BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN. 2.1 Tinjauan Pustaka Kajian pustaka merupakan uraian tentang beberapa penelitian sebelumnya mengenai permasalahan serupa dengan yang sedang dikaji dalam penelitian ini. Penelitian memerlukan adanya kajian pustaka. Kajian pustaka digunakan sebagai petunjuk, pembanding, serta penunjang dalam penelitian ini. Penelitian ini menggunakan beberapa kajian pustaka sebagai acuan data sekunder. Berdasarkan beberapa kajian pustaka tersebut, dapat diperoleh data, konsepsi, dan teori yang berkaitan dengan permasalahan dalam penelitian ini. Adapun beberapa pustaka yang digunakan sebagai acuan adalah sebagai berikut. Clifford Geertz (1999) yang dimuat dalam bukunya yang berjudul Negara The Theatre State in Nineteenth Century Bali. Geertz mengkaji dan menginterpetasikan kebudayaan masyarakat Bali berdasarkan konsep fenomena budayanya. Pada penelitian ini juga disinggung mengenai tradisi sabung ayam pada masyrakat Bali. Geertz mengungkapkan bahwa melalui tajen diharapkan dapat mengupas karakter masyarakat Bali. Ketertarikannya dalam meneliti tajen juga didasari anggapannya bahwa tajen sebagai kegiatan yang popular di masyarakat belum diteliti secara mendalam. 11 12 Di awal abad ke-19, sabung ayam diselenggarakan oleh raja ketika hari pasah. Para penguasa ini memungut pajak dari perselenggaraan sabung ayam. Hasil penelitian Geertz ini mengungkapkan bahwa tradisi tabuh rah seringkali disalahgunakan untuk menutupi perjudian. Tajen yang sebenarnya dilaksanakan dengan tujuan judi ditutupi dengan mengatakan bahwa tajen yang diadakan tersebut merupakan tabuh rah. Pada buku ini Geertz membagi tajen menjadi dua, yakni pertarungan yang sifatnya biasa (flaches spiel) serta pertarungan yang melibatkan harga diri, dan kehormatan (tiefes spiell deep play). Dalam flaches spiel yang dipentingkan adalah uang, sedangkan apa yang membuat pertarungan ayam menjadi sebuah deep play adalah adanya pengaliran status hierarkis si pemilik ayam ke dalam pertarungan. Geertz menambahkan, orang-orang Bali dapat mengaktifkan dan mewujudkan rivalitas dan permusuhan antar pedesaan atau kerabat melalui sebuah bentuk permainan yang menarik yaitu adu ayam. Berdasarkan beberapa pendapat dan pandangan Geertz dapatlah diketahui bahwa sabung ayam dalam masyarakat Bali memiliki makna, simbol, dan fungsi tersendiri dalam kehidupan bermasyarakat pada masa tersebut. Hasil penelitian Geertz juga mengungkapkan bahwa penyelenggaraan sabung ayam awal abad ke19 digelar pada suatu tempat yang bernama wantilan. Berdasarkan buku tersebut dapat diketahui bahwa pungutan pajak atau biaya penyelenggaran sabung ayam ini sejatinya sudah ada pada masa terdahulu, sehingga proses tersebut berkembang hingga kini menjadi suatu bentuk perjudian. Hasil penelitian Geertz penulis jadikan sebagai sumber data dan data pembanding tradisi sabung ayam masa Bali Kuno. Meskipun terdapat perbedaan waktu 13 penelitian, dimana penelitian Geertz mengacu kepada tradisi masyarakat Bali pada abad ke-19, sedangkan penelitian ini mengkaji sabung ayam pada masa Bali Kuno. Pada buku ini disebutkan terkait permasalahan fungsi dan perkembangan tradisi sabung ayam abad ke-19, sehingga dapat membantu dalam mengungkap beberapa fungsi dan perkembangan permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini. Sudina M.S (tanpa tahun) dalam buku yang berjudul Tajen Ilmu dan Doanya memaparkan tentang tajen secara umum di Bali. Beberapa istilah serta doa – doa yang biasanya digunakan untuk memantrai ayam sebelum bertarung di arena sabung ayam dibahas dalam buku ini. Juga menjelaskan perkembangan sabung ayam yang pada mulanya bernama tabuh rah menjadi tajen. Buku ini memaparkan fungsi sabung ayam pada abad ke-20 dan perkembangannya masa sekarang ini. Pada buku juga dijelaskan fungsi sabung ayam diawal abad ke-20 yang berfungsi sebagai tabuh rah, kemudian mengalami pergeseran makna dan nilai menjadi tajen. Istilah - istilah terkait sabung ayam juga dijelaskan dalam buku ini, seperti wulang, taji, sapih dan kemong. Terkait pemaparan diatas, dapat disimpulkan tentang istilah – istilah yang ada dalam tradisi sabung ayam. Istilah tersebut tentunya berhubungan erat dengan fungsi yang berbeda pada sabung ayam. Buku ini penulis gunakan untuk menjawab permasalahan terkait fungsi tradisi sabung ayam pada masa Bali Kuno. Ki Sari Manteb (Pesta) (2013) dalam buku yang berjudul Mitologi Tanaman – Binatang dan Mahluk Halus. Pada buku ini menyinggung masalah 14 sabung ayam dalam bentuk tabuh rah dan tajen. Dijelaskan juga mengenai asal istilah kata ayam dan beberapa istilah yang digunakan dalam sabung ayam. Seperti misalnya istilah sapih yang disebutkan pada salah satu prasasti, dan istilah tersebut diartikan sebagai istilah untuk menyebutkan hasil seri (draw) dalam sabung ayam. Pada buku sebelumnya juga menjelaskan mengenai istilah-istilah dalam tradisi sabung ayam, tetapi buku ini membahas lebih banyak mengenai istilah daripada buku sebelumnya. Terkait hal tersebut penulis menjadikan buku ini sebagai data pembanding dan pelengkap dalam penelitian ini, yang membahas permasalahan mengenai aspek fungsi dan perkembangan tradisi sabung ayam masa Bali Kuno. Gusti Ayu Surasmi (2007) dalam buku yang berjudul Jejak – Jejak Tantrayana di Bali. Pada buku ini dijelaskan mengenai pemahaman terkait tantrayana. Pemahaman tersebut disini dipaparkan mulai dari kemunculan tantrayana, perkembangannya di berbagai belahan dunia, kemunculannya di Indonesia, serta jenis-jenis pemujaan dan karya sastra yang bersumber pada aliran ini. Pada buku ini menjelaskan bagaiamana seorang spiritual melaksanakan kebaktiannya berdasarkan pada aliran tantrisme. Kebaktiaan atau cara pemujaan tantra dalam buku ini dikatakan dapat melalui banyak cara diantaranya mabuk, bercinta sepuasnya, dan makan sepuasnya. Aliran ini juga menekankan penggunaan darah sebagai salah satu bentuk sarana pelengkap pemujaan bagi spiritual yang beraliran tantrisme untuk mencapai jalan kebaktiaannya. Buku ini penulis gunakan untuk membandingkan makna dari fungsi tabuh rah itu sendiri. Berdasarkan pengertian mendasar dari tabuh rah itu sendiri yang berarti darah, 15 jadi mungkin erat kaitannya dengan kepercayaan atau aliran tantra pada masa Bali Kuno. Nantinya penulis akan membandingkan terkait makna dari tabuh rah pada masa Bali Kuno berdasarkan pemahaman mengenai aliran tantra yang dijelaskan pada buku ini. Penulis akan mengungkap apakah pada masa Bali Kuno, tabuh rah itu bisa dikatakan dahulunya merupakan suatu kepercayaan terhadap tantra atau tidak. Wayan Dunia (2009) dalam buku yang berjudul Kumpulan Ringkasan Lontar. Buku ini menerangkan tentang transiltrasi dari suatu lontar. Pada buku ini dipaparkan pembabakan lontar berdasarkan fungsinya masing – masing. Pengelompokkan lontar – lontar dalam buku ini didasarkan pada tatwa atau ajaran kedewaan yang isinya terkait pemujaan dan persembahan kepada Tuhan. Buku ini mengelompokkan kedalam 5 kelompok lontar masing – masing adalah, kelompok tatwa terdiri dari 13 lontar, kelompok susila terdiri dari 1 lontar, kelompok upacara terdiri dari 5 lontar, kelompok wariga terdiri dari 1 lontar, serta kelompok babad terdiri dari 1 lontar. Masing – masing kelompok ini menjelaskan ringkasan lontar – lontar sesuai kelompoknya, misalnya dalam kelompok lontar upacara menjelaskan ringkasan atau kutipan lontar yang menyebutkan ketentuan – ketentuan terkait dengan pelaksanaan suatu upacara agama. Salah satu lontar yang dijelaskan dalam buku ini adalah lontar Siwa Tatwa Purana. Pada lontar ini menjelaskan runtutan upacara yang harus dilaksanakan pada hari – hari tertentu untuk menghormati alam juga menjaga keharmonisan dunia. Salah satu penjelasan yang ada sangkut pautnya pada penelitian ini adalah, penjelasan mengenai harus dilaksanakannya prang satha setiap tilem kesanga dalam kepercayaan umat Hindu 16 di Bali. Apabila dicermati maka istilah prang satha yang disebutkan dalam lontar siwa tatwa purana ini, dapat diindikasikan sebagai suatu ungkapan atau istilah lain untuk menyebutkan tradisi tabuh rah. Pada buku ini juga dijabarkan salinan dari lontar siwa tatwa purana, meskipun ada beberapa bagian lontar yang tidak disebutkan. Buku ini penulis akan dijadikan sebagai data pembanding untuk merumuskan perkembangan tradisi sabung ayam dan juga terkait permasalahan fungsi tradisi sabung ayam pada masa Bali Kuno. Rahmatul Hidayat (2011) dalam penelitian Skripsi Sabung ayam Tabuh rah dan Tajen di Bali. Penelitian Hidayat meneliti tentang sabung ayam dalam perspektif hukum Islam dan hukum positif. Pada penelitian ini Hidayat menjelaskan pemaparan bagaimana tradisi sabung ayam masa sekarang yang melanggar hukum. Dijelaskan juga kajian dan pandangan para ahli terkait tradisi sabung ayam, baik ahli dari cendekiawan hukum maupun kalangan budayawan. Selain mengkaji sabung ayam dalam persepektif hukum, Hidayat juga mengkaji tentang sejarah tradisi sabung ayam berdasarkan beberapa prasasti. Namun sudut pandang penelitian ini berbeda meskipun objek yang diteliti sama. Penelitian Hidayat mengkaji tentang bagaimana persepektif hukum Islam dan hukum positif dalam menyikapi sabung ayam di Bali, sedangkan penelitian ini mengkaji proses kebudayaan sabung ayam pada masa Bali Kuno. Selain itu perbedaan terlihat pula pada masa penelitian, yang mana penelitian Hidayat lebih menempatkan sabung ayam masa Bali modern, sedangkan pada penelitian ini lebih mengkaji sabung ayam masa Bali Kuno. Dijelaskan juga mengenai perkembangan sabung ayam dan fungsinya masa sekarang. Pada skripsi ini juga memaparkan mengenai sejarah 17 singkat tradisi sabung ayam yang di mulai berdasarkan beberapa prasasti. Skripsi ini dijadikan sebagai pembanding untuk menganalisis data prasasti pada penelitian ini, mengingat perbedaan objek dan persepektif penelitian sehingga dapat dijadikan pedoman terkait fungsi dan proses perkembangan sabung ayam dalam penelitian ini. Ni Luh Gede Ayu Febriyanthi (2014) dalam skripsinya yang berjudul “ Aspek religi Pada Masa pemerintahan Raja Jayapangus (Kajian Epigrafi)”. Skripsi ini membahas mengenai aspek-aspek keagaaman yang berkembang pada masa pemerintahan raja Raja Jayapangus. Pada skripsi ini dipaparkan sekte-sekte kegamaan yang berkembang kala itu, dan juga dijelaskan upacara keagaaman yang berlangsung pada masa raja Jayapangus. Bagian pembahasan skripsi ini menjelaskan beberapa upacara keagaaman yang disebutkan dalam prasasti pada masa Jayapangus. Salah satu diantara pembahasan terkait upacara kegamaan tersebut adalah disinggungnya upacara caru dan sedikit bahasan mengenai istilah sawungan yang notabene merupakan penyebutan untuk kegiatan sabung ayam. Penelitian tersebut berdasar pada sumber prasasti yang mempunyai kesamaan jenis penelitian ini yang bersumber pada data prasasti. Penelitian ini penulis gunakan sebagai data pelengkap, terutama untuk membahas permasalahan terkait fungsi sabung ayam pada masa Bali Kuno. 2.2 Konsep Konsep adalah suatu istilah yang mengacu pada suatu fenomena tertentu yang bisa bersifat individual dan juga dapat bersifat kompleks. Maksud suatu 18 konsep adalah untuk menyederhanakan pemikiran dengan jalan memasukan sejumlah kejadian dalam suatu nama yang umum. Agar mempermudah pemahaman dan pembahasan dalam penelitian ini, maka diperlukan beberapa konsep atau pengertian dasar yang terkait judul penelitian ini. Adapun konsep – konsep yang akan dikemukakan sebagai berikut. 2.2.1 Tradisi sabung ayam Tradisi sabung ayam terdiri dari tiga kata yaitu ‘tradisi’, ‘sabung’ dan ‘ayam’. Tradisi merupakan suatu kebiasaan yang terjadi dari generasi ke generasi (turun temurun) dan periodenya melintasi lintas zaman sedangkan, sabung berarti adu atau mengadu dan ayam berarti ayam (yang dimaksud ayam dalam hal ini adalah ayam jantan). Jadi tradisi sabung ayam berarti kebiasaan yang dilakukan secara turun – temurun berupa kegiatan mengadu dua ekor ayam jantan pada suatu tempat atau areal tertentu. Hidayat (2011: 4 – 5) berpendapat bahwa tradisi sabung ayam terdiri dari dua jenis kegiatan yang mengadu dua ekor ayam jantan. Menurut pendapatnya ada dua jenis kegiatan sabung ayam yaitu tabuh rah dan tajen. Tabuh rah adalah sebuah upacara ritual dalam agama Hindu di Bali yang ditunjukan kepada Tuhan sebagai sembah bhakti perwujudan kepadanya. Sedangkan tajen adalah sabung ayam yang diadakan diluar upacara keagamaan dan disertai dengan taruhan. Jadi tradisi sabung ayam yang dimaksud dalam penelitian ini adalah suatu bentuk tradisi masyarakat yang berupa kegiatan mengadu dua ayam jantan pada suatu pertandingan yang diadakan pada areal tertentu, sebagai fungsinya berupa tabuh rah maupun tajen. 19 2.2.2. Fungsi tradisi sabung ayam Kata fungsi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai kegunaan suatu hal (Tim Balai Pustaka, 1997: 281). Fungsi yang dimaksud pada penelitian ini adalah fungsi tradisi sabung ayam pada kehidupan masyarakat Bali Kuno. Pada kajian ini fungsi yang akan direkontruksi adalah hasil kajian analisis data prasasti – prasasti Bali abad IX – XII. Kajian fungsi ini akan mengukapkan kegunaan atau fungsi dari tradisi sabung ayam pada masa Bali Kuno. 2.2.3 Masyarakat Bali Kuno Masyarakat Bali Kuno, terdiri dari dua kata yaitu ‘masyarakat’ dan ‘Bali Kuno’. Masyarakat adalah keseluruhan antara hubungan - hubungan antar manusia (Budiardjo, 2013:46). Maclver (1961:22) mengatakan masyarakat adalah suatu sistem hubungan-hubungan yang ditata. Pengertian Bali Kuno termuat dalam (Astra 2008) yang mana di jelaskan bahwa yang dimaksud dengan zaman Bali Kuno khususnya dalam terminologi sejarah, ialah rentangan waktu yang berlangsung kurang lebih sejak abad VIII sampai dengan pertengahan abad XIV. Masyarakat Bali Kuno yang dimaksud pada penelitian ini adalah merupakan suatu kumpulan antar individu dengan aktivitas tertentu yang terjadi pada masa lampau serta memiliki tujuan yang sama. Pada penjelasan konsep penelitian ini lebih menekankan pada masyarakat Bali berdasarkan prasasti masa Bali Kuno. Jadi yang dimaksud dengan masyarakat Bali Kuno dalam penelitian ini adalah suatu tatanan atau hubungan-hubungan manusia yang tertata dan menghuni suatu tempat 20 atau daerah di Bali yang berlangsung pada periode abad VIII sampai dengan pertengahan abad XIV. 2.2.4 Data Prasasti Apabila dijabarkan data prasasti terdiri dari dua kata yaitu ‘data’ dan ‘prasasti’. Data adalah keterangan yang benar dan nyata serta dapat dijadikan dasar kajian analisis ataupun kesimpulan (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2013). Prasasti merupakan sumber sejarah tertulis di atas batu atau logam. Sebagian besar prasasti tersebut diterbitkan atas perintah raja atau penguasa, dan pada umumnya berisi tentang angka tahun, daftar pejabat tinggi kerajaan, pemeliharaan bangunan suci, penetapan sima, agama, kutukan keputusan pengadilan, organisasi sosial dan keagamaan (Rangkuti, 1994: 164). Menurut Bakker (1972:10) prasasti adalah suatu putusan resmi, tertulis diatas batu atau logam, dirumuskan menurut kaidahkaidah tertentu, berisikan anugrah dan hak, yang dikaruniakan dengan beberapa upacara. Ada kalanya prasasti hanya berupa penanggalan kata atau angka tahun saja dan jenis prasasti ini disebut dengan inskripsi. Williams dalam bukunya Kamus Sansekerta (1963: 695) disebutkan prasati adalah pujian, popularitas atau kemashyuran, pemujaan. Isi dan struktur prasasti yang lengkap meliputi: (1) nama dewa dengan suatu pujian yang dianut oleh raja, (2) pertanggalan pada prasasti, (3) nama raja yang mengeluarkan prasasti, (4) nama orang yang menerima prasasti, (5) titah raja, (6) sambandha atau sebab dan alasan dikeluarkanya prasasti, (7) daftar saksi yang ada pada saat penganugrahan prasasti, (8) upacara berkah dan pujian prasasti, (9) sapatha atau kutukan, (10) astu atau yang artinya 21 sekianlah (Bakker, 1972:15-24). Sedangkan menurut Boechari (1997:1-2) berdasarkan bahannya, prasasti dapat dibedakan menjadi : (1) lingga prasasti, yaitu prasasti yang ditulis di atas batu, (2) tambra prasasti, yaitu prasasti yang ditatah di atas logam tembaga, (3) ripta prasasti, yaitu prasasti yang ditulis di atas daun tal. Berdasarkan pemaparan diatas, jadi yang dimaksud dengan data prasasti adalah keterangan empiris tentang suatu putusan resmi dari raja berisi anugrah maupun perintah yang dituliskan pada batu maupun logam. Data prasasti yang dijadikan fokus dalam peneltian ini adalah data terkait tradisi sabung ayam yang disebutkan pada prasasti Bali abad IX – XII. 2.2.5 Tajen. Tajen merupakan suatu bentuk dari kegiatan sabung ayam. Tajen berasal dari kata taji yang kemudian mendapat prefik ‘an’, menjadi ‘tajian’. Kata tersebut kemudian berkembang menjadi istilah tajen pada masyarakat Bali. Aktivitas ini merupakan sebuah aktivitas yang berupa mengadu dua ekor ayam jantan pada suatu arena yang telah ditentukan oleh pelakunya. Kegiatan menyabung ayam ini dilengkapi dengan taji pada kedua kaki ayam yang bertarung. Pelaksanaan kegiatan tajen ini pun memang berlandaskan atas judi. Berdasarkan pemahaman itu, maka kegiatan tajen yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kegiatan sabung ayam atau mengadu ayam yang mempergunakan taji dan mempergunakan taruhan, dimana kegiatan tersebut diadakan pada suatu arena atau wilayah dan diikat pada peraturan tertentu. 22 2.2.6. Tabuh Rah Secara epistimologi kata tabuh rah terdiri dari dua kata yaitu ‘tabuh’ dan ‘rah’. Istilah kata ‘tabuh’ atau ‘tawur’ berarti menabur atau menghamburkan, sedangkan kata ‘rah’ dapat diartikan sebagai darah. Dengan demikian yang dimaksud dengan tabuh rah ialah menabur atau menghamburkan darah. Definisi secara umum, tabuh rah diartikan sebagai suatu bentuk kegiatan mengadu atau menyabung ayam pada suatu tempat yang terkait dengan upacara agama. Ayam yang diadu dilengkapi dengan taji pada kakinya. Mengadu atau menyabung ayam tersebut lah akan menghasilkan darah yang berhamburan dan bertaburan yang sesuai dengan definisi umum dari tabuh rah itu secara epistimologi. Jadi kegiatan tabuh rah sebagaimana dimaksud pada penelitian ini adalah kegiatan mengadu atau menyabung ayam yang ada kaitannya dengan upacara agama. 2.3 Landasan Teori Landasan teori sangat diperlukan dalam sebuah penelitian, yaitu sebagai alat analisis dan dasar pembahasan masalah. Teori Berdasarkan pengertiannya, merupakan suatu rumusan yang berisikan prinsip umum terorganisir secara sistematis digunakan dalam menganalisis, membuat asumsi, dan menjelaskan suatu gejala suatu masalah sebagian atau keseluruhanya telah terbukti kebenaranya. Pada penelitian ini ada dua teori yang akan digunakan sebagai berikut. 23 2.3.1 Teori Fungsionalisme-Struktural Teori fungsionalisme struktural dikembangkan oleh salah satu ahli bernama Robert K. Merton. Robert K. Merton (dalam Poloma, 2003:29-41) memaparkan dalam sosiologi kontemporer terdapat analisis fungsional yang mencakup tiga hal. Pertama, kesatuan fungsional masyarakat merupakan suatu keadaan saat semua bagian dari sistem sosial bekerja sama dalam suatu tingkat keselarasan yang memadai tanpa menghasilkan konflik berkepanjangan. Kedua, fungsionalisme universal menganggap bawa semua bentuk sosial dan kebudayaan sudah baku memiliki fungsi – fungsi positf. Ketiga, dalam setiap peradaban, kebiasaan, ide, objek material, dan kepercayaan memenuhi beberapa fungsi penting yang tidak dapat dipisahkan dalam kegiatan sistem sebagai kesatuan. Pandangan tersebut beranggapan, bahwa dalam kehidupan masyarakat akan selalu terjadi prinsip dan tujuan bersama yang baik dan disepakati sebagai suatu hal yang baik. Sehingga dengan kata lain, suatu sistem nilai sosial, pada dasarnya adalah suatu sistem yang berasal dari tindakan-tindakan yang dapat terbentuk melalui proses interaksi sosial yang terjadi di antara berbagai individu, kemudian akan tumbuh dan berkembang sebagai standar dalam penilaian secara sosial dan akhirnya dapat diterima dan disepakati oleh masyarakat tertentu. Terkait inilah konsep fungsi dikatakan melibatkan struktur. Dengan kata lain proses kehidupan bukan untuk memenuhi kebutuhan struktur sosial. individu, tetapi untuk mempertahankan 24 Teori fungsionalisme-struktural ini digunakan untuk menganalisis permasalahan dalam penelitian ini. Jadi teori ini dapat mengkaji fungsi dari unsur – unsur suatu kebudayaan dalam masyarakat, dalam penelitian ini adalah terkait mengenai fungsi sabung ayam pada masyarakat Bali Kuno. Selain itu juga dapat diteliti bagaimana perubahan fungsi sabung ayam dari waktu ke waktu tanpa mengurangi unsur-unsur dari kebudayaan sabung ayam itu sendiri. Teori ini juga dapat merekonstruksi bahwa semua bentuk sosial dan kebudayaan, dalam hal ini sabung ayam bisa dikatakan memiliki fungsi positif bagi masyarakat pada masa Bali Kuno. 2.3.2 Teori Evolusi Budaya Evolusi yang dimaksud dalam teori ini adalah evolusi budaya. Evolusi budaya merupakan proses perkembangan kebudayan secara dinamis. Evolusi kebudayaan menurut Koentjaraningrat adalah proses perkembangan kebudayaan manusia dari bentuk-bentuk yang sederhana sampai makin lama makin kompleks, dilanjutkan dengan proses difusi, yaitu penyebaran kebudayaan-kebudayaan yang terjadi bersamaan dengan perpindahan bangsa-bangsa di muka Bumi ini. Proses evolusi menurut Koentjaraningrat (1996; 142-147) kebudayaan dapat dianalisis secara mikro maupun makro. Proses yang diteliti secara mikro (mendetail) dapat memberi gambaran mengenai beberapa proses perubahan yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Proses evolusi sosial-budaya secara makro adalah proses yang terjadi dalam jangka waktu yang panjang. Gordon Childe (dalam Koentjaraningrat 1990: 116–119) mengemukakan pendapatnya tentang 25 evolusi budaya sebagai suatu peristiwa yang hanya terjadi di beberapa tempat di muka bumi ini, kemudian menyebar mempengaruhi kebudayaan-kebudayaan lain di sekitarnya. Konsepnya mengenai peristiwa besar dalam suatu kebudayaan sebenarnya merupakan suatu kerangka untuk memandang sejarah umat manusia secara universal, konsep ini kemudian disebut sebagai evolusi budaya universal (universall culture evolution). Gordon Childe mengemukakan pendapatnya tentang cultural revolution, bahwa istilah revolution tidak dimaksudkan sebagai suatu perubahan cepat dan mendadak (lawan dari evolusi) tetapi sebagai suatu peristiwa besar yang telah memberi suatu arah perkembangan lain dan suatu perubahan total yang sangat mendasar kepada proses pengembangan kebudayaan manusia. Teorinya membagi kedalam tiga konsep peristiwa revolusi besar dalam cultural revolution yang dialami oleh manusia. 1.Neolithic Revolution. Pada penelitiannya mengenai proses perubahan manusia prasejarah dari berburu-meramu ke masa bercocok tanam. Ia mengasumsikan di suatu tempat di muka bumi pada masa itu sudah mengenal kebudayaan bercocok tanam. Kemudian kebudayaan itu mempengaruhi kebudayaan-kebudayaan lain di dunia, kemudian dalam masyarakat yang didasarkan pada sistem mata pencarian food gathering ke food producing. Menurut Childe, peristiwa revolusi kebudayaan yang terjadi kemudian adalah suatu perubahan kebudayaan sangat besar, mula-mula disebabkan karena semakin mantapnya sistem pembagian kerja dalam masyarakat. 26 2. Urban Revolution. Penelitiannya ini mengenai sistem pembagian kerja pada masyarakat. Childe menemukan terjadi perubahan paradigma dalam pembagian sistem kerja di masyarakat yang menyebabkan berkembangnya konsepsi “pekerjaan terpandang” dan “pekerjaan tidak terpandang”, dengan itu juga terjadi sistem pelapisan sosial. Childe menyebutkan perubahan pada masyarakat yang menyebabkan terjadinya koloni masyarakat modern atau masyarakat kota dengan urban revolution. 3. Revolution in human knowledge. Pendapatnya mengenai peristiwa ini dengan adanya tulisan, maka pengetahuan manusia maju semakin pesat karena hasil pemikiran para ahli pikir generasi – generasi berikutnya fokus untuk melanjutkan pemikiran itu. Dengan demikian pengetahuan manusia makin lama makin bertimbun semakin banyak dan dapat dipergunakan untuk perbaikan kesejahteraan hidupnya, sehingga kebudyaannya juga makin lama makin maju dan makin pesat. Konsep Childe mengenai universall evolution adalah bahwa semua kebudayaan berkembang dari bentuk-bentuk yang sederhana menjadi bentukbentuk yang lebih kompleks. Pada penelitian ini penulis menggunakan teori evolusi budaya universal untuk mengkaji proses evolusi budaya yang terjadi pada tradisi sabung ayam pada masa Bali Kuno. 27 2.4 Model Penelitian Budaya Bali Kebudayaan Modern tradisional Tradisi sabung ayam pada masyarakat Bali Kuno abad IX-XII Judi Analisis Kebudayaan Tradisi adat istiadat Teori Kualitatif Komparatif Etnoarkeologi Kemunculan sabung ayam Fungsionalisme-Struktural Evolusi Budaya Fungsi sabung ayam Keterangan : : Kaitan Satu Arah : Hubungan Timbal Balik Gambar 2.1 Diagram Alir Model Penelitian Perkembangan sabung ayam 28 Budaya Bali dalam kehidupan masyarakatnya umumnya digolongkan ke dalam kebudayaan modern dan kebudayaan tradisonal. Salah satu yang mungkin dapat digolongkan ke dalam bentuk budaya Bali adalah sabung ayam. Sabung ayam merupakan tradisi pertarungan ayam yang sudah ada sejak lama di Bali. Tradisi sabung ayam di Bali mempunyai ciri tersendiri dari sabung ayam di daerah lain. Kekhasan tersebut dibuktikan dengan penggunan beberapa instrument pelengkap seperti kemong atau kajar yang lazimnya merupakan salah satu instrument dari gambelan di Bali. Pelaksanaan tradisi sabung ayam di Bali pun biasanya diadakan erat kaitannya apabila ada suatu upacara adat di pura, dan diadakan pada suatu kalangan atau wantilan. Keberadaan sabung ayam di Bali telah di sebutkan pada prasasti-prasasti masa Bali Kuno. Prasasti yang digunakan dalam penelitian ini adalah prasasti abad IX – XII. Selanjutnya dilakukan tahap analisis dengan menggunakan analisis kualitatif, analisis komparatif dan analisis etnoarkeologi, untuk menjawab terkait permasalahan fungsi dan perkembangan tradisi sabung ayam pada masa Bali Kuno. Kemudian diuji melalui teori evolusi budaya dan fungsionalisme-strukutral untuk mencari variabel penyebab perubahan serta fungsi terstruktur dari tradisi sabung ayam tersebut. Setelah dianalisis dan diuji oleh teori maka akan diperoleh kesimpulan terkait kemunculan, fungsi, dan perkembangan tradisi sabung ayam pada masyarakat Bali Kuno abad IX – XII.