Konstelasi no 24 - Pemilu 09 (versi A4 12 hlm).qxd

advertisement
2
Pemilu dan Politik
4
Daftar Pemilih (Tidak Pernah)
Tetap
6
Selubung Kebobrokan KPU
dan Kisruh Pemilu 2009
8
Kacau Peradilan, Kacau
Pemilu
no.24 agustus 2009
konstelasi
Analisis Berkala Perhimpunan Pendidikan Demokrasi (P2D)
Monoteisme Politik
M
enjelang penyusunan kabinet, politik Indonesia kembali masuk dalam pasar gelap kekuasaan. Tukar-tambah posisi-posisi
strategis (pimpinan parlemen, kursi
kabinet) berlangsung tanpa pengaruh hasil pemilu. Partai yang kalah
dalam pemilu dan seharusnya
mengambil sikap oposisi, justru
tergoda masuk dalam pasar gelap
kekuasaan.
Pragmatisme ini bukan saja ditempuh oleh Partai Golkar dan
PDIP, tapi juga oleh Partai Demokrat. Kalkulasi politik memang
membutuhkan koalisi untuk pengamanan kebijakan presiden.Tapi soal
yang lebih penting bagi demokrasi
adalah keseimbangan dan kontrol
kekuasaan (check and balances). Mekanisme itu memerlukan politik
oposisi. Pemilu yang lalu sesungguhnya telah menghasilkan fakta itu:
Golkar dan PDIP seharusnya mengambil posisi oposisi. Tapi nampaknya, perkembangan politik hari-hari
ini justru mengarah pada pembentukan koalisi besar dengan
memasukkan semua kekuatan politik dalam payung politik SBY.
Di sini kita mulai memahami
“konsep politik SBY”, yaitu bahwa
sesungguhnya ia menghendaki “persatuan nasional” yang bulat. Politik
monoteistik semacam ini sebetulnya
bertentangan dengan gagasan dasar
demokrasi, yaitu bahwa kompetisi
politik niscaya memerlukan politik
oposisi. Dasar filsafatnya adalah bahwa harus selalu tersedia pandangan
sosial alternatif demi mencegah
politik menjadi monoteistik.
Tugas demokrasi kita sekarang
ini adalah menguji kesungguhan
hati para elit politik, khususnya
pemimpin partai, dalam memelihara
etika politik itu.Terutama dalam soal
penyusunan kabinet, ketika para elit
berlomba mendekat ke pusat
kekuasaan, perbedaan kalah-menang
dalam pemilu menjadi kabur. Artinya, aspirasi ideologis rakyat telah
dimanipulasi oleh kepentingan
material pemimpin partai. Di sini
politik berubah menjadi permainan
untung-rugi di kalangan elit.
Sesungguhnya, kita menyelenggarakan pemilu untuk mewadahi
konflik ideologis di dalam masyarakat. Konflik itu adalah kondisi
antropologis dari politik. Artinya,
demi perbedaan cita-cita sosial,
kompetisi politik berlangsung melalui pemilu. Demokrasi adalah
kompetisi rasional untuk memastikan bahwa kekuasaan tidak jatuh
dalam kemutlakan. Prinsip inilah
yang melahirkan politik oposisi.
Tapi justru logika politik inilah
yang hari-hari ini dihindari oleh
para pemimpin partai. Seolah-olah
oposisi itu identik dengan kriminalitas. Memang, bagi pemimpin
politik yang punya masalah dengan
korupsi, tekanan kekuasaan akan
memaksanya memilih koalisi ketimbang oposisi. Politik oportunistik
semacam ini niscaya akan menggerogoti tiang utama demokrasi:
check and balances.
Juga bagi penguasa, yang memperoleh mandat untuk memimpin,
seharusnya menghormati putusan
rakyat yang menghendaki kekuasaan
tidak dijualbelikan. Pada pemilu
yang
lalu
misalnya, rakyat
“menghukum” Golkar dan PDIP
dengan perolehan suara yang rendah. Maka, bila sekarang elit partai
itu dikooptasi oleh presiden terpilih
untuk duduk dalam posisi-posisi
strategis kabinet, itu sama artinya
dengan mengabaikan kehendak
rakyat.
Etika politik semacam inilah
yang merusak sendi-sendi demokrasi. Kompetisi ideologis sebagai
mesin yang menghidupkan politik
demokratis, diabaikan oleh koalisi
elitis.
Memajukan kualitas demokrasi
adalah tugas etis para pemimpin
partai.Tugas itu harus terlihat dalam
kurikulum pendidikan politik
partai. Itulah yang disebut kaderisasi
politik. Kader partai memelihara
identitas politik partai dengan cara
mempertahankan eksklusifitas ideologi dan distingsi kebijakan publik
yang dipromosikan ketika pemilu.
Politik kepartaian kita sesungguhnya lalai dalam menyelenggarakan kaderisasi. Akibatnya,
dalil-dalil etika publik tidak menjadi
pegangan para politisi.
Sesungguhnya, politik adalah
transaksi keadilan, bukan tukartambah kepentingan. Normativitas
inilah yang kini sedang dipertaruhkan hari-hari ini n RGX
www.p2d.org — konstelasi
1
analisis
Pemilu dan Politik
emilu Presiden telah kita lalui.
Dari pemilu kemarin, politik
Indonesia didominasi oleh dua
ciri. Ciri pertama, politik semakin
mirip dengan hitungan matematis. Sejumlah tabel, kurva dan
angka yang disajikan oleh lembaga-lembaga survei, meski sedikit berbeda antara satu dengan
lainnya, tak meleset jauh dari hasil
pemilu. Ketepatan dan kepastian
menjadi hakikat dari pemilu.
Hampir tak ada ruang bagi unsur
kejutan, improvisasi ataupun
kebaruan.
Ciri kedua adalah pemilu
semakin ditentukan oleh politik
pencitraan yang disajikan tanpa
henti oleh media massa. Seluruh
kehidupan politik seakan-akan
hanya ada di media massa. Politik
dikemas sedemikian rupa sehingga menarik minat para pembeli,
yaitu rakyat. Nilai jual menjadi
hakikat dari pemilu.
Ketika hasil pemilu tak berbeda jauh dari statistik politik yang
disajikan oleh berbagai lembaga
survei dan politik pencitraan,
maka genaplah kredo bahwa politik tak lain dan tak bukan adalah
deretan angka-angka statistik dan
permainan citra di media massa.
Kalau pemilu hanyalah penggenapan dari statistik politik dan
politik pencitraan, bukankah lebih
baik mengganti pemilu dengan
polling pendapat atau permainan
citra di media massa? Untuk menjawab pertanyaan semacam ini,
kita perlu menelusuri bagaimana
statistik politik dan politik pencitraan berkorespondensi dengan
situasi politik, keamanan dan ekonomi selama lima tahun terakhir.
P
2
konstelasi — www.p2d.org
Sumber: http://mywrotes.files.wordpress.com/2009/04/pemilu.jpg
Situasi politik, keamanan dan
ekonomi selama lima tahun terakhir sampai jelang pilpres 2009
relatif stabil. Dari segi politik keamanan, ancaman teroris bisa
diredam. Ancaman disintegrasi
juga bisa dikendalikan, seperti
situasi yang relatif damai di Aceh
pasca perjanjian Helsinki, tuntutan merdeka di Papua masih bisa
diredam. Otonomi daerah dan
pilkada di sejumlah daerah relatif
berjalan dengan mulus. Situasi
ekonomi relatif stabil di tengah
krisis ekonomi global.
Relatif stabilnya situasi politik, keamanan dan ekonomi,
adalah merupakan faktor yang paling mempengaruhi pilihan rakyat, dan munculnya tiga calon
presiden dalam pemilu presiden
2009 lalu. Dari segi pemilih,
kebanyakan pemilih cenderung
akan memilih incumbent dengan
dua alasan yaitu: pertama, pemimpin incumbent telah memberikan
rasa aman kepada para pemilihnya
lewat stabilitas politik dan keamanan atau kesejahteraan yang
lebih baik. Atau alasan kedua,
calon-calon yang lain tidak memberikan gagasan-gagasan baru
bagi para pemilih.
Dari segi calon presiden, pilihan yang tersedia sangatlah terbatas, bahkan lebih ekstrimnya
terbatas pada sosok SBY. Jusuf
Kalla baru mau maju menjadi calon presiden ketika permintaannya menjadi cawapres SBY ditolak oleh SBY. Megawati maju
hanya untuk menunjukkan sikap
yang berbeda dengan SBY. Terbatasnya capres yang ada mencerminkan tidak adanya perubahan
kekuatan politik dalam lima tahun
terakhir.
Stabilitas dan Preferensi
Pemilih
Dari aspek kecenderungan para
pemilih dan pilihan capres yang
tersedia, tidaklah mengherankan
bahwa SBY keluar sebagai pemenang dalam pemilu 2009. Rakyat
memilih SBY selain karena SBY
dianggap telah memberikan rasa
aman bagi rakyat, juga karena sebagian besar pemilih tidak menganggap Jusuf Kalla dan Megawati
sebagai calon pemimpin yang bisa
membawa perubahan yang lebih
baik.
Dengan demikian, statistik politik dan politik pencitraan hanyalah penggenapan dari situasi politik
yang ada. Statistik politik lewat
prediksi pemilu satu putaran dan
politik pencitraan “Lanjutkan!”
hanyalah mengolah dan memperkuat kecenderungan para pemilih.
Ketika rakyat telah memilih
untuk melanjutkan bersama SBY
untuk lima tahun ke depan, bukan
berarti bahwa persoalan telah selesai. Sejumlah ahli politik seperti
Walter Lippman dan Joseph
Schumpeter menyatakan bahwa
setelah rakyat memilih pemimpin
politik, tindakan politik dari sang
pemimpin bukan lagi urusan dari
urusan rakyat. Setelah pemilu,
rakyat memberikan keleluasaan
bagi pemerintah untuk menjalankan programnya dan baru melakukan evaluasi pada pemilu mendatang (Ian Shapiro & Casiano
Hacker-Cordon
(Eds), 1999: 35).
9
Pendapat Lippman dan Schumpeter ada benarnya, tetapi itu
bukan berarti bahwa rakyat hanya
menunggu lima tahun lagi untuk
mengevaluasi apakah pilihan yang
dia buat itu salah atau benar. Politik tak berakhir dengan pemilu.
Menghadapi Berbagai Ancaman Demokrasi di Masa
Depan
Setelah pemilu berakhir, ketika
kita sudah merasa aman dengan
politik keamanan melawan terorisme, bom kembali meledak di
hotel J. W. Marriot dan Ritz
Charlton. Spanduk ucapan selamat jalan buat para bomber yang
dianggap pahlawan jihad terbentang di makam seorang teroris
di Solo.
Ketika kita sudah merasa
aman dengan keutuhan wilayah,
muncul sejumlah gejolak di Papua
akhir-akhir ini. Konflik sosial
yang berkepanjangan di Maluku
Utara pasca pilkada Gubernur
Maluku Utara bisa terulang di
sejumlah wilayah yang nantinya
akan menyelenggarakan pilkada.
Ketika hasil pemilu menunjukkan dukungan politik kepada
partai-partai Islam tidaklah besar,
tidak otomatis ancaman terhadap
pluralisme surut. Sampai saat ini
perda-perda berbasis agama tidaklah berkurang. Kekerasan berbasis
agama dan intoleransi masih terus
berlangsung.
Ketika kita berharap bahwa
adanya check and balance antara Pemerintah dengan DPR, kita disuguhi kemungkinan semakin besarnya koalisi pendukung pemerin-
tah sebagaimana upaya SBY merangkul PDIP dan Partai Golkar.
Di bidang ekonomi, meski
ekonomi Indonesia masih relatif
stabil, tetapi ancaman krisis global
terus membayangi perekonomian
Indonesia. Jaminan akan keberlangsungan pekerjaan juga masih
belum terlihat ketika sistem buruh
kontrak masih terus berlangsung.
Diskursus neoliberalisme yang
pada saat pemilu hanya menjadi
komoditi politik, kini nyata mengancam sendi-sendi perekonomian Indonesia.
Berbagai ancaman di atas,
adalah tantangan yang akan dihadapi oleh pemerintahan dan
rakyat. Di bidang politik keamanan, khususnya yang berkaitan dengan perang melawan terorisme,
pemerintah perlu menggerakkan
semua komponen bangsa untuk
terlibat bersama memerangi terorisme. Pelibatan TNI dalam perang melawan terorisme memang
perlu tetapi juga bagaimana kita
memerangi ideologi yang membenarkan sikap memusuhi identitas yang liyan seperti perbedaan
agama, ras, etnik yang mungkin
saja tumbuh di masyarakat.
Dalam hal menghadapi gejolak sosial di daerah-daerah konflik, seperti Aceh dan Papua, kita
tak perlu meletakkan semuanya
dalam perspektif ancaman terhadap kedaulatan NKRI. Kita tak
perlu membangkitkan kembali
pendekatan keamanan seperti yang
dilakukan rejim Orde Baru dulu.
Dalam hal adanya hasrat politik untuk merangkul semua kekuatan politik untuk bergabung
dengan pemerintah, kita perlu
hati-hati menyikapi. Kalau hasrat
politik hanya untuk memperkuat
pemerintah dengan konsekuensi
lemahnya check and balance,
Bersambung ke hlm. 12
www.p2d.org — konstelasi
3
analisis
Daftar Pemilih (Tidak
alah satu persoalan yang mencuat dalam Pemilu 2009 yang
lalu adalah persoalan Daftar Pemilih Tetap (DPT). Jutaan warga
negara Indonesia diduga kehilangan hak pilihnya dalam Pemilu
2009 lalu, karena tidak terdaftar di
DPT. Di sisi lain, muncul pula
dugaan bahwa banyak orang yang
terdaftar lebih dari satu kali, di
samping masuknya nama orang
yang sudah meninggal dan anakanak ke dalam DPT.
Kekisruhan DPT ini memunculkan banyak spekulasi.Ada yang
melihat kekisruhan ini sebagai
upaya sistematis untuk mempengaruhi hasil pemilu. Munculnya
nama yang sama di TPS yang
berbeda jelas membuka peluang
terjadinya kecurangan, apalagi jika
terjadi secara masif. Sementara
kelompok penggiat HAM lebih
melihat kekisruhan DPT ini sebagai pelanggaran HAM, karena
banyak warga negara yang kehilangan hak pilihnya. Hilangnya
hak pilih ini akan menjadi
problem yang sangat serius karena
apabila ternyata ada unsur kesengajaan, maka telah terjadi pelanggaran terhadap pasal 260 UU
No.10/2008 tentang Pemilihan
Umum.
Beberapa partai peserta pemilu melakukan langkah hukum
untuk membongkar kekisruhan
ini, meskipun kemudian Mahkamah Konstitusi menolak tuntutan
mereka. Langkah hukum ini sebenarnya tidak perlu dilakukan apabila sedari awal ketika Daftar
Pemilih Sementara (DPS) dilansir
KPU, partai politik secara aktif
mendorong kader dan konstituennya untuk memastikan bahwa
S
4
konstelasi — www.p2d.org
Sumber Foto : http://catatansikem.files.wordpress.com/2009/04/tps1.jpg
nama mereka sudah tercantum di
DPS. Fakta bahwa partai politik
“terlambat” bereaksi mengenai
kekisruhan DPT dan baru ributribut setelah pemilu legislatif
berlangsung, menunjukkan kelemahan internal mereka sendiri.
Kekisruhan DPT, bisa jadi dianggap punya potensi memberikan
keuntungan bagi perolehan suara
partai, sehingga mereka tidak
banyak mempersoalkannya. Akan
tetapi begitu pemilu legislatif
menunjukkan bahwa kekisruhan
tersebut sama sekali tidak menguntungkan perolehan suara mereka, di sinilah protes mengenai
DPT muncul. Padahal jika mau
ditelusuri, “Audit Daftar Pemilih”
yang dilakukan oleh LP3ES
dengan melakukan evaluasi yang
sistematik dan ilmiah terhadap
kualitas dari DPS pada Agustus
2008 sudah menunjukkan lemahnya akurasi DPS.
Penggunaan problem DPT
sebagai bahan untuk menggugat
dan mempersoalkan hasil pemilu
lebih didominasi kepentingan
politik partai. Secara politik, itu
sesuatu yang sah dilakukan,
namun demikian jauh lebih
penting untuk menggali akar persoalan DPT ini demi supaya
Pernah) Tetap
kejadian dan kekisruhan yang
sama tidak terulang kembali, baik
pada saat Pemilu 2014 maupun
dalam pemilihan kepala daerah
yang juga akan berlangsung dalam
waktu dekat.
Ada beberapa faktor yang
mendasari kekisruhan DPT ini,
antara lain: Pertama, data kependudukan dan sistem verifikasi
yang sangat tradisional dan lemah
akurasinya. DPS dimulai disusun
dari DP4 (Daftar Penduduk
Pemilih Potensial Pemilu) yang
disusun oleh Depdagri berdasarkan hasil sensus terakhir (tahun
2000). Proses pembaruan data
hasil sensus untuk kebutuhan
pemilu ini dilakukan oleh pejabat
di tingkat dusun (RW) dengan
dibantu oleh petugas lapangan
(PPS). Dalam tahap ini, berdasarkan hasil audit LP3ES sudah
banyak persoalan yang dihadapi
oleh petugas lapangan, antara lain:
rendahnya kualitas data pemilih
yang digunakan sebagai dasar
untuk proses pencocokan dan pemuktahiran, mobilitas pemilih
yang tinggi sementara dana
terbatas, kurangnya waktu untuk
memperbaiki data lemahnya
SDM. Kelemahan SDM terlihat
jelas dengan tidak dilakukannya
proses pencocokan dan penelitian
(coklit) terhadap data pemilih
oleh petugas lapangan. Dengan
demikian, praktis sangat sedikit
terjadi perubahan/perbedaan antara DP4 yang disusun Depdagri
dengan DPS yang disusun oleh
KPU.
Dari segi akurasi data, menurut LP3ES hanya 39,5 % Nomor
Induk Kependudukan (NIK) yang
akurat, sementara 67,9% nama
pemilih telah akurat dan 77,1%
jenis kelamin akurat. Namun
hanya 58,8% penulisan tanggal
lahir yang akurat, dan hanya
68,6% yang menuliskan alamat
dengan akurat.
Kedua, pengabaian terhadap
DPS yang sudah dilansir oleh
KPU sejak bulan Agustus 2008,
baik oleh partai, warga negara
maupun aparat pemerintah,
sehingga proses evaluasi dan
verifikasi daftar pemilih tidak terjadi. Sistem stelsel pasif yang
digunakan pada pemilu-pemilu
sebelumnya berusaha disempurnakan dengan mendorong
masyarakat untuk juga berperan
aktif mendaftarkan diri sebagai
pemilih. Namun terbukti bahwa
tidak ada perubahan signifikan
antara DPS dengan DPT. Ini
menunjukkan masih lemahnya
inisiatif warga negara untuk aktif
dalam pemilu. Dan ketika warga
hanya dilihat sebagai satuan suara,
bukan konstituen yang harus
diorganisir dan diberi pendidikan
politik, maka parpol juga tidak
melakukan apa-apa untuk membantu proses penyempurnaan
DPT.
Dua problem di atas merupakan problem yang juga terjadi
pada pemilu sebelumnya, khususnya pemilu pasca Orde Baru.
Hanya saja pada tahun 2004 ini,
demi kepentingan politik untuk
menggoyang keabsahan pemilu
serta agar pemilu diulang,
persoalan DPT ini mencuat dan
seolah-olah secara signifikan dapat
mengubah hasil akhir pemilu.
Persoalan menjadi semakin rumit
ketika akurasi data yang sangat
lemah ini ditimpali pula oleh
rendahnya kualitas penyelenggara
pemilu (KPU). Kualitas KPU ini
semakin mempengaruhi kualitas
data, di mana proses pendaftaran
pemilih sempat terkendala oleh
belum terbentuknya struktur
penyelenggara Pemilu (KPUD,
PPK hingga PPS) di beberapa
daerah.
Potensi kisruh akibat ketidakakuratan DPT akan tetap ada
selama basis data yang digunakan
untuk menyusun DP4, DPS dan
DPT ini juga masih lemah.
Dengan tingkat persebaran penBersambung ke hlm. 12
www.p2d.org — konstelasi
5
analisis
Selubung Kebobrokan KPU
idak ada demokrasi tanpa
pemilihan umum. Pemilu dipahami sebagai praktik mengambil keputusan (voting) berskala
luas dan masif karena umumnya
berkaitan dengan penentuan pemimpin politik. Aktivitas memilih
atau menentukan aspirasi politik
itu menjadi penting karena di
dalamnya melekat hak politik
warga dan sekaligus suatu pengakuan kedaulatannya sebagai individu, dipandang setara tanpa dibeda-bedakan asal-usul diri, kondisi
fisik atau status sosial. Itu sebabnya
hak memilih menjadi hak yang
bersifat asasi. Dengan memiliki
hak pilih, seseorang berkesempatan agar suara atau aspirasi dirinya
didengarkan oleh otoritas politik.
Kontestasi antar berbagai aspirasi
politik diwadahi oleh sebuah
pemilihan umum yang bersifat
jujur dan adil.
Seperti di kebanyakan negara
totaliter, sebelum tahun 1999,
pemilu di Indonesia lebih sebagai
etalase kepada dunia luar bahwa
negara Indonesia adalah negara
yang demokratis. Prinsip LUBER
yang didengungkan pada era sebelumnya, baru benar-benar dapat
diwujudkan pada Pemilu 2004.
Pada masa itu dunia memberi
apresiasi positif atas pesta demokrasi yang telah berlangsung.
Besar harapan bahwa apa yang
sudah dicapai pada pemilu tersebut dapat menjadi modal bagi pemilu berikutnya, tahun 2009.
Harapan tinggal harapan, Pemilu
2009 yang baru saja berlalu meninggalkan banyak kekisruhan,
yang paling utama adalah masalah
Daftar Pemilih Tetap (DPT) dan
interpretasi penghitungan suara
pembagi. Beberapa sengketa dan
T
6
konstelasi — www.p2d.org
Sumber Foto : http://www.calegindonesia.com/content/files/images/news/kpu20.jpg
keberatan dibawa ke Mahkamah
Konstitusi. Dan akhirnya, pada
tanggal 12 Agustus 2009 Mahkamah Konstitusi memutuskan
bahwa berkaitan dengan masalah
DPT, KPU telah melakukan
kesalahan prosedur dan berlaku
tidak profesional. Tidak ditemukan adanya upaya-upaya secara
sistematis, disengaja dan masif
berkenaan dengan buruknya
pelaksanaan Pemilu.
Seleksi Awal dan Konflik
Kepentingan
Kualitas pemilu yang jujur dan
adil tentunya sangat dipengaruhi
oleh penyelenggaranya. Adalah
Komisi Pemilihan Umum (KPU)
yang ditunjuk oleh undangundang (UU No.22/2007) sebagai penyelenggara pemilu di
Indonesia. Pada tahun 1999 KPU
adalah representasi dari wakilwakil partai, dan pada tahun
2004-2007 KPU diisi oleh para
akademisi dan aktivis LSM. Meneruskan lembaga KPU seperti
periode kedua, yakni mengupayakan anggota KPU yang independen dan kompeten, diaturlah
sebuah proses yang adil dan
terbuka. Dimulai dari presiden
yang membentuk tim seleksi
calon anggota KPU yang terdiri
dari lima orang. Mereka adalah
Ridwan Nazir (ketua), Sarlito
Wirawan Sarwono, Jalaluddin,
Purnaman Natakusumah, dan
Balthasar Kambuaya. Panitia ini
membuka pendaftaran, melakukan proses seleksi dan terakhir
menyerahkan 21 nama kepada
presiden untuk diajukan kepada
dan Kisruh Pemilu 2009
DPR guna menjalani proses uji
kelayakan. Dalam perjalanannya
tim seleksi ini menerima 545
pendaftar, yang lolos seleksi administratif 270 orang, yang lolos
tes tertulis dan rekam jejak 45
orang, dari 21 orang yang mengikuti fit and proper test, terpilih 7
orang: Abdul hafiz Anshary Az,
Sri Nuryanti, Endang Sulastri, I
Gusti Putu Artha, Syamsul Bahri,
Andi Nurpati, dan Abdul Aziz.
Demi mendapatkan figur
yang kredibel, maka syarat pendaftar adalah orang-orang yang
pernah terlibat dalam penyelengaraan pemilihan umum, dan harus
menjalani serangkaian tes, seperti
tes kecerdasan, tes psikologi, tes
integritas dan tes kesetiaan pada
NKRI dan Pancasila. Bahkan
Ketua Panitia Seleksi Ridwan
Nazir, yang adalah Rektor IAIN
Sunan Ampel, menambahkan
tafsir sendiri bahwa calon anggota
KPU 2009 harus benar-benar
bermoral, terutama di bidang
agama (lihat: www.elshinta.com).
Sebuah syarat yang tak tercantum
dalam UU, tapi sepertinya benarbenar diterapkan. Selain Ridwan
Nazir adalah Purnaman Natakusumah yang menjabat sebagai
Rektor IAIN Raden Patah Palembang. Mungkin nilai agama
pula yang membuat ada preferensi akan figur yang “sealiran” tercium menyengat, sebab dari tujuh
orang anggota KPU, tiga orang
adalah alumni dan sivitas akademika IAIN/ UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta (Abdul Hafiz Anshary,Andi
Nurpati, Abdul Aziz).
Kalau memang panitia seleksi
bekerja dengan serius, maka mengapa nama Theofilius Waimuri
yang tercatat sebagai anggota
Partai Demokrat dapat lolos
dalam daftar 21 nama yang disodorkan kepada DPR? Padahal
dalam UU No.22/2007 menegaskan bahwa anggota KPU tidak
pernah menjadi anggota parpol
sekurangnya dalam jangka waktu
lima tahun, dan harus dinyatakan
secara tertulis. Seharusnya sejak
awal Theofilus tidak bisa lolos
menjadi anggota KPU.
Demikian pula dengan anggota DPR, mengapa nama Syamsul Bahri lolos fit and proper test
sebagai anggota KPU bahkan
sempat dilantik, yang ternyata tersangka dalam kasus penyimpangan dana kontrak pengawasan
Kawasan Industri Gula Milik Masyarakat yang merugikan negara
sebesar Rp3,02 miliar. Sayangnya,
pada saat itu tidak ada akademisi
yang menguji kadar ilmiah dari
alat tes yang dipakai. Jenis tes
yang diberikan pun tidak berkaitan langsung dengan deskripsi
pekerjaan yang akan dijalankan
oleh anggota KPU. Akibatnya,
beberapa nama yang dianggap
punya cukup pengetahuan dan
pengalaman di bidang pemilu
tidak lolos, di antaranya Didik
Supriyanto (mantan anggota Panwaslu), Ramlan Surbakti (Anggota
KPU) dan Hadar Gumay (Cetro).
Bersambung ke hlm. 11
P2D
konstelasi
diterbitkan oleh
Perhimpunan Pendidikan
Demokrasi (P2D)
Redaksi
Abdul Qodir Agil
Daniel Hutagalung
Donny Ardyanto
Elisabet R. Kuswijayanti
Fajrimei A. Gofar
Hendrik A. Boli Tobi
Ikravany Hilman
Isfahani Ivan
Otto Pratama
Rachland Nashidik
Robby Kurniawan
Robertus Robet
Santi Nuri
Redaktur Ahli
Bagus Takwin
Richard Oh
Rocky Gerung
Alamat Redaksi
Jl. Sawo No.11, Jakarta 10310
Tel/Fax: (021) 31925734
http://www.p2d.org
E-mail: [email protected]
www.p2d.org — konstelasi
7
analisis
Kacau Peradilan, Kac
apat dikatakan bahwa rangkaian pemilu legislatif sudah
rampung dilaksanakan. Sayangnya,
pelaksanaannya tidak semulus
yang diidamkan. Sebaliknya,
hampir semua tahapannya memiliki sejumlah persoalan, sehingga
rangkaian pelaksanaannya terkesan karut-marut dan acak kadut.
Penetapan parpol peserta pemilu
saja sudah diawali dengan gugat
menggugat, baik itu ke Mahkamah Konstitusi (MK) maupun
ke PTUN.
Begitu pula halnya dengan
penetapan Daftar Pemilih Tetap
(DPT) yang berantakan, logistik
pemilu banyak yang tertukar —
terutama kertas suara, serta
penetapan hasil pemilu berjalan
alot, bahkan diwarnai dengan
gugatan ke Mahkamah Konstitusi.
Di penghujung tahapan pemilu,
tata cara penghitungan perolehan
kursi berlangsung dengan penuh
kontroversi.
Ada banyak faktor yang mengakibatkan kekarut-marutan itu.
Tidak hanya pelaksana pemilu,
yakni KPU, tapi juga aturannya
yakni UU No.10/2008 yang
kurang baik karena tidak jelas dan
multi-tafsir. Banyak substansi
undang-undang tersebut yang
diuji secara materiil terhadap
UUD 1945 (judicial review) ke
Mahkamah Konstitusi. Sebut saja
misalnya substansi tentang persyaratan kepesertaan parpol dalam
pemilu, pasal tentang penetapan
calon terpilih, dan pasal tentang
tata-cara penghitungan perolehan
kursi tahap kedua.
Produk hukum yang dikeluarkan oleh KPU pun setali
D
8
konstelasi — www.p2d.org
Sumber : http://judicialconduct-wy.us/images/Gavel_big.jpg
tiga uang. Setidaknya, ada dua
produk KPU yang diajukan ke
pengadilan. Pertama, keputusan
KPU tentang “Parpol Peserta
Pemilu 2009” yang diajukan ke
PTUN. Kedua, Peraturan KPU
tentang “Tatacara Penghitungan
dan Penetapan Perolehan Kursi”
yang diajukan ke Mahkamah
Agung (MA) untuk diuji secara
materiil.
Sayangnya, lembaga-lembaga
peradilan yang ada bukannya
mengurangi
kekarut-marutan
yang terjadi, sebaliknya malah
menjadi salah satu penyebab
kekarut-marutan dalam pelaksanaan pemilu. Banyak putusan
lembaga peradilan telah menciptakan preseden yang membahayakan sistem hukum. Baik itu
dilakukan oleh PTUN, Mahkamah Agung, maupun Mahkamah
Konstitusi.
PTUN dalam putusannya
yang mengabulkan gugatan
beberapa parpol untuk diikutkan
sebagai peserta Pemilu 2009, telah
memberlakukan secara surut
putusan MK yang membatalkan
Pasal 316 huruf (d) UU
No.10/2008. Seharusnya PTUN
menolak gugatan parpol-parpol
tersebut karena putusan MK —
yang diajukan sebagai dasar
gugatan tersebut — dibacakan
sehari setelah KPU mengumumkan parpol-parpol peserta Pemilu
2009.
Begitu pula halnya dengan
keputusan MK yang membatalkan
pasal tentang penetapan calon
cau Pemilu
berdasarkan nomor urut, dan
menggantinya dengan berdasarkan suara terbanyak. Ini berarti
bahwa MK telah mengganti isi
pasal yang seharusnya menjadi
kewenangan pemerintah dan
DPR
sebagai
pembentuk
undang-undang. Pemberlakuan
suara terbanyak tersebut seharusnya diperlukan norma setingkat
undang-undang, misalnya Perpu,
bukan hanya dengan putusan MK
saja.
Mahkamah Agung juga
melakukan kesalahan yang fatal
dalam kasus Pasal 205 UU
No.10/2008. Seharusnya, dalam
menguji peraturan KPU berdasarkan UU tersebut, Mahkamah
Agung tidak boleh memberikan
suatu pemulihan hak (remedy)
akibat aturan yang keliru. Karena
kasus tersebut bukanlah kasus perdata atau gugatan ganti kerugian,
melainkan kasus judicial review —
yang berarti bahwa kasus tersebut
merupakan kasus publik. Seharusnya, Mahkamah Agung cukup
menyatakan bahwa peraturan
KPU bertentangan dengan UU
No.10/2008. Kenyataannya, Mahkamah Agung malah “menghukum” KPU untuk mengganti
keputusan tentang perolehan kursi dalam penghitungan tahap kedua dengan putusan yang berdasarkan putusannya sebagai wujud
remedy kepada pemohon (bukan
penggugat) judicial review.
Putusan MK tersebut berdampak luar biasa bagi peta perolehan kursi partai politik di
DPR. Parpol kecil kehilangan
banyak kursi, sementara parpol
besar kelimpahan sejumlah kursi
yang cukup signifikan jumlahnya.
Intinya, parpol kecil sangat
dirugikan oleh putusan Mahkamah Agung tersebut.
Akibat kerugian yang dideritanya, parpol-parpol ini,
antara lain Hanura dan Gerinda,
mengajukan permohonan judicial
review Pasal 205 UU No.10/2008
ke Mahkamah Konstitusi. Artinya,
Pasal 205 dianggap bertentangan
dengan UUD 1945, karena ada
tafsir yang berbeda antara KPU
dan Mahkamah Agung terhadap
Pasal 205 tersebut. Celakanya,
Mahkamah Konstitusi menerima
permohonan judicial review tersebut, dan memutuskan bahwa,
antara lain:
Menyatakan Pasal 205 ayat (4) UU
No 10/2008 adalah konstitusional
bersyarat (conditionally constitutional). Artinya, konstitusional sepanjang dimaknai bahwa penghitungan tahap kedua untuk penetapan
perolehan kursi DPR bagi parpol
peserta Pemilu dilakukan dengan
cara sebagai berikut:
1. Menentukan kesetaraan 50%
(lima puluh perseratus) suara sah
dari angka BPP, yaitu 50% (lima
puluh perseratus) dari angka BPP
di setiap daerah pemilihan Anggota DPR;
2. Membagikan sisa kursi pada
setiap daerah pemilihan Anggota
DPR kepada Partai Politik peserta
Pemilu Anggota DPR, dengan
ketentuan:
a.Apabila suara sah atau sisa suara
partai politik peserta Pemilu Anggota DPR mencapai sekurangkurangnya 50% (lima puluh
perseratus) dari angka BPP, maka
Partai Politik tersebut memperoleh 1 (satu) kursi.
b.Apabila suara sah atau sisa suara
partai politik peserta Pemilu
Anggota DPR tidak mencapai
sekurang-kurangnya 50% (lima
puluh perseratus) dari angka BPP
dan masih terdapat sisa kursi,
maka:
1) Suara sah partai politik yang
bersangkutan dikategorikan sebagai sisa suara yang diperhitungkan dalam penghitungan kursi
tahap ketiga; dan
2) Sisa suara partai politik yang
bersangkutan diperhitungkan
dalam penghitungan kursi tahap
ketiga.
Memerintahkan Komisi Pemilihan
Umum melaksanakan penghitungan perolehan kursi DPR, DPRD
Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota tahap kedua hasil pemilihan umum tahun 2009 berdasarkan Putusan Mahkamah ini;
www.p2d.org — konstelasi
9
Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut tidak jauh berbeda
dengan putusan Mahkamah
Agung, yaitu: memberikan remedy
kepada pemohon ketika menghukum KPU untuk melaksanakan
penghitungan perolehan kursi
tahap kedua berdasarkan putusan
MK. Kasus judicial review diperlakukan sebagai kasus perdata
biasa. Parahnya lagi, Mahkamah
Konstitusi memberlakukan putusannya secara surut ketika memerintahkan KPU untuk membuat
keputusan berdasarkan putusan
MK. Padahal, KPU sudah membuat keputusannya tentang perolehan kursi penghitungan tahap
kedua jauh-jauh hari sebelum
putusan MK ada.
Dalam hal ini, Mahkamah
Konstitusi tidak membuat putusannya berdasarkan jurisprudence
yang benar. Artinya, Mahkamah
Konstitusi telah gagal membuat
keputusan yang memberikan
keadilan substantif. Sebaliknya,
Mahkamah Konstitusi terjebak
pada konstelasi politik yang
terjadi dengan membuat “jalanjalan tikus” untuk menerobos
sistem hukum. Mahkamah Konstitusi dengan segala perannya sebagai penjaga konstitusi, seharusnya lebih bijak dalam menghadapi
fakta-fakta hukum tersebut. Misalnya, dengan segala kewenangan
yang dimilikinya, Mahkamah
Konstitusi dapat men-dissmisal
kasus tersebut dan mengalihkannya sebagai kasus sengketa pemilu
— jika maksudnya untuk menyelesaikan sengketa akibat putusan
Mahkamah Agung. Sayangnya,
Mahkamah Konstitusi lebih suka
penyelesaian jangka pendek ketimbang menyelamatkan sistem
hukum yang teracak-acak.
Karut-marutnya pemilu yang
baru saja berlangsung tidak saja
sebagai gambaran lemahnya kapa-
10
konstelasi — www.p2d.org
Sayangnya, lembagalembaga peradilan
yang ada bukannya
mengurangi kekarutmarutan yang terjadi,
sebaliknya malah
menjadi salah satu
penyebab kekarutmarutan dalam
pelaksanaan pemilu.
sitas KPU atau lemahnya aturan
mengenai pemilu. Lebih jauh dari
itu, merupakan gambaran nyata
betapa chaos-nya sistem hukum
kita. Kita terlalu banyak lembaga
peradilan (judicial body) dengan
sejumlah kewenangannya masingmasing, sehingga tidak gampang
untuk mengidentifikasi kewenangan-kewenangannya tersebut
secara jernih. Kita juga cukup sulit
memahami fungsi-fungsi dari masing-masing judicial body tersebut.
Terlalu banyak institusi hukum
yang turut menentukan legalitas
aturan-aturan mengenai pemilu.
Dari pemaparan di atas, tergambar pula bahwa lembagalembaga peradilan kita tidak
mempunyai perspektif yang sama
mengenai apa terbaik bagi bangsa
yang sedang membangun demokrasi. Sebaliknya, lembagalembaga peradilan telah menjadi
alat untuk melegitimasi kelicikan
dalam demokrasi. Lembaga-lembaga peradilan begitu tega
mempertaruhkan sistem hukum
dengan membuat preseden yang
buruk. Bahkan, perhelatan pemilu
telah dijadikan arena pertarungan
otoritas antar lembaga-lembaga
peradilan. Pertarungan itu begitu
tampak dalam kasus Pasal 205 UU
No.10/2008, terutama antara MA
dan MK.
MK yang perannya sebagai
sole interpretation of the constitution
dan sebagai the guardian of the constitution belum mampu memaksimalkan perannya. Sebaliknya,
malah mengebiri perannya yang
agung itu. Betapa tidak, MK telah
melakukan ultra vires ketika membuat norma yang bukan sebagai
kewenangannya. MK juga telah
mengebiri sistem hukum ketika
menerapkan putusannya secara
surut dalam kasus Pasal 205 UU
No.10/2008. Lebih jauh lagi,
dalam putusannya tersebut MK
seolah-olah ingin menunjukkan
otoritasnya bahwa interpretasi
MK itulah yang paling benar
ketimbang interpretasi yang dibuat oleh MA.
Dari peran-peran yang ditampilkan oleh lembaga-lembaga
peradilan tersebut dalam pemilu
legislatif yang baru saja selesai, kita
patut menduga bahwa telah terjadi judicial corrupt yang dipraktikkan lembaga-lembaga peradilan
kita. Lembaga-lembaga peradilan
kita tidak begitu jujur dan adil
(fairness) dalam melihat fakta-fakta
yang terjadi. Lembaga-lembaga
peradilan terlalu mengakomodasi
kepentingan jangka pendek sembari mengorbankan sistem hukum kita. Akibatnya, demokrasi
kita sedang dalam ancaman. Ancaman itu tidak datang dari penguasa yang tiran, melainkan
datang dari lembaga-lembaga peradilan yang tak mampu menjadi
penjamin tegaknya rule of law.
Oleh karena itu, perlu ada pembenahan yang serius bagi sistem
peradilan kita, terutama hubungan
MK dan MA yang mengakibatkan
seolah ada dua puncak sistem peradilan kita, yaitu: MK dan MA n
FGX
Sambungan dari hlm. 7
Inkompetensi
Jadi, jika sedari awal pemilihan
anggota KPU memiliki konflik
kepentingan dan tidak mendahulukan kecakapan pengetahuan dan
pengalaman, maka tidak heran
jika kemudian kinerja KPU pada
periode ini tidak profesional. Ini
yang juga kemudian dinyatakan
dalam unsur menimbang keputusan MK No.108-109/PHPU.BVII/2009 tentang “Perselisihan
Hasil Pemilu Capres” yang diajukan oleh pasangan MegawatiPrabowo dan Jusuf Kalla-Wiranto,
yang dibacakan pada 12 Agustus
2009, yakni bahwa KPU kurang
profesional.
Memang tidak ada bau
korupsi yang tercium sejauh ini,
seperti yang terjadi pada KPU
periode sebelumnya. Namun,
selain tidak korupsi kita juga
butuh individu yang cakap dalam
menjalankan pekerjaan yang
diembannya. Kita ambil satu
contoh masalah KPU, yakni persoalan verifikasi DPT. Persoalan
DPT setidaknya muncul beberapa
kali di berbagai pemilihan kepala
daerah (pilkada) sebelum Pemilu
2009, di antaranya pilkada Sulawesi Selatan dan DKI Jakarta pada
tahun 2007 dan pilkada Jawa
Timur tahun 2008. Jika permasalahan yang sama muncul dalam
tiga pilkada, dan tetap muncul
dalam pemilu di tingkat nasional,
artinya KPU tidak melakukan
evaluasi diri dan mencari solusi
atas masalah yang mereka hadapi.
Ini betul-betul jauh dari sikap
profesional.
Meskipun demikian, perlu
juga dibuat catatan bahwa ada
faktor eksternal yang semakin
memperparah output dari KPU.
Adalah Depdagri yang membuat
daftar pemilih yang sama sekali
tidak mutakhir, lalu DPR yang
telat mengesahkan UU No. 10/
2008 tentang Pemilu Anggota
DPR, DPD, dan DPRD. UU ini
disahkan lima hari sebelum tahapan pemilu legislatif dimulai. Jika
KPU 2004 punya waktu 3 tahun
membuat persiapan pemilu karena dibentuk sejak tahun 2001,
maka KPU 2009 baru menerima
SK pada 3 April 2008, beberapa
hari sebelum masuk tahapan
pemilu. Berkaitan dengan anggaran, KPU yang secara efektif bekerja sejak Januari 2008, ternyata
daftar isian proyek anggaran bagi
KPU baru terbit pada Juni 2008.
Partisipasi Politik
Kehidupan demokrasi yang sehat
dapat terwujud jika ada partisipasi
atau kepedulian yang tinggi dari
warga negara. Dengan partisipasi
aktif warga, seharusnya tidak terjadi warga yang kehilangan hak
pilihnya. Jika kita melihat pemberitaan pada pemilu legislatif bahwa ada banyak warga yang mempermasalahkan hak pilihnya pada
hari pencontrengan, maka sempat
terbersit kecemasan akan minimnya partisipasi aktif warga. Kepedulian mereka datang pada hari
itu, dan bukan sedari awal mempermasalahkannya,menunjukkan
kecenderungan bahwa partisipasi
politik dipengaruhi oleh situasi
lingkungan. Meskipun demikian,
tetap ada optimisme bagi para
penggiat demokrasi di Indonesia.
Angka partisipasi warga dalam
menggunakan hak pilihnya cukup
tinggi. Pada pemilu legislatif tercatat 70 persen pemilih dari jumlah yang terdaftar pada DPT yang
menggunakan hak pilihnya, dan
pada pemilu presiden meningkat
menjadi 72 persen. Optimisme
akan potensi demokrasi di Indonesia semakin tinggi jika kita
memperhatikan hasil pemilu
bahwa para pemilih cenderung
meninggalkan politik aliran.
Nilai-nilai yang mendukung
demokrasi harus terus dikembangkan dan diseminasinya dapat
dilakukan jika dimapankan melalui pelembagaan. Pemilu yang
baik dan akuntabel adalah salah
satu cara melembagakan demokrasi. Belajar dari pemilu belakangan ini, kita menjadi mahfum
bahwa hambatan-hambatan teknis
dapat menggagalkan pelembagaan
demokrasi. Jika warganegara memahami bahwa hak pilihnya terjamin dan berlangsung kontestasi
politik yang adil dan jujur, maka
kepercayaan pada demokrasi akan
terus ada. Untuk itu perbaikanperbaikan yang signifikan mesti
dilakukan. KPU periode ini masih
bertugas hingga 2012, sementara
itu ke depannya diperkirakan akan
ada ratusan pilkada.
Akankah kita membiarkan
modal nilai demokrasi yang ada
sekarang tergerus terus-menerus
oleh inkompetensi dan problem
teknis? Jika sejak tahun 2007 sampai 2009, dari pilkada hingga pilpres persoalan yang sama yang terus berulang, maka usulan mengganti anggota KPU adalah sebuah
kepatutan. Hal ini penting guna
memberi efek pembelajaran bagi
penyelenggara lembaga publik.
Selain itu, tahun depan akan ada
Sensus Penduduk Nasional, karenanya KPU dan Depdagri dapat
menumpangi kegiatan ini untuk
memperbaiki akurasi data pemilih. Pilihan lain yang terbuka
adalah merevisi undang-undang
pemilu dengan mengembalikan
penyusunan daftar pemilu kepada
Panitia Pemilih Setempat atau
KPU, sampai peroalan NIK
disempurnakan. Demi keberlangsungan demokrasi di Indonesia n
CPX
www.p2d.org — konstelasi
11
Sambungan dari hlm. 3
kita harus menolak. Tetapi kalau
hasrat politik merangkul berbagai
kekuatan politik untuk melawan
terorisme, melawan korupsi,
memperkuat politik pluralisme,
kita perlu mendukung.
Dalam hal politik pluralisme,
kita sering terlena dengan minimnya suara partai berbasis agama
dalam pemilu 2009. Kalau kita
lihat hasil pemilu 2004, partaipartai berbasis agama juga tidak
mendapat hasil yang signifikan,
tapi realita politik selama lima
tahun terakhir ini menunjukkan
kuatnya pengaruh kekuatan politik berbasis agama dalam bentuk
pembuatan dan pelaksanaan perda
berbasis agama di sejumlah daerah
di Indonesia. Dalam debat capres,
Sambungan dari hlm. 5
duduk yang tidak merata, mobilitas yang tinggi di perkotaan, serta
tingginya biaya untuk melakukan
verifikasi, maka asumsi yang harus
digunakan adalah bahwa daftar
pemilih tidak pernah tetap.
Padahal data pemilih disusun berdasarkan sensus penduduk yang
dilakukan 10 tahun sekali. Maka
tidak ada pilihan lain selain
melakukan perbaikan administrasi
kependudukan agar menjadi lebih
modern. Nomor Induk Kependudukan (NIK), yang sudah
dimulai digunakan pada Pemilu
2009, musti disusun dalam bentuk
data digital yang tersentralisir
sehingga mudah diverifikasi. Hal
ini juga sekaligus untuk menghindari adanya penduduk yang
memiliki identitas rangkap.
Dari segi penyelenggaraan
pemilu, untuk lebih memastikan
legitimasi pemilu dan menghin12
konstelasi — www.p2d.org
SBY pernah menyatakan bahwa
dia akan meninjau kembali perdaperda yang tidak sesuai dengan
konstitusi, janji semacam itu baik
bagi kemajuan demokrasi dan
pluralisme di Indonesia.
Dalam bidang ekonomi, diskursus neoliberalisme yang marak
selama pilpres 2009 meski lebih
bersifat komoditi politik, tetapi
diskursus tentang bagaimana ekonomi Indonesia ke depan patut
kita terus perbincangkan. Krisis
ekonomi global yang terjadi
belakangan ini menunjukkan
bahwa resep pro pasar bebas bukanlah satu-satunya resep ampuh
untuk mendorong perekonomian
suatu negara. Kita perlu mengembangkan pemikiran alternatif tentang teori atau model
ekonomi yang dirasa cocok
dengan Indonesia.
Dari ulasan retrospektif dan
prospektif terhadap pilpres 2009
di atas, kita akan lihat bagaimana
pemerintahan yang baru ini akan
melaksanakan janjinya selama
pilpres 2009. Menurut Adam
Przeworski, rakyat memang tidak
punya perangkat institusional untuk memaksa pemerintah untuk
memenuhi janjinya, tetapi rakyat
punya kekuatan untuk menghukum pemerintah yang ingkar
janji dalam pemilu mendatang
(Adam Przeworski dalam Ian
Shapiro & Casiano HackerCordon
9 (Eds), 1999). Pandangan
ini mendorong rakyat untuk terus
berharap terpenuhinya janji-janji
dan secara aktif mengawasi
pemimpin politik yang telah
mereka pilih n HBX
Kekisruhan DPT ini
memunculkan
banyak spekulasi.
Ada yang melihat
kekisruhan ini sebagai
upaya sistematis
untuk mempengaruhi
hasil pemilu.
sampai DPT sudah cukup akurat.
Perbaikan sistem administrasi
kependudukan dan DPT yang
akurat akan jauh lebih produktif
untuk mencegah kejadian yang
sama berulang. Tuntutan akan
adanya pelanggaran HAM dengan
hilangnya hak pilih nampaknya
terlalu berlebihan. Masyarakat
sudah diberi kesempatan cukup
panjang untuk mendaftarkan diri
apabila namanya tidak ada di DPS.
Pelanggaran HAM terjadi apabila
banyak orang yang sudah
tercantum di DPS tiba-tiba tidak
ada lagi di DPT. Pada titik ini, di
samping modernisasi sistem
administrasi kependudukan, pembangunan politik kewarganegaraan yang aktif tetap menjadi
penting. Warga yang aktif memantau DPS dan mendaftarkan
diri untuk bisa memilih dalam
pemilu, akan memperkuat demokrasi kita n DAX
dari hilangnya hak pilih warga
negara akibat problem administratif, hendaknya kesiapan dan akurasi data DPT dijadikan salah satu
prasyarat bagi pelaksanaan pemilu.
Di sini peran Bawaslu harus diperkuat untuk melakukan audit
terhadap DPS dan DPT, untuk
kemudian dapat menentukan apakah pemilu sudah siap untuk diselenggarakan atau harus ditunda
Download