BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Tentang Udang Udang

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Tinjauan Tentang Udang
Udang adalah hewan kecil yang hidup di dasar laut atau danau.Udang
termasuk ke dalam filum arthropoda yang tubuhnya ditutupi oleh kutikula, suatu
kerangka eksternal (eksoskeleton) yang dibangun dari lapisan-lapisan protein dan
kitin (Lee et al, 1978). Udang memiliki 2000 spesies yang berbeda. Udang
termasuk dalam invertebrata, memiliki rangka luar yang kuat, panjang tubuhnya
satu sampai sembilan inci, mempunyai rangka yang tipis, halus, dan keras. Udang
memiliki 5 pasang kaki berjalan dibagian kepala, 5 pasang kaki renang di bagian
perut, dan 3 pasang maksila untuk makan. Udang mempunyai 2 antena, ekor
pendorong dan mata majemuk (Darmono, 1991)
Gambar 2.1 Struktur Udang
Sebagian besar limbah udang berasal dari kulit, kepala, dan ekornya.
Fungsi kulit udang tersebut pada hewan udang yaitu sebagai bahan pelindung.
6
7
Kulit udang mengandung protein 20-40%, kalsium karbonat 40-50%, dan kitin
20-36,31%, tetapi besarnya kandungan tersebut tergantung pada jenis udangnya.
Kandungan kitin dari kulit udang lebih banyak dari kulit kepiting, dan kulit udang
lebih mudah didapat dan tersedia dalam jumlah yang banyak sebagai limbah
(Marganov, 2003)
Klasifikasi udang ( Darmono,1991) adalah :

Kingdom
: Animalia

Phylum
: Arthropoda

Kelas
: Crustacea

Subkelas
: Malacostraca

Ordo
: Decapoda

Subordo
: Natantia
2.2. Kitin
Kitin berasal dari bahasa yunani kitin, yang berarti kulit kuku, merupakan
komponen utama dari eksoskeleton invertebrata, crustacea, insekta. Senyawa kitin
adalah suatu polimer golongan polisakarida yang tersusun atas satuan-satuan β(1,4) 2-asetamida-2-deoksi-D-glukosa. Secara formal dapat dipertimbangkan
sebagai suatu senyawa turunan selulosa yang gugus hidroksil pada atom C-2
digantikan oleh gugus asetamido (Yadav, Bhise, 3004). Nama lain senyawa kitin
adalah 2-asetamida-2-deoksi-D-glukopiranosa.
Kitin merupakan salah satu dari tiga besar dari polisakarida yang paling
banyak ditemukan selain selulosa dan starch (zat tepung). Kitin menduduki
peringkat kedua setelah selulosa sebagai komponen organik paling banyak di alam.
Selulosa dan starch merupakan zat penting bagi tumbuhan untuk membentuk
8
makanannya (zat karbohidrat) dan pembentukan dinding sel. Kitin banyak
ditemukan secara alamiah pada kulit jenis crustacea, antara lain kepiting, udang,
lobster, juga banyak di temukan di dalam rangka luar marine zoo-plankton jenis
coral dan jellyfish. Jenis serangga seperti kupu-kupu, kumbang mempunyai zat
kitin terutama pada lapisan kutikula luar. Kitin merupakan polimer alamiah yang
dapat di temukan di alam berbeda-beda tergantung pada sumbernya.
Secara umum kitin (C8H13O5N)n mempunyai bentuk fisik berupa kristal
berwarna putih hingga kuning muda, tidak berasa tidak berbau dan memiliki berat
molekul yang besar dengan nama kimia Poli N-acetyl-D-glukosamin (atau β (1-4)
2-asetamido-2-deoksi-D-glukosa). Struktur kitin dan selulosa dapat dilihat pada
Gambar 2.2 (Muzzarelli,1985)
Gambar 2.2 Struktur Kitin
Gambar 2.3 Struktur Selulosa
Dari gambar diatas secara struktural terdapat perbedaan antara kitin
dengan selulosa dilihat dari gugusnya dimana kitin termasuk kedalam
9
heteropolimer dan selulosa termasuk homopolimer. Kitin merupakan polimer
alamiah (biopolimer) dengan rantai molekul yang sangat panjang dengan rumus
molekul dari kitin yaitu [C8H13O5N]n. Dari rumus molekul tersebut maka berat
molekulnya [203,19]n. Karena kitin mempunyai molekul dengan berat yang besar
dan sangat panjang maka tidak dapat diukur dengan pasti. Spesifikasi kitin secara
umum dapat dilihat di Tabel 2.1.
Tabel 2.1 Spesifikasi Kitin
Spesifikasi
Kadar air
Nitrogen
Drajat deasetilasi
Kadar abu pada suhu 900oC
Konstanta disosiasi K1
Asam amino
Karotenoid
Keterangan
2-10% pada keadaan
normal
6-7%
Umumnya 10%
umumnya , 10%
6 - 7%
Glisin,serin dan asam
aspartat
Tidak selalu ada
(Sumber : Muzarelli, 1985 )
Kitin adalah senyawa yang stabil terhadap reaksi kimia, rendah reaktivitas
kimia, tidak beracun (non toksik) dan bersifat biodegradable. Kitin tidak larut
dalam air (bersifat hidrofobik), serta tidak larut dalam asam maupun alkali encer.
Kitin dapat larut dengan proses degradasi menggunakan asam-asam mineral pekat
seperti asam formiat anhidrous, namun tidak jelas apakah semua jenis kitin dapat
larut dalam asam formiat anhidrous (Srijianto dan imam, 2005). Mudah tidaknya
kitin terlarut sangat tergantung pada derajat kristalisasi, karena hanya ß-kitin yang
terlarut dalam asam formiat anhidrous.
10
2.3. Kitosan
Kitosan dihasilkan dari kitin dan mempunyai struktur kimia yang mirip
dengan kitin, terdiri dari rantai molekul yang panjang dan berat molekul yang
tinggi. Perbedaan antara kitin dan kitosan adalah pada setiap cincin molekul kitin
terdapat gugus asetil (-CH3-CO) pada atom karbon kedua, sedangkan pada kitosan
terdapat gugus amina (-NH). Kitosan dapat dihasilkan dari kitin melalui proses
deasetilasi yaitu dengan cara direaksikan dengan menggunakan alkali konsentrasi
tinggi dengan waktu yang relatif lama dan suhu tinggi. Kitosan adalah biopolimer
yang mempunyai keunikan yaitu dalam larutan asam, kitosan memiliki
karakteristik kation dan bermuatan positif, sedangkan dalam larutan alkali, kitosan
akan mengendap.
Kitosan merupakan kopolimer D-glukosamin dan N-acetyl-D-glukosamin
dengan ikatan ß-(1,4), yang diperoleh dari alkali atau deasetilasi enzimatik dari
polisakarida kitin. Kitosan mempunyai nama kimia Poli d-glukosamin (β (1-4) 2amino-2-deoxy-D-glucose), dengan gambar sebagai berikut (Muzzarelli,1985) :
Gambar 2.4 Struktur Kitosan
Kitosan dapat diperoleh dengan berbagai macam bentuk morfologi
diantaranya struktur yang tidak teratur, bentuknya kristal atau semi kristal. Selain
itu dapat juga berbentuk padatan amorf berwarna putih dengan struktur kristal
tetap dari bentuk awal kitin murni. Kitin memiliki sifat biologi dan mekanik yang
tinggi diantaranya adalah biorenewable, biodegradable, dan bio fungsional.
11
Kitosan mempunyai rantai yang lebih pendek daripada rantai kitin. Kelarutan
kitosan dalam larutan asam serta viscositas larutannya tergantung dari derajat
deasetilasi (DD) dan derajat degradasi polimer. Terdapat dua metode untuk
memperoleh kitin, kitosan dan oligomernya dengan berbagai DD, polimerisasi,
dan berat molekulnya (BM) yaitu dengan kimia dan enzimatis.
Kitin dapat ditransformasikan menjadi kitosan sehingga dapat dikatakan
kitosan adalah turunan dari senyawa kitin. Salah satu cara untuk membedakan
antara kitin dan kitosan adalah dengan menentukan kandungan nitrogennya (N),
bila nitrogennya < 7 % disebut kitin dan apabila kandungan total nitrogennya > 7 %
maka disebut kitosan (Krissetiana, 2004). Kitosan kering tidak mempunyai titik
lebur, bila disimpan dalam jangka waktu yang relatif lama pada suhu sekitar
82,2oC maka sifat keseluruhannya dan viskositasnya akan berubah. Bila kitosan
disimpan lama dalam keadaan terbuka maka akan terjadi dekomposisi warna
menjadi kekuningan dan viscositasnya berkurang.
Kitosan banyak digunakan pada berbagai bidang, hal tersebut dikarenakan
adanya gugus amino pada posisi C2 dan juga karena gugus hidroksil primer dan
sekunder pada posisi C3 dan C6. Kitosan adalah turunan yang paling sederhana
dari kitin. Kitosan tidak larut dalam air namun larut dalam asam , memiliki
viskositas cukup tinggi ketika dilarutkan, sebagian besar reaksi karakteristik
kitosan merupakan reaksi karakteristik kitin.
Larutan kitosan memiliki sifat-sifat yang spesifik dimana terdapat dua
jenis gugus asam amino, yaitu :
12
1. Amino bebas (-NH2)
Larut dalam larutan asam
Tidak larut dalam H2SO4
Daya larut terbatas dalam H3PO4
Tidak larut dalam sebagian besar pelarut organik
2. Kation Amino (-NH3+)
Larut dalam larutan dengan pH < 6,5
Memebentuk larutan yang kental
Membentuk gel dengan polianion
Dapat larut didalam campuran alkohol dengan air
Reaksi pembentukan kitosan dari kitin merupakan reaksi hidrolisis suatu
amida oleh suatu basa. Kitin bertindak sebagai amida dan NaOH sebagai basanya.
Mula-mula terjadi reaksi adisi, dimana gugus –OH- masuk kedalam gugus
NHCOCH3 kemudian terjadi eliminasi gugus CH3COO- sehingga di hasilkan
suatu amida yaitu kitosan.
Derajat
deasetilasi
kitin
dan
kitosan
dapat
ditentukan
menggunakan rumus Domszy dan Roberts, yaitu ( Tamveer et.al, 2002 ):
DD = 100 – [ {(A1654,6 / A3441,2) x 100 }/ 1,33 ]
Dimana,
DD
: Derajat deasetilasi
A1654,6 : absorbans pita amida
A3441,2 : absorbans pita hidroksil
dengan
13
1,33
: nilai perbandingan A1654,6 / A3441,2 untuk kitosan yang sempurna
terdeasetilasi.
Kemudian hubungan antara absorbansi (A) dengan nilai transmitansi pada
sperktra IR (%T) dapat dijelaskan pada persamaan berikut:
𝐴 = 𝑙𝑜𝑔
100
%𝑇
Wujud dari kitosan merupakan padatan amorf putih yang tidak larut dalam
air namun larut pada asam-asam mineral dan organik pada keadaan tertentu.
Manfaat kitosan secara ekonomis berupa bahan industri modern seperti industri
farmasi, biomedis, bahan tambahan pangan, kosmetik dan pertanian selain itu
kitosan dapat dijadikan pengkhelat dan penukar ion logam untuk penanggulangan
pencemaran limbah logam-logam berat berbahaya.
2.4. Tuak Aren
Tuak merupakan hasil sadapan yang diambil dari tanaman aren (Arenga
pinnata). Berdasarkan cara penggunaannya maka terdapat 2 macam rasa tuak
yaitu rasa manis dan rasa pahit (mengandung alkohol). Di Indonesia pohon aren
dapat tumbuh baik dan mampu berproduksi pada daerah yang tanahnya subur
pada ketinggian 500 m-800 m di atas permukaan laut. Pada daerah-daerah yang
mempunyai ketinggian kurang dari 500 m atau lebih dari 800 m, tanaman aren
tetap dapat tumbuh namun produksi buahnya kurang maksimal (Jamali A, 2009).
Hanya 2,7% penduduk Indonesia yang mengkonsumsi minuman
beralkohol, namun demikian 40% orang Bali minum minuman beralkohol yang
dibuat dari nira kelapa atau pohon enau. Kebiasaan minum minuman beralkohol
di kalangan masyarakat tertentu dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain:
14
mudahnya memperoleh minuman tuak atau tempat penjualan tuak yang buka
sepanjang hari.
Tuak adalah minuman khas yang disadap dari pohon aren kemudian
disimpan selama 6-7 jam sehingga mengalami proses fermentasi dan berubah
menjadi minuman yang memiliki kadar alkohol 4%-5%. Tuak manis adalah
minuman yang mengandung alkohol dan merupakan jenis minuman tradisional
yang dibuat dari nira pohon aren. Pohon aren juga disebut sebagai pohon tuak,
menghasilkan air palem (nira) yang menetes dari rangkaian bunganya.
Tuak sebagai minuman tradisional telah menjadi turun-temurun, dimana
konsumsi tuak sangat sulit dihilangkan dari kebiasaan masyarakat.Sampai sekarang
tuak masih menjadi kegemaran yang dipakai sebagai minuman untuk penghangat
tubuh dan di waktu adanya pesta-pesta di malam hari. Daerah sebagai penghasil dan
pengkonsumsi tuak yang cukup tenar, adalah Sumatera Utara, Jawa Tengah, Jawa
Timur dan Bali (Ikegami,1997).
Tuak mengandung alkohol (etil alkohol), sehingga kalau diminum terlalu
banyak dapat menyebabkan mabuk.Tuak merupakan minuman tradisional, dimana
cara pembuatannya dengan cara menyadap tandan bunga enau atau aren yang baru
mekar. Tuak yang baru menetes terasa manis, tuak manis ini disebut nira. Di Bali
minuman tuak di produksi hampir diseluruh kabupaten yang memiliki pohon enau
atau pohon kelapa. Proses pengambilan nira dapat dilakukan dengan cara digiling,
diperas, dan disadap, tergantung pada jenis tanaman penghasil.
Pada tanaman aren, teknik pemanenan nira dilakukan dengan cara
memotong tandan bunga. Pada saat penampungan dipohon enaunya, wadah
tempat menampung nira diisi dengan lau yaitu suatu bahan yang dibuat dari sabut
kelapa kering dan kulit kayu kutat. Dengan pemberian lau ini warna tuak menjadi
15
kemerahan. Lau juga berperanan sebagai zat pengawet terutama dapat mencegah
terjadinya proses fermentasi pada tuak, sehingga tuak tidak cepat menjadi masam.
Perubahan rasa tuak karena adanya reaksi kimia. Tuak mengandung alkohol hasil
fermentasi dari gulanya. Enzim adalah biokatalis, yang mana apabila tuak yang
dibiarkan ditempat terbuka akan menjadi cuka yang merupakan hasil reaksi
fermentasi secara aerob. Fermentasi ini di lakukan oleh bakteri asam cuka
( Acetobacter aceti ) terhadap substrat etanol.
Komposisi nira dari suatu jenis tanaman dipengaruhi beberapa faktor yaitu
antara lain varietas tanaman, umur tanaman, kesehatan tanaman, keadaan tanah,
iklim, pemupukan, dan pengairan. Demikian pula setiap jenis tanaman
mempunyai komposisi nira yang berlainan dan umumnya terdiri dari air, sukrosa,
gula reduksi, bahan organik lain, dan bahan anorganik. Air dalam nira merupakan
bagian yang terbesar yaitu antara 80 – 90 %. Sukrosa merupakan bagian zat padat
yang terbesar berkisar antara 12,30 – 17,40 %. Gula reduksi antara 0,50 – 1,00 %
dan sisanya merupakan senyawa organik serta anorganik. Gula reduksi dapat
terdiri dari heksosa, glukosa, dan fruktosa, serta mannosa dalam jumlah yang
rendah sekali. Bahan organik terdiri dari protein, asam organik, asam amino, zat
warna, dan lemak. Bahan anorganik terdiri dari garam mineral (Gautara dan
Soesarsono, 1981).
Tuak yang diproduksi secara tradisional sulit untuk mengetahui dan
mengkontrol kadar alkohol yang ada dalam minuman tersebut. Menurut
Keputusan Menteri Kesehatan No. 151/A/SK/V/81 bahwa minuman atau obat
tradisional yang tergolong dalam minuman keras mengandung alkohol > 1 %.
Dengan demikian tuak merupakan minuman beralkohol yang tidak jauh berbeda
16
dengan minuman keras lainnya. Berdasarkan konsentrasi alkohol yang terkandung
dalam tuak tersebut maka diduga bahwa mayarakat yang mengkonsumsi secara
terus menerus dapat menimbulkan gangguan kesehatan.
2.5. Pengawet Makanan dan Minuman
Bahan pengawet makanan adalah bahan (senyawa) yang ditambahkan
kedalam makanan dan minuman yang bertujuan untuk mencegah atau
menghambat terjadinya kerusakan makanan oleh kehadiran organisme (Endrrikat,
dkk., 2010; Davletshina, dkk., 2003). Tujuan umum pemberian bahan pengawet
kedalam makanan dan minuman adalah untuk memelihara kesegaran dan
mencegah kerusakan makanan atau bahan makanan (Abrams dan Atkinson, 2003;
Rodriguez-Martin, dkk., 2010; Giatrkou, dkk., 2010; Sorensen, dkk., 2010).
Beberapa pengawet makanan dan minuman yang diizinkan berdasarkan
Permenkes No. 722/ 1988 adalah berupa senyawa kimia seperti asam benzoat,
kalium bisulfit, kalium meta bisulfit, kalkum nitrat, kalium nitrit, belerang
dioksida, asam sorbat, asam propionat, kalium propionat, kalium sorbat, kalium
sulfit, kalsium benzoit, kalsium propionat, kalsium sorbat, natrium benzoat, metalp-hidroksi benzoit, natrium bisulfit, natrium metabisulfit, natrium nitrat, natrium
nitrit, natrium propionat, natrium sulfit, nisin, dan propel-p hidroksibenzoat.
Senyawa pengawet lain yang dipergunakan sebagai bahan pengawet makanan dan
minuman dan diduga memiliki efek terhadap kesehatan apabila terdapat didalam
makanan dan minuman dalam jumlah ambang batas.
Penambahan bahan pengawet makanan perlu menjadi perhatian karena
informasi ilmiah yang diperoleh dari pengaruh senyawa pengawet makanan ini
masih ada yang diragukan keamanannya (Pelezar et.al, 1988). Beberapa bahan
17
pengawet dan zat tambahan yang dimasukkan kedalam makanan yang sudah
digolongkan sebagai senyawa yang dapat mengurangi kesehatan manusia
sebaiknya dihindari dari makanan. Ada juga bahan pengawet yang tidak
diperbolehkan ditambahkan kedalam makanan dan minuman, namun masih
dipergunakan secara ilegal yaitu formalin dan boraks.
2.6. Spektrofotometer Inframerah
Instrumen yang digunakan untuk mengukur serapan radiasi inframerah
pada
berbagai
panjang
gelombang disebut
spektrofotometer
inframerah
(Fessenden dan Fessenden, 1982). Radiasi inframerah tidak mempunyai energi
yang cukup untuk mengeksitasi elektron tetapi hanya dapat menyebabkan
senyawa organik tersebut mengalami rotasi dan vibrasi (Satroamidjojo, 1991).
Aplikasi spektroskopi inframerah sangat luas untuk analisis kualitatif
maupun kuantitatif. Penggunaan yang paling banyak adalah pada daerah dengan
kisaran bilangan gelombang 4000 sampai 670 cm-1 atau dengan panjang
gelombang 2,5 sampai 15µm yang disebut infamerah jauh, dan daerah di atas
bilangan gelombang 4000 cm-1 yang disebut inframerah dekat. Kegunaan yang
paling penting adalah identifikasi senyawa organik karena spektrumnya sangat
kompleks terdiri dari puncak-puncak.
Spektrum inframerah merupakan hasil transisi antara tingkat energi getaran
yang berlainan, dimana metode ini paling sederhana dan sering digunakan karena
banyak gugus fungsi yang dapat diidentifikasi. Spektrum inframerah terletak pada
daerah panjang gelombang 0,70 sampai 1000 µm atau pada bilangan gelombang
12800 sampai 10 cm-1. Bila radiasi inframerah dilewatkan melalui cuplikan
senyawa organik, maka sejumlah frekuensi diserap sedangkan frekuensi lain
18
diteruskan tanpa diserap oleh molekul. Spektrum inframerah merupakan plot
antara % transmitan dengan bilangan gelombang (Sastroamidjojo, 1991). Dalam
inframerah gugus fungsional yang memberikan banyak serapan karakteristik
biasanya dapat diidentifikasi lebih tepat daripada gugus fungsional yang
memberikan hanya satu serapan karakteristik (Sastoamidjojo, 1991).
Penanganan sampel untuk teknik spektroskopi inframerah tergantung dari
jenis sampelnya, yaitu apakah terwujud gas, cairaan, atau padatan. Untuk sampel
berwujud gas, maka cuplikan harus dimasukkan ke dalam sel gas dengan panjang
berkas radiasi 40 m. Kemudian untuk sampel berbentuk cairan dapat dilakukan
dengan menempatkan cuplikan sebagai film tipis yang dipress diantara NaCl atau
dalam sel dengan tebal sel antara 0,01-0,1 mm. Sedangkan untuk sampel
berwujud padatan ada 3 metode yang umum untuk mencatat spektranya yaitu
metode mull, pellet KBr, dan bentuk film atau lapisan tipis. Padatan juga dapat
ditentukan dalam larutan yaitu dengan melarutkan padatan dalam pelarut yang
sesuai bergantung pada daerah dengan panjang gelombang yang diinginkan
diambil spektranya (Satroamidjojo, 1991).
Spektrofotometer inframerah dapat digunakan untuk mengkarakterisasi
suatu sampel, diantaranya kitin dan kitosan. Berdasarkan literatur serapan spektra
inframerah kitin dan kitosan ditunjukkan pada Tabel 2.2 dan 2.3
19
Tabel 2.2. Karakteristik Serapan Kitin
Gugus fungsi
Bilangan Gelombang (cm-1)
OH
3448
C=O
1665
NH
1560
C-O-C
1072,3
C-H stretching
2891,1
CH3
1419,5
( Sumber : Hamsina, 2002)
Tabel 2.3. Karakteristik Serapan Kitosan
Gugus Fungsi
Bilangan Gelombang (cm-1)
OH
3450
C-H stretching
2891,1
NH2
1560
C-O-C
1072,3
CH3
1419,5
( Sumber : Hamsina, 2002)
2.7. Titrasi Asam Basa
Asidimetri dan Alkalimetri adalah analisi kuantitatif volumetrik berdasarkan
reaksi netralisasi. Asidimetri adalah reaksi netralisasi (titrasi) larutan basa dengan
larutan standar asam (Syukri, 1999).
Titrasi merupakan proses penentuan konsentrasi suatu larutan dengan
mereaksikan larutan yang sudah ditentukan konsentrasinya (larutan standar).
Titrasi asam basa adalah suatu titrasi dengan menggunakan reaksi asam basa
20
(reaksi penetralan). Prosedur analisis pada titrasi asam basa ini adalah dengan
titrasi volumemetri, yaitu mengukur volume dari suatu asam atau basa yang
bereaksi (Syukri, 1999).
Zat yang akan ditentukan kadarnya disebut sebagai titran dan biasanya
diletakan di dalam Erlenmeyer, sedangkan zat yang telah diketahui konsentrasinya
disebut sebagai titer dan biasanya diletakkan di dalam buret. Baik titer maupun
titran biasanya berupa larutan. Indikator pada umumnya menggunakan indikator
phenolftalein, hingga larutan berubah menjadi merah muda (Day, 1998).
Pada saat terjadi perubahan warna indikator, titrasi dihentikan. Indikator
berubah warna pada saat titik ekuivalen. Pada titrasi asam basa, dikenal istilah
titik ekuivalen dan titik akhir titrasi. Titik ekuivalen adalah titik pada proses titrasi
ketika asam dan basa tepat habis bereaksi. Untuk mengetahui titik ekuivalen
digunakan indikator. Saat perubahan warna terjadi, saat itu disebut titik akhir
titrasi (Sukmariah, 1990).
Proses penentuan konsentrasi suatu larutan dipastikan dengan tepat dikenal
sebagai standarisasi. Suatu larutan standar kadang-kadang dapat disiapkan dengan
menggunakan suatu sampel zat terlarut yang diinginkan, yang ditimbang dengan
tepat, dalam volume larutan yang diukur dengan tepat. Zat yang memadai dalam
hal ini hanya sedikit, disebut standar primer (Day, 1998).
Asidimetri adalah yang diketahui konsentrasi asamnya, sedangkan
alkalimetri bila yang diketahui adalah konsentrasi basanya. Jenis titrasi asam basa
diantaranya adalah (Sukmariah, 1990) :
21
1.
Titrasi asam dengan basa kuat
Diakhir titrasi akan terbentuk garam yang berasal dari asam kuat dan
basa kuat.
HCl + NaOH
2.
NaCl + H2O
Titrasi asam lemah dan basa kuat
Pada akhir titrasi terbentuk garam yang berasal dari asam lemah dan basa
kuat.Misal : asam asetat dengan NaOH.
CH3COOH + NaOH
3.
CH3COONa + H2
Titrasi basa lemah dan asam kuat
Pada akhir titrasi akan terbentuk garam yang berasal dari basa lemah dan
asam kuat. Misal : NH4Cl dan HCl
NH4OH + HCl
4.
NH4Cl + H2O
Titrasi asam lemah dan basa lemah
Pada akhir titrasi akan terbentuk garam yang berasal dari asam lemah dan
basa lemah. Misal : asam asetat dan NH4OH
CH3COOH + NH4OH
CH3COONH4 + H2O
Download