3 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Osteoarthritis (OA

advertisement
3
2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Osteoarthritis (OA)
Osteoarthritis yang juga sebagai penyakit degeneratif pada sendi adalah
bentuk penyakit radang sendi yang paling umum dan merupakan sumber utama
penyebab rasa sakit dan lumpuh, terutama pada orang lanjut usia (lansia). OA
merupakan penyakit degeneratif kronik pada sendi yang terjadi akibat menipisnya
lapisan tulang rawan yang melindungi ujung tulang sejati. Tulang rawan menjadi
kasar sehingga menimbulkan gesekan dan peradangan. Bentuk kerusakan yang
terjadi ialah perubahan struktural dan pengikisan kartilago yang menimbulkan
rasa sakit dan kaku (Kralovec dan Barrow 2008).
OA dapat disebabkan oleh penekanan beban tubuh yang secara terus-menerus
terhadap persendian, sehingga mengakibatkan kerusakan terhadap tulang rawan
sendi. Akibat lanjut dari OA diantaranya adalah timbulnya rasa nyeri karena
terjepitnya ujung-ujung saraf sensoris oleh osteofit-osteofit yang terbentuk serta
adanya pembengkakan dan penebalan jaringan lunak di sekitar sendi yang akan
mengakibatkan deformitas, terlepasnya osteofit pada suatu gerakan menimbulkan
krepitasi pada sendi tersebut (Carter 1995 dalam Utami 2010).
2.2 Glukosamin hidroklorida (GlcN HCl)
Glukosamin hidroklorida memiliki nama lain yakni 2-amino-2-deoxy-Dglucopyranose, kitosamin hidroklorida, dan D-(+)-glukosamin hidroklorida.
Secara struktural, glukosamin merupakan gula beramin dengan rumus molekul
C6H13NO5HCl dan massa molekul 215,63 Da. Glukosamin dalam bentuk murni
berbentuk serbuk kristal putih dengan titik leleh 190-194 oC. Glukosamin
memiliki kelarutan tinggi dalam air dengan titik larut 100 mg/mL pada suhu 20 oC
(Kralovec dan Barrow 2008). Struktur kimia glukosamin hidroklorida ditunjukkan
oleh Gambar 1.
Glukosamin merupakan senyawa alami yang terdapat dalam tubuh manusia
yang merupakan unsur pokok dari GAG pada tulang rawan dan cairan synovial.
Glukosamin dalam tubuh berfungsi untuk memproduksi cairan synovial sebagai
bahan pelumas pada tulang rawan. Kekurangan cairan synovial dalam tubuh dapat
4
Gambar 1 Struktur kimia glukosamin hidroklorida (Mojarrad et al. 2007)
menimbulkan kekakuan pada sendi sehingga menyebabkan penyakit osteoarthritis
(OA). Pemberian glukosamin sulfat secara oral dapat membantu produksi cairan
synovial untuk mencegah dan mengobati penyakit OA (Williams 2004 dalam
Afridiana 2011). Penelitian Kulkarni et al. (2012) menunjukkan bahwa konsumsi
glukosamin hidroklorida dan atau glukosamin sulfat terhadap pasien penderita OA
(tingkat sedang) berpengaruh nyata terhadap pengurangan rasa nyeri pada sendi.
Dosis harian untuk konsumsi glukosamin menurut Badan Pengawas Obat dan
Makanan Republik Indonesia (BPOM RI) tahun 2004 adalah 1500 mg/ hari. Hasil
penelitian Hathcock dan Andrew (2006) menunjukkan bahwa asupan glukosamin
secara oral pada dosis 2000 mg/ hari aman untuk dikonsumsi. Adapun efek
konsumsi glukosamin terhadap tubuh dapat dilihat setelah satu bulan pemakaian.
Mutu glukosamin hidroklorida menurut standar United State Pharmacopeia (USP)
ditunjukkan pada Tabel 1.
Glukosamin dapat dihasilkan dengan beberapa cara ekstraksi yakni proses
hidrolisis kimiawi, proses enzimatis, proses fermentasi, dan proses gabungan
antara ketiganya. Produksi glukosamin dengan proses ekstraksi enzimatis dan
fermentasi biasanya dilakukan pada skala laboratorium. Proses ekstraksi yang
paling umum digunakan pada produksi glukosamin skala industri adalah proses
hidrolisis kimiawi dengan kombinasi asam HCl dan basa NaOH dengan
konsentrasi tertentu. Menurut Kralovec dan Barrow (2008) angka hidrolisis kitin
menjadi glukosamin menurun ketika konsentrasi asam yang digunakan kurang
dari 9 M. Kadar asam yang rendah menyebabkan terjadinya hidrolisis yang tidak
sempurna dan terbentuknya kitosan oligomer. Hidrolisis yang tidak sempurna juga
dapat disebabkan oleh kurangnya waktu reaksi meskipun konsentrasi asam yang
digunakan mencapai 10 M.
5
Tabel 1 Spesifikasi mutu glukosamin hidroklorida (GlcN) menurut (USP)
Uji USP-NF
Spesifikasi USP-NF
Penampakan
Serbuk putih
Spesifik rotasi
Antara +70.0o sampai +73.0o (larutan uji 25 mg/mL)
pH
3.0-5.0, dalam larutan 20 mg/mL
Pengurangan bobot Pengeringan pada 105 oC selama 2 jam, pengurangan
akibat pemanasan
bobot <= 1.0%
Sisa pembakaran
<= 0.1%
Sulfat
0.10 g dilarutkan dalam 0.25 mL asam sulfat 0.020 N,
kadar sulfat <= 0.24%
Besi
<= 10 ppm
Klorin
<= 17%
Logam berat
0.001%
Kemurnian
98.0 sampai 102.0%
(basis kering)
Sumber: USP 2006 dalam Cargill Inc. 2006
2.3 Kitin
Kitin adalah polisakarida struktural yang umum digunakan untuk menyusun
eksokleton dari artropoda (serangga, laba-laba, krustase, dan hewan-hewan lain
sejenis). Kitin juga tergolong homopolisakarida linear yang tersusun atas residu
N-asetilglukosamin pada rantai beta dan memiliki monomer berupa molekul
glukosa dengan cabang yang mengandung nitrogen. Kitin murni mirip dengan
kulit, namun akan mengeras ketika dilapisi dengan garam kalsium karbonat
CaCO3. Kitin membentuk serat mirip selulosa yang tidak dapat dicerna oleh
vertebrata (Sugita et al 2009).
Keberadaan kitin di alam umumnya terikat dengan protein, mineral, dan
berbagai macam pigmen. Contohnya, kulit udang mengandung 25-40% protein,
40-50% CaCO3, dan 15-20% kitin, tetapi besarnya komponen tersebut masih
bergantung pada jenis udangnya (Altschul 1976 dalam Sugita et al. 2009)
sedangkan kulit kepiting mengandung protein (15,60-23,90%), kalsium karbonat
(53,70-78,40%) dan kitin (18,70-32,20%), hal ini tergantung pada jenis kepiting
tempat hidupnya (Focher 1992 dalam Sugita et al. 2009).
Secara kimia, struktur kitin merupakan poli (2-asetamido-2-deoksi-β-(1→4)D-glukopiranosa) dengan rumus molekul (C8H13NO5)n yang tersusun atas 47%
C, 6% H, 7% N, dan 40% O. Struktur kitin menyerupai struktur selulosa dan
hanya berbeda pada gugus yang terikat di posisi atom C2. Gugus pada C2 selulosa
6
adalah gugus hidroksil -OH, sedangkan pada C2 kitin adalah gugus N-asetil
(Muzzarelli 1977). Struktur kimia kitin ditunjukkan oleh Gambar 2.
Gambar 2 Struktur kimia kitin (Muzzarelli 1977).
Kitin tidak larut dalam pelarut biasa tetapi cenderung stabil dalam asam
maupun basa lemah. Kitin dapat dideasetilasi sehingga membentuk produk
turunan seperti kitosan, oligosakarida, dan glukosamin. Bentuk turunan ini
memiliki manfaat lebih besar sebagai neutraceutical (Kralovec dan Barrow 2008).
Proses isolasi kitin pada dasarnya terdiri dari tiga tahap, yaitu: tahap pemisahan
protein (deproteinasi), tahap pemisahan mineral (demineralisasi), dan tahap
penghilangan warna (depigmentasi) (Savitri et al. 2010).
2.4 Kitosan
Kitosan merupakan produk deasetilasi kitin melalui proses reaksi kimia
menggunakan basa natrium hidroksida atau reaksi enzimatis menggunakan
enzim kitin deacetylase. Kitosan merupakan biopolimer yang resisten terhadap
tekanan mekanik. Unsur-unsur yang menyusun kitosan hampir sama dengan
unsur-unsur yang menyusun kitin yaitu C, H, N, O dan unsur-unsur lainnya.
Kitosan adalah turunan kitin yang diisolasi dari kulit kepiting, udang,
rajungan, dan kulit serangga lainnya. Kitosan merupakan kopolimer alam
berbentuk lembaran tipis, tidak berbau, terdiri dari dua jenis polimer, yaitu
poli (2-Deoksi-2-asetilamin-2-Glukosa) dan poli (2-Deoksi-2 Aminoglukosa)
yang berikatan β-D (1–4 ) (Hirano 1986).
Kitosan tidak beracun dan mudah terbiodegradasi. Kitosan tidak larut dalam
air, dalam larutan basa kuat, dalam H2SO4 dan dalam beberapa pelarut organik
seperti alkohol dan aseton. Kitosan sedikit larut dalam asam klorida dan asam
7
nitrat serta larut baik dalam asam lemah seperti asam formiat dan asam asetat
(Sugita et al 2009). Struktur kimia kitosan ditunjukkan pada Gambar 8.
Gambar 3 Struktur kimia kitosan (Hirano 1986).
Tahap utama yang berperan penting dalam proses transformasi kitin menjadi
kitosan ialah tahap deasetilasi dengan penggunaan basa kuat KOH atau NaOH.
Proses deasetilasi gugus asetil pada asetamida kitin dapat dijelaskan sebagai
berikut: gugus karbon karbonil diserang oleh nukleofil OH-, akibatnya terjadi
reaksi adisi sehingga terbentuk zat antara. Zat antara ini selanjutnya mengalami
reaksi elimininasi sehingga gugus asetil pada asetamida kitin lepas membentuk
asetat. Proses pelepasan gugus asetil dari gugus asetamida kitin berhubungan
dengan konsentrasi ion OH- pada larutan. Konsentrasi OH - akan lebih besar pada
larutan basa kuat. Semakin kuat suatu basa semakin besar konsentrasi OH- dalam
larutannya. Dengan demikian kekuatan basa mempengaruhi proses deasetilasi
gugus asetil dari gugus asetamida kitin (Azhar et al. 2010).
Penggunaan larutan NaOH 50% (b/v) pada proses deasetilasi kitin menjadi
kitosan dimaksudkan untuk memutus ikatan antara gugus asetil dengan atom
nitrogen, sehingga berubah menjadi gugus amina (-NH2). Larutan basa dengan
konsentrasi tinggi ini digunakan karena ikatan antara nitrogen N dengan gugus
asetil sangat kuat. Hal ini disebabkan karena unit sel kitin berstruktur kristalin dan
adanya ikatan hidrogen yang meluas antar atom nitrogen dengan gugus karboksil
tetangganya (Karmas 1992). Proses deasetilasi ini bertujuan untuk memutuskan
ikatan kovalen antara gugus asetil dengan nitrogen dalam gugus asetamida kitin
sehingga berubah menjadi gugus amina (-NH2) dengan demikian pelepasan gugus
asetil pada asetamida kitin menghasilkan gugus amina terdeasetilasi.
8
2.5 Fourier Transform Infra Red (FTIR)
Fourier Transform Infra Red (FTIR) merupakan suatu teknik spektroskopi
inframerah yang dapat mengidentifikasi kandungan gugus fungsi suatu senyawa
termasuk senyawa kalsium fosfat, namun tidak dapat mengidentifikasi unsurunsur penyusunnya. Ada dua jenis energi vibrasi yaitu vibrasi bending dan
vibrasi stretching. Vibrasi bending yaitu pergerakan atom yang menyebabkan
perubahan sudut ikatan antara dua ikatan atom atau pergerakan dari seluruh
atom terhadap atom lainnya. Sedangkan vibrasi stretching adalah pergerakan
atom yang teratur sepanjang sumbu ikatan antara dua atom sehingga jarak
antara dua atom dapat bertambah atau berkurang (Samsiah 2009).
Spektroskopi IR digunakan untuk menetukan struktur molekul melalui
sederetan gugus fungsi yang berdasarkan pada perubahan amplitudo vibrasi yang
diawali oleh terjadinya aksi antara molekul dengan radiasi infra merah yang
medan listriknya memiliki frekuensi sama. Prinsip dasar dari spektrofotometri IR
adalah perubahan amplitudo radiasi IR dari gugus dalam molekul pada energi
(bilangan gelombang atau bilangan gelombang) yang sesuai. Pengujian FTIR
memiliki beberapa keuntungan, yakni relatif cepat, sampel tidak perlu murni, dan
tingkat ketelitian tinggi (Pavia et al. 2009).
Identifikasi gugus fungsi biasanya dilakukan pada daerah bilangan gelombang
800-4000 cm-1. Serapan pita amida I memiliki bilangan gelombang 1655 cm-1 dan
gugus hidroksil memiliki bilangan gelombang 3450 cm-1 (Sugita et al. 2009).
Serapan gugus hidroksi O-H memiliki bilangan gelombang pada 3200-3400 cm-1
(H terikat) dan pada 3650-3600 cm-1 (gugus hidroksi bebas). Gugus amina N-H
memiliki bilangan gelombang 3500-3100 cm-1 (vibrasi ulur) dan 1640-1550 cm-1
(vibrasi tekuk). Gugus amin C-N memiliki bilangan gelombang 1350-1000 cm-1.
Gugus C-O berada pada bilangan gelombang 1300-1000 cm-1. Gugus C-H berada
pada daerah bilangan gelombang 3000-2850 cm-1 (Pavia et al. 2009).
Download