereka, perawatan mereka,
memberi mereka makan, mereka membahas, mencoba mereka terhadap satu sama lain,
atau hanya menatap mereka dengan campuran kekaguman. Kegilaan memiliki beberapa
dimensi yang kurang terlihat, namun, karena meskipun benar bahwa ayam adalah
ekspresi simbolik atau perbesaran diri pemilik mereka, ego pria narsis tertulis dalam hal
Aesopian, mereka juga ekspresi dan agak lebih cepat yang-apa menjunjung Bali sebagai
inversi langsung, estetis, moral, dan metafisik, status manusia: kebinatangan. Apa yang
membuat sabung ayam Bali yang mendalam dengan demikian bukan uang itu sendiri, tapi
apa, yang lebih dari itu yang melibatkan lebih, uang menyebabkan terjadi: migrasi dari
hirarki statusnya Bali ke dalam tubuh sabung ayam tersebut. Dalam hal ini tentang
sabung ayam di Bali merupakan sebuah kebudayaan mayarakat berupa sebuah teks yang
mereka ciptakan sendiri, yang pada akhirnya di dasari atau tidak merupakan perwujudan
dari apa yang mereka pahami dan mereka kerjakan selama ini dan telah menjadi bagian
dari pola hidup masyarakatnya. Di Bali dan Jawa sendiri adu ayam sudah dikenal secara
turun menurun. Dalam penelitian Geertz tersebut telah dijelasan secara ekspelisit seperti
bagaimana polisi mencoba membubarkan dengan cara paksa seperti melakukan razia
ditempat adu ayam, namun demikian para penggemarnya tidaklah segan akan sebuah
tindakan dari polisi, namun sebaliknya setelah dilakukan operasi beberapa saat kemudian
melakukan aktifitas sabung ayam kembali, ini membuktikan bahwa sabung ayam sendiri
memang sudah mendarah daging (menjadi kebiasaan) oleh masyarakat sekitar khususnya
pada diri Maskulinitas.
Download