2 Pemilu dan Politik 4 Daftar Pemilih (Tidak Pernah) Tetap 6 Selubung Kebobrokan KPU dan Kisruh Pemilu 2009 8 Kacau Peradilan, Kacau Pemilu no.24 agustus 2009 konstelasi Analisis Berkala Perhimpunan Pendidikan Demokrasi (P2D) Monoteisme Politik M enjelang penyusunan kabinet, politik Indonesia kembali masuk dalam pasar gelap kekuasaan. Tukar-tambah posisi-posisi strategis (pimpinan parlemen, kursi kabinet) berlangsung tanpa pengaruh hasil pemilu. Partai yang kalah dalam pemilu dan seharusnya mengambil sikap oposisi, justru tergoda masuk dalam pasar gelap kekuasaan. Pragmatisme ini bukan saja ditempuh oleh Partai Golkar dan PDIP, tapi juga oleh Partai Demokrat. Kalkulasi politik memang membutuhkan koalisi untuk pengamanan kebijakan presiden.Tapi soal yang lebih penting bagi demokrasi adalah keseimbangan dan kontrol kekuasaan (check and balances). Mekanisme itu memerlukan politik oposisi. Pemilu yang lalu sesungguhnya telah menghasilkan fakta itu: Golkar dan PDIP seharusnya mengambil posisi oposisi. Tapi nampaknya, perkembangan politik hari-hari ini justru mengarah pada pembentukan koalisi besar dengan memasukkan semua kekuatan politik dalam payung politik SBY. Di sini kita mulai memahami “konsep politik SBY”, yaitu bahwa sesungguhnya ia menghendaki “persatuan nasional” yang bulat. Politik monoteistik semacam ini sebetulnya bertentangan dengan gagasan dasar demokrasi, yaitu bahwa kompetisi politik niscaya memerlukan politik oposisi. Dasar filsafatnya adalah bahwa harus selalu tersedia pandangan sosial alternatif demi mencegah politik menjadi monoteistik. Tugas demokrasi kita sekarang ini adalah menguji kesungguhan hati para elit politik, khususnya pemimpin partai, dalam memelihara etika politik itu.Terutama dalam soal penyusunan kabinet, ketika para elit berlomba mendekat ke pusat kekuasaan, perbedaan kalah-menang dalam pemilu menjadi kabur. Artinya, aspirasi ideologis rakyat telah dimanipulasi oleh kepentingan material pemimpin partai. Di sini politik berubah menjadi permainan untung-rugi di kalangan elit. Sesungguhnya, kita menyelenggarakan pemilu untuk mewadahi konflik ideologis di dalam masyarakat. Konflik itu adalah kondisi antropologis dari politik. Artinya, demi perbedaan cita-cita sosial, kompetisi politik berlangsung melalui pemilu. Demokrasi adalah kompetisi rasional untuk memastikan bahwa kekuasaan tidak jatuh dalam kemutlakan. Prinsip inilah yang melahirkan politik oposisi. Tapi justru logika politik inilah yang hari-hari ini dihindari oleh para pemimpin partai. Seolah-olah oposisi itu identik dengan kriminalitas. Memang, bagi pemimpin politik yang punya masalah dengan korupsi, tekanan kekuasaan akan memaksanya memilih koalisi ketimbang oposisi. Politik oportunistik semacam ini niscaya akan menggerogoti tiang utama demokrasi: check and balances. Juga bagi penguasa, yang memperoleh mandat untuk memimpin, seharusnya menghormati putusan rakyat yang menghendaki kekuasaan tidak dijualbelikan. Pada pemilu yang lalu misalnya, rakyat “menghukum” Golkar dan PDIP dengan perolehan suara yang rendah. Maka, bila sekarang elit partai itu dikooptasi oleh presiden terpilih untuk duduk dalam posisi-posisi strategis kabinet, itu sama artinya dengan mengabaikan kehendak rakyat. Etika politik semacam inilah yang merusak sendi-sendi demokrasi. Kompetisi ideologis sebagai mesin yang menghidupkan politik demokratis, diabaikan oleh koalisi elitis. Memajukan kualitas demokrasi adalah tugas etis para pemimpin partai.Tugas itu harus terlihat dalam kurikulum pendidikan politik partai. Itulah yang disebut kaderisasi politik. Kader partai memelihara identitas politik partai dengan cara mempertahankan eksklusifitas ideologi dan distingsi kebijakan publik yang dipromosikan ketika pemilu. Politik kepartaian kita sesungguhnya lalai dalam menyelenggarakan kaderisasi. Akibatnya, dalil-dalil etika publik tidak menjadi pegangan para politisi. Sesungguhnya, politik adalah transaksi keadilan, bukan tukartambah kepentingan. Normativitas inilah yang kini sedang dipertaruhkan hari-hari ini n RGX www.p2d.org — konstelasi 1 analisis Pemilu dan Politik emilu Presiden telah kita lalui. Dari pemilu kemarin, politik Indonesia didominasi oleh dua ciri. Ciri pertama, politik semakin mirip dengan hitungan matematis. Sejumlah tabel, kurva dan angka yang disajikan oleh lembaga-lembaga survei, meski sedikit berbeda antara satu dengan lainnya, tak meleset jauh dari hasil pemilu. Ketepatan dan kepastian menjadi hakikat dari pemilu. Hampir tak ada ruang bagi unsur kejutan, improvisasi ataupun kebaruan. Ciri kedua adalah pemilu semakin ditentukan oleh politik pencitraan yang disajikan tanpa henti oleh media massa. Seluruh kehidupan politik seakan-akan hanya ada di media massa. Politik dikemas sedemikian rupa sehingga menarik minat para pembeli, yaitu rakyat. Nilai jual menjadi hakikat dari pemilu. Ketika hasil pemilu tak berbeda jauh dari statistik politik yang disajikan oleh berbagai lembaga survei dan politik pencitraan, maka genaplah kredo bahwa politik tak lain dan tak bukan adalah deretan angka-angka statistik dan permainan citra di media massa. Kalau pemilu hanyalah penggenapan dari statistik politik dan politik pencitraan, bukankah lebih baik mengganti pemilu dengan polling pendapat atau permainan citra di media massa? Untuk menjawab pertanyaan semacam ini, kita perlu menelusuri bagaimana statistik politik dan politik pencitraan berkorespondensi dengan situasi politik, keamanan dan ekonomi selama lima tahun terakhir. P 2 konstelasi — www.p2d.org Sumber: http://mywrotes.files.wordpress.com/2009/04/pemilu.jpg Situasi politik, keamanan dan ekonomi selama lima tahun terakhir sampai jelang pilpres 2009 relatif stabil. Dari segi politik keamanan, ancaman teroris bisa diredam. Ancaman disintegrasi juga bisa dikendalikan, seperti situasi yang relatif damai di Aceh pasca perjanjian Helsinki, tuntutan merdeka di Papua masih bisa diredam. Otonomi daerah dan pilkada di sejumlah daerah relatif berjalan dengan mulus. Situasi ekonomi relatif stabil di tengah krisis ekonomi global. Relatif stabilnya situasi politik, keamanan dan ekonomi, adalah merupakan faktor yang paling mempengaruhi pilihan rakyat, dan munculnya tiga calon presiden dalam pemilu presiden 2009 lalu. Dari segi pemilih, kebanyakan pemilih cenderung akan memilih incumbent dengan dua alasan yaitu: pertama, pemimpin incumbent telah memberikan rasa aman kepada para pemilihnya lewat stabilitas politik dan keamanan atau kesejahteraan yang lebih baik. Atau alasan kedua, calon-calon yang lain tidak memberikan gagasan-gagasan baru bagi para pemilih. Dari segi calon presiden, pilihan yang tersedia sangatlah terbatas, bahkan lebih ekstrimnya terbatas pada sosok SBY. Jusuf Kalla baru mau maju menjadi calon presiden ketika permintaannya menjadi cawapres SBY ditolak oleh SBY. Megawati maju hanya untuk menunjukkan sikap yang berbeda dengan SBY. Terbatasnya capres yang ada mencerminkan tidak adanya perubahan kekuatan politik dalam lima tahun terakhir. Stabilitas dan Preferensi Pemilih Dari aspek kecenderungan para pemilih dan pilihan capres yang tersedia, tidaklah mengherankan bahwa SBY keluar sebagai pemenang dalam pemilu 2009. Rakyat memilih SBY selain karena SBY dianggap telah memberikan rasa aman bagi rakyat, juga karena sebagian besar pemilih tidak menganggap Jusuf Kalla dan Megawati sebagai calon pemimpin yang bisa membawa perubahan yang lebih baik. Dengan demikian, statistik politik dan politik pencitraan hanyalah penggenapan dari situasi politik yang ada. Statistik politik lewat prediksi pemilu satu putaran dan politik pencitraan “Lanjutkan!” hanyalah mengolah dan memperkuat kecenderungan para pemilih. Ketika rakyat telah memilih untuk melanjutkan bersama SBY untuk lima tahun ke depan, bukan berarti bahwa persoalan telah selesai. Sejumlah ahli politik seperti Walter Lippman dan Joseph Schumpeter menyatakan bahwa setelah rakyat memilih pemimpin politik, tindakan politik dari sang pemimpin bukan lagi urusan dari urusan rakyat. Setelah pemilu, rakyat memberikan keleluasaan bagi pemerintah untuk menjalankan programnya dan baru melakukan evaluasi pada pemilu mendatang (Ian Shapiro & Casiano Hacker-Cordon (Eds), 1999: 35). 9 Pendapat Lippman dan Schumpeter ada benarnya, tetapi itu bukan berarti bahwa rakyat hanya menunggu lima tahun lagi untuk mengevaluasi apakah pilihan yang dia buat itu salah atau benar. Politik tak berakhir dengan pemilu. Menghadapi Berbagai Ancaman Demokrasi di Masa Depan Setelah pemilu berakhir, ketika kita sudah merasa aman dengan politik keamanan melawan terorisme, bom kembali meledak di hotel J. W. Marriot dan Ritz Charlton. Spanduk ucapan selamat jalan buat para bomber yang dianggap pahlawan jihad terbentang di makam seorang teroris di Solo. Ketika kita sudah merasa aman dengan keutuhan wilayah, muncul sejumlah gejolak di Papua akhir-akhir ini. Konflik sosial yang berkepanjangan di Maluku Utara pasca pilkada Gubernur Maluku Utara bisa terulang di sejumlah wilayah yang nantinya akan menyelenggarakan pilkada. Ketika hasil pemilu menunjukkan dukungan politik kepada partai-partai Islam tidaklah besar, tidak otomatis ancaman terhadap pluralisme surut. Sampai saat ini perda-perda berbasis agama tidaklah berkurang. Kekerasan berbasis agama dan intoleransi masih terus berlangsung. Ketika kita berharap bahwa adanya check and balance antara Pemerintah dengan DPR, kita disuguhi kemungkinan semakin besarnya koalisi pendukung pemerin- tah sebagaimana upaya SBY merangkul PDIP dan Partai Golkar. Di bidang ekonomi, meski ekonomi Indonesia masih relatif stabil, tetapi ancaman krisis global terus membayangi perekonomian Indonesia. Jaminan akan keberlangsungan pekerjaan juga masih belum terlihat ketika sistem buruh kontrak masih terus berlangsung. Diskursus neoliberalisme yang pada saat pemilu hanya menjadi komoditi politik, kini nyata mengancam sendi-sendi perekonomian Indonesia. Berbagai ancaman di atas, adalah tantangan yang akan dihadapi oleh pemerintahan dan rakyat. Di bidang politik keamanan, khususnya yang berkaitan dengan perang melawan terorisme, pemerintah perlu menggerakkan semua komponen bangsa untuk terlibat bersama memerangi terorisme. Pelibatan TNI dalam perang melawan terorisme memang perlu tetapi juga bagaimana kita memerangi ideologi yang membenarkan sikap memusuhi identitas yang liyan seperti perbedaan agama, ras, etnik yang mungkin saja tumbuh di masyarakat. Dalam hal menghadapi gejolak sosial di daerah-daerah konflik, seperti Aceh dan Papua, kita tak perlu meletakkan semuanya dalam perspektif ancaman terhadap kedaulatan NKRI. Kita tak perlu membangkitkan kembali pendekatan keamanan seperti yang dilakukan rejim Orde Baru dulu. Dalam hal adanya hasrat politik untuk merangkul semua kekuatan politik untuk bergabung dengan pemerintah, kita perlu hati-hati menyikapi. Kalau hasrat politik hanya untuk memperkuat pemerintah dengan konsekuensi lemahnya check and balance, Bersambung ke hlm. 12 www.p2d.org — konstelasi 3 analisis Daftar Pemilih (Tidak alah satu persoalan yang mencuat dalam Pemilu 2009 yang lalu adalah persoalan Daftar Pemilih Tetap (DPT). Jutaan warga negara Indonesia diduga kehilangan hak pilihnya dalam Pemilu 2009 lalu, karena tidak terdaftar di DPT. Di sisi lain, muncul pula dugaan bahwa banyak orang yang terdaftar lebih dari satu kali, di samping masuknya nama orang yang sudah meninggal dan anakanak ke dalam DPT. Kekisruhan DPT ini memunculkan banyak spekulasi.Ada yang melihat kekisruhan ini sebagai upaya sistematis untuk mempengaruhi hasil pemilu. Munculnya nama yang sama di TPS yang berbeda jelas membuka peluang terjadinya kecurangan, apalagi jika terjadi secara masif. Sementara kelompok penggiat HAM lebih melihat kekisruhan DPT ini sebagai pelanggaran HAM, karena banyak warga negara yang kehilangan hak pilihnya. Hilangnya hak pilih ini akan menjadi problem yang sangat serius karena apabila ternyata ada unsur kesengajaan, maka telah terjadi pelanggaran terhadap pasal 260 UU No.10/2008 tentang Pemilihan Umum. Beberapa partai peserta pemilu melakukan langkah hukum untuk membongkar kekisruhan ini, meskipun kemudian Mahkamah Konstitusi menolak tuntutan mereka. Langkah hukum ini sebenarnya tidak perlu dilakukan apabila sedari awal ketika Daftar Pemilih Sementara (DPS) dilansir KPU, partai politik secara aktif mendorong kader dan konstituennya untuk memastikan bahwa S 4 konstelasi — www.p2d.org Sumber Foto : http://catatansikem.files.wordpress.com/2009/04/tps1.jpg nama mereka sudah tercantum di DPS. Fakta bahwa partai politik “terlambat” bereaksi mengenai kekisruhan DPT dan baru ributribut setelah pemilu legislatif berlangsung, menunjukkan kelemahan internal mereka sendiri. Kekisruhan DPT, bisa jadi dianggap punya potensi memberikan keuntungan bagi perolehan suara partai, sehingga mereka tidak banyak mempersoalkannya. Akan tetapi begitu pemilu legislatif menunjukkan bahwa kekisruhan tersebut sama sekali tidak menguntungkan perolehan suara mereka, di sinilah protes mengenai DPT muncul. Padahal jika mau ditelusuri, “Audit Daftar Pemilih” yang dilakukan oleh LP3ES dengan melakukan evaluasi yang sistematik dan ilmiah terhadap kualitas dari DPS pada Agustus 2008 sudah menunjukkan lemahnya akurasi DPS. Penggunaan problem DPT sebagai bahan untuk menggugat dan mempersoalkan hasil pemilu lebih didominasi kepentingan politik partai. Secara politik, itu sesuatu yang sah dilakukan, namun demikian jauh lebih penting untuk menggali akar persoalan DPT ini demi supaya Pernah) Tetap kejadian dan kekisruhan yang sama tidak terulang kembali, baik pada saat Pemilu 2014 maupun dalam pemilihan kepala daerah yang juga akan berlangsung dalam waktu dekat. Ada beberapa faktor yang mendasari kekisruhan DPT ini, antara lain: Pertama, data kependudukan dan sistem verifikasi yang sangat tradisional dan lemah akurasinya. DPS dimulai disusun dari DP4 (Daftar Penduduk Pemilih Potensial Pemilu) yang disusun oleh Depdagri berdasarkan hasil sensus terakhir (tahun 2000). Proses pembaruan data hasil sensus untuk kebutuhan pemilu ini dilakukan oleh pejabat di tingkat dusun (RW) dengan dibantu oleh petugas lapangan (PPS). Dalam tahap ini, berdasarkan hasil audit LP3ES sudah banyak persoalan yang dihadapi oleh petugas lapangan, antara lain: rendahnya kualitas data pemilih yang digunakan sebagai dasar untuk proses pencocokan dan pemuktahiran, mobilitas pemilih yang tinggi sementara dana terbatas, kurangnya waktu untuk memperbaiki data lemahnya SDM. Kelemahan SDM terlihat jelas dengan tidak dilakukannya proses pencocokan dan penelitian (coklit) terhadap data pemilih oleh petugas lapangan. Dengan demikian, praktis sangat sedikit terjadi perubahan/perbedaan antara DP4 yang disusun Depdagri dengan DPS yang disusun oleh KPU. Dari segi akurasi data, menurut LP3ES hanya 39,5 % Nomor Induk Kependudukan (NIK) yang akurat, sementara 67,9% nama pemilih telah akurat dan 77,1% jenis kelamin akurat. Namun hanya 58,8% penulisan tanggal lahir yang akurat, dan hanya 68,6% yang menuliskan alamat dengan akurat. Kedua, pengabaian terhadap DPS yang sudah dilansir oleh KPU sejak bulan Agustus 2008, baik oleh partai, warga negara maupun aparat pemerintah, sehingga proses evaluasi dan verifikasi daftar pemilih tidak terjadi. Sistem stelsel pasif yang digunakan pada pemilu-pemilu sebelumnya berusaha disempurnakan dengan mendorong masyarakat untuk juga berperan aktif mendaftarkan diri sebagai pemilih. Namun terbukti bahwa tidak ada perubahan signifikan antara DPS dengan DPT. Ini menunjukkan masih lemahnya inisiatif warga negara untuk aktif dalam pemilu. Dan ketika warga hanya dilihat sebagai satuan suara, bukan konstituen yang harus diorganisir dan diberi pendidikan politik, maka parpol juga tidak melakukan apa-apa untuk membantu proses penyempurnaan DPT. Dua problem di atas merupakan problem yang juga terjadi pada pemilu sebelumnya, khususnya pemilu pasca Orde Baru. Hanya saja pada tahun 2004 ini, demi kepentingan politik untuk menggoyang keabsahan pemilu serta agar pemilu diulang, persoalan DPT ini mencuat dan seolah-olah secara signifikan dapat mengubah hasil akhir pemilu. Persoalan menjadi semakin rumit ketika akurasi data yang sangat lemah ini ditimpali pula oleh rendahnya kualitas penyelenggara pemilu (KPU). Kualitas KPU ini semakin mempengaruhi kualitas data, di mana proses pendaftaran pemilih sempat terkendala oleh belum terbentuknya struktur penyelenggara Pemilu (KPUD, PPK hingga PPS) di beberapa daerah. Potensi kisruh akibat ketidakakuratan DPT akan tetap ada selama basis data yang digunakan untuk menyusun DP4, DPS dan DPT ini juga masih lemah. Dengan tingkat persebaran penBersambung ke hlm. 12 www.p2d.org — konstelasi 5 analisis Selubung Kebobrokan KPU idak ada demokrasi tanpa pemilihan umum. Pemilu dipahami sebagai praktik mengambil keputusan (voting) berskala luas dan masif karena umumnya berkaitan dengan penentuan pemimpin politik. Aktivitas memilih atau menentukan aspirasi politik itu menjadi penting karena di dalamnya melekat hak politik warga dan sekaligus suatu pengakuan kedaulatannya sebagai individu, dipandang setara tanpa dibeda-bedakan asal-usul diri, kondisi fisik atau status sosial. Itu sebabnya hak memilih menjadi hak yang bersifat asasi. Dengan memiliki hak pilih, seseorang berkesempatan agar suara atau aspirasi dirinya didengarkan oleh otoritas politik. Kontestasi antar berbagai aspirasi politik diwadahi oleh sebuah pemilihan umum yang bersifat jujur dan adil. Seperti di kebanyakan negara totaliter, sebelum tahun 1999, pemilu di Indonesia lebih sebagai etalase kepada dunia luar bahwa negara Indonesia adalah negara yang demokratis. Prinsip LUBER yang didengungkan pada era sebelumnya, baru benar-benar dapat diwujudkan pada Pemilu 2004. Pada masa itu dunia memberi apresiasi positif atas pesta demokrasi yang telah berlangsung. Besar harapan bahwa apa yang sudah dicapai pada pemilu tersebut dapat menjadi modal bagi pemilu berikutnya, tahun 2009. Harapan tinggal harapan, Pemilu 2009 yang baru saja berlalu meninggalkan banyak kekisruhan, yang paling utama adalah masalah Daftar Pemilih Tetap (DPT) dan interpretasi penghitungan suara pembagi. Beberapa sengketa dan T 6 konstelasi — www.p2d.org Sumber Foto : http://www.calegindonesia.com/content/files/images/news/kpu20.jpg keberatan dibawa ke Mahkamah Konstitusi. Dan akhirnya, pada tanggal 12 Agustus 2009 Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa berkaitan dengan masalah DPT, KPU telah melakukan kesalahan prosedur dan berlaku tidak profesional. Tidak ditemukan adanya upaya-upaya secara sistematis, disengaja dan masif berkenaan dengan buruknya pelaksanaan Pemilu. Seleksi Awal dan Konflik Kepentingan Kualitas pemilu yang jujur dan adil tentunya sangat dipengaruhi oleh penyelenggaranya. Adalah Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang ditunjuk oleh undangundang (UU No.22/2007) sebagai penyelenggara pemilu di Indonesia. Pada tahun 1999 KPU adalah representasi dari wakilwakil partai, dan pada tahun 2004-2007 KPU diisi oleh para akademisi dan aktivis LSM. Meneruskan lembaga KPU seperti periode kedua, yakni mengupayakan anggota KPU yang independen dan kompeten, diaturlah sebuah proses yang adil dan terbuka. Dimulai dari presiden yang membentuk tim seleksi calon anggota KPU yang terdiri dari lima orang. Mereka adalah Ridwan Nazir (ketua), Sarlito Wirawan Sarwono, Jalaluddin, Purnaman Natakusumah, dan Balthasar Kambuaya. Panitia ini membuka pendaftaran, melakukan proses seleksi dan terakhir menyerahkan 21 nama kepada presiden untuk diajukan kepada dan Kisruh Pemilu 2009 DPR guna menjalani proses uji kelayakan. Dalam perjalanannya tim seleksi ini menerima 545 pendaftar, yang lolos seleksi administratif 270 orang, yang lolos tes tertulis dan rekam jejak 45 orang, dari 21 orang yang mengikuti fit and proper test, terpilih 7 orang: Abdul hafiz Anshary Az, Sri Nuryanti, Endang Sulastri, I Gusti Putu Artha, Syamsul Bahri, Andi Nurpati, dan Abdul Aziz. Demi mendapatkan figur yang kredibel, maka syarat pendaftar adalah orang-orang yang pernah terlibat dalam penyelengaraan pemilihan umum, dan harus menjalani serangkaian tes, seperti tes kecerdasan, tes psikologi, tes integritas dan tes kesetiaan pada NKRI dan Pancasila. Bahkan Ketua Panitia Seleksi Ridwan Nazir, yang adalah Rektor IAIN Sunan Ampel, menambahkan tafsir sendiri bahwa calon anggota KPU 2009 harus benar-benar bermoral, terutama di bidang agama (lihat: www.elshinta.com). Sebuah syarat yang tak tercantum dalam UU, tapi sepertinya benarbenar diterapkan. Selain Ridwan Nazir adalah Purnaman Natakusumah yang menjabat sebagai Rektor IAIN Raden Patah Palembang. Mungkin nilai agama pula yang membuat ada preferensi akan figur yang “sealiran” tercium menyengat, sebab dari tujuh orang anggota KPU, tiga orang adalah alumni dan sivitas akademika IAIN/ UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (Abdul Hafiz Anshary,Andi Nurpati, Abdul Aziz). Kalau memang panitia seleksi bekerja dengan serius, maka mengapa nama Theofilius Waimuri yang tercatat sebagai anggota Partai Demokrat dapat lolos dalam daftar 21 nama yang disodorkan kepada DPR? Padahal dalam UU No.22/2007 menegaskan bahwa anggota KPU tidak pernah menjadi anggota parpol sekurangnya dalam jangka waktu lima tahun, dan harus dinyatakan secara tertulis. Seharusnya sejak awal Theofilus tidak bisa lolos menjadi anggota KPU. Demikian pula dengan anggota DPR, mengapa nama Syamsul Bahri lolos fit and proper test sebagai anggota KPU bahkan sempat dilantik, yang ternyata tersangka dalam kasus penyimpangan dana kontrak pengawasan Kawasan Industri Gula Milik Masyarakat yang merugikan negara sebesar Rp3,02 miliar. Sayangnya, pada saat itu tidak ada akademisi yang menguji kadar ilmiah dari alat tes yang dipakai. Jenis tes yang diberikan pun tidak berkaitan langsung dengan deskripsi pekerjaan yang akan dijalankan oleh anggota KPU. Akibatnya, beberapa nama yang dianggap punya cukup pengetahuan dan pengalaman di bidang pemilu tidak lolos, di antaranya Didik Supriyanto (mantan anggota Panwaslu), Ramlan Surbakti (Anggota KPU) dan Hadar Gumay (Cetro). Bersambung ke hlm. 11 P2D konstelasi diterbitkan oleh Perhimpunan Pendidikan Demokrasi (P2D) Redaksi Abdul Qodir Agil Daniel Hutagalung Donny Ardyanto Elisabet R. Kuswijayanti Fajrimei A. Gofar Hendrik A. Boli Tobi Ikravany Hilman Isfahani Ivan Otto Pratama Rachland Nashidik Robby Kurniawan Robertus Robet Santi Nuri Redaktur Ahli Bagus Takwin Richard Oh Rocky Gerung Alamat Redaksi Jl. Sawo No.11, Jakarta 10310 Tel/Fax: (021) 31925734 http://www.p2d.org E-mail: [email protected] www.p2d.org — konstelasi 7 analisis Kacau Peradilan, Kac apat dikatakan bahwa rangkaian pemilu legislatif sudah rampung dilaksanakan. Sayangnya, pelaksanaannya tidak semulus yang diidamkan. Sebaliknya, hampir semua tahapannya memiliki sejumlah persoalan, sehingga rangkaian pelaksanaannya terkesan karut-marut dan acak kadut. Penetapan parpol peserta pemilu saja sudah diawali dengan gugat menggugat, baik itu ke Mahkamah Konstitusi (MK) maupun ke PTUN. Begitu pula halnya dengan penetapan Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang berantakan, logistik pemilu banyak yang tertukar — terutama kertas suara, serta penetapan hasil pemilu berjalan alot, bahkan diwarnai dengan gugatan ke Mahkamah Konstitusi. Di penghujung tahapan pemilu, tata cara penghitungan perolehan kursi berlangsung dengan penuh kontroversi. Ada banyak faktor yang mengakibatkan kekarut-marutan itu. Tidak hanya pelaksana pemilu, yakni KPU, tapi juga aturannya yakni UU No.10/2008 yang kurang baik karena tidak jelas dan multi-tafsir. Banyak substansi undang-undang tersebut yang diuji secara materiil terhadap UUD 1945 (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi. Sebut saja misalnya substansi tentang persyaratan kepesertaan parpol dalam pemilu, pasal tentang penetapan calon terpilih, dan pasal tentang tata-cara penghitungan perolehan kursi tahap kedua. Produk hukum yang dikeluarkan oleh KPU pun setali D 8 konstelasi — www.p2d.org Sumber : http://judicialconduct-wy.us/images/Gavel_big.jpg tiga uang. Setidaknya, ada dua produk KPU yang diajukan ke pengadilan. Pertama, keputusan KPU tentang “Parpol Peserta Pemilu 2009” yang diajukan ke PTUN. Kedua, Peraturan KPU tentang “Tatacara Penghitungan dan Penetapan Perolehan Kursi” yang diajukan ke Mahkamah Agung (MA) untuk diuji secara materiil. Sayangnya, lembaga-lembaga peradilan yang ada bukannya mengurangi kekarut-marutan yang terjadi, sebaliknya malah menjadi salah satu penyebab kekarut-marutan dalam pelaksanaan pemilu. Banyak putusan lembaga peradilan telah menciptakan preseden yang membahayakan sistem hukum. Baik itu dilakukan oleh PTUN, Mahkamah Agung, maupun Mahkamah Konstitusi. PTUN dalam putusannya yang mengabulkan gugatan beberapa parpol untuk diikutkan sebagai peserta Pemilu 2009, telah memberlakukan secara surut putusan MK yang membatalkan Pasal 316 huruf (d) UU No.10/2008. Seharusnya PTUN menolak gugatan parpol-parpol tersebut karena putusan MK — yang diajukan sebagai dasar gugatan tersebut — dibacakan sehari setelah KPU mengumumkan parpol-parpol peserta Pemilu 2009. Begitu pula halnya dengan keputusan MK yang membatalkan pasal tentang penetapan calon cau Pemilu berdasarkan nomor urut, dan menggantinya dengan berdasarkan suara terbanyak. Ini berarti bahwa MK telah mengganti isi pasal yang seharusnya menjadi kewenangan pemerintah dan DPR sebagai pembentuk undang-undang. Pemberlakuan suara terbanyak tersebut seharusnya diperlukan norma setingkat undang-undang, misalnya Perpu, bukan hanya dengan putusan MK saja. Mahkamah Agung juga melakukan kesalahan yang fatal dalam kasus Pasal 205 UU No.10/2008. Seharusnya, dalam menguji peraturan KPU berdasarkan UU tersebut, Mahkamah Agung tidak boleh memberikan suatu pemulihan hak (remedy) akibat aturan yang keliru. Karena kasus tersebut bukanlah kasus perdata atau gugatan ganti kerugian, melainkan kasus judicial review — yang berarti bahwa kasus tersebut merupakan kasus publik. Seharusnya, Mahkamah Agung cukup menyatakan bahwa peraturan KPU bertentangan dengan UU No.10/2008. Kenyataannya, Mahkamah Agung malah “menghukum” KPU untuk mengganti keputusan tentang perolehan kursi dalam penghitungan tahap kedua dengan putusan yang berdasarkan putusannya sebagai wujud remedy kepada pemohon (bukan penggugat) judicial review. Putusan MK tersebut berdampak luar biasa bagi peta perolehan kursi partai politik di DPR. Parpol kecil kehilangan banyak kursi, sementara parpol besar kelimpahan sejumlah kursi yang cukup signifikan jumlahnya. Intinya, parpol kecil sangat dirugikan oleh putusan Mahkamah Agung tersebut. Akibat kerugian yang dideritanya, parpol-parpol ini, antara lain Hanura dan Gerinda, mengajukan permohonan judicial review Pasal 205 UU No.10/2008 ke Mahkamah Konstitusi. Artinya, Pasal 205 dianggap bertentangan dengan UUD 1945, karena ada tafsir yang berbeda antara KPU dan Mahkamah Agung terhadap Pasal 205 tersebut. Celakanya, Mahkamah Konstitusi menerima permohonan judicial review tersebut, dan memutuskan bahwa, antara lain: Menyatakan Pasal 205 ayat (4) UU No 10/2008 adalah konstitusional bersyarat (conditionally constitutional). Artinya, konstitusional sepanjang dimaknai bahwa penghitungan tahap kedua untuk penetapan perolehan kursi DPR bagi parpol peserta Pemilu dilakukan dengan cara sebagai berikut: 1. Menentukan kesetaraan 50% (lima puluh perseratus) suara sah dari angka BPP, yaitu 50% (lima puluh perseratus) dari angka BPP di setiap daerah pemilihan Anggota DPR; 2. Membagikan sisa kursi pada setiap daerah pemilihan Anggota DPR kepada Partai Politik peserta Pemilu Anggota DPR, dengan ketentuan: a.Apabila suara sah atau sisa suara partai politik peserta Pemilu Anggota DPR mencapai sekurangkurangnya 50% (lima puluh perseratus) dari angka BPP, maka Partai Politik tersebut memperoleh 1 (satu) kursi. b.Apabila suara sah atau sisa suara partai politik peserta Pemilu Anggota DPR tidak mencapai sekurang-kurangnya 50% (lima puluh perseratus) dari angka BPP dan masih terdapat sisa kursi, maka: 1) Suara sah partai politik yang bersangkutan dikategorikan sebagai sisa suara yang diperhitungkan dalam penghitungan kursi tahap ketiga; dan 2) Sisa suara partai politik yang bersangkutan diperhitungkan dalam penghitungan kursi tahap ketiga. Memerintahkan Komisi Pemilihan Umum melaksanakan penghitungan perolehan kursi DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota tahap kedua hasil pemilihan umum tahun 2009 berdasarkan Putusan Mahkamah ini; www.p2d.org — konstelasi 9 Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut tidak jauh berbeda dengan putusan Mahkamah Agung, yaitu: memberikan remedy kepada pemohon ketika menghukum KPU untuk melaksanakan penghitungan perolehan kursi tahap kedua berdasarkan putusan MK. Kasus judicial review diperlakukan sebagai kasus perdata biasa. Parahnya lagi, Mahkamah Konstitusi memberlakukan putusannya secara surut ketika memerintahkan KPU untuk membuat keputusan berdasarkan putusan MK. Padahal, KPU sudah membuat keputusannya tentang perolehan kursi penghitungan tahap kedua jauh-jauh hari sebelum putusan MK ada. Dalam hal ini, Mahkamah Konstitusi tidak membuat putusannya berdasarkan jurisprudence yang benar. Artinya, Mahkamah Konstitusi telah gagal membuat keputusan yang memberikan keadilan substantif. Sebaliknya, Mahkamah Konstitusi terjebak pada konstelasi politik yang terjadi dengan membuat “jalanjalan tikus” untuk menerobos sistem hukum. Mahkamah Konstitusi dengan segala perannya sebagai penjaga konstitusi, seharusnya lebih bijak dalam menghadapi fakta-fakta hukum tersebut. Misalnya, dengan segala kewenangan yang dimilikinya, Mahkamah Konstitusi dapat men-dissmisal kasus tersebut dan mengalihkannya sebagai kasus sengketa pemilu — jika maksudnya untuk menyelesaikan sengketa akibat putusan Mahkamah Agung. Sayangnya, Mahkamah Konstitusi lebih suka penyelesaian jangka pendek ketimbang menyelamatkan sistem hukum yang teracak-acak. Karut-marutnya pemilu yang baru saja berlangsung tidak saja sebagai gambaran lemahnya kapa- 10 konstelasi — www.p2d.org Sayangnya, lembagalembaga peradilan yang ada bukannya mengurangi kekarutmarutan yang terjadi, sebaliknya malah menjadi salah satu penyebab kekarutmarutan dalam pelaksanaan pemilu. sitas KPU atau lemahnya aturan mengenai pemilu. Lebih jauh dari itu, merupakan gambaran nyata betapa chaos-nya sistem hukum kita. Kita terlalu banyak lembaga peradilan (judicial body) dengan sejumlah kewenangannya masingmasing, sehingga tidak gampang untuk mengidentifikasi kewenangan-kewenangannya tersebut secara jernih. Kita juga cukup sulit memahami fungsi-fungsi dari masing-masing judicial body tersebut. Terlalu banyak institusi hukum yang turut menentukan legalitas aturan-aturan mengenai pemilu. Dari pemaparan di atas, tergambar pula bahwa lembagalembaga peradilan kita tidak mempunyai perspektif yang sama mengenai apa terbaik bagi bangsa yang sedang membangun demokrasi. Sebaliknya, lembagalembaga peradilan telah menjadi alat untuk melegitimasi kelicikan dalam demokrasi. Lembaga-lembaga peradilan begitu tega mempertaruhkan sistem hukum dengan membuat preseden yang buruk. Bahkan, perhelatan pemilu telah dijadikan arena pertarungan otoritas antar lembaga-lembaga peradilan. Pertarungan itu begitu tampak dalam kasus Pasal 205 UU No.10/2008, terutama antara MA dan MK. MK yang perannya sebagai sole interpretation of the constitution dan sebagai the guardian of the constitution belum mampu memaksimalkan perannya. Sebaliknya, malah mengebiri perannya yang agung itu. Betapa tidak, MK telah melakukan ultra vires ketika membuat norma yang bukan sebagai kewenangannya. MK juga telah mengebiri sistem hukum ketika menerapkan putusannya secara surut dalam kasus Pasal 205 UU No.10/2008. Lebih jauh lagi, dalam putusannya tersebut MK seolah-olah ingin menunjukkan otoritasnya bahwa interpretasi MK itulah yang paling benar ketimbang interpretasi yang dibuat oleh MA. Dari peran-peran yang ditampilkan oleh lembaga-lembaga peradilan tersebut dalam pemilu legislatif yang baru saja selesai, kita patut menduga bahwa telah terjadi judicial corrupt yang dipraktikkan lembaga-lembaga peradilan kita. Lembaga-lembaga peradilan kita tidak begitu jujur dan adil (fairness) dalam melihat fakta-fakta yang terjadi. Lembaga-lembaga peradilan terlalu mengakomodasi kepentingan jangka pendek sembari mengorbankan sistem hukum kita. Akibatnya, demokrasi kita sedang dalam ancaman. Ancaman itu tidak datang dari penguasa yang tiran, melainkan datang dari lembaga-lembaga peradilan yang tak mampu menjadi penjamin tegaknya rule of law. Oleh karena itu, perlu ada pembenahan yang serius bagi sistem peradilan kita, terutama hubungan MK dan MA yang mengakibatkan seolah ada dua puncak sistem peradilan kita, yaitu: MK dan MA n FGX Sambungan dari hlm. 7 Inkompetensi Jadi, jika sedari awal pemilihan anggota KPU memiliki konflik kepentingan dan tidak mendahulukan kecakapan pengetahuan dan pengalaman, maka tidak heran jika kemudian kinerja KPU pada periode ini tidak profesional. Ini yang juga kemudian dinyatakan dalam unsur menimbang keputusan MK No.108-109/PHPU.BVII/2009 tentang “Perselisihan Hasil Pemilu Capres” yang diajukan oleh pasangan MegawatiPrabowo dan Jusuf Kalla-Wiranto, yang dibacakan pada 12 Agustus 2009, yakni bahwa KPU kurang profesional. Memang tidak ada bau korupsi yang tercium sejauh ini, seperti yang terjadi pada KPU periode sebelumnya. Namun, selain tidak korupsi kita juga butuh individu yang cakap dalam menjalankan pekerjaan yang diembannya. Kita ambil satu contoh masalah KPU, yakni persoalan verifikasi DPT. Persoalan DPT setidaknya muncul beberapa kali di berbagai pemilihan kepala daerah (pilkada) sebelum Pemilu 2009, di antaranya pilkada Sulawesi Selatan dan DKI Jakarta pada tahun 2007 dan pilkada Jawa Timur tahun 2008. Jika permasalahan yang sama muncul dalam tiga pilkada, dan tetap muncul dalam pemilu di tingkat nasional, artinya KPU tidak melakukan evaluasi diri dan mencari solusi atas masalah yang mereka hadapi. Ini betul-betul jauh dari sikap profesional. Meskipun demikian, perlu juga dibuat catatan bahwa ada faktor eksternal yang semakin memperparah output dari KPU. Adalah Depdagri yang membuat daftar pemilih yang sama sekali tidak mutakhir, lalu DPR yang telat mengesahkan UU No. 10/ 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD. UU ini disahkan lima hari sebelum tahapan pemilu legislatif dimulai. Jika KPU 2004 punya waktu 3 tahun membuat persiapan pemilu karena dibentuk sejak tahun 2001, maka KPU 2009 baru menerima SK pada 3 April 2008, beberapa hari sebelum masuk tahapan pemilu. Berkaitan dengan anggaran, KPU yang secara efektif bekerja sejak Januari 2008, ternyata daftar isian proyek anggaran bagi KPU baru terbit pada Juni 2008. Partisipasi Politik Kehidupan demokrasi yang sehat dapat terwujud jika ada partisipasi atau kepedulian yang tinggi dari warga negara. Dengan partisipasi aktif warga, seharusnya tidak terjadi warga yang kehilangan hak pilihnya. Jika kita melihat pemberitaan pada pemilu legislatif bahwa ada banyak warga yang mempermasalahkan hak pilihnya pada hari pencontrengan, maka sempat terbersit kecemasan akan minimnya partisipasi aktif warga. Kepedulian mereka datang pada hari itu, dan bukan sedari awal mempermasalahkannya,menunjukkan kecenderungan bahwa partisipasi politik dipengaruhi oleh situasi lingkungan. Meskipun demikian, tetap ada optimisme bagi para penggiat demokrasi di Indonesia. Angka partisipasi warga dalam menggunakan hak pilihnya cukup tinggi. Pada pemilu legislatif tercatat 70 persen pemilih dari jumlah yang terdaftar pada DPT yang menggunakan hak pilihnya, dan pada pemilu presiden meningkat menjadi 72 persen. Optimisme akan potensi demokrasi di Indonesia semakin tinggi jika kita memperhatikan hasil pemilu bahwa para pemilih cenderung meninggalkan politik aliran. Nilai-nilai yang mendukung demokrasi harus terus dikembangkan dan diseminasinya dapat dilakukan jika dimapankan melalui pelembagaan. Pemilu yang baik dan akuntabel adalah salah satu cara melembagakan demokrasi. Belajar dari pemilu belakangan ini, kita menjadi mahfum bahwa hambatan-hambatan teknis dapat menggagalkan pelembagaan demokrasi. Jika warganegara memahami bahwa hak pilihnya terjamin dan berlangsung kontestasi politik yang adil dan jujur, maka kepercayaan pada demokrasi akan terus ada. Untuk itu perbaikanperbaikan yang signifikan mesti dilakukan. KPU periode ini masih bertugas hingga 2012, sementara itu ke depannya diperkirakan akan ada ratusan pilkada. Akankah kita membiarkan modal nilai demokrasi yang ada sekarang tergerus terus-menerus oleh inkompetensi dan problem teknis? Jika sejak tahun 2007 sampai 2009, dari pilkada hingga pilpres persoalan yang sama yang terus berulang, maka usulan mengganti anggota KPU adalah sebuah kepatutan. Hal ini penting guna memberi efek pembelajaran bagi penyelenggara lembaga publik. Selain itu, tahun depan akan ada Sensus Penduduk Nasional, karenanya KPU dan Depdagri dapat menumpangi kegiatan ini untuk memperbaiki akurasi data pemilih. Pilihan lain yang terbuka adalah merevisi undang-undang pemilu dengan mengembalikan penyusunan daftar pemilu kepada Panitia Pemilih Setempat atau KPU, sampai peroalan NIK disempurnakan. Demi keberlangsungan demokrasi di Indonesia n CPX www.p2d.org — konstelasi 11 Sambungan dari hlm. 3 kita harus menolak. Tetapi kalau hasrat politik merangkul berbagai kekuatan politik untuk melawan terorisme, melawan korupsi, memperkuat politik pluralisme, kita perlu mendukung. Dalam hal politik pluralisme, kita sering terlena dengan minimnya suara partai berbasis agama dalam pemilu 2009. Kalau kita lihat hasil pemilu 2004, partaipartai berbasis agama juga tidak mendapat hasil yang signifikan, tapi realita politik selama lima tahun terakhir ini menunjukkan kuatnya pengaruh kekuatan politik berbasis agama dalam bentuk pembuatan dan pelaksanaan perda berbasis agama di sejumlah daerah di Indonesia. Dalam debat capres, Sambungan dari hlm. 5 duduk yang tidak merata, mobilitas yang tinggi di perkotaan, serta tingginya biaya untuk melakukan verifikasi, maka asumsi yang harus digunakan adalah bahwa daftar pemilih tidak pernah tetap. Padahal data pemilih disusun berdasarkan sensus penduduk yang dilakukan 10 tahun sekali. Maka tidak ada pilihan lain selain melakukan perbaikan administrasi kependudukan agar menjadi lebih modern. Nomor Induk Kependudukan (NIK), yang sudah dimulai digunakan pada Pemilu 2009, musti disusun dalam bentuk data digital yang tersentralisir sehingga mudah diverifikasi. Hal ini juga sekaligus untuk menghindari adanya penduduk yang memiliki identitas rangkap. Dari segi penyelenggaraan pemilu, untuk lebih memastikan legitimasi pemilu dan menghin12 konstelasi — www.p2d.org SBY pernah menyatakan bahwa dia akan meninjau kembali perdaperda yang tidak sesuai dengan konstitusi, janji semacam itu baik bagi kemajuan demokrasi dan pluralisme di Indonesia. Dalam bidang ekonomi, diskursus neoliberalisme yang marak selama pilpres 2009 meski lebih bersifat komoditi politik, tetapi diskursus tentang bagaimana ekonomi Indonesia ke depan patut kita terus perbincangkan. Krisis ekonomi global yang terjadi belakangan ini menunjukkan bahwa resep pro pasar bebas bukanlah satu-satunya resep ampuh untuk mendorong perekonomian suatu negara. Kita perlu mengembangkan pemikiran alternatif tentang teori atau model ekonomi yang dirasa cocok dengan Indonesia. Dari ulasan retrospektif dan prospektif terhadap pilpres 2009 di atas, kita akan lihat bagaimana pemerintahan yang baru ini akan melaksanakan janjinya selama pilpres 2009. Menurut Adam Przeworski, rakyat memang tidak punya perangkat institusional untuk memaksa pemerintah untuk memenuhi janjinya, tetapi rakyat punya kekuatan untuk menghukum pemerintah yang ingkar janji dalam pemilu mendatang (Adam Przeworski dalam Ian Shapiro & Casiano HackerCordon 9 (Eds), 1999). Pandangan ini mendorong rakyat untuk terus berharap terpenuhinya janji-janji dan secara aktif mengawasi pemimpin politik yang telah mereka pilih n HBX Kekisruhan DPT ini memunculkan banyak spekulasi. Ada yang melihat kekisruhan ini sebagai upaya sistematis untuk mempengaruhi hasil pemilu. sampai DPT sudah cukup akurat. Perbaikan sistem administrasi kependudukan dan DPT yang akurat akan jauh lebih produktif untuk mencegah kejadian yang sama berulang. Tuntutan akan adanya pelanggaran HAM dengan hilangnya hak pilih nampaknya terlalu berlebihan. Masyarakat sudah diberi kesempatan cukup panjang untuk mendaftarkan diri apabila namanya tidak ada di DPS. Pelanggaran HAM terjadi apabila banyak orang yang sudah tercantum di DPS tiba-tiba tidak ada lagi di DPT. Pada titik ini, di samping modernisasi sistem administrasi kependudukan, pembangunan politik kewarganegaraan yang aktif tetap menjadi penting. Warga yang aktif memantau DPS dan mendaftarkan diri untuk bisa memilih dalam pemilu, akan memperkuat demokrasi kita n DAX dari hilangnya hak pilih warga negara akibat problem administratif, hendaknya kesiapan dan akurasi data DPT dijadikan salah satu prasyarat bagi pelaksanaan pemilu. Di sini peran Bawaslu harus diperkuat untuk melakukan audit terhadap DPS dan DPT, untuk kemudian dapat menentukan apakah pemilu sudah siap untuk diselenggarakan atau harus ditunda