BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Tentang Udang Udang adalah hewan kecil yang hidup di dasar laut atau danau.Udang termasuk ke dalam filum arthropoda yang tubuhnya ditutupi oleh kutikula, suatu kerangka eksternal (eksoskeleton) yang dibangun dari lapisan-lapisan protein dan kitin (Lee et al, 1978). Udang memiliki 2000 spesies yang berbeda. Udang termasuk dalam invertebrata, memiliki rangka luar yang kuat, panjang tubuhnya satu sampai sembilan inci, mempunyai rangka yang tipis, halus, dan keras. Udang memiliki 5 pasang kaki berjalan dibagian kepala, 5 pasang kaki renang di bagian perut, dan 3 pasang maksila untuk makan. Udang mempunyai 2 antena, ekor pendorong dan mata majemuk (Darmono, 1991) Gambar 2.1 Struktur Udang Sebagian besar limbah udang berasal dari kulit, kepala, dan ekornya. Fungsi kulit udang tersebut pada hewan udang yaitu sebagai bahan pelindung. 6 7 Kulit udang mengandung protein 20-40%, kalsium karbonat 40-50%, dan kitin 20-36,31%, tetapi besarnya kandungan tersebut tergantung pada jenis udangnya. Kandungan kitin dari kulit udang lebih banyak dari kulit kepiting, dan kulit udang lebih mudah didapat dan tersedia dalam jumlah yang banyak sebagai limbah (Marganov, 2003) Klasifikasi udang ( Darmono,1991) adalah : Kingdom : Animalia Phylum : Arthropoda Kelas : Crustacea Subkelas : Malacostraca Ordo : Decapoda Subordo : Natantia 2.2. Kitin Kitin berasal dari bahasa yunani kitin, yang berarti kulit kuku, merupakan komponen utama dari eksoskeleton invertebrata, crustacea, insekta. Senyawa kitin adalah suatu polimer golongan polisakarida yang tersusun atas satuan-satuan β(1,4) 2-asetamida-2-deoksi-D-glukosa. Secara formal dapat dipertimbangkan sebagai suatu senyawa turunan selulosa yang gugus hidroksil pada atom C-2 digantikan oleh gugus asetamido (Yadav, Bhise, 3004). Nama lain senyawa kitin adalah 2-asetamida-2-deoksi-D-glukopiranosa. Kitin merupakan salah satu dari tiga besar dari polisakarida yang paling banyak ditemukan selain selulosa dan starch (zat tepung). Kitin menduduki peringkat kedua setelah selulosa sebagai komponen organik paling banyak di alam. Selulosa dan starch merupakan zat penting bagi tumbuhan untuk membentuk 8 makanannya (zat karbohidrat) dan pembentukan dinding sel. Kitin banyak ditemukan secara alamiah pada kulit jenis crustacea, antara lain kepiting, udang, lobster, juga banyak di temukan di dalam rangka luar marine zoo-plankton jenis coral dan jellyfish. Jenis serangga seperti kupu-kupu, kumbang mempunyai zat kitin terutama pada lapisan kutikula luar. Kitin merupakan polimer alamiah yang dapat di temukan di alam berbeda-beda tergantung pada sumbernya. Secara umum kitin (C8H13O5N)n mempunyai bentuk fisik berupa kristal berwarna putih hingga kuning muda, tidak berasa tidak berbau dan memiliki berat molekul yang besar dengan nama kimia Poli N-acetyl-D-glukosamin (atau β (1-4) 2-asetamido-2-deoksi-D-glukosa). Struktur kitin dan selulosa dapat dilihat pada Gambar 2.2 (Muzzarelli,1985) Gambar 2.2 Struktur Kitin Gambar 2.3 Struktur Selulosa Dari gambar diatas secara struktural terdapat perbedaan antara kitin dengan selulosa dilihat dari gugusnya dimana kitin termasuk kedalam 9 heteropolimer dan selulosa termasuk homopolimer. Kitin merupakan polimer alamiah (biopolimer) dengan rantai molekul yang sangat panjang dengan rumus molekul dari kitin yaitu [C8H13O5N]n. Dari rumus molekul tersebut maka berat molekulnya [203,19]n. Karena kitin mempunyai molekul dengan berat yang besar dan sangat panjang maka tidak dapat diukur dengan pasti. Spesifikasi kitin secara umum dapat dilihat di Tabel 2.1. Tabel 2.1 Spesifikasi Kitin Spesifikasi Kadar air Nitrogen Drajat deasetilasi Kadar abu pada suhu 900oC Konstanta disosiasi K1 Asam amino Karotenoid Keterangan 2-10% pada keadaan normal 6-7% Umumnya 10% umumnya , 10% 6 - 7% Glisin,serin dan asam aspartat Tidak selalu ada (Sumber : Muzarelli, 1985 ) Kitin adalah senyawa yang stabil terhadap reaksi kimia, rendah reaktivitas kimia, tidak beracun (non toksik) dan bersifat biodegradable. Kitin tidak larut dalam air (bersifat hidrofobik), serta tidak larut dalam asam maupun alkali encer. Kitin dapat larut dengan proses degradasi menggunakan asam-asam mineral pekat seperti asam formiat anhidrous, namun tidak jelas apakah semua jenis kitin dapat larut dalam asam formiat anhidrous (Srijianto dan imam, 2005). Mudah tidaknya kitin terlarut sangat tergantung pada derajat kristalisasi, karena hanya ß-kitin yang terlarut dalam asam formiat anhidrous. 10 2.3. Kitosan Kitosan dihasilkan dari kitin dan mempunyai struktur kimia yang mirip dengan kitin, terdiri dari rantai molekul yang panjang dan berat molekul yang tinggi. Perbedaan antara kitin dan kitosan adalah pada setiap cincin molekul kitin terdapat gugus asetil (-CH3-CO) pada atom karbon kedua, sedangkan pada kitosan terdapat gugus amina (-NH). Kitosan dapat dihasilkan dari kitin melalui proses deasetilasi yaitu dengan cara direaksikan dengan menggunakan alkali konsentrasi tinggi dengan waktu yang relatif lama dan suhu tinggi. Kitosan adalah biopolimer yang mempunyai keunikan yaitu dalam larutan asam, kitosan memiliki karakteristik kation dan bermuatan positif, sedangkan dalam larutan alkali, kitosan akan mengendap. Kitosan merupakan kopolimer D-glukosamin dan N-acetyl-D-glukosamin dengan ikatan ß-(1,4), yang diperoleh dari alkali atau deasetilasi enzimatik dari polisakarida kitin. Kitosan mempunyai nama kimia Poli d-glukosamin (β (1-4) 2amino-2-deoxy-D-glucose), dengan gambar sebagai berikut (Muzzarelli,1985) : Gambar 2.4 Struktur Kitosan Kitosan dapat diperoleh dengan berbagai macam bentuk morfologi diantaranya struktur yang tidak teratur, bentuknya kristal atau semi kristal. Selain itu dapat juga berbentuk padatan amorf berwarna putih dengan struktur kristal tetap dari bentuk awal kitin murni. Kitin memiliki sifat biologi dan mekanik yang tinggi diantaranya adalah biorenewable, biodegradable, dan bio fungsional. 11 Kitosan mempunyai rantai yang lebih pendek daripada rantai kitin. Kelarutan kitosan dalam larutan asam serta viscositas larutannya tergantung dari derajat deasetilasi (DD) dan derajat degradasi polimer. Terdapat dua metode untuk memperoleh kitin, kitosan dan oligomernya dengan berbagai DD, polimerisasi, dan berat molekulnya (BM) yaitu dengan kimia dan enzimatis. Kitin dapat ditransformasikan menjadi kitosan sehingga dapat dikatakan kitosan adalah turunan dari senyawa kitin. Salah satu cara untuk membedakan antara kitin dan kitosan adalah dengan menentukan kandungan nitrogennya (N), bila nitrogennya < 7 % disebut kitin dan apabila kandungan total nitrogennya > 7 % maka disebut kitosan (Krissetiana, 2004). Kitosan kering tidak mempunyai titik lebur, bila disimpan dalam jangka waktu yang relatif lama pada suhu sekitar 82,2oC maka sifat keseluruhannya dan viskositasnya akan berubah. Bila kitosan disimpan lama dalam keadaan terbuka maka akan terjadi dekomposisi warna menjadi kekuningan dan viscositasnya berkurang. Kitosan banyak digunakan pada berbagai bidang, hal tersebut dikarenakan adanya gugus amino pada posisi C2 dan juga karena gugus hidroksil primer dan sekunder pada posisi C3 dan C6. Kitosan adalah turunan yang paling sederhana dari kitin. Kitosan tidak larut dalam air namun larut dalam asam , memiliki viskositas cukup tinggi ketika dilarutkan, sebagian besar reaksi karakteristik kitosan merupakan reaksi karakteristik kitin. Larutan kitosan memiliki sifat-sifat yang spesifik dimana terdapat dua jenis gugus asam amino, yaitu : 12 1. Amino bebas (-NH2) Larut dalam larutan asam Tidak larut dalam H2SO4 Daya larut terbatas dalam H3PO4 Tidak larut dalam sebagian besar pelarut organik 2. Kation Amino (-NH3+) Larut dalam larutan dengan pH < 6,5 Memebentuk larutan yang kental Membentuk gel dengan polianion Dapat larut didalam campuran alkohol dengan air Reaksi pembentukan kitosan dari kitin merupakan reaksi hidrolisis suatu amida oleh suatu basa. Kitin bertindak sebagai amida dan NaOH sebagai basanya. Mula-mula terjadi reaksi adisi, dimana gugus –OH- masuk kedalam gugus NHCOCH3 kemudian terjadi eliminasi gugus CH3COO- sehingga di hasilkan suatu amida yaitu kitosan. Derajat deasetilasi kitin dan kitosan dapat ditentukan menggunakan rumus Domszy dan Roberts, yaitu ( Tamveer et.al, 2002 ): DD = 100 – [ {(A1654,6 / A3441,2) x 100 }/ 1,33 ] Dimana, DD : Derajat deasetilasi A1654,6 : absorbans pita amida A3441,2 : absorbans pita hidroksil dengan 13 1,33 : nilai perbandingan A1654,6 / A3441,2 untuk kitosan yang sempurna terdeasetilasi. Kemudian hubungan antara absorbansi (A) dengan nilai transmitansi pada sperktra IR (%T) dapat dijelaskan pada persamaan berikut: 𝐴 = 𝑙𝑜𝑔 100 %𝑇 Wujud dari kitosan merupakan padatan amorf putih yang tidak larut dalam air namun larut pada asam-asam mineral dan organik pada keadaan tertentu. Manfaat kitosan secara ekonomis berupa bahan industri modern seperti industri farmasi, biomedis, bahan tambahan pangan, kosmetik dan pertanian selain itu kitosan dapat dijadikan pengkhelat dan penukar ion logam untuk penanggulangan pencemaran limbah logam-logam berat berbahaya. 2.4. Tuak Aren Tuak merupakan hasil sadapan yang diambil dari tanaman aren (Arenga pinnata). Berdasarkan cara penggunaannya maka terdapat 2 macam rasa tuak yaitu rasa manis dan rasa pahit (mengandung alkohol). Di Indonesia pohon aren dapat tumbuh baik dan mampu berproduksi pada daerah yang tanahnya subur pada ketinggian 500 m-800 m di atas permukaan laut. Pada daerah-daerah yang mempunyai ketinggian kurang dari 500 m atau lebih dari 800 m, tanaman aren tetap dapat tumbuh namun produksi buahnya kurang maksimal (Jamali A, 2009). Hanya 2,7% penduduk Indonesia yang mengkonsumsi minuman beralkohol, namun demikian 40% orang Bali minum minuman beralkohol yang dibuat dari nira kelapa atau pohon enau. Kebiasaan minum minuman beralkohol di kalangan masyarakat tertentu dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain: 14 mudahnya memperoleh minuman tuak atau tempat penjualan tuak yang buka sepanjang hari. Tuak adalah minuman khas yang disadap dari pohon aren kemudian disimpan selama 6-7 jam sehingga mengalami proses fermentasi dan berubah menjadi minuman yang memiliki kadar alkohol 4%-5%. Tuak manis adalah minuman yang mengandung alkohol dan merupakan jenis minuman tradisional yang dibuat dari nira pohon aren. Pohon aren juga disebut sebagai pohon tuak, menghasilkan air palem (nira) yang menetes dari rangkaian bunganya. Tuak sebagai minuman tradisional telah menjadi turun-temurun, dimana konsumsi tuak sangat sulit dihilangkan dari kebiasaan masyarakat.Sampai sekarang tuak masih menjadi kegemaran yang dipakai sebagai minuman untuk penghangat tubuh dan di waktu adanya pesta-pesta di malam hari. Daerah sebagai penghasil dan pengkonsumsi tuak yang cukup tenar, adalah Sumatera Utara, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali (Ikegami,1997). Tuak mengandung alkohol (etil alkohol), sehingga kalau diminum terlalu banyak dapat menyebabkan mabuk.Tuak merupakan minuman tradisional, dimana cara pembuatannya dengan cara menyadap tandan bunga enau atau aren yang baru mekar. Tuak yang baru menetes terasa manis, tuak manis ini disebut nira. Di Bali minuman tuak di produksi hampir diseluruh kabupaten yang memiliki pohon enau atau pohon kelapa. Proses pengambilan nira dapat dilakukan dengan cara digiling, diperas, dan disadap, tergantung pada jenis tanaman penghasil. Pada tanaman aren, teknik pemanenan nira dilakukan dengan cara memotong tandan bunga. Pada saat penampungan dipohon enaunya, wadah tempat menampung nira diisi dengan lau yaitu suatu bahan yang dibuat dari sabut kelapa kering dan kulit kayu kutat. Dengan pemberian lau ini warna tuak menjadi 15 kemerahan. Lau juga berperanan sebagai zat pengawet terutama dapat mencegah terjadinya proses fermentasi pada tuak, sehingga tuak tidak cepat menjadi masam. Perubahan rasa tuak karena adanya reaksi kimia. Tuak mengandung alkohol hasil fermentasi dari gulanya. Enzim adalah biokatalis, yang mana apabila tuak yang dibiarkan ditempat terbuka akan menjadi cuka yang merupakan hasil reaksi fermentasi secara aerob. Fermentasi ini di lakukan oleh bakteri asam cuka ( Acetobacter aceti ) terhadap substrat etanol. Komposisi nira dari suatu jenis tanaman dipengaruhi beberapa faktor yaitu antara lain varietas tanaman, umur tanaman, kesehatan tanaman, keadaan tanah, iklim, pemupukan, dan pengairan. Demikian pula setiap jenis tanaman mempunyai komposisi nira yang berlainan dan umumnya terdiri dari air, sukrosa, gula reduksi, bahan organik lain, dan bahan anorganik. Air dalam nira merupakan bagian yang terbesar yaitu antara 80 – 90 %. Sukrosa merupakan bagian zat padat yang terbesar berkisar antara 12,30 – 17,40 %. Gula reduksi antara 0,50 – 1,00 % dan sisanya merupakan senyawa organik serta anorganik. Gula reduksi dapat terdiri dari heksosa, glukosa, dan fruktosa, serta mannosa dalam jumlah yang rendah sekali. Bahan organik terdiri dari protein, asam organik, asam amino, zat warna, dan lemak. Bahan anorganik terdiri dari garam mineral (Gautara dan Soesarsono, 1981). Tuak yang diproduksi secara tradisional sulit untuk mengetahui dan mengkontrol kadar alkohol yang ada dalam minuman tersebut. Menurut Keputusan Menteri Kesehatan No. 151/A/SK/V/81 bahwa minuman atau obat tradisional yang tergolong dalam minuman keras mengandung alkohol > 1 %. Dengan demikian tuak merupakan minuman beralkohol yang tidak jauh berbeda 16 dengan minuman keras lainnya. Berdasarkan konsentrasi alkohol yang terkandung dalam tuak tersebut maka diduga bahwa mayarakat yang mengkonsumsi secara terus menerus dapat menimbulkan gangguan kesehatan. 2.5. Pengawet Makanan dan Minuman Bahan pengawet makanan adalah bahan (senyawa) yang ditambahkan kedalam makanan dan minuman yang bertujuan untuk mencegah atau menghambat terjadinya kerusakan makanan oleh kehadiran organisme (Endrrikat, dkk., 2010; Davletshina, dkk., 2003). Tujuan umum pemberian bahan pengawet kedalam makanan dan minuman adalah untuk memelihara kesegaran dan mencegah kerusakan makanan atau bahan makanan (Abrams dan Atkinson, 2003; Rodriguez-Martin, dkk., 2010; Giatrkou, dkk., 2010; Sorensen, dkk., 2010). Beberapa pengawet makanan dan minuman yang diizinkan berdasarkan Permenkes No. 722/ 1988 adalah berupa senyawa kimia seperti asam benzoat, kalium bisulfit, kalium meta bisulfit, kalkum nitrat, kalium nitrit, belerang dioksida, asam sorbat, asam propionat, kalium propionat, kalium sorbat, kalium sulfit, kalsium benzoit, kalsium propionat, kalsium sorbat, natrium benzoat, metalp-hidroksi benzoit, natrium bisulfit, natrium metabisulfit, natrium nitrat, natrium nitrit, natrium propionat, natrium sulfit, nisin, dan propel-p hidroksibenzoat. Senyawa pengawet lain yang dipergunakan sebagai bahan pengawet makanan dan minuman dan diduga memiliki efek terhadap kesehatan apabila terdapat didalam makanan dan minuman dalam jumlah ambang batas. Penambahan bahan pengawet makanan perlu menjadi perhatian karena informasi ilmiah yang diperoleh dari pengaruh senyawa pengawet makanan ini masih ada yang diragukan keamanannya (Pelezar et.al, 1988). Beberapa bahan 17 pengawet dan zat tambahan yang dimasukkan kedalam makanan yang sudah digolongkan sebagai senyawa yang dapat mengurangi kesehatan manusia sebaiknya dihindari dari makanan. Ada juga bahan pengawet yang tidak diperbolehkan ditambahkan kedalam makanan dan minuman, namun masih dipergunakan secara ilegal yaitu formalin dan boraks. 2.6. Spektrofotometer Inframerah Instrumen yang digunakan untuk mengukur serapan radiasi inframerah pada berbagai panjang gelombang disebut spektrofotometer inframerah (Fessenden dan Fessenden, 1982). Radiasi inframerah tidak mempunyai energi yang cukup untuk mengeksitasi elektron tetapi hanya dapat menyebabkan senyawa organik tersebut mengalami rotasi dan vibrasi (Satroamidjojo, 1991). Aplikasi spektroskopi inframerah sangat luas untuk analisis kualitatif maupun kuantitatif. Penggunaan yang paling banyak adalah pada daerah dengan kisaran bilangan gelombang 4000 sampai 670 cm-1 atau dengan panjang gelombang 2,5 sampai 15µm yang disebut infamerah jauh, dan daerah di atas bilangan gelombang 4000 cm-1 yang disebut inframerah dekat. Kegunaan yang paling penting adalah identifikasi senyawa organik karena spektrumnya sangat kompleks terdiri dari puncak-puncak. Spektrum inframerah merupakan hasil transisi antara tingkat energi getaran yang berlainan, dimana metode ini paling sederhana dan sering digunakan karena banyak gugus fungsi yang dapat diidentifikasi. Spektrum inframerah terletak pada daerah panjang gelombang 0,70 sampai 1000 µm atau pada bilangan gelombang 12800 sampai 10 cm-1. Bila radiasi inframerah dilewatkan melalui cuplikan senyawa organik, maka sejumlah frekuensi diserap sedangkan frekuensi lain 18 diteruskan tanpa diserap oleh molekul. Spektrum inframerah merupakan plot antara % transmitan dengan bilangan gelombang (Sastroamidjojo, 1991). Dalam inframerah gugus fungsional yang memberikan banyak serapan karakteristik biasanya dapat diidentifikasi lebih tepat daripada gugus fungsional yang memberikan hanya satu serapan karakteristik (Sastoamidjojo, 1991). Penanganan sampel untuk teknik spektroskopi inframerah tergantung dari jenis sampelnya, yaitu apakah terwujud gas, cairaan, atau padatan. Untuk sampel berwujud gas, maka cuplikan harus dimasukkan ke dalam sel gas dengan panjang berkas radiasi 40 m. Kemudian untuk sampel berbentuk cairan dapat dilakukan dengan menempatkan cuplikan sebagai film tipis yang dipress diantara NaCl atau dalam sel dengan tebal sel antara 0,01-0,1 mm. Sedangkan untuk sampel berwujud padatan ada 3 metode yang umum untuk mencatat spektranya yaitu metode mull, pellet KBr, dan bentuk film atau lapisan tipis. Padatan juga dapat ditentukan dalam larutan yaitu dengan melarutkan padatan dalam pelarut yang sesuai bergantung pada daerah dengan panjang gelombang yang diinginkan diambil spektranya (Satroamidjojo, 1991). Spektrofotometer inframerah dapat digunakan untuk mengkarakterisasi suatu sampel, diantaranya kitin dan kitosan. Berdasarkan literatur serapan spektra inframerah kitin dan kitosan ditunjukkan pada Tabel 2.2 dan 2.3 19 Tabel 2.2. Karakteristik Serapan Kitin Gugus fungsi Bilangan Gelombang (cm-1) OH 3448 C=O 1665 NH 1560 C-O-C 1072,3 C-H stretching 2891,1 CH3 1419,5 ( Sumber : Hamsina, 2002) Tabel 2.3. Karakteristik Serapan Kitosan Gugus Fungsi Bilangan Gelombang (cm-1) OH 3450 C-H stretching 2891,1 NH2 1560 C-O-C 1072,3 CH3 1419,5 ( Sumber : Hamsina, 2002) 2.7. Titrasi Asam Basa Asidimetri dan Alkalimetri adalah analisi kuantitatif volumetrik berdasarkan reaksi netralisasi. Asidimetri adalah reaksi netralisasi (titrasi) larutan basa dengan larutan standar asam (Syukri, 1999). Titrasi merupakan proses penentuan konsentrasi suatu larutan dengan mereaksikan larutan yang sudah ditentukan konsentrasinya (larutan standar). Titrasi asam basa adalah suatu titrasi dengan menggunakan reaksi asam basa 20 (reaksi penetralan). Prosedur analisis pada titrasi asam basa ini adalah dengan titrasi volumemetri, yaitu mengukur volume dari suatu asam atau basa yang bereaksi (Syukri, 1999). Zat yang akan ditentukan kadarnya disebut sebagai titran dan biasanya diletakan di dalam Erlenmeyer, sedangkan zat yang telah diketahui konsentrasinya disebut sebagai titer dan biasanya diletakkan di dalam buret. Baik titer maupun titran biasanya berupa larutan. Indikator pada umumnya menggunakan indikator phenolftalein, hingga larutan berubah menjadi merah muda (Day, 1998). Pada saat terjadi perubahan warna indikator, titrasi dihentikan. Indikator berubah warna pada saat titik ekuivalen. Pada titrasi asam basa, dikenal istilah titik ekuivalen dan titik akhir titrasi. Titik ekuivalen adalah titik pada proses titrasi ketika asam dan basa tepat habis bereaksi. Untuk mengetahui titik ekuivalen digunakan indikator. Saat perubahan warna terjadi, saat itu disebut titik akhir titrasi (Sukmariah, 1990). Proses penentuan konsentrasi suatu larutan dipastikan dengan tepat dikenal sebagai standarisasi. Suatu larutan standar kadang-kadang dapat disiapkan dengan menggunakan suatu sampel zat terlarut yang diinginkan, yang ditimbang dengan tepat, dalam volume larutan yang diukur dengan tepat. Zat yang memadai dalam hal ini hanya sedikit, disebut standar primer (Day, 1998). Asidimetri adalah yang diketahui konsentrasi asamnya, sedangkan alkalimetri bila yang diketahui adalah konsentrasi basanya. Jenis titrasi asam basa diantaranya adalah (Sukmariah, 1990) : 21 1. Titrasi asam dengan basa kuat Diakhir titrasi akan terbentuk garam yang berasal dari asam kuat dan basa kuat. HCl + NaOH 2. NaCl + H2O Titrasi asam lemah dan basa kuat Pada akhir titrasi terbentuk garam yang berasal dari asam lemah dan basa kuat.Misal : asam asetat dengan NaOH. CH3COOH + NaOH 3. CH3COONa + H2 Titrasi basa lemah dan asam kuat Pada akhir titrasi akan terbentuk garam yang berasal dari basa lemah dan asam kuat. Misal : NH4Cl dan HCl NH4OH + HCl 4. NH4Cl + H2O Titrasi asam lemah dan basa lemah Pada akhir titrasi akan terbentuk garam yang berasal dari asam lemah dan basa lemah. Misal : asam asetat dan NH4OH CH3COOH + NH4OH CH3COONH4 + H2O